Anda di halaman 1dari 20

I.

PENDAHULUAN

Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pelaksanaan pernikahan harus memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang ada. Akan tetapi jika salah
satu rukun atau syarat pernikahan tidak terpenuhi maka pernikahan itu tidak syah. Selain tidak syahnya
pernikahan secara langsung pernikahan itu juga batal (fasakh).

Fasakh bisa juga terjadi karena hal lain yang melanggar aturan perkawinan. Misalnya menikah dengan saudara
kandung. Meskipun rukun dan syaratnya terpenuhi pernikahan ini dianggap batal. Karena Islam telah mengatur
beberapa perkawinan yang dilarang. Salah satunya yaitu menikah dengan saudara kandung.

Selain berbagai permasalahan urgent diatas, terdapat pula hal penting lainya yang patut disorot. Yaitu
mengenai seks education atau pendidikan seks. Mengingat begitu pentingnya pendidikan seks dalam Islam
maka sudah sepatutnya diajarkan kepada anak didik dan lainya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan
membahas lebih lanjut mengenai pentingnya seks education dalam Islam, batalnya perkawinan, dan larangan
perkawinan.

II. RUMUSAN MASALAH

A. Apa Saja yang Menyebabkan Batalnya Perkawinan ?


B. Apa Saja Larangan Perkawinan ?
C. Bagaimana Seks Education dalam Islam ?

III. PEMBAHASAN

A. Batalnya Perkawinan

Batalnya perkawinan yaitu “rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau
salah satu rukunnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama”. Batalnya perkawinan atau
putusnya perkawinan disebut juga dengan fasakh.[1] Kata fasakh (batalnya pernikahan) berarti merusakkan
atau membatalkan. Jadi, fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau
membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung.[2]

Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal
yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.

1. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.

a. Setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak
suami.

b. Suami isti masih kecil, kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan pernikahannya atau
mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh, jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal
ini disebut fasakh baligh.

2. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad

a. Jika seorang suami murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya
batal (fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b. Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi
musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istrinya ahli kitab. Maka akadnya tetap sah
sepertisemula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semula dipandang sah.

Golongan Hanafiyah membuat rumusan umum guna membedakan pengertian pisahnya suami istri sabab talak
dan sebab fasakh. Kata mereka: “Pisahnya suami istri karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri
disebut talak, dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami atau karena suami, tapi dengan
pengaruh dari istri disebut fasakh.”[3]

Selain hal-hal tersebut ada juga hal-hal lain yang menyebabkan terjadinya fasakh, yaitu sebagai berikut:

1. Karena ada balak (penyakit belang kulit). Dalam kaitan ini, Rasulullah bersabda:

‫ضي هللا عنه أَ َّن َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم تَ َز َّو َج اِ ْم َر أَةً ِم ْن‬ ِ ‫ب ب ِْن َز ْي ٍد َر‬ ِ ‫َع ْن َك ْع‬
‫ْص َر بِ َك ْش ِحهَا بَيَا ضًا فَا‬َ ‫اش أَب‬
ِ ‫ض َع ثَ ْوبَهُ َوقَ َع َد َعلَى ْالفِ َر‬
َ ‫ فَلَ َّما َد َخ َل َعلَ ْيهَا فَ َو‬،‫ار‬
ٍ َ‫بَنِ ْي ِغف‬
‫ك َولَ ْم يَأْ ُخ ْذ ِم َّما أَتَا هَا َش ْيئًا (رواه أحمد و‬ َ ‫ ُخ ِذى َعلَي‬: ‫اش ثُ َّم قَا َل‬
َ َ‫ْك ثِيَاب‬ ِ ‫ْن َحا َز َع ِن ْالفِ َر‬
‫البيهقى‬
“Dari Ka’ab Bin Zaid radhiallahu ‘anh bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menikahi seorang perempuan bani Ghifar. Maka, tatkala beliau masuk menemuinya dan perempuan itu telah
meletakkan kainnya dan ia duduk di atas tempat tidur terlihatlah putih (balak) di lambungnya, lalu beliau
berpaling seraya berkata: ambillah kainmu, tutuplah badanmu, dan beliau tidak menyuruh mengambil
kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.”  (HR. Ahmad dan Baihaqi)

2. Karena gila

3. Karena penyakit kusta.

4. Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, AIDS dan sebagainya. Dijelaskan dalam suatu riwayat.

‫ اَيُّ َما َرج ٍُل تَ َز َّو َج بِا ْم َرأَ ٍة َوهُ َو ُجنُ ْو ٌن أَ ْو‬: ‫ال‬
َ َ‫ب رضي هللا عنه ق‬ ِ َّ‫َع ْن َس ِع ْي ِد اب ِْن ْال ُم َسي‬
) ‫ت ( رواه الما لك‬ ْ َ‫ارق‬
َ َ‫ت ف‬ْ ‫َّت َوإِ ْن َشا َء‬
ْ ‫ت قَر‬
ْ ‫ض َر ٌر فَإِنَّهَا تَ َخيَّ ُر فَإِ ْن َشا َء‬
َ
“Dari Sa’id bin Musayyab radhiallahu ‘anh ia berkata: Barangsiapa di antara laki-laki yang menikah dengan
seorang perempuan, dan pada laki-laki itu terdapat tanda-tanda gila, atau tanda-tanda yang membahayakan,
sesungguhnya perempuan itu boleh memilih jika mau ia tetap dalam perkawinannya dan jika berkehendak
cerai maka perempuan itu boleh bercerai.” (HR. Malik)

5. Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan (bersetubuh).

6. Karena ‘unnah, yaitu zakar laki-laki impoten sehingga tidak mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah.
Dalam suatu riwayat dari Sa’id bin Musayyab radhiallahu ‘anh ia berkata. “Umar bin Khathab telah
memutuskan bahwasanya laki-laki yang ‘unnah diberi tenggat satu tahun sebelum dijatuhkan fasakh.” Seperti
itu juga pendapat Ibnu Mas’ud. Diriwayatkan dari ‘Utsman bahwa laki-laki yang ‘unnah tidak diberi tenggat,
dari al-Harits bin ‘Abdillah bahwa laki-laki yang ‘unnah diberi tenggat sepuluh bulan. Imam Ahmad, al-Hadi
dan ulama’ lain menyatakan bahwa pada keadaan seperti itu tidak terjadi fasakh.[4]

Disamping itu, fasakh juga bisa terjadi oleh sebab-sebab sebagai berikut :
a. Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya.

b. Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberikan belanja sedangkan istrinya itu tidak
rela.

c. Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat di percaya, sehingga ia
tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat, ataupun maskawinnya belum
dibayarkannya sebelum campur.

Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas, dan dibenarkan syara’, maka untuk
menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya terbukti bahwa suami istri masih saudara
kandung, atau saudara sesusuan.

Akan tetapi jika terdapat hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah:

1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia
untuk itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti qadi
nikah di Pengadilan Agama, supaya yang berwenang dapat menyelesaikannya sebagaimana mestinya.

2. Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya tiga hari, mulai dari hari istri itu mengadu.
Jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim
memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya.

Mengenai sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan perkawinan di Indonesia, dijelaskan
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 70-76.[5]

B. Larangan Pernikahan

Yang dimaksud dengan larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang-orang yang tidak boleh
melakukan perkawinan. Yang dibicarakan disini adalah perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh
dikawini oleh seorang laki-laki, atau sebaliknya laki-laki mana saja yang tidak boleh mengawini seorang
perempuan.

