DALAM PERNIKAHAN
Dosen Pengampu: Abdul Azis, M.HI.
Oleh:
Kelompok 5
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat waktu. Makalah dengan judul Hadits Tentang Kedudukan
Wali dan Saksi dalam Pernikahan ini ditulis guna memenuhi tugas pada mata
kuliah Hadits Ahkam.
Dalam proses penyusunan dan penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Abdul Aziz, M.HI., selaku
dosen mata kuliah Hadits Ahkam, juga kepada pihak-pihak yang turut serta
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis khususnya dan semua pihak pada umumnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan salah satu sunnah Nabi Muhammad SAW. yang
dijalani oleh dua orang (laki-laki dan wanita) dan merupakan ibadah umat
muslim yang terpanjang yakni selama-lamanya seumur hidup. Terdapat
tahapan-tahapan yang dilalui kedua mempelai agar dapat sampai pada ikatan
pernikahan yang sah. Tahapan tersebut dimulai dengan peminangan oleh laki-
laki muslim kepada wanita muslimah yang disebut khitbah. Kemudian
dilanjutkan dengan pelaksanaan pernikahan yang di dalamnya terdapat ijab dan
qabul.
Dalam pernikahan juga terdapat rukun dan syarat yang wajib dipenuhi. Pada
rukun pernikahan, empat imam mazhab sepakat mengenai adanya calon
mempelai laki-laki dan perempuan. Begitupula dengan adanya sighat akad
nikah atau masyhur dengan sebutan ijab qabul. Namun, mengenai keberadaan
wali dan saksi dalam prosesi akad nikah dalam pandangan ulama mazhab
terdahulu, terutama empat imam mazhab merupakan suatu hal yang
diperdebatkan. Menurut Imam Abu Hanifah, rukun nikah hanya ijab dan qabul.
Sementara menurut Imam Malik harus ada wali namun tidak ada saksi. Lain
halnya dengan Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa harus ada wali dan dua
orang saksi sekaligus.
Para imam mazhab yang mengharuskan adanya wali dan saksi dalam
pernikahan berdalil tentang urgensi wali yaitu bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah.1 Sementara saksi diperlukan karena
persaksiannya dapat memperjelas status hubungan suami-istri serta menjaga
hak-hak istri dan anak pada kemudian hari agar memiliki nasab yang jelas serta
tidak dizalimi oleh ayahnya. Demikian pula dapat mengindikasikan bahwa
pernikahan merupakan sesuatu yang sakral.
Dari perbedaan pandangan tersebut, perlu adanya analisis yang lebih
mendalam atas dasar hukum mengenai wali dan saksi dalam pernikahan. Dalam
1
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Grup, 2009),
hlm 69
1
2
hal ini, akan dilakukan analisis hadits Nabi Muhammad SAW. beserta asbabul
wurud, takhrij hadits, analisis kebahasaan, serta hadits yang pro dan kontra
terhadap permasalahan ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teks dan terjemahan hadits tentang wali dan saksi dalam
pernikahan?
2. Bagaimana asbabul wurud dan gambaran sosio historis masyarakat
menurut hadits tersebut?
3. Bagaimana takhrij serta kualitas hadits tersebut?
4. Apa hadits yang menjadi pendukung atau penentang hadits tersebut?
5. Bagaimana isi kandungan dan metode istinbat hukum hadits tersebut?
6. Apa hikmah yang dapat diambil dari hadits tersebut?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui teks hadits tentang wali dan saksi dalam pernikahan.
2. Mengetahui asbabul wurud dan gambaran sosio historis masyarakat
menurut hadits tersebut.
