Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“Perkawinan dan Pernikahan”

Mata Kuliah

Hadis Tematik

Pahrurraji, M. Pd

Disusun Oleh:

Ina Rokhimatul Wakhidah 2021110006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
SYEKH MUHAMMAD NAFIS
TABALONG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya. Adapun judul dari makalah ini
adalah “Perkawinan dan Pernikahan”.
Kemudian shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada pemimpin umat
sedunia, yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa petunjuk yang benar
dan mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya, dan pada akhirnya sampailah
kepada kita umat hingga akhir zaman ini.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.
Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Tabalong, 17 Mei 2022

Penulis

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Pembahasan Masalah.....................................................................................2
C. Rumusan Masalah..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................3
A. Nikah Sebagai Sunnah Nabi...........................................................................3
B. Nikah Mut’ah.................................................................................................6
C. Memilih Calon Istri Dalam Agama Islam......................................................9
D. Orang Tua Mencarikan Suami Untuk Anaknya.............................................10
E. Mahar Dan Wali.............................................................................................12
BAB II PENUTUP.....................................................................................................15
A. Kesimpulan....................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan
hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria
dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim.  Apabila di tinjau dari segi
hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu  akad yang suci dan luhur antara pria
dengan wanita, yang menjadi sebab  sahnya status sebagai suami isteri dan
dihalalkan hubungan seksual dengan  tujuan mencapai keluarga sakinah,
mawadah serta saling menyantuni antara  keduanya.
Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada  yang tidak
sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan
syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan agama.
Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai
dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan.  Akan tetapi pada kenyataan
ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum Agamanya
saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan yang tidak
terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.  Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud
aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa
yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain yaitu
Hukum Adat dan Hukum Agama.
Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa setiap perkawinan
harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan
fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau
pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat.

1
B. Pembahasan Masalah
1. Apa Makna Nikah Sebagai Sunnah Nabi?
2. Apa Itu Nikah Mut’ah?
3. Bagaimana Cara Memilih Calon Istri Dalam Agama Islam?
4. Bagaimana Penjelasan Mengenai Orang Tua Yang Mencarikan Suami
Untuk Anaknya?
5. Apa Itu Mahar Dan Wali?

C. Rumusan Masalah
1. Untuk Mengetahui Makna Nikah Sebagai Sunnah Nabi
2. Untuk Mengetahui Apa Itu Nikah Mut’ah
3. Untuk Mengetahui Cara Memilih Calon Istri Dalam Agama Islam
4. Untuk Mengetahui Penjelasan Mengenai Orang Tua Yang Mencarikan
Suami Untuk Anaknya
5. Untuk Mengetahui Apa Itu Mahar Dan Wali

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Nikah Sebagai Sunnah Nabi


Pernikahan adalah jalan untuk mewujudkan salah satu tujuan asasi dari
syariat Islam yaitu menjaga nasab, karena dengannya terbentuklah sarana
penting guna memelihara manusia agar tidak terjatuh ke dalam perkara yang
diharamkan Allah, seperti perilaku zina, homoseksual, dan sebagainya.
Melalui sejumlah redaksional dalil dapat kita temukan motivasi
menikah yang mana merupakan bagian dari kehidupan para nabi atau yang
dimaksud dengan sunnah nabi. Sebagaimana hadist hadist berikut:
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Ayyub Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِّ ‫ َو‬،‫َّعطُُّر‬ ِ ِ
.‫اح‬
ُ ‫ َوالنِّ َك‬،‫الس َو ُاك‬ َ ‫ َوالت‬،ُ‫ اَحْلَيَـاء‬: َ ‫َْأربَ ٌع م ْن ُسـنَ ِن الْ ُم ْر َسلنْي‬
Artinya: “Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa-malu,
memakai wewangian, bersiwak, dan menikah."(HR. At-Tirmidzi)
Tak kalah pentingnya, hal senada juga disebutkan dalam riwayat imam
Bukhari dalam Al Jami’nya, tentang kisah tiga orang sahabat yang ingin
menandingi ibadah nabi SAW dengan shalat semalam penuh tanpa tidur,
puasa penuh setahun, dan tidak menikah. Namun ternyata nabi melarang hal
tersebut, sebagaimana lafadz hadist berikut:

‫صلَّى اهللُ َعلَي ِْه َو َس لَّ َم‬ ِ ‫ جاء ثَاَل ثَةُ ره ٍط ِإىَل بيو‬:‫ قَ َال‬،‫س ر ِضي اهلل عْنه‬
َ   ِّ ‫اج النَّيِب‬
ِ ‫ت ْأز َو‬ ْ ُُ َْ ََ ُ َ ُ َ َ ٍ َ‫َو َع ْن َأن‬
‫ َأيْ َن‬:‫ َوقَ الُْوا‬،‫ُأخرِب ُ ْوا َك َأن َُّه ْم َت َقالُّْو َه ا‬ ِ ِ ِ
ْ ‫ َفلَ َّما‬، ‫ص لَّى اهللُ َعلَيْه َو َس لَّ َم‬
َ ِّ ‫ يَ ْس َألُْو َن َع ْن عبَ َادة النَّيِب‬،
َّ َ‫َّم ِم ْن َذنْبِ ِه َو َم ا ت‬ ِ ِ ِ
:‫َأح ُد ُه ْم‬
َ ‫ قَ َال‬.‫َأخَر‬ َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َس لَّ َم ؟ َوق ْد غُف َر لَهُ َم ا َت َق د‬
َ ِّ ‫حَنْ ُن م َن النَّيِب‬
‫ َوَأنَا‬:‫ َوقَ َال اآْل َخ ُر‬،‫َّهَر َأبَداً َواَل ُأفْ ِط ُر‬ ُ ‫ َوَأنَا‬:‫ َوقَ َال اآْل َخ ُر‬،ً‫ْل َأبَدا‬
ْ ‫َأص ْو ُم الد‬ َّ ِّ َ َ‫ََّأما َأنَا ف‬
َ ‫ُأص ل ْي اللي‬
‫ َأْنتُ ُم الَّ ِذيْ َن‬:‫ َف َق َال‬،‫ص لَّى اهللُ َعلَي ِْه َو َس لَّ َم ِإلَْي ِه ْم‬ ِ
َ ‫ِّساءَ فَاَل َأَتَز َّو ُج َأبَداً فَ َجاءَ َر ُس ْو ُل اهلل‬ ِْ
َ ‫َأعتَز ُل الن‬

3
ِ ِ ِِ ِ
‫ُأص لِّي‬
َ ‫ َو‬،‫َأص ْو ُم َوُأفْط ُر‬ ْ ْ‫ُقْلتُ ْم َك َذا َو َك َذا ؟ ََأم ا َواهلل ِإيِّن‬
ُ ْ ‫ لَكيِّن‬،ُ‫َأَلخ َش ا ُك ْم لل ه َوَأْت َق ا ُك ْم لَ ه‬
ِ ‫ فَمن ر ِغب عن سنَّيِت َفلَي‬،‫ وَأَتز َّوج النِّساء‬،‫وَأرقُ ُد‬
ْ ‫س ميِّن‬
َ ْ ْ ُ َْ َ َ َْ َ َ ُ َ َ ْ َ
Artinya: “Dari Anas Radhiyallahu anhu ia berkata, “Ada tiga orang
mendatangi rumah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk bertanya tentang ibadah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Lalu setelah mereka diberitahukan (tentang ibadah Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), mereka menganggap ibadah
Beliau itu sedikit sekali. Mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-
apanya dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam!
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberikan ampunan atas
semua dosa-dosanya baik yang telah lewat maupun yang akan
datang.” Salah seorang dari mereka mengatakan, “Adapun saya,
maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” Lalu orang yang
lainnya menimpali, “Adapun saya, maka sungguh saya akan puasa
terus menerus tanpa berbuka.” Kemudian yang lainnya lagi
berkata, “Sedangkan saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan
menikah selamanya.” Kemudian, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendatangi mereka, seraya bersabda, “Benarkah kalian
yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allâh! Sesungguhnya
aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan paling
taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan
aku juga berbuka (tidak puasa), aku shalat (malam) dan aku juga
tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang
tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.”
(HR. Bukhari)
1. Makna nikah adalah sunnah nabi
Melalui sejumlah hadist di atas, dapat kita lacak secara
tekstual bahwa nikah dalam perspektif Islam itu dianjurkan karena
merupakan sunnahnya para nabi. Namun, apakah kata “sunnah”

