Anda di halaman 1dari 30

Kandungan Hadits Tentang Izin Perempuan Dan Kafa’ah Serta Mahar

Dalam Pernikahan

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Studi Hadist Hukum Keluarga

Dosen Pengampu
Prof. Dr. Fahmi Al-Amruzi, M.Hum
Dr. Rahmat Salihin, M.Ag

Disusun oleh
Euis Madiihatul Khuluqiyah
NIM. 200211050119

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA BANJARMASIN
TAHUN 2020 /2021 M
KATA PENGANTAR

Asaalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak akan
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa sholawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah atas limpahan nikmat sehat-Nya, sehingga
makalah “Hadits Tentang Izin Perempuan Dan Kafa’ah Serta Mahar Dalam
Pernikahan” dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Studi Hadist Hukum Keluarga yang dibimbing oleh Prof. Dr. Fahmi Al-Amruzi, M.Hum
dan Dr. Rahmat Salihin, M.Ag. Penulis berharap makalah tentang Hadits Tentang Izin
Perempuan Dan Kafa’ah Serta Mahar Dalam Pernikahan ini bermanfaat bagi penulis sendiri
dan teman-teman sekalian.

Penulis menyadari makalah bertema hadits tentang Izin Perempuan Dan Kafa’ah Serta Mahar
Dalam Pernikahan ini masih perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan kekurangan.
Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten, penulis
memohon maaf.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Banjarmasin, 16 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Hadits Tentang Izin Perempuan Dan Kafa’ah Serta Mahar Dalam Pernikahan............i

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................iii

BAB I Pendahuluan......................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................2

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................2

BAB II Pembahasan.....................................................................................................3

A. Izin Dalam Pernikahan....................................................................................3

B. Kafaah Dalam Penikahan................................................................................7

C. Mahar Dalam Pernikahan.............................................................................16

BAB III Penutup..........................................................................................................25

A. Kesimpulan...................................................................................................25

B. Saran.............................................................................................................25

Daftar Pustaka..................................................................................................................
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Fase sebelum pernikahan, yakni fase pemilihan jodoh, selalu menjadi momen yang
sangat sulit bagi beberapa orang, karena memang fase yang dilaluinya tidak berjalan
dengan baik dan terbilang susah. Terlebih lagi bagi seorang wanita. Dari mulai
kasus dijodohkan dengan laki-laki yang ia tidak cinta dan tidak sukai, sampai
masalah wanita yang tertipu calon suaminya. Dalam bahasa yang lebih tegas, wanita
tidak boleh memilih dan tidak punya hak pilih untuk calon suami. Nyatanya
memamng syariat ini memberikan ruang yang luas untuk wanita memilih siapa yang
akan menjadi pendamping hidupnya.

Kafaah ditinjau dari sisi kebahasaan mengandung arti persamaan dan keserupaan.
sedangkan Kaff adalah orang yang serupa dan sepadan. Maksud kafaah dalam
pernikahan adalah bahwa suami hendaknya sekufu dengan istrinya. Artinya dia
memiliki kedudukan yang sama dan sepadan dengan istrinya dalam hal tingkatan
sosial, moral, dan ekonomi. Tidak pungkiri bahwa manakala kedudukan laki-laki
(yang akan menjadi suami) sepadan dengan kedudukan perempuan (yang akan
menjadi istrinya), maka keharmonisan dalam berumah tangga kemungkinan besar
dapat tercapai dan menutup segala pintu yang dapat menghancurkan pernikahannya.

Islam mewajibkan pemberian mahar dari pihak laki-laki kepada wanita dalam
pernikahan. Hal ini disyariatkan sebagai bukti bahwa agama ini memuliakan wanita
dengan maksimal, juga sebagai wujud nyata keseriusan laki-laki yang hendak
menikahi wanita pujaanya. Sebagaimana diketahui bahwa pernikahan merupakan
kontrak sosial antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama, maka demi
memulai komitmen itu seorang laki-laki diharuskan memberikan pemberian
berharga sebagai tanda kecintaanya kepada calon istrinya. Kemudian barang
pemberian itu harus menjadi hak milik sang istri.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis menarik rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Seperti apa izin dalam pernikahan ?

2. Seperti apa kafa’ah dalam pernikahan ?

3. Seperti apa mahar dalam pernikahan ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan serta penyusunan dalam makalah ini

adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui dan memahami izin dalam pernikahan.

2. Mengetahui dan memahami kafa’ah dalam pernikahan.

3. Mengetahui dan memahami mahar dalam pernikahan.


‫‪BAB II‬‬
‫‪Pembahasan‬‬

‫‪A. Izin Dalam Pernikahan‬‬

‫‪Memilih calon pasangan hidup itu bukan hanya hak seorang laki-laki. Syariat‬‬
‫‪Islam juga memberikan hak yang sama besarnya kepada para wanita dalam memilih‬‬
‫‪calon suami yang akan menjadi pendampin hidupnya.‬‬

‫‪1. Atas Izin dan Persetujuan Wanita1‬‬


‫‪Hak seorang wanita sebelum dinikahkan adalah dimintai izin dan‬‬
‫‪persetujuannya terlebih dahulu. Dasarnya adalah hadits berikut ini :‬‬

‫ث‬
‫‪A‬ار ِ‬ ‫يريُّ َح َّدثَنَا َخالِ ‪ُ A‬د ب ُْن ْال َح‪ِ A‬‬
‫ار ِ‬ ‫َح َّدثَنِي ُعبَ ْي ُد هَّللا ِ ب ُْن ُع َم َر ب ِْن َم ْي َس َرةَ ْالقَ َو ِ‬
‫ير َح َّدثَنَا أَبُو َسلَ َمةَ َح َّدثَنَا أَبُو هُ َري َْرةَ أَ َّن‬
‫َح َّدثَنَا ِه َشا ٌم َع ْن يَحْ يَى ب ِْن أَبِي َكثِ ٍ‬
‫ال اَل تُ ْن َك ُح اأْل َيِّ ُم َحتَّى تُ ْستَأْ َم َر َواَل تُ ْن َك ُح‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَ َ‬
‫ُول هَّللا ِ َ‬
‫َرس َ‬
‫تو‬ ‫‪A‬ال أَ ْن تَ ْس‪ُ A‬ك َ‬ ‫ْالبِ ْك ُر َحتَّى تُ ْستَأْ َذ َن قَ‪AA‬الُوا يَ‪AA‬ا َر ُس‪A‬و َل هَّللا ِ َو َك ْي‪َ A‬‬
‫‪A‬ف إِ ْذنُهَ‪AA‬ا قَ‪َ A‬‬
‫ب َح َّدثَنَا إِ ْس َم ِعي ُل ب ُْن إِب َْرا ِهي َم َح َّدثَنَا ْال َحجَّا ُج ب ُْن أَبِي‬
‫َح َّدثَنِي ُزهَ ْي ُر ب ُْن َحرْ ٍ‬
‫يس ‪A‬ى يَ ْعنِي اب َْن يُ‪AA‬ونُ َ‬
‫س‬ ‫وس ‪A‬ى أَ ْخبَ َرنَ‪AA‬ا ِع َ‬ ‫ان ح و َح َّدثَنِي إِب َْرا ِهي ُم ب ُْن ُم َ‬ ‫ُع ْث َم َ‬
‫ب َح‪َّ AA‬دثَنَا ح َ‬
‫ُس‪AA‬ي ُْن ب ُْن ُم َح َّم ٍد‬ ‫َع ْن اأْل َ ْو َز ِ‬
‫اع ِّي ح و َح‪َّ AA‬دثَنِي ُزهَيْ‪ُ AA‬ر ب ُْن َح‪ AA‬رْ ٍ‬
‫‪A‬ع قَ‪A‬ااَل َح‪َّ A‬دثَنَا َع ْب‪ُ A‬د‬‫ان ح و َح َّدثَنِي َع ْمرٌو النَّاقِ ُد َو ُم َح َّم ُد ب ُْن َرافِ‪ٍ A‬‬ ‫َح َّدثَنَا َش ْيبَ ُ‬
‫ار ِم ُّي أَ ْخبَ َرنَ‪AA‬ا‬
‫اق َع ْن َم ْع َم ٍر ح و َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ال ‪َّ A‬د ِ‬ ‫ال َّر َّز ِ‬
‫‪A‬ير بِ ِم ْث‪ِ A‬ل َم ْعنَى‬
‫اويَةُ ُكلُّهُ ْم َع ْن يَحْ يَى ب ِْن أَبِي َكثِ‪ٍ A‬‬
‫َّان َح َّدثَنَا ُم َع ِ‬
‫يَحْ يَى ب ُْن َحس َ‬
‫اويَةَ ْب ِن َس ‪A‬اَّل ٍم‬ ‫ق لَ ْفظُ َح ِدي ِ‬
‫ث ِه َش ٍام َو َش ْيبَ َ‬
‫ان َو ُم َع ِ‬ ‫ث ِه َش ٍام َوإِ ْسنَا ِد ِه َواتَّفَ َ‬‫َح ِدي ِ‬
‫فِي هَ َذا ْال َح ِدي ِ‬
‫ث‬
‫‪1‬‬
‫‪Zarkasih LC. Ahmad, Menakar Kufu Dalam Memilih Jodoh, Jakarta : Rumah Fiqih, 2018, hal. 36‬‬
Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Umar bin Maisarah Al Qawariri
telah menceritakan kepada kami Khalid bin Harits telah menceritakan kepada
kami Hisyam dari Yahya bin Abi Katsir telah menceritakan kepada kami Abu
Salamah telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah bahwa Rasulullah
‫ ﷺ‬bersabda, "Janganlah menikahkan seorang janda sebelum
meminta persetujuannya, dan janganlah menikahkan anak gadis sebelum
meminta izin darinya." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana
mengetahui izinnya?" Beliau menjawab, "Dia diam." Dan telah menceritakan
kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim
telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Abi Utsman. Dan diriwayatkan dari
jalur lain, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Musa telah mengabarkan
kepada kami Isa yaitu Ibnu Yunus dari Al Auza'i. Dan diriwayatkan dari jalur
lain, telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada
kami Husain bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Syaiban. Dan
diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Amru An Naqid dan
Muhammad bin Rafi' keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami
Abdur Razzaq dari Ma'mar Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi telah mengabarkan kepada
kami Yahya bin Hasan telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah semuanya
dari Yahya bin Abi Katsir seperti makna hadits Hisyam beserta isnadnya.
Lafazh hadits ini juga sesuai dengan hadits Hisyam, Syaiban dan Mu'awiyah bin
Salam. (HR. Muslim no. 2543, no. 1419 pada Syarah Shahih Muslim)2.