3. Mengetahui takhrij serta kualitas hadits tersebut.
4. Mengetahui hadits pendukung atau penentang dari hadits tersebut.
5. Mengetahui isi kandungan dan metode istinbat hukum hadits tersebut.
6. Mengetahui hikmah yang dapat diambil dari hadits tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
3
4
َ ُصلَّى هللا
علَ ْي ِه َ ِسو ُل هللا ْ َع ْن َها قَال
ُ قَا َل َر:ت َ ُي هللا ِ شةَ َر
َ ض َ ع ْن
َ ِعائ ُ ع ْن
َ ،َع ْر َوة َ ،ِالز ْه ِري ُّ ع ِن َ ،سى َ ُمو
" ع ْد ٍل
َ يْ َ " ََل نِكَا َح إِ ََّل بِ َو ِلي ٍ َوشَا ِهد:سلَّ َم
َ َو
Artinya: Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Abdullah al-Hafiz,
mengatakan kepada kami Abu al-Abbas Asham bin al-Abbas al-Dhabi
menceritakan kepada kami, Muhammad bin Harun al-Hadrami
menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Umar al-Raqqi menceritakan
kepada kami, Yahya bin Saidal-Umawi menceritakan kepada kami, Ibn
Juraij dari Sulaiman bin Musa, dari al-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah
radhiyallahu anhu, Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan saksi yang adil”.
merupakan dalil yang tepat untuk menetapkan wali sebagai rukun dan syarat
sahnya nikah. Sebagaimana hadist perwalian diatas.
2. Hadits tentang Kedudukan Wali dalam Pernikahan
Pada zaman Rasulullah SAW. tertulis dalam sejarah dimana terdapat
kisah kasus pada masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak
pernikahan seorang gadis yang dinikahkan bapaknya, karena sang calon
tidak menyetujui, yakni kasus yang menimpa al-Khansâ’ yang dicatat
sebelumnya. Dalam kasus ini al-Khansâ’ menemui Nabi dan melaporkan
kasus yang menimpanya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada anak
saudara bapaknya yang tidak ia senangi, Nabi balik bertanya “apakah kamu
dimintakan izin (persetujuan)?” jawab al-Khansâ’, “saya tidak senang
dengan pilihan bapak”. Nabi lalu menyuruhnya pergi dan menetapkan
hukum perkawinannya sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda,
“nikahlah dengan orang yang kamu senangi”. Al-Khansâ’ berkomentar,
“bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita
mengetahui bahwa bapak tidak berhak memaksakan kehendaknya untuk
menikahkan anak putrinya dan Nabi menyetujuinya”. Ditambah lagi oleh
al-Khansâ’, ‘Nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda’,
seperti dicatat sebelumnya. Kasus al-Khansâ’ ini menjadi salah satu dalil
tidak adanya perbedaan antara gadis dan janda tentang harus adanya
persetujuan dari yang bersangkutan dalam perkawinan. Perbedaan hanya
terletak pada tanda setujunya, kalau gadis cukup dengan diamnya,
sementara janda harus tegas. Karena itu, di samping menjadi dalil bolehnya
wanita nikah tanpa wali, kasus al-Khansâ’ ini juga menjadi dasar harus
adanya persetujuan wanita untuk pernikahannya. Hadist tersebut di atas
memperkuat posisi hadis yang mengatakan, “seorang gadis harus diminta
persetujuannya dalam perkawinan.” Karena itu, persetujuan dari calon
wanita dalam perkawinan adalah satu ketetapan pokok yang harus ada.
3. Hadits tentang Wali dan Saksi yang Adil
Tidak ada asbabul wurud yang menjelaskan tentang hadits ini.
