Anda di halaman 1dari 6

Lekas lah Menikah, Bila Belum Mampu

Berpuasalah
PoLy Hysteria 11.33 Bimbingan Islam , Hadits

Rasulullah ‫ صلي هللا عليه وسلم‬mengarahkan anjuran dan motivasi untuk


menikah ini kepada para seluruh umatnya, khususnya para pemuda.
“Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa,” demikian sabda
Beliau ‫صلي هللا عليه وسلم‬. Berikut ini hadits tentang perintah bagi generasi
muda untuk segera menikah yang dinukil dari kitab “Syarah Bulughul
Maram” karya Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany ‫رحمه اللة‬.

‫ّللَا صلى هللا عليه وسلم ( َيا َم ْعش ََر‬ ِ ‫سو ُل َ ه‬ ُ ‫سعُو ٍد رضي هللا عنه قَا َل َلنَا َر‬ ْ ‫ّللَاِ ْب ِن َم‬‫ع ْب ِد َ ه‬
َ ‫ع َْن‬
َ ْ‫ َوأَح‬, ‫ص ِر‬
‫ َو َم ْن‬, ِ‫صنُ ِل ْلفَ ْرج‬ َ َ‫ض ِل ْلب‬ ُّ ‫غ‬ َ َ ‫ فَ ِإنههُ أ‬, ْ‫ع ِم ْن ُك ُم ا َ ْلبَا َءةَ فَ ْليَت َ َز هوج‬
َ ‫ست َ َطا‬
ْ ‫ب ! َم ِن ا‬ ِ ‫شبَا‬ ‫اَل ه‬
‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ق‬ ٌ ‫ص ْو ِم ; فَ ِإنههُ لَهُ ِو َجا ٌء ) ُمت ه َف‬ ‫ست َ ِط ْع فَعَلَ ْي ِه ِبال ه‬ْ َ‫لَ ْم ي‬

Abdullah Ibnu Mas’ud ‫ رضي هللا عنه‬berkata: Rasulullah ‫صلي هللا عليه وسلم‬
bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara
kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa
belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.”
[Muttafaq Alaihi]

Studi Sanad

Hadits ini termasuk hadits yang paling sahih secara takhrij dan sanad.
Secara takhrij, karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim, sedangkan secara sanad karena hadits tersebut melewati
jalur yang paling valid secara mutlak (Ashah Al Asanid), yaitu Sulaiman
bin Mihran Al A’masy dari Ibrahim An-Nakha’i dari ‘Alqamah bin Qais
An-Nakha’i dari Abdullah bin Mas’ud. Silsilah sanad tersebut dinilai
sebagai sanad terbaik, seperti silsilah sanad Malik dari Nafi’ dari Ibnu
Umar.

Imam Bukhari dan Nasa’i ‫ رحمه اللة‬juga meriwayatkan hadits yang sama
dari Al-A’masy dengan jalur yang berbeda, yaitu dari ‘Ammarah bin
‘Umair dari Abdurrahman bin Yazid. Sanad tersebut sahih. Jadi, Al-
A’masy memiliki dua jalur dalam riwayat hadits ini.

Sababul Wurud (Sebab Turunnya Hadits)

Imam Bukhari dan Nasa’i meriwayatkan dari Al-A’masy, dia berkata:


‘Ammarah dari Abdurrahman bin Yazid berkata: Aku bersama
‘Alqamah pernah mendatangi Abdullah (Ibnu Mas’ud), lalu beliau (Ibnu
Mas’ud) berkata: Dahulu kami adalah para pemuda yang tidak memiliki
sesuatu apapun, lalu Rasulullah ‫ صلي هللا عليه وسلم‬bersabda, “Wahai
segenap para muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu
berkeluarga hendaknya ia kawin, dst”.

Dalam riwayat Muslim: Aku (Abdurrahman bin Yazid) dan pamanku


(‘Alqamah) dan Al Aswad pernah mendatangi Abdullah bin Mas’ud
‫رضي هللا عنه‬. Beliau (Ibnu Mas’ud) berkata: “Pada saat itu aku masih
seorang pemuda”. Lalu beliau menyebutkan hadits itu, seolah-olah
beliau menyebutkannya karena aku. Tak lama setelah itu pun aku
menikah.

