Hukum Talak
Pembagian Talak
C. Pembagian Talak
1. Dilihat dari ketegasan kalimatnya
Dari segi kalimatnya, talak dibagi menjadi dua, yaitu talak shariih (tegas) dan
talak kinaayah (kiasan)
.
a. Talak shariih adalah talak yang kalimatnya dapat langsung difahami ketika
diucapkan dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain.
Misalkan: “Anti thaaliq” (engkau telah tertalak) atau “Muthallaqah” (engkau
wanita yang tertalak), atau Kamu saya cerai. Dan semua kalimat yang semisal
dengan kata-kata talak atau cerai.
Seorang suami yang mengatakan kalimat demikian kepada istrinya, maka jatuhlah
talaknya. Meskipun dilakukan dalam keadaan bercanda atau tanpa niat untuk
menjatuhkan talak. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,
َثَالَث ن ُ ج ُّد
ََّ ه ِ َجد
ِ ، ََّ هـ ْزلُ ُه
ن َ َو َجد
ِ : اح َ ِالن،
َُ ك َُ َ وَالطَّال،
ق َُ ج َع
ة ْ وَال َّر
.
“Tiga hal yang apabila dikatakan dengan sungguh-sungguh maka dia menjadi
serius dan bila dikatakan dengan main-main, akan jadi serius pula, yaitu nikah,
talak, dan rujuk.” [Hadits hasan. Riwayat Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud
(VI/262 no. 2180), Tirmidzi (II/328 no. 1195), Ibnu Majah (I/658 no. 2039), Ibnul
Jarud (no. 712), Al-Hakim (II/198) dan Al-Baghawi (no. 2356), dari Abu Hurairah
radhiyallahu "anhu]
Maka talak yang lafazhnya jelas diucapkan oleh suami meski dalam keadaan
bercanda, talaknya jatuh dan dianggap sebagai talak satu. [Lihat Syarhus Sunnah
(IX/220), Zaadul Ma"ad (V/204), Ensiklopedi Larangan (III/80-81)]
b. Talak kinaayah adalah talak yang redaksinya mengandung beberapa
kemungkinan makna, bisa bermakna talak atau selainnya. Misalkan: “Alhiqi bi
ahliki” (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya.
Jika seorang suami mengatakan kalimat seperti itu, maka talaknya tidak jatuh
kecuali perkataan tersebut disertai dengan niat talak. Jadi apabila suami
mengatakannya dengan niat untuk mentalak istrinya, maka jatuhlah talaknya.
Tetapi apabila suami tidak berniat mentalak istrinya, maka talaknya tidak jatuh.
Contoh lafazh talak kinaayah yang disertai dengan niat talak adalah sebagaimana
yang disebutkan dalam sebuah riwayat dari “Aisyah radhiyallahu “anha, dia
berkata, “Tatkala putri Al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah
shallallahu “alaihi wa sallam dan beliau mendekatinya, ia (putri Al-Jaun)
mengatakan, “A”uudzu billahi minka” (Aku berlindung kepada Allah darimu).
Maka beliau shallallahu “alaihi wa sallam bersabda kepadanya
,
َْ لَ َق
د َ ُع ْذ
ِت َظ ْيـم ِ بِ َع، ح ِقي َ إِ ْل َِ ِهل
ك ْ َبِأ
.
“Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung, kembalilah
engkau kepada keluargamu.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5254) dan An-
Nasa"i (VI/150)]
Hadits ini merupakan dalil bahwa ucapan “Kembalilah engkau kepada
keluargamu,” yang diucapkan seorang suami kepada istrinya adalah ungkapan
talak. Sehingga apabila ucapan tersebut diniatkan sebagai talak, maka jatuhlah
talaknya. Dan talaknya dihukumi sebagai talak satu, sebagaimana disebutkan oleh
Imam Adz-Dzahabi dalam Sunan Al-Kubra (VII/342).
