Anda di halaman 1dari 9

PENGERTIAN AL WADI’AH

1. Pengertian
Secara bahasa : wadi’ah ( ‫ )الودعة‬berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata
wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu.
Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
Secara harfiah : Al wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak kepihak yang
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendakinya.
2. Landasan hukum
Ulama fikih sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong
menolong antara sesama manusia. Sebagai landasannya firman allah di dalam al-quran.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanaya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Dasar dari ijma’, yaitu ulama sepakat diperbolehkannya wadi’ah. Ia termasuk ibadah sunnah.
Dalam kitab Mubdi disebutkan : “ijma’ dalam setiap masa memperbolehkan wadi’ah. Dalam
kitab Ishfah disebutkan: ulama sepakat bahwa wadi’ah termasuk ibadah sunnah dan menjaga
barang titipan itu mendapatkan pahala.
3. Rukun dan Syarat wadi’ah
Rukun Wadi’ah
Menurut ulama ahli fiqh imam abu hanafi mengatakan bahwa
rukun wadi’ah hanyalah ijab dan qobul[.Namun menurut jumhur ulama mengemukakan bahwa
rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1. Orang yang berakad
2. Barang titipan
3. Sighah, ijab dan kobul
Syarat Wadi’ah
Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi’, wadii’,dan wadi’ah. Muwaddi’
dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa.
Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam
kekuasaan/tangannya secara nyata.
1. Syarat-syarat benda yang dititipkan.
2. Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa disimpan. Apabila benda
tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air,
maka wadi’ah tidak sah apabila hilang, sehingga tidak wajib mengganti.
3. Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang
mempunyai nilai atau qimah dan dipandang sebagai maal, maupun najis. Seperti anjing
yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut
tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.
4. Syarat Shigat
Sighat adalah ijab dan qabul. Syarat shigat adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau
perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah).
Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus dengan disertai niat. Contoh : lafal
yang sharih: “Saya titipkan barang ini kepada anda”. Sedangkan lafal sindiran “berikan
kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab:” saya berikan mobil ini kepada anda”. Kata
“berikan” mengandung arti hibah dan wadiah (titipan).
1. Syarat orang yang menitipkan (al-mudi’)
Syarat orang yang menitipkan adalah sebagai berikut:
1. Berakal
2. Baligh. Wadiah tidak sah apabila dilakukan dengan anak yang belum baligh. Tetapi
menurut Hanafiah, baligh tidak menjadi syarat wadiah sehingga wadiah hukumnya sah
apabila dilakukan dengan anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya.
3. Syarat orang yang dititipi (al-muda’)
4. Berakal
5. Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak
menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia
sudah mumayyiz.
6. Malikiyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat, mampu
menjaga barang yang dititipkan kepadanya,
4. Hukum menerima benda titipan
Menurut keadaannya, hukum menerima wadi’ah ada empat. Yaitu :
1. a) Wajib
Bagi orang yang sanggup diserahi(dititipi) oleh orang lain dan hanya dia satu-satunya orang yang
dipandang sanggup, maka hukumnya wajib. Begitu juga, apabila orang yang menitipi itu dalam
keadaan darurat.
1. b) Sunnah
Bagi orang yang merasa sanggup diserahi suatu amanat, sehingga ia dapat menjaga barang yang
diamanatkan dengan sebaik-baiknya.
1. c) Makruh
Bagi orang yang sanggup, tetapi tidak percaya terhadap dirinya sendiri, apakah ia mampu
menjaga amanat itu dengan baik atau tidak, sehingga dimungkinkan ia tidak dapat
mempertanggung jawabkannnya.
1. d) Haram
Bagi orang yang benar-benar tidak sanggup untuk diserahi suatu amanat.
5. Macam macam wadiah
 Wadi’ah yad al-amanah (Trustee Defostery)
Al- wadi’ah Yad Al-Amanah, yaitu titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama
(penitip) kepada pihak lain (bank) untuk memelihara (disimpan) barang/uang tanpa mengelola
barang/ harta tersebut. Dan pihak lain (bank) tidak dibebankan terhadap kerusakan atau
kehilangan pada barang/harta titipan selama hal tersebut. Aplikasinya di perbankan yaitu: safe
deposit box.
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
– Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima
titipan.
– Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
– Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada
yang menitipkan.
– Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima
titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe
defosit box.
 Wadi’ah yad adh-dhamanah (Guarantee Depository)
Wadi’ah ini merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (nasabah) kepada
pihak lain (bank) untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain (bank) dapat
memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut
secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendaki. Konsekuensinya jika uang itu dikelola
pihak lain (bank) dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain
(bank) dan bank boleh memberikan bonus atau hadiah pada pihak pertama (nasabah) dengan
dasar tidak ada perjanjian sebelumnya. Aplikasinya di perbankan yaitu : tabungan dan giro tidak
berjangka.
