Dalam Pernikahan
Dosen Pengampu
Prof. Dr. Fahmi Al-Amruzi, M.Hum
Dr. Rahmat Salihin, M.Ag
Disusun oleh
Euis Madiihatul Khuluqiyah
NIM. 200211050119
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak akan
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa sholawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah atas limpahan nikmat sehat-Nya, sehingga
makalah “Hadits Tentang Izin Perempuan Dan Kafa’ah Serta Mahar Dalam
Pernikahan” dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Studi Hadist Hukum Keluarga yang dibimbing oleh Prof. Dr. Fahmi Al-Amruzi, M.Hum
dan Dr. Rahmat Salihin, M.Ag. Penulis berharap makalah tentang Hadits Tentang Izin
Perempuan Dan Kafa’ah Serta Mahar Dalam Pernikahan ini bermanfaat bagi penulis sendiri
dan teman-teman sekalian.
Penulis menyadari makalah bertema hadits tentang Izin Perempuan Dan Kafa’ah Serta Mahar
Dalam Pernikahan ini masih perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan kekurangan.
Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten, penulis
memohon maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Hadits Tentang Izin Perempuan Dan Kafa’ah Serta Mahar Dalam Pernikahan............i
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan......................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................2
BAB II Pembahasan.....................................................................................................3
A. Kesimpulan...................................................................................................25
B. Saran.............................................................................................................25
Daftar Pustaka..................................................................................................................
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Fase sebelum pernikahan, yakni fase pemilihan jodoh, selalu menjadi momen yang
sangat sulit bagi beberapa orang, karena memang fase yang dilaluinya tidak berjalan
dengan baik dan terbilang susah. Terlebih lagi bagi seorang wanita. Dari mulai
kasus dijodohkan dengan laki-laki yang ia tidak cinta dan tidak sukai, sampai
masalah wanita yang tertipu calon suaminya. Dalam bahasa yang lebih tegas, wanita
tidak boleh memilih dan tidak punya hak pilih untuk calon suami. Nyatanya
memamng syariat ini memberikan ruang yang luas untuk wanita memilih siapa yang
akan menjadi pendamping hidupnya.
Kafaah ditinjau dari sisi kebahasaan mengandung arti persamaan dan keserupaan.
sedangkan Kaff adalah orang yang serupa dan sepadan. Maksud kafaah dalam
pernikahan adalah bahwa suami hendaknya sekufu dengan istrinya. Artinya dia
memiliki kedudukan yang sama dan sepadan dengan istrinya dalam hal tingkatan
sosial, moral, dan ekonomi. Tidak pungkiri bahwa manakala kedudukan laki-laki
(yang akan menjadi suami) sepadan dengan kedudukan perempuan (yang akan
menjadi istrinya), maka keharmonisan dalam berumah tangga kemungkinan besar
dapat tercapai dan menutup segala pintu yang dapat menghancurkan pernikahannya.
Islam mewajibkan pemberian mahar dari pihak laki-laki kepada wanita dalam
pernikahan. Hal ini disyariatkan sebagai bukti bahwa agama ini memuliakan wanita
dengan maksimal, juga sebagai wujud nyata keseriusan laki-laki yang hendak
menikahi wanita pujaanya. Sebagaimana diketahui bahwa pernikahan merupakan
kontrak sosial antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama, maka demi
memulai komitmen itu seorang laki-laki diharuskan memberikan pemberian
berharga sebagai tanda kecintaanya kepada calon istrinya. Kemudian barang
pemberian itu harus menjadi hak milik sang istri.
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis menarik rumusan
C. Tujuan Penulisan
Memilih calon pasangan hidup itu bukan hanya hak seorang laki-laki. Syariat
Islam juga memberikan hak yang sama besarnya kepada para wanita dalam memilih
calon suami yang akan menjadi pendampin hidupnya.