‫ ِد هَّللا ِ ب ِْن‬A‫ ْع ٍد َع ْن َع ْب‬A‫ا ِد ب ِْن َس‬AAَ‫ان َع ْن ِزي‬ ُ َ‫ ْفي‬A‫و َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ ب ُْن َس ِعي ٍد َح َّدثَنَا ُس‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬َ ‫ي‬ َّ ِ‫س أَ َّن النَّب‬
ٍ ‫ْالفَضْ ِل َس ِم َع نَافِ َع ب َْن ُجبَي ٍْر ي ُْخبِ ُر َع ْن اب ِْن َعبَّا‬
‫ ُكوتُهَا و‬AA‫ق بِنَ ْف ِسهَا ِم ْن َولِيِّهَا َو ْالبِ ْك ُر تُ ْستَأْ َم ُر َوإِ ْذنُهَا ُس‬
ُّ ‫ال الثَّيِّبُ أَ َح‬
َ َ‫َو َسلَّ َم ق‬
ُّ A‫ال الثَّيِّبُ أَ َح‬A
‫هَا‬A ‫ق بِنَ ْف ِس‬ ُ َ‫َح َّدثَنَا اب ُْن أَبِي ُع َم َر َح َّدثَنَا ُس ْفي‬
َ Aَ‫ان بِهَ َذا اإْل ِ ْسنَا ِد َوق‬
َ Aَ‫ا ق‬AA‫ َماتُهَا َو ُربَّ َم‬A‫ص‬
‫ال‬A ُ ‫ا‬AAَ‫هَا َوإِ ْذنُه‬A‫ِم ْن َولِيِّهَا َو ْالبِ ْك ُر يَ ْستَأْ ِذنُهَا أَبُوهَا فِي نَ ْف ِس‬
‫ص ْمتُهَا إِ ْق َرا ُرهَا‬
َ ‫َو‬

Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan
kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa'ad dari Abdullah bin Fadll bahwa dia
mendengar Nafi' bin Jubair mengabarkan dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi
‫ ﷺ‬bersabda, "Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada
walinya, sedangkan perawan (gadis) harus dimintai izin darinya, dan diamnya
adalah izinnya." Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah
menceritakan kepada kami Sufyan dengan isnad ini, beliau bersabda, "Seorang
2
Ensiklopedi Hadis, Muslim no. 2543
janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis),
maka ayahnya harus meminta persetujuan atas dirinya, dan persetujuannya
adalah diamnya." Atau mungkin beliau bersabda, "Dan diamnya adalah
persetujuannya." (HR. Muslim no. 2546, no. 1421 pada Syarah Shahih Muslim).

Dari Hadist diatas dapat kita lihat, pertama menjelaskan kata ‫ اأْل َيِّ ُم‬disitu ada
perbedaan pendapat, ada yg mengatakan perempuan janda atau pendapat lainnya
mengatakan perempuan yang tidak bersuami, entah memang belum menikah
atau sudah janda.

Kemudian di kalimat ُّ A‫ الثَّيِّبُ أَ َح‬disana


‫هَا ِم ْن َولِيِّهَا‬A ‫ق بِنَ ْف ِس‬ sepakat kalau
perempuan janda harus di mintai izin dulu sebelum menikahkannya. Kemudian
ada perbedaan pendapat, apakah janda boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa
wali atau tidak boleh, kalau Mazhab Hanafi mengatakan boleh, karena hadist
tersebut mengatakan janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dan Mazhab
Syafi'i mengatakan tidak boleh, karena hadist tersebut hanya menjelaskan bahwa
dia lebih berhak atas dirinya dengan cara, wali harus meminta izin dulu
kepadanya, sebelum menikahkannya, bukan kuasa penuh atas pernikahannya
sehingga boleh menikahkan diri sendiri tanpa wali.

Alasan Mazhab Syafi'i dengan hadist lain َ Aِ‫اح إِاَّل ب‬A


‫ولَ ٍّي‬A َ A‫ اَل نِ َك‬Tidak ada
pernikahan tanpa wali. Kemudian yang masih perawan bgaimana?, Apakah
meminta izinnya wajib atau hanya sunnah?, kalau walinya selain ayah dan
kakeknya maka sepakat mereka harus meminta izin dulu tapi kalau walinya
ayahnya atau kakeknya disini ada perbedaan pendapat.
Menurut Mazhab Syafi'iah hanya sunnah saja, walinya boleh
menikahkannya tanpa persetujuan darinya sedangkan menurut Mazhab
Hanafiyah wajib walinya meminta izin. Dalil Hanafi dilihat dari zohir hadistnya
yang menyuruh meminta izin sedangkan Dalil Syafi'i : ayah dan kakek tidak
mungkin menikahkan putri nya asal-asalan karena kasih sayang yang ada di
hatinya. Sehingga boleh-boleh saja menikahkan walau tanpa izin3.

3
AN-Nawawi. IMAM, Syarah Shahih Muslim, Beirut : Daarul Ma’rifah, jilid 7
2. Diajak Mempertimbangkan
Selain dimintai izin dan persetujuannya, para wanita juga berhak untuk
diajak berembug dan bermusyarah, khususnya dalam penentuan siapa yang akan
menjadi pilihan hatinya dalam memilih suami.

3. Mendapatkan Lelaki Yang Sekufu’

Wanita dalam syariat diberikan hak khusus dan dilindungi untuk


mendapatkan laki-laki yang sekufu’ alias setara dan sederajat dengannya.
Karenanya kewajiban mendatangkan laki-laki yang sekufu’ dengan si gadis itu
dibebankan kepada para wali dan orang tua yang memang memegang kendali
atas siapa saja yang bisa diterima sebagai menantunya.
B. Kafa’ah Dalam Pernikahan

1. Pengertian Kafa’ah

Dalam kamus bahasa Arab, kafâ`ah berasal dari kata ً‫أَة‬AAَ‫ ُم َكاف‬-ُ‫افِئ‬AA‫يُ َك‬-َ‫َكافَأ‬
yang berarti kesamaan, sepadan dan sejodoh. Sedangkan dalam kamus lengkap
Bahasa Indonesia, kafâ`ah berarti seimbang, yaitu keseimbangan dalam memilih
pasangan hidup. Firman Allah Swt dalam al-Qur`an disebutkan juga katakata
yang berakar kafâ`ah.

‫َولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ُكفُ ًوا أَ َح ٌد‬


Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (Q.S. al-Ikhlash, 112: 4)
Maksud dari ayat di atas adalah, sifat ketauhidan Tuhan terhadap
mahluknya, Allah Swt adalah satu dan tidak ada yang menyamainya, namun
ketika dikaitkan dengan kafâ`ah maka mempunyai arti sebaliknya. Yang berarti
ciptaan tuhan mempunyai kesamaan dan mempunyai keserasian. Kafâ`ah atau
kufu` menurut bahasa artinya setara, seimbang atau keserasian, kesesuaian,
serupa, sederajat atau sebanding. Kafâ`ah atau kufu` dalam perkawinan menurut
hukum Islam yaitu keseimbangan atau keserasian antara calon istri dan suami
sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
perkawinan atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dengan
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta
dalam kekayaan. Jadi yang ditekankan dalam hal kafâ`ah adalah keseimbangan,
keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan
ibadah4.