Gharibul Hadits (Istilah-Istilah Asing)

 Ma’syar, artinya sekelompok atau segenap orang yang memiliki


sifat tertentu, seperti segenap pemuda, segenap orang tua, segenap
para nabi dan sebagainya.
 Syabab: bentuk plural (jamak) dari Syab, artinya para pemuda.
 Ba’ah, secara bahasa berarti jima’ (bersenggama) kemudian
dipakai untuk menyatakan akad nikah.
 Wija’, artinya tameng. Orang yang berpuasa seolah-olah memiliki
tameng yang dapat melindungi dirinya.

Musykilul Hadits

Imam Nawawi ‫ رحمه اللة‬dalam kitabnya Syarah Muslim mengatakan


bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata Ba’ah
dalam hadits tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa yang
dimaksud Ba’ah di sini adalah maknanya secara bahasa, yaitu jima’. Jadi
bunyi hadits tersebut menjadi, “Barangsiapa di antara kalian telah
mampu berjima’, hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum mampu
berjima’, hendaklah ia berpuasa untuk menahan syahwat dan air
maninya, sebagaimana tameng yang menahan serangan”.

Jika yang dimaksud Ba’ah adalah jima’, maka objek dari hadits tersebut
adalah para pemuda yang memiliki hasrat yang besar terhadap lawan
jenisnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud Ba’ah adalah


kemampuan seseorang untuk memberikan nafkah dan keperluan
pernikahan. Jadi, bunyi haditsnya menjadi,

“Barangsiapa di antara kalian telah mampu memberikan nafkah dan


keperluan pernikahan, hendaklah ia menikah. Barangsiapa belum
mampu memberikan nafkah dan keperluan pernikahan, hendaklah ia
berpuasa untuk menahan syahwatnya”.

Makna dan Uslub

Rasulullah ‫ صلي هللا عليه وسلم‬mengarahkan anjuran dan motivasi untuk


menikah ini kepada para seluruh umatnya, khususnya para pemuda.
Beliau bersabda, “Wahai segenap para pemuda”. Kata “Ma’syar” yang
berarti “segenap” menyiratkan makna kemanusiaan dan sosial yang
menjadi ciri masyarakat Islam. Beliau tidak menggunakan kata lain
seperti “Ya Ayyuha Syabab” misalnya, karena kata “Ma’syar” memiliki
nuansa cinta dan kasih sayang dalam komunitas muslim. Hal ini
merupakan salah satu bentuk kepedulian Islam terhadap persoalan para
pemuda, sehingga Islam memberikan perhatian yang khusus bagi
mereka, yaitu anjuran untuk segera menikah bagi yang telah mampu.

“Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa”. Beliau


menggunakan kata “Alaihi” yang berarti “hendaklah” untuk menyatakan
makna banyak. Artinya, “hendaklah ia memperbanyak berpuasa”.
Beliau tidak menggunakan kata “Fal Yashum” misalnya, yang berarti
“berpuasalah”, karena kata itu bermakna puasa yang sehari atau dua hari
saja. Adapun kata “Alaihi Bishoum” bermakna memperbanyak
berpuasa.
Hadits tersebut di atas juga memberikan hikmah yang sangat penting
dalam pernikahan, yaitu “karena ia lebih mampu menjaga pandangan
dan lebih mampu memelihara kemaluan”. Ini merupakan jaminan yang
sangat penting bagi umat manusia yang ingin memelihara pandangan
dan kemaluannya.

Dalam hadits tersebut terdapat Shighat Tafdhil yaitu kata “Aghaddu”


dan “Ahshonu” yang berarti “lebih mampu menundukkan” dan “lebih
mampu memelihara” untuk menunjukkan tujuan daripada pernikahan,
yaitu terpeliharanya pandangan dan kemaluan. Kata tersebut juga
memberikan pemahaman bahwa keimanan memiliki kemampuan
menundukkan dan memelihara sebagian pandangannya, sedangkan
pernikahan memiliki kemampuan yang lebih besar dan kuat.