ث
Aار ِ يريُّ َح َّدثَنَا َخالِ ُ Aد ب ُْن ْال َحِ A
ار ِ َح َّدثَنِي ُعبَ ْي ُد هَّللا ِ ب ُْن ُع َم َر ب ِْن َم ْي َس َرةَ ْالقَ َو ِ
ير َح َّدثَنَا أَبُو َسلَ َمةَ َح َّدثَنَا أَبُو هُ َري َْرةَ أَ َّن
َح َّدثَنَا ِه َشا ٌم َع ْن يَحْ يَى ب ِْن أَبِي َكثِ ٍ
ال اَل تُ ْن َك ُح اأْل َيِّ ُم َحتَّى تُ ْستَأْ َم َر َواَل تُ ْن َك ُح
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَ َ
ُول هَّللا ِ َ
َرس َ
تو Aال أَ ْن تَ ْسُ Aك َ ْالبِ ْك ُر َحتَّى تُ ْستَأْ َذ َن قَAAالُوا يَAAا َر ُسAو َل هَّللا ِ َو َك ْيَ A
Aف إِ ْذنُهَAAا قََ A
ب َح َّدثَنَا إِ ْس َم ِعي ُل ب ُْن إِب َْرا ِهي َم َح َّدثَنَا ْال َحجَّا ُج ب ُْن أَبِي
َح َّدثَنِي ُزهَ ْي ُر ب ُْن َحرْ ٍ
يس Aى يَ ْعنِي اب َْن يُAAونُ َ
س وس Aى أَ ْخبَ َرنَAAا ِع َ ان ح و َح َّدثَنِي إِب َْرا ِهي ُم ب ُْن ُم َ ُع ْث َم َ
ب َحَّ AAدثَنَا ح َ
ُسAAي ُْن ب ُْن ُم َح َّم ٍد َع ْن اأْل َ ْو َز ِ
اع ِّي ح و َحَّ AAدثَنِي ُزهَيُْ AAر ب ُْن َح AAرْ ٍ
Aع قَAااَل َحَّ Aدثَنَا َع ْبُ Aدان ح و َح َّدثَنِي َع ْمرٌو النَّاقِ ُد َو ُم َح َّم ُد ب ُْن َرافٍِ A َح َّدثَنَا َش ْيبَ ُ
ار ِم ُّي أَ ْخبَ َرنَAAا
اق َع ْن َم ْع َم ٍر ح و َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ال َّ Aد ِ ال َّر َّز ِ
Aير بِ ِم ْثِ Aل َم ْعنَى
اويَةُ ُكلُّهُ ْم َع ْن يَحْ يَى ب ِْن أَبِي َكثٍِ A
َّان َح َّدثَنَا ُم َع ِ
يَحْ يَى ب ُْن َحس َ
اويَةَ ْب ِن َس Aاَّل ٍم ق لَ ْفظُ َح ِدي ِ
ث ِه َش ٍام َو َش ْيبَ َ
ان َو ُم َع ِ ث ِه َش ٍام َوإِ ْسنَا ِد ِه َواتَّفَ ََح ِدي ِ
فِي هَ َذا ْال َح ِدي ِ
ث
1
Zarkasih LC. Ahmad, Menakar Kufu Dalam Memilih Jodoh, Jakarta : Rumah Fiqih, 2018, hal. 36
Telah menceritakan kepadaku Ubaidullah bin Umar bin Maisarah Al Qawariri
telah menceritakan kepada kami Khalid bin Harits telah menceritakan kepada
kami Hisyam dari Yahya bin Abi Katsir telah menceritakan kepada kami Abu
Salamah telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah bahwa Rasulullah
ﷺbersabda, "Janganlah menikahkan seorang janda sebelum
meminta persetujuannya, dan janganlah menikahkan anak gadis sebelum
meminta izin darinya." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana
mengetahui izinnya?" Beliau menjawab, "Dia diam." Dan telah menceritakan
kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim
telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Abi Utsman. Dan diriwayatkan dari
jalur lain, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Musa telah mengabarkan
kepada kami Isa yaitu Ibnu Yunus dari Al Auza'i. Dan diriwayatkan dari jalur
lain, telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada
kami Husain bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Syaiban. Dan
diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Amru An Naqid dan
Muhammad bin Rafi' keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami
Abdur Razzaq dari Ma'mar Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi telah mengabarkan kepada
kami Yahya bin Hasan telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah semuanya
dari Yahya bin Abi Katsir seperti makna hadits Hisyam beserta isnadnya.
Lafazh hadits ini juga sesuai dengan hadits Hisyam, Syaiban dan Mu'awiyah bin
Salam. (HR. Muslim no. 2543, no. 1419 pada Syarah Shahih Muslim)2.
