Anda di halaman 1dari 28

HADITS TENTANG KEDUDUKAN WALI DAN SAKSI

DALAM PERNIKAHAN
Dosen Pengampu: Abdul Azis, M.HI.

Oleh:
Kelompok 5

Khalida Azzahra (210201110025)


Ahmad Ni’amus Surur (210201110113)
M. Ageng Satrio (210201110173)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat waktu. Makalah dengan judul Hadits Tentang Kedudukan
Wali dan Saksi dalam Pernikahan ini ditulis guna memenuhi tugas pada mata
kuliah Hadits Ahkam.
Dalam proses penyusunan dan penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Abdul Aziz, M.HI., selaku
dosen mata kuliah Hadits Ahkam, juga kepada pihak-pihak yang turut serta
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis khususnya dan semua pihak pada umumnya.

Malang, 3 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 2
C. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Teks dan Terjemahan Hadits............................................................................. 3
B. Asbabul Wurud dan Gambaran Sosio Historis Masyarakat .............................. 4
C. Takhrij dan Kualitas Hadits .............................................................................. 6
D. Hadits Pendukung atau Penentang .................................................................. 12
E. Makna Mufradat dan Analisis Kebahasaan Perspektif Nahwu dan
Ushul Fiqh ....................................................................................................... 14
F. Isi Kandungan dan Metode Istinbat Hukum Dalam Pandangan Fuqaha ........ 16
G. Hikmah ............................................................................................................ 22
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 24
Kesimpulan ........................................................................................................... 24
DAFTAR RUJUKAN ......................................................................................... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan salah satu sunnah Nabi Muhammad SAW. yang
dijalani oleh dua orang (laki-laki dan wanita) dan merupakan ibadah umat
muslim yang terpanjang yakni selama-lamanya seumur hidup. Terdapat
tahapan-tahapan yang dilalui kedua mempelai agar dapat sampai pada ikatan
pernikahan yang sah. Tahapan tersebut dimulai dengan peminangan oleh laki-
laki muslim kepada wanita muslimah yang disebut khitbah. Kemudian
dilanjutkan dengan pelaksanaan pernikahan yang di dalamnya terdapat ijab dan
qabul.
Dalam pernikahan juga terdapat rukun dan syarat yang wajib dipenuhi. Pada
rukun pernikahan, empat imam mazhab sepakat mengenai adanya calon
mempelai laki-laki dan perempuan. Begitupula dengan adanya sighat akad
nikah atau masyhur dengan sebutan ijab qabul. Namun, mengenai keberadaan
wali dan saksi dalam prosesi akad nikah dalam pandangan ulama mazhab
terdahulu, terutama empat imam mazhab merupakan suatu hal yang
diperdebatkan. Menurut Imam Abu Hanifah, rukun nikah hanya ijab dan qabul.
Sementara menurut Imam Malik harus ada wali namun tidak ada saksi. Lain
halnya dengan Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa harus ada wali dan dua
orang saksi sekaligus.
Para imam mazhab yang mengharuskan adanya wali dan saksi dalam
pernikahan berdalil tentang urgensi wali yaitu bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah.1 Sementara saksi diperlukan karena
persaksiannya dapat memperjelas status hubungan suami-istri serta menjaga
hak-hak istri dan anak pada kemudian hari agar memiliki nasab yang jelas serta
tidak dizalimi oleh ayahnya. Demikian pula dapat mengindikasikan bahwa
pernikahan merupakan sesuatu yang sakral.
Dari perbedaan pandangan tersebut, perlu adanya analisis yang lebih
mendalam atas dasar hukum mengenai wali dan saksi dalam pernikahan. Dalam

1
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Grup, 2009),
hlm 69

1
2

hal ini, akan dilakukan analisis hadits Nabi Muhammad SAW. beserta asbabul
wurud, takhrij hadits, analisis kebahasaan, serta hadits yang pro dan kontra
terhadap permasalahan ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teks dan terjemahan hadits tentang wali dan saksi dalam
pernikahan?
2. Bagaimana asbabul wurud dan gambaran sosio historis masyarakat
menurut hadits tersebut?
3. Bagaimana takhrij serta kualitas hadits tersebut?
4. Apa hadits yang menjadi pendukung atau penentang hadits tersebut?
5. Bagaimana isi kandungan dan metode istinbat hukum hadits tersebut?
6. Apa hikmah yang dapat diambil dari hadits tersebut?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui teks hadits tentang wali dan saksi dalam pernikahan.
2. Mengetahui asbabul wurud dan gambaran sosio historis masyarakat
menurut hadits tersebut.
3. Mengetahui takhrij serta kualitas hadits tersebut.
4. Mengetahui hadits pendukung atau penentang dari hadits tersebut.
5. Mengetahui isi kandungan dan metode istinbat hukum hadits tersebut.
6. Mengetahui hikmah yang dapat diambil dari hadits tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teks dan Terjemahan Hadits


1. Hadits tentang Hukum Wali dalam Pernikahan
‫ع ْن‬
َ ،‫سى‬ َ ‫سلَ ْي َمانَ ب ِْن ُمو‬
ُ ‫ع ْن‬ ٍ ‫ع ْن اب ِْن ُج َري‬
َ ،‫ْج‬ َ ،َ‫ع َي ْينَة‬
ُ ُ‫س ْف َيانُ بْن‬ ُ ‫َحدَّثَنَا ابْنُ أ َ ِبي‬
ُ ‫ َحدَّثَنَا‬:َ‫ع َم َر َقال‬
ْ ‫ام َرأَةٍ نَ َك َح‬
‫ت بِغَي ِْر‬ ْ ‫ «أَيُّ َما‬:َ‫سلَّ َم قَال‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو َل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ أ َ َّن َر‬،َ‫شة‬ َ ‫ع ْن‬
َ ِ‫عائ‬ َ ،َ ‫ع ْر َوة‬ ُ ‫ع ْن‬
َ ،ِ‫الز ْه ِري‬ ُّ
‫ فَإِ ْن دَ َخ َل بِ َها فَلَ َها ال َم ْه ُر بِ َما ا ْست َ َح َّل ِم ْن‬،ٌ‫اطل‬
ِ َ‫ فَنِكَا ُح َها ب‬،ٌ‫اطل‬ ِ َ‫إِ ْذ ِن َو ِليِ َها فَنِكَا ُح َها ب‬
ِ َ‫ فَنِكَا ُح َها ب‬،ٌ‫اطل‬
»ُ‫ي لَه‬
َّ ‫ي َم ْن ََل َو ِل‬ َ ‫ فَإِ ْن ا ْشت َ َج ُروا فَالس ُّْل‬،‫فَ ْر ِج َها‬
ُّ ‫طانُ َو ِل‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah
menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah, dari Ibnu Juraij, dari
Sulaiman bin Musa, dari Az Zuhri, dari ‘Urwah, dari Aisyah bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang
menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah
batal, nikahnya adalah batal. Jika dia telah digauli maka dia berhak
mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika
terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali
atas orang yang tidak punya wali.”
2. Hadits tentang Kedudukan Wali dalam Pernikahan
‫صلَّى‬ ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ قَال‬،َ‫ع ْن أَبِي ه َُري َْرة‬ َ ،َ‫سلَ َمة‬ َ ‫ع ْن أَبِي‬ َ ،‫ع ْن يَحْ يَى‬ َ ، ُ‫ش ْيبَان‬ َ ‫ َحدَّثَنَا‬،‫َحدَّثَنَا أَبُو نُعَي ٍْم‬
َ ‫ َكي‬:‫ َوَلَ ت ُ ْن َك ُح ال ِب ْك ُر َحتَّى ت ُ ْست َأْذَنَ » قَالُوا‬،‫ «َلَ ت ُ ْن َك ُح األ َ ِي ُم َحتَّى ت ُ ْست َأ ْ َم َر‬:‫سلَّ َم‬
:َ‫ْف ِإ ْذنُ َها؟ قَال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫هللا‬
» َ‫«أَ ْن ت َ ْس ُكت‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kamu Abu Nu’aim, telah
menceritakan kepada kami Syaiban, dari Yahya, dari Abi Salamah, dari Abi
Hurairah berkata: Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janda
tidak boleh dinikahkan hingga ditawari, dan gadis tidak boleh dinikahkan
hingga dimintai izin.” Para sahabat bertanya: “bagaimana tanda izinnya?”
Nabi menjawab: “jika dia diam”.
3. Hadits tentang Wali dan Saksi yang Adil
َ‫َارون‬ُ ‫ ثنا ُم َح َّمدُ بْنُ ه‬،‫ي‬ ِ ‫ص ُم بْنُ ْالعَب‬
ُّ ِ‫َّاس الضَّب‬ َ ‫ع‬ ِ ‫ َحدَّثَنِي أَبُو ْالعَب‬،‫ظ‬
َ ‫َّاس‬ ُ ِ‫ع ْب ِد هللاِ ْال َحاف‬
َ ‫َوأ َ ْخبَ َرنَا أَبُو‬
‫سلَ ْي َمانَ ب ِْن‬
ُ ‫ع ْن‬ ُّ ‫س ِعي ٍد ْاأل ُ َم ِو‬
ٍ ‫ ثنا ابْنُ ُج َري‬،‫ي‬
َ ،‫ْج‬ َ ُ‫ ثنا يَحْ يَى بْن‬،‫ي‬
ُّ ِ‫الرق‬ ُ ُ‫سلَ ْي َمانُ بْن‬
َّ ‫ع َم َر‬ ُ ‫ ثنا‬،‫ي‬ ُّ ‫ْال َحض َْر ِم‬

