Anda di halaman 1dari 18

LARANGAN MELAMAR WANITA YANG TELAH

DILAMAR (BM 1004) DAN MAHAR (LM 898)

MAKALAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memenuhi Tugas Perkuliahan


Mata Kuliah Hadits Ahkam

Disusun Oleh:

RAIHAN ALIFA RIZKI YUZA

2113040047

Dosen Pengampu:

Dr. LUQMANUL HAKIM, M. Ag

PRODI HUKUM EKONOMI SYARI’AH (C)


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
2023M /1445H

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah


memberikan nikmat serta hidayahnya terutama nikmat kesempatan dan
kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Hadist
Ahkam yang berjudul tentang Larangan Melamar Wanita yang Telah di Lamar
(BM 1004) dan Mahar (LM 898). Kemudian Sholawat beserta salam kita
sampaikan kepada Nabi besar kita Mu hammad SAW yang telah memberikan
pedoman hidup yakni Al-Quran danSunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Penulis meminta maaf apabila dalam penulisan makalah ini banyak
ditemukan kekurangan, karena kesempurnaan itu adalah milik Allah oleh karena
itu sumbangan, saran, kritik pendapat yang sehat dan membangun sangatlah
penulis harapkan agar makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.Tidak lupa
pula penulis mohon ampunan kepada Allah SWT dan juga memintamaaf yang
sebesar- besarnya atas kesalahan penulis. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan menambah wawasan kita semua khususnya mahasiswa/universitas islam
negeri Imam Bonjol Padang dan saya sendiri.

Padang, 17 September 2023

Raihan Alifa Rizki Yuza

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Allah telah menurunkan kepada kita al-Qur’an dan Hadis sebagai
pedoman hidup manusia, al-Qur’an dan Hadis bagaikan kepingan mata uang
yang saling berkaitan satu sama lain. Allah SWT menciptakan manusia dimuka
bumi ini untuk saling berinteraksi, berhubungan satu sama lain, saling
membantu, saling mencintai agar terciptanya kehidupan yang harmonis. Ritual
yang agung dan mulia salah satunya adalah pernikahan. Pernikahan merupakan
salah satu sunnah Rasulullah yang dianjurkan bagi umatnya, karena pernikahan
merupakan salah satu upaya untuk menjaga keturunan (hifz an-nasl). Pernikahan
adalah berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi
satu kesatuan yang utuh dan bermitra.
Didalam tradisi Islam sebelum dilaksanakannya pernikahan biasanya
seorang laki-laki melakukan pinangan (khitbah) terlebih dahulu kepada wanita
yang akan dijadikan istri. Pinangan atau khitbah merupakan pintu gerbang
menuju pernikahan. Menurut Az-Zuhaily khitbah bermakna menampakan, dalam
arti keinginan untuk menampakan perasaan seorang laki-laki kepada perempuan
dengan memberikan pemberitahuan tersebut kepada pihak perempuan atau
keluarga perempuan tersebut.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia,
ia bukanlah sosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup,
sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar memperoleh untuk
makan, tujuan tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam
dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-
Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang
disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah
berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk
melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatunawu).
Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya
1
stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan
perasaan yang berbunga-bunga tidak karuan ketika di suatu tempat bertemu
dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok
yang „special‟ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya
sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat.
Kondisi ini dapat terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang
ikhwan Sebagaimana telah dirumuskan oleh para ulama, syariat islam memiliki
lima tujuan utama, yakni menjaga agama, jiwa/diri, keturunan/kehormatan, akal
dan harta Kita akan jumpai dalam khazanah hukum islam, bahwa siapapun yang
melanggar secara langsung lima perkara utama yang dilindungi syariat tersebut
akan mendapat hukuman yang cukup berat. Misalnya orang yang murtad
terancam dibunuh, yang membunuh terancam qishash, yang berzina terancam
dirajum, orang yang mencuri akan dipotong tangannya dan seterusnya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Larangan Melamar Wanita Yang Telah Dilamar (BM 1004)