ِد هَّللا ِ ب ِْنA ْع ٍد َع ْن َع ْبAا ِد ب ِْن َسAAَان َع ْن ِزي ُ َ ْفيAو َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ ب ُْن َس ِعي ٍد َح َّدثَنَا ُس
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِهَ ي َّ ِس أَ َّن النَّب
ٍ ْالفَضْ ِل َس ِم َع نَافِ َع ب َْن ُجبَي ٍْر ي ُْخبِ ُر َع ْن اب ِْن َعبَّا
ُكوتُهَا وAAق بِنَ ْف ِسهَا ِم ْن َولِيِّهَا َو ْالبِ ْك ُر تُ ْستَأْ َم ُر َوإِ ْذنُهَا ُس
ُّ ال الثَّيِّبُ أَ َح
َ ََو َسلَّ َم ق
ُّ Aال الثَّيِّبُ أَ َحA
هَاA ق بِنَ ْف ِس ُ ََح َّدثَنَا اب ُْن أَبِي ُع َم َر َح َّدثَنَا ُس ْفي
َ Aَان بِهَ َذا اإْل ِ ْسنَا ِد َوق
َ Aَا قAA َماتُهَا َو ُربَّ َمAص
الA ُ اAAَهَا َوإِ ْذنُهAِم ْن َولِيِّهَا َو ْالبِ ْك ُر يَ ْستَأْ ِذنُهَا أَبُوهَا فِي نَ ْف ِس
ص ْمتُهَا إِ ْق َرا ُرهَا
َ َو
Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan
kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa'ad dari Abdullah bin Fadll bahwa dia
mendengar Nafi' bin Jubair mengabarkan dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi
ﷺbersabda, "Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada
walinya, sedangkan perawan (gadis) harus dimintai izin darinya, dan diamnya
adalah izinnya." Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah
menceritakan kepada kami Sufyan dengan isnad ini, beliau bersabda, "Seorang
2
Ensiklopedi Hadis, Muslim no. 2543
janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis),
maka ayahnya harus meminta persetujuan atas dirinya, dan persetujuannya
adalah diamnya." Atau mungkin beliau bersabda, "Dan diamnya adalah
persetujuannya." (HR. Muslim no. 2546, no. 1421 pada Syarah Shahih Muslim).
Dari Hadist diatas dapat kita lihat, pertama menjelaskan kata اأْل َيِّ ُمdisitu ada
perbedaan pendapat, ada yg mengatakan perempuan janda atau pendapat lainnya
mengatakan perempuan yang tidak bersuami, entah memang belum menikah
atau sudah janda.
3
AN-Nawawi. IMAM, Syarah Shahih Muslim, Beirut : Daarul Ma’rifah, jilid 7
2. Diajak Mempertimbangkan
Selain dimintai izin dan persetujuannya, para wanita juga berhak untuk
diajak berembug dan bermusyarah, khususnya dalam penentuan siapa yang akan
menjadi pilihan hatinya dalam memilih suami.
1. Pengertian Kafa’ah
Dalam kamus bahasa Arab, kafâ`ah berasal dari kata ًأَةAAَ ُم َكاف-ُافِئAAيُ َك-ََكافَأ
yang berarti kesamaan, sepadan dan sejodoh. Sedangkan dalam kamus lengkap
Bahasa Indonesia, kafâ`ah berarti seimbang, yaitu keseimbangan dalam memilih
pasangan hidup. Firman Allah Swt dalam al-Qur`an disebutkan juga katakata
yang berakar kafâ`ah.
4
Taufik. Otong Husni, KAFAAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM, E-Journal, Vol.5 No.2, 2017
hal. 171
7
keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
Kafâ`ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami istri, tetapi tidak
menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafâ`ah adalah hak bagi wanita dan
walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi atau sesuai maka
menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan
terjadinya perceraian, oleh karna itu boleh dibatalkan.
a. Mazhab Hanafi
Memandang kafa‘ah sebagai kesamaan laki-laki dan perempuan dalam
6 hal: nasab, Islam, pekerjaan, kemerdekaan, agama dan harta. Menurut
pendapat ini, secara garis besar manusia dibedakan kepada dua kelompok:
Arab dan Ajam. Pada masing-masing kelompok terdapat pula kelas-kelas
menengah, atas dan bawah ditinjau dari segi ekonomi, keturunan, pekerjaan
5
Taufik. Otong Husni, 2017, hal. 179
8
dan lain-lain. Sebagai contoh, dalam masyarakat Arab dikenal qabilah
Quraisy dan bukan Quraisy. Suku Quraisy dianggap yang paling mulia.