Secara garis besar larangan kawin antara seorang pria dan wanita yang diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits,
dibagi menjadi dua macam yaitu mahram muabbad dan mahram ghairu muabbad

1. Mahram Muabbad

Mahram muabbad, yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya. Diantara mahram
muabbad ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan. Yang telah disepakati yaitu :

a. Larangan perkawinan karena hubungan kekerabatan (nasab)

Perempuan yang haram dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya disebabkan oleh hubungan
kekerabatan atau nasab yaitu ibu, anak, saudara, saudara ayah, saudara ibu, anak dari saudara laki-laki, dan
anak dari saudara perempuan.

Larangan kawin tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An- Nisa’ ayat 23 :

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ....
b. Larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan

Perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya karena hubungan
mushaharah itu adalah sebagai berikut:

1. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri

2. Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki atau menantu

3. Ibu istri atau mertua

4. Anak dari istri dengan ketentuan istri atau telah digauli.

Keharaman ini disebutkan dalam lanjutan ayat 23 surat An-Nisa' :

Dan (diharamkan) ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu)...[6]

c. Larangan perkawinan karena hubungan sesusuan

Hubungan sesusuan menjadikan orang menjadi mempunyai hubungan kekeluargaan yang sedemikian
dekatnya. Mereka yang sesusuan itu telah menjadi saudara dalam pengertian hukum perkawinan ini, dan
disebut saudara sesusuan. Tetapi pendekatan ke dalam saudara sesusuan itu tidak menjadikan hubungan
persaudaraan sedarah untuk terjadinya saling mewaris karena sedarah dalam hukum kewarisan.[7]

Larangan kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa’ ayat 23 di atas :

(Diharamkan atas kamu mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan...

Hadits yang terkait:

‫ت َر ُج ٍل يَ ْستَأْ ِذ ُن‬ َ ‫ص ْو‬ َ ‫ت‬ ْ ‫اَ َّن َرس ُْو َل هّللا ِ صلى هللا عليه وسلم كا َ َن ِع ْن َد عا َ ئِ َشةَ َواَنَّها َ َس ِم َع‬
‫صةَ ِم َن‬ َ ‫ت يا َ َرس ُْو َل هّللا ِ! أُ َراهُ فُالَ نا ً (لِ َع ِّم َح ْف‬ ُ ‫ فَقُ ْل‬: ُ‫ت عا َ ئِ َشة‬
ْ َ‫ قا َ ل‬. َ‫صة‬َ ‫ت َح ْف‬ِ ‫فى بَ ْي‬
ِ
ْ َ
‫ فَقَا َل‬: ‫ قَا لت‬، ‫ك‬ ْ َ ‫هّللا‬ ُ ْ َ
ِ ‫ يَا َر َس ْو َل ِ! هَذا َر ُج ٌل يَ ْستَأ ِذ ُن‬: ‫َّضا َع ِة ) فَقَا لت َعا ئِ َشة‬
َ ِ‫فى بَ ْيت‬ َ ‫الر‬
‫ت‬ Ÿْ َ‫َّضا َع ِة ) فَقَال‬
َ ‫صةَ ِم َن الر‬ َ ‫ "أُ َراهُ فُالَناً" (لِ َع ِّم َح ْف‬:‫يَا َر َس ْو َل هّللا ِ صلى هللا عليه وسلم‬
‫ي ؟ فَقَا َل َرس ُْو َل هّللا ِ صلى هللا‬ َ ‫ لَ ْوكا َ َن فُالَ ٌن َحيًّا (لِ َع ِّمهَا ِمنَالر‬: ُ‫َعائِ َشة‬
َّ َ‫َّضا َع ِة) َد َخ َل َعل‬
‫َّضا َعةَ تُ َحرِّ ُم َما يَحْ ُر ُم ِم َن ْال ِوالَ َد ِة‬
َ ‫" عليه وسلم "نَ َع ْم" اَ َّن الر‬
“pada suatu hari Rasulullah berada di kamar Aisyah dan Aisyah mendengar suara seorang laki-laki meminta
izin masuk di rumah Hafshah. Aisyah berkata : Ya Rasulullah, saya pikir si fulan (seorang paman susuan
Hafshah). Kemudian Aisyah berkata: Ya Rasulullah, dia meminta izin masuk kerumahmu. Kata Aisyah; maka
Rasulullah menjawab: saya pikir yang meminta izin itu si fulan (seorang paman susuan Hafshah). Aisyah
berkata: sekiranya si fulan itu masih hidup (seorang paman susuan Aisyah, tentu juga dia boleh masuk ke
tempatku)? Rasulullah menjawab: benar, sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang di haramkan
lantaran hubungan keluarga.” (Al Bukhory 52:7; Muslim 17;1; Al Lu-lu-u wal Marjan 2:114).[8]
Sedangkan yang masih diperselisihkan oleh ulama tentang pemberlakuan selamanya, yaitu :

a. Istri yang putus perkawinan karena li’an


b. Perempuan yang di kawini waktu iddah

2. Mahram Ghairu Muabbad

Mahram ghairu muabbad, yaitu larangan kawin yang berlaku untuk sementara waktu disebabkan oleh hal
tertentu; bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Larangan kawin sementara itu
berlaku dalam hal-hal seperti berikut :

a. Mengawini dua orang saudara dalam satu masa

Keharaman mengumpulkan wanita dalam satu waktu perkawinan itu disebutkan dalam lanjutan surat An-Nisa’
23 :

(Dan diharamkan atas kamu)menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara...

Hadits yang terkait:

‫ إِنِّي‬، ‫ُول هّللا‬َ ‫ت يَا َرس‬ ُ ‫ قُ ْل‬: ‫ض َي هّللا ُ َع ْنهُ قَا َل‬
ِ ‫ُوز ال َّد ْيلَ ِم ِّي َع ْن أَبِ ْي ِه َر‬
َ ‫َّاك ب ِْن فَ ْير‬Ÿِ ‫ضح‬ َّ ‫َع ِن ال‬
) .‫ت‬ َ ‫ طَلَّ ْق أَيَتَهُ َما ِش ْئ‬: ‫ال َرس ُْو َل هّللا ِ صلى هللا عليه وسلم‬ َ َ‫ فَق‬،‫ت َو تَحْ تِي أُ ْختَا ِن‬ ُ ‫أَ ْسلَ ْم‬
Ÿ‫ َوأَ َعلَّهُ ْالبُ َخا‬، ‫طنِ ُّي‬ْ ُ‫َّان َوال َّدا َر ق‬
َ ‫َّحهُ اب ُْن ِحب‬َ ‫صح‬ َ ‫ي َو‬ َّ ِ‫َر َواهُ أَحْ َم ُد َو ْاألَ رْ بَ َعةُ إِالَّ النَّ َسا ئ‬
ُّ‫ِري‬
“Dari Adh-Dhahhak bin Fairuz Ad-Dailani, dari ayahnya Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku berkata, “Wahai
Rasulullah, aku telah masuk Islam sedang aku mempunyai dua istri kakak beradik, maka Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ceraikanlah salah seorang dari keduanya yang kamu
kehendaki.”  (HR. Ahmad dan Al-Arba’ah kecuali An-Nasa’i. Hadits Shahih menurut Ibnu HIBBAN, Ad-
Daraquthni dan Al-Baihaqi, dan ma’lul menurut Al-Bukhari)”[9]

b. Poligami diluar batas

Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak mengawini empat orang dan tidak boleh lebih dari
itu, kecuali bila salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah diceraikannya dan habis pula masa
iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima itu haram dikawininya dalam masa tertentu, yaitu selama salah
seorang di antar istrinya yang empat itu belum diceraikan.

c. Larangan karena ikatan perkawinan

Seorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan haram dikawini oleh siapapun. Keharaman itu
berlaku selama suaminya masih hidup atau belum dicerai oleh suaminya. Setelah suami mati atau ia diceraikan
oleh suaminya dan selesai masa iddahnya ia boleh dikawini oleh siapa saja.