1. Hadist Larangan Melamar Wanita Yang Telah Dilamar (BM 1004)
Salah satu konsekuensi adalah haram mengkhitbah wanita
yang telah di khitbah oleh orang lain. Ulama telah berjma'
(bersepakat) akan keharaman khitbah orang kedua setelah
terjadinya khitbah orang pertama pertama. Jika khitbah pertama
telah jelas diterima serta orang pertama tidak memberi izin dan
tidak membatalkan khitbahnya. Sebab meminang wanita pinangan
orang lain berarti menyerang hak dan menyakiti hati peminang
pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu
ketentraman.
a. Ibnu Umar menceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda,

IbnuUmar menceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda,


"Janganlah sebagian kalian melakukan transaksi jual-beli atas barang yang
masih belum selesai transaksi jual-belinya oleh orang lain.”

b. Muslim, Abu Daud, dan An-Nasa'i

Muslim, Abu Daud, dan An-Nasa'i menambahkan, "Janganlah


seseorang melamar wanita yang telah dilamar oleh saudaranya, kecuali
atas seizinnya."
c. Abu Hurairah

3
Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. melarang seseorang
melamar wanita yang telah dilamar oleh saudaranya. Seorang wanita
tidak boleh meminta seorang laki-laki untuk menceraikan istrinya, agar
ia bisa menikah dengan si laki-laki tersebut," (HR Al-Bukhari, Muslim,
Abu Daud, An-Nasa'i, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
d. Dalilnya adalah hadist Abu Hurairah ra, bahwasannya Rasulullah SAW
bersabda:

“Janganlah meminang Wanita yang telah dipinang saudaranya, dan


janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya.” (HR
Muslim No: 2519)
e. Didalam Riwayat Ibnu Umar r.a., bahwasannya ia berkata

Dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Janganlah


seseorang di antarakamu melamar seseorang yang sedang dilamar
saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau
mengizinkannya." (HR Bukhari -Muslim. Lafaz hadis ini milik Bukhari
Hadis No. 1004)

a) Takhrij Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari (5142) dan Muslim (2/1032)

b) Syarah Hadis

4
: meninggalkan pertunanganan

: lelaki pertama mengizinkan orang lain untuk


meminang tunangannya

: (atau peminang memberinya izin) . yakni


hingga peminang pertama memberi izin kepada
peminang kedua. Sedangkan Al-Khatibah adalah
wanita yang dipinang atau dilamar.

: La nihyah (yang berfungsi untuk melarang), fi’il


setelahnya dibaca jazm

: dengan mengkhasrahkan huruf Kha’, adalah


meminta kesediaan seorang wanita untuk
menikahi

Pelarangan ini sangat jelas dalam mengharamkan orang lain


mengkhithah wanita yang setelah khutbah pertama disetujui. Karena
hal ini dapat menimbulkan permusuhan. Adapunjika khithah pertama
belum selesai atau masih dalam tahap musyawarah atau dalam
kondisi ragu-ragu, pendapat yang paling benar adalah tidak
diharamkannya untuk melakukan khitbah kedua. Akan tetapi dalam
kondisi demikian, menurut ulama mazhab hanafi, makruh hukumnya
melakukan khitbah kedua setelah khitbah pertama, karena
keumuman pengertian hadits dalam melarang mengkhitbah
Perempuan.
Walaupun demikian etika islam menganjurkan agar tidak
tergesa- gesa melakukan khitbah kedua hingga usai masa
kebimbangan dan negosiasi dikarenakan adanya khitbah pertama
yang belum usai dan masih dalam tahap musyawarah. Hal ini demi
5
menjaga hubungan kasih sayang diantara manusia serta menjauhi
tumbulnya permusuhan dan kedengkian antar sesama muslim.
c) Kesimpulan Hadits

Haram hukumnya meminang (melamar) Wanita yang sudah dilamar


oleh orang lain, sampai ia membatalkan lamarannya atau
mengizinkannya (Mardani, 2012: 225-226)

2. Pandangan Ulama Tentang Larangan Mengkhitbah Wanita yang Telah


Dikhitbah
Menurut Imam An-Nawawi, bahwa larangan yang terkandung dalam
hadist tersebut berakibat haram, berdasarkan ijma'. Wanita yang dipinang itu
milik si peminang (selama proses khithah). Ulama-ulama dari kalangan
madzhah Hanbali mengatakan, bahwa letak keharamannya ialah kalau
wanita yang dilamar atau walinya yang diberi izin tegas-tegas menjawabnya.
Jadi kalau mereka justru menolaknya, maka tidak ada keharaman sama sekali.