Sedangkan contoh lafazh talak kinaayah tanpa disertai dengan niat talak adalah
sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Ka”ab bin Malik radhiyallahu “anhu,
tatkala ia bersama dengan dua orang Shahabat (yakni Murarah bin Ar-Rabi” Al-
”Amri dan Hilal bin Umayaah Al-Waqifi) yang dihajr (diboikot) oleh Rasulullah
shallallahu “alaihi wa sallam karena tidak mengikuti Perang Tabuk bersama
dengan beliau. Maka Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam mengutus
seseorang untuk menyampaikan kabar kepadanya,
َْ ِل إ
ن ََ سو ُ للا َرَِ ك وسلم عليه للا صلى ََ ن يَـأ ُم ُرَْ َل أ ِ ك تَ ْعـت
ََ َـز ََ امـ َرأَتَـ ْ ، ل ََ َقا: ت ْ ـق
َُ ـل ُ َف:
ُ
م أطَلَّ ُقـهَا َْ َل مَا َذا أ َُ ل ؟ أَ ْفـ َعـ ََ َقا: َ ل
َ ، َلَِ َـز ْلهَا ب
ِ اعـت َ ـقـ ََر َفـ
ْ َ ال ْ َ بَ َّنهَا ت، ل ََ َقا: ل َفأَ َْرََ سَ صَا إِلَى
ََّحبَي ِ ل َِ م ْث ِ ِك ب ََ ِ َذل، ل ََ َقا: ت َُ ـلْ ـقُ إل ْم َرأَتِي َف ِ : ح ِقي ِ ـك اَ ْلَِ ِهـلْ َـم َف ُكونِى بِأ َْ َه ُ عـ ْندِ ح َّتى َ
ََ ض
ي ِ ي َْقـ َُللا فِي هـ َذا َ ْاْل َ ْم َِر
.
“Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi istrimu.” Aku (Ka”ab)
bertanya, “Aku ceraikan atau apa yang harus aku lakukan?” Orang itu menjawab,
“Sekedar menjauhinya saja dan jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Maka
kemudian aku (Ka”ab) berkata kepada istriku, “Kembalilah engkau kepada
keluargamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah menetapkan putusan
dalam masalah ini.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4418), Muslim (no.
2769), Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud (VI/285 no. 2187) dan An-Nasa"i
(VI/152)]
Dalam riwayat ini, Ka”ab bin Malik menyuruh istrinya untuk kembali kepada
keluarganya karena perintah dari Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam dan
bukan karena niat Ka”ab untuk menceraikan istrinya. Sehingga dengan demikian,
perkataan Ka”ab tersebut hanyalah dihukumi sebagai kiasan saja dan tidak
mengakibatkan jatuhnya talak.
2. Dilihat dari waktu jatuhnya talak
Ditinjau dari waktu jatuh temponya, talak dibagi tiga : munjazah (langsung),
mu”allaq (menggantung), dan mudhaf (dikaitkan waktu tertentu).
a. talak munjazah adalah pernyataan talak yang oleh pengucapnya diniatkan agar
talaknya jatuh saat itu juga. Misalkan seorang suami yang berkata kepada istrinya,
“Anti thaaliq” (engkau tertalak) dan perkataan yang semisalnya, maka talaknya
jatuh pada saat itu juga. Hukum talak munjazah terjadi sejak saat suami
mengucapkan kalimat talak tersebut kepada istrinya.
b. talak mu”allaq adalah pernyataan talak yang diucapkan suami kepada istrinya
yang diiringi dengan syarat. Misalkan, suami berkata kepada istrinya, “Jika engkau
pergi ke rumah A, maka engkau telah tertalak,” dan perkataan yang semisalnya.
Ada dua kemungkinan yang diniatkan suami ketika mengucapkan semacam ini:
1. Suami berniat agar talaknya jatuh tatkala syaratnya tersebut terpenuhi. Jika istri
melaksanakan apa yang disyaratkan dalam talak tersebut maka talak terjadi.