3
4

َ ُ‫صلَّى هللا‬
‫علَ ْي ِه‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬ ْ َ‫ع ْن َها قَال‬
ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ت‬ َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫شةَ َر‬
َ ‫ض‬ َ ‫ع ْن‬
َ ِ‫عائ‬ ُ ‫ع ْن‬
َ ،َ‫ع ْر َوة‬ َ ،ِ‫الز ْه ِري‬ ُّ ‫ع ِن‬ َ ،‫سى‬ َ ‫ُمو‬
" ‫ع ْد ٍل‬
َ ‫ي‬ْ َ‫ " ََل نِكَا َح إِ ََّل بِ َو ِلي ٍ َوشَا ِهد‬:‫سلَّ َم‬
َ ‫َو‬
Artinya: Dan telah mengabarkan kepada kami Abu Abdullah al-Hafiz,
mengatakan kepada kami Abu al-Abbas Asham bin al-Abbas al-Dhabi
menceritakan kepada kami, Muhammad bin Harun al-Hadrami
menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Umar al-Raqqi menceritakan
kepada kami, Yahya bin Saidal-Umawi menceritakan kepada kami, Ibn
Juraij dari Sulaiman bin Musa, dari al-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah
radhiyallahu anhu, Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan saksi yang adil”.

B. Asbabul Wurud dan Gambaran Sosio Historis Masyarakat


1. Hadits tentang Hukum Wali dalam Pernikahan
Hadits ini menjelaskan bahwa penikahan tanpa seorang wali maka
pernikahan itu batal bahkan sampai ditegaskan sampai tiga kali, oleh karena
itu seorang wanita tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri. Tidak ada
asbabul wurud yang menjelaskan tentang hadits ini, tapi dalam asbabun
nuzul Q.S al Baqarah ayat 232 dalil tentang wali ini terdapat suatu riwayat
yang dikemukakan bahwa Ma’qil Ibn Yasar yang mengawinkan saudara
perempuannya kepada seorang laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian
diceraikannya dengan satu talaq, setelah habis masa iddahnya mereka
berdua ingin kembali, maka datanglah laki-laki tadi bersama Umar Bin
Khattab untuk meminangnya. Ma’qil menjawab: “Hai orang celaka aku
muliakan kau dan aku kawinkan dengan saudaraku, tapi kau ceraikan dia.
Demi Allah dia tidak akan kukembalikan kepadamu, maka turunlah ayat
tersebut”. Kandungan ayat ini melarang wali untuk menghalang-halangi
hasrat perkawinan kedua orang itu. Setelah Ma’qil mendengar ayat ini,
maka ia berkata: “Aku dengar dan aku taati Tuhan”. Dia memanggil orang
itu dan berkata: “Aku nikahkan engkau kepadanya dan aku memuliakan
engkau”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi).
Dengan mengetahui sebab turun ayat ini dapat disimpulkan, bahwa
wanita tidak bisa mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali. Ayat ini
5

merupakan dalil yang tepat untuk menetapkan wali sebagai rukun dan syarat
sahnya nikah. Sebagaimana hadist perwalian diatas.
2. Hadits tentang Kedudukan Wali dalam Pernikahan
Pada zaman Rasulullah SAW. tertulis dalam sejarah dimana terdapat
kisah kasus pada masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak
pernikahan seorang gadis yang dinikahkan bapaknya, karena sang calon
tidak menyetujui, yakni kasus yang menimpa al-Khansâ’ yang dicatat
sebelumnya. Dalam kasus ini al-Khansâ’ menemui Nabi dan melaporkan
kasus yang menimpanya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada anak
saudara bapaknya yang tidak ia senangi, Nabi balik bertanya “apakah kamu
dimintakan izin (persetujuan)?” jawab al-Khansâ’, “saya tidak senang
dengan pilihan bapak”. Nabi lalu menyuruhnya pergi dan menetapkan
hukum perkawinannya sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda,
“nikahlah dengan orang yang kamu senangi”. Al-Khansâ’ berkomentar,
“bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita
mengetahui bahwa bapak tidak berhak memaksakan kehendaknya untuk
menikahkan anak putrinya dan Nabi menyetujuinya”. Ditambah lagi oleh
al-Khansâ’, ‘Nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda’,
seperti dicatat sebelumnya. Kasus al-Khansâ’ ini menjadi salah satu dalil
tidak adanya perbedaan antara gadis dan janda tentang harus adanya
persetujuan dari yang bersangkutan dalam perkawinan. Perbedaan hanya
terletak pada tanda setujunya, kalau gadis cukup dengan diamnya,
sementara janda harus tegas. Karena itu, di samping menjadi dalil bolehnya
wanita nikah tanpa wali, kasus al-Khansâ’ ini juga menjadi dasar harus
adanya persetujuan wanita untuk pernikahannya. Hadist tersebut di atas
memperkuat posisi hadis yang mengatakan, “seorang gadis harus diminta
persetujuannya dalam perkawinan.” Karena itu, persetujuan dari calon
wanita dalam perkawinan adalah satu ketetapan pokok yang harus ada.
3. Hadits tentang Wali dan Saksi yang Adil
Tidak ada asbabul wurud yang menjelaskan tentang hadits ini.
Namun dikatakan oleh Ibnu Hajib bahwa Nabi SAW. mensabdakan hadits
‫‪6‬‬

‫‪ini dengan tujuan untuk menghapus hadits sebelumnya, yakni hadits tentang‬‬
‫‪sahnya nikah tanpa saksi.2‬‬
‫‪C. Takhrij dan Kualitas Hadits‬‬
‫‪1. Hadits tentang Hukum Wali dalam Pernikahan‬‬
‫‪a. Imam-imam lain yang meriwatkan hadits serupa‬‬
‫‪1) Hadits riwayat Imam Ahmad no. 24372‬‬
‫ع ْن عروة بن‬
‫حدثنا حسن ‪ ،‬حدثنا ابن لهيعة ‪ ،‬حدثنا َج ْعف َُر بْن ربيعة ‪ ،‬عن ابن شهاب‪َ ،‬‬
‫سلَّ َم ‪ " :‬أ َ ْي َما امرأة تكحت بغير‬
‫علَ ْي ِه َو َ‬
‫سول هللا صلى هللاُ َ‬
‫الزبير عن عائشة قالت ‪ :‬قا َل َر ُ‬
‫َجروا‬
‫اب ِمن فرجها‪ ،‬وإن ا ْست ُ‬
‫ص َ‬‫إذن وليها فنكاحها ‪،‬باطل‪ ،‬فإن أصابها قلها مهرها ب َما أ َ َ‬
‫والسلطان ولي َمن َل َولي لَهُ"‬
‫‪2) Hadits riwayat Imam Ad-Darimi no. 2230‬‬
‫عن الزهري‪ ،‬عن غزوة ‪ِ ،‬‬ ‫سلَ ْي َمانَ بْن ُمو َ‬
‫سى َ‬ ‫ع ْن ُ‬
‫ْج ‪َ ،‬‬
‫عن ابْن ُج َري ٍ‬
‫حدثنا أبو عاصم ‪َ ،‬‬
‫عن عائشة ‪ ،‬عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال ‪ " :‬أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها‪،‬‬
‫فنكاحها باطل‪ ،‬فنكاحها باطل‪ ،‬فنكاحها باطل‪ ،‬فإن ا ْست َ َج ُروا ‪ -‬قال أبو عاصم ‪ :‬وقال مرة‬
‫‪ :‬فإن تشاجروا ‪ -‬السلطان ولي من َل ولي له‪ ،‬فإن أصابها قلها المهز بما استخل من‬
‫فرجها "‪ .‬قال أبو عاصم ‪ :‬أمالة على سنة ست وأربعين ومائة‬
‫‪b. Bagan sanad atau silsilah ruwatil hadits‬‬

‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ‫ِ‬


‫َّب َ‬
‫الن ِي‬
‫قَالََ‬
‫َعائِ َشةَ‬
‫عن‬
‫عروة بن الزبي‬
‫عن‬
‫الزْه ِر ِي‬
‫ي‬ ‫ُّ‬
‫عن‬
‫ُسلَْي َما َن بْ ِن ُم َ‬
‫وسى‬
‫عن‬

‫‪2‬‬
‫‪Ibnu Hajar Al Asqalani, Terjemahan Fathul Baari Jilid 25, hlm. 398‬‬
‫‪7‬‬

‫ابْ ِن ُجَريْج‬
‫عن‬
‫ُس ْفيَا ُن بْ ُن عُيَ ْي نَةَ‬
‫َح َّدثَنَا‬
‫ابْ ُن أَِِب عُ َمَر‬
‫َح َّدثَنَا‬
‫‪c. Biografi masing-masing perawi‬‬

‫الجرح و التعديل‬ ‫التالميذ‬ ‫الشيوخ‬ ‫المولود و الوفاة‬ ‫اسم الروي‬

‫صحابية ( قال‬ ‫عروة بن‬ ‫النبى صلى هللا‬ ‫وفاتها ‪57‬هـ على‬ ‫عائشة بنت أبى‬
‫ابن حجر ‪ :‬أم‬ ‫الزبير‪,‬الحسن‬ ‫عليه وسلم‪ ,‬أبى‬ ‫الصحيح ‪ ،‬و قيل‬ ‫بكر‬
‫المؤمنين ‪ ،‬أفقه‬ ‫البصرى‪ ,‬حمزة‬ ‫بكر الصديق‪,‬‬ ‫‪ 58‬ه‬
‫النساء مطلقا ‪ ،‬و‬ ‫بن عبد هللا بن‬ ‫فاطمة الزهراء‬
‫أفضل أزواج النبى‬ ‫عمر بن الخطاب‬ ‫بنت رسول هللا‬
‫صلى هللا عليه‬ ‫صلى هللا عليه‬
‫وسلم إَل خديجة )‬ ‫وسلم‬

‫ثقة‬ ‫محمد بن مسلم بن‬ ‫عائشة أم‬ ‫فى أوائل خالفة‬ ‫عروة بن الزبير‬
‫شهاب الزهرى‪,‬‬ ‫عثمان ووفاته ‪ 94‬المؤمنين‪ ,‬عمرة‬ ‫بن العوام بن‬
‫محمد بن عروة بن‬ ‫بنت عبد الرحمن‪,‬‬ ‫هـ على الصحيح‬ ‫خويلد القرشى‬
‫الزبير‬ ‫أبى هريرة‬ ‫األسدى‬

‫الفقيه الحافظ متفق‬ ‫سليمان بن‬ ‫عروة بن الزبير‪,‬‬ ‫محمد بن مسلم بن وفاته ‪ 125‬هـ و‬
‫موسى‪ ,‬إبراهيم بن على جاللته و‬ ‫عطاء بن أبى‬ ‫قيل قبلها بـ شغب‬ ‫عبيد هللا بن عبد‬
‫إتقانه‬ ‫سعد الزهرى‪,‬‬ ‫رباح‪ ,‬عمرو بن‬ ‫هللا بن شهاب بن‬
‫أيوب بن موسى‬ ‫أبان بن عثمان بن‬ ‫عبد هللا بن‬
‫عفان‬ ‫الحارث بن زهرة‬
‫القرشى الزهرى‬

‫صدوق فقيه فى‬ ‫محمد بن مسلم بن عبد الملك بن‬ ‫سليمان بن موسى‬
‫حديثه بعض لين ‪،‬‬ ‫جريج‪ ,‬عثمان بن‬ ‫شهاب الزهرى‪,‬‬ ‫القرشى األموى‬
‫و خولط قبل موته‬ ‫مسلم‪ ,‬تمام بن‬ ‫نصير مولى‬ ‫موَلهم‬
‫بقليل‬ ‫معاوية‪ ,‬نافع مولى نجيح‬
‫ابن عمر‬

‫ثقة فقيه فاضل‬ ‫سفيان بن عيينة‪,‬‬ ‫سليمان بن موسى‬ ‫عبد الملك بن عبد وفاته ‪ 150‬هـ أو‬
‫و كان يدلس يرسل‬ ‫عبيد هللا بن‬ ‫الدمشقى‪ ,‬أبان بن‬ ‫بعدها‬ ‫العزيز بن جريج‬
‫موسى‪ ,‬إسماعيل‬ ‫صالح البصرى‪,‬‬ ‫القرشى األموى‬
‫ابن علية‬ ‫إسماعيل ابن علية‬ ‫موَلهم‬
8

‫ثقة حافظ فقيه‬ ‫ابن صهبان‬ ‫عبد الملك بن عبد‬ ‫ هـ‬107 ‫مولده‬ ‫سفيان بن عيينة‬
‫إمام حجة إَل أنه‬ ‫األزدى أبو عمر‬ ,‫العزيز بن جريج‬ ‫ هـ بـ‬198 ‫ووفاته‬ ‫بن أبى عمران‬
‫تغير حفظه بأخرة‬ ‫ إبراهيم‬,‫الدورى‬ ,‫إبراهيم بن عقبة‬ ‫مكة‬
‫و كان ربما دلس‬ ‫بن سعيد‬ ‫أمى الصيرفى‬
‫لكن عن الثقات‬ ‫ أحمد‬,‫الجوهرى‬
‫بن حنبل‬

‫َل بأس به‬ ‫ عثمان‬,‫ابن ماجة‬ ,‫سفيان بن عيينة‬ ‫ هـ‬150 ‫مولده‬ ‫حفص بن عمر‬
,‫بن شيبة النميرى‬ ‫أحمد بن إسحاق‬ ‫تقريبا ووفاته‬ ‫بن عبد العزيز بن‬
‫ عمرو إسحاق بن الحسن‬,‫الحضرمى‬ ‫ هـ‬248 ‫ أو‬246 : ‫صهيب و يقال‬
‫الحربى‬ ‫بن مجمع الكندى‬ ‫ابن صهبان‬
‫األزدى أبو عمر‬
‫الدورى‬

d. Kesimpulan kualitas hadits


Berdasarkan lampiran biografi perawi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa hadits tersebut termasuk ke dalam kategori hadits
hasan karena perawi pertama hingga keenam memiliki kualitas yang
tsiqah, namun pada perawi ketujuh yakni Ibnu Abi Umar ditemukan jarh
wa at-ta’dil ‫ َل بأس به‬yang mengindikasikan bahwa hadits tersebut tidak
dijadikan hujjah, melainkan sekedar untuk diuji. Hadits tersebut
muttashil sampai Rasulullah ‫صلى هللا عليه وسلم‬, kemuttashilan ini dapat
dilihat dari tiga indikator yaitu terjadinya proses guru dan murid, tahun
lahir dan wafatnya diperkirakan adanya pertemuan diantara mereka, dan
periwayatan secara makna dengan melalui satu jalur yaitu Aisyah.
Semua sanad hadis sampai kepada rawinya secara berturut dan berantai
adalah muttashil dan tidak ada rawi yang tercela.
2. Hadits tentang Kedudukan Wali dalam Pernikahan
a. Imam-imam lain yang meriwatkan hadits serupa
HR. Abu Sulaiman Hamad bin Muhammad Al-Khatabi
‫ عن يحيى عن أبي سلمة أن أبا‬,‫ حدثنا هشام‬:‫ حدثنا معاذ بن فضالة قال‬: ‫قال أبو عبد هللا‬
‫ َل تنكح األيم حتى تستأمر وَل تنكح البكر‬:‫هريرة حدثهم أن النبي صلى هللا عليه وسلم قا ل‬
‫ أن تسكت‬:‫حتى تستاذن قالوا يارس ول هللا وكيف إذنها؟ قال‬

b. Bagan sanad atau silsilah ruwatil hadits


‫‪9‬‬

‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ‫ِ‬


‫َّب َ‬
‫الن ِي‬
‫قَالََ‬
‫أَِِب ُهَريْ َرَة‬
‫عن‬
‫أَِِب َسلَ َمةَ‬
‫عن‬
‫حيىي بن أىب كثي‬
‫عن‬
‫شيبان بن عبد الرمحن‬
‫َح َّدثَنَا‬
‫أَبُو نُ َعْيم‬
‫َح َّدثَنَا‬