Kafâ`ah dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu


keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami dalam hal tingkatan
sosial, moral, ekonomi, sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan perkawinan. Kafâ`ah dalam perkawinan merupakan faktor yang
dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin

4
Taufik. Otong Husni, KAFAAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM, E-Journal, Vol.5 No.2, 2017
hal. 171
7
keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
Kafâ`ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami istri, tetapi tidak
menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafâ`ah adalah hak bagi wanita dan
walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi atau sesuai maka
menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan
terjadinya perceraian, oleh karna itu boleh dibatalkan.

2. Hikmah dan Tujuan Kafa’ah

Hikmah kafâ`ah dalam pernikahan di antaranya adalah sebagai berikut :


a. Kafâ`ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan
Islam dalam pernikahan.
b. Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan
perempuan sebagai makmumnya.
c. Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat
suaminya.
Tujuan utama kafâ`ah adalah ketenteraman dan kelanggengan sebuah rumah
tangga. Karena jika rumah tangga didasari dengan kesamaan persepsi,
kekesuaian pandangan, dan saling pengertian, maka niscaya rumah tangga itu
akan tentram, bahagia dan selalu dinaungi rahmat Allah Swt. Namun
sebaliknya, jika rumah tangga sama sekali tidak didasari dengan kecocokan
antar pasangan, maka kemelut dan permasalahan yang kelak akan selalu
dihadapi5.

3. Pendapat Para Imam Mazhab Tentang Kafa’ah

a. Mazhab Hanafi
Memandang kafa‘ah sebagai kesamaan laki-laki dan perempuan dalam
6 hal: nasab, Islam, pekerjaan, kemerdekaan, agama dan harta. Menurut
pendapat ini, secara garis besar manusia dibedakan kepada dua kelompok:
Arab dan Ajam. Pada masing-masing kelompok terdapat pula kelas-kelas
menengah, atas dan bawah ditinjau dari segi ekonomi, keturunan, pekerjaan

5
Taufik. Otong Husni, 2017, hal. 179
8
dan lain-lain. Sebagai contoh, dalam masyarakat Arab dikenal qabilah
Quraisy dan bukan Quraisy. Suku Quraisy dianggap yang paling mulia.
Maka dari segi nasab, perempuan Quraisy hanya kafa‘ah bagi laki-laki
Quraisy saja meskipun beda qabilah, seperti perempuan Bani Hasyim
dengan lakilaki Bani Naufal. Tapi bila dia bukan perempuan dari suku
Quraisy, maka laki-laki Arab manapun kafa‘ah baginya. Sedangkan laki-laki
ajam tidak kafa‘ah bagi perempuan Arab dalam hal apapun seperti tidak
kafa‘ahnya laki-laki bukan Quraisy bagi perempuan Quraisy.

b. Mazhab Maliki
Kafa‘ah dalam nikah dipandang dari dua pokok bahasan:
keberagamaannya, yakni bahwa dia adalah muslim dan bukan fasiq, dan
tidak memiliki aib ataupun penyakit yang memberikan si istri hak untuk
memilih (untuk meneruskan pernikahan tersebut atau menolak), seperti
sopak, gila, kusta atau lepra. Poin yang kedua adalah hak mutlak isteri.
Sedangkan kafa‘ah dalam bidang harta, nasab dan pekerjaan, kebanyakan
ulama Hanafiy berpendapat bahwa faktor-faktor tersebut tidak menjadi
syarat sah aqad. Jadi seorang kuli angkat atau pandai besi, sah-sah saja atau
kafa‘ah untuk menikahi perempuan terhormat atau kaya. Hanya saja dalam
hal kemerdekaan, terdapat perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan
kafa‘ah, sebagian lagi mengatakan bahwa yang kafa‘ah dengan perempuan
terhormat atau kaya hanyalah budak berkulit putih (Arab) sedangkan budak
berkulit hitam tidak kafa‘ah.

c. Ulama Syafi’i
Memandang kafa‘ah sebagai sesuatu yang wajib bersih dari aib
ataupun penyakit. Jelasnya suami istri paling tidak mesti memiliki kesamaan
(musawah) dalam kesempurnaan atapun kekurangan sepanjang selamat dari
aibaib nikah. Sebagai contoh, kesamaan (musawah) disini bukan berarti
bahwa keduanya kafa‘ah bila sama-sama menderita sopak atau lepra.
Bahkan bila hal ini terjadi, masing-masing pihak berhak menuntut fasakh
karena seperti kata orang bijak, “manusia biasanya membenci apa yang tidak

9
dia benci jika terjadi pada dirinya”.

Secara garis besar ulama Syafi’i mensyaratkan kafa‘ah dalam empat


hal: nasab, agama, kemerdekaan dan pekerjaan atau profesi. Adapun nasab,
manusia dikategorikan kepada dua kelompok: Arab dan Ajam. Sama halnya
dengan pendapat ulama Maliki, bangsa Arab dibedakan kepada Quraysy dan
bukan Quraysy. Selain Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib yang
dipandang paling mulia, sesama kaum Quraysy adalah kafa‘ah. Sedangkan
orang Arab yang lain kafa‘ah hanya antara sesama mereka dan tidak dengan
kaum Quraysy. Sementara ajam tidak kafa‘ah dengan orang Arab meskipun
ibu-ibu mereka adalah keturunan Arab. Selain itu perempuan yang bernasab
kepada seseorang yang mulia harus dinikahkan dengan suami yang bernasab
kepada orang yang setara baik dia Arab maupun Ajam. Selain dari keturunan
Fatimah ra yang bernasab kepadanya karena dia adalah puteri Nabi Saw,
seseorang bernasab kepada bapaknya.

d. Ulama Hambali
Kafa‘ah adalah musawah dalam lima hal:
1) keberagamaan: laki-laki penzina yang fasiq tidak kafa‘ah dengan
perempuan sholehah yang adil dan ‘afifah karena ditolak kesaksian dan
riwayatnya serta dipandang cacat pribadinya dimata masyarakat
2) Usaha/profesi: seorang laki-laki yang berprofesi lebih rendah tidak
kafa‘ah bagi puteri seorang yang berprofesi lebih tinggi seperti tukang
bekam dan pandai besi tidak kafa‘ah dengan puteri saudagar dan
pedagang kain yang selalu berpakaian rapi
3) Harta: banyaknya mahar dan nafkah yang harus dipenuhi karena itu
seseorang yang kesulitan dalam keuangan tidak pantas menikahi
perempuan yang selalu bergelimang harta karena mestinya isteri bisa
hidup senang di rumah suaminya sebagimana dia kehidupannya di
rumah bapaknya.
4) Kemerdekaan: seorang budak atau separuh budak tidak pantas bagi
perempuan merdeka

10
5) Nasab: laki-laki Ajam tidak kafa‘ah dengan perempuan Arab. Adalah
perbuatan dosa bila wali menikahkannya dengan tidak kafa‘ah tanpa
persetujuannya, karena perbuatannya ini wali dianggap fasiq dan wali
fasiq tidak berhak menikahkan perempuan sholehah.

4. Tolak Ukur Kafa’ah dalam Pernikahan adalah Akhlak dan Keistiqamahannya6


a. Kafa’ah dalam agama

‫از ٍم ع َْن أَبِي ِه ع َْن َس ْه ٍل قَا َل َم َّر َر ُج ٌل‬


ِ ‫َح َّدثَنَا إِب َْرا ِهي ُم ب ُْن َح ْمزَ ةَ َح َّدثَنَا اب ُْن أَبِي َح‬
‫ي إِ ْن‬ ِ ‫الُوا َح‬AAَ‫ال َما تَقُولُونَ فِي هَ َذا ق‬
ٌّ ‫ر‬AA َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَق‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫َعلَى َرس‬
َ َ‫ال أَ ْن يُ ْستَ َم َع ق‬
‫ال ثُ َّم َسكَتَ فَ َم َّر َر ُج ٌل‬ َ َ‫ب أَ ْن يُ ْن َك َح َوإِ ْن َشفَ َع أَ ْن يُ َشفَّ َع َوإِ ْن ق‬
َ َ‫خَ ط‬
‫ب أَ ْن اَل يُ ْن َك َح‬ َ َ‫ال َما تَقُولُونَ فِي هَ َذا قَالُوا َح ِريٌّ إِ ْن َخط‬ َ َ‫ِم ْن فُقَ َرا ِء ْال ُم ْسلِ ِمينَ فَق‬
‫ ِه‬A ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬A ‫ص‬ َ Aَ‫َوإِ ْن َشفَ َع أَ ْن اَل يُ َشفَّ َع َوإِ ْن قَا َل أَ ْن اَل يُ ْستَ َم َع فَق‬
َ ِ ‫و ُل هَّللا‬A ‫ال َر ُس‬A
‫ض ِم ْث َل هَ َذا‬
ِ ْ‫َو َسلَّ َم هَ َذا َخ ْي ٌر ِم ْن ِملْ ِء اأْل َر‬

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Hamzah Telah menceritakan


kepada kami Ibnu Abu Hazim dari bapaknya dari Sahl ia berkata; Seorang
laki-laki lewat di hadapan Rasulullah ‫ﷺ‬, maka beliau pun
bertanya kepada sahabatnya, "Bagaimana pendapat kalian mengenai orang
ini?" mereka menjawab, "Ia begitu berwibawa. Bila ia meminang pasti
diterima, dan bila memberi perlindungan pasti akan dipenuhi, dan bila ia
berbicara, niscaya akan didengarkan." Beliau kemudian terdiam, lalu
lewatlah seorang laki-laki dari fuqara` kaum muslimin, dan beliau pun
bertanya lagi, "Lalu bagaimanakah pendapat kalian terhadap orang ini?"
mereka menjawab, "Ia pantas bila meminang untuk ditolak, jika memberi
perlindungan tak akan digubris, dan bila berbicara niscaya ia tidak
didengarkan." Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, "Sesungguhnya
orang ini lebih baik daripada seluruh kekayaan dunia yang seperti ini." (HR.
Bukhori no. 4701, no. 5091 pada Fathul Bari).