2. Suami hanya bermaksud untuk memperingati istrinya agar tidak berbuat hal
yang demikian, namun bukan dalam rangka mentalak. Untuk kasus ini hukumnya
sebagaimana sumpah. Artinya, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suami
tidak dibebani apa-apa, namun jika syaratnya tersebut terpenuhi, dimana istri
melanggar apa yang disampaikan suaminya maka suami wajib membayar kafarat
sumpah. Demikian keterangan yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Majmu” Al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66).
c. talak Mudhaf adalah talak yang dikaitkan dengan waktu tertentu. Misalnya
seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Tanggal 1 bulan depan kamu
tertalak”. Mayoritas ulama berpendapat bahwa talak yang diucapkan dalam
kondisi semacam ini terlaksana jika waktu jatuh temponya sudah datang. Sehingga
sang istri tertalak sejak datangnya waktu yang disebutkan dalam kalimat talak.
(Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaithiyah, XXIX/37)
3. Dilihat dari sifatnya
Dari segi ini, talak dibagi menjadi dua, yaitu: talak sunni dan talak bid”i.
Talak sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang
telah dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam
keadaan suci dari haidh dan pada masa itu dia belum mencampurinya. Jadi, suami
menjatuhkan talak ketika istrinya dalam keadaan suci dari haidh dan belum pernah
dicampuri sejak masa haidh terakhir istrinya berakhir.
Allah Ta”ala berfirman,
َُ َان الطَّل
ق َِ َ ـساكَ ۖ َم َّرت َ س ِريحَ أَ َْو بِم َْع ُروفَ َفإِ ْم ْ َ سـنَ ت َ ح ْ بِ ِإ
ۖ…
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan
dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229)
ي يَـأَيُّـهَا َُّ ِـم إِ َذا ال َّنبَُ سـآ ََء طَلَّ ْقـ ُت َ ِن َفطَلِ ُقو الن ََّ ه ُ د ََّ ن لِ ِع
ََّ تِ ِه
…
“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) “iddahnya (yang
wajar)…” (Qs. Ath-Thalaq: 1)
Nabi shallallahu “alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu
“Umar radhiyallahu “anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian
“Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu “anhu menanyakan hal tersebut kepada
Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam, maka beliau bersabda,
ُ ُ ُ َّ ُ َ ْ ُ
ن أَ َم َرنِي
َْ َج َعهَا أ َرا أ ِ ،م ََّ ُكهَا ث َ س ِ ح َّتى أ ْم َ ََح ْيض ِ َضةَ ت َ ح ْي َ خ َرى ْ أ، َ ح َّتى أم ِهلهَا ث
م َ ط ُه ََر ََّ ُث
ْ َ ت، م
ل أَطَلِقهَا َْ ََسهَا أ
ََ ن َق ْب َّ أَم، ت وَأَ َّما ََ ثَالَثًا طَلَّ ْق َتهَا أَ ْن، ـد َْ ت َف َق
ََ ص ْي َ ك َع ََ ن أَ َم َر
ََ ك فِ ْيمَـا َربَّـ َْ ِم
َِك طَالَق َ
ََ ِ ا ْم َرأت.
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.
Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujuknya dalam masa menanti, jika mereka (para suami) menghendaki
perbaikan…” (Qs. Al-Baqarah: 228)
b. Talak ba-’in adalah talak yang terjadi setelah masa “iddah istri karena talak
raj”i telah selesai. Dan hal ini menjadikan suami tidak dapat merujuk istrinya lagi.