Keharaman mengawini perempuan bersuami itu terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 24 :

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu
miliki.....[10]

d. Larangan karena talak tiga


Wanita yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah kawin lagi dengan
orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa ‘iddahnya.

Hadits yang terkait:

‫ فَإِ َّن َرسُوْ َل هّللا ِ صلى هللا عليه وسلم‬، ‫ك َم َّرةً أَوْ َم َّرتَي ِْن‬ َ َ‫ أِل َ َح ِد ِه ْم أَ َّما أَ ْنتَ طَلَّ ْقتَ ا ْم َرأَت‬:‫ك قَا َل‬ َ ِ‫ح فِى ِر َوا يَتِ ِه َو َكانَ َع ْب ُد هّللا ِ إِ َذا ُسئِ َل ع َْن َذل‬ ٍ ‫َوزَا َد ابْنُ ُر ْم‬
‫ْث فِى‬ُ ‫ َج َّو َد الَّلي‬: ‫ قَا َل ُم ْسلِ ٌم‬.َ‫ق ا ْم َرأَتِك‬
ِ ‫اَل‬ َ ‫ط‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫ك‬
َ ‫ر‬
َ ‫م‬َ
َ َ‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬‫ي‬ْ ِ ‫ف‬ ‫هّللا‬ َ‫ْت‬
‫ي‬ ‫ص‬ َ ‫ع‬
َ ‫و‬
َ ‫ك‬َ ‫ر‬َ ْ
‫ي‬ َ
‫غ‬ ‫ًا‬
‫ج‬ ْ‫و‬‫ز‬َ ‫ح‬
َ ‫ك‬
ِ ْ
‫ن‬ َ ‫ت‬ ‫ى‬ َّ ‫ت‬‫ح‬َ ‫ك‬
َ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ْ
‫ت‬ ‫م‬
َ ‫ر‬
ُ ‫ح‬
َ ْ
‫د‬ َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ‫ا‬ ً ‫ث‬َ ‫ال‬َ ‫ث‬ ‫َّا‬ ‫ه‬َ ‫ت‬‫ق‬ْ َّ ‫ل‬ َ ‫ط‬ َ‫ت‬ ْ
‫ن‬ ُ
‫ك‬ ْ
‫ن‬ ِ ‫ا‬ ‫و‬
َ ، ‫آَ َم َرنِى بِهَ َذا‬
ْ ‫ ت‬: ‫قَوْ لِ ِه‬.
ِ ‫َطلِ ْيقَةً َو‬
ٌ‫اح َدة‬

“Ibnu Ruhm menambahkan dalam riwayatnya : apabila Abdullah di tanya tentang hal itu (seorang suami yang
menceraikan istrinya yang sedang haidh), maka dia mengatakan kepada salah seorang dari mereka (yang
bertanya), “jika kamu menceraikan istrimu denganb talak satu atau talak dua, maka sesungguhnya Rasulullah
SAW memerintahkan hal ini kepadaku. Tetapi jika kamu menceraikan istrimu denganb talak tiga, maka
mantan istrimu itu telah haram bagimu sampai dia menikahi lelaki selain kamu, dan engkau telah bermaksiat
kepada Allah terkait dengan apa yang di perintahkanNya kepadamu dalam hal menceraikan istrimu.”[11]

e. Larangan karena ihram

Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun haji, tidak boleh dikawini. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Usman bin Affan :

‫ال َر َس ْو َل َرس ُْو َل هّللا ِ صلى هللا عليه وسلم اَل يَ ْن ِك ُح‬ َ ‫ْت ُع ْث َم‬
َ َّ‫ان ب َْن َعف‬
َ َ‫ ق‬: ‫ان يَقُ ْو ُل‬ ُ ‫َس ِمع‬
)‫ْال َمحْ َر ُم َواَل يُ ْن ِك َح َواَل يَ ْخطُبُ (رواه مسلم عن عثمان بن عفان‬
“Saya mendengar Ustman bin Affan berkata:Rasulullah SAW bersabda: Orang yang sedang ihram tidak
boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh pula meminang. (Diriwayatkan Muslim dari Ustman
bin Affan).”[12]

f. Larangan karena beda agama

Yang dimaksud dengan beda agama disini ialah perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim dan
sebaliknya. Dalam istilah fiqh disebut kawin dengan orang kafir. Keharaman laki-laki muslim kawin dengan
perempuan musyrik atau perempuan muslimah kawin dnegan laki-laki musyrik terdapat dalam surat Al-
Baqarah ayat 221.[13]

Hadits Terkait :

ُ‫ تَ ْن ِك ُح ْال َمرْ أَة‬: ‫عن أبي هريرة رضى هللا عنه قال عن النبى صلى هللا عليه و سلم قال‬
‫ك (رواه‬ ْ َ‫ت ال ِّد ْي ِن تَ ِرب‬
َ ‫ت يَ َدا‬ ْ َ‫ َولِ ِد ْينِهَا ف‬,‫ َولِ َج َملِهَا‬, ‫ َولِنَ َسبِهَا‬,‫ لِ َما لِهَا‬,‫آلَرْ بَ ٍع‬
ِ ‫اظفَرْ بِ َذا‬
)‫البخاري في كتاب النكا ح‬
“Dari Abi Hurairah R.A. Berkata, Rasulullah S.A.W bersabda : "wanita itu boleh dinikahi karena empat hal:
1. karena hartanya. 2. karena asal-usul(keturunan)nya, 3. Karena kecantikannya, 4. Karena agamanya. Maka
hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam, (jika tidak), akan
binasalah kedua tangan-mu (hadits riwayat Bukhari di dalam kitab Nikah)”[14]

