Anda di halaman 1dari 4

PENELITIAN TERHADAP KESAHEHAN HADITS

(Materi Ke-5)

Pada materi kuliah IV tentang klasifikasi Hadits telah diketahui bahwa Hadits dilihat dari sisi
kualiatsnya terbagi kepada Hadits Saheh, Hasan, dan Dha’if. Hadits Saheh adalah Hadits yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil, berdaya ingat kuat, dan tidak
bertentangan dengan riwayat-riwayat yang lain. Sedangkan Hadits Hasan pada prinsipnya sama
dengan Hadits Saheh hanya saja daya ingat perawinya tidak sekuat daya ingat perawi Hadits Saheh.
Sementara Hadits yang tidak memenuhi persyaratan Hadits Saheh ataupun Hadits Hasan
dikategorikan sebagai Hadits Dha’if. Terkait dengan pembagian Hadits tersebut, persoalan yang
muncul adalah bagaimana menentukan kualitas perawi dan ketersambungan sanad untuk dapat
menentukan apakah Hadits itu Saheh, Hasan, ataupun Dha’if?.

1. Kualitas Perawi Hadits


Bagian sanad Hadits yang menjadi sasaran penelitian utama adalah perawi Hadits dalam
sanad yang menjadi rangkaian persambungannya mulai dari periwayat terakhir hingga sampai pada
Nabi. Ini berarti, suatu sanad yang seluruh periwayatnya berdaya ingat kuat tetapi rangkaian
sanadnya tidak bersambung, maka sanad hadits tidak dapat dikatakan sebagai saheh. Demikian pula
sebaliknya, sanad suatu Hadits bersambung, tetapi salah seorang atau lebih periwayatnya ada yang
berdaya ingat kurang kuat, maka sanadnya juga tidak dapat disebut sebagai berkualitas saheh.
Jumlah dan keadaan periwayat yang terlibat dalam suatu sanad cukup banyak dan beragam.
Hal ini dapat dimengerti, karena dalam suatu generasi, seperti generasi sahabat atau tabi’in telah
dimungkinkan lebih dari seorang periwayat yang terlibat dalam meriwayatkan suatu Hadits. Namun
demikian ada di antara periwayat itu yang menjadi saksi atas peristiwa terjadinya suatu Hadits,
mereka ini ada kemkungkinan berperan sebagai periwayat pertama yang langsung menyaksikan atau
saksi primer yang mengalami terjadinya Hadits Nabi, atau mungkin berperan bukan sebagai
periwayat pertama, dalam arti tidak menyaksikan atau mengalami langsung terjadinya Hadits Nabi.
Menurut ulama Hadits, periwayat Hadits yang berstatus sahabat Nabi dinilai bersifat adil
seluruhnya. Namun demikian tidak berarti seluruh sahabat Nabi terlepas dari kritik berkenaan
dengan daya ingatnya. Menurut Al-Dzahabi, sahabat Nabi tidak terlepas dari kekeliruan dalam
meriwayatkan Hadits, hanya saja kekeliruan itu sangat sedikit sehingga tidak mengganggu. Pendapat
Az-Dzhabi ini cukup beralasan, karena pada zaman sahabat, kalangan sahabat sendiri telah
melakukan kritik terhadap sahabat lain tentang daya ingat mereka. Sebagai contoh dapat
dikemukakan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari yang menyatakan bahwa Abdulrahman bin al-
Haris bin Hisyam bin al-Mughirah melaporkan kepada Marwan bin al-Hakam sebuah Hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah dan Ummu Salamah yang berbunyi:
‫ب من أهـلـه ثـم يـغـتسـل ويـصـوم‬،‫أن رسـول هللا صلى هللا عـلـيـه وسـلم كان يـدركـه الـفجـر وهو جـن‬
Aisyah dan Ummu Salamah memberitakan bahwa Rasulallah SAW mendapati waktu fajar
sedang beliau sedang berhadas besar (junub), kemudian beliau mandi dan berpuasa pada
hari itu.
Setelah mendengar Hadits itu, Marwan bin Hakam (Gubernur Madinah pada waktu itu)
langsung menyuruh Abdulrahman bin al-Haris segera menemui Abu Hurairah yang pernah
meriwayatkan Hadits yang berasal dari al-Fadhl bin Abbas yang menyatakan bahwa Nabi pernah
bersabda “ siapa yang pada waktu subuh masih dalam keadaan berhadas besar, maka hendaklah ia
membukakan puasanya”. Pada waktu Abdulrahman bertemu dengan Abu Hurairah, Abu Hurairah
diberi tahu tentang Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah dan Ummum Salamah tersebut. Abu
Hurairah menyatakan bahwa Hadits diriwayatkannya berasal dari al-Fadhl bin Abbas, jadi al-
Fadhallah yang lebih tahu tentang apa yang diriwayatkannya itu. Peristiwa itu menunjukkan bahwa