Talak ba-’in terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
a. Talak ba-’in shughra, yaitu talak yang terjadi di mana suami tidak memiliki hak
untuk rujuk kembali dengan istrinya kecuali dengan akad nikah dan mahar yang
baru, serta dengan keridhaan istri yang dicerai. Talak ini terjadi pada 3 keadaan
berikut:
1. Suami tidak merujuk istrinya dari talak raj”i hingga masa “iddah
selesai;
2. Suami mentalak istrinya sebelum mencampurinya (pengantin baru)
3. Istri minta cerai (khulu”) pada suaminya. Jika telah terjadi cerai maka
perceraian tersebut dianggap sebagai talak ba-’in, sehingga apabila
suami ingin merujuknya maka suami harus menikahinya lagi dengan
akad dan mahar yang baru setelah istri ridha untuk menikah lagi
dengan mantan suaminya tersebut. [Lihat uraian mengenai hal ini
dalam Shahiih Fiqhis Sunnah (III/274-278)]
b. Talak ba-’in kubra, yaitu talak yang ketiga kalinya. Allah Ta”ala berfirman,
َُ َان الطَّل
ق َِ َ ساكَ َم َّرت َ م ْع ُروفَ َفإِ ْم َ ِس ِر ْيحَ أَ َْو ب ْ َسنَ ت َ حْ ِل َ بِإَ ل َو َُّ ح ِ َم َي َْ َوا أ
َْ ن لَ ُك ُ مآ تَ ْأ
َْ خ ُذ َّ ِم
ََّ وه
ن ُ م ُ ش ْي ًئا ءَاتَ ْي ُت َ ّل َْ َخا َفآ أ
ََّ ِن إ َ َل ي ََّ َللا ُي ِق ْيمَا أ
َِ ح ُدو َد ُ ۖن َْ م َف ِإ َْ خ ْف ُت ِ ل ََّ َللا ُي ِق ْيمَا أ
َِ ح ُدو َد ُ ال ََ َف
ُ
ََ جنَا
ح ُ َت فِ ْيمَا َعلَ ْي ِهمَا َْ اف َتد ْ ه َِ ِك ب ََ للا تِ ْلَِ ح ُدو َد ُ ال ََ ِهاَ ف َ َن تَ ْع َت ُدو
َْ د َوم ََّ للا يَ َت َع
َِ ح ُدو َد ُ كََ ِم َفأ ْولَئ َُ هُ
ون ََ م ُ ِال طَلَّ َقهَا َف ِإن الظَّل ََ ل َف َُّ حِ َه ت َُ َل، ن َْ د ِم َُ ح َّتى ب َْع َ ح ََ ِجا تَنك ً ن َغ ْي َر َُه َز ْو َْ ِال طَلَّ َقهَا َفإ ََ َف
ََ جنَا
ح ُ ن َعلَ ْي ِهمَآ َْ َج َعآ يَ َت َرأ أ َ ن َْ ِن ظَ َّنآ إ َْ َللا ُي ِق ْيمَا أ َِ ح ُدو َد ُ ك ََ للا َوتِ ْل َِ ح ُدو َد ُ لِ َق ْومَ يَبَ ِي ُنهَا
ون ََ م ُ َي َْعل
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan
dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami
dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka
keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah
orang-orang zhalim. Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak
ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang
berpengetahuan.” (Qs. Al-Baqarah: 229-230)
Setelah talak ba-’in kubro, mantan suami tidak lagi memiliki hak untuk rujuk
dengan mantan istrinya, baik ketika dalam masa “iddah maupun sesudahnya.
Kecuali syarat berikut:
a. Istri telah dinikahi laki-laki lain secara alami, artinya bukan nikah tahlil. Nikah
tahlil adalah pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang telah ditalak tiga,
dengan maksud untuk diceraikan agar suami yang pertama bisa menikah lagi
dengan wanita tersebut. Baik sebelumnya ada konspirasi antara suami pertama
dengan suami kedua maupun tidak.
b. Dilaksanakan dengan akad nikah baru, mahar baru, dan atas keridhaan sang istri.
[Lihat Shahiih Fiqhis Sunnah (III/278-279)]
Adapun perbedaan antara talak ba-’in sughra dan talak ba-’in kubra adalah
ketentuan dalam proses rujuk antara mantan suami dan mantan istri. Untuk talak
ba-’in kubra, mantan istri bisa kembali kepada mantan suami, jika dia telah
dinikahi laki-laki lain dan sudah terjadi hubungan badan. Sementara talak ba-’in
sughra, mantan istri dapat dirujuk kembali mantan suami yang telah
menceraikannya, tanpa harus menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain.