Dari hadist diatas mengungkapkan kemuliaan dalam pandangan


manusia adalah seseorang yang terlihat sangat terhormat dan disegani di
kalangan masyarakatnya. Apakah kemuliaan dan kehormatan orang itu
disepakati oleh masyarakat seluruhnya ?, mustahil itu terjadi, karena pasti

6
Sayuti. Najmah, AL-KAFA’AH FI AL-NIKAH, E-Journal, Vol.5 No.2, 2015, hal. 181
11
ada juga orang yang tidak suka kepadanya, bukan karena orang itu tidak
patut dihormati, tetapi lebih karena iri terhadap kehormatan yang dimiliki.
Berbeda dengan kemuliaan disisi Allah. Kemuliaan itu jauh lebih baik di
dunia dan di akhirat kelak.
Poin penting dalam hadist ini adalah sabda Rasulullah SAW,
“Sesungguhnya orang ini lebih baik dari pada kekayaan seluruh dunia yang
seperti orang pertama tadi”. Karena orang ini taat beragama sedangkan yang
pertama tadi tidak begitu.

b. Kafa’ah dalam harta

‫ َرنِي‬A َ‫ا َل أَ ْخب‬AAَ‫ب ق‬


ٍ ‫هَا‬A‫ل ع َْن ا ْب ِن ِش‬A ُ ‫ َّدثَنَا اللَّي‬A‫ر َح‬A
ٍ A‫ْث ع َْن ُعقَ ْي‬ ٍ A‫َح َّدثَنِي يَحْ يَى ب ُْن بُ َك ْي‬
} ‫ا َمى‬AAَ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهَا { َوإِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَاَّل تُ ْق ِسطُوا فِي ْاليَت‬ ِ ‫عُرْ َوةُ أَنَّهُ َسأ َ َل عَائِ َشةَ َر‬
‫ا‬AAَ‫رْ َغبُ فِي َج َمالِه‬AAَ‫ا فَي‬AAَ‫ ِر َولِيِّه‬Aْ‫ون فِي َحج‬A ُ A‫ ةُ تَ ُك‬A‫ ِذ ِه ْاليَتِي َم‬Aَ‫ا ا ْبنَ أُ ْختِي ه‬AAَ‫ت ي‬ ْ َ‫ال‬AAَ‫ق‬
‫صدَاقَهَا فَنُهُوا ع َْن نِ َكا ِح ِه َّن إِاَّل أَ ْن يُ ْق ِسطُوا فِي إِ ْك َما ِل‬َ ‫ص‬ َ ِ‫َو َمالِهَا َوي ُِري ُد أَ ْن يَ ْنتَق‬
ُ ‫صلَّى هَّللا‬
َ ِ ‫ت َوا ْستَ ْفتَى النَّاسُ َرسُو َل هَّللا‬ ْ َ‫اح َم ْن ِس َواهُ َّن قَال‬ ُ ِ ‫صد‬
ِ ‫َاق َوأ ِمرُوا بِنِ َك‬ َّ ‫ال‬
‫ونَ أَ ْن‬AAُ‫ا ِء إِلَى َوتَرْ َغب‬A‫ك فِي النِّ َس‬
َ َ‫تَ ْفتُون‬A‫أ َ ْنزَ َل هَّللا ُ { َويَ ْس‬AAَ‫ك ف‬َ Aِ‫ َد َذل‬A‫لَّ َم بَ ْع‬A‫َعلَ ْي ِه َو َس‬
‫وا فِي‬Aُ‫ا ٍل َر ِغب‬A‫ا ٍل َو َم‬A‫َت َذاتَ َج َم‬ ْ ‫ان‬A‫تَ ْن ِكحُوهُ َّن } فَأ َ ْن َز َل هَّللا ُ لَهُ ْم أَ َّن ْاليَتِي َمةَ إِ َذا َك‬
‫ا فِي قِلَّ ِة‬AAَ‫ةً َع ْنه‬Aَ‫َت َمرْ ُغوب‬
ْ ‫ان‬A‫َاق َوإِ َذا َك‬
ِ ‫د‬A‫الص‬ َّ ‫ال‬ ِ ‫احهَا َونَ َسبِهَا َو ُسنَّتِهَا فِي إِ ْك َم‬ ِ ‫نِ َك‬
ْ َ‫ال‬AAَ‫ال َو ْال َج َما ِل تَ َر ُكوهَا َوأَ َخ ُذوا َغي َْرهَا ِم ْن النِّ َسا ِء ق‬
َ‫ا ِحين‬AAَ‫ا يَ ْت ُر ُكونَه‬AA‫ت فَ َك َم‬ ِ ‫ْال َم‬
‫ا‬AAَ‫طُوا لَه‬A ‫ا إِاَّل أَ ْن يُ ْق ِس‬AAَ‫وا فِيه‬AAُ‫ا إِ َذا َر ِغب‬AAَ‫ْس لَهُ ْم أَ ْن يَ ْن ِكحُوه‬
َ ‫ا فَلَي‬AAَ‫ونَ َع ْنه‬AAُ‫يَرْ َغب‬
‫َاق‬
ِ ‫صد‬َّ ‫َويُ ْعطُوهَا َحقَّهَا اأْل َوْ فَى فِي ال‬

Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Bukair Telah menceritakan kepada


kami Al Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab ia berkata; Telah mengabarkan
kepadaku Urwah bahwa ia pernah bertanya kepada Aisyah radhiallahu'anha
mengenai firman-Nya, "WA IN KHIFTUM ANLAA TUQSITHUU FIL
YATAAMAA.." Aisyah menjelaskan, "Wahai anak saudaraku, maksudnya
adalah anak perempuan yatim yang tinggal di rumah walinya, lalu sang wali
pun berhasrat pada kecantikan dan juga hartanya. Namun sang wali itu
hendak mengurangi maharnya. Karena itu, mereka pun dilarang untuk
12
menikahi anak-anak perempuan yatim itu kecuali dengan menyempurnakan
maharnya. Akhirnya mereka pun diperintahkan untuk menikahi wanita-
wanita selain mereka." Aisyah juga menjelaskan, "Setelah itu, orang-orang
pun pada meminta fatwa kepada Rasulullah ‫ﷺ‬. Maka Allah
menurunkan ayat, 'WA YASTAFTUUNAKA FIN NISAA`..' hingga firman-
Nya, 'WA TARGHABUUNA AN TANKIHUUHUNNA.' Maka Allah pun
menurunkan ayat kepada mereka, bahwa jika ada anak perempuan yatim
yang memiliki kecantikan wajah dan harta, apabila mereka ingin
menikahinya, mereka diminta untuk menyempurnakan mahar. Apabila anak
putri yatim itu tidak mereka senangi lantaran tak memiliki harta dan
kecantikan maka mereka pun meninggalkannya dan mencari wanita lain.
Karena itu, sebagaimana mereka meninggalkannya ketika mereka tak
menyukainya, maka mereka pun tidak diizinkan untuk menikahinya saat
mereka berkeinginan kecuali dengan berbuat adil pada mereka dan
memberikan haknya yang harus dipenuhi yakni Mahar." (HR. Bukhori no.
4702, no. 5092 pada Fathul Bari).

