Anda di halaman 1dari 10

Wadhi'ah

Pengantar Perbankan Syariah

a ik 02
i p 0
- R .0 1 .0
2 .02
2
Pembahasan Tentang
Wadhi'ah/penitipan

Dalam bisnis kontemporer, masalah penitipan modal pada


lembaga perbangkan dengan berbagai macam sistem yang
biasanya melalui sistem tabungan, giro dan deposito. Kegiatan
ekonomi islam banyak sekali ragam dan jenisnya, salah satu
yang paling penting nyata dan dikenal orang dari zaman ke
zaman adalah kegiatan jual beli, perdagangan, atau
bisnis.Kegiatan bisnis lainnya yang dilakukan perbankan syariah
adalah pemanfaatan penitipan barang dari masyarakat yang
mempunyai nilai ekonomis di bank syariah dalam tempo waktu
tertentu. Orientasi utama kegiatan ekonomi tersebut
menjalankan syiar islam khususnya bermuamalah juga untuk
mencari keuntungan dengan tetap memperhatikan kaidah-
kaidah keagamaan yaitu kaidah ekonomi syariah.
A. Pengertian Akad wadiah
Seperti dikatakan qabiltu minhu dzalika al-malliyakuna wadi’ah ‘indi yang berarti aku menerima
harta tersebut darinya. Sedangkan AlQur’an memberikan arti wadi’ah sebagai amanat bagi orang
yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali.

Wadi’ah dipraktekkan pada bank-bank yang menggunakan sistem syariah, seperti Bank
Muamalat Indonesia (BMI, Bank Islam).
Bank Muamalat Indonesia mengartikan wadi’ah sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip
boleh digunakan oleh bank. Konsep wadi’ah yang dikembangkan oleh BMI adalah wadi’ah yad
ad dhamanah (titipan tentang resiko ganti rugi).

Al-Wadi’ah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan atau


meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan
dijaga. Dari aspek teknis, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu
pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki.
B. Jenis-jenis wadiah
Akad berpola titipan (wadi’ah) ada dua, yaitu Wadi’ah yad Amanah dan Wadi’ah yad
Dhamanah.

-Wadi’ah yad Amanah yaitu barang yang dititipkan sama sekali tidak boleh digunakan oleh
pihak yang menerima titipan, sehingga dengan demikian pihak yang menerima titipan tidak
bertanggung jawab terhadap risiko yang menimpa barang yang dititipkan. Penerima titipan
hanya punya kewajiban mengembalikan barang yang dititipkan pada saat diminta oleh pihak
yang menitipkan secara apa adanya.
-Wadi’ah yad Dhamanah adalah titipan terhadap barang yang dapat dipergunakan
atau dimanfaatkan oleh penerima titipan. Sehingga pihak penerima titipan
bertaggung jawab terhadap risiko yang menimpa barang sebagai akibat dari
penggunaan atas suatu barang, seperti risiko kerusakan dan sebagainya. Tentu saja
penerima titipan wajib menegmbalikan barang yang dititipkan pada saat diminta oleh
pihak yang menitipkan.
C. Rukun dan syarat wadiah
1. Rukun Wadi’ah
Menurut Hanafiah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan
menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada tiga: Barang yang dititipkan
(wadiah).
-Orang yang menitipkan (mudi’ atau muwaddi’)
-Orang yang menerima titipan (muda’ atau mustawda’)
-Ijab qabul (sighat)

2. Syarat-Syarat Wadi’ah
-Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk disimpan. Apabila
benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke
dalam air, maka wadi’ah tidak sah sehingga apabila hilang, tidak wajib mengganti. Syarat
ini dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiyah.

-Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang
mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai mal, walaupun najis. Seperti anjing
yang bisa dimanfaatkan untuk berburu, atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut
tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.
D. Landasan Hukum Wadiah
1) Landasan Hukum dari Al Quran:
Firman Allah SWT QS An-Nisa (4) : 58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. ”

2) Landasan Hukum dari Hadist


Hadist riwayat Abu Dawud dan Al Tirmidzi
“Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang memberi amanat kepadamu dan
jangnlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu”

3) Hukum menerima benda titipan Hukum


menerima benda titipan ada empat macam yaitu
sunat, haram, wajib dan makruh.
E. Keuntungan (Laba) dalam Wadi’ah.
Ulama berbeda pendapat mengenai pengambilan laba atau bonusnya. yaitu :
Menurut ulama Syafi’iyah, tidak boleh mengambil keuntungan atau bonus
yang tidak disyaratkan diawal akad dari pemanfaatan barang yang dititipkan
dan akadnya bisa gugur.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah boleh menerima laba yang diberikan
oleh orang yang dititipi.
Sedangkan apabila imbalan yang diterima dari bank berupa bunga, maka
ulama Hanafiah mengatakan keuntungan tersebut harus disedekahkan,
sedangkan menurut ulama Maliki keuntungan tersebut harus diserahkan ke
baitul mal (kas negara).
F. Penerapan Wadiah dalam Sistem Perbankan
Syariah di Indonesia
Wadiah merupakan salah satu sumber modal dalam perbakan syariah.
sumber modal yang terbesar selain modal dasar, maka wadi`ah dapat dibagi
kedalam, Wadi`ah Jariyah/ Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir
keduanya termasuk kedalam titipan yang sifatnya biasa. Kedua simpanan ini
mempunyai karakteristik yaitu harta atau uang yang dititipkan boleh
dimanfaatkan, pihak bank boleh memberikan imbalan berdasarkan
kewenangan menajemennya tanpa ada perjanjian sebelumnya dan simpanan
ini dalam perbankan dapat disamakan dengan giro dan tabungan.
Sesi Tanya Jawab
Penutup/Kesimpulan
Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada perjanjian
dimana pelanggan menyimpan uang di bank dengan tujuan agar
bank bertanggungjawab menjaga uang tersebut dan menjamin
pengembalian uang tersebut bila terjadi tuntutan dari nasabah.
Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip wadiah adalah
semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut akan
menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan
bagi nasabah, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap
harta dan fasilitas-fasilitas giro lain.
Pada dunia perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal
ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan
sebagai upaya merangsang semangat masyarakat dalam
menabung dan sekaligus sebagai indikator kesehatan bank.
Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak disyaratkan
sebelumnya dan secara jumlah tidak ditetapkan dalam nominal atau
persentasi. Sehingga akad wadhi’ah yang dilakukan sah hukumnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat ulama hanafi dan maliki.

Anda mungkin juga menyukai