Anda di halaman 1dari 6

KAIDAH KE.

15
TIDAK BOLEH MELAKUKAN SESUATU YANG
MEMBAHAYAKAN

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kelima Belas

َ ‫ض َر َر َوالَ ضِ َر‬
‫ار‬ َ َ‫ال‬

Tidak Boleh Melakukan Sesuatu Yang Membahayakan Diri Sendiri Ataupun Orang
Lain

Kaidah yang mulia ini sesuai dengan lafadz sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Ibnu Mâjah, dan lainnya:

َ ‫ض َر َر َوالَ ضِ َر‬
‫ار‬ َ َ‫ال‬

Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang
lain. [1]

Dari sini dapat kita ketahui bahwa dharar (melakukan sesuatu yang
membahayakan) dilarang di dalam syari’at ini. Maka, tidak halal bagi seorang
Muslim mengerjakan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri atau
membahayakan saudaranya sesama Muslim, baik berupa perkataan atau
perbuatan, tanpa alasan yang benar. Dan semakin kuat larangan tersebut jika

84
dharar itu dilakukan kepada orang-orang yang wajib dipergauli secara ihsân,
seperti karib kerabat, isteri, tetangga, dan semisalnya.

Di antara penerapan kaidah ini adalah :


1. Seseorang dilarang menggunakan barang miliknya jika hal itu menimbulkan
madharat (gangguan atau bahaya) kepada tetangganya. Meskipun ia
mempunyai hak milik secara penuh terhadap barang tersebut, namun dalam
pemanfaatannya haruslah diperhatikan supaya tidak memadharatkan,
mengganggu, ataupun merugikan tetangganya.

2. Tidak diperbolehkan mengadakan gangguan di jalan-jalan kaum Muslimin, di


pasar-pasar mereka, ataupun di tempat-tempat kaum Muslimin yang lain. Baik
gangguan itu berupa kayu atau batu yang menggangu perjalanan, atau lobang
galian yang bisa membahayakan, atau bentuk gangguan lainnya. Karena
semuanya itu bisa menimbulkan madharat kepada kaum Muslimin.[2]

3. Di antara bentuk dharar yang paling besar adalah jika seorang suami
menimbulkan madharat kepada isterinya dan menjadikannya merasa susah,
dengan tujuan supaya si isteri minta diceraikan, sehingga si suami bisa
mengambil harta dari si istri sebagai konsekuensi permintaan cerainya. Ini
termasuk perbuatan dharar yang paling besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :

َّ‫ض ِّيقُوا َع َل ْي ِهن‬


َ ‫اروهُنَّ لِ ُت‬ َ ‫َوالَ ُت‬
ُّ ‫ض‬

Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)


mereka. [ath-Thalâq/65:6]

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

85
ً ‫َو َال ُت ْمسِ ُكوهُنَّ ضِ َر‬
‫ارا لِ َت ْع َتدُوا‬

Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan


demikian kamu menganiaya mereka. [al-Baqarah/2:231]

4. Masing-masing pihak dari pasangan suami isteri dilarang menimbulkan


madharat kepada yang lain, berkaitan dengan anak mereka berdua.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‫ار َوالِدَ ةٌ ِب َو َل ِدهَا َوالَ َم ْولُو ٌد َل ُه ِب َو َل ِد ِه‬ َ ‫الَ ُت‬


َّ ‫ض‬

Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga


seorang ayah karena anaknya. [al-Baqarah/2:233]

5. Larangan menimbulkan madharat dalam akad hutang piutang, baik dari sisi
orang yang berhutang, penulis akad, ataupun saksinya. Sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala :

َ َ‫ِب َوال‬
‫ش ِهي ٌد‬ ٌ ‫ار َكات‬ َ ‫َوالَ ُي‬
َّ ‫ض‬

Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. [al-Baqarah/2:282]

Kata kerja ‫ار‬


َّ ‫ض‬
َ ‫ ُي‬pada ayat di atas ada kemungkinan berbentuk kata kerja aktif,
sehingga bermakna ‘mempersulit’. Dengan demikian makna ayat tersebut
adalah bahwa saksi dan penulis akad dilarang menimbulkan madharat kepada
pemilik hak (penghutang) dengan mempersulit kepadanya.