Dari Hadis di atas jelas bahwa boleh menikahi perempuan karena


hartanya selama mampu bersikap baik dan tidak mengambil keuntungan dari
harta si perempuan apalagi bersikap dan bermaksud tidak baik kepadanya,
terutama bila dia anak yatim. Jangan karena dia anak yatim yang cantik dan
berharta maka kamu ingin menikahinya dan berlaku baik. Sebaliknya bila si
yatim kurang cantik dan tidak berharta, kamu berpaling kepada perempuan
lain dan memberikannya nafkah yang kurang. Karena itu, selama dia
perempuan yatim cantik dan berharta ataupun tidak cantik dan papa, tidak
boleh menikahi mereka selama tidak mampu berlaku pantas dan semena-
mena.

c. Kafa’ah dalam nasab

ُّ ‫رْ َوةُ ب ُْن‬AA‫رنِي ُع‬A


ِ A‫الزبَ ْي‬
‫ر‬A َ Aَ‫ال أَ ْخب‬A َ Aَ‫الز ْه ِريِّ ق‬ ُّ ‫ان أَ ْخبَ َرنَا ُش َعيْبٌ ع َْن‬ ِ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ْاليَ َم‬
ٍ ‫ ْم‬A‫ ِد َش‬Aْ‫ ةَ ْب ِن َعب‬A‫ةَ ب ِْن َربِي َع‬Aَ‫ةَ ْبنَ ُع ْتب‬Aَ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهَا أَ َّن أَبَا ُح َذ ْيف‬
‫س‬ ِ ‫ع َْن عَائِ َشةَ َر‬
َ‫ هُ بِ ْنت‬A‫الِ ًما َوأَ ْن َك َح‬A‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم تَبَنَّى َس‬
َ ‫َو َكانَ ِم َّم ْن َش ِه َد بَ ْدرًا َم َع النَّبِ ِّي‬
‫ا‬AA‫ار َك َم‬
ِ A‫ص‬ َ ‫أَ ِخي ِه ِه ْن َد بِ ْنتَ ْال َولِي ِد ب ِْن ُع ْتبَةَ ْب ِن َربِي َعةَ َوهُ َو َموْ لًى اِل ْم َرأَ ٍة ِم ْن اأْل َ ْن‬
ُ‫اه‬AA‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َز ْيدًا َو َكانَ َم ْن تَبَنَّى َر ُجاًل ِفي ْال َجا ِهلِيَّ ِة َد َع‬ َ ‫تَبَنَّى النَّبِ ُّي‬
‫ ِه‬A ِ‫ائِ ِه ْم إِلَى قَوْ ل‬AAَ‫وهُ ْم آِل ب‬AA‫ َز َل هَّللا ُ { ا ْد ُع‬A ‫ ِه َحتَّى أَ ْن‬A ِ‫ث ِم ْن ِمي َراث‬
َ ‫ ِه َو َو ِر‬A ‫النَّاسُ إِلَ ْي‬
13
‫دِّي ِن‬A‫ا فِي ال‬A‫وْ لًى َوأَ ًخ‬AA‫انَ َم‬AA‫هُ أَبٌ َك‬Aَ‫َو َم َوالِي ُك ْم } فَ ُر ُّدوا إِلَى آبَائِ ِه ْم فَ َم ْن لَ ْم يُ ْعلَ ْم ل‬
‫رأَةُ أَبِي‬A ِّ ‫ا ِم ِر‬AA‫ ِّي ثُ َّم ال َع‬A‫رو ْالقُ َر ِش‬A
َ A‫ي َو ِه َي ا ْم‬ ٍ A‫هَ ْي ِل ب ِْن َع ْم‬A‫ت ُس‬ُ ‫ ْهلَةُ بِ ْن‬A‫ت َس‬ْ ‫ ا َء‬A‫فَ َج‬
‫ َرى‬Aَ‫و َل هَّللا ِ إِنَّا ُكنَّا ن‬A‫ا َر ُس‬Aَ‫ت ي‬
ْ َ‫ال‬Aَ‫لَّ َم فَق‬A‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬ َّ ِ‫ُح َذ ْيفَةَ ْب ِن ُع ْتبَةَ النَّب‬
َ ‫ي‬
َ ‫َسالِ ًما َولَدًا َوقَ ْد أَ ْن َز َل هَّللا ُ فِي ِه َما قَ ْد َعلِ ْمتَ فَ َذ َك َر ْال َح ِد‬
‫يث‬

Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada


kami Syu'aib dari Az Zuhri ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Urwah
bin Zubair dari Aisyah radhiallahu'anha, bahwasanya; Abu Hudzaifah bin
Utbah bin Abdu Syamsy -ia adalah seorang ahli Badar bersama Nabi
‫ﷺ‬- menjadikan Salim sebagai anak angkat dan menikahkannya
dengan anak perempuan saudarinya Hindu binti Al Walid bin Utbah bin
Rabi'ah. Dan ia adalah bekas budak dari seorang wanita Anshar. Yakni,
sebagaimana Nabi ‫ ﷺ‬pernah menjadikan Zaid sebagai anak
angkat. Beliau termasuk orang yang mengambil anak angkat pada masa
Jahiliyyah hingga orang-orang pun menduga bahwa Zaid nantinya akan
mewarisi hartanya, hingga pada akhirnya Allah menurunkan ayat,
"UD'UUHUM ILAA `AABAA`IHIM.." hingga firman-Nya, "WA
MAWAALIIKUM." Akhirnya mereka pun mengembalikan (nasabnya)
kepada bapak-bapak mereka. Dan siapa yang tidak diketahui bapaknya,
maka ia adalah maula (budak yang dimerdekakan) dan saudara seagama.
Kemudian datanglah Sahlah binti Suhail bin Amru Al Qurasyii lalu Al
'Amiri -ia adalah istri Abu Hudzaifah bin Utbah- kepada Nabi
‫ ﷺ‬dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
menganggap Salim sebagai anak, sementara Allah telah menurunkan
sebagaimana apa yang telah Anda kethaui." Kemudian ia pun menyebutkan
hadits. (HR. Bukhori no. 4698, no. 5088 pada Fathul Bari).

Hadis ini jelas mengisyaratkan bahwa mawla tetaplah mawla meskipun


dia sudah diangkat ataupun dianggap anak karena Islam tidak mengenal
istilah anak angkat. Alih-alih jadi anak angkat maka lebih baik
menjadikannya saudara seiman.

d. Kafa’ah dalam kemerdekaan


Al-Nawawiy menjelaskan dalam al-Ikhtiyar, apabila merdeka seorang
hamba perempuan dan dia memiliki suami baik budak ataupun merdeka,
maka dia memiliki hak untuk memilih sesuai dengan sabda Rasul s.a.w
kepada Barirah ketika dia merdeka: ―Kemaluanmu (kehormatanmu) adalah
milikmu, maka pilihlah!‖ Hadis ini dijadikan alasan yang menguatkan hak

14
memilih bagi perempuan sesuai dengan makna ‗memiliki kemaluan dan
mengatur atau mengontrolnya‘ baik suaminya merdeka ataupun budak
karena keumuman sifat ‘illah. Hal ini disebabkan ada riwayat yang
mengatakan bahwa suaminya seorang yang merdeka dan ada juga riwayat
yang menunjukkan kemungkinan suaminya tersebut adalah budak yang
dulunya merdeka. Karena itu bertambah kuat hak kepemilikannya terhadap
dirinya dalam dua alasan tersebut, dan semakin kuat pula haknya untuk
memilih (bercerai atau tidak) untuk menghindari kemudharatan.

e. Kafa’ah dalam religiusitas

Menurut Nawawiyy dalam al-Ikhtiyar, kafa‘ah yang perlu


dipertimbangkan dalam pernikahan adalah nasab, agama, ketaqwaan atau
religiusitas, profesi, kemerdekaan dan harta. Yang dimaksud dengan kafa‘ah
dalam agama dan taqwa adalah bahwa puteri laki-laki yang shalih tidak
sekufu dengan laki-laki fasiq dan wali berhak menolak dan menceraikan
mereka karena hanya akan mendatangkan aib. Sabda Rasul ‗pilihlah yang
beragama karena dia akan membelenggu tanganmu (dari berbuat munkar),
sudah cukup mengisyaratkan hal itu. Dalam Hadis di atas yang disebutkan
adalah pezina sedangkan zina adalah satu bentuk kefasiqan. Karena itu tidak
boleh menikah atau hindari menikahkan perempuan shalihah dengan seorang
pezina sebab yang pantas bagi pezina adalah pezina pula.

f. Memilih karena aib

Hak untuk memilih baik bagi suami atau isteri sekiranya isteri atau
suami mereka ternyata memiliki aib atau penyakit. Bila mereka rela, mereka
boleh meneruskan pernikahan. Jika tidak mereka boleh bercerai. Dan bagi
suami yang telah menggauli isterinya, maka dia berkewajiban membayarkan
maharnya secara penuh.

5. Kufu’atau Kafa’ah Merupakan Hak Pihak Wanita7


Jumhur ulama bersepakat dalam berpandangan bahwa kafaah menjadi
7
Zarkasih LC. Ahmad, Menakar Kufu Dalam Memilih Jodoh, Jakarta : Rumah Fiqih, 2018, hal. 44
15
tuntutan bagi pihak laki-laki, bukan pihak wanita; artinya kufu’ ini adalah hak
yang diberikan oleh syariah khusus kepada wanita. Dengan begitu, laki-lakilah
yang harus menyepadankan dirinya kepada wanita, bukan sebaliknya. Karena
memang laki-laki tidak pernah mempermasalahkan status rendah istrinya,
berbeda dengan wanita dan keluarganya yang mungkin saja, dan memang
biasanya mempermasalahkan status pria kalau ia lebih rendah. Dr. Wahbah
menambahkan bahwa yang namanya wanita terhormat sulit untuk hidup
bersama laki-laki yang rendah derajat sosialnya. Berbeda dengan lelaki yang
bisa hidup dengan wanita mana saja tanpa tahu rendah atau tinggi derajatnya. Di
samping itu, upaya ini juga bertujuan sebagai bentuk proteksi syariah guna
menjaga kemulian wanita agar tidak terkotori dengan dipasangkan laki-laki
tanpa kualifikasi yang jelas.