Maka dari segi nasab, perempuan Quraisy hanya kafa‘ah bagi laki-laki
Quraisy saja meskipun beda qabilah, seperti perempuan Bani Hasyim
dengan lakilaki Bani Naufal. Tapi bila dia bukan perempuan dari suku
Quraisy, maka laki-laki Arab manapun kafa‘ah baginya. Sedangkan laki-laki
ajam tidak kafa‘ah bagi perempuan Arab dalam hal apapun seperti tidak
kafa‘ahnya laki-laki bukan Quraisy bagi perempuan Quraisy.
b. Mazhab Maliki
Kafa‘ah dalam nikah dipandang dari dua pokok bahasan:
keberagamaannya, yakni bahwa dia adalah muslim dan bukan fasiq, dan
tidak memiliki aib ataupun penyakit yang memberikan si istri hak untuk
memilih (untuk meneruskan pernikahan tersebut atau menolak), seperti
sopak, gila, kusta atau lepra. Poin yang kedua adalah hak mutlak isteri.
Sedangkan kafa‘ah dalam bidang harta, nasab dan pekerjaan, kebanyakan
ulama Hanafiy berpendapat bahwa faktor-faktor tersebut tidak menjadi
syarat sah aqad. Jadi seorang kuli angkat atau pandai besi, sah-sah saja atau
kafa‘ah untuk menikahi perempuan terhormat atau kaya. Hanya saja dalam
hal kemerdekaan, terdapat perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan
kafa‘ah, sebagian lagi mengatakan bahwa yang kafa‘ah dengan perempuan
terhormat atau kaya hanyalah budak berkulit putih (Arab) sedangkan budak
berkulit hitam tidak kafa‘ah.
c. Ulama Syafi’i
Memandang kafa‘ah sebagai sesuatu yang wajib bersih dari aib
ataupun penyakit. Jelasnya suami istri paling tidak mesti memiliki kesamaan
(musawah) dalam kesempurnaan atapun kekurangan sepanjang selamat dari
aibaib nikah. Sebagai contoh, kesamaan (musawah) disini bukan berarti
bahwa keduanya kafa‘ah bila sama-sama menderita sopak atau lepra.
Bahkan bila hal ini terjadi, masing-masing pihak berhak menuntut fasakh
karena seperti kata orang bijak, “manusia biasanya membenci apa yang tidak
9
dia benci jika terjadi pada dirinya”.
d. Ulama Hambali
Kafa‘ah adalah musawah dalam lima hal:
1) keberagamaan: laki-laki penzina yang fasiq tidak kafa‘ah dengan
perempuan sholehah yang adil dan ‘afifah karena ditolak kesaksian dan
riwayatnya serta dipandang cacat pribadinya dimata masyarakat
2) Usaha/profesi: seorang laki-laki yang berprofesi lebih rendah tidak
kafa‘ah bagi puteri seorang yang berprofesi lebih tinggi seperti tukang
bekam dan pandai besi tidak kafa‘ah dengan puteri saudagar dan
pedagang kain yang selalu berpakaian rapi
3) Harta: banyaknya mahar dan nafkah yang harus dipenuhi karena itu
seseorang yang kesulitan dalam keuangan tidak pantas menikahi
perempuan yang selalu bergelimang harta karena mestinya isteri bisa
hidup senang di rumah suaminya sebagimana dia kehidupannya di
rumah bapaknya.
4) Kemerdekaan: seorang budak atau separuh budak tidak pantas bagi
perempuan merdeka
10
5) Nasab: laki-laki Ajam tidak kafa‘ah dengan perempuan Arab. Adalah
perbuatan dosa bila wali menikahkannya dengan tidak kafa‘ah tanpa
persetujuannya, karena perbuatannya ini wali dianggap fasiq dan wali
fasiq tidak berhak menikahkan perempuan sholehah.
6
Sayuti. Najmah, AL-KAFA’AH FI AL-NIKAH, E-Journal, Vol.5 No.2, 2015, hal. 181
11
ada juga orang yang tidak suka kepadanya, bukan karena orang itu tidak
patut dihormati, tetapi lebih karena iri terhadap kehormatan yang dimiliki.