Para ulama madzhab Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa


pengharaman ini berlaku jika wanita yang dipinang menyatakan secara tegas
atau walinya yang dia izinkan. Jika yang kedua tidak mengetahui perihal
tersebut, maka boleh meminangnya karena pada asalnya adalah dibolehkan.
Menurut Imam asy-Syafi'i, makna hadits dalam ini ialah bila seorang prin
meminang wanita lalu ia ridha dengannya dan (hatinya merasa) mantap
kepadanya, maka tidak boleh seorang pun melamar pinangannya. Jika
seseorang tidak mengetahui kerelaannya dan kemantapan pilihannya, maka
tidak mengapa dia meminangnya.

Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais yang telah diceraikan


suaminya Abu Amru bin Hafsah tiga kali, kemudian beliau datang kepada
Rasulullah SAW mengadu:

6
Artinya: dari Abu Salamah Ihm Abdur Rahman dan Al-Harits ibnu
Abdur Rahman dari Muhammad Ibnu Abdur Rahman Ibnu Tsauban berkata,
bahwa mereka berdua telah bertanya pada Fatimah binti Qais tentang
dirinya (Fatimah), Jawab Fatimah: "suamiku telah menceraikan dengan
talak tiga Ketika aku dalam masa iddah, ia mengirimku makanan yang di
dalamnya ada sesuatu maka aku katakan "demi Allah, andaikan aku
mempunyai belanja dan Tempat tinggal niscaya akan kubuang makanan ini
dan tidak akan aku terima pemberiannya". Maka berkatalah orang yang
mengantar makanan itu: "sebenarnya kamu tidak berhak mendapat tinggal
dan belanja. Maka ketika aku datang pada Rasulullah SAW talu kuceritakan
pada beliau semua kejadian in Kata belian: "jika kamu tidak ada tempat
tinggal dan belanja, maka tinggallah kamu di rumah Ummu Syarik". Aku
berkata: "Ummu Svarik adalah wanita yang banyak tammuva" Maka beliau
berkata "tinggal saja di rumah Ibn Ummu Maktum, karena la orang yang
buta. Jika masa iddahmu habis, dan kamu telah dihalalkan menikah lagi, dan
segeralah kamu memberitahu padaku Maka setelah masa iddahku habis, aku
segera memberitalni pada beliau Tanya beliau siapa saja lelaki yang
melamarna?" jawabku: "Mu'awiyah dan seorang lagi dari suku Quraisy"
Kata hehau: "adapm Mu'awiyah, la adalah pemuda Quraisy". Kata beliau.
"adapun Mu'awiyah, ia adalah pemuda Quraisy yang tidak punya apa-apa,
sedangkan orang yang satunya in, ia terkenal suka memukul istri.
Bagaimana kalau kamu nikah dengan Usamah thu Zaid?" jawabku: "aku
tidak mencintainya" Setelah Rasulullah SAW mengulanginya tiga kali, maka

7
aku menerimanya, dan menikahlah aku dengan Usamah

8
Fatimah telah memberitahukan Rasulullah SAW bahwa Abu Jahm dan
Mu'awiyah telah melamarnya, dan tidak ragu-ragu dengan izin Allah swt
bahwa lumaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain,
dan Rasulullah SAW pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak
melarang salah satu dan keduanya. Dan juga tidak didapatkan bahwa Fatimah
telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah
SAW melamar Fatimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya
dalam keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang sudah
dilamar orang lain), juga tidak didapatkan bahwa Rasulullah SAW melarang
perbuatan Mu'awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa
salah seorang dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi,
jika Perempuan yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang,
maka dalam keadaan seperti ini, orang lain tidak boleh melamarnya lagi.
3. Hukum Meminang Wanita yang telah dipinang