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
– Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima
titipan.
– Karena dimanfaatkan,barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan
manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil
manfaat kepada si penitip.
– Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini.
6. Aplikasi wadiah dalam bank.
 Giro wadiah
Yang dimaksud dengan giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni
titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Dalam
konsep wadiah, yad al dhommanoh, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan atau
memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Hal ini berarti bahwa wadi’ah yad al
dhomanoh, mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak
sebagai pihak yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami.
Dengan demikian, pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan
imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.
 Tabungan Wadi’ah
Di samping giro, produk perbankan syariah lainnya termasuk produk penghimpunan dana
(funding) ada tabungan. Berdasarkan UU NO. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU NO.7
Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat
ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
Aplikasi Dalam Perbankan
1. Aplikasi Wadiah Yad Amanah
Dalam perbankan syariah wadiah yad amanah di aplikasikan untuk penitipan barang-
barang berharga dan membebankan fee atas penitipan barang tersebut. Adapun beberapa barang
yang bisa dititipkan antara lain:
1.1.Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat
penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan
barang apa saja kedalam kotak tersebut.
1.2.Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
1.3.Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai
uang)
2. Aplikasi Wadiah Yad Dhamanah
Dalam perbankan syariah akad wadiah yad dhamanah di aplikasikan kedalam dua jenis
produk, yaitu:
2.1.Giro
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya atau
dengan pemindahbukuan. Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional
(DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah,
yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
2.2.Giro Wadiah
Yang dimaksud dengan giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasar akad wadiah,
yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Dalam konsep
wadiah yad dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan
uang atau barang yang dititipkan. Hal ini berarti bahwa wadiah yad dhamanah mempunyai
implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang
meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian, pemilik
dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan atas penggunaan atau
pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.
Dalam kaitannya dengan produk giro. Bank syariah menerapkan prinsip wadiah yad
dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai penitip yang memeberikan hak kepada bank syariah
untuk menggunakan dan memenfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah
bertindak sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak untuk mengelola dana titipan dengan
tanpa mempunyai kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan pengelolaan dana tersebut.
Namun demikian, bank syariah diperkenankan memberikan insensif berupa bonusndengan
catatan tidak disyaratkan sebelumnya.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa giro wadiah mempunyai beberapa
ketentuan sebagai berikut:
1. Bersifat titipan.
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian bonus yang bersifat
sukarela dari pihak bank.
2.3.Tabungan
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu
yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu[3]. Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan
yang dijalankan berdasar prinsip-prinsip syariah.Berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-
MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan
prinsip Mudharabah dan Wadi’ah
1. Tabungan Wadiah
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasar akad wadiah, yakni
titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiapsaat jika pemiliknya menghendaki,
berkaitan dengan produk tabungan wadiah, bank syariah menggunakan akad wadiah yad
dhamanah. Dalam hal ini, setiap nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada
bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan
bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang yang disertai hak untuk
menggunakan dan memanfaatkan dana atau barang tersebut, sebagai konsekuensinya, bank
bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan tersebutnserta mengembalikannya kapan saja
pemiliknya menhendaki, di sisi lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil
penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang tersebut.
Mengingat wadiah yad dhamanah ini mempunyai implikasi hukum sama dengan qardh,
maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk membagihasilkan
keuntungan harta tersebut. Namun demikian, bank diperkenankan memberi bonus kepada
pemilik harta titipan sela tidak disyaratkan di muka. Dengan kata lain, pemberian
bonusnmerupakan kebijakan bank syariah semata dan bersifat sukarela.
Dari pembahasan di atas dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum dari tabungan
wadiah tersebut sebagai berikut:
1. Bersifat simpanan,
2. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan, dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian bonus yang bersifat
sukarela dari pihak bank.

PENGERTIAN MUSYARAKAH
Dalam prinsip syariah, Ekonomi memiliki berbagai jenis atau bisa disebut program kerjasama.
Agar transaksi bisa berjalan dengan baik, dan tidak merugikan pihak manapun. Karena masalah
muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat dan membawa finansial yang
menjadi hal sensitif pemicu perdebatan.
Selain Akad Mudharabah kita juga mengenal salah satu transaksi keuangan dalam syariah yang
biasa disebut Akad Musyarakah. Berikut ini penjelasan mengenai pengertian, dasar hukum,
syarat dan juga rukun dari akad musyarakah :
Pengertian Akad Musyarakah
Akad musyarakah atau biasa disebut Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara kedua belah
pihak atau kemungkinan lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak akan
memberikan kontribusi dana atau biasa disebut expertise, dengan memiliki kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung oleh bersama.
