Anda di halaman 1dari 21

Resume FIQH MAWARIS DAN MUNAKAHAT

Kelas D
Dosen Pengampu : Agus Khumaedy, M.Ag
Kelompok 2
Nama Anggota:
Sefia Sindi Aditya ( 2120078 )
Riyan Kharistia ( 2120111)
Tegar Dwi Wibowo ( 2120139 )
Ely Awaliyah ( 2120176 )
DALAM PERNIKAHAN

A. Pengertian Pernikahan
Secara etimologis, pernikahan berasal dari kata al-jam’u dan al-
dhamu yang berarti berkumpul, pencampuran, penyelarasan atau ikatan. Jika
dikatakan, bahwa sesuatu dinikahkan dengan sesuatu yang lain maka berarti
keduanya saling dikaitkan satu dengan lain. 1 Sedangkan secara terminologi,
seperti yang didefinisikan oleh Muhammad Ali bahwa pengertian
pernikahan adalah perjodohan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk menjadi suami istri.
Menurut kompilasi hukum Islam, pernikahan ialah akad yang
menghalalkan pergaulan ( suami istri ) dan membatasi hak dan kewajiban
serta saling tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang diantara kedunya mempunyai status bukan mahrom
sebelumnya.2
Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
( UU Nimor 1 Tahun 1974 ) tentang perkawinan dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan pernikahan atau perkawinan adalah “Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

1
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah. ( Solo: Intermedia,
2005 ). Hlm. 1
2
Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, ( Universitas
Al-Azhar, 2010), hlm. 4

1
istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga dari definis
tersebut dapat dikatakan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang secara
keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan
merupakan suatu acara yang sakral.3
Pernikahan merupakan bentuk sunatullah yang bersifat umum dan
berlaku terhadap semua makhluk-Nya, baik manusia, hewan dan tumbuhan.
Pernikahan merupakan suata cara yang dipilih Allah Swt., kepada
makhluknya sebagai jalan untuk berkembang biak dan melestarikan
kehidupan di muka bumi.4
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau bentuk bermasyarakat yang sempurna. Pernikahan tidak
sekadar suatu jalan yang amat mulia untuk membentuk suatu bahtera rumah
tangga dan menghasilkan keturunan yang baik, tetapi juga dapat dijadikan
sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum ( individu )
dengan kaum ( individu ) lain. Sehingga dengan terjalinnya rasa saling kenal
dapat menumbuhkan rasa saling tolong antar sesama. Selain iu, dengan
adanya pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya.5

B. Ayat dan Hadist tentang Menikah


Banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang nikah didalam
al-qur’an diantaranya seperti didalam surat An-Nisa, An-Nur dan Al
Hujurat :

َّ Aَ‫ ب‬A‫ َو‬A‫ا‬AAَ‫ ه‬A‫ج‬Aَ A‫و‬Aْ A‫ز‬Aَ A‫ا‬AAَ‫ ه‬A‫ ْن‬A‫ ِم‬A‫ق‬
A‫ ا‬AA‫ َم‬Aُ‫ ه‬A‫ ْن‬A‫ ِم‬A‫ث‬ َ AAَ‫ ل‬A‫ َخ‬A‫ َو‬A‫ ٍة‬A‫ َد‬AA‫ ِح‬A‫ ا‬A‫ َو‬A‫س‬ Aُ A‫ا‬Aَّ‫ن‬A‫ل‬A‫ ا‬A‫ا‬AAَ‫ ه‬A‫ َأ ُّي‬A‫ا‬AAَ‫ي‬
ٍ A‫ ْف‬Aَ‫ ن‬A‫ن‬Aْ A‫ ِم‬A‫ ْم‬A‫ ُك‬Aَ‫ق‬Aَ‫ ل‬A‫ َخ‬A‫ ي‬A‫ ِذ‬Aَّ‫ل‬A‫ ا‬A‫ ُم‬A‫ ُك‬Aَّ‫ ب‬A‫ َر‬A‫ا‬A‫و‬AAُ‫ق‬Aَّ‫ت‬A‫ ا‬A‫س‬
‫اًل‬A‫ا‬A‫ج‬Aَ A‫ِر‬
A‫ًا‬A‫ب‬A‫ي‬Aِ‫ ق‬A‫ر‬Aَ A‫ ْم‬A‫ ُك‬A‫ ْي‬Aَ‫ ل‬A‫ َع‬A‫ن‬Aَ A‫ا‬A‫ َك‬Aَ ‫ هَّللا‬A‫ ِإ َّن‬A‫ َم‬A‫ ا‬A‫ َح‬A‫ر‬Aْ ‫َأْل‬A‫ ا‬A‫ َو‬A‫ ِه‬Aِ‫ ب‬A‫ن‬Aَ A‫و‬Aُ‫ ل‬A‫ َء‬A‫ ا‬A‫ َس‬Aَ‫ ت‬A‫ ي‬A‫ ِذ‬Aَّ‫ل‬A‫ ا‬Aَ ‫ هَّللا‬A‫ا‬A‫و‬Aُ‫ق‬Aَّ‫ت‬A‫ ا‬A‫ َو‬A‫ ًء‬A‫ ا‬A‫ َس‬Aِ‫ ن‬A‫ َو‬A‫ ا‬A‫ ًر‬A‫ي‬Aِ‫ ث‬A‫َك‬
3
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat ( Kajian Fiqih Nikah Lengkap ), ( Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, , 2014). Hlm. 8
4
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, ( Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004 ), Cet. Ke-3, hlm. 125
5
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam. ( Bandung: Sinar Baru Algensido, 2010 ), hlm. 374