4
yang dimaksud dalam hadist tersebut berindikasi kepada “sunnah
secara hukum” seperti halnya hukum wajib pada shalat, dan hukum
haram pada minum khamr?
Untuk memahami lafadz yang ada pada hadist, pada zaman
ini kita tentunya tidak boleh terburuburu mengambil kesimpulan
sendiri. Metode yang ideal dan bahkan menjadi wajib bagi kita
sekarang adalah memahami teks hadist melalui penjelasan para
ulama. Maka jika mengutip penjelasan ulama tentang konsep nikah
sebagai sunnah para nabi, dapat kita fahami sebagai berikut:
a. Al-Hafidh Muhammad Abdurrohman bin Abdurrohim
Al-Mubarokfuri dalam kitabnya tuhfatul ahwadzi
menjelaskan hadist tentang empat sunnah para nabi yang
diriwayatkan oleh At Tirmidzi. Beliau mengatakan
bahwa sunnah yang termaktub dalam hadist tersebut
dimaknai dengan karakteristik atau bagian dari jalan
hidup yang dibiasakan oleh mayoritas para nabi1
b. Dalam kitab Al badru Tamam yang menjelaskan tentang
hadist dari bulughul maram dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan sunnah para nabi dalam bab
pernikahan adalah jalan hidup bukan bermakna antonim
dari wajib.
Maka menikah dalam hal ini adalah bagian dari jalan hidup
nabi, dan barangsiapa dengan terangterangan membenci
pernikahan, menolak kenyataan disyariatkannya menikah, lalu
mengambil jalan yang haram di luar nikah, golongan inilah yang
kemudian tidak dianggap sebagai ummatnya nabi Muhammad
SAW.2

1
Abul ala Muhammad Abdurrohman bin Abdurrohim AlMubarokfuri. Tuhfatul Ahwadzi bi
Syarhi Jami’ At Tirmidzi. Darul Kutub Ilmiyah. Beirut, hlm. 4
2
Al Husain bin Muhammad Al La’I Al Maghribi. Al Badrut Tamam Syarhu Bulughil
Maram. Daru Hijr. 1994, hlm. 7

5
2. Tidak menikah bukan berarti bukan umat nabi?
Akan sangat rentan kepada kekeliruan jika lagi-lagi kita
tekstualis dalam memahami redaksi hadist apalagi yang mengarah
kepada konsekuensi hukum. Maka dalam rangka menghindari
kesalahfahaman terhadap maksud daripada dalil, kita kutip kembali
penafsiran para ulama terkait hal ini.
a. Sabda Rasulullah SAW : “barangsiapa yang membenci
sunnahku, bukanlah dari golonganku”, maksudnya
adalah orang-orang yang menolak, membenci, dan
mengingkari pernikahan sebagai bagian dari syariat
Islam dan sebagai bagian dari jalan hidupnya nabi.
Sementara selain orang-orang yang tersebut tadi, namun
belum menikah padahal sudah waktunya menikah, dan
orang-orang yang meninggal sebelum menikah, bukanlah
termasuk kepada golongan yang tidak dianggap sebagai
umat Nabi.3
b. Pernikahan dalam Islam bertujuan untuk regenerasi umat
dengan cara yang halal, sebaliknya perzinaan adalah
suatu keharaman dalam Islam. Halangan atau udzur
syar’i yang membuat seseorang tertunda atau tidak bisa
menikah tidak lantas memasukan orang tersebut kepada
golongan yang dibenci oleh Rasulullah SAW.

B. Nikah Mut’ah
Dalam bahasa Arab, mut’ah berasal dari kata mata’a-yamta’u-mat’an
wa muta’atan yang diartikan sebagai kesenangan, kegembiraan, kesukaan. 4
Adapun akar katanya ialah matta, yang berarti membawa. Sedangkan
pengertian mut‘ah secara istilah dalam referensi Syi‘ah ialah “ikatan tali

3
Ibnu Hajar Al Asqolani. Fathul Bari Syarhu Shohihil Bukhari. Darul ma’rifah. Beirut,
hlm. 9
4
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pon-Pes
Krapyak Yogyakarta, 1984), hlm. 1401.