C. Mahar Dalam Pernikahan

1. Pengertian Mahar

Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah


pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati
calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada
calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami
kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan,
mengajar, dll).
Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk
abstrak atau masdar, yakni “Mahram” atau kata kerja, yakni fi’il dari “mahara-
yamaharumaharan”. Kalau, dibakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-
mahr, dan kini sudah diIndonesiakan dengan kata yang sama, yakni mahar atau
karena kebiasaan pembayaran mahar dengan mas, mahar diidentikkan dengan
maskawin.
Di kalangan fuqaha, di samping perkataan ”mahar”, juga digunakan istilah
lainnya, yakni shadaqah, nihlah, dan faridhah yang maksudnya adalah mahar.
Dengan pengertian etimologi tersebut, istilah mahar merupakan pemberian yang
dilakukan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya

16
wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya, besar dan kecilnya dalam al-
Quran merupakan alHadits8.

2. Definisi Mahar (firman arifandi)

Sementara mahar secara istilah didefinisikan berbeda-beda oleh para ulama


madzhab sebagaimana berikut :
a. Al Hanafiyah: Harta yang menjadi hak seorang wanita karena dinikahkan
atau hubungan seksual.
b. Al Malikiyah: Harta yang diserahkan kepada istri sebagai imbalan atas
kehalalan menyetubuhinya.
c. Asy Syafi’iyah: Harta yang wajib diserahkan karena sebab nikah, hubungan
seksual atau hilangnya keperawanan.
d. Al Hanabilah: Imbalan atas pernikahan.
Dari semua definisi di atas bisa kita ambil kesimpulan yang mengerucut
bahwa Mahar adalah harta yang diberikan oleh suami kepada istri sebagai
imbalan dan penghargaan atas kesediaanya dihalalkan untuk dinikahi.

3. Tujuan dan Hikmah Mahar9 (mardani)

a. Merupakan jalan yang menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima
kekuasaan suaminya kepada dirinya
b. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan
cinta-mencintai
c. Sebagai usaha memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu
memberikan hak untuk memegang urusannya

4. Jenis mahar10 (isnan anshori)

a. Mahar musamma (‫)المسمى المهر‬


Mahar yang telah disebutkan pada saat akad. Dan tentunya nilai dan
kadarnya telah disepakati antara suami dan istri.

8
Kohar. Abd, Kedudukan dan Hikmah Mahar dalam Perkawinan, e-journal radenintan, 2016 hal. 43
9
Mardani. Dr, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta : KENCANA, 2016, hal. 48
10
Anshory LC. M.Ag Isnan, Fiqih Mahar, Jakarta : Rumah Fiqih, 2020, hal. 19
17
b. Mahar mitsl (‫)المثل مهر‬
Kebalikan dari mahar musamma, yaitu mahar yang belum disebutkan
dalam akad pernikahan dan bisa jadi belum disepakati nilainya. Di mana
mahar jenis ini akan ditetapkan jika terjadi suatu kasus di mana sang istri
menuntut pemberian mahar, namun sang suami belum menetapkannya. Atau
mahar belum ditetapkan setelah akad, namun sang suami terlanjur
meninggal.

5. Bentuk Mahar

a. Mahar Berupa Tsaman atau Uang


Para ulama sepakat bahwa bentuk mahar dapat berupa uang (tsaman)
yang biasa digunakan untuk membeli sesuatu. Hal ini didasarkan pada
praktik pernikahan Nabi - shallallahu 'alaihi wasallam - dan para shahabat
yang memang terbiasa menunaikan mahar menggunakan uang.

Dalam sutau hadits, disebutkan bahwa mahar Rasulullah - shallallahu


'alaihi wasallam - saat menikah sebesar 500 dirham, sebagaimana
diriwayatkan dalam hadits berikut:

ِ ‫ ُد ْال َع ِز‬Aْ‫ق ب ُْن إِ ْب َرا ِهي َم أَ ْخبَ َرنَا َعب‬


‫ ِد‬Aْ‫ ُد ب ُْن َعب‬A‫ َّدثَنِي يَ ِزي‬A‫ز ب ُْن ُم َح َّم ٍد َح‬A‫ي‬ َ ‫َح َّدثَنَا إِس‬
ُ ‫ْح‬
‫هَّللا ِ ب ِْن أُ َسا َمةَ ب ِْن ْالهَا ِد ح و َح َّدثَنِي ُم َح َّم ُد ب ُْن أَبِي ُع َم َر ْال َم ِّك ُّي َواللَّ ْفظُ لَهُ َح َّدثَنَا‬
‫رَّحْ َم ِن‬A ‫ ِد ال‬A ‫لَ َمةَ ْب ِن َع ْب‬A ‫يز ع َْن يَ ِزي َد ع َْن ُم َح َّم ِد ب ِْن إِب َْرا ِهي َم ع َْن أَبِي َس‬ ِ ‫َع ْب ُد ْال َع ِز‬
‫و ِل‬AA‫ق َر ُس‬ ُ ‫صدَا‬ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َك ْم َكان‬
َ ‫ت عَائِ َشةَ َزوْ َج النَّبِ ِّي‬ ُ ‫أَنَّهُ قَا َل َسأ َ ْل‬
‫ا‬A‫ َرةَ أُوقِيَّةً َون ًَّش‬A‫َش‬ ِ ‫صدَاقُهُ أِل َ ْز َو‬
ْ ‫ ِه ثِ ْنت َْي ع‬A‫اج‬ َ َ‫ت َكان‬ ْ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَال‬
َ ِ ‫هَّللا‬
‫ ِة ِدرْ ه ٍَم‬Aَ‫كَ َخ ْمسُ ِمائ‬AA‫ف أُوقِيَّ ٍة فَتِ ْل‬ ُ A‫ص‬ ْ ِ‫ت ن‬ ْ َ‫ال‬AAَ‫ت اَل ق‬ ُ ‫ت أَتَ ْد ِري َما النَّشُّ قَا َل قُ ْل‬
ْ َ‫قَال‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أِل َ ْز َوا ِج ِه‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ق َرس‬ ُ ‫صدَا‬ َ ‫فَهَ َذا‬

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan


kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad telah menceritakan kepadaku
18
Yazid bin Abdullah bin Usamah bin Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur
lain, telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abi Umar Al Makki
sedangkan lafazhnya dari dia, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz
dari Yazid dari Muhammad bin Ibrahim dari Abu Salamah bin Abdurrahman
bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada 'Aisyah, istri Nabi
‫ﷺ‬, "Berapakah maskawin Rasulullah ‫ "?ﷺ‬Dia
menjawab, "Mahar beliau terhadap para istrinya adalah dua belas uqiyah dan
satu nasy. Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu?" Abu Salamah berkata;
Saya menjawab, "Tidak." 'Aisyah berkata, "Setengah uqiyah, jumlahnya
sama dengan lima ratus dirham. Demikianlah maskawin Rasulullah
‫ ﷺ‬untuk masing-masing istri beliau." (HR. Muslim no. 2555).

(firman arifandi) Menukil dari tulisan Ustadz Ahmad Sarwat dalam buku
beliau Serial Fiqih Kehidupan, setidaknya ada dua metode yang bisa
dilakukan untuk mengetahui nominal mahar Rasulullah di masa sekarang.
Metode pertama adalah dengan perbandingan antara dinar dan dirham. Dinar
adalah mata uang emas sedangkan dirham adalah mata uang perak. Nilai
dinar emas tentu lebih besar dari pada nilai dirham perak. Metode kedua,
dihitung oleh Syeikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam salah satu
fatwanya. Beliau menghitung dengan cara menghitung berapa harga dirham
di masa Nabi SAW dibandingkan dengan harga perak hari ini. Menurut
beliau, nilai satu dirham di masa Nabi SAW kalau diukur dengan timbangan
modern zaman kita kurang lebih setara dengan 2,975 gram. Sedikit lagi tiga
gram perak11.

b. Mahar Berupa Mutsamman atau Benda


Di samping dalam bentuk uang, para ulama juga sepakat bahwa mahar
juga boleh berbentuk mutsamman atau barang / benda yang memiliki nilai
jual. Hal ini juga didasarkan kepada praktik pernikahan para shahabat yang
diakui oleh Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam -. Di mana, di antara
shahabat ada yang memberikan mahar pada istrinya berupa batu emas
sampai sepasang sandal.