2
Artinya: “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu Yang
menciptakan kamu dari satu jiwa dan darinya Dia menciptakan
jodohnya, dan mengembang-biakan dari keduanya banyak laki-laki
dan perempuan; dan bertakwalah kepada Allah SWT yang dengan
nama-Nya kamu saling bertanya, terutama mengenai hubungan tali
kekerabatan. Sesungguhnya Allah SWT adalah pengawas atas kamu.”
(QS An-Nisa: 1).

AَّAٰ ‫ل‬A‫ ٱ‬A‫ َو‬A‫م‬AۡA‫ ُك‬A‫ ن‬A‫ ِم‬A‫ى‬Aٰ A‫ َم‬Aَ‫ي‬Aٰ ‫َأۡل‬A‫ ٱ‬A‫ ْا‬A‫ و‬A‫ُح‬A A‫ ِك‬A‫ َأ ن‬A‫و‬Aَ
A‫ ن‬A‫ ِم‬Aُ ‫هَّلل‬A‫ ٱ‬A‫ ُم‬A‫ ِه‬Aِ‫ ن‬A‫غ‬Aۡ Aُ‫ ي‬A‫ َء‬A‫ ٓا‬A‫ َر‬A Aَ‫ق‬Aُ‫ ف‬A‫ ْا‬A‫و‬A Aُ‫ن‬A‫ و‬A‫ ُك‬Aَ‫ ي‬A‫ ِإ ن‬A‫م‬Aۚۡ A‫ِئ ُك‬A‫ ٓا‬AA‫ ِإ َم‬A‫ َو‬A‫م‬AۡA‫ ُك‬A‫ ِد‬A‫ا‬A Aَ‫ ب‬A‫ع‬Aِ A‫ن‬Aۡ A‫ ِم‬A‫ن‬Aَ A‫ ي‬A‫ح‬Aِ Aِ‫ ل‬A ‫ص‬A
A‫م‬AٞA‫ي‬Aِ‫ ل‬A‫ َع‬A‫ ٌع‬A‫ ِس‬A‫ َو‬Aٰ Aُ ‫هَّلل‬A‫ ٱ‬A‫ َو‬A‫ ِۗهۦ‬Aِ‫ ل‬A‫ض‬
Aۡ Aَ‫ف‬

Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara


kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-
Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”
(QS An-Nur: 32).

A‫ َد‬AA‫ ن‬A‫ ِع‬A‫م‬AۡA‫ ُك‬A‫ َم‬A‫ر‬Aَ A‫ك‬Aۡ ‫ َأ‬A‫ ِإ َّن‬A‫ ْا‬AۚA‫و‬Aٓ Aُ‫ ف‬A‫ َر‬A‫ ا‬A‫ َع‬Aَ‫ت‬Aِ‫ ل‬A‫ل‬Aَ ‫ِئ‬A‫ٓا‬Aَ‫ب‬Aَ‫ ق‬A‫ َو‬A‫ ا‬A‫ب‬AٗA‫ و‬A‫ ُع‬A‫ ُش‬A‫م‬AۡA‫ ُك‬Aَ‫ن‬AٰA‫ل‬AۡA‫ َع‬A‫ج‬Aَ A‫و‬Aَ A‫ى‬Aٰ Aَ‫ث‬A‫ُأ ن‬A‫و‬Aَ A‫ر‬Aٖ A‫ َك‬A‫ َذ‬A‫ ن‬A‫ ِّم‬A‫ م‬A‫ ُك‬Aَ‫ن‬AٰA‫ق‬AۡAَ‫ل‬A‫خ‬Aَ A‫ا‬Aَّ‫ ِإ ن‬A‫س‬
Aُ A‫ا‬Aَّ‫ن‬A‫ل‬A‫ ٱ‬A‫ا‬Aَ‫ ه‬A‫ َأ ُّي‬Aَٓ‫ي‬Aٰ
Aِ ‫هَّلل‬A‫ ٱ‬A‫ر‬Aٞ A‫ي‬Aِ‫ ب‬A‫خ‬Aَ A‫ ٌم‬A‫ي‬Aِ‫ ل‬A‫ َع‬Aَ ‫هَّلل‬A‫ ٱ‬A‫ ِإ َّن‬A‫م‬Aۚۡ A‫ ُك‬A‫ ٰى‬Aَ‫ق‬A‫ت‬Aۡ‫َأ‬

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-
Hujurat: 13).
Pernikahan adalah ajaran Islam untuk menghalalkan hubungan
laki-laki dan perempuan agar tidak terjadi perzinaan.