‫‪c. Biografi masing-masing perawi‬‬

‫الجرح و التعديل‬ ‫التالميذ‬ ‫الشيوخ‬ ‫المولود و الوفاة‬ ‫اسم الروي‬

‫رتبته عند ابن‬ ‫النبى صلى هللا عليه أبو سلمة بن عبد‬ ‫أبو هريرة الدوسى وفاته ‪ 57‬هـ ( ‪58‬‬
‫حجر ‪ :‬صحابى‬ ‫وسلم‪ ,‬أُبى بن كعب‪ ,‬الرحمن‪ ,‬أبو‬ ‫أو ‪ 59‬هـ قيل ذلك‬ ‫اليمانى‬
‫رتبته عند الذهبي‬ ‫السليل القيسى‪,‬‬ ‫عمر بن الخطاب‬ ‫)‬
‫‪ :‬صحابى ‪ ،‬كان‬ ‫إبراهيم بن‬
‫حافظا متثبتا ذكيا‬ ‫إسماعيل‬
‫مفتيا ‪ ،‬صاحب‬
‫صيام و قيام‬

‫ثقة مكثر‬ ‫أبى هريرة‪ ,‬أنس بن يحيى بن أبى‬ ‫مولده بضع و‬ ‫أبو سلمة بن عبد‬
‫مالك‪ ,‬بسر بن سعيد كثير‪ ,‬إسماعيل‬ ‫عشرين ووفاته‬ ‫الرحمن بن عوف‬
‫بن أمية ‪ ,‬كالب‬ ‫‪ 94‬أو ‪ 104‬هـ بـ‬ ‫القرشى الزهرى‬
‫بن على‬ ‫المدينة‬

‫ثقة ثبت لكنه‬ ‫شيبان بن عبد‬ ‫أبى سلمة بن عبد‬ ‫يحيى بن أبى كثير وفاته ‪ 132‬هـ و‬
‫يدلس و يرسل‬ ‫الرحمن النحوى‪,‬‬ ‫الرحمن بن عوف‪,‬‬ ‫قيل قبل ذلك‬ ‫الطائى موَلهم‬
‫أيوب بن عتبة‪,‬‬ ‫أبى حفصة مولى‬
‫جرير بن حازم‬ ‫عائشة‪ ,‬الربيع بن‬
‫‪10‬‬

‫محم‬

‫ثقة صاحب كتاب‬ ‫أبو حنيفة النعمان‬ ‫يحيى بن أبى كثير‪,‬‬ ‫وفاته ‪ 164‬هـ‬ ‫شيبان بن عبد‬
‫بن ثابت‪ ,‬أبو نعيم‬ ‫وائل بن داود‪,‬‬ ‫الرحمن التميمى‬
‫الفضل بن دكين‬ ‫إسماعيل بن أبى‬ ‫موَلهم النحوى‬
‫خالد‬

‫ثقة ثبت‬ ‫البخارى‪ ,‬أحمد‬ ‫شيبان بن عبد‬ ‫مولده ‪ 130‬هـ‬ ‫عمرو بن حماد‬
‫بن الحسن‬ ‫الرحمن النحوى‪,‬‬ ‫ووفاته ‪ 218‬هـ و‬ ‫بن زهير القرشى‬
‫الترممحمد بن‬ ‫شعبة بن الحجاج‪,‬‬ ‫قيل ‪ 219‬هـ بـ‬ ‫التيمى الطلحى‬
‫عبد هللا بن سنجر‬ ‫سفيان الثورى‬ ‫الكوفة‬ ‫موَلهم ‪ ،‬األحول‬
‫الجرجانى‬ ‫أبو نعيم المالئى‬
‫الكوفى‬

‫‪d. Kesimpulan kualitas hadits‬‬


‫‪Hadits dengan jalan periwayatan ini merupakan hadits shahih karena‬‬
‫‪seluruh perawi pada tiap thabaqahnya tsiqah. Sanadnya pun tidak ada‬‬
‫‪yang terputus hingga pada Rasulullah SAW.‬‬
‫‪3. Hadits tentang Wali dan Saksi yang Adil‬‬
‫‪a. Imam-imam lain yang meriwatkan hadits serupa‬‬
‫‪Hadits riwayat Imam Ad-Daruqthuni no. 3534‬‬
‫حدثنا أبو ذي أحمد بن محمد بن أبي بكر ‪ ،‬حدثنا أحمد بن الحسين بن عباد النساني ‪ ،‬حدثنا‬
‫ع ُروة َ ‪َ ،‬‬
‫عن أبيه ‪ ،‬عن عائشة ‪ ،‬قالت ‪ :‬قال‬ ‫عن هشام بن ُ‬
‫محمد بن يزيد بن سنان ‪ ،‬حدثنا أبي َ‬
‫عدل"‬
‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ‪َ" :‬ل نكاح إَل بولي َوشا ِهدَي َ‬
‫‪b. Bagan sanad atau silsilah ruwatil hadits‬‬

‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ‫ِ‬


‫َّب َ‬
‫الن ِي‬
‫قَالََ‬
‫َعائِ َشةَ‬
‫عن‬
‫عروة بن الزبي‬
‫عن‬
‫الزْه ِر ِي‬
‫ي‬ ‫ُّ‬
‫عن‬
‫ُسلَْي َما َن بْ ِن ُم َ‬
‫وسى‬
‫‪11‬‬

‫عن‬
‫ابْ ِن ُجَريْج‬
‫ثنا‬
‫َْحي َىي بْ ُن َسعِيد ْاْل َُم ِو ُّ‬
‫ي‬
‫ثنَا‬
‫الرقِي ُّي‬
‫ُسلَْي َما ُن بْ ُن عُ َمَر َّ‬
‫ثنَا‬
‫ضَرِم ُّي‬
‫اْلَ ْ‬
‫ُُمَ َّم ُد بْ ُن َه ُارو َن ْ‬

‫ثنا‬
‫ص ُم بْ ُن الْ َعبَّ ِ‬
‫اس الضِيُّ‬
‫َّب‬ ‫أَبُو الْ َعبَّ ِ‬
‫اس َع َ‬

‫َح َّدَثَين‬
‫اْلَافِ ُ‬
‫ظ‬ ‫أَبو عب ِد ِ‬
‫هللا ْ‬ ‫ُ َْ‬
‫أَ ْخ ََ‬
‫َبَنَ‬

‫‪c. Biografi masing-masing perawi‬‬

‫الجرح و التعديل‬ ‫التالميذ‬ ‫الشيوخ‬ ‫المولود و الوفاة‬ ‫اسم الروي‬

‫صحابية ( قال‬ ‫عروة بن‬ ‫وفاتها ‪57‬هـ على النبى صلى هللا عليه‬ ‫عائشة بنت أبى‬
‫ابن حجر ‪ :‬أم‬ ‫الزبير‪,‬الحسن‬ ‫الصحيح ‪ ،‬و قيل وسلم‪ ,‬أبى بكر‬ ‫بكر‬
‫المؤمنين ‪ ،‬أفقه‬ ‫البصرى‪ ,‬حمزة‬ ‫الصديق‪ ,‬فاطمة‬ ‫‪ 58‬ه‬
‫النساء مطلقا ‪ ،‬و‬ ‫بن عبد هللا بن‬ ‫الزهراء بنت رسول‬
‫أفضل أزواج النبى‬ ‫عمر بن الخطاب‬ ‫هللا صلى هللا عليه‬
‫صلى هللا عليه وسلم‬ ‫وسلم‬
‫إَل خديجة )‬

‫ثقة‬ ‫محمد بن مسلم بن‬ ‫عائشة أم المؤمنين‪,‬‬ ‫فى أوائل خالفة‬ ‫عروة بن الزبير‬
‫شهاب الزهرى‪,‬‬ ‫عمرة بنت عبد‬ ‫عثمان ووفاته‬ ‫بن العوام بن‬
‫محمد بن عروة‬ ‫الرحمن‪ ,‬أبى هريرة‬ ‫‪ 94‬هـ على‬ ‫خويلد القرشى‬
‫بن الزبير‬ ‫الصحيح‬ ‫األسدى‬

‫الفقيه الحافظ متفق‬ ‫سليمان بن‬ ‫وفاته ‪ 125‬هـ و عروة بن الزبير‪,‬‬ ‫محمد بن مسلم‬
‫على جاللته و إتقانه‬ ‫موسى‪ ,‬إبراهيم‬ ‫قيل قبلها بـ شغب عطاء بن أبى رباح‪,‬‬ ‫بن عبيد هللا بن‬
‫‪12‬‬

