Anda di halaman 1dari 4

MATERI II

UNSUR-UNSUR HADITS, OTENTISITAS, DAN


FUNGSINYA TERHADAP AL-QURAN

A. UNSUR-UNSUR HADITS
Setiap Hadits minimal mempunyai tiga unsur utama, yaitu: orang yang meriwayatkan Hadits
(rawi), sandaran riwayat (sanad), dan materi, isi atau teks (matan) Hadits. Suatu informasi terkait
dengan ucapan, perbuatan, atau sikap Nabi, tanpa ditemukan rangkaian pembawa informasi (sanad)
tidak dapat dikatakan Hadits. Demikian pula, tidak dapat dikatakan Hadits apabila tidak ada isi
informasi yang disampaikan.
Kajian dan penelitian terhadap validiats sanad dan matan Hadits serta kredibilitas perwinya
adalah sangat penting untuk menilai apakah informasi tentang ucapan, perbuatan, dan ketetapan
Rasulallah SAW yang beredar dikalangan sahabat itu sungguh-sungguh bersumber dari Rsulallah
SAW atau bukan.
Dalam Ilmu Hadits, keberadaan sanad memegang peranan yang sangat penting, karena sanad
merupakan sandaran atau atau tempat menyandarkan kebenaran suatu Hadits. Adapun sanad yang
dimaksud dalam istilah Ilmu Hadits adalah rangkaian orang-orang yang meriwayatkan materi, teks
atau matan Hadits (ucapan, perbuatan, atau sikap Nabi) dari sumber pertama hingga yang terakhir,
yaitu orang pertama yang mendengar atau melihat langsung perbuatan dan bagaimana Rasulallah
SAW menyikapi sesuatu. Pengertian sanad seperti yang disebutkan menunjukkan bahwa yang
dimaksud sanad itu adalah rangkaian orang-orang yang menjadi informan Hadits. Bukan pribadi
atau personal orang perorang secara individual yang menjadi mata rantai pembawa informasi. Orang
perorang atau personal yang menjadi mata raintai itu disebut rawi.
Dalam istilah Ilmu Hadits, penyebutan urutan sanad dan rawi terdapat perbedaan, yaitu para
sahabat yang menerima langsung dari Nabi disebut rawi pertama dan menjadi sanad terakhir, dan
rawi terakhir yang menerima dan menghimpun Hadits dalam suatu kitab disebut sanad pertama,
mudawin, atau mukharrij. Sebagai contoh, misalnya Hadits:
‫حـد ثـنـا مـحـمـد بن الـصـبـاح عن اسـمـاعـيـل بن زكـريـا عن عـبـد هللا عن نـافـع عن ابن عـمـر رضي هللا عـنـهـمـا عن‬
‫ فإذا أمر بالـمـعـصـيـة فـال سـمـع‬,‫ الـسـمـع و الـطأعـة حـق مـالـم يـؤمـر بالـمـعـصـيـة‬:‫الـنـبـي صلى هللا عـلـيـه وسـلـم قـال‬
)‫وال طاعـة لـه (رواه الـبـخـارى‬
Bukhari berkata, telah mengimformasikan kepada kami Muhammad bin Ash-
Shabah yang ia terima dari Ismail bin Zakaria, dari Abdullah dan Nafi’ dari Ibn
Umar r.a, dari Nabi Muhamamd SAW yang bersabda: “Tunduk dan taat pada
pemimpin adalah suatu kewajiban selama pemimpin tersebut tidak memerintahkan
untuk berbuat kemaksiatan. Apabila menyuruh berbuat maksiat, maka tidak ada
kewajiban mematuhi dan menaatinya (HR. Bukhari).

Dalam Hadits tersebut terdapat sederet nama, mulai Muhamamd bin Ash-Shabah hingga Ibn
Umar. Rangkaian orang-orang itu disebut sanad, dan masing-masing mereka secara peronal disebut
rawi. Ibn Umar yang menerima langsung dari Rasulallah SAW disebut rawi pertama dan sanad
terakhir, sedangkan Muhammad bin Ash-Shabah disebut rawi terakhir dan sanad pertama.
Sementara Bukahri disebut rawi, dan disebut mudwwin atau mukahariij, karena beliau yang
menghimpun Hadits-hadits yang ia terima ke dalam satu kitab. Adapun Matan atau teks Hadits
adalah isi atau pesan (masage) yang disampaikan. Matan inilah yang dipakai sebagai dasar bagi
penetapan hukum atau syari’at Islam.

