Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas kehendakNya tugas ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan ke
zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya
yang tanpa lelah mengobarkan semangat jihad fisabilillah.
Dalam pelaksanaan tugas ini, kami banyak mengalami hambatan-hambatan, terutama
disebabkan oleh ketidaktahuan ilmu pengetahuan. Namun berhak bimbingan dan bantuan dari
berbagai pihak laporan ini dapat diselesaikan, walaupun masih banyak dengan kekurangan.
Karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen Pembimbing, yang tidak bosan-bosannya memberikan pengarahan dan bimbingan
kepada kami.
2. Keluarga tercinta yang banyak memberikan dorongan dan bantuan, baik secara moral
maupun spiritual.
3. Rekan-rekan mahasiswa STKIP Banten yang ikut membantu.
4. Dan semua pihak yang banyak memberikan dorongan dan bantuan, baik secara langsung
maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Tidak ada gading yang tidak retak, demikian pepatah mengatakan. Kami menyadari,
sebagai seorang mahasiswa yang pengetahuannya belum seberapa dan masih perlu banyak
belajar, bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna bahkan masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang positif agar tugas ini
menjadi lebih baik dan lebih berdaya guna dimasa yang akan datang.
Semoga tugas yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat bagi kemajuan pendidikan
Indonesia dan pembaca sekalian pada umumnya dan rekan-rekan mahasiswa.

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nikah mut'ah akhir-akhir ini mulai banyak dilakukan oleh sementara umat Islam
Indonesia, terutama kalangan pemuda dan mahasiswa. Praktik nikah mut`ah tersebut
telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran, dan keresahan bagi para orang tua,
ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya, serta
dipandang sebagai alat propaganda paham Syi`ah di Indonesia.

Dan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlus
Sunnah wal Jama`ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi`ah secara umum dan
ajarannya tentang nikah mut`ah secara khusus. Oleh karena itu kami membahas hukum
nikah mut’ah.

B. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan kami dalam membuat makalah ini adalah :
1. Untuk Memenuhi Nilai Tugas dan Syarat Untuk Mengikuti Ujian Akhir Semester
(UAS) Mata Kuliah Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui pengertian nikah mut’ah siri dan campuran.
3. Untuk mengetahui hukum nikah mut’ah siri dan campuran..

C. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalahnya adalah :
1. Apa pengertian nikah mut’ah, nikah siri, campuran ?
2. Ada hukum nikah mut’ah, nikah siri, campuran ?

2
BAB II
PENJELASAN

A. Pengertian Nikah Mut’ah

Mungkin sebagian kita pernah mendengar ada seorang muslimah yang sangat aktif
berdakwah dan berkumpul dalam kelompok-kelompok dakwah mengidap penyakit
kemaluan semacam spilis atau lainnya. Itu bukan sesuatu yang mustahil terjadi, kita tidak
mengatakannya karena terjerumus ke dalam lembah hitam pelacuran, karena hal itu
sangat jauh untuk di lakukan oleh mereka meskipun tidak mustahil, akan tetapi hal ini
terjadi di sebabkan praktek nikah mut’ah atau nikah kontrak yang sesungguhnya telah
dilarang dalam syariat Islam, yang mana nikah model ini membuat seorang wanita boleh
bergonta ganti pasangan dalam nikah mut’ahnya. Mencermati fenomena yang sebenarnya
sudah lama terjadi ini terutama di dunia kampus yang sudah kerasukan virus pemirikan
nikah mut’ah.

Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun
secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan
memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir
sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban
memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri antara keduanya
meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mu’ah itu. (Fathul Bari 9/167, Syarah shahih
muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/169).

B. Hukum Nikah Mut’ah

Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang tercantum
dalam banyak hadits diantaranya:

Hadits Abdullah bin Mas’ud: “berkata: Kami berperang bersama Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami
berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau memberikan kami keringanan

3
untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu”. (HR. Bukhari
5075, Muslim 1404).

Hadits Jabir bin Salamah: “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah
kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah”. (HR.
Bukhari 5117).

Namun hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi para
ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya niakh mut’ah tersebut dengan
perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajih-Wallahu a’lam- bahwa nikah mut’ah
diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah tahqiq Imam Ibnul
Qoyyim dalam zadul Ma’ad 3/495, Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul bari 9/170, Syaikh Al-
Albani dalam irwaul Ghalil 6/314.

Telah datang dalil yang amat jelas tentang haramnya nikah mut’ah, diantaranya:
Hadits Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu: “Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya
Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar
jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407).

Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani Radiyallahu ‘anhu: “berkata:Rasululloh Shallallahu ‘alahi
wa sallam memerintahkan kami untuk nikah mut’ah pada waktu fathu makkah saat kami masuk
Makkah kemudian beliau melarang kami sebelum kami keluar dari makkah. Dan dalam riwayat
lain: Rasululloh bersabda: Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah
mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Alloh telah mengharamkannya
sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah
diceraikan” (HR. Muslim 1406, Ahmad 3/404).

Hadits Salamah bin Akhwa Radiyallahu ‘anhu: “berkata:Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa


Sallam memberikan keringanan keringanan untuk mut’ah selama tiga hari pada perang authos
kemudian melarangnya” (HR. Muslim 1023).

Syubhat dan Jawabannya

Orang-orang yang berusaha untuk meracuni umat islam dengan nikah mut’ah, mereka membawa
beberapa syubhat untuk menjadi tameng dalam mempertahankan tindakan keji mereka, tetapi

4
tameng itu terlalu rapuh. Seandainya bukan karena ini telah mengotori fikiran sebagian pemuda
ummat Islam maka kita tidak usah bersusah payah untuk membantahnya. Syubhat tersebut
adalah

Pemikiran Mereka Yang Menafsirkan bahwa:

Firman Alloh Ta’ala: “Maka apabila kalian menikahi mut’ah diantara mereka (para wanita)
maka berikanlah mahar mereka” (QS. An-Nisa: 24).

Juga karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jelas pernah membolehkan nikah mut’ah,
padahal beliau tidak mungkin berbicara dengan dasar hawa nafsu akan tetapi berbicara dengan
wahyu, dan oleh karena ayat ini adalah satu-satunya ayat yang berhubungan dengan nikah
mut’ah maka hal ini menunjukkan akan halalnya nikah mut’ah. (Lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh
Al-Amili hal 9).

Jawaban Atas Syubhat ini adalah:

Memang sebagian ulama’ manafsirkan istamta’tum dengan nikah mut’ah, akan tetapi tafsir yang
benar dari ayat ini apabila kalian telah menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka
maka berikanlah maharnya sebagaimana sebuah kewajiban atas kalian.

Berkata Imam Ath Thabari setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut: Tafsir yang paling
benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan
mereka maka berikanlah maharnya, karena telah datang dalil dari Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa Sallam akan haramnya nikah mut’ah. (Tafsir Ath-Thabati 8/175).

Berkata Imam Al-Qurthubi: Tidak boleh ayat ini digunakan untuk menghalalkan nikah mut’ah
karena Rasululloh Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah mengharamkannya. (tafsir Al-Qurthubi
5/132).

Dan kalau kita menerima bahwa makna dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu
berlaku di awal Islam sebelum diharamkan. (Al-Qurthubi 5/133, Ibnu Katsir 1/474).

Kesalahan Pemikiran Pendukung Nikah Mut’ah  Berikutnya adalah:

5
Hadits Abdullah bin Mas’ud, Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Akwa’ diatas menunjukkan
bahwa nikah mut’ah halal.

Maka Jawaban atas Hal ini adalah:

Semua hadits yang menunjukkan halalnya nikah mut’ah telah di mansukh. Hal ini sangat jelas
sekali dengan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang artinya: “Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya dahulu saya telah mengizinkan kalian mut’ah dengan wanita. Sekarang
Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat”

Berkata Imam Bukhari (5117) setelah meriwayatkan hadits Jabir dan Salamah: Ali telah
menjelaskan dari Rasululloh bahwa hadits tersebut dimansukh.

Syubhat Berikutnya adalah:

Sebagian para sahabat masih melakukan nikah mut’ah sepeninggal Rasululloh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sampai umar melarangnya, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat,
diantaranya:
Dari jabir bin Abdullah berkata: Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau
tepung pada masa Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa sallam juga Abu Bakar sampai umar
melarangnya.(Muslim 1023).

Jawaban bagi Seorang Muslim yang Taat Kepada Alloh Ta’ala:

Riwayat Jabir ini menunjukkan bahwa beliau belum mengetahui terhapusnya kebolehan mut’ah.
Berkata Imam Nawawi: Riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang masih melakukan nikah
mut’ah pada Abu bakar da Umar belum mengetahui terhapusnya hukum tersebut. (Syarah Shahih
Muslim 3/555, lihat pula fathul bari, zadul Ma’ad 3/462).