‫بن سعد الزهرى‪,‬‬ ‫عمرو بن أبان بن‬ ‫عبد هللا بن شهاب‬


‫أيوب بن موسى‬ ‫عثمان بن عفان‬ ‫بن عبد هللا بن‬
‫الحارث بن زهرة‬
‫القرشى الزهرى‬

‫صدوق فقيه فى‬ ‫عبد الملك بن‬ ‫محمد بن مسلم بن‬ ‫سليمان بن‬
‫حديثه بعض لين ‪،‬‬ ‫جريج‪ ,‬عثمان بن‬ ‫شهاب الزهرى‪,‬‬ ‫موسى القرشى‬
‫و خولط قبل موته‬ ‫نصير مولى معاوية‪ ,‬مسلم‪ ,‬تمام بن‬ ‫األموى موَلهم‬
‫بقليل‬ ‫نافع مولى ابن عمر نجيح‬

‫ثقة فقيه فاضل و‬ ‫يحيى بن سعيد‬ ‫سليمان بن موسى‬ ‫وفاته ‪ 150‬هـ أو‬ ‫عبد الملك بن‬
‫كان يدلس و يرسل‬ ‫األموى‪ ,‬عبيد هللا‬ ‫الدمشقى‪ ,‬أبان بن‬ ‫بعدها‬ ‫عبد العزيز بن‬
‫بن موسى‪,‬‬ ‫صالح البصرى‪,‬‬ ‫جريج القرشى‬
‫إسماعيل ابن علية‬ ‫إسماعيل ابن علية‬ ‫األموى موَلهم‬

‫رتبته عند ابن حجر‬ ‫عبد الملك بن جريج‪,‬‬ ‫مولده ‪ 114‬هـ‬ ‫يحيى بن سعيد‬
‫‪ :‬صدوق يغرب‪,‬‬ ‫ووفاته ‪ 194‬هـ بـ سفيان الثورى‪ ,‬سعد‬ ‫بن أبان بن سعيد‬
‫رتبته عند الذهبي ‪:‬‬ ‫بن سعيد األنصارى‬ ‫بغداد‬ ‫بن العاص بن‬
‫الحافظ ‪ ،‬ثقة يغرب‬ ‫سعيد بن العاص‬
‫عن األعمش‬ ‫بن أمية القرشى‬
‫األموى أبو أيوب‬
‫الكوفى لقبه‬
‫الجمل‬

‫‪d. Kesimpulan kualitas hadits‬‬


‫‪Perawi pada thabaqah pertama hingga keenam memiliki kedudukan‬‬
‫‪jarh wa at-ta’dil yang tsiqah dan shuduq. Akan tetapi perawi ketujuh‬‬
‫‪hingga kesepuluh sanadnya tidak bersambung. Oleh karena itu, hadits‬‬
‫‪ini dikategorikan sebagai hadits dhaif karena termasuk hadits‬‬
‫‪munqathi’. Terdapat pula riwayat yang mengatakan bahwa ketika Juraij‬‬
‫‪menanyai al-Zuhri, beliau al-Zuhri malah mengingkarinya.‬‬
‫‪D. Hadits Pendukung atau Penentang‬‬
‫‪1. Hadits tentang Hukum Wali dalam Pernikahan‬‬
‫وعن أبي بريدة بن أبي موسى عن أبيه رضي هللا عنهما قال‪ :‬قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫َل نكاح إَل بولي (روه اإلمام أحمد واألربعة)‬
‫‪Artinya: “Dari Abi Buraidah bin Abi Musa, dari ayahnya ra. Ia berkata:‬‬
‫‪Rasulullah SAW bersabda: “tidak ada nikah melainkan dengan adanya‬‬
‫)‪wali”. (HR. Ahmad dan imam yang empat‬‬
13

َ ‫ع ْن‬
‫ عن نافع بن جبير بن مطعم عن ابن عباس‬، ‫عبْد هللا بن الفضل‬ َ ، َ‫ حدثنا َمالِك‬:‫ قال‬،‫خبرنا قتيبة‬
‫ والبكرو البكر تستأذن في‬، ‫ األيم أحق بنفسها من وليها‬:‫أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫ واذتها صماتها‬،‫نفسها‬
Artinya: Telah menceritakan dari Qutaibah, dari Malik, dari Abdullah bin
Fadhl, dari Nafi’ bin Jubair bin Mudim, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah
SAW bersabda : Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya daripada
walinya, seorang gadis dimintai izinnya dalam urusan dirinya, dan izinnya
adalah diamnya. (HR. al-Nasa’i)
2. Hadits tentang Kedudukan Wali dalam Pernikahan
‫حدثنا أحمد بن يونس وعبد هللا بن مسلمة قاَل أخبرنا مالك عن عبد هللا بن الفضل عن نافع بن جبير‬
‫ األيم أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن ابن عباس قال‬
‫في نفسها وإذتها صماتها‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, serta
Abdullah bin Maslamah, mereka berkata; telah mengabarkan kepada kami
Malik, dari Abdullah bin Al Fadhl dari Nafi' bin Jubair dari Ibnu Abbas, ia
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang janda
lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, seorang gadis dimintai
izinnya dalam urusan dirinya, dan izinnya adalah diamnya.”

: ُ‫ قُ ْلت‬,‫ نَعَ ْم‬:َ‫ضا ِع ِه َّن؟ قَال‬ َ ِ‫س ْو َل هللاِ! يُ ْست َأ ْ َم ُرالن‬


َ ‫سا ُء فَى ا َ ْب‬ ُ ‫ار‬ َ َ‫ قُ ْلتُ ي‬: ُ‫ قُ ْلت‬,‫ع ْن َها‬
َ ُ‫ى هللا‬ ِ ‫شةَ َر‬
َ ‫ض‬ َ ِ‫عائ‬ َ ‫ْث‬ ُ ‫َحدي‬
ُ :َ‫ قَال‬, ُ‫فَإِ َّن ْال ِب ْك َرت ُ ْست َأ ْ َم ُر فَت َ ْست َِحى فَتَ ْس ُكت‬.
‫سكَات ُ َها ا ْذنُ َها‬
Artinya: “Hadis Aisyah ra. di mana ia berkata: Saya bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah para wanita itu dimintai persetujuan dalam perkawinan
mereka?”. Beliau menjawab: “Ya”. Saya berkata: “Sesungguhnya gadis itu
bila dimintai persetujuan, ia akan malu lalu diam”. Beliau bersabda:
“Diamnya itu menunjukkan izin (persetujuan)nya”
3. Hadits tentang Wali dan Saksi yang Adil
a. Hadits yang mendukung
‫دتنا سليمان بن حيان أبو خالد حدثنا حجاج عن الزهري عن غزوة عن عائشة قالت قال‬
‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم َل نكاح إَل بولي والسلطان ولي من َل َولي له‬
Artinya : “Telah berkata pada kami Sulaiman bin Hayyan, Abu Khalid
berkata pada kami, Hajjaj dari Al-Zuhri dari Urwah dari Aisyah
14

radhiyallahuanhu mengatakan: Rasulullah bersabda, “tidak ada


pernikahan kecuali denganwali dan penguasa adalah wali bagi siapa
(wanita) yang tidak mempunyai wali.”
b. Hadits yang bertentangan
Dalam kitabnya yang berjudul Bada' as-Shana, Imam Abu Hanifah
telah mengungkapkan panjang lebar tentang bolehnya wanita gadis atau
janda menikah tanpa wali Dinukil dalam kitab Badal' as-Shana'i':
‫لحرة الما لغة العامية اذا زوجت نفسها من رحل أو وكلت رحال با الترويج فتزوجها‬
‫أوروحها فصولي فاجازت حار في قول أن موزفروان يوسف الول‬
‫ مهر وافر أوقا عبر غير أنها اذا روحت نفسها من‬:‫سواء روحت نفسها من كفة أو غير كف‬
‫ ملك ولياء حق العتراض وكذا اذار وحت شهر قاصر عند أن حيف‬،‫غير كف‬
Artinya: "Perempuan yang merdeka, baliq, aqil ketika menikahkan
dirinya sendiri dengan seorang laki-laki atau wakil dari laki-laki yang
lain dalam suatu pernikahan, maka pernikahan perempuan itu atau
suaminya. diperbolehkan, Qaul Abi Hanifah. Zufar dan Abi Yusuf sama
dengan yang awal, perempuan itu boleh menikahkan dirinya sendiri
dengan orang yang kufu atau yang tidak kufu dengan mahar yang lebih
kecil atau rendah, ketika perempuan itu menikahkan dirinya sendiri
dengan seorang yang tidak kufu", maka bagi para wali berhak
menghalangi pernikahannya, bila pernikahannya itu dengan mahar yang
kecil.
Selanjutnya, masih dalam kitab yang sama, Mazhab Hanafi
menegaskan bahwa menikah tanpa wali adalah sah. Sebagai mana
diriwayatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW:
‫ األيم أحق بنفسها من وليها‬:‫عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم انه قال‬
Artinya: “Dari Rasulullah Saw. Janda lebih berhak atas dirinya dari pada
walinya.” (HR. At-Tirmidzi)
E. Makna Mufradat dan Analisis Kebahasaan Perspektif Nahwu dan Ushul
Fiqh
1. Hadits tentang Hukum Wali dalam Pernikahan