Catatan:
Hendaknya talak itu disaksikan oleh dua orang saksi, berdasarkan firman Allah
Ta”ala,
ْ ََي َّوا
ش ِه ُد ْوا َْ م ْن ُك
َْ م َع ْدلَ َذو َّ
َِ واالشهَـا َد ََة ُ …ل وَاَقِ ْي
م َِ ِ
“…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu menegakkan kesaksian itu karena Allah…” (Qs. Ath-Thalaq: 2)
1.Menasehati istrinya
Pengobatan pertama yang dapat dilakukan dengan perkataan yang lemah lembut,
mengingatkan istrinya bahwa Allah Ta’ala mewajibkan dirinya untuk mentaati
suami dalam hal kebaikan dan tidak menyelisihinya, memotivasi istrinya untuk
meraih pahala dengan mentaati suami, dan menakuti-nakutinya dengan siksa dan
adzab Allah Ta’ala yang akan menimpa dirinya apabila dia bersikap durhaka
kepada suami.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
َاستَو ْ ص ْوا وُ سا َِء َ ِخ ْيرًا بِالن َ ، ـن ُ َّخلِ ْقـنََ َف ِإن
ََّ ـه ُ ن َْ ضلَعَ ِمِ ،ن ََّ ِج وَإََ يءَ أَ ْعـ َوْ ش َ الضلَعَ فِيِ أَ ْعال َ َُه،
َْ ْت َف ِإ
ن ََ هـبَ ه َذ َُ مُ ه تُـ ِق ْي َ َك، ن
َُ َـس ْرت َُ ـم تَ َر ْكت
َْ َِه وَإ َْ ََل ل
َْ ج يَـزََ أَ ْعـ َو، صوا ْ سا َِء َف
ُ استَـ ْو َ ِخ ْيـرًا بِالن
َ
.
“Berwasiatlah dengan baik terhadap wanita. Sebab wanita diciptakan dari tulang
rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika engkau
(memaksa untuk) meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan jika
engkau membiarkannya (tetap dalam keadaan bengkok), maka ia akan tetap
bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah dengan baik terhadap wanita.” [Hadits
shahih. Riwayat Bukhari (no. 5186) dan Muslim (no. 1468 (60)), dari Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Dalam riwayat lain juga disebutkan,
:
2.Pisah ranjang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Berilah wasiat kepada istri dengan cara yang baik, sebab mereka itu (ibarat)
tahanan di sisi kalian. Kalian tidak berkuasa atas mereka sedikit pun selain itu
(wasiat di atas kebaikan), kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji secara
terang-terangan. Jika mereka melakukannya, maka tinggalkanlah mereka di
tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti.” [Hadits
hasan li ghairihi. Riwayat Tirmidzi (no. 1163) dan Ibnu Majah (no. 1851) dengan
syahid (penguat) dari riwayat Ahmad (V/72), dari 'Amr bin Al-Ahwash
radhiyallahu 'anhu]
Hendaklah suami memperingatkan istrinya yang tetap berlaku nusyuz bahwa dia
akan mengacuhkannya (hajr), tidak menggaulinya, dan tidak akan bersanding di
dekatnya. Sehingga apabila wanita tersebut termasuk istri yang tidak tahan apabila
ditinggal oleh suaminya, maka dia akan cepat merubah sikapnya, dan itulah yang
diharapkan. Namun, apabila istri mengabaikan peringatan suaminya ini, maka
hendaklah suaminya benar-benar menjauhi istrinya dengan cara apa saja yang
disukainya dan disesuaikan dengan keadaan istri yang dapat membuat istrinya jera
dari kedurhakaannya. Misalkan, dengan tidak mencampuri istri, tidak mengajaknya
bicara, tidak tidur disampingnya, dan hal-hal lain yang semisal dengannya. [Lihat
Al-Badaa'i (II/334), Manhul Jaliil (II/176), Mughni Al-Muhtaaj (III/259), Al-
Mughni (VII/46), Ahkaamul Mu'aasyarah Al-Jauziyah (hal. 292), Shahiih Fiqh
Sunnah (III/225), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/370), dan Panduan Keluarga
Sakinah (hal. 293)]
Seorang suami dapat mengacuhkan istrinya tersebut selama yang dia inginkan
sampai istrinya menyadari kesalahannya dan mau bertaubat. Namun, janganlah
seorang suami memboikot istrinya kecuali di dalam rumahnya. Supaya hukuman
yang diberikan kepada istri tidak diketahui orang lain. Karena hal ini dapat
menimbulkan penghinaan bagi istri dengan merasa direndahkan harga dirinya.