                             
[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenata Media Group, 2003), hlm. 141-142.
[2] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII press, 2010), hlm. 85.
[3]Slamet Abidin dan Aminudin, fiqih munakahat 2, (Bandung: Pustaka setia, 1999), hlm. 73-75.
[4]As-Shon’ani, Subulussalam, (Beirut: Darul kutub ilmiyah/III), hlm. 140.
[5] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat..., hlm. 148-154.
[6] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009) , hlm. 109-111.
[7] Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1974), hlm. 53.
[8]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits 5 (Nikah dan Hukum Keluarga, Perbudakan,
Jual Beli, Nazar dan Sumpah, Pidana dan Peradilan, Jihad), (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA,
2003), hlm.73.
[9]Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam – Syarah Bulughul Maram, (Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2013), hlm. 992.
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan..., hlm. 125-128.
[11]Imam An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2011), hlm. 176.
[12]Imam An-Nawawi, Shahih Muslim..., hlm. 544.
[13] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan..., hlm.133.
[14] Ma’ruf Mu’in dkk, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, ( Jakarta: Erlangga,2011), hlm.481
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok.
Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara
terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan
hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan rasa kasih sayang antara
suami dan istri. Anak keturunan dari hasil pernikahan yang sah menghiasi kehidupan
keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan
berkehormatan.
Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila islam mengatur masalah perkawinan
dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan.,
sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain.
Hubungan manusia laki-laki dan perempuan ditentukan agar didasarkan atas rasa
pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq ( Tuhan Maha Pencipta ) dan kebaktian kepada
kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan sejenisnya. Perkawinan dilaksanakan atas
dasar kerelaan pihak-pihak bersangkutan, yang dicerminkan dalam adanya ketentuan
peminangan sebelum kawin ijab-kobul dalam akad nikah yang dipersiapkan pula di
hadapan masyarakat dalam suatu perhelatan ( walimah ). Hak dan kewajiban suami istri
timbal-balik diatur amat rapi dan tertip, demikian pula hak dan kewajiban antara orang tua
dan anak-anaknya. Apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri, diatur pula
bagaimana cara mengatasinya. Dituntunkan pula adat sopan santun pergaulan dalam
keluarga dengan sebaik-baiknya agar keserasian tetap terpelihara dan terjamin.
Dari uraian tersebut dapat diambil ketentuan bahwa hukum perkawinan mempunyai
kedudukan amat penting dalam islam sebab hukum perkawinan mengatur tata-cara
kehidupan berkeluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan
kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan melebihi makhluk-makhluk
lainnya. Hukum perakawinan merupakan bagian dari ajaran agama islam yang wajib ditaati
dan liaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Alqur’an dan Sunah
Rosul. [1]
B.     Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas munakahah yaitu tentangLARANGAN
PERKAWINAN KARENA ADA LARANGAN SEMENTARA DAN LARANGAN
SELAMANYA. Dan untuk sebagai bahan ajaran atau acuan kami dalam memahami materi
tentang munakahah. Perkawinan menurut islam merupakan suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh umat manusia. Karena itu sudah menjadi hak dan kewajiban kita sebagai
umat muslim.
C.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian perkawinan menurut islam?
2.      Apakah ada larangan di dalam perkawinan tersebut?
3.      Apa yang di maksud larangan sementara dan larangan selamanya?

BAB II
ISI
A.    Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
keluarga sesuai ajaran Allah dan Rosul-Nya. Hukum islam mengatur agar perkawinan itu
dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan
dengan disaksikan dua orang laki-laki. [2]
Dengan demikian, dapat diperoleh suatu pengertian, perkawinan menurut hukum islam
adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki
dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga, yang diliputi
rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridai Allah.
Apabila pengertian tersebut kita bandingkan dengan yang terdapat dalam pasal 1 UU
No. 1/1974 pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut hukum islam dan UU No.
1/1974 tidak ad perbedaan yang prinsipil. Menurut UU No. 1/1974 adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
[3]
B.     Hukum Melakukan Perkawinan
Meskipun pada dasarnya isalm mengajurkan kawin, apabila ditinjau dari keadaan yang
melaksankannya, perkawinanan dapat dikenai hukum wajib, sunah, haram, makruh, dan
mubah.
1.      Perkawinan yang Wajib
Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk
kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban
kewajiban dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran, apabila tidak kawin, ia akan
mudah tergelincir dan untuk berbuat zina.
2.      Perkawinan yang Sunah
Perkawinan hukumnya sunah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan
telah mempunyai kemampuan untuk melaksankan dan memikul kewajiban-kewajiban
dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat
zina.[4]
3.      Perkawinan yang Haram
Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup
perkawinan sehingga apabila kawin juga akan menyusahkan istrinya. [5]
4.      Perkawinan yang Makruh
Perkawinan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu dalam segi materiil, cukup
mempunyai dana tahan mental  dan agama hingga tidak khawatir akan terseret dalam
perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran  tidak dapat memenuhi kewajibannya
terhadap istrinya.
5.      Perkawinan yang Mubah
Perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila tidak
kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata kawin pun tidak merasa
khawatir akan menyia-nyaikan kewajibannya terhadap istri. Perkawinan dilakukan sekedar
untuk memenuhi syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan
menjaga bagi kehidupan kelsamatan beragama.[6]
C.    Larangan Perkawinan
1.      Penghalang Perkawinan
Pada dasarnya laki-laki adalah pasangan bagi wanita. Allah menciptakan tumbuh-
tumbuhan, binatang maupun manusia secara berpasangan-pasangan. Dalam surat Yasin
ayat 36 disebutkan:
)36 :‫سبحان الذى خلق االزواج كلها مما تنبت االرض ومن انفسهم ومما ال يعلمون (يس‬
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa
yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dariapa yang tidak meeka
ketahui”.
 (49 :‫ خلقنا زوجين لعلّكم تذكرون )الذاريات‬  ‫ومن كل شى‬
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebesaran Allah”.
Namun demikian, menurut hukum Islam tidak setiap laki-laki dibolehkan kawin
dengan setiap perempuan. Ada di antara perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki
tertentu  karena antara keduanya terdapat penghalang perkawinan yang dalam fiqh
munakahat disebut dengan mawani’ an-nikah. Dimaksud dengan penghalang perkawinan
atau mawani’ an-nikah yaitu hal-hal, pertalian-pertalian antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang menghalangi terjadinya perkawinan dan diharamkan melakukan
akad nikah antara keduanya.[7]
Secara garis besar, larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut
syara’ dibagi menjadi dua, yaitu Larangan Sementara dan Larangan Selamanya. Di antara
larangan-larangan selamanya ada yang telah di sepakati dan ada pula yang tidak
disepakati. Yang disepakati ada tiga, yaitu : [8]
1.      Nasab ( keturunan )
2.      Pembesanan ( karena pertalian kerabat semenda )
3.      Sesusuan
Sedangkan yang diperselisihkan ada dua, yaitu :
1.      Zina
2.      Li’an
Larangan-larangan sementara ada sembilan, yaitu :
1.      Larangan bilangan
2.      Larangan mengumpulkan
3.      Larangan kehambaan
4.      Larangan kafir
5.      Larangan ihram
a.       Larangan kawin karena pertalian nasab
Larangan kawin tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 23 :
ْ ‫ات َو َخاالَ ُت ُك ْم َوأَ َخ َوا ُت ُك ْم َو َعمَّا ُت ُك ْم أ ُ َّم َها ُت ُك ْم َو َب َنا ُت ُك ْم حُرِّ َم‬
.....‫ت َع َل ْي ُك ْم‬ ِ ‫ات األ ُ ْخ‬
ُ ‫ت َو َب َن‬ ُ ‫األَ ِخ َو َب َن‬
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-
saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-
saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan....
Berdasarkan ayat di atas, wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (larangan
selamanya) karena pertalian Nasab adalah :
-          Ibu : yang dimaksud ialah perempuan yang ada hubungan darah dalam garis ke atas, yaitu
ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya ke atas)
-          Anak perempuan : yang dimaksud ialah wanita yang mempunyai hubungan darah dalam
garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan , baik dari anak laki-laki
maupun anak perempuan ke bawah.
-          Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja. [9]
b.      Larangan kawin karena sepersusuan
Larangan kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa’ ayat
23 di atas :
....‫ضعْ َن ُك ْم الالَّتِي َوأ ُ َّم َها ُت ُك ُم‬
َ ْ‫ضا َع ِة م َِّن َوأَ َخ َوا ُت ُكم أَر‬
َ َّ‫الر‬
( Diharamkan atas kamu mengawini ) ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-
saudara perempuan sepersusuan.
-          Kemenakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.
-          Saudara susunan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja.
c.       Larangan yang bersifat sementara
Wanita-wanita yang haram dinikahi tidak untuk selamanya  (bersifat sementara) adalah
sebagai berikut :
1.      Wanita  yang terkait perkawinan dengan laki-laki lain, haram dinikahi oleh seorang laki-laki.
Keharaman ini  disebutkan dalam An-Nisa’ ayat 24 :
...‫ات م َِن ال ِّن َساء‬ َ ْ‫َو ْالمُح‬
ُ ‫ص َن‬
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami...
2.      Wanita yang sedang dalam ‘iddah, baik i’ddah cerai maupun ‘iddah ditinggal mati
berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dan 234.
3.      Wanita yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah
kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami
terakhir itu dan telah habis masa ‘iddahnya. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 229-230.
D.    Kompilasi Hukum Islam Tentang Perkawinan
Pasal 40
Dilarangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu :
a.       Karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan dengan pria lain.
b.      Seorang wanita yang masih berada dalam masih masa ‘iddah dengan pria lain.
c.       Seorang wanita yang tidak beragama islam.[10]