6
perkawinan antara seseorang lelaki dan wanita, dengan mahar yang telah
disepakati, yang disebut dalam akad, sampai pada batas waktu yang telah
ditentukan”
Dalam sejarah Islam dikenal dua jenis pernikahan; pernikahan
permanen yang sering disebut nikah da`im dan nikah mut’ah yaitu nikah yang
keberlangsungannya dibatasi oleh waktu tertentu. Berbeda dengan nikah
da`im yang seluruh ulama baik Sunni maupun Syi‘ah bersepakat perihal
legalitasnya, maka keabsahan nikah mut’ah masih terus diperselisihkan dan
diperdebatkan.
Meskipun nikah mut‘ah pernah menjadi alternatif model pernikahan di
awal Islam, namun banyak ulama yang menolak kehadirannya di masa kini
karena dianggap sebagai perzinaan terselubung. Sementara sebagian ulama
yang lain masih memandang nikah mut‘ah justeru sebagai solusi untuk
menghambat laju perzinaan yang kian mengkhawatirkan. Jika kelompok
pertama biasanya dimotori oleh ulama Sunni, maka kelompok kedua banyak
berada di dalam Syi‘ah. Dengan kata lain, persoalan nikah mut‘ah merupakan
masalah yang kontroversial di kalangan ulama.
Mazhab Ja'fari, salah satu mazhab yang dianut kaum syiah mengurai
bahwa ada beberapa persyaratan untuk nikah mut'ah. Syarat-syarat tersebut,
yakni mengucapkan ijab kabul dengan lafal nikah, kawin, atau mut'ah dengan
seorang perempuan. Hal tersebut dilakukan sambil menetapkan mahar
tertentu dan berlakunya selama waktu tertentu yang disetujui bersama.
Misalnya satu hari, satu pekan, satu bulan, dan sebagainya.
Perempuan yang dinikahi mut'ah tersebut juga harus dalam keadaan
bebas dari hambatan apa pun yang membuatnya haram dinikahi. Hambatan
itu menisbatkan pada dalil dalam Alquran, yakni hambatan nasab, periparan,
persusuan, dan sebagainya. Kondisi lainnya, saat dia dalam keadaan iddah
atau berada dalam ikatan perkawinan dengan lelaki lain.
Ikatan pernikahan itu akan berakhir seiring dengan habisnya waktu
yang masih tersisa. Ikatan nikah berakhir dengan sendirinya tanpa
memerlukan talak. Hanya, bila dikehendaki, ikatan tersebut boleh

7
diperpanjang lagi sampai waktu yang ditentukan. Dengan catatan, si suami
memperbaharui akad dan mahar. Catatan lainnya, tidak ada batas tertentu
jumlah perempuan yang boleh dinikahi secara mut'ah. Meski, ada ulama syiah
yang membatasi hingga empat orang saja. Saksi pun tidak diperlukan dalam
nikah mut'ah.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh As Sunnah menjelaskan, pernikahan
mutah tidak berkaitan dengan hukum-hukum pernikahan yang disebut dalam
Alquran. Contohnya talak, iddah, dan pewarisan (antara suami-istri). Karena
itu, pernikahan tersebut tidak sah seperti pernikahan-pernikahan lain yang
tidak sah menurut agama Islam.
Banyak hadis yang mengharamkannya. Contohnya, apa yang
diriwayatkan dari riwayat dari Rabi’ bin Sabrah Radhiyallahu ‘anhu
disebutkan:

ٍ َّ‫َع ْن حُمّ َّمد ب ِن َعلي ََأ َّن َعليِاًّ رضى اهلل عنه قاَ َل اِل بْ ِن َعب‬
‫ ِإ َّن اليَِّن صلى اهلل‬: ‫اس رضى اهلل عنهما‬

‫اَأْلهليِة َِز َم َن َخْيَبَر‬ ِ ِ


ْ ‫عليه وسلم َن َهى َع ِن الْ ُمْت َعة َِو ع ْن حُلُْوم‬
Artinya: “Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad
bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata
kepada Ibnu Abbas Radhiyalahu ‘anhuma : “Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mut’ah dan daging keledai
pada masa Khaibar”
Sayyid Sabiq pun menjelaskan, mut'ah hanya bertujuan untuk
melampiaskan syahwat seksual semata. Tidak ada tujuan memperoleh anak
serta mendidik mereka. Padahal, itulah sejatinya tujuan asli perkawinan.
Karena itu, menurut Sayyid Sabiq, mut'ah lebih menyerupai perzinaan.
Mut'ah pun merugikan pihak perempuan karena dia menjadi seperti barang
dagangan yang berpindah-pindah dari tangan satu ke tangan lain.