11
At-Tuwaijiri. Muhammad bin Ibrahim, Mukhtasar al-Fiqhi al-Islami, YOGYAKARTA : Ghani Pressindo, 2012,
hal. 437
19
‫ ْع ٍد أَ َّن‬A ‫ ْه ِل ب ِْن َس‬A ‫از ٍم ع َْن َس‬ ِ A‫ ْفيَانَ ع َْن أَبِي َح‬A ‫ ٌع ع َْن ُس‬A ‫ َّدثَنَا َو ِكي‬A‫ َّدثَنَا يَحْ يَى َح‬A‫َح‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
‫ال لِ َر ُج ٍل تَزَ َّوجْ َولَوْ بِ َخات ٍَم ِم ْن َح ِدي ٍد‬ َّ ِ‫النَّب‬
َ ‫ي‬

Telah menceritakan kepada kami Yahya Telah menceritakan kepada kami


Waki' dari Sufyan dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd bahwasanya; Nabi
‫ ﷺ‬bersabda kepada seseorang, "Menikahlah meskipun
maharnya hanya dengan cincin besi”. (HR. Bukhari, no. 4753 dan no. 5150
pada Fathul Bari)

Hanya saja, para ulama mensyaratkan beberapa syarat untuk sahnya


pemberian mahar yang berupa benda atau barang. Imam ad-Dardir al-Maliki
mengatakan bahwa di antara syarat mahar yang berupa benda adalah benda
tersebut merupakan benda yang memiliki nilai (mutamawwil), suci/ tidak
najis (thohir), bermanfaat (muntafi’ bihi), bisa diserahkan (maqdur) dan
diketahui kadarnya (ma’lum).

Dengan demikian, tidak sah suatu mahar apabila yang diserahkan itu
bukan merupakan harta dengan syarat-syaratnya, seperti jika:

Benda tidak bernilai, seperti sampah, reruntuhan bangunan dan semisalnya.


1) Benda najis, seperti darah, bangkai, tinja, dan semua benda najis,
termasuk anjing dan babi.
2) Benda yang tidak ada manfaatnya, seperti barang bekas limbah yang
tidak lagi berguna.
3) Benda yang tidak bisa diserahkan, seperti ikan yang berenang di laut
lepas.
4) Benda yang tidak diketahui keberadaannya, seperti mobil yang dicuri
dan tidak jelas apakah bisa kembali atau tidak.
5) Mahar Berupa Ujroh atau Jasa

c. Pada dasarnya para ulama sepakat bahwa mahar dapat berwujud pemberian
manfaat atas sesuatu kepada istri.

20
1) Hal ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang
mahar dari pernikahan Nabi Musa - ’alaihis salam - dengan anak gadis
Nabi Syuaib - ’alaihis salam - yang berupa jasa pekerjaan yyang
dilakukanoleh Nabi Musa - ’alaihis salam –

ْ َ ‫قا َ َل إِنِّي أُ ِري ُد أَ ْن أُ ْن ِك َح‬


‫إ ِ ْن‬Aَ‫ج ف‬ ٍ ‫ي هَا تَي ِْن َعلَى أَ ْن تَأ ُج َرنِي ِح َج‬ َّ َ‫ك إِحْ دَى ا ْبنَت‬
َّ ‫أَ ْت َم ْمتَ َع ْشرًا فَ ِم ْن ِع ْن ِد كَ َو َما أُ ِري ُد أَ ْن أَ ُش‬
ُ ‫ا َء هَّللا‬A‫ت َِج ُد نِي إِ ْن َش‬A‫كَ َس‬AA‫ق َعلَ ْي‬
)27 : ‫ِمنَ الصَّا لِ ِحينَ (القصص‬

Berkatalah dia (Syu'aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan


kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa
kamu bekerja denganku 8 tahun dan jika kamu cukupkan 10 tahun maka
itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak
memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang baik". (QS. al-Qosos: 27)
Namun para ulama berbeda pendapat terkait mahar dalam bentuk jasa
yang diisyaratkan dalam hadits-hadits pernikahan shahabat. Di mana
haditshadits tersebut seakan mengisyaratkan bahwa mahar berupa jasa
tersebut tidak memiliki nilai harta. Padahal syarat sahnya mahar adalah
jika memiliki nilai harta (mutaqowwam).

2) Begitu pula mahar pernikahan yang berupa bacaan al-Qur’an,


sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

‫ ْع ٍد‬A ‫ ْه ِل ْب ِن َس‬A ‫ ِه ع َْن َس‬A ‫از ٍم ع َْن أَبِي‬ ِ A‫يز ب ُْن أَبِي َح‬
ِ ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز‬
‫ا‬AAَ‫ت ي‬ ْ َ‫ال‬AAَ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَق‬ ِ ‫ت ا ْم َرأَةٌ إِلَى َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ْ ‫ال َجا َء‬ َ َ‫ي ق‬ِّ ‫َّاع ِد‬
ِ ‫الس‬
‫ ِه‬A‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬ َ َ‫ت أَهَبُ لَكَ نَ ْف ِسي ق‬
َ ِ ‫ال فَنَظَ َر إِلَ ْيهَا َرسُو ُل هَّللا‬ ُ ‫َرسُو َل هَّللا ِ ِج ْئ‬
َ ِ ‫ص َّوبَهُ ثُ َّم طَأْطَأ َ َرسُو ُل هَّللا‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ َ‫َو َسلَّ َم ف‬
َ ‫ص َّع َد النَّظَ َر فِيهَا َو‬
ْ AA‫ ْيئًا َجلَ َس‬AA‫ا َش‬AAَ‫ض فِيه‬
‫ ٌل ِم ْن‬AAُ‫ا َم َرج‬AAَ‫ت فَق‬ ْ َ‫هُ فَلَ َّما َرأ‬AA‫َر ْأ َس‬
ِ ‫رْ أَةُ أَنَّهُ لَ ْم يَ ْق‬AA‫ت ْال َم‬
َ َ‫أَصْ َحابِ ِه فَق‬
ْ‫ل‬AAَ‫ا َل َوه‬AAَ‫ال يَا َرسُو َل هَّللا ِ إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَكَ بِهَا َحا َجةٌ فَزَ ِّوجْ نِيهَا فَق‬
21
ْ‫ك فَا ْنظُرْ هَل‬ َ ِ‫ال ْاذهَبْ إِلَى أَ ْهل‬ َ َ‫ُول هَّللا ِ فَق‬
َ ‫ك ِم ْن َش ْي ٍء قَا َل اَل َوهَّللا ِ يَا َرس‬ َ ‫ِع ْن َد‬
‫و ُل هَّللا‬A‫ا َل َر ُس‬AAَ‫ ْيئًا فَق‬A‫ت َش‬
ُ ‫ ْد‬A‫ا َو َج‬AA‫ال اَل َوهَّللا ِ َم‬A
َ Aَ‫ َع فَق‬A‫َب ثُ َّم َر َج‬
َ ‫تَ ِج ُد َش ْيئًا فَ َذه‬
َ ‫ َذه‬Aَ‫ ٍد ف‬A ‫ا ِم ْن َح ِدي‬AA‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْنظُرْ َولَوْ خَ اتَ ًم‬
‫ا َل اَل‬AAَ‫ َع فَق‬A‫َب ثُ َّم َر َج‬ َ
ُ‫ه‬A َ‫ا ل‬AA‫ ْه ٌل َم‬A ‫زَاري قَا َل َس‬ ِ ِ‫َوهَّللا ِ يَا َرسُو َل هَّللا ِ َواَل َخاتَ ًما ِم ْن َح ِدي ٍد َولَ ِك ْن هَ َذا إ‬
ْ ‫ا ت‬AA‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم‬
ِ ‫إِز‬Aِ‫نَ ُع ب‬A‫َص‬
َ‫َارك‬ َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ِردَا ٌء فَلَهَا نِصْ فُهُ فَق‬
‫ ْي ٌء‬A‫هُ َش‬A‫كَ ِم ْن‬AA‫ ْتهُ لَ ْم يَ ُك ْن َعلَ ْي‬A‫ ْي ٌء َوإِ ْن لَبِ َس‬A‫هُ َش‬A‫ا ِم ْن‬AAَ‫تَهُ لَ ْم يَ ُك ْن َعلَ ْيه‬A ‫إِ ْن لَبِ ْس‬
‫ ِه‬A‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬A‫ص‬
َ ِ ‫و ُل هَّللا‬A‫رآهُ َر ُس‬A َ َ‫س ال َّر ُج ُل َحتَّى إِ َذا ط‬
َ Aَ‫ا َم ف‬AAَ‫ال َمجْ لِ ُسهُ ق‬ َ َ‫فَ َجل‬
‫ا َل َم ِعي‬AAَ‫رْ آ ِن ق‬AAُ‫ك ِم ْن ْالق‬ َ A‫ا َذا َم َع‬AA‫ال َم‬َ َ‫َو َسلَّ َم ُم َولِّيًا فَأ َ َم َر بِ ِه فَ ُد ِع َي فَلَ َّما َجا َء ق‬
َ A ِ‫ُورةُ َك َذا َوسُو َرةُ َك َذا َع َّد َدهَا فَقَا َل تَ ْق َر ُؤهُ َّن ع َْن ظَه ِْر قَ ْلب‬
‫ا َل‬AAَ‫ا َل نَ َع ْم ق‬AAَ‫ك ق‬ َ ‫س‬
‫ْاذهَبْ فَقَ ْد َملَّ ْكتُ َكهَا بِ َما َم َعكَ ِم ْن ْالقُرْ آ ِن‬
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada
kami Abdul Aziz bin Abu Hazim dari bapaknya dari Sahl bin Sa'd As
Sa'idi ia berkata; Seorang wanita datang menemui Rasulullah
‫ ﷺ‬dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku datang untuk
menghibahkan diriku untuk Anda." Lalu Rasulullah ‫ﷺ‬
memandangi wanita itu, beliau arahkan pandangannya ke atas dan
kebawah lalu beliau menundukkkan kepalanya. Maka wanita itu melihat
bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak memberi putusan apa-apa terkait
dengan dirinya, maka ia pun duduk. Tiba-tiba seorang sahabat berdiri
dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Anda tidak berhasrat kepada wanita
itu maka nikahkanlah aku dengannya." Maka beliau pun bertanya,
"Apakah kamu mempunyai sesuatu (untuk dijadikan mahar)?" sahabat
itu menjawab, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah." Beliau bersabda,
"Pergilah kepada keluargamu, dan lihatlah apakah ada sesuatu." Laki-
laki itu pun pergi dan kembali seraya berkata, "Tidak, demi Allah wahai
Rasulullah, aku tidak mendapatkan sesuatu." Beliau bersabda lagi,
"Lihatlah, meskipun yang ada hanyalah cincin dari besi." Laki-laki itu
pergi laki kemudian kembali dan berkata, "Tidak, demi Allah wahai
Rasulullah meskipun hanya cincin besi. Akan tetapi aku mempunya kain
ini." Sahl berkata; Ia tidak memiliki kain kecuali setengah. Maka
Rasulullah ‫ ﷺ‬pun bersabda, "Apa yang dapat kamu lakukan
dengan kainmu itu. Jika kamu memakainya maka ia tidak akan kebagian,
dan jika ia memakainya maka tidak akan kebagian." Akhirnya laki-laki
itu duduk hingga lama, lalu ia beranjak. Kemudian Rasulullah
‫ ﷺ‬pun melihatnya hendak pulang. Maka beliau
memerintahkan seseorang agar memanggilnya. Ketika laki-laki itu