‫ت‬ْ ‫نَ َك َح‬ ‫ا ْم َرأ َ ٍة‬ ‫أَيُّ َما‬ ‫َحدَّثَنَا‬


menikah siapa saja
15

orang telah menceritakan


perempuan kepada kami

‫اط ٌل‬
ِ َ‫ب‬ ‫فَنِكَا ُح َها‬ ‫َو ِليِ َها‬ ‫بِغَي ِْر إِ ْذ ِن‬
batal maka nikahnya walinya (orang dengan tanpa izin
perempuan)

‫فَ ْر ِج َها‬ ‫ا ْست َ َح َّل‬ ‫ال َم ْه ُر‬ ‫دَ َخ َل بِ َها‬


kemaluan telah mahar telah digauli (orang
perempuan menganggap perempuan)
halal

َّ ‫ََل َو ِل‬
‫ي‬ َ ‫الس ُّْل‬
ُ‫طان‬ ‫ا ْشت َ َج ُروا‬
tidak ada wali sultan/penguasa bertengkar

Lafadz ‫ ايما‬tergolong ke dalam isim syarat.3 Dalam perspektif ushul


fiqh pun lafadz ini memberi faedah ‘am, sehingga ini menjadikannya dalam
redaksi hadis ini berkonotasi umum untuk siapa saja dalam hal berlakunya
perwalian bagi perkara yang ditunjuk olehnya. Sedangkan lafadz ‫ امرأة‬dalam
hadits ini menjadi lafadz yang ditunjuk oleh ‫ايما‬. Lafadz ‫ امرأة‬sendiri
merupakan bentuk jamak dari ‫ مرأة‬yang berarti orang perempuan.
Lafadz selanjutnya yang merupakan mufradat penting dalam hadits
ini adalah ‫باطل‬. Lafadz ‫ باطل‬ditinjau secara ushul fiqh termasuk dalam
hukum wadh’i ‫( البطل‬bathal). Bathal dalam hal ibadah, dalam hal ini
pernikahan adalah ketika menyalahi tujuan pembuat hukum (Syari’) yaitu
Allah SWT. dalam menetapkan amalan pernikahan. c dapat disimpulkan
bahwa adanya wali menjadi salah satu rukun dan syaratnya sebuah
pernikahan.
2. Hadits tentang Kedudukan Wali dalam Pernikahan

‫البِ ْك ُر‬ ‫ت ُ ْست َأ ْ َم َر‬ ‫األَيِ ُم‬ ‫َلَ ت ُ ْن َك ُح‬


perawan/gadis dimintai pendapat janda dinikahkan

َ‫ت َ ْس ُكت‬ ‫إِ ْذنُ َها‬ َ‫ت ُ ْستَأْذَن‬


dia diam izinnya (gadis) dimintai izin

3
Sardiyanah, dkk, Kajian Lafal dari Segi Luas dan Sempitnya Makna, NASKHI Jurnal Kajian Pendidikan dan
Bahasa Arab Volume 3, No. 1, 2021
16

Lafadz ‫ ُت ُ ْنكَح‬menurut ilmu nahwu merupakan fi’il mudhari’ yang


menunjukkan kata kerja yang sedang atau akan dilakukan. Selain itu, ia
merupakan fi’il majhul atau kata kerja pasif, sehingga lafadz tersebut
dimaknai dengan “dinikahkan”. Lafadz tersebut juga menyimpan kata ganti
(dhamir) orang ketiga perempuan yang sesuai
dengan lafadz setelahnya sebagai pelaku (fa’il) yaitu ‫ ُاأل َ ِيم‬yang berarti janda.
Sama halnya dengan lafadz ‫ ُت ُ ْنكَح‬yang kedua memiliki fa’il ‫ ُالبِ ْكر‬yang berarti
gadis.
Sementara ‫ ََل‬pada hadits ini merupakan la nafy yang tidak beramal
apapun sebab ia bersambung dengan fi’il mudhari’. Ia hanya bermakna
menafikan saja. Begitupula dari perspektif ushul fiqh tidak memunculkan
suatu hukum khusus.
Lafadz ‫ َت ُ ْستَأ ْ َمر‬memiliki arti dimintai pendapat. jika dimintai pendapat
maka jawabannya harus menggunakan pernyataan atau ucapan berbeda
dengan lafadz ‫ َت ُ ْستَأْذَن‬yang memiliki arti dimintai izin. Dimintai izin bisa
dijawab dengan ucapan atau juga yang lainnya.
3. Hadits tentang Wali dan Saksi yang Adil

‫ع ْد ٍل‬
َ ‫ي‬
ْ َ‫شَا ِهد‬ ٍ ‫ِب َو ِلي‬ ‫ََل نِكَا َح‬
adil dua orang saksi dengan wali tidak ada pernikahan

Lafadz ‫ َََل نِكَاح‬pada hadits ini menunjukkan adanya nafy lis shihhah
sehingga implikasi hukumnya setiap pernikahan yang tidak ada wali dan
dua orang saksi yang adil di dalamnya, maka dianggap tidak sah atau batal.
Kemudian lafadz ‫ ٍ َّو ِلي‬dan ‫عدْل‬
َ ‫ي‬
ْ َ‫ ٍشَا ِهد‬digandeng dengan huruf wawu ‘athaf
akan tetapi diartikan secara masing-masing karena berbentuk isim nakirah.
‫عدْل‬
َ ٍ disini menjadi sifat dari ‫ْشَا ِهدَي‬, sehingga dapat disimpulkan bahwa sifat
adil hanya wajib dimiliki oleh dua orang saksi.

F. Isi Kandungan dan Metode Istinbat Hukum Dalam Pandangan Fuqaha


1. Hadits tentang Hukum Wali dalam Pernikahan
Hadits Pertama ini menjelaskan bahwa di dalam pernikahan, wali itu
ditempatkan sebagai rukun dalam pernikahan menurut kesepakatan ulama
17

secara prinsip. Rukun sendiri di dalam ushul fiqh berarti suatu perbuatan
yang apabila ditinggalkan rukunnya maka perbuatan tersebut dianggap
batal. Kedudukan wali ini merupakan keabsahan dalam suatu pernikahan.
Dalam akad pernikahan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang
yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai
orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan
tersebut .
Namun hal ini berbeda dengan pendapat Imam Abu hanifah yang
menyatakan “bahwa wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak
mengurus sendiri akad pernikahannya, baik ia gadis maupun janda. Tetapi
yang sebaiknya ia menguasakan akad nikahnya itu kepada walinya, demi
menjaga pandangan yang kurang wajar dari pihak pria asing, seandainya ia
sendiri yang melangsungkan akad nikahnya itu, tetapi wali ‘ashib (ahli
waris) tidaklah mempunyai hak untuk menghalang-halanginya bilamana
seorang wanita menikah dengan seorang pria yang tidak sederajat atau
mahar yang kurang dari mahar mitsl (batas minimal).4 Di dalam kitab Al-
Mabsudth, diriwayatkan bahwa Abu Hanifah mengatakan bahwasanya
perempuan (gadis) atau janda pada zhahirnya sama, jika laki-laki itu sekufu
bagi perempuan tersebut, maka nikah itu sah. Kecuali, jika laki-laki itu tidak
sekufu bagi perempuan, maka bagi para wali ada hak untuk membatalkan
akadnya.5 Inilah yang perlu sekali diperhatikan mengenai jalan yang
ditempuh Ulama Hanafiyah berhujjah dengan hadis tersebut. Hadis yang
menerangkan pernikahan Nabi SAW. dengan Ummu Salamah, yaitu ketika
beliau Saw. Mengutus seseorang sebagai perantara untuk meminangnya
secara langsung, Ummu Salamah ra. berkata, “tidak terdapat seorang pun di
antara wali saya yang hadir”. (HR. Ahmad).6 Dengan demikian, Hadis ini
telah menunjukkan bahwa tidak ada hak bagi wali untuk menyanggah
dengan mengungkapkan ketidak sukaannya yang tidak pada tempatnya. Hal
tersebut jelas bahwa sanggahan wali tidak dihiraukan jika memang