8
C. Memilih Calon Istri Dalam Agama Islam
Mengupas tuntas tentang “berkeluarga” ataupun ikatan perkawinan,
adalah sesuatu yang menarik untuk dibahas, khususnya bagi yang belum
berkeluarga dan menyiapkan putra-putrinya untuk berkeluarga. Mengingat,
perjalanan hidup dalam pernikahan yang telah mereka jalani mulai dari
prosesi pernikahan itu sendiri sampai berlangsungnya kehidupan berkeluarga,
seringkali menjadi guru terbaik bagi proses pembelajaran hidup mereka.
Berbagai penjelasan Nabi terkait kriteria calon istri yang sebaiknya
dipilih (gadis, subur, kecantikan, nasab yang baik, kaya, dsb) sesuai dengan
konteks hiostoris masyarakat Arab saat itu, yang memandang perempuan
sebagai obyek pilihan yang harus dipilih berdasarkan peretimbangan-
pertimbangan fisik yang mudah dilihat dan diharapkan bisa membawa
pernikahan ke tahap yang lebih langgeng. Realitas tersebut tidak dinafikan
begitu saja oleh Nabi, meski dengan beberapa catatan, bahwa ada dasar
pertimbangan non fisik (agama dan ketaqwaan) yang lebih bisa membawa
pernikahan ke dalam tatanan keluarga yang lebih baik.
Pertimbangan non fisik lebih baik, sebagaimana disebut dalam sahh al-
Bukhari no 4700.
ِ ِ ِ ِ ‫هِل‬ ‫ِ هِل حِل‬
‫داك‬ ْ َ‫ تَ ِرب‬،‫ فاظْ َف ْر بذات الدِّي ِن‬،‫ لما ا و َ َسبِها ومَج ا ا ولدينها‬:‫ألربَ ٍع‬
َ َ‫ت ي‬ ْ ُ‫ُتْن َك ُح املَْرَأة‬
Artinya: “Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya,
karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya.
Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya
(keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan
merugi.” (HR. Bukhari no.5090, Muslim no.4700).
Untuk melihat kajian historis hadis-hadis terkait dengan diposisikannya
perempuan sebagai obyek dalam pemilihan pasangan. Maka, penting untuk
melihat posisi perempuan dalam masyarakat Arab saat itu. Sebelum
kedatangan Islam, status dan kedudukan perempuan sangatlah
memprihatinkan. Perempuan dipandang sebagai makhluk tak berharga, tidak
memiliki hak apapun, dan diperlakukan layaknya sebuah “barang dagangan”,

9
diperlakukan semena-mena, ditindas, dirampas, dijadikan tawanan, bahkan
dikomersialkan. Ahmad Khayyarat dalam Markaz al-Mar’ah fi al-Islam
menggambarkan kondisi perempuan masa jahiliyyah dengan kondisi yang
demikian parah dan rusak sampai kedatangan Islam dengan berbagai
ajarannya.5 Sehingga, merupakan fenomena yang bisa dilihat di mana-mana,
bangsa Arab Jahiliyyah mengubur bayi perempuan mereka hidup-hidup.
Lebih dipilihnya calon pasangan hidup lebih berdasarkan pertimbangan
non fisik (kepribadiannya/keberagamanya), dikarenakan itu faktor yang lebih
melanggengkan. Namun, realitas banyak orang yang mengira telah memilih
pasangannya berdasarkan agama, namun pada kenyataannya merasa ada
banyak realitas yang tidak sesuai yang tidak diharapkan setelah berkeluarga,
semisal (kasar, otoriter, suka kekerasan, egois, tidak tanggungjawab, dsb).
Hal tersebut dikarenakan banyak orang yang kurang memahami esensi
agama yang baik. Agama yang baik, bukan sekedar beragama Islam, memiliki
nama Islam, bisa membaca al-Qur’an, bisa membaca Kitab kuning, dan lama
belajar di Pesantren dan Perguruan Islam, pandai berdakwah, memiliki suara
yang indah dalam bertilawah, dsb. Agama yang baik, lebih didasarkan pada
aplikasi keberagamaan yang bersangkutan dalam ibadah, mu’amalah, dsb,
yakni orang yang memiliki kepribadian baik, jujur, tanggungjawab, mandiri,
gigih dan pekerja keras, mengormati orang lain, dan memanusiakan orang
lain serta bijak dalam mengadapi masalah.