Pasal 41
1.      Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya.
a.       Saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya.
b.      Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2.      Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj’i,
tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria
tersebut sedang mempunya 4 (empat) orang istri, yang keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i, ataupun salah seorang di antara mereka
masih terikat tali perkawinan sedangkan yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.
Pasal 43
1.      Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a.       Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.
b.      Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.
2.      Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kain dengan pria
lain, kemudian perkainan tersebut putus ba’da dakhul dan habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang anita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama
Islam.[11]

BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Pengertian perkawinan menurut hukum islam adalah suatu akad atau perikatan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih
sayang dengan cara yang diridai Allah. UU No. 1/1974 adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut ajaran agama islam larangan perkawinan itu memang ada, bahkan sudah
sangat jelas diatur dalam al-qur’an, hadist dan sunah. Jadi bagi umat muslim wajib untuk
mematuhinya. Ada 2 hal tentang larangan perkawinan tersebut yaitu : larangan sementara
dan larangan selamanya.
Larangan sementara adalah larangan perkawinan hanya dalam waktu sementara tidak
untuk selamanya. Contoh dari larangan sementara adalahWanita yang sedang dalam masa
‘iddah, baik masa i’ddah cerai maupun masa ‘iddah ditinggal mati berdasarkan firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dan 234.
Larangan selamanya adalah larangan perkawinan dalam waktu yang lama atau selama-
lamanya contoh nya wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke bawah,
yakni anak perempuan, cucu perempuan , baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan
ke bawah haram untuk dinikahi.
B.     Saran
Tentang larangan perkawinan tersebut bahwa telah jelas bahwa umat islam tidak boleh asal
kawin saja, tetapi juga ada perintah dan larangannya. Tentu nya umat islam harus
mengetahui mana yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi.

DAFTAR PUSTAKA
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat. Kencana Prenada Media Group : Jakarta
A Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
M Idris Ramulyo. 1995. Hukum Perkawinan Islam. Sinar Grafika : Jakarta.

[1] A Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta. hal 11
[2] A Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta. hal 13
[3] Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ( pasal 1 )
[4] A Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta. hal 14
[5] Ibid. hal 15
[6] Ibid. hal 16
[7] M Idris Ramulyo. 1995. Hukum Perkawinan Islam. Sinar Grafika : Jakarta. hal 45
[8] Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat. Kencana Prenada Media Group : jakarta. hal
110
[9] Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat. Kencana Prenada Media Group : Jakarta. hal.
111
[10] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
[11] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

LARANGAN PERKAWINAN DAN PERKAWINAN YANG DILARANG


By Admin

LARANGAN PERKAWINAN DAN PERKAWINAN YANG DILARANG


A. Penghalang Perkawinan (‫)موانع النكاح‬ 
Pada dasarnya laki-laki adalah pasangan bagi wanita. Allah menciptakan tumbuh-
tumbuhan, binatang maupun manusia secara berpasangan-pasangan. Dalam surat Yasin
ayat 36 disebutkan:
)36 :‫سبحان الذى خلق االزواج كلها مما تنبت االرض ومن انفسهم ومما ال يعلمون (يس‬
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa
yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dariapa yang tidak meeka
ketahui”.
)49 :‫ومن كل شى خلقنا زوجين لعلّكم تذكرون (الذاريات‬
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebesaran Allah”.

Namun demikian, menurut hukum Islam tidak setiap laki-laki dibolehkan kawin dengan
setiap perempuan. Ada di antara perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki tertentu
karena antara keduanya terdapat penghalang perkawinan yang dalam fiqh munakahat
disebut dengan mawani’ an-nikah.
Dimaksud dengan penghalang perkawinan atau mawani’ an-nikah yaitu hal-hal, pertalian-
pertalian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang menghalangi terjadinya
perkawinan dan diharamkan melakukan akad nikah antara keduanya.
Ibnu Rusyd membagi penghalang perkawinan menurut hukum Islam menjadi dua bagian,
yaitu: (1). Mawani’ muabbadah (‫ = )موانع مؤبدة‬penghalang perkawinan yang bersifat
selamanya, (2) Mawani’ gaeru muabbadah (‫ =)موانع غير مؤبدة‬penghalang perkawinan yang
bersifat sementara. Ada juga yang menyebut dengan istilah mahram muabbad (haram
bersifat selamanya) dan mahram muaqqat (haram untuk sementara waktu). Dimaksud
dengan penghalang perkawinan yang bersifat selamanya ialah sampai kapanpun dan
dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan tidak boleh melakukan perkawinan.
Adapun yang dimaksud dengan penghalang perkawinan yang bersifat sementara ialah
larangan kawin antara laki-laki dan perempuan itu berlaku dalam keadaan dan waktu
tertentu; suatu saat apabila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah maka tidak lagi
dilarang.
Lebih lanjut Mawani’ muabbadah, dibagi lagi kepada: yang disepakati dan yang
diperselisihkan. Adapun yang disepakati ada tiga, yaitu: (a) karena hubungan nasab, (b)
karena hubungan musaharah, dan (c) karena hubungan persusuan, sedangkan yang
diperselisihkan ialah: (a) penghalang karena zina, (b) penghalang karena sumpah li’an.
Mawani’ gaeru muabbadah ada 9, yaitu: (a) mani’u al-‘adad (penghalang karena bilangan
isteri); (b) mani’u al-jam’u (penghalang karena permaduan); (c) mani’u ar-riqqi (penghalang
karena perbudakan); (d) mani’u al-kufri (penghalang karena kekufuran); (e) mani’u al-ihram
(penghalang karena sedang ihram); (f) mani’u al-marad (penghalang karena sakit,; (g)
mani’u al-iddah (penghalang karena menjalankan iddah); (h) mani’u tatliqu salasan
(penghalang karena talak tiga), dan (i). mani’u az-zaujiyyah (penghalang karena ikatan
perkawinan). 