Bahkan bisa jadi membuat sang istri semakin durhaka. Jangan pula
menunjukkannya di hadapan anak-anaknya, karena hal tersebut dapat
menimbulkan kerusakan pada jiwa mereka. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 610),
Shahiih Fiqh Sunnah (III/225) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/371)]
Apabila cara kedua ini tidak juga efektif untuk menyadarkan istri yang durhaka,
maka suami dapat melakukan cara yang ketiga, yaitu
:
3. Memukul istrinya
Ini adalah langkah ‘pamungkas’ yang dapat dilakukan oleh suami demi
mengobati kedurhakaan istrinya, jika nasihat dan pemboikotan tidak membuahkan
hasil. Akan tetapi perlu diperhatikan, islam menetapkan beberapa persyaratan bagi
suami yang hendak menerapkan cara ini kepada istrinya, agar tidak
disalahgunakan. Diantara persyaratannya adalah sebagai berikut::
a. Pukulan tersebut bukanlah pukulan yang menyakitkan, seperti pukulan yang
dapat mematahkan tulang, membuat cacat, atau meninggalkan bekas. Karena
tujuan utama pukulan ini adalah untuk mendidik, bukan untuk menyakiti dan
melukai. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
ََّ ـوه
… ـن ُ ـر ُب
ِ ضْ …ۖ وَا
“… dan (kalau perlu) pukullah mereka…” (Qs. An-Nisaa’: 34)
Pukulan yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah pukulan yang tidak
melukai fisik. Karena tujuan utama dilakukannya pukulan ini adalah memberikan
hukuman yang diharapkan dapat ‘mematahkan jiwa’ sehingga membuatnya
menyadari kesalahannya
.
Catatan penting:
Sebagian suami yang masih awam akan ilmu agama tentang adab bergaul antara
suami istri, menjadikan metode perbaikan ini (pukulan) sebagai kebiasaan. Mereka
tidak menjadikan metode ini sebagai sarana perbaikan, melainkan mereka merubah
tujuan hakikinya menjadi suatu kezhaliman. Bukan pukulan mendidik yang mereka
berikan, melainkan siksaan yang membabi buta, yang dimaksudkan sebagai ajang
balas dendam atau pelampiasan emosi. Selayaknya bagi para suami untuk
menghindari pukulan sebagai metode pendidikan dalam keluarganya, terlebih
metode yang diterapkan tersebut sudah jauh menyimpang dari apa yang
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Tidak memukulnya lebih dari sepuluh kali. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َُ َجل
د ََ ش َر َِة أَحَد َف ْو
ْ ق َل ُي ْ َل أ
َ سوَاطَ َع ََّ ِن حَدَ فِي إ
َْ ح ُدو َِد ِم
ُ للا
َِ .
“Tidaklah seseorang dipukul lebih dari sepuluh pukulan kecuali ketika
menegakkan hadd (hukuman) yang ditentukan Allah.” [Hadits shahih. Riwayat
Bukhari (no. 6848) dan Muslim (no. 1708), dari Abu Burdah Al-Anshari
radhiyallahu 'anhu]
c. Tidak memukul wajah istri (menampar dan sejenisnya) dan bagian-bagian yang
dapat mematikan, karena itu merupakan hak istri atas suaminya. Sebagaimana
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang hak istri atas
suaminya,
َمهَا أَ ْن ْ ُت إِ َذا ت
َ ط ِع ََ م ْ ها طَ َع َ س َو ُ ت إِ َذا َوتَ ْك
ََ َس ْي َ اكت ْ َل ََ ب و
َُ ض ِر ْ َه ت ْ َل ْالو
ََ َج ََ ح و ََ ج َْر و
َْ َل تُ َق ِب ََّ ِإ
ُ ل تَ ْه
ت فِي َِ ْالبَ ْي.