Meminang wanita yang telah dipinang orang lain dihukumi haram


apabila perempuan tersebut telah menerima pinangan yang pertama dan
walinya telah jelas-jelas mengizinkannya. Akan tetapi meminang wanita tetap
diperbolehkan apabila:
4. Wanita atau walinya menolak pinangan pertama secara terang-
terangan maupun sindiran.
5. Laki-laki kedua tidak tahu bahwa wanita tersebut telah dipinang oleh
orang lain.
6. Peminangan pertama masih dalam tahap musyawarah

7. Lelaki pertama membolehkan lelaki kedua untuk meminang wanita. Jika


seorang wanita menerima pinangan lelaki kedua dan menikah.
dengannya setelah ia menerima pinangan pertama, maka ulama berbeda
pendapat, yaitu:
1. Menurut mayoritas ulama, pernikahannya tetap sah, karena meminang
bukan syarat sah perkawinan. Oleh karena itu, pernikahannya tidak boleh
difasakh sekalipun mereka telah melanggar ketentuan khitbah
2. Imam Abu Daud berpendapat bahwa pernikahan dengan peminang kedua

9
harus dibatalkan baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.
3. Pendapat ketiga berasal dari kalangan Malikiyah yang menyatakan
bahwa bila dalam perkawinan itu telah terjadi persetubuhan, maka
perkawinan tersebut tidak dibatalkan, sedangkan apabila dalam
perkawinan tersebut belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan
tersebut harus dibatalkan.
Perbedaan pendapat diantara ulama di atas disebabkan oleh perbedaan
dalam menanggapi pengaruh pelarangan terhadap batalnya sesuatu yang
dilarang. Pendapat yang mengatakan bahwa perkawinannya sah beranggapan
bahwa larangan tidak menyebabkan batalnya apa yang dilarang, sedangkan
pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan tidak sah dan harus dibatalkan.
beranggapan bahwa larangan menyebabkan batalnya sesuatu yang dilarang,
4. Hikmah Larangan meminang wanita yang telah dipinang

Hikmah dari pelarangan melamar wanita yang telah dilamar adalah


menihilkan permusuhan dan kemarahan yang bisa menyebabkan satu pihak
menganggap dirinya suci dan mencela pihak lain. Padahal menganggap suci
diri sendiri adalah tindakan tercela Ibnu Abidin yang merupakan salah
seorang ulama fikih Mazhab Hanafi mengatakan bahwa sebuah pinangan
yang menimpali pinangan lain merupakan bentuk ketidakramahan dan
pengkhianatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, "Sesungguhnya imam
empat mazhab sepakat dalam pernyataan beliau berempat maupun dari para
imam lain tentang haramnya seorang lelaki menimpali pinangan lelaki
muslim yang lain."
Seseorang yang meminang pinangan saudaranya dapat memasukkan
(menyebabkan) permusuhan dalam hati. Karena itu, Islam melarangnya.

10
B. MAHAR (LM 898)

1. Hadist Mahar (LM 898)

2. Arti Hadist
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada
kami Abdul Aziz bin Muhammad telah menceritakan kepadaku Yazıd bin Abdullah
bin Usamah bin Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan
kepadaku Muhammad bin Abi Umar Al-Makki sedangkan lafazhnyadari dia, telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz Abdurrahman bahwa dia berkata, Saya pernah
bertanya kepada Aisyah, shallallahu 'alaihi wasallam, Berapakah maskawin
Rasulallah shallallahu 'alaihi wasalam" Dia menjawab, mahar beliau terhadap para
istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy Tahukah kamu, berapakah satu nasy
itu?Abu Salamah berkata. Saya menjawab, Tidak Aisyah berkata setengah uqiyah
jumlahnya sama dengan lima ratus dirham Demikianlah maskawin Rasulallah
shallallahu 'alaihi wasallam untuk masing- masing istri beliau"
3. Syarah Hadist
Kalimat mahar berasal dari kata Arab yaitu al- Mahr, bentuk pluralnya muhur
dan mahurah(Nurhadi, 2020, 37). Mahar atau mas kawin yang dalam kitab-kitab fiqh
klasik disebut juga dengan sadaq, nihlah, faridah, aliqah, „iqar atau ajr adalah
pemberian yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada
mempelai perempuan pada saat akad pernikahan.
Secara istilah, mahar ialah “pemberian wajib dari calon suami kepada calon
istri sebagai ketulusan cinta kasih calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih
bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau “suatu pemberian yang diwajibkan
bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk, jumlah dan jenisnya
disepakati oleh kedua belah pihak.
Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat tentang redaksinya,namun
maksud dan tujuannya sama. Pendapat-pendapat tersebutadalah sebagai berikut:

11
1) Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa mahar adalah harta yang menjadi
hak istri dari suaminya dengan adanya akad.
2) Golongan Malikiyah be1rpendapat bahwa mahar adalah sesuatu yang
diberikan kepada istri sebagai ganti (imbalan) dari istimta” (bersenang-
senang) dengannya”.
3) Golongan Syafi‟iyah berpendapat bahwa mahar adalah sesuatu yang menjadi
wajib dengan adanya akad nikah atau watha” atau karena merusakkan
kehormatan wanita secara paksa”.
4) Golongan Hanabilah berpendapat bahwa mahar adalah suatu imbalan dalam
nikah baik yang disebutkan di dalam akad atau yang diwajibkan sesudahnya
dengan kerelaan kedua belah pihak( Suwanto, 2022, 85-86).

Dalam KHI Pasal 1 huruf d disebutkan bahwa:

“Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon


mempelai wanita, baik dalam bentuk barang, uang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.”
Berdasarkan pasal tersebut, dipahami bahwa mahar ataumaskawin
merupakan pemberian wajib dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita yang dapat berbentuk barang maupun jasa sepanjang
tidak bertentangan dengan hukum Islam (Sebyar, 2022, 21-22).
Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa mahar merupakan syarat nikah,
bukan rukun, dengan alasan bahwa Islam. Membolehkan nikah tafwidh(Al-
Zui, 1989, 36). Akan tetapi, hukum mahar itu wajib artinya seorang laki-
laki yang menikahi seorang perempuan wajib. Menyerahkan mahar kepada
istrinya itu, dan berdosa jika melakukan sebaliknya. Hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 30 Kompilasi Hukum Islam yaitu calon mempelai
pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah,
bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Hukum mahar adalah Wajib dan apabila tidak dipenuhi maka
perkawinan atau pernikahannya tidak sah. Dasar hukumnya adalah ayat
dan hadis Nabi saw.

 Surah Annisa ayat (4)

12
 Hadis tentang keharusan memberi mahar (sebagai bentuk
kesungguhan)
Hadis yang menjadi dasar hukum adanya mahar dalam Perkawinan
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu
Majjah: “Dari Amir bin Rabi‟ah, sesungguhnya perempuan dari suku
fazarah telah menikah dengan maskawin dua sandal, maka Rasullullah
saw. Bertanya kepada perempuan itu,sukakah engkau menyerahkan dirimu
serta rahasiamu dengan dua sandal itu? Jawab perempuan itu, ya, saya rida
dengan hal itu‟. Maka Rasullullah saw. Membiarkan pernikahan tersebut.”
(H.R. Ahmad, Ibnu Majjah, Dan Tirmidzi) ( Putri, 2020, 33-34)

