Al-Baqarah : 283
“ Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya(utangnya) dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan
kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor
(berdosa), Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Hukum dan Dalil Wadiah
Hadist :
Sabda Nabi Saw : ”Serahkanlah amanat kepada
orang yang mempercayai anda dan janganlah anda
mengkhianati orang yang mengkhianati anda”
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW bersabda : “ Tunaikanlah amanat ( titipan )
kepada yang berhak menerimanya dan janganlah
membalas khianat kepada orang yang telah
mengkhianatimu.”
2. Landasan syariah dalam praktik al-wadi’ah adalah:
(a) Al-Quran:
1) (QS. An-Nisa: 58: (Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk
menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya);
2) QS. Al-Baqarah: 283: (Jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya).
(b) Al-Hadits:
1) HR. Abu Daud: (Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw
bersabda: sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak
menerimanya dan jangan membalas khiyanat kepada orang yang telah
menghianatimu). Hadits tersebut menurut At-Turmuzi adalah hadits
“hasan” sedang Imam Al-Hakim mengkategorikan sebagai hadits sahih.
2) HR. At-Thabrani, diriwayatkan: Ibn Umar berkata bahwa Rasulullah
telah bersabda: Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak
beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci).
(c) Al-Ijma’ (Konsensus): Para tokoh ulama sepanjang zaman telah
melakukan ijma’ (consensus) terhadap legitimasi al-wadi’ah, karena
kebutuhan manusia terhadap hal tersebut jelas terlihat. (Lihat: Ibn
Qudamah dalam Al-Mughni dan Imam As-Sarkhasi dalam Al-Mabsuth).
Rukun dan Syarat Wadiah
Menurut Imam Abu Hanafi, rukun wadiah hanya ijab
dan qabul.
Sedangkan menurut jumhur ulama rukun wadiah ada
tiga, yaitu :
Wadiah. Yang dimaksud dengan wadiah disini adalah
barang yang dititipkan, adapun syaratnya adalah :
Barang yang dititipkan harus dihormati
(muhtaramah) dalam pandangan syariat.
Barang titipan harus jelas dan bisa dipegang atau
dikuasai. Maksudnya adalah barang yang dititipkan
dapat diketahui identitasnya dan dapat dikuasai untuk
dipelihara.
Rukun dan Syarat Wadiah
Sighat (akad), adapun syaratnya adalah :
Lafadz dari kedua belah pihak dan tidak ada penolakannya dari
pihak lainnya. Dan lafadz tersebut harus dikatakan di depan
kedua belah pihak yang berakad (Mudi’ dan Wadii’)
Orang yang berakad, yaitu : Orang yang menitipkan (Mudi’)
dan Orang yang dititipkan (Wadii’). Adapun syarat dari orang
yang berakad adalah :
Baligh
Berakal
Kemauan sendiri, tidak dipaksa.
Dalam mazhab Hanafi baligh dan telah berakal tidak dijadikan
syarat dari orang yang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan
oleh walinya boleh untuk melakukan akad wadiah ini.
3. Rukun Al-Wadi’ah:
a. Menurut Hanafiah: Rukun wadi’ah menurutnya hanya satu, yaitu
adanya pernyataan kehendak (sighat: ijab (ungkapan kehendak
menitipkan barang dari pemiliknya) dan qabul (ungkapan
kesiapan menerima titipan tersebut oleh pihak yang dititipi).
b. Namun menurut Jumhur ulama Fiqh: Rukun wadi’ah ada tiga: (1)
ada pelaku akad (( ;)العاقدان2) barang titipan; dan (3) pernyataan
kehendak (sighat ijab dan qabul) baik dilakukan secara lafad atau
hanya tindakan.
4. Syarat Al-Wadi’ah:
a. Syarat wadi’ah menurut Hanafiah adalah pihak pelaku akad
disyaratkan harus orang yang berakal, sehingga sekalipun anak
kecil namun sudah dianggap telah berakal dan mendapat izin dari
walinya, akad wadi’ahnya dianggap sah.
b. Jumhur mensyaratkan dalam wadi’ah agar pihak pelaku akad
telah balig, berakal dan cerdas, karena akad wadi’ah
mengandung banyak resiko, sehingga sekalipun berakal dan
telah balig namun tidak cerdas menurut Jumhur akad wadi’ahnya
tidak dianggap sah.
Pada prinsip dasarnya, pihak penerima simpanan adalah yad amanah
(tangan amanah) yang berarti bahwa “ia tidak bertanggung jawab atas
kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama
bukan dari akibat kelalaian atau kecerobohannya dalam memelihara
barang titipan tersebut”.
Namun pada era perekonomian modern, tidak mungkin si penerima
titipan tersebut akan meng-idle-kan asset tersebut, melainkan akan
menggunakan dalam aktifitas perekonomian tertentu. Sekalipun tetap
disyaratkan agar ia meminta izin kepada pihak penitip barang tersebut
untuk kemudian menggunakannya.
Dalam kondisi seperti ini, al-wadi’ah tidak lagi berarti yad amanah tapi
berobah menjadi yad dhamanah (tangan penanggung), yang
bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kehilangan atau
kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.
Skema al-wadi’ah yad al-amanah:
(Penitip, (Penyimpan,
Muwaddi) Mustawda’)
Titip barang/uang