Skema penghalang perkawinan

‫ رضاع‬,‫ صهر‬,‫ نسب‬:‫متفق عليها‬


‫موانع مؤبدة‬ 
‫ اللعان‬,‫ الزنا‬:‫مختلف فيها‬
‫الموانع النكاح‬ 
)7( ,‫) مانع المرض‬6( ,‫) مانع االحرام‬5( ,‫) مانع الكفر‬4(,‫) مانع الرق‬3( ,‫) مانع الجمع‬2( ,‫) مانع العدد‬1( : ‫موانع غير مؤبدة‬
‫) مانع الزوجية‬9( ,‫) مانع التطليق ثالثا‬8( ,‫مانع العدة‬

Uraiannya sebagai berikut


Perempuan yang haram dikawini untuk selamanya
1. Haram dikawini untuk selamanya dan disepakti oleh semua ulama ada tiga macam yaitu
karena ada hubungan nasab, karena ada hubugan persemendaan (musaharah), dan
karena ada hubungan persusuan (rada’). Mereka itu adalah para wanita sebagaimana yang
disebutkan dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 22-23:
‫ وخاالتكم وبنات‬Š‫ حرمت عليكم امهاتكم وبناتكم واخواتكم وعماتكم‬.)22( ... ‫وال تنكحوا مانكح اباؤكم من النسآء االّ ما قد سلف‬
‫االخ وبنات االخت وامهاتكم التى ارضعنكم واخواتكم من الرضاعة وامهات نسآئكم وربآئبكم التى فى حجوركم من النسآئكم التى‬
‫دخلتم بهنّ فإن لم تكونوا دخلتم بهنّ فال جناح عليكم وحآلئل ابنآئكم الذين من اصالبكم وان تجمعوا بين االختين االّ ما قد سلف ان‬
)23( ‫هللا كان غفورا رحيما‬

a. Karena ada hubungan nasab. Dari ayat di atas, wanita yang tidak boleh dinikahi karena
hubungan nasab ialah:
1). Al-ummahaat (ibu kandung), termasuk al-ummahat ialah ibunya ibu (nenek) dst ke atas.
2). Al-banaat (anak perempuan kandung), termasuk al-banaat ialah cucu perempuan dst ke
bawah
3). Al-Akhawaat (saudara perempuan), baik saudari perempuan sekandung, seayah,
amupun seibu
4). Al-‘ammaat (saudari perempuannya ayah), baik sekandung, seayah, maupun seibu
5). Al-khaalaat (saudari perempuannya ibu), baik sekandung, seayah, maupun seibu
6). Banaatul akhi (anak perempuannya saudara laki-laki/keponakan dari saudara laki-laki)
7). Banaatul ukhti (anak perempuannya saudari perempuan/keponakan dari saudari
perempuan).

b. Karena ada hubungan musaharah. Adapun perempuan yang diharamkan karena ada
hubungan musaharah (persemendaan) ialah:
1). Zaujatu al-abi (isteri ayah/ibu tiri): ‫ والتنكحوا ما نكح اباؤكم من النساء‬. Para fuqaha sepakat bahwa
semata-mata akad (sekalipun belum terjadi hubungan seksual antara ayah dengan
isterinya) sudah mengakibatkan keharaman menikahi ibu tiri.
2). Zaujatu al-ibni (steri anak/menantu): ‫ وحآلئل ابنآئكم الذين من اصالبكم‬. Para fuqaha sepakat
bahwa semata-mata akad sudah mengakibatkan keharaman menikahi menantu
3). Ummu zaujiyyati (ibunya itseri/ibu mertua): ‫وامهات نسآئكم‬
4). Bintu az-Zaujah (anak perempuannya isteri/anak tiri: 
‫وربآئبكم التى فى حجوركم من النسآئكم التى دخلتم بهنّ فإن لم تكونوا دخلتم بهنّ فال جناح عليكم‬
c. Karena ada hubungan persusuan (rada’ah). Adapun perempuan yang diharamkan
karena ada hubungan persusuan (rada’ah) ialah seperti disebutkan dalam ayat di atas:
‫ وامهاتكم التى ارضعنكم واخواتكم من الرضاعة‬Rasulullah menjelaskan lebih lanjut dalam hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari Muskim dari Ibnu Abbas:
‫يحرم من الرّ ضاع ما يحرم من النسب‬Artinya: “Menjadi haram karena hubungan susuan apa yang
menjadi haram karena hubungan nasab”. Atas dasar ini maka wanita yang diharamkan di
nikahi karena hubungan susuan ialah:
1). Ibu susuan, yaitu wanita yang menyusuinya, karena ia telah menyusuinya maka
dianggap sebagai ibu dari yang menyusu. Masuk ke dalam ibu susun ini ialah nenek
susuan, yaitu ibunya ibu yang menyusui ataupun ibunya suami ibu yang menyusui dst ke
atas. 
2). Anak susuan. Termasuk dalam anak susuan ialah anak yang disusukan olehnya, anak
yang disusukan anak perempuan, dst. ke bawah
3). Saudara susuan. Termasuk dalam saudara susuan yaitu yang dilahirkan ibu susuan,
yang disusukan oleh ibu susuan, yang dilahirkan istri ayah susuan, dst. 
4). Bibi susuan. Termasuk dari bibi susuan sudari dari ibu susuan, saudari dari suami ibu
susuan.
Berkaitan dengan persusuan terjadi perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha tentang
kadar air susu dan umur pada waktu menyusu yang menyebabkan keharaman kawin.
Tentang kadar air susu yang menyebabkan keharaman kawin:
1. Menurut Ali, Ibnu Abbas, Sa’id ibnul Musayyab, Hasan Basri, al-Auza’iy, Abu Hanifah,
Imam Malik: tidak ada batasan jumlah susuan yang mengakibatkan.keharaman kawin. Oleh
karena itu menyusu banyak atau sedikit, beberapa kali atau hanya sekali mengakibatkan
keharaman kawin.Pendapat ini berdasarkan kemutlakan menyusu, yakni selama suatu
perbuatan dinamakan menyusus baik sedikit atau banyak, beberapa kali atau sekali
berakibat haramnya kawin.
2. Abdullah ibnu Mas’ud, salah satu riwayat dari Aisyah, Abdullah ibn Zubair, Asy-Syafi’I,
Imam Ahmad, Ibn Hazm berpendapat bahwa persusuan yang mengakibatkan keharaman
kawin ialah tidak kurang dari lima kali secara terpisah-pisah.
3. Bahwa keharaman perkawinan sebab hubungan persusuan menjadi tetap dengan tiga
kali menyusu atau lebih. Batasan ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw:
ِ ‫ال ُت َحرِّ ُم المصَّـ ُة َوال المص‬ 
‫َّتان‬
“Tidak menyebabkan keharaman kawin menyusu satu isapan atau dua isapan.”
Demikian pendapatnya Abu Ubaid, Abu Saur, Dawud ad-Dlahiri, dan satu riwayat dari imam
Ahmad.
Mengenai umur waktu menyusu yang menyebabkan keharaman kawin ialah susuan yang
terjadi dalam umur dua tahun. Batasan usia menyusu maksimal dua tahun ini ditunjuki oleh
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233:
‫والوالدات يرضعن اوالدهن حولين كاملين لمن اراد ان يتم الرّ ضاعة‬ 
Dalam umur dua tahun itu peranan air susu sebagai menguatkan badan dan menumbuhkan
daging anak sehingga menjadilah anak itu bahagian dari ibu yang menyusuinya sehingga
terjadilah hubugan keharaman kawin antara keduanya.
Diriwayatkan oleh ad-Daruqutni dari Ibnu Abbas, bahwa Rsulullah saw bersabda:
ِ ‫اع إالَّ فى ْال َح ْولَي‬
‫ْن‬ َ ‫ض‬َ ‫الَ َر‬
Artinya: “Tidak ada susuan kecuali dalam usia dua tahun.”
Imam Malik berpendapat bahwa penyusuan setelah berumur dua tahun, baik susuan itu
sedikit maupun banyak berkedudukan seperti air biasa. Apabila anak sebelum umur dua
tahun disapih dan dengan disapihnya itu tidak lagi memerlukan air susu, lalu setelah itu
anak menyusu lagi, maka penyusuan itu tidak menyebabkan keharaman kawin.
Penghalang perkawinan karena susuan ini hendaknya diperhatikan sungguh-sungguh, hal
ini karena di kampung-kampung masih sering terjadi seorang ibu tidak hanya menyusui
anaknya, terkadang anak tetangganya yang diitipkan kepadanya, Jangan sampai terjadi
seseorang tidak mengetahui saudara sesusuannya sehingga kelak antara keduanya kawin
yang sebenarnya perkawinan antara keduanya tidak dibenarkan menurut hukum Islam.
Demikian juga mengenai penyelenggaraan Bank ASI yang ada di beberapa tempat perlu
mendapat perhatian dan ditangani dengan memperhatikan aspek hokum Islam mengenai
rada’ah, sehingga tidak sampai terjadi seseorang mengawini saudara sesusuannya atau
seseorang menikahi bibi susuan, ibu susuan, dst.