“Diantara kewajibanmu (para suami) kepada mereka (para istri): engkau
memberinya makan ketika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian ketika
engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul wajahnya, dan jangan pula
menghinanya, dan jangan pula meng-hajr (memboikot) dirinya kecuali di dalam
rumah.” [Hadits shahih. Riwayat Abu Dawud (VI/180 no. 2128), Ibnu Majah
(I/593 no. 1850), dan Ahmad (IV/447), dari Mu'awiyah bin Hairah radhiyallahu
'anhu]
Melanggar larangan dalam hadits di atas merupakan tindakan kedzliman dan
pelecehan terhadap seorang wanita. Selain itu, hal tersebut dapat menyakiti dan
merusak badan dan jiwanya. Jika seorang suami melakukannya, maka dia telah
melakukan suatu tindakan kriminal, yang karenanya si istri boleh meminta talak
dan qishash (hukuman setimpal). [Lihat Shahiih Fiqh Sunnah (III/227) dan
Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/374)]
d. Suami harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa pukulannya terhadap sang
istri dapat membuat istrinya jera. Karena pukulan tersebut hanyalah merupakan
sarana untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri. Sebaliknya, pukulan ini
tidaklah disyari’atkan ketika suami berkeyakinan bahwa tujuan untuk memperbaiki
akhlak istri tidak akan tercapai dengan cara ini. Dalam kondisi semacam ini,
dimana pukulan justru dikhawatirkan akan berpengaruh buruk terhadap kehidupan
rumah tangganya, maka janganlah suami tersebut memukul istrinya. [Lihat
Manhul Jaliil (II/176), Mughni Al-Muhtaaj (III/260), Shahiih Fiqh Sunnah
(III/227), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/374), dan Panduan Keluarga Sakinah (hal.
294)]
e. Suami harus menghentikan pukulan ketika si istri telah mentaatinya.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
… َۖن َّ ه
ُ ض ِر ُبو ْ ن وَاَْ م َف ِإ ُ ال أَط َ ْعن
َْ َك ََ ن تَب ُْغوا َف ًَ س ِب ْي
ََّ ال َعلَ ْي ِه َ نََّ ِللا إ
ََ انََ َك ِب ْيرًا َع ِليًّا َك
“…dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi
lagi Mahabesar.” (Qs. An-Nisaa’: 34)
Nusyuz juga terkadang terjadi pada pihak suami, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah Ta’ala,
ِ ِام َراَةَ وَإ
َن ْ تَْ خا َف
َ ن ُ ُضا ن
َْ ش ْو ًزا ب َْعلِهَا ِم ً ح اَ ْوإِ ْع َرا ُ ن َعلَ ْي ِهمَآ َف َال
ََ جنَا ْ ُّحاَ بَ ْين َُهمَا ي
َْ َصلِحَا ا ً ص ْل
ُ
ح ُّ خ ْيرَ و
َُ َالص ْل َ …
“Dan jika seorang wanita khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh,
maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian
itu lebih baik (bagi mereka)..” (Qs. An-Nisaa’: 128)
Sesungguhnya hati dan perasaan manusia ibarat perkiraan cuaca yang selalu
berubah-ubah. Sementara islam merupakan manhajul hayah (pedoman hidup) yang
dapat diaplikasikan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali
dalam masalah hati dan cinta.
Ketika seorang istri merasa khawatir akan kehilangan perhatian dan kasih sayang
dari suaminya yang dapat membawanya kepada perceraian. Atau dia merasa
ditinggalkan oleh suaminya begitu saja tanpa ada kepastian, sehingga posisinya
terkatung-katung, apakah masih menjadi istrinya atau sudah diceraikan, maka
hendaklah seorang istri memberi toleransi kepada suami dengan merelakan
sebagian hak-haknya atas suami. Seperti kesediaannya jika nafkahnya dikurangi
atau kesediaannya mengurangi giliran bermalam suami, jika suami beristri lebih
dari satu. Apabila seorang istri melihat hal ini dengan hati nuraninya, maka dia
akan mengetahui dengan pengetahuan yang yakin bahwa inilah jalan yang lebih
baik dan lebih mulia baginya daripada harus diceraikan oleh suaminya.
Namun, apabila sikap nusyuz suami adalah berupa kemaksiatan kepada Allah,
seperti tidak melaksanakan shalat, meminum khamr (minuman keras), menjadi
pecandu narkoba, berjudi, dan semisalnya. Sementara istri sudah tidak mampu lagi
untuk bersamanya dan dia mengkhawatirkan akan kehormatan dan kesucian
dirinya, maka dia boleh meminta cerai pada suaminya dengan jalur khulu‘.