Namun dikatakan oleh Ibnu Hajib bahwa Nabi SAW. mensabdakan hadits
6
ini dengan tujuan untuk menghapus hadits sebelumnya, yakni hadits tentang
sahnya nikah tanpa saksi.2
C. Takhrij dan Kualitas Hadits
1. Hadits tentang Hukum Wali dalam Pernikahan
a. Imam-imam lain yang meriwatkan hadits serupa
1) Hadits riwayat Imam Ahmad no. 24372
ع ْن عروة بن
حدثنا حسن ،حدثنا ابن لهيعة ،حدثنا َج ْعف َُر بْن ربيعة ،عن ابن شهابَ ،
سلَّ َم " :أ َ ْي َما امرأة تكحت بغير
علَ ْي ِه َو َ
سول هللا صلى هللاُ َ
الزبير عن عائشة قالت :قا َل َر ُ
َجروا
اب ِمن فرجها ،وإن ا ْست ُ
ص َإذن وليها فنكاحها ،باطل ،فإن أصابها قلها مهرها ب َما أ َ َ
والسلطان ولي َمن َل َولي لَهُ"
2) Hadits riwayat Imam Ad-Darimi no. 2230
عن الزهري ،عن غزوة ِ ، سلَ ْي َمانَ بْن ُمو َ
سى َ ع ْن ُ
ْج َ ،
عن ابْن ُج َري ٍ
حدثنا أبو عاصم َ ،
عن عائشة ،عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال " :أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها،
فنكاحها باطل ،فنكاحها باطل ،فنكاحها باطل ،فإن ا ْست َ َج ُروا -قال أبو عاصم :وقال مرة
:فإن تشاجروا -السلطان ولي من َل ولي له ،فإن أصابها قلها المهز بما استخل من
فرجها " .قال أبو عاصم :أمالة على سنة ست وأربعين ومائة
b. Bagan sanad atau silsilah ruwatil hadits
2
Ibnu Hajar Al Asqalani, Terjemahan Fathul Baari Jilid 25, hlm. 398
7
ابْ ِن ُجَريْج
عن
ُس ْفيَا ُن بْ ُن عُيَ ْي نَةَ
َح َّدثَنَا
ابْ ُن أَِِب عُ َمَر
َح َّدثَنَا
c. Biografi masing-masing perawi
صحابية ( قال عروة بن النبى صلى هللا وفاتها 57هـ على عائشة بنت أبى
ابن حجر :أم الزبير,الحسن عليه وسلم ,أبى الصحيح ،و قيل بكر
المؤمنين ،أفقه البصرى ,حمزة بكر الصديق, 58ه
النساء مطلقا ،و بن عبد هللا بن فاطمة الزهراء
أفضل أزواج النبى عمر بن الخطاب بنت رسول هللا
صلى هللا عليه صلى هللا عليه
وسلم إَل خديجة ) وسلم
ثقة محمد بن مسلم بن عائشة أم فى أوائل خالفة عروة بن الزبير
شهاب الزهرى, عثمان ووفاته 94المؤمنين ,عمرة بن العوام بن
محمد بن عروة بن بنت عبد الرحمن, هـ على الصحيح خويلد القرشى
الزبير أبى هريرة األسدى
الفقيه الحافظ متفق سليمان بن عروة بن الزبير, محمد بن مسلم بن وفاته 125هـ و
موسى ,إبراهيم بن على جاللته و عطاء بن أبى قيل قبلها بـ شغب عبيد هللا بن عبد
إتقانه سعد الزهرى, رباح ,عمرو بن هللا بن شهاب بن
أيوب بن موسى أبان بن عثمان بن عبد هللا بن
عفان الحارث بن زهرة
القرشى الزهرى
صدوق فقيه فى محمد بن مسلم بن عبد الملك بن سليمان بن موسى
حديثه بعض لين ، جريج ,عثمان بن شهاب الزهرى, القرشى األموى
و خولط قبل موته مسلم ,تمام بن نصير مولى موَلهم
بقليل معاوية ,نافع مولى نجيح
ابن عمر
ثقة فقيه فاضل سفيان بن عيينة, سليمان بن موسى عبد الملك بن عبد وفاته 150هـ أو
و كان يدلس يرسل عبيد هللا بن الدمشقى ,أبان بن بعدها العزيز بن جريج
موسى ,إسماعيل صالح البصرى, القرشى األموى
ابن علية إسماعيل ابن علية موَلهم
8
ثقة حافظ فقيه ابن صهبان عبد الملك بن عبد هـ107 مولده سفيان بن عيينة