D. Orang Tua Mencarikan Suami Untuk Anaknya


Ayat-ayat dalam al-Qur’an banyak membahas tentang perkawinan
sebagai sarana untuk membangun sebuah keluarga. Terdapat kurang lebih
103 ayat yang membahas tentang persoalan nikah, dengan perincian kata
”nikah” terulang sebanyak 23 kali, dan kata ”zawaj” terulang sebanyak 80
kali. Menurut Musdah Mulia keseluruhan jumlah ayat tersebut menyimpulkan
lima prinsip dasar dalam sebuah perkawinan. Pertama, prinsip monogami.
Kedua, prinsip mawaddah wa rahmah. Ketiga, prinsip saling melengkapi dan

5
Ahmad Khayyarat, Markaz al-Mar’ah fi al-Islam (Kairo: Dar al-Ma‘arif, t.th.), hlm. 18.

10
melindungi. Keempat, prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf (bergaul dengan
sopan) baik dalam relasi seksual maupun relasi sosial. Kelima, prinsip
memilih jodoh, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.
Diantara kelima prinsip dasar dalam perkawinan diatas, prinsip memilih
jodoh bagi perempuan dalam hukum Islam menarik untuk dikaji. Hal itu
karena dalam fiqih, hak pilih perempuan terhadap pasangannya di tentukan
oleh wali. Inilah kemudian yang menjadi sorotan banyak kalangan, bahwa
fiqih dalam hal memilih jodoh bagi perempuan sangat diskriminatif. Jika laki-
laki muslim memiliki hak untuk menentukan dengan siapa dengan dia
menikah, akan tetapi bagi perempuan muslimah hak untuk memilih pasangan
tersebut diambil alih oleh orang tuanya atas nama hukum Islam.6
Diskursus hak memilih pasangan bagi perempuan juga menjadi bahan
kesepakatan dalam Konferensi dunia tentang kependudukan dan perempuan
(ICPD) di Kairo-Mesir pada tahun 1994 bahwa perempuan memiliki hak
reproduksinya sendiri yang harus dijaga dan dipelihara. Salah satu isi tuntutan
hak reproduksi tersebut adalah hak perempuan untuk menentukan pasangan
hidupnya sendiri.
Hak memilih pasangan bagi perempuan yang menjadi tanggung jawab
wali merupakan hukum Islam (fiqih) yang tertuang dalam beberapa literatur
klasik dalam kitab kuning yang merupakan pandangan beberapa ulama’ Fiqih
klasik. Pandangan ulama’ fiqih klasik tersebut terbakukan dan menjadi
dogmatisme yang sulit untuk dibantahkan. Ironisnya, pandangan ulama’ fiqih
terhadap perempuan seringkali diskriminatif dan bertentangan dengan hak
asasi manusia, karena mengekang kebebasan ”memilih” bagi perempuan, tapi
memberikan kebebasan ”memilih” bagi laki-laki atas nama agama.

6
Masthuriyah Sa’dan, MEMILIH PASANGAN BAGI ANAK PEREMPUAN: KAJIAN
FIQIH & HAM, IAIN Manado, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol. 14 No. 1, 2016, hlm. 4