2. Penghalang perkawinan yang bersifat selamanya tetapi masih diperselisihkan oleh para
fuqaha
a. Mani’u az-Zina (Penghalang perkawinan karena perbuatan zina). Dimaksud dengan
mani’u az-zina di sini ialah bahwa perbuatan zina itu menjdi penghalang bagi perkawinan,
sehingga diharamkan orang yang bersih dari zina mengawini wanita pezina. Dasar
hukumnya ialah firman Allah surat an-Nur ayat 3:
)3 :‫ إال زان او مشرك وحرم ذلك على المؤمنين (النور‬Š‫الزانى ال ينكح إالّ زانية أو مشركة والزانية ال ينكحها‬
Maksud ayat di atas ialah tidak pantas orang yang beriman kawin dengan wanita yang
berzina, demikian pula sebaliknya. Para ulama berbeda pendapat tentang haram atau
tidaknya laki-laki mu’min mengawini wanita pezina. Penyebab perbedaan pendapat dalam
masalah ini ialah apakah larangan dalam ayat 3 surat an-Nisa di atas sebagai celaan atau
menunjukkan keharaman. Lebih lanjut, apakah lafadz dzalika dalam firman Allah di atas
(wa hurima dzalika) itu menunjuk kepada zina atau nikah. Jumhur fuqaha berpendapat
bahwa bahwa ayat 3 surat an-Nisa’ itu menunjukkan dzam (celaan) bukan mengharamkan.
Hal ini harus dihubungkan dengan hadits yang menerangkan bahwa seorang sahabat
menghadap Nabi dan mengemukakan bahwa isterinya tidak menolak tangan laki-laki lain
yang memegangnya , kemudian Nabi memerintahkan agar isteri yang demikian itu dicerai
saja. Sahabat menjawab bahwa ia masih mencintainya. Kemudin Nabi menyuruh agar isteri
yang demikian itu tetap dipelihara……
b. Mani’u Li’an (Penghalang perkawinan karena sumpah li’an). Sumpah li’an yaitu sumpah
yang dilakkan oleh suami terhadap isterinya karena suami menuduh isterinya berbuat zina
dengan laki-laki lain atau suami mengingkari kehamilan isteri dari perbuatannya. Tuduhan
zina atau pengingkaran kehamilan itu dilakukan dengan cara suami mengucaqpkan empat
kali dan sumpah/peraksian dan sumpah yang kelima disertai sumpah bahwa tuduhnnya itu
benar, suami bersedia menerima laknat Allah kalau jika tuduhannya itu bohong. Atas
tuduhan suaminya itu, isteri dapat terbebas dari sanksi pidana zina apabila ia mau
bersumpah empat kali bahwa tuduhan suaminya itu bohong dan sumpahnya yang kelima
disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima murka Allah jika tuduhan suaminya itu
benar. Dasar hukum sumpah li’an ialah firman Allah surat an-Nur ayat 6-8:
‫ الذين يرمون أزواجهم ولم يكن لهم شهداء إال انفسهم فشهادة احدهم اربع شهادات باهلل‬.... 
Setelah terjadi prosesi mula’anah (saling meli’an) antara suami isteri, maka terputuslah
perkawinan mereka. Setelah putus perkawinan itu apakah suami yang telah meli’an
isterinya itu masih mungkin kembali kepada isterinya dengan akad perkawinan yang baru,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur fuqaha, di antaranya imam Malik,
imam asy-Syafi’I, as-Sauri, berpendapat bahwa percerian antara keduanya bersifat
selamanya sehingga antara keduanya tidak diperbolehkan kawin untuk selamanya. Mereka
beralasan dengan hadis Nabi: 
‫ فرق رسول هللا صلعم بين المتالعنين وقال حسبكما على هللا احدكما كاذب السبيل‬ 
“Rasulullah saw telah menceraikan di antara dua orang yang saling meli’an dan bersabda
“perhitunganmu diserahkan kepada Allah, salah seorang di antaramu adalah pembohong,
tidak ada jalan cara untukmu kembali keadanya”.
Sementara itu imam Abu Hanifah berpendapat bahwa antara keduanya bisa kembali
membangu perkawinan apabila salah seorang di antara keduanya mencabut sumpah
li’annya.
Perempuan yang haram dikawini untuk sementara waktu
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perempuan yang diharamkan untuk sementara
waktu ada 9 . Akan tetapi tidak semua harus dijelaskan karena yang dulu dilarang,
sekarang sudah tidak ada lagi wujudnya, seperti perbudakan.
1. ‫( مانع العدد‬penghalang perkawinan karena bilangan isteri). 
Dalam keadaan tertentu dan dengan syarat-syarat yang berat dibolehkan seorang laki-laki
beristri lebih dari seorang, yaitu dua, tiga, dan maksimal empat orang. Apabila seorang laki-
laki sudah beristeri empat orang, maka tidak diperbolehkan untuk menambah isteri lagi.
Dengan demikian yang dimaksud dengan penghalang perkawinan karena jumlah isteri ialah
ketika seorang laki-laki sudah beristeri empat orang maka perempuan yang manapun
haram untuk dijadikan isteri yang kelima, karena batas maksimal poligami adalah empat
orang iseri, hal ini sebagamana disebutkan dalam firman Allah:
... )3 :‫ (النسآء‬...‫وإن خفتم آن ال تقسطوا فى اليتمى فانكحوا ما طاب من النسآء مثنى وثالث ورباع‬
2. ‫( مانع الجمع‬penghalang perkawinan karena permaduan).
Diharamkan laki-laki memadu antara dua orang perempuan bersaudara dalam satu waktu
yang bersamaan. Apabila mengawini mereka secara berganti-ganti, umpama seorang .laki-
laki menikahi seorang wanita tetapi kemudian isterinya itu meninggal atau dicerai, maka
laki-laki itu boleh menikahi adik atau kakak mantan isterinya Tidak diperbolekan juga
mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya (‘ammah maupun khalah). Larangan
mengumpulkan dua orang wanita yang mempunyai hubungan nasab dalam satu
perkawinan, seperti disebutkan di atas adalah didasarkan kepada:
a. Surat an-Nisa’ ayat 23 di atas: ‫وأن تجمعوا بين االختين‬ 
b. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah:
‫أن النبىّ صلعم نهى أن تجمع بين إمرأ ٍة وعمّتها وبين أمرأ ٍة وخالتها‬ 
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw melarang mengumpulkan (sebagai isteri) antara
seorang wanita dengan ‘ammahnya dan antara seorang wanita dengan khalahnya.”
3. ‫( مانع الكفر‬penghalang perkawinan karena kekafiran).
Wanita muslimah hanya boleh kawin dengan laki-laki muslim dan tidak boleh kawin dengan
laki-laki kafir. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 221 dan
surat al-Mumtahanah ayat 10. Selain itu wanita muslimah yang dikawinkan dengan laki-laki
kafir akan menggoyahkan aqidah, membahayakan agama si wanita karena biasanya wanita
mengikuti suaminya, termasuk mengikuti agama suami dan suami akan menariknya kepada
kekafiran. Laki-laki muslim dibolehkan kawin dengan perempun muslimah atau kitabiyah,
tidak boleh menikah dengan wanita kafir atau musyrikah.
4. ‫( مانع االحرام‬penghalang perkawinan karena ihram) 
Orang yang sedang ihram haji ataupun umrah tidak boleh mengadakan akad nikah, baik
untuk dirinya ataupun orang lain. Aqad nikah yang dilakukan pada waktu ihram menjadi
batal. Hal ini didasarkan kepada hadis riwayat Muslim, bahwa Rasul bersabda:
‫ال َي ْن َك ُح المحر ُم وال ُي ْنكح وال يخطب‬ 
Artinya: “Orang yang sedang ihram tidak boleh kawin, mengawinkan, dan meminang.” 
Yang berpendapat bahwa orang yang sedang ihram tidak boleh melakukan akad nikah,
tidak boleh menikahkan ialahUmar bin Khattab, Ali, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, asy-Syafi’I,
Ahmad. Adapun ulama Hanafiyah membolehkan mengadakan akad perkawinan ketika
sedang ihram, yang tidak diperbolehkan ialah melakukan hubungan seksual selama ihram. 
5. ‫( مانع العدة‬penghalang perkawinan karena menjalani iddah)
Wanita yang sedang menjalani iddah, baik iddah cerai maupun iddah ditinggal mati haram
dikawini berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 228 dan ayat 234
6. ‫( مانع الزوجية‬penghalang perkawinan karena ikatan perkawinan).
Yang dimaksud dengan penghalang perkawinan karena ikatan perkawinan bahwa
perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan dengan seorang laki-laki haram
dikawini oleh siapapun. Bahkan perempuan yang sedang dalam perkawinan itu dilarang
untuk dilamar baik secara jahr, terus-terang ataupun secara sindiran, meskipun dengan
janji akan dikawini apabila nanti diceraikan dan sudah habis iddahnya. Keharaman ini
berlaku selama suaminya masih hidup atau belum dicerai. Setelah suaminya mati atau
telah diceraikan, maka ia boleh dikawini oleh siapa saja. Keharaman mengawini perempuan
yang sedang bersuami ini didasarkan kepada firman Allah surat an-Nis ayat 24:
‫والمحصنات من النسآء إال ما ملكت ايمانكم‬
Dari ayat di atas menutup kemungkinan berlakunya perkawinan poliandri dalam Islam
B. Perkawinan yang Dilarang
Berdasarkan berbedanya motivasi melakukanp perkawinan atau karena bermacam-
macamnya prosedur dan proses terjadinya perkawinan, maka terdapat beberapa bentuk
perkawinan yang berbeda-beda sifatnya. Bentuk perkawinan itu ada yang sesuai dengan
ketentuan syara’ ada juga yang tidak sesuai yang karenanya tidak boleh dilakukan dan
kalau sudah berlangsung, perkawinan harus dibatalkan. Ada beberapa bentuk perkawinan
yang dilarang oleh Islam, yaitu:

1. ‫ نكاح الخدن‬yaitu suatu bentuk perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dan
perempuan secara diam-diam, sembunyi-sembunyi, tidak melalui peminangan, tanpa ijab
qabul, dan tanpa mahar, melainkan secara lagsung antara keduanya hidup bersama
sebagai suami isteri. Pada masyarakat Indonesia, perkawinan yang demikian disebut
“kumpul kebo”. Nikah al-khidn terjadi pada masa jahiliyah dan kemudian dibatalkan oleh
Islam, sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 25, al-Maidah ayat 5
2. ‫ نكاح البدل‬yaitu bentuk perkawinan yang terjadi dengan cara tukar menukar isteri, misalnya
seorang laki-laki yang sudah beristeri menukarkan isterinya dengan isteri laki-laki laian,
dengan menambah sesuatu. Perkawinan jenis ini terjadi ada masa jahiliyah dan selanjutnya
dibatalkan oleh Islam.
3. ‫ نكاح االستبضاع‬yaitu suatu perkawinan sementara yang terjadi antara seorang isteri yang
telah bersuami dengan laki-laki lain untuk mengambil benihnya. Apabila si wanita telah
hamil, ia diambil kembali oleh suaminya. Motif perkawinan demikian adalah untuk
memperoleh anak yanh cerdas. Bentuk perkawinan seperti ini terjadi apada jaman jahiliyah
kemudian dibatalkan oleh Islam.
4. ‫ نكاح المتعة‬yaitu perkawinan ntuk sementara waktu, yaitu suatu bentuk perkawinan yang
dalam akad perkawinannya dinyatakan bahwa perkawinan itu berlaku untuk beberapa
waktu tertentu, seperti satu tahun, satu bulan, dan sebagainya. Oleh karena itu pula nikah
mut’ah bisa disebut dengan nikah mu’aqqat (nikah yang ditentukan waktu berlakunya). 
Tentang nikah mut’ah ini pernah Rasulullah beberapa kali memberikan rukhsah, kemudian
oleh beliau diharamkan untuk selamanya. Jumhur ulama menetapkan keharaman nikah
mut’ah, tetqapi golongan Syi’ah membolehkannya.
Dalam nikah mut’ah dilihat dari unsure nikah tidak ada rukun yang dilanggar, akan tetapi
dari segi persyaratan ada yang tidak terpenuhi, yaitu ada masa tertentu bagi umur atau
waktu perkawinan sebagai batasan waktu, sedangan tidk adanya masa tertentu merupakan
salah satu syarat dari akad perkawinan.
5. ‫ نكاح التحليل‬yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang ditalak
tiga oleh suaminya. Perkawinan ini dimaksudkan agar setelah isteri ditalak oleh suami
kedua dapat kawin lagi dengan suami pertama . Dengan demikian nkah tahlil bertujuan
menghalalkan bekas isteri kawin lagi dengan bekas suaminya yang telah mentalak
tiga.Pernikahan tahlil ini tidak menyalahi rukun yang telah ditetapkan, akan tetapi karena
niat orang yang mengawini itu tidak ihlas dan tidak untuk maksud sebenarnya, perkawinan
tahlil ini dilkarang oleh Nabi dan pelakunya, baik laki-laki yang menyuruh kawin (muhallal
lahu) atau laki-laki yang menjadi penghalal (muhallil) dilaknat oleh Rasulullah, sebagaimana
disebutkan dalam hadis:
‫لَ َع َن رسو ُل هللا صلعم اَ ْلم َُحلِّ َل َو ْالم َُحلَّ َل َل ُه‬ 
“Rasulullah saw melaknat muhallil (orang yang disuruh kawin) dan muhallal lahu (orang
yang menyuruh kawin)”
6. ‫ نكاح الشعار‬yaitu perkawinan dengan cara seorang laki-laki (wali) mengawinkan anak
perempuannya dengan laki-laki lain dengan syarat lelaki itu mengawinkan anak
perempuannya dengan dia tanpa adanya mahar. Nikah syigar merupakan tukar menukar
anak peremuan tanpa maskawin. Yang tidak terdapat dalam perkawinan demikian ialah
mahar dan adanya syarat untuk saling mengawini dan mengawinkan. Oleh karena itu nikah
syigar dilarang oleh Islam, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
‫نهى رسو ل هللا صلعم عن الشغار‬
“Rasulullah saw melarang perkawinan syigar”
--------
Diposkan oleh HIMA ILMU HUKUM di 00.33

Reaksi: 
 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: HUKUM, KULIAH, UMUM

Anda mungkin juga menyukai