Berbeda dengan kemuliaan disisi Allah. Kemuliaan itu jauh lebih baik di
dunia dan di akhirat kelak.
Poin penting dalam hadist ini adalah sabda Rasulullah SAW,
“Sesungguhnya orang ini lebih baik dari pada kekayaan seluruh dunia yang
seperti orang pertama tadi”. Karena orang ini taat beragama sedangkan yang
pertama tadi tidak begitu.
14
memilih bagi perempuan sesuai dengan makna ‗memiliki kemaluan dan
mengatur atau mengontrolnya‘ baik suaminya merdeka ataupun budak
karena keumuman sifat ‘illah. Hal ini disebabkan ada riwayat yang
mengatakan bahwa suaminya seorang yang merdeka dan ada juga riwayat
yang menunjukkan kemungkinan suaminya tersebut adalah budak yang
dulunya merdeka. Karena itu bertambah kuat hak kepemilikannya terhadap
dirinya dalam dua alasan tersebut, dan semakin kuat pula haknya untuk
memilih (bercerai atau tidak) untuk menghindari kemudharatan.
Hak untuk memilih baik bagi suami atau isteri sekiranya isteri atau
suami mereka ternyata memiliki aib atau penyakit. Bila mereka rela, mereka
boleh meneruskan pernikahan. Jika tidak mereka boleh bercerai. Dan bagi
suami yang telah menggauli isterinya, maka dia berkewajiban membayarkan
maharnya secara penuh.
1. Pengertian Mahar
16
wajib, tetapi tidak ditentukan bentuk dari jenisnya, besar dan kecilnya dalam al-
Quran merupakan alHadits8.
a. Merupakan jalan yang menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima
kekuasaan suaminya kepada dirinya
b. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan
cinta-mencintai
c. Sebagai usaha memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu
memberikan hak untuk memegang urusannya
8
Kohar. Abd, Kedudukan dan Hikmah Mahar dalam Perkawinan, e-journal radenintan, 2016 hal. 43
9
Mardani. Dr, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta : KENCANA, 2016, hal. 48
10
Anshory LC. M.Ag Isnan, Fiqih Mahar, Jakarta : Rumah Fiqih, 2020, hal. 19
17
b. Mahar mitsl ()المثل مهر
Kebalikan dari mahar musamma, yaitu mahar yang belum disebutkan
dalam akad pernikahan dan bisa jadi belum disepakati nilainya. Di mana
mahar jenis ini akan ditetapkan jika terjadi suatu kasus di mana sang istri
menuntut pemberian mahar, namun sang suami belum menetapkannya. Atau
mahar belum ditetapkan setelah akad, namun sang suami terlanjur
meninggal.
5. Bentuk Mahar
(firman arifandi) Menukil dari tulisan Ustadz Ahmad Sarwat dalam buku
beliau Serial Fiqih Kehidupan, setidaknya ada dua metode yang bisa
dilakukan untuk mengetahui nominal mahar Rasulullah di masa sekarang.
Metode pertama adalah dengan perbandingan antara dinar dan dirham. Dinar
adalah mata uang emas sedangkan dirham adalah mata uang perak. Nilai
dinar emas tentu lebih besar dari pada nilai dirham perak. Metode kedua,
dihitung oleh Syeikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam salah satu
fatwanya. Beliau menghitung dengan cara menghitung berapa harga dirham
di masa Nabi SAW dibandingkan dengan harga perak hari ini. Menurut
beliau, nilai satu dirham di masa Nabi SAW kalau diukur dengan timbangan
modern zaman kita kurang lebih setara dengan 2,975 gram. Sedikit lagi tiga
gram perak11.
11
At-Tuwaijiri. Muhammad bin Ibrahim, Mukhtasar al-Fiqhi al-Islami, YOGYAKARTA : Ghani Pressindo, 2012,
hal. 437
19
ْع ٍد أَ َّنA ْه ِل ب ِْن َسA از ٍم ع َْن َس ِ A ْفيَانَ ع َْن أَبِي َحA ٌع ع َْن ُسA َّدثَنَا َو ِكيA َّدثَنَا يَحْ يَى َحAَح
َ َصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق
ال لِ َر ُج ٍل تَزَ َّوجْ َولَوْ بِ َخات ٍَم ِم ْن َح ِدي ٍد َّ ِالنَّب
َ ي
Dengan demikian, tidak sah suatu mahar apabila yang diserahkan itu
bukan merupakan harta dengan syarat-syaratnya, seperti jika:
c. Pada dasarnya para ulama sepakat bahwa mahar dapat berwujud pemberian
manfaat atas sesuatu kepada istri.