22
datang, beliau bertanya, "Surah apa yang kamu hafal dari Al-Qur'an." Ia
berkata, "Yaitu surat ini." Ia menghitungnya. Beliau bersabda, "Apakah
kamu menghafalnya dengan baik?" laki-laki itu menjawab, "Ya."
Akhirnya beliau bersabda, "Sesungguhnya aku telah menikahkanmu
dengan wanita itu dengan mahar hafalan Al-Qur'anmu." (HR. Bukhari,
no. 4752 dan no. 5149 pada Fathul Bari)12.

Dalam memahami hadits ini, para ulama sepakat bahwa jika yang
dimaksud dengan hafalan al-Qur’an adalah sekedar hafalan yang dimiliki
oleh suami, namun bukan untuk diajarkan kepada istri, maka hal ini
tidak bisa menjadi mahar.
Namun jika bacaan al-Qur’an itu berupa jasa pengajaran yang akan
dilakukan suami kepada istrinya, pada dasarnya para ulama sepakat
bahwa hal itu dibolehkan.
Selain itu, jumhur ulama yang membolehkan jasa mengajarkan al-Quran
dijadikan sebagai mahar, mensyaratkan dua hal untuk kebolehannya:
Bahwa harus ditetapkan dengan pasti kuantitas materi yang harus
diajarkan, apakah seluruh ayat al-Quran, atau setengahnya, atau sebagian
dari surat-suratnya. Demikian pula batas waktu pengajaran, apakah
sepekan, sebulan, setahun atau seumur hidup13.
Bahwa ayat yang hendak diajarkan merupakan ayat al-Qur’an yang
belum dikuasai oleh istri, hingga tampak adanya beban usaha yang
dilakukan suami. Dengan demikian, jika maharnya adalah ayat yang
umumnya sudah dihafal oleh umat Islam seperi surat al-Fatihah, maka
pengajaran surat ini tidak boleh dijadikan sebagai mahar.

6. Mahar yang Telah Disebutkan Harus Diberikan Sepenuhnya


Yaitu, dari tiga keadaan berikut:
a. Jika telah terjadi hubungan badan yang sebenarnya.

b. jika salah satu dari pasangan suami istri meninggal dunia sebelum terjadi
hubungan badan. Ketentuan ini telah disepakati para ulama.

12
Ensiklopedia hadist, Bukhari, no. 4752
13
Irawan and Jayusman, Mahar Hafalan Al-Qur’an Prespektif Hukum Islam, E-Journal, Vol. 4 No. 2, 2019
23
c. Abu Hanifah berpendapat bahwa jika suami berduaan secara sah dengan
istrinya, maka mahar yang telah disebutkan harus diberikan. Maksudnya
pasangan suami istri menyendiri di suatu tempat yang aman dari jangkauan
pandangan siapa pun, dan salah satu dari keduanya tidak sedang mengalami
halangan yang dibenarkan syariat, seperti salah satu dari suami dan istri
sedang melakukan puasa wajib, atau istri mengalami haid, atau sedang
mengalami halangan fisik, seperti salah satu dari keduanya sedang menderita
sakit yang membuatnya tidak dapat melakukan hubungan badan yang
sebenarnya, atau halangan kewajaran, misalnya ada orang ketiga bersama
mereka berdua.
Abu Hanifah mengemukakan hujjah dengan riwayat yang disampaikan oleh
Abu Ubaidah dari Zararah bin Abu Aufa bahwa dia mengatakan, para
Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjukmemutuskan bahwa jika dia menutup
pintu dan menurunkan tirai penutup, maka mahar harus ditunaikan.

7. Gugurnya mahar
Mahar gugur keseluruhannya dari suami hingga dia tidak dibebani
tanggungan apapun kepada istri dalam semua perpisahan dari pihak perempuan
yang terjadi sebelum adanya persetubuhan. Misalnya, perempuan yang
dinikahinya murtad dari agama Islam, membatalkan akad nikah lantaran
kesulitan suami, cacat dari pihak suami, atau pembatalan suami sendiri
disebabkan cacat dari pihak istri, atau disebabkan keinginan sendiri setelah
memasuki usia balig (bagi yang menikah sebelum balig).

24
25
BAB III
Penutup

A. Kesimpulan
1. Didalam Izin Pernikahan terdapat seorang janda lebih berhak atas dirinya dari

pada walinya, sedangkan perawan (gadis), maka ayahnya harus meminta

persetujuan atas dirinya, dan persetujuannya adalah diamnya. Atau mungkin

beliau bersabda, "Dan diamnya adalah persetujuannya”.

2. Didalam kafa’ah pernikahan ada tolak ukur dari akhlak dan

keistiqomahannya, yaitu kafa’ah dalam agama, harta, nasab, kemerdekaan,

religiusitas, dan memilih karena aib.

3. Didalam Mahar Pernikahan ada 2 jenis mahar, yaitu : mahar musamma dan mahar

mitsl. Dan mahar pun ada beberapa bentuk, yaitu : mahar berupa tsaman atau uang,

mutsamman atau benda, dan berwujud pemberian manfaat atas sesuatu kepada istri.

B. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, untuk memperbaiki makalah tersebut
penulis meminta kritik yang membangun dari para pembaca.
Daftar Pustaka

Zarkasih LC. Ahmad, 2018, Menakar Kufu Dalam Memilih Jodoh, Jakarta :
Rumah Fiqih.
AN-Nawawi. IMAM, Jilid 7, Syarah Shahih Muslim, Beirut : Daarul Ma’rifah
Taufik. Otong Husni, KAFAAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT HUKUM
ISLAM, E-Journal, Vol.5 No.2, November 2017
Sayuti. Najmah, AL-KAFA’AH FI AL-NIKAH, E-Journal, Vol.5 No.2,
November 2015
Kohar. Abd, Kedudukan dan Hikmah Mahar dalam Perkawinan, e-journal
radenintan, 2016.
Arifandi LL.B, LL.M Firman, 2018, Mahar Sebuah Tanda Cinta Terindah,
Jakarta : Rumah Fiqih.
Mardani. Dr, 2016, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta : KENCANA.
Anshory LC. M.Ag Isnan, 2020, Fiqih Mahar, Jakarta : Rumah Fiqih.
Irawan and Jayusman, Mahar Hafalan Al-Qur’an Prespektif Hukum Islam, E-
Journal, Vol. 4 No. 2, November 2019
At-Tuwaijiri. Muhammad bin Ibrahim, 2012, Mukhtasar al-Fiqhi al-Islami,
YOGYAKARTA : Ghani Pressindo.
Ensiklopedi Hadis.

Anda mungkin juga menyukai