B. OTENTISITAS HADITS

1
Seperti telah dikemukakan, bahwa sanad dan matan Hadits merupakan dua unsur yang
sangat penting, karena itu penelitian dan kajian terhadap kedua unsur itu sangat urgen. Bukan karena
meragukan kedudukan Hadits sebagai sumber syari’at Islam, melainkan untuk menyaring Hadits
dari unsur-unsur luar yang masuk dengan disengaja atau tidak disengaja ke dalam Hadits, atau untuk
menyaring mana Hadits yang sejalan dan tidak sejalan dengan Al-Quran.
Kajian dan penelitian terhadap teks (matan) dan sanad Hadits pada dasarnya merupakan
upaya untuk mengetahui otentisitas Hadits. Analisis terhadap matan hadits sesungguhnya telah
terjadi semenjak Rasulallah SAW masih hidup, seperti yang dilakukan Umar bin Khattab terhadap
informasi yang disampaikan oleh Umayah bi Zaid yang mengatakan bahwa Rasulallah SAW telah
menceraikan isteri-isterinya. Bukan karena Umar tidak percaya atas kredibiltas Umaiyah bin Zaid,
melainkan untuk meyakinkan dirinya akan kebenaran informasi itu, maka Umar bin Khattab
mengkonfirmasikan hal itu langsung kepada Rasulallah SAW untuk memperoleh penjelasan. Dari
konfirmasi tersebut diperoleh penjelasan bahwa rasullah SAW hanya bersumpah untuk tidak
menggauli isteri-isterinya selama satu bulan. Bukan menceraikannya. Dengan begitu, maka Umar
bin Khattab menolak informasi yang disampaikan Umayah.
Penelitian dan kajian yang seksama terhadap Hadits menjadi sangat penting, terutama pada
masa setelah Rasulallah SAW wafat, karena pada waktu itu telah beredar berita-berita bohong
(hadits maudhu’) di kalangan masyarakat, dan hadits-hadits belum ditulis secara resmi. Pada masa
Rasulallah SAW masih hidup, permasalahan pemalsuan Hadits dapat diatasi dengan mudah karena
dapat ditanyakan langsung kepada beliau seperti yang dilakukan oleh Umar bin Kahttab.
Beredarnya Hadits-hadits palsu (maudhu’) di tengah kehidupan beragama masyarakat cukup
mengganggu dan meresahkan, apalagi hadits-hadits tersebut kontradiksi dengan nash-nash lain yang
kuat. Oleh karena itulah para sahabat seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Umar bin Khattab, Usman bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib tidak mudah menerima dan meriwayatkan Hadits. Abu Bakar Ash-
Shiddiq misalnya, tidak mau menerima suatu Hadits yang disampaikan kepadanya sebelum pem-
bawa Hadits itu mengajukan dua orang saksi yang dapat dipercaya. Demikian pula dengan Ali bin
Abi Thalib tidak mau menerima suatu Hadits dari seseorang perawai kecuali setelah menguji sejauh
mana pemahaman perawai tersebut terhadap kandungan isi hadits yang disampaikan dan kesediaan
perawi itu untuk bersumpah.
Pada masa tabi’in dan tabi’ tabi’in, penelitian terhadap Hadits dilakukan dengan mengacu
pada ketentuan, bahwa Hadits yang dapat diterima adalah Hadits yang diriwayatkan oleh orang-
orang kredibel, yaitu orang-orang yang terpercaya dan kuat daya ingatnya, berakhlak mulila dan taat
menjalankan agama (adil), serta memiliki pengetahuan yang mendalam di bidang Hadits. Bahkan
Bukahri sebagai tokoh utama di bidang Hadits, selain mempersyaratkan ketentuan seperti di atas,
juga mempersyaratkan bahwa perawi-perawi tersebut benar-benar bertemu dan matan atau teksnya
terhindar dari kejanggalan dan kecacatan redaksi.

C. FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QURAN


Para ulama telah melakukan kajian yang seksama dan mendalam tentang hubungan atau
fungsi Hadits terhadap Al-Quran. Dari kajian-kajian yang telah dilakukan ditemukan paling tidak
ada tiga fungsi Hadits terhadap Al-Quran, yaitu; mendukung dan mengokohkan Al-Quran (bayan
taqrir), menjelaskan dan memerinci (bayan tafsir) ayat-ayat Al-Quran yang global (mujmal), dan
menetapkan hukum yang tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Quran (bayan tasyri’).
1. Bayan Taqrir
Adapun yang dimaksud dengan bayan taqrir atau sebagai pengokoh dan pendukung Al-Quran
adalah fungsi hadits dalam mengukuhkan ketentuan yapa yang terkandung dalam Al-Quran tanpa
memberi penjelasan atau rincian, sehingga ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Quran benar-
benar menjadi penting. Fungsi Hadits yang demikian dapat dicontohkan misalnya dalam masalah
keimaman (QS.Al-A’raf [7]; 158) dengan Hadits Nabi:

2
)‫االيـمـان أن تـؤمن باهلل ومـالئـكـتـه وكـتـبـه وؤسـلـه والـيـوم االخـر وتـؤمن بالـقـد ر خـيـره وشـره (رواه مـسـلـم‬
Hakikat iman itu adalah, engkau percaya kepada Allah, para Malaikat, kitab-kitab dan
rasul-rasulnya, percaya pada hari akhirat dan beriman pada qadar baik dan buruk.

Dan dalam masalah ibadah misalnya tentang ketentuan Al-Quran mengenai kewajiban berwudhu’
sebelum shalat (QS.Al-Maidah [5]; 6 dipertegas oleh Rasulallah SAW melalui Haditsnya yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah, di mana Rasulallah SAW bersabda:
‫ال تـقـبـل صـالة من احـدث حـتى يـتـوضـاء‬
Tidak diterima sholat seseorang yang berkhadats sebelum ia berwudhu’
2. Bayan Tafsir
Fungsi Hadits sebagai bayan tafsir dalama arti menjelaskan dan memerinci kandungan Al-Quran.
Penjelasan tersebut ada kalanya:
a. Memerinci ayat-ayat Al-Quran yang global (mujmal), misalnya, hadits fi’liyah Rasulallah
SAW yang menjelaskan dan memerinci tentang tata cara melaksanakan shalat, ibadah haji dan
sebagainya yang disebut secara global oleh Al-Quran.
b. Membatasi (takhshish) keberlakuan ayat-ayat Al-Quran yang bersifat umum (al-‘Am), yaitu
ayat-ayat mencakup keseluruhan individun. Misalnya, QS. An-Niasa’ [4]; 24 yang
menegaskan bahwa laki-laki yang hendak berpoligami dilarang menikahi dua orang
perempuan bersaudara kandung. Ini berarti bahwa laki-laki tersebut boleh berpoligmi dengan
menikahi perempuan lain manapun yang tidak disebut dalam ayat tersebut termasuk menikahi
bibi isteri. Tetapi hadits menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wanita lain itu tidak
termasuk bibi isteri, sehingga mempoligami isteri dengan bibinya adalah terlarang (haram)
sebagaimana ditegaskan dalam hadits:

‫ نـهـى رسـول هللا أن يـجـمـع الرجـل بين الـمرأة وعـمـتـهـا وبين الـمرأة وخـا لـتـهـا‬:‫عن أبى هريرة يـقـول‬
(‫)رواه الـبـخـارى ومـسـلـم‬

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah SAW
melarang memadu seorang perempuan dengan bibinya dari pihak bapak maupun
dari pihak ibunya (HR. Bukhari dan Muslim).

c. Memberikan persyaratan (taqyid) pada ayat-ayat mutlak (ayat-ayat yang tidak menentukan
ukuran atau sifat tertentu). Misalnya, Hadits yang memberikan persyaratan atau pembatasan
tertentu dalam menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri (QS. Al-Maidah [5];38) yang
tidak menyebutkan kadar harta yang dicuri dan batas tangan yang dipotong, serta apa yang
dimaksud dengan potong tersebut. Untuk itu Hadits menjelaskan:
)‫ال تـقـطـعـوا يـدى سـارق اال فى ربـع ديـنـار (ىواه مـسـلـم‬
Tangan pencuri tidak dipotong kecuali pada pencuraian yang kadarnya seperampat
dinar atau lebih.