20
1) Hal ini didasarkan kepada ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang
mahar dari pernikahan Nabi Musa - ’alaihis salam - dengan anak gadis
Nabi Syuaib - ’alaihis salam - yang berupa jasa pekerjaan yyang
dilakukanoleh Nabi Musa - ’alaihis salam –
ْع ٍدA ْه ِل ْب ِن َسA ِه ع َْن َسA از ٍم ع َْن أَبِي ِ Aيز ب ُْن أَبِي َح
ِ َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز
اAAَت ي ْ َالAAَصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَق ِ ت ا ْم َرأَةٌ إِلَى َرس
َ ِ ُول هَّللا ْ ال َجا َء َ َي قِّ َّاع ِد
ِ الس
ِهAصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي َ َت أَهَبُ لَكَ نَ ْف ِسي ق
َ ِ ال فَنَظَ َر إِلَ ْيهَا َرسُو ُل هَّللا ُ َرسُو َل هَّللا ِ ِج ْئ
َ ِ ص َّوبَهُ ثُ َّم طَأْطَأ َ َرسُو ُل هَّللا
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َ ََو َسلَّ َم ف
َ ص َّع َد النَّظَ َر فِيهَا َو
ْ AA ْيئًا َجلَ َسAAا َشAAَض فِيه
ٌل ِم ْنAAُا َم َرجAAَت فَق ْ َهُ فَلَ َّما َرأAAَر ْأ َس
ِ رْ أَةُ أَنَّهُ لَ ْم يَ ْقAAت ْال َم
َ َأَصْ َحابِ ِه فَق
ْلAAَا َل َوهAAَال يَا َرسُو َل هَّللا ِ إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَكَ بِهَا َحا َجةٌ فَزَ ِّوجْ نِيهَا فَق
21
ْك فَا ْنظُرْ هَل َ ِال ْاذهَبْ إِلَى أَ ْهل َ َُول هَّللا ِ فَق
َ ك ِم ْن َش ْي ٍء قَا َل اَل َوهَّللا ِ يَا َرس َ ِع ْن َد
و ُل هَّللاAا َل َر ُسAAَ ْيئًا فَقAت َش
ُ ْدAا َو َجAAال اَل َوهَّللا ِ َمA
َ Aَ َع فَقAَب ثُ َّم َر َج
َ تَ ِج ُد َش ْيئًا فَ َذه
َ َذهAَ ٍد فA ا ِم ْن َح ِديAAصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْنظُرْ َولَوْ خَ اتَ ًم
ا َل اَلAAَ َع فَقAَب ثُ َّم َر َج َ
ُهA َا لAA ْه ٌل َمA زَاري قَا َل َس ِ َِوهَّللا ِ يَا َرسُو َل هَّللا ِ َواَل َخاتَ ًما ِم ْن َح ِدي ٍد َولَ ِك ْن هَ َذا إ
ْ ا تAAصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم
ِ إِزAِنَ ُع بAَص
ََارك َ ِ ال َرسُو ُل هَّللا َ َِردَا ٌء فَلَهَا نِصْ فُهُ فَق
ْي ٌءAهُ َشAكَ ِم ْنAA ْتهُ لَ ْم يَ ُك ْن َعلَ ْيA ْي ٌء َوإِ ْن لَبِ َسAهُ َشAا ِم ْنAAَتَهُ لَ ْم يَ ُك ْن َعلَ ْيهA إِ ْن لَبِ ْس
ِهAلَّى هَّللا ُ َعلَ ْيAص
َ ِ و ُل هَّللاAرآهُ َر ُسA َ َس ال َّر ُج ُل َحتَّى إِ َذا ط
َ Aَا َم فAAَال َمجْ لِ ُسهُ ق َ َفَ َجل
ا َل َم ِعيAAَرْ آ ِن قAAُك ِم ْن ْالق َ Aا َذا َم َعAAال َمَ ََو َسلَّ َم ُم َولِّيًا فَأ َ َم َر بِ ِه فَ ُد ِع َي فَلَ َّما َجا َء ق
َ A ُِورةُ َك َذا َوسُو َرةُ َك َذا َع َّد َدهَا فَقَا َل تَ ْق َر ُؤهُ َّن ع َْن ظَه ِْر قَ ْلب
ا َلAAَا َل نَ َع ْم قAAَك ق َ س
ْاذهَبْ فَقَ ْد َملَّ ْكتُ َكهَا بِ َما َم َعكَ ِم ْن ْالقُرْ آ ِن
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada
kami Abdul Aziz bin Abu Hazim dari bapaknya dari Sahl bin Sa'd As
Sa'idi ia berkata; Seorang wanita datang menemui Rasulullah
ﷺdan berkata, "Wahai Rasulullah, aku datang untuk