3
Di dalam kitab Lubbabul Hadis bab ke dua puluh lima, imam As-
Suyuthi, terdapat hadis tentang fadhilah atau keutamaan menikah. Di
antaranya:
Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Menikah itu
termasuk dari sunahku, siapa yang tidak mengamalkan sunnahku,
maka ia tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena sungguh aku
membanggakan kalian atas umat-umat yang lainnya, siapa yang
mempunyai kekayaan, maka menikahlah, dan siapa yang tidak mampu
maka hendaklah ia berpuasa, karena sungguh puasa itu tameng
baginya.” (HR Ibnu Majah).
Mengutip Kitab Qurratu al-‘Uyun, karya Syekh Muhammad at-
Tahami Ibnu Madani, ada keutamaan dalam membina rumah tangga melalui
pernikahan, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai hadits Rasulullah SAW.
Mu'adz bin Jabal RA pernah berkata, ''Sholat yang dikerjakan oleh
orang yang sudah menikah itu lebih utama dari pada 40 kali sholat yang
dikerjakan orang yang tidak berumah tangga.''
Satu hal lagi dalam memilih perempuan, sebagaimana diterangkan
penulis Kitab Qurratu al-‘Uyun adalah memilih perempuan yang produktif
(subur) dalam melahirkan anak. Sebab, dengan banyaknya anak dan
keturunan, hal itu akan membanggakan diri Rasulullah SAW di akhirat
kelak, ketika berjumpa dengan para Nabi-nabi Allah.''
Kitab an-nikah, hadist ke 780
‫ب ! َم ِن‬ ِ ‫ع َْن َع ْب ِد هَّللَا ِ ْب ِن َم ْسعُو ٍد رضي هللا عنه قَا َل لَنَا َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم ( يَا َم ْع َش َر اَل َّشبَا‬
ِ ْ‫صنُ لِ ْلفَر‬
َّ ِ‫ ِه ب‬A‫تَ ِط ْع فَ َعلَ ْي‬A ‫ َو َم ْن لَ ْم يَ ْس‬, ‫ج‬
; ‫وْ ِم‬A ‫الص‬ َ ْ‫ َوَأح‬, ‫ص ِر‬
َ َ‫ فَِإنَّهُ َأغَضُّ لِ ْلب‬, ْ‫ا ْستَطَا َع ِم ْن ُك ُم اَ ْلبَا َءةَ فَ ْليَتَزَ َّوج‬
ٌ َ‫فَِإنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء ) ُمتَّف‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬

Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata:


Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai
generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga
hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan

4
memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa,
sebab ia dapat mengendalikanmu.”

C. Anjuran Untuk Menikah


Agama kita sangat menganjurkan bagi para muslim yang telah
mampu untuk menikah. Allah menyebutkannya dalam banyak ayat di
Kitab-Nya dan menganjurkan kepada kita untuk melaksanakannya. Di
antaranya, firman Allah Ta’ala dalam Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
ً‫ك َو َج َع ْلنَا لَهُ ْم َأ ْز َواجًا َو ُذرِّ يَّة‬
َ ِ‫َولَقَ ْد َأرْ َس ْلنَا رُ ُساًل ِم ْن قَ ْبل‬
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan
Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan…”
[Ar-Ra’d/13: 38].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫َوَأ ْن ِكحُوا اَأْليَا َم ٰى ِم ْن ُك ْم َوالصَّالِ ِحينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوِإ َماِئ ُك ْم ۚ ِإ ْن يَ ُكونُوا فُقَ َرا َء يُ ْغنِ ِه ُم هَّللا ُ ِم ْن فَضْ لِ ِه‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-
laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin,
Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…”
[An-Nuur/24: 32].
Dan hadits-hadits mengenai hal itu sangatlah banyak. Dari Anas bin Malik
Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

ِ َّ‫ فَ ْليَت‬،‫ْـن‬
‫ق هللاَ فِ ْي َمـا بَقِ َي‬ ِ ‫ فَقَ ِد اسْـتَ ْك َم َل نِصْ فَ ال ِّدي‬،ُ‫ِإ َذا تَ َز َّو َج ْال َع ْبد‬.

“Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan


separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah
untuk separuh yang tersisa.”6

6
Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah (no. 625).

5
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ َو َمـا بَ ْيـنَ ِرجْ لَ ْي ِه‬،‫ َمـا بَ ْينَ لَحْ يَ ْي ِه‬:َ‫ َم ْن َوقَاهُ هللاُ َش َّر ْاثنَ ْي ِن َولَ َج ْال َجنَّة‬.

“Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan dua


perkara, niscaya ia masuk Surga: Apa yang terdapat di antara kedua tulang
dagunya (mulutnya) dan apa yang berada di antara kedua kakinya
(kemaluannya).”7

Pernikahan adalah sarana terbesar untuk memelihara manusia agar


tidak terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan Allah, seperti zina, liwath
(homoseksual) dan selainnya. Penjelasan mengenai hal ini akan
disampaikan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita dengan
sabdanya untuk menikah dan mencari keturunan, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abu Umamah Radhiyallahu anhu:

‫ارى‬
َ ‫ص‬َ َّ‫ َوالَ تَ ُكوْ نُوْ ا َك َر ْهبَانِيَّ ِة الن‬،‫تَ َز َّوجُوْ ا فَِإنِّي ُم َكاثِ ٌر بِ ُك ُم ْاُأل َم َم يَوْ َم ْالقِيَـا َم ِة‬.
“Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-
banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan
janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani.”8
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita dalam banyak
hadits agar menikah dan melahirkan anak. Beliau menganjurkan kita
mengenai hal itu dan melarang kita hidup membujang, karena perbuatan ini
menyelisihi Sunnahnya.
D. Rukun dan Syarat Menikah
Pengertian Rukun, Syarat dan Sah Rukun Yaitu sesuatu yang mesti
ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan
7
HR. At-Tirmidzi (no. 2411) dan ia mengatakan: “Hadits hasan gharib,” al-Hakim (IV/357)
dan ia mengatakan: “Sanadnya shahih” dan disetujui oleh adz-Dzahabi, serta dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah (no. 150).
8
HR. Al-Baihaqi (VII/78) dan dikuatkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab ash-Shahiihah
dengan hadits-hadits pendukungnya (no. 1782).

6
sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, separti membasuh
untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat. 9 atau adanya calon
pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.
Rukun Perkawinan Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan
itu tediri atas10 :
a) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau
wakilnya yang akan menikahkannya.
c) Adanya dua orang saksi Pelaksanaanya akad nikah akan sah apabila
dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut.
d) Sighat akad nikah, sighat akad adalah ijab dan qabul. Keduanya
menjadi rukun akad, ijab diucapkan oleh wali atau wakilnya dari
pihak wanita, dan qabul dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Akad adalah gabungan ijab salah satu dari dua pembicara serta
penerimaan yang lain. Seperti ucapan seorang laki-laki: ”Aku
nikahkan engkau dengan putriku” adalah ijab, sedangkan yang lain
berkata: “Aku terima” adalah qabul.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat. Atau menurut
Islam, calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama Islam. Sah
yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.
Syarat-syarat kedua mempelai
a. Syarat-syarat pengantin pria. Syariat Islam menentukan beberapa
syaratyang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para
ulama, yaitu:
1) Calon suami beragama Islam

9
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.Ke-1, Juz 1, 1976)
hlm. 9
10
Slamet Abidin Dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999)
hlm. 64-48

7
2) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
3) Orangnya diketahui dan tertentu
4) Calon mempelai laki-laki jelas halal kawin dengan calon istri.
5) Calon mepelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul
calon istrinya halal baginya.
6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7) Tidak sedang melakukan ihram
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.11
b. Syarat-syarat calon pengantin perempuan:
1) Beragama Islam atau ahli kitab
2) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)
3) Wanita itu tentu orangnya
4) Halal bagi calon suamii
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam iddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar
7) Tidak dalam keadaan ihram haji dan umroh.
Syarat-syarat Wali Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak
mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Perkawinan yang dilangsungkan tanpa adanya seorang wali maka
perkawinan itu tidak sah.Adapun syarat-syarat wali sebagai berikut:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Baligh
d. Berakal
e. Tidak dalam keadaan dipaksa
f. Tidak sedang ihram haji
Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang perkawinan No.
1 Tahun 1974 Pasal 6 :

11
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqh, IAIN Jakarta, Jakarta,
1985, hlm. 49-50

8
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
2. Untuk melaksanakan perkawinan seorang yang belum mencapai
unur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang
masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka isin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluaraga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
Dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) Bab IV disebutkan
secara jelas rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan dalam
KHI pasal 14 terdiri dari lima macam, yaitu:
1. Calon suami
2. Calon isteri
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan kabul.12
E. Tujuan Dan Hikmah Nikah
1. Tujuan Nikah
Tujuan pernikahan Islam tidak dapat dilepaskan dari pernyataan al-
Qur’an, sumber ajarannya yang pertama. Al-Qur’an menegaskan, bahwa di
antara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa Ia menciptakan istri-
istri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tenteram