13
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Larangan Melamar Wanita Yang Telah Dilamar (BM 1004)
a. Dari pembahasan penjelasan hadist diatas dapat disimpulkan bahwa Haram
hukumnya seorang pria melamar wanita yang telah menerima lamaran pria
lain yang telah disampaikan sebelumnya kepada wanita tersebut atau
kepada walinya, atau wanita terschatselab mengizinkan walinya untuk
menerima lamaran sang pelamar atau untuk dinikahkan dengannya, hark hal
itu dilakukan secara terang-terangan ataupun melalui isyarat.
b. “Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar
oleh saudaranya sampai la menikahinya atau meninggalkannya”
c. Janganlah seseorang ini meminang wanita pasangan sundaranya sehingga si
peminang sebelum dia meninggalkan wanita tersebut atau diberi izin
olehnya. (HR Bukhari)
d. Seandainya wanita yang telah dilamar kemudian menolak lamaran pria yang
telah melamarnya, atau ia belum memberikan jawaban kepadanya, atau ia
masih sedang meneliti pria yang telah melamarnya itu, maka dalam keadaan
seperti ini, boleh bagi pria lain untuk melamarnya. Artinya, wanita tersebut
belum dianggap telah dilamar oleh seorang pun.
e. Akan tetapi perlu diperhatikan agar jangan sampai wanita yang akan kita
lamar sedang dalam lamaran orang lain. Pelarangan ini sangat jelas dalam
mengharamkan orang lain mengkhitbah wanita yang setelah khitbah
pertama disetujui. Karena hal ini dapat menimbulkan permusuhan. Adapun
jika khitbah pertama belum selesai atau masih dalam tahap musyawarah
atau dalam kondisi ragu-ragu, pendapat yang paling benar adalah tidak
diharamkannya untuk melakukan khitbah kedua.
2. Mahar (LM 898)
Secara bahasa Mahar atau mas kawin yang dalam kitab-kitab fiqh
klasik disebut juga dengan sadaq, nihlah, faridah, aliqah, 'iqar atau ajr
adalah pemberian yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau
keluarganya) kepada mempelai perempuan pada saat akad pernikahan.

14
Secara istilah, mahar ialah "pemberian wajib dari calon suami kepada calon
istri sebagai ketulusan cinta kasih calon suami untuk menimbulkan rasa
cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau "suatu pemberian
yang diwajibkan bagi calon suamikepada calon istrinya, baik dalam bentuk,
jumlah dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam KHI Pasal 1
huruf d disebutkan bahwa: “Mahar adalah pemberian dari calon mempelai
pria kepada calon mempelai wanita, baik dalam bentuk barang, uang atau
jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam."
Hukum mahar itu wajib artinya seorang laki-laki yang menikahi
seorang perempuan Wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu, dan
berdosa jika melakukan sebaliknya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 30
Kompilasi Hukum Islam yaitu calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah,bentuk, dan jenisnya disepakati
oleh kedua belah pihak.
B. Saran
Dalam menulis makalah ini penulis menyadari banyak sekali kekurangan
dalam pembuatan makalah, baik itu dalam segi penulisan maupun isi. Oleh karena itu
penulis berharap sekali kepada Bapak/Ibu Dosen Pembimbing dan pembaca
memberikan kritik dan saran agar dapat membangun kesempurnaan dalam
pembuatan makalah dimasa yang akan datang

15
DAFTAR PUSTAKA
Al-'Asqalami, I. H. (n.d.). Terjemah Bulughul Maram: kumpulan hadits hukum
panduan hidup muslim sehari-hari. buku kita.
Al-Hilali, A. U. (2005). Syarah riadhush shalihin. Jakarta: Pustaka Imam Asy- Syafi'i.
Ash-Shan'ani, Muhammad bin Ismail Al-Amir. 2017. Sulubus Salam-Syarah
Bulughul Maram (jilid 3). Jakarta Timur: Darus Sunnah Press.
Baqir, Muhammad. 2016. Fiqih Praktis: Panduan Lengkap Muamalah. Jakarta:
Penerbit Noura.

Khan, M. S. (2009). ENSIKLOPEDIA HADIS SHAHIH. Jakarta Selatan: Hikmah


(PT Mizan Publika).
Mahalli, Ahmad Mudah dan Ahmad Rodli Hasbullah. 2004. Hadis-Hadis

MALANG, T. P.-J.-A. (2021). Syarah Fathal Qarib. Malang: MAHAD AL-


JAMIAH AL-ALY UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG.

Mardani. (2012). Hadis Ahkam. Jakarta: Rajawali Pers.


Rusyd, I. (n.d.). Bidayatul Mujtahid: Referensi Lengkap Fikih Perbandingan Madzhab.
Pustaka Al-Kautsar.

16

Anda mungkin juga menyukai