11
E. Mahar Dan Wali
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan
memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam
pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas
persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara
ikhlas. Para ulama fiqih sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami
kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar
harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan. Para
ulama sepakat bahwa mahar merupakan syarat nikah dan tidak boleh
diadakan persetujuan untuk meniadakannya.7
Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan bukan diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah perempuan
yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam
syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum
perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya.
Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status
perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjual belikan, sehingga
perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri atau walinya pun
dengan semena- mena boleh menghabiskan hak-hak kekayaannya. 8 Dalam
syariat Islam, wanita diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-
laki membayar mahar jika menikahinya. Pengangkatan hak-hak perempuan
pada zaman Jahiliyah dengan adanya hak mahar bersamaan pula dengan hak-
hak perempuan lainnya yang sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana
adanya hak waris dan hak menerima wasiat.9
Mahar ditetapkan sebagai kewajiban suami kepada istrinya, sebagai
tanda keseriusan laki-laki untuk menikahi dan mencintai perempuan, sebagai

7
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Penerjemah: M. A. Abdurrahman dan A.
Harits Abdullah, Semarang: CV. Asy. Syifa’, 1990, hlm. 385
8
Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah 2, Ter. Nor Hasanudin, Cet 1. Jakarta: Pena Pundi Aksara
2006.hlm. 40
9
Amin Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:Prenada Media,cet 1.2004)
hlm. 54

12
lambang ketulusan hati untuk mempergaulinya secara ma’ruf. Di dalam hadist
dijelaskan tentang pemberian mahar, Rasullah bersabda:
ٍ ‫َأع ِطها ولَو خامَتًا ِمن ح ِد‬
‫يد‬ َ ْ َ َْ َ ْ
Artinya: “Kawinlah engkau walaupun dengan mas kawin cincin dari besi”
(HR. Bukhori).
Maksud dari hadist di atas jelaslah bahwa mahar adalah pemberian
calon suami kepada calon istri baik berbentuk barang, uang atau jasa, yang
tidak bertentangan dengan hukum islam. Untuk itu mahar adalah hubungaan
yang menumbuhkan tali kasih sayang dan saling mencintai antara suami
istri.10
Selain mahar juga ada kewajiban lain yaitu adanya wali nikah. Wali
nikah adalah orang yang berhak menikahkan karena pertalian darah secara
langsung dengan pihak mempelai perempuan yang meliputi Bapak, Kakeknya
(bapak dari bapak mempelai perempua, saudara laki-laki yang seibu sebapak
denganya, anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja denganya,
saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak), anak laki-laki
pamanya dari pihak bapaknya, Hakim.11
Di buku Fiqih Munakahat yang ditulis oleh Drs. Slamet Abidin dan Drs.
Aminudin juga menjelaskan bahwasanya seseorang boleh menjadi wali
apabila ia merdeka, berakal, dan dewasa. Budak, orang gila, dan anak kecil
tidak boleh menjadi wali, karena orang tersebut tidak berhak mewakili
dirinya. wali juga harus beragama Islam, karena orang yang bukan Islam
tidak boleh menjadi walinya orang Islam.12
Para ulama fiqih juga berpendapat dalam masalah wali, pandangan
Imam Malik dan Imam Syafi’i berbeda dengan pandangan Imam Abu
Hanifah. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada
pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya pernikahan, namun
pendapat Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa apabila seorang perempuan

10
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993, hlm. 83
11
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 98
12
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999) 83.

13
melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding maka
pernikahanya boleh.13
1. Syarat-syarat wali
Seseorang dapat bertindak menjadi wali apabila memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan dalam hukum Islam, dan para
ulama ada yang sepakat dan ada yang berbeda pendapat dalam
masalah syaratsyarat yang harus dipenuhi seorang wali. Adapun
syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut ulama Syâfi’îyah ada
enam, yaitu sebagai berikut:
a. Beragama Islam
b. Baligh
c. Berakal sehat
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. Adil (beragama dengan baik).
2. Urutan Wali
Jumhur ulama Syâfi’îyah berpendapat bahwa wali dalam
pernikahan adalah saudara dekat yang termasuk pada ashhab,
bukan saudara seibu atau dzaw al-arham lainnya. Pernikahan
seorang perempuan tidak sah kecuali dinikahkan oleh wali aqrab
(dekat), dan apabila tidak ada oleh wali ab’ad (jauh), dan jika tidak
ada maka dinikahkan oleh penguasa (wali hakim), dan urutan wali
sebagai berikut:
a. Ayah;
b. Kakek;
c. Saudara laki-laki seayah seibu (sekandung);
d. Saudara laki-laki seayah;
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung;
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
g. Paman sekandung;