4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1978), hlm. 12
5
Syam Al-Din Al-Sarkhasi, Kitab Al-Mabsudth..., hlm. 10
6
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad Jilid 22 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011),
hlm. 303
18

pernikahan itu sudah sekufu lebih-lebih lagi dalam masalah akad tidak
bergantung pada pelaksanaan dari wali.7 Bedasarkan uraian di atas yang
mana perbedaan pendapat antara jumhur Ulama dalam permasalahan wali
nikah menurut Abu Hanifah bahwa wali tidak dimaksukkan ke dalam rukun
nikah tetapi hanya sebagai syarat sahnya pernikahan, sedangkan
kesepakatan Ulama secara prinsipnya wali nikah ditempatkan sebagai rukun
dalam pernikahan.
2. Hadits tentang Kedudukan Wali dalam Pernikahan
Hadits kedua ini menjelaskan bagaimana kedudukan wali dalam
pernikahan antara masih gadis dengan janda. Di dalam hal ini ada
perbedaan kedudukan wali jika wanita ini masih gadis ataupun sudah
janda. Beberapa pendapat ulama mengatakan jika wanita yang balig dan
berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada
wali, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya wali tidak
boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya
wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali.
Namun, pengucapan akad adalah hak wali.8 Di dalam hadits ini juga
terkandung perintah,larangan, sekaligus hukum kebolehan untuk memilih.
Penetapan hukum ini adalah cara yang paling tepat. Jika dalam kasus
seorang janda, ia lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya sendiri,
sementara dalam kasus seorang gadis, sang ayah lebih berhak atas dirinya.
Jika tidak demikian, tentu tidak ada makna yang khusus bagi seorang
janda. Begitu pula dalam bentuk persetujuan, Nabi membedakan antara
keduanya. Bila ia seorang janda, maka bentuk persetujuannya adalah
dengan jalan mengungkapkannya, sedangkan bentuk persetujuan bagi
seorang gadis adalah dengan diam.9 Pada akhirnya persoalan kebebasan
dan persetujuan wanita dalam memilih calon suami, bergantung apakah
perlu (wajib) atau tidak (sunnah).

7
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 125
8
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), hlm. 12
9
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Zad al-Ma‘ad, hlm 4
19

Ibn Qayyim al-Jawziyyah sebagai salah satu ulama besar dalam


lingkungan mazhab Hanbali, dalam menyikapi persoalan ini lebih sepakat
dengan pandangan Abu Hanifah.10 Beliau berpendapat dalam hal ini
sebagai sesuatu yang diperlukan (wajib). Dengan pertimbangan
kemaslahatan gadis yang bersangkutan, maka hal ini diserahkan
sepenuhnya kepada si gadis dan bukan kepada wali.11 Hadits ini dapat
dipahami dengan jalan mafhum mukhalafah. Pendapat yang menyatakan
bahwa boleh menikahkan gadis tanpa persetujuannya biasanya
menggunakan Hadits ini sebagai hujjah. Seandainya mereka mengajukan
Hadits ini sebagai hujjah, maka tidak boleh mendahulukannya atas mantuq
as-sarih (bunyi nash yang sudah jelas). Bila dikatakan bahwa Hadits ini
dipahami dengan mafhum mukhalafah seperti disinggung di atas, dan
dalam mafhum mukhalafah terkandung makna yang umum. Maka yang
benar, dalam mafhum mukhalafah tidak terkandung makna umum, apabila
ada dalil yang terkandung di dalamnya mengarah pada pengertian bahwa
takhsis (mengkhususkan), yakni menegaskan hukum selain takhsis itu
sendiri. Sudah jelas bahwa pembagian hukum selain takhsis ke dalam dua
kategori; penetapan hukum dan penegasannya, juga terkandung faedah.
Penetapan hukum lain terhadap perkara yang didiamkan juga terkandung
faedah, meski di sana tidak terdapat kebalikan dari hukum mantuq (bunyi
nash). Salah satu bagian yang menjadi perdebatan berkaitan dengan hak
wanita dalam memilih pasangan adalah ‘illat yang dijadikan sebagai dasar
argumen untuk menentukan ada tidaknya hak kebebasan itu sendiri.
Sebagian ulama dalam kaitan ini menjadikan kegadisan (al-bikr) sebagai
‘illat dalam penentuan hukumnya, sementara ulama yang lain dengan
menggunakan ‘illat masa kecil (as-sugr), bahkan ada ulama yang
menjadikan ‘illat bagi kasus ini dengan menggabungkan kedua ‘illat
tersebut.12

10
Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, alih bahasa
Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Mun‘im, cet I (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 148
11
Ibn Qoyyim al-Jawziyyah, Zad al-Ma’ad (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih, 1390/1970), hlm. 3
12
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam
Ghazali Said dan Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 403-404
20

3. Hadits tentang Wali dan Saksi yang Adil


Hadits ketiga ini menjelaskan Salah satu dari sah nya pernikahan
terdapat wali dan saksi yang adil. Para ulama fiqih telah merinci sedikitnya
enam syarat yang harus dipenuhi seorang wali dan dua orang saksi nikah.
Enam syarat tersebut tercantum di dalam kitab Matan Taqrib li Matni Abi
Syuja’, jilid I, halaman 31.
‫ اإلسالم والبلوغ والعقل والحرية والذكورة‬:‫ويفتقر الولي والشاهدان إلى ستة شرائط‬
‫والعدالة‬
Artinya, “Wali dan dua saksi membutuhkan enam syarat: (1)
beragama Islam; (2) baligh, (3) berakal sehat; (4) merdeka; (5) laki-laki (6)
adil.”
Imam Asy-Syafi‘i juga meriwayatkan hadits “Tidak sah pernikahan
kecuali dengan wali yang mursyid.” Maksud mursyid dalam hadits tersebut
adalah adil dan tidak fasik. Adapun yang dimaksud adil dan tidak fasik itu
dijelaskan para ulama sebagai berikut: ‫ عدم ارتكاب الكبائر من‬:‫والمقصود بالعدالة‬
‫ كالبول في الطرقات‬:‫ وعدم فعل ما يخل بالمروءة‬،‫ وعدم اإلصرار على الصغائر‬،‫ الذنوب‬Artinya,
“Adapun maksud adil itu sendiri adalah tidak melakukan dosa-dosa besar,
tidak membiasakan dosa kecil, dan tidak melakukan sesuatu yang dapat
mengurangi muru’ah (kehormatan), seperti kencing di pinggir jalan,”13
Dari sudut pandang tauhid, fasik sebagai dijelaskan Al-Jurjani dalam
At-Ta‘rifat adalah orang fasik yang memiliki keimanan dan ketauhidan
dalam hati, bahkan diikrarkan dengan lisan, namun keimanan dan
ketauhidan tersebut tidak diwujudkan dalam amal perbuatan. Berdasarkan
dalil di atas, sementara ulama fikih memutuskan bahwa orang tidak adil atau
fasik tidak boleh menikahkan seorang wanita mukmin dan hak kewaliannya
harus dialihkan kepada wali di bawahnya. Demikian salah satu pendapat
yang dikutip oleh Doktor Musthafa al-Khin: ‫ بل ينتقل حق‬،‫فال يُزوج الفاسق مؤمنة‬
‫ فيمنع الوَلية في‬،‫ وألن الفسق نقص يقدح في الشهادة‬.ً‫ إن كان عدَل‬،‫تزويجها إلى الولي الذي يليه‬
‫الزواج‬. Artinya, “Laki-laki yang fasik (tidak adil) tidak boleh menikahkan
perempuan mukmin sehingga hak menikahkannya beralih kepada wali di