إمام حجة إَل أنه األزدى أبو عمر ,العزيز بن جريج هـ بـ198 ووفاته بن أبى عمران
تغير حفظه بأخرة إبراهيم,الدورى ,إبراهيم بن عقبة مكة
و كان ربما دلس بن سعيد أمى الصيرفى
لكن عن الثقات أحمد,الجوهرى
بن حنبل
َل بأس به عثمان,ابن ماجة ,سفيان بن عيينة هـ150 مولده حفص بن عمر
,بن شيبة النميرى أحمد بن إسحاق تقريبا ووفاته بن عبد العزيز بن
عمرو إسحاق بن الحسن,الحضرمى هـ248 أو246 : صهيب و يقال
الحربى بن مجمع الكندى ابن صهبان
األزدى أبو عمر
الدورى
رتبته عند ابن النبى صلى هللا عليه أبو سلمة بن عبد أبو هريرة الدوسى وفاته 57هـ ( 58
حجر :صحابى وسلم ,أُبى بن كعب ,الرحمن ,أبو أو 59هـ قيل ذلك اليمانى
رتبته عند الذهبي السليل القيسى, عمر بن الخطاب )
:صحابى ،كان إبراهيم بن
حافظا متثبتا ذكيا إسماعيل
مفتيا ،صاحب
صيام و قيام
ثقة مكثر أبى هريرة ,أنس بن يحيى بن أبى مولده بضع و أبو سلمة بن عبد
مالك ,بسر بن سعيد كثير ,إسماعيل عشرين ووفاته الرحمن بن عوف
بن أمية ,كالب 94أو 104هـ بـ القرشى الزهرى
بن على المدينة
ثقة ثبت لكنه شيبان بن عبد أبى سلمة بن عبد يحيى بن أبى كثير وفاته 132هـ و
يدلس و يرسل الرحمن النحوى, الرحمن بن عوف, قيل قبل ذلك الطائى موَلهم
أيوب بن عتبة, أبى حفصة مولى
جرير بن حازم عائشة ,الربيع بن
10
محم
ثقة صاحب كتاب أبو حنيفة النعمان يحيى بن أبى كثير, وفاته 164هـ شيبان بن عبد
بن ثابت ,أبو نعيم وائل بن داود, الرحمن التميمى
الفضل بن دكين إسماعيل بن أبى موَلهم النحوى
خالد
ثقة ثبت البخارى ,أحمد شيبان بن عبد مولده 130هـ عمرو بن حماد
بن الحسن الرحمن النحوى, ووفاته 218هـ و بن زهير القرشى
الترممحمد بن شعبة بن الحجاج, قيل 219هـ بـ التيمى الطلحى
عبد هللا بن سنجر سفيان الثورى الكوفة موَلهم ،األحول
الجرجانى أبو نعيم المالئى
الكوفى
عن
ابْ ِن ُجَريْج
ثنا
َْحي َىي بْ ُن َسعِيد ْاْل َُم ِو ُّ
ي
ثنَا
الرقِي ُّي
ُسلَْي َما ُن بْ ُن عُ َمَر َّ
ثنَا
ضَرِم ُّي
اْلَ ْ
ُُمَ َّم ُد بْ ُن َه ُارو َن ْ
ثنا
ص ُم بْ ُن الْ َعبَّ ِ
اس الضِيُّ
َّب أَبُو الْ َعبَّ ِ
اس َع َ
َح َّدَثَين
اْلَافِ ُ
ظ أَبو عب ِد ِ
هللا ْ ُ َْ
أَ ْخ ََ
َبَنَ
صحابية ( قال عروة بن وفاتها 57هـ على النبى صلى هللا عليه عائشة بنت أبى
ابن حجر :أم الزبير,الحسن الصحيح ،و قيل وسلم ,أبى بكر بكر
المؤمنين ،أفقه البصرى ,حمزة الصديق ,فاطمة 58ه
النساء مطلقا ،و بن عبد هللا بن الزهراء بنت رسول
أفضل أزواج النبى عمر بن الخطاب هللا صلى هللا عليه
صلى هللا عليه وسلم وسلم
إَل خديجة )
ثقة محمد بن مسلم بن عائشة أم المؤمنين, فى أوائل خالفة عروة بن الزبير
شهاب الزهرى, عمرة بنت عبد عثمان ووفاته بن العوام بن
محمد بن عروة الرحمن ,أبى هريرة 94هـ على خويلد القرشى
بن الزبير الصحيح األسدى
الفقيه الحافظ متفق سليمان بن وفاته 125هـ و عروة بن الزبير, محمد بن مسلم
على جاللته و إتقانه موسى ,إبراهيم قيل قبلها بـ شغب عطاء بن أبى رباح, بن عبيد هللا بن
12
صدوق فقيه فى عبد الملك بن محمد بن مسلم بن سليمان بن
حديثه بعض لين ، جريج ,عثمان بن شهاب الزهرى, موسى القرشى