Dalam bahasa Arab sendiri, Musyarakah memiliki artian mencampur, dimana dalam hal ini pihak
kerjasama mencampurkan modal menjadi satu dengan modal yang lainnya sehingga tidak dapat
di pisahkan satu dan lainnya. Musyarakah merupakan istilah yang biasa dipakai dalam
pembiayaan Syariah, istilah dari musyarakah lainnya yaitu syirkah atau syarikah yang memiliki
arti kata syarikat ataupun sekutu Musyarakah sendiri dalam perbankan Islam sangat dipaham
sebagai suatu bagian kerjasama atau mekanisme yang dapat menyatukan kerja dan modal untuk
sebuah produksi barang maupun jasa. Tentunya produksi tersebut bisa bermanfaat bagi
masyarakat banyak dan juga diri sendiri, sama halnya dengan akad mudharabah.
Dasar Hukum Musyarakah
1. Al-Quran
“… maka mereka berserikat pada sepertiga….” (Q.S. An-Nisa:12)
“Dan, sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh.” (Q.S. Sad: 24).
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang- orang yang berserikat itu sebagian dari mereka
berbuat dzalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh dan amat sedikitlah mereka ini’’(QS. Shaad (38):24).
2. Al-Hadist
‫ ) رواهبه اببو‬.‫عن ابي هريرة رفعه قل ان ا يقول انا ثا لث الشريكين ما لم يخنن احد هما صا حبه فاذا خانه خرجت من بينهما‬
( ‫داود والحا كم عن ابي هريرة‬
Dari abu hurairah Rasulullah saw bersabda, sesungguhnya Allah azza wa jallah berfirman “aku
adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satu tidak ada yang
menghianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka”
(HR Abu Daud).Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah merupakan dalil lain diperbolehkan
nya praktik musyarakah. Hadis ini merupakan hadist Qudsi, dan kedudukannya sahih menurut
Hakim.
Di Hadis ini menjelaskan bahwa Allah memberikan pernyataan bahwa mereka yang bersekutu
dalam sebuah usaha akan mendapat perniagaan dalam arti Allah akan menjaganya selain itu
Allah akan memberikan pertolongan namun Allah juga akan melaknat mereka yang
mengkhianati perjanjian dan usahanya. Hal ini lantas memperjelas meskipun memiliki ikatan
yang bebas namun kita tidak bisa membatalkan sembarangan apa yang sudah menjadi
kerjasamanya.
3. Ijma
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al Mughni mengatakan bahwa “Kaum muslimin telah
berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan
pendapat dari beberapa elemennya”.
Syarat Syarat Akad Musyarakah
Adapun beberapa syarat dari akad ini menurut Usmani tahun 1998 adalah :
1. Syarat Akad
Dimana syarat akad terdiri dari empat jenis diantaranya 1). Syarat berlakunya akad atau biasa
disebut In’iqod, 2). Syarat sahnya akad atau biasa disebut Shiha, 3). Syarat terealisasikannya
akad atau Nafadz dan terakhir 4). Syarat Lazimm.
2. Pembagian proporsi keuntungan
Dalam hal ini akan ada beberapa proporsi keuntungan yang harus dipenuhi, diantaranya :
 Proporsi keuntungan yang telah dibagikan kepada para pihak terkait usaha haruslah
disepakati sejak awal kontrak atau akad. Jika proporsi belum ditetapkan maka akad tidak sah
menurut syariah dan berdosa (Baca: Prinsip Akuntansi Syariah)
 Rasio atau nisbah keuntungan untuk masing-masing pihak usaha memang sudah
ditetapkan sejak awal dan tidak berdasarkan dari modal yang disertakan. Tidak diperbolehkan
untuk menetapkan lumsum untuk partner tertentu semuanya harus adil. Tingkat keuntungan
tertentu tidak boleh dikaitkan dengan modal investasinya.
3. Penentuan Proporsi Keuntungan
Dalam akad musyarakah, proporsi keuntungan sudah dijelaskan pendapat dan dasarnya oleh para
ahli hukum islam, diantaranya :
 Imam malik dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa proporsi keuntungan dibagi di antara
mereka dimana sebelumnya menurut kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya saat akad
dan disesuaikan dengan proporsi modal yang disertakan. (Baca: Pasar Modal Syariah)
 Imam Ahmad berpendapat jika proporsi keuntungan dapat pula berbeda dari proporsi
modal yang sudah disertakan masing-masing pihak.
 Selain itu ada dari Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa proporsi keuntungan bisa
berbeda dari proporsi modal di dalam sebuah kondisi normal.