Perkataan yang salah dari salah seorang tokoh Nikah Mut’ah kontermporer:

Tidak senua orang mampu untuk menikah untuk selamanya terutama para pemuda karena
berbagai sebab, padahal mereka sedang mengalami masa puber dalam hal seksualnya, maka

6
banyaknya godaan pada saat ini sangat memungkinkan mereka untuk terjerumus ke dalam
perbuatan zina, oleh karena itu nikah mut’ah adalah solusi agar terhindar dari perbuatan keji itu.
(lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh husan Yusuf Al-Amili hal 12-14).

Jawaban atas Syubhat ini adalah:

Ucapan ini salah dari pangkal ujungnya, cukup bagi kita untuk mengatakan tiga hal ini :
Pertama: bahwa mut’ah telah jelas keharamannya, dan sesuatu yang haram tidak pernah di
jadikan oleh Allah sebagai obat dan solusi.

Kedua: ucapan ini Cuma melihat solusi dari sisi laki-laki yang sedang menggejolak nafsunya
dan tidak memalingkan pandangannya sedikitpun kepada wanita yang dijadikannya sebagai
tempat pelampiasan nafsu syahwatnya, lalu apa bedanya antara mut’ah ini dengan pelacuran
komersil????

Ketiga: islam telah memberikan solusi tanpa efek samping pada siapapun yaitu pernikahan yang
bersifat abadi dan kalau belum mampu maka dengan puasa yang bisa menahan nafsunya,
sebagaimana sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang artinya: “Wahai para
pemuda, barang siapa yang mampu menikah maka hendaklah menikah, karena itu lebih bisa
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu maka
hendaklah dia berpuasa karena itu bisa menjadi tameng baginya”. (HR. Bukhari 5066, Muslim
1400). Wallahu a’lam.

7
BAB III
Definisi Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan :
Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri)
dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan
tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi
ketentuan-ketentuan syariat; 
Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan
pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak
mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan
melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. 
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu;
misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap
tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang
untuk merahasiakan pernikahannya.
2.2 Landasan Terkait Catatan Pernikahan
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil
adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-
benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah
sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah
memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan
majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang
lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan
pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan
orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi
negara.
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan
sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakanmukhalafat. Pasalnya, negara (dalam
hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-
aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata
cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan
lain sebagainya.

8
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam
ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan
pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy.Anjuran untuk melakukan walimah,
walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan
(sunnahmuakkadah).

Nikah Siri Menurut Hukum Negara


RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama
Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang biasa
disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat.
Pasal 143 Rancangan Undang-Undang
Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap
orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah
dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan
denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga menyinggung
kawin mutah atau kawin kontrak.
Pasal 144 Rancangan Undang-Undang
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara
selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal
perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3
menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan
kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
3.2 Nikah Siri Menurut Islam
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah
melarang seorang wanita menikah tanpa wali.Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah
hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
‫ال نكاح إال بولي‬
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An
Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak
sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna
semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya
Rasulullah saw pernah bersabda:
‫ فنكاحها باطل‬, ‫ فنكاحها باطل‬,‫أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل‬

9
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya
batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy.].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
‫ال تزوج المرأة المرأة ال تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها‬
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak
berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang
wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy.)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali
adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak
mendapatkan sanksi di dunia. Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan,
dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

Adapunfakta kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak
dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil atau tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor
Urusan Agama sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum
positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan
sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda yakni :
1. hukum pernikahannya
2. hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya
tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum.
Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan
di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan
yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah
mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh
syariat.
Berdasarkan keterangan itu dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di
lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya
berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah
memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt.

Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut :


1. wali,
2. dua orang saksi, dan

10
3. ijab qabul.
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat
walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil. selama pernikahan sirri itu memenuhi rukun
dan syarat perkawinan yang disepakati para ulama, maka dapat dipastikan hukum perkawinan itu
ada dasarnya sudah sah, tapi bertentangan dengan perintah Nabi SAW yang menganjurkan agar
perkawinan itu terbuka dan diumumkan…
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat
bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat
untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa
muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
َ ُ‫ب َكاتِبٌ َأ ْن يَ ْكت‬
ُ‫ب َك َما َعلَّ َمه‬ َ ‫يَاَأيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا ِإ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن ِإلَى َأ َج ٍل ُم َس ّمًى فَا ْكتُبُوهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَ ْينَ ُك ْم َكاتِبٌ بِ ْال َع ْد ِل َواَل يَْأ‬
‫ض ِعيفًا َأوْ اَل يَ ْست َِطي ُع َأ ْن‬
َ ْ‫ق َسفِيهًا َأو‬ ُّ ‫ق هَّللا َ َربَّهُ َواَل يَ ْب َخسْ ِم ْنهُ َش ْيًئا فَِإ ْن َكانَ الَّ ِذي َعلَ ْي ِه ْال َح‬ ِ َّ‫ق َو ْليَت‬
ُّ ‫هَّللا ُ فَ ْليَ ْكتُبْ َو ْليُ ْملِ ِل الَّ ِذي َعلَ ْي ِه ْال َح‬
‫ضوْ نَ ِمنَ ال ُّشهَدَا ِء َأ ْن‬ ِ ‫ن ِم ْن ِر َجالِ ُك ْم فَِإ ْن لَ ْم يَ ُكونَا َر ُجلَ ْي ِن فَ َر ُج ٌل َوا ْم َرَأت‬žِ ‫يُ ِم َّل هُ َو فَ ْليُ ْملِلْ َولِيُّهُ بِ ْال َع ْد ِل َوا ْستَ ْش ِهدُوا َش ِهي َد ْي‬
َ ْ‫َان ِم َّم ْن تَر‬
ُ‫ص ِغيرًا َأوْ َكبِيرًا ِإلَى َأ َجلِ ِه َذلِ ُك ْم َأ ْق َسط‬
َ ُ‫ب ال ُّشهَدَا ُء ِإ َذا َما ُدعُوا َواَل تَ ْسَأ ُموا َأ ْن تَ ْكتُبُوه‬ َ ‫َض َّل ِإحْ دَاهُ َما فَتُ َذ ِّك َر ِإحْ دَاهُ َما اُأْل ْخ َرى َواَل يَْأ‬ ِ ‫ت‬
‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح َأاَّل تَ ْكتُبُوهَا‬ َ ‫اض َرةً تُ ِديرُونَهَا بَ ْينَ ُك ْم تُ ِديرُونَهَا بَ ْينَ ُك ْم فَلَي‬ ِ ‫ِع ْن َد هَّللا ِ َوَأ ْق َو ُم لِل َّشهَا َد ِة َوَأ ْدنَى َأاَّل تَرْ تَابُوا ِإاَّل َأ ْن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً َح‬
‫ق بِ ُك ْم َواتَّقُوا هَّللا َ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم هَّللا ُ َوهَّللا ُ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬ َ ُ‫َوَأ ْش ِهدُوا ِإ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم َواَل ي‬
ٌ ‫د َوِإ ْن تَ ْف َعلُوا فَِإنَّهُ فُسُو‬žٌ ‫ضا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي‬
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang
yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan
lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,
(Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan
di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan

11
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
[TQS AL Baqarah (2):

Pada prinsipnya, selama pernikahan sirri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan
yang disepakati para ulama sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dipastikan hukum
perkawinan itu ada dasarnya sudah sah, tapi bertentangan dengan perintah Nabi saw., yang
menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi
fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat.
Bukankahsalahsatuperbedaanperzinaandenganperkawinanitudalamhaldiumumkandanterang-
terangannya.Orang berzinatentutakutdiketahui orang karenaperbuatankeji,
sedangperkawinaningindiketahui orang karenaperbuatanmulia.
3.3 Hal-Hal Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan
1. untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat;
2. memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada
persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai;
3. memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau
belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau
dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang
dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap
perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian
mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang
membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini
tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan
di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi
suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah :
1. Nikah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan
memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu atau kawin kontrak
2. Ada beberapa pendapat tentang hukum nikah mut’ah.
12
3. Tapi dalil yang paling kuat hukum nikah mut’ah adalah haram

B. Saran
Saran dari makalah ini adalah :.
1. Dengan mengetahui hukum nikah mut’ah maka kita harus
menjauhi nikah mut’ah tersebut.
2. Kita harus setia kepada pasangan

DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Abdul. 2007. Nikah Mut’ah dalam Syiah. Depok : Arya Duta

13
Basri, Hasan. 1997. Fatwa Nikah Mut’ah, (online), (http://www.mui.co.id/fatwa, diakses 30
Desember 2009)

Yusuf, Musytari. 2009. Nikah Mut’ah, Zina Berkedok …!!!, (online),


(http://www.mediamuslim.info/nikah-mutah-zina-berkedok, diakses 30 Desember 2009)

14

Anda mungkin juga menyukai