و خولط قبل موته نصير مولى معاوية ,مسلم ,تمام بن األموى موَلهم
بقليل نافع مولى ابن عمر نجيح
ثقة فقيه فاضل و يحيى بن سعيد سليمان بن موسى وفاته 150هـ أو عبد الملك بن
كان يدلس و يرسل األموى ,عبيد هللا الدمشقى ,أبان بن بعدها عبد العزيز بن
بن موسى, صالح البصرى, جريج القرشى
إسماعيل ابن علية إسماعيل ابن علية األموى موَلهم
رتبته عند ابن حجر عبد الملك بن جريج, مولده 114هـ يحيى بن سعيد
:صدوق يغرب, ووفاته 194هـ بـ سفيان الثورى ,سعد بن أبان بن سعيد
رتبته عند الذهبي : بن سعيد األنصارى بغداد بن العاص بن
الحافظ ،ثقة يغرب سعيد بن العاص
عن األعمش بن أمية القرشى
األموى أبو أيوب
الكوفى لقبه
الجمل
َ ع ْن
عن نافع بن جبير بن مطعم عن ابن عباس، عبْد هللا بن الفضل َ ، َ حدثنا َمالِك: قال،خبرنا قتيبة
والبكرو البكر تستأذن في، األيم أحق بنفسها من وليها:أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال
واذتها صماتها،نفسها
Artinya: Telah menceritakan dari Qutaibah, dari Malik, dari Abdullah bin
Fadhl, dari Nafi’ bin Jubair bin Mudim, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah
SAW bersabda : Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya daripada
walinya, seorang gadis dimintai izinnya dalam urusan dirinya, dan izinnya
adalah diamnya. (HR. al-Nasa’i)
2. Hadits tentang Kedudukan Wali dalam Pernikahan
حدثنا أحمد بن يونس وعبد هللا بن مسلمة قاَل أخبرنا مالك عن عبد هللا بن الفضل عن نافع بن جبير
األيم أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم:عن ابن عباس قال
في نفسها وإذتها صماتها
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, serta
Abdullah bin Maslamah, mereka berkata; telah mengabarkan kepada kami
Malik, dari Abdullah bin Al Fadhl dari Nafi' bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang janda
lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, seorang gadis dimintai
izinnya dalam urusan dirinya, dan izinnya adalah diamnya.”
اط ٌل
ِ َب فَنِكَا ُح َها َو ِليِ َها بِغَي ِْر إِ ْذ ِن
batal maka nikahnya walinya (orang dengan tanpa izin
perempuan)
َّ ََل َو ِل
ي َ الس ُّْل
ُطان ا ْشت َ َج ُروا
tidak ada wali sultan/penguasa bertengkar
3
Sardiyanah, dkk, Kajian Lafal dari Segi Luas dan Sempitnya Makna, NASKHI Jurnal Kajian Pendidikan dan
Bahasa Arab Volume 3, No. 1, 2021
16
ع ْد ٍل
َ ي
ْ َشَا ِهد ٍ ِب َو ِلي ََل نِكَا َح
adil dua orang saksi dengan wali tidak ada pernikahan
Lafadz َََل نِكَاحpada hadits ini menunjukkan adanya nafy lis shihhah
sehingga implikasi hukumnya setiap pernikahan yang tidak ada wali dan
dua orang saksi yang adil di dalamnya, maka dianggap tidak sah atau batal.
Kemudian lafadz ٍ َّو ِليdan عدْل
َ ي
ْ َ ٍشَا ِهدdigandeng dengan huruf wawu ‘athaf
akan tetapi diartikan secara masing-masing karena berbentuk isim nakirah.