menghibahkan diriku untuk Anda." Lalu Rasulullah ﷺ
memandangi wanita itu, beliau arahkan pandangannya ke atas dan
kebawah lalu beliau menundukkkan kepalanya. Maka wanita itu melihat
bahwa Rasulullah ﷺtidak memberi putusan apa-apa terkait
dengan dirinya, maka ia pun duduk. Tiba-tiba seorang sahabat berdiri
dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Anda tidak berhasrat kepada wanita
itu maka nikahkanlah aku dengannya." Maka beliau pun bertanya,
"Apakah kamu mempunyai sesuatu (untuk dijadikan mahar)?" sahabat
itu menjawab, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah." Beliau bersabda,
"Pergilah kepada keluargamu, dan lihatlah apakah ada sesuatu." Laki-
laki itu pun pergi dan kembali seraya berkata, "Tidak, demi Allah wahai
Rasulullah, aku tidak mendapatkan sesuatu." Beliau bersabda lagi,
"Lihatlah, meskipun yang ada hanyalah cincin dari besi." Laki-laki itu
pergi laki kemudian kembali dan berkata, "Tidak, demi Allah wahai
Rasulullah meskipun hanya cincin besi. Akan tetapi aku mempunya kain
ini." Sahl berkata; Ia tidak memiliki kain kecuali setengah. Maka
Rasulullah ﷺpun bersabda, "Apa yang dapat kamu lakukan
dengan kainmu itu. Jika kamu memakainya maka ia tidak akan kebagian,
dan jika ia memakainya maka tidak akan kebagian." Akhirnya laki-laki
itu duduk hingga lama, lalu ia beranjak. Kemudian Rasulullah
ﷺpun melihatnya hendak pulang. Maka beliau
memerintahkan seseorang agar memanggilnya. Ketika laki-laki itu
22
datang, beliau bertanya, "Surah apa yang kamu hafal dari Al-Qur'an." Ia
berkata, "Yaitu surat ini." Ia menghitungnya. Beliau bersabda, "Apakah
kamu menghafalnya dengan baik?" laki-laki itu menjawab, "Ya."
Akhirnya beliau bersabda, "Sesungguhnya aku telah menikahkanmu
dengan wanita itu dengan mahar hafalan Al-Qur'anmu." (HR. Bukhari,
no. 4752 dan no. 5149 pada Fathul Bari)12.
Dalam memahami hadits ini, para ulama sepakat bahwa jika yang
dimaksud dengan hafalan al-Qur’an adalah sekedar hafalan yang dimiliki
oleh suami, namun bukan untuk diajarkan kepada istri, maka hal ini
tidak bisa menjadi mahar.
Namun jika bacaan al-Qur’an itu berupa jasa pengajaran yang akan
dilakukan suami kepada istrinya, pada dasarnya para ulama sepakat
bahwa hal itu dibolehkan.
Selain itu, jumhur ulama yang membolehkan jasa mengajarkan al-Quran
dijadikan sebagai mahar, mensyaratkan dua hal untuk kebolehannya:
Bahwa harus ditetapkan dengan pasti kuantitas materi yang harus
diajarkan, apakah seluruh ayat al-Quran, atau setengahnya, atau sebagian
dari surat-suratnya. Demikian pula batas waktu pengajaran, apakah
sepekan, sebulan, setahun atau seumur hidup13.