12
Didiek Ahmad Supadie, Hukum Perkawinan Bagi umat Islam Indonesia, Unissula
Press, Semarang, 2015, hlm. 50

9
(sakinah). Kemudian Allah menjadikan/ menumbuhkan perasaan cinta dan
kasih sayang (mawaddah dan rahmah) di antara mereka. Dalam hal
demikian benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang
mau berpikir ( QS. Ar Rum ayat 21 ).13
Tujuan dan fungsi pernikahan yang lain dapat memupuk rasa
tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga
memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan
orang-orang yang menjadi tanggung jawab. Membagi rasa tanggung jawab
antara suami atau istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.14
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tujuan nikah adalah:
1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
sabdanya:
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu
untukmenikah maka hendaknya ia menikah….”
2. Kedua, Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:“Menikahlah kalian dengan wanita yang
penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku
membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang
lain.”
3. Ketiga, Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan
pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:“Katakanlah (ya Muhammad)
kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian
pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang
demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-
wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian

13
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, PERNIKAHAN DAN HIKMAHNYA PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol. 5, No. 2, Desember 2014, Hal.
301.
14
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, PERNIKAHAN DAN HIKMAHNYA PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol. 5, No. 2, Desember 2014, Hal.
306.

10
pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-
Nur: 30-31).15
2. Hikmah Nikah
Terdapat hikmah-hikmah yang agung yang dapat digali, baik
secara naqliyah maupun aqliyah. Di antara hikmah-hikmah tersebut
adalah;
a. Memenuhi tuntutan fitrah
Manusia diciptakan oleh Allah dengan memiliki insting
untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Laki-laki tertarik dengan
wanita dan sebaliknya. Ketertarikan dengan lawan jenis merupakan
sebuah fitrah yang telah Allah letakkan pada manusia.
b. Mewujudkan ketenangan jiwa dan kemantapan batin
Salah satu hikmah pernikahan yang penting adalah adanya
ketenangan jiwa dengan terciptanya perasaan-perasaan cinta dan
kasih. QS. Ar-Rum: 21 ini menjelaskan bahwa begitu besar hikmah
yang terkandung dalam perkawinan. Dengan melakukan
perkawinan, manusia akan mendapatkan kepuasan jasmaniah dan
rohaniah. Yaitu kasih sayang, ketenangan, ketenteraman dan
kebahagiaan hidup.
c. Menghindari dekadensi moral
Allah telah menganugerahi manusia dengan berbagai
nikmat, salah satunya insting untuk melakukan relasi seksual.
d. Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tabiat kewanitaan yang diciptakan.
Dari uraian di atas hanya sekilas tentang hikmah yang dapat
diambil dari pernikahan, karena masih banyak hikmah-hikmah lain
dari pernikahan, seperti penyambung keturunan, memperluas
kekerabatan, membangun asas-asas kerjasama, dan lain-lain yang

15
Wahyu Wibisana, PERNIKAHAN DALAM ISLAM, Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta’lim Vol.
14 No. 2 – 2016, Hal. 191-192.

11
dapat kita ambil dari ayat al-Qur’an, hadis dan growth-up variable
society.16
F. Batalnya Nikah
Akad nikah merupakan upacara sakral, karena mengikat kedua
belah pihak, yaitu istri dan calon suami. Dan pernikahan akan batal, apabila;
1. Suami melakukan pernikahan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu
dari keempat istrinya itu dalam ‘iddah talak raj’i.
2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.
3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria
lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan
telah habis masa ‘iddahnya.
4. Pernikahan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan
darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang
menghalangi pernikahan.
5. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri atau istri-istrinya.17
Menurut kompilasi hukum Islam, Suatu perkawinan dapat
dibatalkan apabila :
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami
lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang N o .l. tahun 1974;

16
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, PERNIKAHAN DAN HIKMAHNYA PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol. 5, No. 2, Desember 2014, Hal.
307-308
17
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, PERNIKAHAN DAN HIKMAHNYA PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol. 5, No. 2, Desember 2014, Hal:
296-297.

12
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang
tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Sedangkan menurut pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 ( UU Nomer 1 Tahun 1974 ) tentang perkawinan dijelaskan bahwa
“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
G. Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Menurut kompilasi hukum Islam, pada pasal 77 menjelaskan bahwa
hak dan kewajiban suami istri adalah:
a. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi
sendi dasar dan susunan masyarakat.
b. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
c. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani
maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
d. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
Sedangkan menurut pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
( UU Nomer 1 Tahun 1974 ). Menjelaskam bahwa hak dan kewajiban suami
istri antara lain:
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan kewajiban suami terhadap istri:

13
1. Suami wajib melindungi isterinya
۟ ۟ ُ‫وا اَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم َأن تَرث‬۟ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
ِ ‫ضلُوه َُّن لِت َْذهَبُوا بِبَع‬
‫ْض َمٓا َءاتَ ْيتُ ُموه َُّن ِإٓاَّل‬ ُ ‫وا ٱلنِّ َسٓا َء كَرْ هًا ۖ َواَل تَ ْع‬ ِ َ
ُ ‫ َل ٱهَّلل‬A‫وا َشئًْـا َويَجْ َع‬A ۟ Aُ‫ ٰ ٓى َأن تَ ْك َره‬A‫ُوف ۚ فَ ن َكر ْهتُ ُموه َُّن فَ َع َس‬
ِ ‫َاشرُوه َُّن بِ ْٱل َم ْعر ِ ِإ‬ ِ ‫َأن يَْأتِينَ بِ ٰفَ ِح َش ٍة ُّمبَيِّنَ ٍة ۚ َوع‬
‫( فِي ِه خَ ْيرًا َكثِيرًا‬Q.S. An-Nisa:19)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.
Ayat di atas menerangkan tentang peringatan agar suami tidak
cepat-cepat mengambil putusan menyangkut kehidupan rumah tangganya,
kecuali setelah menimbang dan menimbangnya, karena nalar tidak jarang
gagal mengetahui akibat sesuatu.
2. Suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
Hal ini disebutkan dalam Q.S. At-Thalaq: 7
Artinya: Hendaklah yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizqinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan
memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat.
4. Suami wajib menanggung nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi
isteri sesuai dengan Q.S. At-Thalaq ayat 6.
5. Suami wajib menanggung biaya rumah tangga, biaya perawatan dan
biaya pengobatan bagi isteri dan anak sesuai dengan Q.S. An-Nisa ayat
34

14
6. Suami wajib menanggung biaya pendidikan bagi anak.18
Dalam Kitab `Uqûd al-Lujjain adalah buah karya dari Syaikh
Nawawi al-Bantani, seorang ulama besar Indonesia asal Banten, membahas
ada diantaranya isinya terdapat 2 fasal yang membahas tentang membahas
hak-hak istri atas suami; pasal kedua membahas hak-hak suami atas istri
dalam berumah tangga. Dalam kitab ini tampak dari penjelasan hak dan
kewajiban istri yang seimbang dengan hak dan kewajiban suami.
Hak Istri Terhadap Suami:
1. Hak Mendapatkan Perlakuan Baik
Allah berfiman sebagaimana tersebut dalam surat al-Nisa’ ayat 19:
“Pergauilah mereka (istri-istrimu) dengan baik…“ Yang dimaksud
adalah pergaulan secara adil.
2. Hak Isteri Mendapatkan Pengajaran Dari Suami
Dalam kitab ini seorang istri mempunyai hak pengajaran dari
seorang suami, maka apabila seorang istri tidak tahu dan tidak mengerti
tentang ilmu fikih, atau ilmu yang dibutuhkan untuk meakukan ibadah,
maka seorang suami harus mengajarkan seorang istri.
3. Hak Mendapatkan Perlindungan Dari Suami
Kedudukan suami sebagai kepala keluarga memiliki konsekwensi
adanya tanggung jawab lebih yang dipikul suami terhadap istri dan
anggota keluarganya.
Kewajiban Istri Terhadap Suami:
1. Istri harus menghormati keluarga suaminya.
2. memelihara kemaluannya
3. Mentaati Allah
4. Mentaati suaminya.19
H. Walimah

18
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah, PERNIKAHAN DAN HIKMAHNYA
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Vol. 5, No. 2,
Desember 2014, Hal. 295-296.
19
Iim Fahimah dan Rara Aditya, HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI TERHADAP SUAMI VERSI KITAB
`UQÛD AL-LUJJAIN, MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan Volume 6, No. 2, 2019
hal. 163-170.

15
1. Pengertian

Walimah menurut bahasa adalah berkumpul, sedangkan


menurut istilah adalah undangan penjamuan makan pasca pernikahan.
Menurut imam Syafi’i walimah diambil dari kata walmun yang berarti
sebuah perkumpulan, dikarenakan kumpulnya antara kedua mempelai.
Juga dikatakan walimah merupakan makanan yang disiapkan untuk
para tamu undangan.

2. Hukum Walimah

Hukum walimah menurut imam Syafi’i adalah sunah muakkad.


Di antara hikmah dengan diadakannya walimah ini adalah sebagai
tanda rasa syukur yang telah diberikan oleh Allah Swt, dan adanya
undangan kepada kerabat, sahabat, keluarga, bahkan penghuni suatu
desa yang menyebabkan tumbuhnya rasa kecintaan kepada sesama.

3. Waktu Pelaksanaan Walimah

Para imam madzhab dalam hal imi berbeda pendapat, antara


setelah kedua pengantin berhubungan intim atau sebelumnya,
Malikiyyah dan Hanafiyyah memandang bahwa waktu di adakannya
walimah adalah sebelum atau sesudahnya, Sebagian Malikiyah
menganjurkan untuk diadakan sebelum berhubungan dengan tujuan
untuk mengumumkan kepada khalayak ramai tentang pernikahan kedua
mempelai, dan Maliki memandang agar dilaksanakan setelahnya.

