Anda di halaman 1dari 5

KAIDAH KE.

8
HUKUM SYAR’I TIDAK AKAN SEMPURNA KECUALI
TERPENUHI SYARAT DAN RUKUNNYA

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedelapan

‫ ُو ُج ْو ُد ش ُُر ْو ِط َها َوأ َ ْركَا ِن َها َوا ْن ِتفَا ُء َم َوا ِن ِع َها‬: ‫ص ْو ِليَّةُ َوا ْلفُ ُر ْو ِعيَّةُ الَ ت َ ِت ُّم ِإالَّ ِبأ َ ْم َري ِْن‬
ُ ُ ‫األ َ ْحكَا ُم اْأل‬

Hukum-Hukum Syar’i, Baik Perkara Ushul (Pokok) Maupun Furu’ (Cabang) Tidak
Akan Sempurna Kecuali Dengan Dua Hal : Terpenuhinya Syarat Dan Rukunnya
Serta Tidak Adanya Mawâni’ (Penghalang Akan Keabsahannya)

Kaidah agung ini mencakup permasalahan-permasalahan dalam syari‟at, baik


yang bersifat ushûl (permasalahan pokok) maupun furu‟ (permasalahan cabang).

Di antara sisi manfaat terbesar kaidah ini bahwa kita banyak menjumpai nash-
nash (dalil-dalil) memuat janji akan masuk surga dan selamat dari neraka dengan
melaksanakan amalan-amalan tertentu. Begitu juga banyak nash-nash yang
berisi ancaman masuk neraka, terhalang masuk surga atau ancaman tidak bisa
mendapatkan sebagian nikmat surga. Untuk memahami nash-nash tersebut
tidaklah cukup dengan melihat makna lahiriahnya (tekstual) semata (tanpa
menghubungkannya dengan dalil dan kaidah-kaidah syar‟i yang lain).

Demikian pula, nash-nash tentang ancaman bagi seseorang yang mengerjakan


suatu larangan tertentu bahwa ia akan dimasukkan ke neraka atau diharamkan

51
masuk surga atau diharamkan dari sebagian nikmat surga, maka realisasi nash-
nash itu pun harus dikaitkan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang telah
ditetapkan dan disertai dengan tidak adanya mawâni‟ (faktor-faktor
penghalangnya).

Dengan penjelasan tersebut, maka terjawablah pertanyaaan dan masalah


mengenai maksud banyak nash-nash yang memuat janji dan ancaman.

Oleh karena itu, jika ada yang berkata : “Telah disebutkan dalam syari‟at bahwa
seseorang yang mengucapkan perkataan tertentu atau mengerjakan amal
tertentu, maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Apakah sudah cukup
mengerjakan yang demikian itu bagi seseorang ?”

Maka jawabannya adalah bahwa kita wajib mengimani seluruh nash dalam a-
Qur`ân dan Hadits. Maka, selain mengerjakan amal perbuatan yang menjadi
sebab seseorang dijanjikan masuk surga, harus pula disertai dengan keimanan,
dan melakukan perbuatan-perbuatan lain yang disyaratkan dalam syari‟at.
Ditambah lagi, mawâni‟ (faktor-faktor penghalang) mesti nihil semisal murtad
(keluar dari Islam) atau penghalang lain yang menghapuskan amal kebaikan.

Demikian pula jika seseorang berkata, “Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan
dalam kitab-Nya perihal balasan masuk neraka kekal bagi orang yang membunuh
seorang mukmin secara sengaja, apakah pasti faktanya pasti demikian ?

Maka jawabannya, bahwa perbuatan membunuh seorang mukmin secara


sengaja termasuk faktor penyebab yang mengharuskan si pelaku masuk neraka
kekal di dalamnya. Akan tetapi dalam hal ini, jika yang melakukannya adalah
seorang mukmin, maka dijumpai adanya penghalang pada dirinya (untuk kekal
abadi di neraka, red) yaitu keimanannya. Nash-nash tentang persoalan ini datang
secara mutawâtir (banyak sekali). Dan para ulama Salaf telah bersepakat bahwa

52
orang yang mempunyai keimanan dan tauhid yang benar, maka ia tidak akan
kekal abadi di neraka jika ia masuk ke sana.