Bahwa ayat yang hendak diajarkan merupakan ayat al-Qur’an yang
belum dikuasai oleh istri, hingga tampak adanya beban usaha yang
dilakukan suami. Dengan demikian, jika maharnya adalah ayat yang
umumnya sudah dihafal oleh umat Islam seperi surat al-Fatihah, maka
pengajaran surat ini tidak boleh dijadikan sebagai mahar.
b. jika salah satu dari pasangan suami istri meninggal dunia sebelum terjadi
hubungan badan. Ketentuan ini telah disepakati para ulama.
12
Ensiklopedia hadist, Bukhari, no. 4752
13
Irawan and Jayusman, Mahar Hafalan Al-Qur’an Prespektif Hukum Islam, E-Journal, Vol. 4 No. 2, 2019
23
c. Abu Hanifah berpendapat bahwa jika suami berduaan secara sah dengan
istrinya, maka mahar yang telah disebutkan harus diberikan. Maksudnya
pasangan suami istri menyendiri di suatu tempat yang aman dari jangkauan
pandangan siapa pun, dan salah satu dari keduanya tidak sedang mengalami
halangan yang dibenarkan syariat, seperti salah satu dari suami dan istri
sedang melakukan puasa wajib, atau istri mengalami haid, atau sedang
mengalami halangan fisik, seperti salah satu dari keduanya sedang menderita
sakit yang membuatnya tidak dapat melakukan hubungan badan yang
sebenarnya, atau halangan kewajaran, misalnya ada orang ketiga bersama
mereka berdua.
Abu Hanifah mengemukakan hujjah dengan riwayat yang disampaikan oleh
Abu Ubaidah dari Zararah bin Abu Aufa bahwa dia mengatakan, para
Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjukmemutuskan bahwa jika dia menutup
pintu dan menurunkan tirai penutup, maka mahar harus ditunaikan.
7. Gugurnya mahar
Mahar gugur keseluruhannya dari suami hingga dia tidak dibebani
tanggungan apapun kepada istri dalam semua perpisahan dari pihak perempuan
yang terjadi sebelum adanya persetubuhan. Misalnya, perempuan yang
dinikahinya murtad dari agama Islam, membatalkan akad nikah lantaran
kesulitan suami, cacat dari pihak suami, atau pembatalan suami sendiri
disebabkan cacat dari pihak istri, atau disebabkan keinginan sendiri setelah
memasuki usia balig (bagi yang menikah sebelum balig).
24
25
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
1. Didalam Izin Pernikahan terdapat seorang janda lebih berhak atas dirinya dari
3. Didalam Mahar Pernikahan ada 2 jenis mahar, yaitu : mahar musamma dan mahar
mitsl. Dan mahar pun ada beberapa bentuk, yaitu : mahar berupa tsaman atau uang,
mutsamman atau benda, dan berwujud pemberian manfaat atas sesuatu kepada istri.
B. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak kesalahan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, untuk memperbaiki makalah tersebut
penulis meminta kritik yang membangun dari para pembaca.
Daftar Pustaka
Zarkasih LC. Ahmad, 2018, Menakar Kufu Dalam Memilih Jodoh, Jakarta :
Rumah Fiqih.
AN-Nawawi. IMAM, Jilid 7, Syarah Shahih Muslim, Beirut : Daarul Ma’rifah
Taufik. Otong Husni, KAFAAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT HUKUM
ISLAM, E-Journal, Vol.5 No.2, November 2017
Sayuti. Najmah, AL-KAFA’AH FI AL-NIKAH, E-Journal, Vol.5 No.2,
November 2015
Kohar. Abd, Kedudukan dan Hikmah Mahar dalam Perkawinan, e-journal
radenintan, 2016.
Arifandi LL.B, LL.M Firman, 2018, Mahar Sebuah Tanda Cinta Terindah,
Jakarta : Rumah Fiqih.
Mardani. Dr, 2016, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta : KENCANA.
Anshory LC. M.Ag Isnan, 2020, Fiqih Mahar, Jakarta : Rumah Fiqih.
Irawan and Jayusman, Mahar Hafalan Al-Qur’an Prespektif Hukum Islam, E-
Journal, Vol. 4 No. 2, November 2019
At-Tuwaijiri. Muhammad bin Ibrahim, 2012, Mukhtasar al-Fiqhi al-Islami,
YOGYAKARTA : Ghani Pressindo.
Ensiklopedi Hadis.