Anda di halaman 1dari 5

KAIDAH KE.

14
KERUSAKAN BARANG DI TANGAN
ORANG YANG DIBERI AMANAH

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Belas

‫ض ُم ْونٌ ُم ْط َل ًقا‬ ْ ‫ف فِي َي ِد ْاألَ ِم ْي ِن َغ ْي ُر َم‬


ْ ‫ َوفِي َي ِد ال َّظال ِِم َم‬,‫ض ُم ْو ٍن إِ َذا َل ْم َي َت َعدَّ ى أَ ْو ُي َف ِّر ْط‬ ُ ‫ال َّت َل‬

Kerusakan Barang Di Tangan Orang Yang Diberi Amanah Tidak Mengharuskan


Pembayaran Ganti Rugi Jika Ia Tidak Melanggar Atau Melalaikan. Dan Wajib
Membayar Ganti Rugi Secara Mutlak Jika Barang Tersebut Rusak Di Tangan
Orang Yang Zalim

Kaidah ini menjelaskan perbedaan antara harta yang ada di tangan al-amîn (orang
yang diberi amanat) dengan harta yang ada di tangan orang yang zhalim. Yaitu
tentang ada tidaknya kewajiban mengganti harta tersebut jika mengalami
kerusakan di tangannya.

Al-amîn adalah orang yang mendapatkan kepercayaan untuk membawa harta


orang lain dengan izin pemiliknya, atau dengan izin syari’at, atau dengan izin wali
pemilik harta tersebut.

Di antara yang masuk dalam kategori al-amîn adalah :


1. Al-wadî’ (orang yang dititipi barang)

79
2. Al-wakîl (orang yang diberi kepercayaan oleh pemilik harta untuk
memperdagangkan sejumlah harta, menyewakannya, atau bentuk tasharruf (
aktivitas yang lain)

3. Al-murtahin (pembawa barang gadaian)

4. Al-ajîr (penyewa barang)

5. Asy-syarîk (salah satu dari para pemilik suatu barang yang dimiliki secara
bersama)

6. Al-mudharab (orang yang dipercaya oleh pemilik barang untuk


memperdagangkannya, dengan memperoleh bagi hasil dari laba yang
diperoleh)

7. Al-multaqith (orang yang mendapatkan barang temuan)

8. Nazhir wakaf (yang ditugaskan mengelola wakaf)

9. Pengurus anak yatim

10. Pengurus orang majnûn (gila)

11. Pengurus orang yang kurang akal

12. Al-washiy (orang yang mendapatkan wasiat untuk melakukan tasharruf


terhadap harta tertentu setelah pemiliknya meninggal)

13. Amînul Hakim (orang yang mendapatkan kepercayaan dari hakim)

80
Orang-orang yang mempunyai status sebagai al-amîn tersebut tidak dibebani
kewajiban untuk mengganti atau menanggung ganti rugi jika barang yang
diamanahkan kepadanya rusak. Yang demikian ini merupakan konsekuensi
amanah yang telah ia pikul dalam membawa dan menjaga harta tersebut.
Kerusakan barang yang terjadi di tangannya itu seolah-olah terjadi di tangan
pemiliknya.

Namun demikian, jika kerusakan itu terjadi karena ta’addi (pelanggaran terhadap
harta) atau tafrîth (melalaikan penjagaan harta); maka dalam hal ini ia wajib
mengganti atau membayar ganti rugi atas kerusakan yang terjadi tersebut.

Adapun perbedaan antara ta’addi dan tafrîth adalah bahwa ta’addi merupakan
tindakan mengerjakan sesuatu yang tidak diperbolehkan terhadap harta yang
diamanahkan, berupa memanfaatkan atau melakukan tasharruf terhadap harta
tersebut. Adapun yang dimaksud dengan tafrîth adalah meninggalkan sesuatu
yang seharusnya ia kerjakan terhadap harta yang diamanahkan, yaitu melalaikan
penjagaan terhadap harta tersebut.

Apabila harta tersebut rusak dikarenakan ta’addi atau tafrîth dari orang yang
diserahi amanah tersebut, maka ia wajib mengganti atau membayar ganti rugi atas
kerusakan tersebut.

Berkaitan dengan penerapan kaidah ini, para Ulama’ berbeda pendapat tentang
harta yang rusak di tangan musta’îr (peminjam barang). Banyak ahli ilmu yang
berpendapat bahwa jika barang yang dipinjam mengalami kerusakan di tangan
peminjam, maka ia wajib mengganti atau membayar ganti rugi secara mutlak, baik
kerusakan tersebut terjadi karena ta’addi atau tafrîth, ataukah tidak. Dan inilah
pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.[1]

81
Sebagian Ulama’ yang lain berpendapat bahwa seseorang yang menerima
pinjaman dari orang lain, maka ia termasuk dalam kategori orang yang menerima
amanat. Apabila barang yang ia pinjam tersebut rusak di tangannya, maka ia tidak
wajib mengganti atau membayar ganti rugi, kecuali jika kerusakan itu terjadi karena
ta’addi atau tafrîth darinya. Dan inilah pendapat yang benar. Wallâhu a’lam.[2]

Adapun orang yang membawa harta atau benda orang lain tanpa alasan yang
benar, maka ia wajib mengganti atau membayar ganti rugi kepada pemilik harta
tersebut secara mutlak apabila harta tersebut mengalami kerusakan di tangannya.
Sama saja apakah kerusakan itu terjadi karena ta’addi, atau tafrîth, ataukah tidak.
Yang demikian ini dikarenakan ia telah melakukan pelanggaran secara zhalim
kepada hak milik orang lain. Di antara yang masuk dalam kategori ini adalah :

1. Orang yang melakukan ghashab (menggunakan barang orang lain tanpa izin
pemiliknya).

2. Orang yang khianat dalam amanah yang diembankan kepadanya.

3. Orang yang menolak untuk mengembalikan barang yang dititipkan kepadanya


kepada pemilik harta tersebut tanpa alasan yang benar.

4. Penemu luqathah (barang temuan), kemudian ia tidak mau mengumumkan


penemuan barang tersebut.

5. Orang yang di rumahnya mendapatkan suatu harta atau benda milik


tetangganya kemudian ia tidak mau mengembalikannya atau tidak mau
mengkhabarkan kepada tetangganya tersebut tanpa alasan yang benar. Maka
orang yang masuk dalam kategori ini wajib secara mutlak untuk mengganti
atau membayar ganti rugi, jika harta atau benda tersebut mengalami
kerusakan di tangannya.

82
Wallâhu a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-


Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin
Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan


Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1] Bidâyatul Mujtahid 2/313. Al-Umm 3/250. Masâ-il Ahmad libnihi `Abdillâh hal.
308. Al-Furû’ 4/474.
[2] Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah. (Al-Mabshûth 11/134. Badâ-i’us
Shanâ-i’ 6/117)

83

Anda mungkin juga menyukai