86
Dan ada kemungkian kata kerja َّ‫ضار‬
َ ‫ ُي‬tersebut berbentuk kata kerja pasif
sehingga bermakna ‘dipersulit’. Dengan demikian makna ayat tersebut adalah
bahwa pemilik hak dilarang menimbulkan madharat kepada saksi dan penulis
akad dengan mempersulit keduanya. Kedua kemungkinan tersebut sama-
sama mempunyai makna yang benar. \

6. Seseorang yang mewariskan hartanya dilarang merugikan sebagian dari ahli


warisnya. Demikian pula orang yang memberikan wasiat dilarang menimbulkan
madharat kepada orang yang diberikan wasiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :

َ ‫وصى ِب َها أَ ْو َد ْي ٍن َغ ْي َر ُم‬


‫ضار‬ َ ‫مِنْ َب ْع ِد َوصِ َّي ٍة ُي‬

Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). [an-Nisâ’/4:12]

Dengan demikian, setiap madharat yang ditimbulkan kepada seorang Muslim


termasuk perkara yang diharamkan.

Kemudian, jika seseorang dilarang menimbulkan madharat kepada dirinya sendiri


ataupun orang Muslim lainnya, maka sebaliknya ia diperintahkan untuk
memunculkan ihsân dalam setiap amalan yang ia kerjakan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:

َ‫ِب ا ْل ُم ْحسِ نِين‬ َ َّ َّ‫َوأَ ْحسِ ُنوا إِن‬


ُّ ‫ّللا ُيح‬

Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang


berbuat baik. [al-Baqarah/2:195]

87
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ َوإِ َذا َذ َب ْح ُت ْم َفأ َ ْحسِ ُن ْوا‬,‫ َفإِ َذا َق َت ْل ُت ْم َفأ َ ْحسِ ُن ْوا ا ْلقِ ْت َل َة‬,‫ئ‬ ٍ ‫ش ْي‬ َ ِّ‫سانَ َع َلى ُكل‬ َ ‫ّللا َك َت َب ْا ِإل ْح‬َ َّ‫إِن‬
َ ‫ َو ْل ُي ِح َّد أَ َح ُد ُك ْم‬,‫ال ِّذ ْب َح َة‬
‫ش ْف َر َت ُه َو ْل ُي ِر ْحَّ َذ ِب ْي َح َت ُه‬

Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan ihsân (kebaikan) dalam segala


hal. Maka jika kamu membunuh, berbuat baiklah dalam membunuh. Dan jika kamu
menyembelih, maka berbuat baiklah dalam menyembelih, hendalah ia tajamkan
pisaunya dan menenangkan sembelihannya.[3]

Dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk


berbuat ihsân, sampai dalam perkara menghilangkan nyawa. Hal ini menunjukkan
pentingnya bagi seseorang untuk senantiasa memperhatikan konsep ihsân dalam
setiap aktivitas yang ia kerjakan.

Wallâhu a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-


Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin
Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan


Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Imam Ahmad 1/313. Ibnu Mâjah dalam Kitab Al-Ahkâm, Bab Man banâ
bihaqqihi mâ yadhurru jârahu, No. 2341. At-Thabrâni dalam Al-Kabir, No.
11806 dari Jâbir al-Jâ’fi dari Ikrîmah dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu. Hadits
ini mempunyai banyak syâhid sehingga semakin kuat. Di mana hadits ini

88
diriwayatkan dari Ubadah bin Shâmit, Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, Jâbir
bin `Abdillâh, `Aisyah, Tsa’labah bin Abi Mâlik al-Qurazhi, dan Abu Lubâbah
Radhiyallahu anhum.

[2]. Lihat Asy-Syarhul-Kabîr ma’al-Inshâf 13/195.

[3]. HR. Muslim dalam Kitab Ash-Shaid, Bab Al-Amru bi Ihsâni Adz-Dzabhi, no.
1955, dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu

89

Anda mungkin juga menyukai