Adapun Hanbaliyyah memandang waktu walimah itu sangat


penting, semenjak dimulainya pernikahan hingga usainya tanpa adanya
ketetapan dan tidak ada larangan sesuai dengan adat yang berjalan.
Syafi’iyah memandang bahwa waktu walimah itu sangatlah panjang,
bisa diadakan ketika akad pernikahan dan juga setelah kedua mempelai
melakukan hubungan intim.

16
Namun beliau berpendapat bahwa lebih utama apabila
dilaksanakan setelah suami istri berhubungan intim.20 Dalam syari’at
islam, walimah itu hanya berjalan selama dua hari sedangkan hari yang
ketiga itu adalah makruh. Seperti dalam H.R. Abu Dawud yang artinya:
“ Walimah pada hari pertama itu benar, pada hari kedua dikenal dan
pada hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah.

4. Hukum menghadiri walimah

Secara umum para imam madzhab sepakat bahwa menghadiri


walimah bagi tamu yang diundang adalah wajib, Adapun mendatangi
selain undangan walimah adalah sunah. Wajib dan sunahnya
mendatangi walimah bisa dilihat pada syarat-syarat yang telah
disepakati oleh para ulama madzhab. Hendaknya orang yang
mengadakan walimah bukan dari golongan fasik, zalim yang memiliki
tujuan untuk kerusakan dan maksud-maksud tertentu.

Adapun syarat yang disepakati para ulama adalah sebagai berikut:


1. Hendaklah yang diundang tidak dikhususkan bagi orang-orang kaya,
apabila dikhususkan maka tidak ada kewajiban untuk menghadiri
walimah tersebut.
2. Hendaklah yang memiliki undangan adalah seorang muslim , apabila
undangan tersebut berasal dari non muslim maka tidak wajib untuk
dihadiri.
3. Hendaklah undangan walimah itu dilakukan pada hari pertama,
apabila pelaksanaannya beberapa hari. Apabila diundang pada hari
kedua, hukum mendatanginya adalah mustajab, dan apabila
dipanggil pada hari ketiga hukum mendatanginya adalah makruh.
4. Hendaklah undangan tersebut ditujukan untuk meningkatkan cinta
antar sesama dan menjalin kedekatan, sdan tidak wajib

20
Mustofa Al Khin, Mustofa al Bugho, Aliy As Syarbiji, Fiqih Syafi’I, (Dar al-Syamiah: 1996),
hlm. 97.

17
menghadirinya apabila diundang karena ada unsur ketakutan dan
ketamaan.
5. Tidaklah seorang yang memiliki hajat seperti zholim atau sering
melakukan kejelekan, atau uang yang digunakan untuk walimah
tersebut adalah hasil dari uang haram. Bila demikian, maka hukum
menghadiri walimah tidak wajib.
6. Hendaklah tidak menghadirkan sebuah kemungkaran di dalamya,
seperti menyediakan khamar, berbaurnya laki-laki dan perempuan,
memasang gambar-gambar manusia atau hewan-hewan sebagai
hiasan temboknya. Dan apabila dengan kehadirannya, unsur-unsur
kemungkaran akan hilang, maka wajib hukum menghadirinya dan
menghilangkan kemungkaran didalamya.
I. Nafkah
1. Pengertian

Kata nafkah berasal dari bahasa Arab yakni anfaqa – yunfiqu-


infaqan yang berarti ‫اإلخراج‬, kata ini tidak digunakan kecuali untuk yang
baik saja. Nafkah secara bahasa adalah pembelanjaan, sedangkan
menurut istilah adalah mencukupi kebutuhan orang yang menjadi
tanggung jawabnya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.

Nafkah isteri menjadi kewajiban bagi suami untuk


memenuhinya dikarenakan sudah menjadi tanggungannya, nafkah
kerabat wajib dipenuhi oleh kerabatnya disebabkan hubungan darah dan
mahram, sedangkan nafkah seorang hamba wajib dipenuhi oleh tuannya
disebabkan karena kepemilikan.
2. Dasar Hukum Nafkah
Nafkah merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami
kepada isteri sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur‟an, sunnah, dan
ijma‟. Adapun landasan atas wajibnya memberi nafkan sebagai mana
yang terdapat dalam QS Al-Baqarah ayat 233 yang artinya:

18
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma‟ruf. eseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya.”
Ayat di atas menegaskan bahwa kewajiban ayah memberi makan,
pakaian kepada ibu dengan cara makruf, dan itu dilakukan sesuai
dengan kesanggupan. Selanjutnya ayat lain lebih menegaskan:
“Hendaklah orang yang mampu member nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang-orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah member nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak membebankan kepada seseorang melainkan sesuai dengan
kadar apa yang Allah berikan kepadanya.” (al-Thalaq: 7)
Isteri berhak mendapatkan nafkah dari suami, dan isteri dapat
menuntut suami untuk memberikan nafkah kepadanya. Di samping itu,
berdasarkan logika fiqh, karena laki-laki atau suami telah memiliki hak
untuk menahan isteri (untuk tetap tinggal bersamanya), maka sudah
seharusnya laki-laki atau suami mendapatkan beban kewajiban nafkah
kepada isteri, sebagai konpensasi dari penahanan tersebut.