عدْل
َ ٍ disini menjadi sifat dari ْشَا ِهدَي, sehingga dapat disimpulkan bahwa sifat
adil hanya wajib dimiliki oleh dua orang saksi.
secara prinsip. Rukun sendiri di dalam ushul fiqh berarti suatu perbuatan
yang apabila ditinggalkan rukunnya maka perbuatan tersebut dianggap
batal. Kedudukan wali ini merupakan keabsahan dalam suatu pernikahan.
Dalam akad pernikahan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang
yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai
orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan
tersebut .
Namun hal ini berbeda dengan pendapat Imam Abu hanifah yang
menyatakan “bahwa wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak
mengurus sendiri akad pernikahannya, baik ia gadis maupun janda. Tetapi
yang sebaiknya ia menguasakan akad nikahnya itu kepada walinya, demi
menjaga pandangan yang kurang wajar dari pihak pria asing, seandainya ia
sendiri yang melangsungkan akad nikahnya itu, tetapi wali ‘ashib (ahli
waris) tidaklah mempunyai hak untuk menghalang-halanginya bilamana
seorang wanita menikah dengan seorang pria yang tidak sederajat atau
mahar yang kurang dari mahar mitsl (batas minimal).4 Di dalam kitab Al-
Mabsudth, diriwayatkan bahwa Abu Hanifah mengatakan bahwasanya
perempuan (gadis) atau janda pada zhahirnya sama, jika laki-laki itu sekufu
bagi perempuan tersebut, maka nikah itu sah. Kecuali, jika laki-laki itu tidak
sekufu bagi perempuan, maka bagi para wali ada hak untuk membatalkan
akadnya.5 Inilah yang perlu sekali diperhatikan mengenai jalan yang
ditempuh Ulama Hanafiyah berhujjah dengan hadis tersebut. Hadis yang
menerangkan pernikahan Nabi SAW. dengan Ummu Salamah, yaitu ketika
beliau Saw. Mengutus seseorang sebagai perantara untuk meminangnya
secara langsung, Ummu Salamah ra. berkata, “tidak terdapat seorang pun di
antara wali saya yang hadir”. (HR. Ahmad).6 Dengan demikian, Hadis ini
telah menunjukkan bahwa tidak ada hak bagi wali untuk menyanggah
dengan mengungkapkan ketidak sukaannya yang tidak pada tempatnya. Hal
tersebut jelas bahwa sanggahan wali tidak dihiraukan jika memang
4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1978), hlm. 12
5
Syam Al-Din Al-Sarkhasi, Kitab Al-Mabsudth..., hlm. 10
6
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad Jilid 22 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011),
hlm. 303
18
pernikahan itu sudah sekufu lebih-lebih lagi dalam masalah akad tidak
bergantung pada pelaksanaan dari wali.7 Bedasarkan uraian di atas yang
mana perbedaan pendapat antara jumhur Ulama dalam permasalahan wali
nikah menurut Abu Hanifah bahwa wali tidak dimaksukkan ke dalam rukun
nikah tetapi hanya sebagai syarat sahnya pernikahan, sedangkan
kesepakatan Ulama secara prinsipnya wali nikah ditempatkan sebagai rukun
dalam pernikahan.
2. Hadits tentang Kedudukan Wali dalam Pernikahan
Hadits kedua ini menjelaskan bagaimana kedudukan wali dalam
pernikahan antara masih gadis dengan janda. Di dalam hal ini ada
perbedaan kedudukan wali jika wanita ini masih gadis ataupun sudah
janda. Beberapa pendapat ulama mengatakan jika wanita yang balig dan
berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada
wali, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya wali tidak
boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya
wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali.
Namun, pengucapan akad adalah hak wali.8 Di dalam hadits ini juga
terkandung perintah,larangan, sekaligus hukum kebolehan untuk memilih.
Penetapan hukum ini adalah cara yang paling tepat. Jika dalam kasus
seorang janda, ia lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya sendiri,
sementara dalam kasus seorang gadis, sang ayah lebih berhak atas dirinya.
