Anda di halaman 1dari 3

Pengertian Wadi’ah

Wadi’ah menurut bahasa berarti titipan. Kata Wadi’ah berasal dari kata Wada’a- Yada’u-
Wad’an yang berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu. Jadi wadi’ah adalah sesuatu yang
dititipkan. Menurut ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah, wadi’ah adalah gambaran penjagaan
kepemilikan sesuatu terhadap barang-barang pribadi yang penting dengan cara tertentu.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat di tarik pengertian bahwa wadi’ah adalah menitipkan suatu
barang kepada orang lain dengan maksud dipelihara dan dirawat sebagaimana mestinya.

Dasar Hukum Wadi’ah


Akad wadi’ah merupakan akad yang diperbolehkan (mubah) menurut syariat. Dasar
hukum wadi’ah, sebagai berikut:

Al Qur’an

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 283).

Hadis Nabi

Artinya: ”Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah
membalas khianat kepada orang yang menghianatimu.” (HR. Abu Daud).

Rukun Wadi’ah
Rukun wadi’ah adalah hal pokok yang harus ada dalam akad wadi’ah. Jika ada salah satu hal
pokok tadi yang tidak terpenuhi maka akad itu menjadi tidak sah. Rukun wadi’ah ada empat
yaitu:

1. Orang yang menitipkan (al-mudi’ atau muwaddi’).


2. Orang yang dititip (al-muda’atau mustauda’).
3. Barang titipan (wadi’ah).
4. Sighat ijab
Syarat-syarat Wadi’ah
Syarat orang yang menitipkan (muwaddi’) dan orang yang dititipi (mustaudi’)


 Baligh. Tidak sah melakukan akad dengan anak yang belum baligh. Namun,
ulama Hanafiyah memperbolehkan berakad dengan anak yang
sudah mumayyiz dengan persetujuan walinya.
 Berakal sehat. Tidak sah berakad dengan orang gila atau orang yang sedang
kehilangan akal karena mabuk.
Syarat barang yang dititipkan

Barang yang dititipkan harus berupa harta yang bisa disimpan dan diserahterimakan serta
memiliki nilai (qimah).

Syarat sighat (ijab kabul)

Ijab harus dinyatakan dengan ucapan dan perbuatan. Ucapan bisa sarih (jelas)
ataupun kinayah (sindiran). Contoh sighat sharih: “Saya titipkan barang ini
kepadamu.” Kabul “Saya terima titipan ini.” Sementara menurut ulama mazhab Maliki,
lafal kinayah harus disertai dengan niat.

Hukum Menerima Wadi’ah


Hukum menerima titipan ada empat macam yaitu:

1. Wajib, bagi orang yang percaya bahwa dirinya mampu dan sanggup menjaga amanah
terhadap barang yang dititipkan kepadanya, sementara tidak ada orang lain yang sanggup dan
dapat dipercaya menjaga barang titipan tersebut.
2. Sunnah, bagi orang yang percaya bahwa dirinya mampu dan sanggup menjaga amanah
terhadap barang yang dititipkan kepadanya.
3. Haram bagi orang yang percaya dan yakin bahwa dirinya tidak mampu menjaga amanah
terhadap barang
4. Makruh bagi orang yang percaya dirinya mampu menjaga barang titipan tetapi masih ada
unsur keraguan akan kemampuan itu.
Macam-macam Wadi’ah
Wadi’ah yad al-amanah
Wadi’ah yad al-amanah yaitu barang yang dititipkan oleh pihak pertama (penitip) kepada pihak
lain (perorangan/lembaga penitipan) untuk memelihara (menyimpan) barang tersebut.
Sedangkan, pihak lain (pihak yang menerima titipan) tidak dibebankan terhadap kerusakan atau
kehilangan pada barang titipan tersebut.

Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
Ia hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga
barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya. Sebagai kompensasi, maka penerima
titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan. Akad ini dalam
sistem perbankan syariah dikenal dengan Save Deposit Box.

Wadi’ah yad ad-dhamanah


Wadi’ah ini merupakan titipan barang/uang yang dititipkan oleh pihak pertama kepada pihak lain
untuk memelihara barang/uang tersebut dan pihak lain dapat memanfaatkannya dengan seizin
pemiliknya. Pihak lain/penerima titipan menjamin untuk mengembalikan titipan itu secara utuh
setiap saat saat pemilik menghendaki. Sebagai konsekuensinya, jika uang itu dikelola pihak lain
(misalnya bank) ternyata mendapatkan keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik
pihak yang menerima titipan.

Wadi’ah secara profesional banyak dipraktikkan oleh bank yang menggunakan sistem syariah,
seperti Bank Muamalah Indonesia (BMI). Bank Muamaah Indonesia
mengartikan wadi’ah sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh dikelola oleh bank.
Konsep wadi’ah yang dikembangkan oleh Bank Muamalat Indonesia adalah wadi’ah yad ad-
dhamanah yakni titipan dengan resiko ganti rugi.

Oleh sebab itu, wadi’ah yang oleh ulama Fikih disifati dengan yad al-amanah dimodifikasi
dalam bentuk yad ad-dhamanah. Konsekuensinya jika uang yang dititipkan di bank dan dikelola
oleh bank menghasilkan keuntungan, maka keuntungan itu menjadi milik bank seluruhnya.
Walaupun demikian, atas inisiatif bank sendiri, tanpa ada kesepakatan sebelumnya dengan
pemilik uang memberikan bonus kepada para nasabah. Contoh wadi’ah Bank Muamalat adalah
produk tabungan dan giro.

Jenis Barang Wadi’ah


Jenis barang yang dititipkan adalah barang yang termasuk kategori:

1. Harta
2. Dokumen penting (saham, surat perjanjian atau sertifikat).
Mengganti Barang Wadi’ah
Wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan. Maka, ia wajib menjaganya seperti
menjaga barangnya sendiri. Orang yang menerima titipan (mustaudi’) wajib mengembalikan
barang titipan jika si pemilik memintanya. Ia juga tidak wajib mengganti barang titipan jika ada
kerusakan, kecuali karena perilaku gegabah dari penerima titipan.

Anda mungkin juga menyukai