Adapun batas tangan yang dipotong pada pelaksanaan sanksi pemotongan tangan pada pencuri
ditunjukkan oleh Rasulallah melalui hadits fi’liyah bahwa pemotongan tangan itu adalah
sebatas pergelangan tangan, bukan keseluruhan tangan, dan maksud dengan potong tangan itu
adalah dipotong sampai putus. Bukan sekedar melukai.
3. Bayan Tsyri’
Bayan Tsyri’ adalah fungsi Hadits sebagai institusi penetapan hukum sendiri. Fungsi ini ada dua
macam, yaitu:
a. Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas suatu kewajiban yang disebutkan pokok-
pokoknya saja dalam Al-Quran. Misalnya, kasus li’an (QS. An-Nur [24]; 6-9). Ayat tersebut
tidak menjelaskan status pernikahan suami isteri yang terlibat dalam kasus li’an, apakah

3
pernikahan itu masih berlanjut atau putus (cerai). Li’an adalah tuduhan suami pada isteri
bahwa isterinya telah berbuat zina tanpa saksi dan memperkuat tuduhannya dengan empat kali
bersumpah, dan pada yang kelima ia menyatakan bahwa dia bersedia menerima laknat dari
Allah kalau dia berdusta. Demikian pula halnya dengsn si isteri, dia membela diri dan
membantah tuduhan suaminya itu juga dengan bersumpah sebagaimana dilakukan si suami.
Dalam kasus seperti ini, hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud menegaskan bahwa suami dan
isteri itu dipisahkan (fasakh) untuk selamanya.
b. Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al-Quran. Dalam hal ini Nabi memiliki
otoritas atau wewenang untuk menetapkan hukum secara independen (QS. Al-Hasyr [59]; 7).
Oleh karena itu menolak hukum-hukum yang ditetapkan secara independen oleh Hadits sama
artinya dengan menolak Al-Quran yang memberi otoritas kepada Nabi. Penetapan hukum
secara mandiri ini dapat dicontohkan dengan misalnya Hadits yang diriwayatkan An_Nasa’i:
‫ كل ذى نـاب من الـسـبـاع وكل ذى ظـفـر من الـطـيـر‬:‫عن أبى هـريرة عن الـنـبـى صـلـى هللا عـلـيـه وسـلـم قـال‬
)‫فأكلـه حـرام (رواه الـنـسـائ‬
Nasa-iy meriwayatkan dari Abi Hurairah abhwa Rasulallah SAW bersabda
semua jenis binatang buruan yang bertaring dan burung yang bercakar, maka
hukum memakannya adalah haram.

PERTANYAAN:
1. Seperti diketahui bahwa Hadits merupakan informasi terkait dengan ucapan, perbuatan, dan
ketetapan Rasulallah SAW. Lalu bagaimana cara Sahabat Nabi dan Tabi’in memastikan bahwa
apa yang disebut Hadits itu sungguh-sungguh benar bersumber dari Rasulallah SAW.
2. Dalam tiap Hadits minimal ada tiga unsur utama, yaitu sanad, matan, dan rawi. Jelaskan
pengertian ketiga istilah tersebut, dan apa fungsi dari sanad?.
3. Ada pendapat yang mengatakan bahwa di era perkembangan ilmu pengetahuan dan kemampuan
berpikir rasional ilmiah yang telah mencapai kemajuan pesat seperti sekarang ini, umat Islam
tidak lagi memerlukan Hadits, cukup berpegang dan berpedoman pada Al-Quran saja. Apa
komentar Saudara terhadap pendapat tersebut?

CATATAN:
1. Jawaban sudah diterima paling lambat 22 April 2020 via WA dosen (Bukan Group).
2. Bagi yang tidak mengirimkan jawaban dianggap tidak menghadiri kuliah dan dapat
mengyurangi nilai.
3. Untuk materi kuliah tentang Sejarah Pengumpulan dan Pembukuan Hadits pada: Masa
Nabi, sahabat, tabi’in, hingga pembukuannya, silakan cari di berbagai sumber (buku,
internet, dsb).

Anda mungkin juga menyukai