4. Pembagian Kerugian
Kerugian merupakan hal yang tidak diinginkan, namun para ahli hukum tetap membahasnya
bilamana transaksi tersebut mengalami kerugian saat menjadi usaha. Dalam aturannya para mitra
harus siap menanggung kerugian sesuai modal dan dana yang sudah diinvestasikan dalam usaha
tersebut. (Baca: Prosedur Pengelolaan Dana Kas Kecil)
5. Sifat modal
Sifat modal merupakan hal selanjutnya yang dibahas oleh ahli hukum Islam, dimana mereka
berpendapat bahwa modal yang diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal likuid
bukan barang. (Baca: Metode Pencatatan Persediaan Barang Dagang)
6. Manajemen Musyarakah
Prinsip normal dari musyarakah yaitu bahwa setiap mitra bisa memiliki hak untuk ikut serta
dalam manajemen dan bekerja untuk usaha patungan ini. Tetapi, para mitra dapat juga sepakat
bahwa manajemen perusahaan akan dilakukan oleh salah satu dari mereka, dan mitra lain tidak
akan menjadi bagian manajemen dari musyarakah tersebut.
7. Penghentian Musyarakah
Dalam sebuah akad yang tidak terikat seperti ini akan terjadi pemberhentian musyarakah apabila:
 Jika salah satu pihak atau mitra meninggal, maka musyarakah bisa berjalan dan kontrak
dengan almarhum akan diberhentikan tanpa menghentikan usaha tersebut.
 Jika setiap mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja setelah
menyampaikan pemberitahuan kepada mitra lain mengenai hal ini.
an tanggung jawab akan ditentukan dengan kesepakatan bersama dan tidak tergantung pada porsi
modalnya, begitu juga dengan keuntungan yang akan didapat. Mereka tidak akan bergantung dari
porsi modal di sesuaikan dengan perjanjian di muka.
Setiap mitra dari Syirkah Al-Inan maka akan bertindak sebagai wakil dibandingkan mitra yang
lainnya dalam hal modal, serta jenis pekerjaan yang dilakukan untuk keperluan transaksi
bisnisnya. Selain itu ciri khas lainnya adalah setiap mitra tidak akan saling memberikan jaminan
pada masing-masing mitra bisnisnya, meskipun dalam bentuk barang atau persediaan sejenisnya.
(Baca: Metode Penilaian Persediaan)
Akad ini bersifat tidak mengikat dan pada saat tertentu, mitra dan partner bisa mengundurkan
diri dan mencoba memutus kontrak. Namun kembali lagi, anda harus menggunakan prosedur
yang teratur agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kerugian mendadak. Selain itu cara
mengundurkan diri pun menggunakan kerjasama dan penjualan saham, bukan memutus bisnis
secara sepihak.
2. Syirkah Al-Mufawadah
Dalam akad ini, setiap mitra harus menyertakan modal yang sama nilainya untuk mendapatkan
profit yang sesuai dengan modalnya. Begitupun jika mengalami kerugian dan harus menanggung
bersama sesuai modal. Para Ulama dari Mazhab Hanafi menyatakan bahwa setiap partner saling
menjamin untuk garansi bagi partner lainnya.
Sedangkan Ulama dari Mazhab Hanafi dan Zaidi memandang bahwa bentuk partnership
merupakan hal yang legal, sedangkan Mazhab Hanbali dan Shafi’i memandang bahwa yang
dipahami Mazhab Hanafi tidak berdasar dan ilegal. Sesungguhnya Syirka Al-Mufawadah cukup
sulit di aplikasikan, karena modal kerja dan keahlian dari masing-masing partner berbeda-beda.
Sedangkan untuk mewujudkan bisnis ini, porsi yang mereka miliki harus sama beserta
persediaan yang melingkupinya. (Baca: Pengertian Akuntansi Persediaan)
Rukun Al Musyarakah
Rukun dari akad Musyarakah terbagi menjadi tiga, diantaranya :
1. Pelaku akad yakni para mitra usaha
2. Objek akad, yakni modal atau mal, kerja atau dharabah dan keuntungan atau ribh
3. Sedangkan terakhir yakni ijab dan qabul atau disebut Shighah
Akad musyarakah atau biasa disebut al-musyarakah yakni suatu usaha yang menjelaskan dimana
kedua belah pihak yang bertransaksi bahwa keuntungan dan resiko yang ada pada usaha akan
ditanggun bersama sesuai dengan kesepakatan bersama. Jika ingin mengenal akad musyarakah
anda bisa pergi ke bank untuk melihat program sederhana yang mereka sediakan.

Anda mungkin juga menyukai