Atas dasar itu, nash-nash lain yang semisal dengannya, maka cara
memahaminya adalah sebagaimana contoh di atas.

Bertolak dari kaidah ini pula, Ahlussunnah wal jama‟ah menyatakan adakalanya
terkumpul cabang keimanan dan cabang kekufuran atau kemunafikan pada diri
seseorang. Dan terkadang cabang kebaikan dan cabang kejelekan berpadu pada
dirinya. Adakalanya pula terkumpul antara perkara yang mendatangkan pahala
dan perkara yang memunculkan adzab dalam diri satu orang, berdasarkan nash-
nash yang banyak tentang itu. Oleh karena itu, di waktu pemberian balasan amal,
perhitungan amal dilakukan. Dan hal itu juga merupakan pengaruh dari sifat adil
dan hikmah Allah Azza wa Jalla .

(PENERAPAN KAIDAH) :
 Termasuk pula dari penerapan kaidah ini adalah pelaksanaan ibadah sholat.
Ibadah tersebut tidak sah sampai terpenuhi syarat-syaratnya, rukun-rukunnya,
dan kewajiban-kewajiban yang ada di dalamnya. Serta tiadanya pembatal-
pembatal sholat dalam bentuk pengurangan baik syarat atau rukunnya tanpa
alasan yang dibenarkan atau melakukan sesuatu yang membatalkan sholat
tersebut.
 Ibadah puasa. Seseorang tidak sah puasanya kecuali dengan memenuhi
seluruh perkara yang wajib dalam puasa tersebut, memenuhi syarat-
syaratnya, dan tiadanya penghalang terhadap keabsahannya yaitu pembatal-
pembatal puasa.
 Demikian pula haji dan umroh.
 Dan juga masalah jual-beli, serta seluruh muamalah (transaksi), aktifitas
barter barang ataupun segala jenis tabarru‟ (pendonoran kekayaan). Semua

53
perkara tersebut akan menjadi sah jika syarat-syaratnya terpenuhi dan hal-hal
yang merusak dan membatalkannya tidak ada.
 Termasuk juga permasalahan warisan. Seseorang tidak bisa mendapatkan
warisan jika tidak ada padanya faktor penyebab untuk memperoleh warisan,
dan belum terpenuhinya syarat-syarat untuk itu. Demikian juga, pembagian
warisan tidak dapat dilakukan kecuali telah diketahui tidak ada penghalang
untuk menerimanya, seperti terdakwa sebagai pembunuh (orang yang akan
diwarisi hartanya), berstatus sebagai budak, dan adanya perbedaan agama.
 Masalah nikah. Tidaklah sah suatu pernikahan sampai dipenuhinya syarat-
syarat dan rukun-rukun nikah, serta tidak ada faktor penghalang keabsahan
pernikahan tersebut.
 Demikian pula permasalahan had (penegakan hukum pidana)), pelaksanaan
qishâsh, dan hukum-hukum lainnya, haruslah syarat-syaratnya sudah
terpenuhi dan seluruh faktor penghalangnya tidak ada. Semua ini secara
terperinci dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih.

KESIMPULAN
Setiap ibadah, muamalah, ataupun akad yang tidak sah, maka hal itu disebabkan
oleh salah satu dari dua kemungkinan, adakalanya disebabkan tidak
terpenuhinya sesuatu yang harus ada di dalamnya atau karena adanya suatu
penghalang khusus yang membatalkannya.

Wallahu a‟lam.

(Sumber : Al-Qawâ‟id wal-Ushûl al-Jûmi‟ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî‟ah an-


Nâfi‟ah, karya Syaikh „Abdur-Rahmân as-Sa‟di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin „Ali bin
Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

54
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

55

Anda mungkin juga menyukai