Di samping itu, kewajiban nafkah yang ditanggung oleh suami


kepada isteri tidak dapat gugur atau terhapus begitu saja dengan situasi
kefakiran suaminya. Kewajiban nafkah suami kepada isteri berlangsung
baik dalam keadaan lapang ataupun sempit. Bahkan meskipun keadaan
ekonomi isteri berkelapangan, suami tetap berkewajiban untuk
memberikan nafkah kepadanya.

Dengan demikian jika telah terjadi akad nikah maka suami


wajib memberi nafkah untuk isterinya, dan bahkan berdasarkan hadis
Hindun, isteri berhak mengambil sebagian dari harta suaminya dengan
cara yang baik, sekalipun tidak diketahui suaminya. Perbuatan tersebut
dibolehkan andaikata dilakukan ketika suami melalaikan kewajiban
yang menjadi hak isterinya.

19
3. Nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI )
Permasalahan nafkah atau pemenuhan kebutuhan keluarga juga
telah diatur dan dinyatakan menjadi kewajiban suami. Hal ini sesuai
dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pasal 34 ayat (1) dan
dipertegas oleh KHI Pasal 80 ayat (4). Keberadaan nafkah tentu
mempunyai pengaruh dan fungsi yang sangat besar dalam membina
keluarga yang bahagia, tenteram dan sejahtera. Tidak terpenuhi nafkah
sama sekali atau nafkah yang tidak cukup dapat berakibat krisis
perkawinan yang berujung pada perceraian.
Adanya aturan tentang nafkah dalam KHI maupun UU No. 1
Tahun 1974 menimbulkan suatu persoalan tatkala dikaitkan dengan
pengakuan harta bersama oleh suami-isteri ketika terjadi perceraian.
Dengan melihat Pasal 1 huruf (f) KHI dan pasal 35 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 menunjukkan bahwa kualifikasi yang dipakai dalam
merumuskan harta bersama adalah dengan menggunakan masa
perkawinan yang sah. Selama harta itu diperoleh dalam perkawinan
yang sah, maka menjadi harta bersama dengan merujuk pada ketentuan
harta bersama yang ada dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974. Akan
tetapi keduanya memberi batasan bahwa harta yang diperoleh karena
hadiah dan warisan menjadi harta pribadi masing-masing selama
dimaksudkan untuk itu ( Pasal 36 ayat 1).

DAFTAR PUSTAKA
al-Khin, Mustofa, al-Bugho, Mustofa, as-Syarbiji, Aliy. 1996. Fiqih Syafi’I.
Dar al-Syamiah.
Abidin, Slamet Dan Aminuddin, Husin. 1999. Fiqh Munakahat. Bandung: CV.
Pustaka Setia.
Atabik, Ahmad dan Mudhiiah, Khoridatul. 2014. PERNIKAHAN DAN
HIKMAHNYA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Jurnal Pemikiran
Hukum dan Hukum Islam. 5 (2): 301.

20
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1985. Ilmu Fiqh.
Jakarta: IAIN Jakarta.
Fahimah, Iim dan Aditya, Rara. 2019. HAK DAN KEWAJIBAN ISTRI
TERHADAP SUAMI VERSI KITAB `UQÛD AL-LUJJAIN. MIZANI. 6
(2): 163-170.
Hakim, Abdul Hamid. 1976. Mabadi Awwaliyyah. Jakarta: Bulan Bintang.
Mathlub, Abdul Majid Mahmud. 2005. Panduan Hukum Keluarga Sakinah.
Solo: Intermedia.
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensido.
Supadie, Didiek Ahmad. 2015. Hukum Perkawinan Bagi umat Islam Indonesia.
Semarang: Unissula Press.
Supiana dan Karman, Marc. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Thaib, Hasballah dan Harahap, Marahalim. 2010. Hukum Keluarga Dalam
Syariat Islam. Universitas Al-Azhar.
Tihami dan Sahrani, Sohari. 2014. Fikih Munakahat ( Kajian Fiqih Nikah
Lengkap ). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Wibisana, Wahyu. 2016. PERNIKAHAN DALAM ISLAM. Jurnal
Pendidikan Agama Islam-Ta’lim. 14 (2): 191-192, 296-297 & 307-308.

21

Anda mungkin juga menyukai