13
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat..., hlm. 84

14
h. Paman seayah;
i. Anak laki-laki dari paman sekandung;
j. Anak laki-laki dari paman seayah;
k. Hakim.14
Ini merupakan urutan wali yang berhak menjadi wali dalam
pernikahan, jika seseorang menjadi wali pernikahan sementara
hadir wali yang lebih dekat maka pernikahannya tidak sah, karena
menurut ulama Syâfi’îyah hak wali merupakan hak ‘ashabah
sebagaimana menyerupai hak waris. Dari segi kekuasaan wali atas
orang yang berada di bawah perwaliannya dalam perkawinan dapat
dikelompokan pada dua kelompok, yaitu:
a. Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali yang memiliki hak untuk
menikahkan seseorang dibawah perwaliannya dengan
tidak perlu memintan izin atau kerelaan yang
bersangkutan. Para ulama berbeda pendapat tentang
kekuasaan wali mujbir, menurut ulama Syafi’iyah wali
mujbir berlaku bagi wanita yang masih gadis baik ia
masih kecil maupun sudah dewasa dan yang berhak
menjadi wali mujbir adalah ayah dan kakek.15
b. Wali ghayr mujbir
Adalah seseorang yang mempunyai hak menjadi
wali atas seseorang yang berada di bawah perwaliannya,
akan tetapi tidak mempunyai hak untuk memaksa. Wali
ghair mujbir ini dalam melakukan akad perkawinan
harus seizing atau atas kerelaan orang yang di bawah
perwaliannya. Adapun yang menjadi wali ghair mujbir
adalah wali selain ayah dan kakek.

14
Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatu al-Ahyar fi Hilli Ghayatu al-Ikhtishar, (Indonesia: Dâr
al-Ihya, tt.), hlm. 51
15
Al-Hamdani. Risalah Nikah, terj. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm. 4.

15
16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang ada pada makalah ini, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai
salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang
diatur oleh aturan hukum dalam hukum tertulis (hukum negara) maupun
hukum tidak tertulis (hukum adat).
2. sah atau tidak sahnya suatu perkawinan sudah diatur dalam peraturan
negara baik dalam bentuk tertulis, tidak tertulis, dalam hukum adat,
keyakinan dan agama.
3. Permasalahan dalam suatu perkawinan merupakan suatu kewajaran
selama masih dalam batas kontrol dan batas kewajaran.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al Asqolani, Ibnu Hajar. Fathul Bari Syarhu Shohihil Bukhari. Darul ma’rifah.
Beirut
Al Maghribi, Al Husain bin Muhammad Al La’I.1994. Al Badrut Tamam Syarhu
Bulughil Maram. Daru Hijr
Al-Hamdani. 1989. Risalah Nikah, terj. Agus Salim. Jakarta: Pustaka Amani
al-Husaini, Taqiyuddin. Kifayatu al-Ahyar fi Hilli Ghayatu al-Ikhtishar.
Indonesia: Dâr al-Ihya, tt
Al-Mubarokfuri, Abul ala Muhammad Abdurrohman bin Abdurrohim. Tuhfatul
Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi. Darul Kutub Ilmiyah. Beirut
Aminudin, Slamet Abidin dan. 1999. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia
Hasan, Mustofa. 2011. Pengantar Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia
Khayyarat, Ahmad. 2016. Markaz al-Mar’ah fi al-Islam. Kairo: Dar al-Ma‘arif,
t.th
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia.
Yogyakarta: Pon-Pes Krapyak Yogyakarta
Nur, Djaman. 1993. Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra
Nurudin, Amin. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Prenada
Media,cet 1
Rusyd, Ibnu. 1990. Terjemah Bidayatul Mujtahid, Penerjemah: M. A.
Abdurrahman dan A. Harits Abdullah, Semarang: CV. Asy. Syifa’
Sa’dan, Masthuriyah. 2016. MEMILIH PASANGAN BAGI ANAK
PEREMPUAN: KAJIAN FIQIH & HAM, IAIN Manado, Jurnal Ilmiah
Al-Syir’ah Vol. 14 No. 1
sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah 2, Ter. Nor Hasanudin, Cet 1. Jakarta: Pena
Pundi Aksara

Anda mungkin juga menyukai