13
Al-Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imam Asy-Syafi‘i Jilid IV, (Damaskus, Darul Qalam:
1992), hlm 64
21

bawahnya jika di bawahnya itu adil. Sebab, kefasikan adalah kekurangan


yang mencederai kesaksian sehingga mencegah kewalian dalam
pernikahan.” Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana bila wali atau
saksi tidak memenuhi syarat adil? Lantas, bagaimana dengan keabsahan
pernikahannya? Para ulama beragam pendapat menyikapi permasalahan ini.
Al-Habib Muhammad bin Salim walau mendukung pendapat tentang
keadilan wali, tetapi cenderung lebih longgar. Menurutnya, syarat adil wali
atau dua saksi cukup dilihat dari kacamata lahir saja, tidak perlu sampai
dibuktikan terlalu mendetail. Dengan demikian, orang yang dikenal
segelintir orang sebagai orang adil saja sudah cukup menjadi wali atau saksi.
Pendapat yang dikemukakan oleh Al-Habib Muhammad bin Salim
dilatarbelakangi oleh pandangan Imam An-Nawawi yang menyatakan
bahwa kewalian orang fasik tetap melekat padanya. Seandainya kewalian
wali nasab karena gegara fasik dialihkan kepada wali hakim, boleh jadi wali
hakim pun melakukan kefasikan serupa dengan wali nasab tadi, bahkan
mungkin lebih berat. Pendapat ini juga didukung oleh Imam Al-Ghazali,
sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qasim Al-‘Izzi dengan alasan
kefasikan sudah merajalela di tengah masyarakat. Meski kewalian dialihkan
kepada hakim, hakim pun belum tentu adil sehingga kefasikan hakim tidak
sampai melepaskan hak kewaliannya.14 Mushthafa Al-Khin sendiri, walau
menyebutkan pendapat pertama, tetapi lebih cenderung kepada pendapat
kedua yang menyebutkan dengan alasan faktor kasih sayang:
‫ والعصبة تحمله‬،‫ ألن الوَلية في الزواج مبنية على التعصب‬،‫َل تشترط العدالة في الزواج‬
‫ وألن اشتراط‬.‫ وهذه الشفقة َل تختلف بين العدل وغيره‬،‫وفرة الشفقة على تحري مصلحة موليته‬
‫ ولم يعرف أن الفسقة كانوا‬،‫ وَلسيما في هذه األيام‬،‫العدالة قد يؤدي إلى حرج كبير لقلة العدول‬
‫يُمنعون من تزويج بناتهم في أي عصر من العصور‬
Artinya, “Tidak disyaratkan sifat adil (wali) dalam pernikahan. Sebab,
kewalian dibangun di atas hubungan ‘ashabah (garis turunan dari pihak
ayah). Sedangkan ‘ashabah membawa si wali kepada curahan kasih sayang
untuk mencari kemaslahatan bagi orang yang di bawah kewaliannya. Dan
kasih sayang ini tidak ada bedanya antara orang yang adil dan tidak. Selain

14
Al Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, hlm. 104
22

itu, sifat adil terkadang terlalu memberatkan, karena saking sedikitnya orang
yang adil, terlebih di zaman sekarang ini. Tak sampai di situ, juga tidak
dikenal pada satu zaman, ada orang fasik yang dilarang menikahkan
putrinya.”
Dengan mengacu pada penjelasan di atas, wali dan saksi yang adil
merupakan sesuatu yang dipersyaratkan berdasarkan sabda Rasulullah.
Namun di sisi lain, syarat adil bagi wali dan saksi merupakan sesuatu yang
memberatkan, bahkan menyulitkan terlebih di zaman merebaknya
kefasikan. Karena itu, sebagian ulama memilih untuk mempertahankan
kewalian orang yang fasik, selain karena kian langkanya orang adil, juga
kewalian wali nasab dibangun atas dasar kasih sayang ashabah atau garis
keturunan dari pihak ayah. Kasih sayang tidak mengenal orang yang adil
atau pun tidak. Walhasil, selama wali nasab yang lebih dekat masih ada,
apalagi yang mujbir, yaitu ayah dan kakek, maka kewalian tetap berada
padanya. Dengan demikian, perkawinan dengan wali dan saksi yang tidak
adil tetap sah secara syariat. Namun, tentu mendahulukan orang baik atau
mengambil orang yang dipandang adil–walaupun secara lahir untuk menjadi
saksi karena untuk wali sulit sekali diterapkan–adalah hal diutamakan.

G. Hikmah
Hikmah perlunya wali nikah adalah suatu bukti bahwa pernikahan itu
mendapat restu atau izin dari orang tua atau walinya. Dengan kehadiran orang
tua atau wali nikah dalam acara pernikahan, timbul saling percaya antara bapak
atau wali nikah dalam acara pernikahan, timbul saling percaya antara bapak atau
wali dengan calon mempelai laki-laki atau menantu. Disamping wali nikah yang
berfungsi mengucapkan ijab atau penawaran, wali nikah juga memiliki hikmah
mengetahui bahwa anaknya atau orang yang berada di bawah perwaliannya itu
telah melakukan pernikahan dan secara otomatis kehadirannya itu memberikan
isyarat persetujuan darinya. Yang paling penting timbul rasa tanggung jawab
dari seorang suami. Karena itulah keberadaan wali dalam suatu acara
pernikahan itu sangat penting dan diutamakan. Sedangkan hikmah
disyariatkannya saksi dalam pernikahan ialah untuk menjelaskan urgensi saksi
23

dalam pernikahan, jelasnya keberadaan saksi diantara manusia bertujuan untuk


menolak keraguan dan tuduhan dari pernikahan itu sendiri. Di samping
kesaksian dalam perkawinan itu untuk membedakan antara yang halal dan
haram, keadaan halal itu jelas, dan keadaan itu tertutup biasanya. Melalui
kesaksian, akan menjadi nyata kepercayaan terhadap urusan perkawinan dan
kehati-hatian dalam menetapkan perkawinan tatkala dibutuhkan.
BAB III
KESIMPULAN

Ketiga hadits yang telah dipaparkan dalam pembahasan di atas memiliki


asbabul wurud masing-masing. Asbabul wurud hadits pertama berkaitan dengan
asbabun nuzul QS. Al Baqarah ayat 232 yang menjelaskan bahwa wanita tidak bisa
mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali. Sementara asbabul wurud hadits kedua
ialah ketika itu terdapat seorang gadis yang hendak dinikahkan oleh bapaknya,
namun ia tidak menghendaki hal tersebut hingga menemui Nabi SAW. Oleh sebab
itu Nabi SAW. bersabda tentang perlunya izin dari seorang gadis saat hendak
dinikahkan oleh walinya. Hadits yang ketiga tidak ditemukan asbabul wurudnya.
Namun dalam salah satu riwayat dijelaskan bahwa hadits ini menghapus hadits
lainnya yang menerangkan sahnya pernikahan tanpa wali.
Berdasarkan takhrij ketiga hadits tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa
hadits pertama berkualitas hasan karena salah satu perawinya memiliki tingkat
ketsiqah-an yang kurang kuat. Hadits kedua memiliki kualitas shahih karena secara
periwayatan bersambung pada Rasulullah SAW. dan masing-masing perawinya
tsiqah. Sedangkan hadits ketiga memiliki kualitas dhaif, karena sanadnya tidak
bersambung hingga Rasulullah SAW. dan tergolong hadits munqathi’.
Kandungan hukum ketiga hadits tersebut ialah bahwa di samping wali nikah
yang berfungsi mengucapkan ijab atau penawaran, wali nikah juga mengetahui
bahwa anaknya atau orang yang berada di bawah perwaliannya itu telah melakukan
pernikahan dan secara otomatis kehadirannya itu memberikan isyarat persetujuan
darinya. Yang paling penting timbul rasa tanggung jawab dari seorang suami.
Karena itulah keberadaan wali dalam suatu acara pernikahan itu sangat penting dan
diutamakan. Sedangkan seorang saksi dalam pernikahan ialah untuk menjelaskan
urgensi saksi dalam pernikahan, jelasnya keberadaan saksi diantara manusia
bertujuan untuk menolak keraguan dan tuduhan dari pernikahan itu sendiri.

24
DAFTAR RUJUKAN

Al Baijuri, Ibrahim. 1999. Hasyiyatul Baijuri. DKI: Beirut, Lebanon.

Al-Khin, Al Musthafa. 1992. Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imam Asy-Syafi‘i


Jilid IV. Damaskus, Darul Qalam.

Al Qardhawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama


Salaf. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Al Jawziyyah, Ibn Qoyyim. 1970. Zad al-Ma’ad. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi
wa Awladih.

Ibn Rusyd. 2002. Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtasid (Analisa Fiqh


Para Mujtahid). Jakarta: Pustaka Amani

Syalthut, Mahmud. 2000. Fiqih Tujuh Madzhab. Bandung: Pustaka Setia

Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqih Sunnah. Jakarta: Al-I’tishom.

Al-Sarkhasi, Syam Al-Din. Kitab Al-Mabsudth.

Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin. Musnad Imam Ahmad Jilid 22. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2011.

Sardiyanah, dkk. 2021. Kajian Lafal dari Segi Luas dan Sempitnya Makna,
NASKHI Jurnal Kajian Pendidikan dan Bahasa Arab Volume 3, No. 1.

Al Asqalani, Ibnu Hajar. Terjemahan Fathul Baari Jilid 25. Jakarta: Pustaka
Azzam.

Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada


Media Grup.

25

Anda mungkin juga menyukai