Kemudian hadits tersebut juga memberikan pengarahan bagi para


pemuda yang belum mampu melaksanakan pernikahan untuk
memperbanyak berpuasa, karena puasa mampu menahan gejolak
syahwat.

Isntinbath (Hukum Fikih)

Hadits di atas mengandung hukum-hukum yang sangat penting berkaitan


dengan masalah sosial, di antaranya yaitu:

1. Anjuran dan motivasi yang sangat kuat untuk menikah


Secara lahir, hadits tersebut menunjukkan wajibnya menikah bagi yang
telah mampu. Tentunya yang dimaksud mampu di sini sesuai dengan
pengertian yang telah kita bahas di depan. Pendapat inilah yang diambil
oleh para ulama dari kalangan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari
Imam Ahmad.

Sedangkan mayoritas (jumhur) ulama dan riwayat yang masyhur dalam


mazhab Imam Ahmad mengatakan bahwa hukum menikah bagi yang
telah mampu dalah sunnah, bukan wajib. Tentu saja dengan syarat ia
mampu menahan dirinya dari perbuatan dosa (seperti zina, onani,
masturbasi, dsb). Jika tidak, maka hukum menikah menjadi wajib
baginya menurut kesepakatan seluruh ulama.

Para ulama menjawab dalil Zhahiriyah dengan sabda Rasul ‫صلي هللا عليه‬
‫وسلم‬, “Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa”. Jika berpuasa
disunnahkan, maka menikah pun demikian, karena puasa adalah sebagai
ganti dari menikah.

2. Hukum menikah bagi setiap orang berbeda-beda sesuai kondisinya.


Berikut ini rinciannya:

 Wajib, bagi yang khawatir terjerumus ke dalam perbuatan dosa,


sementara ia mampu menikah.
 Haram, bagi yang belum mampu berjima’ dan membahayakan
kondisi pasangannya jika menikah.
 Makruh, bagi yang belum membutuhkannya dan khawatir jika
menikah justru menjadikan kewajibannya terbengkalai.
 Sunnah, bagi yang memenuhi kriteria dalam hadits di atas
sedangkan ia masih mampu menjaga kesucian dirinya.
 Mubah, bagi yang tidak memiliki pendorong maupun penghalang
apapun untuk menikah. Ia menikah bukan karena ingin
mengamalkan sunnah melainkan memenuhi kebutuhan bilogisnya
semata, sementara ia tidak khawatir terjerumus dalam
kemaksiatan.

Akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa poin terakhir ini hukumnya


sunnah sebagaimana sebagian ulama mengambil pendapat ini
berdasarkan hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah secara
mutlak.

Qodhi Iyadh berkata: hukum menikah adalah sunnah bagi yang ingin
menghasilkan keturunan meskipun ia tidak memiliki kecenderungan
untuk berjima’, berdasarkan hadits “Sesungguhnya aku merasa bangga
dengan banyaknya jumlah kalian (umatku)” dan juga hadits-hadits yang
secara lahir berisi anjuran untuk menikah.
Hadits-hadits yang berisi anjuran untuk menikah ini sangatlah banyak
sehingga semakin menguatkan perintah ditekankannya menikah bagi
yang telah mampu meskipun ia masih dapat menjaga kesucian dirinya.

3. Menikah merupakan solusi yang tepat dalam mencegah tersebarnya


penyakit masyarakat, yaitu perzinahan, pemerkosaan, seks bebas dan
lain sebagainya.

4. Hadits tersebut juga menjadi renungan bagi para pemerhati masalah


sosial agar memberikan perhatian yang serius kepada para pemuda,
kerena mereka merupakan tulang punggung peradaban umat. Jika para
pemuda di suatu komunitas baik, maka baiklah urusan mereka. Wallahu
A’lamu Bishowab.

Anda mungkin juga menyukai