Jika tidak demikian, tentu tidak ada makna yang khusus bagi seorang
janda. Begitu pula dalam bentuk persetujuan, Nabi membedakan antara
keduanya. Bila ia seorang janda, maka bentuk persetujuannya adalah
dengan jalan mengungkapkannya, sedangkan bentuk persetujuan bagi
seorang gadis adalah dengan diam.9 Pada akhirnya persoalan kebebasan
dan persetujuan wanita dalam memilih calon suami, bergantung apakah
perlu (wajib) atau tidak (sunnah).
7
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 125
8
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), hlm. 12
9
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Zad al-Ma‘ad, hlm 4
19
10
Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, alih bahasa
Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Mun‘im, cet I (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 148
11
Ibn Qoyyim al-Jawziyyah, Zad al-Ma’ad (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih, 1390/1970), hlm. 3
12
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam
Ghazali Said dan Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 403-404
20
13
Al-Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imam Asy-Syafi‘i Jilid IV, (Damaskus, Darul Qalam:
1992), hlm 64
21
14
Al Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, hlm. 104
22
itu, sifat adil terkadang terlalu memberatkan, karena saking sedikitnya orang
yang adil, terlebih di zaman sekarang ini. Tak sampai di situ, juga tidak
dikenal pada satu zaman, ada orang fasik yang dilarang menikahkan
putrinya.”
Dengan mengacu pada penjelasan di atas, wali dan saksi yang adil
merupakan sesuatu yang dipersyaratkan berdasarkan sabda Rasulullah.
Namun di sisi lain, syarat adil bagi wali dan saksi merupakan sesuatu yang
memberatkan, bahkan menyulitkan terlebih di zaman merebaknya
kefasikan. Karena itu, sebagian ulama memilih untuk mempertahankan
kewalian orang yang fasik, selain karena kian langkanya orang adil, juga
kewalian wali nasab dibangun atas dasar kasih sayang ashabah atau garis
keturunan dari pihak ayah. Kasih sayang tidak mengenal orang yang adil
atau pun tidak. Walhasil, selama wali nasab yang lebih dekat masih ada,
apalagi yang mujbir, yaitu ayah dan kakek, maka kewalian tetap berada
padanya. Dengan demikian, perkawinan dengan wali dan saksi yang tidak
adil tetap sah secara syariat. Namun, tentu mendahulukan orang baik atau
mengambil orang yang dipandang adil–walaupun secara lahir untuk menjadi
saksi karena untuk wali sulit sekali diterapkan–adalah hal diutamakan.
G. Hikmah
Hikmah perlunya wali nikah adalah suatu bukti bahwa pernikahan itu
mendapat restu atau izin dari orang tua atau walinya. Dengan kehadiran orang
tua atau wali nikah dalam acara pernikahan, timbul saling percaya antara bapak
atau wali nikah dalam acara pernikahan, timbul saling percaya antara bapak atau
wali dengan calon mempelai laki-laki atau menantu. Disamping wali nikah yang
berfungsi mengucapkan ijab atau penawaran, wali nikah juga memiliki hikmah
mengetahui bahwa anaknya atau orang yang berada di bawah perwaliannya itu
telah melakukan pernikahan dan secara otomatis kehadirannya itu memberikan
isyarat persetujuan darinya. Yang paling penting timbul rasa tanggung jawab
dari seorang suami. Karena itulah keberadaan wali dalam suatu acara
pernikahan itu sangat penting dan diutamakan. Sedangkan hikmah
disyariatkannya saksi dalam pernikahan ialah untuk menjelaskan urgensi saksi
23
24
DAFTAR RUJUKAN
Al Jawziyyah, Ibn Qoyyim. 1970. Zad al-Ma’ad. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi
wa Awladih.
Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin. Musnad Imam Ahmad Jilid 22. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2011.
Sardiyanah, dkk. 2021. Kajian Lafal dari Segi Luas dan Sempitnya Makna,
NASKHI Jurnal Kajian Pendidikan dan Bahasa Arab Volume 3, No. 1.
Al Asqalani, Ibnu Hajar. Terjemahan Fathul Baari Jilid 25. Jakarta: Pustaka
Azzam.
25