1
para sahabat Nabi meskupun dinilai adil seluruhnya tapi tidak terlepas dari kritik dalam hal daya
ingatnya.
Untuk mengetahui keadilan priwayat maka prinsip yang digunakan adalah: a) popularitas
keutamaan periwayat yang bersangkutan di kalangan ulama Hadits; b) penilaian dari para kritisi
periwayat Hadits, dan; c) melalui penerapan kaedah al-jarh wa ta’dil oleh para kritikus periwayat
Hadits yang kompeten. Sedangkan cara mengetahui daya ingat periwayat ialah didasarkan pada: a)
kesaksian ulama Hadits; b) kesesuaian riwayat perawi dengan riwayat yang disampaikan oleh
periwayat lain yang telah dikenal keakuratan daya ingatnya, dan; c) seandainya pernah terjadi
kekeliruan, kekeliruan periwayat itu hanya sesekali atau jarang terjadi.
Ulama hadits telah menetapkan syarat-syarat dan norma-norma yang harus dipedomani oleh
kritikus periwayat Hadits. Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
a. Yang berkaitan dengan sikap proibadi, meliputi: berikap adil, tidal bersikap panatik pada aliran
atau mazhab yang dianut, dan; tidalk bersikap bermusuhan dengan periwayat yang berbeda
aliran.
b. Yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, bahwa para ktitikus Hadits haruslah
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam, khususnya berkenaan dengan: ajaran Islam;
bahasa Arab; Hadits dan Ilmu Hadits; pribadi periwayat yang dikritik; adat istiadat, dan; sebab-
sebab keutamaan dan ketercelaan periwayat.
Adapun norma yang harus dipedomani oleh para kritikus periwayat Hadits adalah:
a. Kritikus tidak hanya mengemukakan sifat-sifat tercela yang dimiliki olerh periwayat Hadits
tapi juga harus mengemukakann sifat-sifat utama dari periwayat tersebut (objektif).
b. Sifat-sifat utama yang dikemukakan kritikus perriwayat Hadits dapat dikemukakan secara
global, karena sifat-sifat utama tersebut sulit untuk diungkapkan secara rinci.
c. Sifat-sifat tercela yang dikemukakan secar rinci oleh kritikus Hadits namun tidak dinyatakan
secara berlebih-lebihan (proporsional).
Untuk mensifati kualiats priwayat Hadits, para kritikus periwayat Hadits sering kali
menggunakan kata seperti tsiqat, shaduq, la baksa, dan sebagainya. Istilah tsiqat (berdaya ingat dan
adil) lebih tinggi kedudukannya daripada shoduq (dipercaya), dan shoduq lebih tinggi nilainya
daripada la baksa (tidak mengapa/bolehlah).

2. Kualitas Persambungan Sanad


Seperti telah dikemukakan bahwa kesahehan suatu Hadits tidak hanya ditentukan daya ingat
periwayat tapi juga oleh ketersambungan sanad. Karena itu boleh jadi, suatu Hadits diriwayatkan
oleh periwayat yang berdaya ingat kuat tetapi ada kemungkinan terjadi keterputusan sanad atau
sebaliknya sanadnya bersambung tapi terdapat dalam sanad itu periwayat yang berdaya ingat kurang
kuat, maka hadits tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai Hadits saheh.
Untuk mengetahui ketersambungan sanad, selain melakukan kajian terhadap sejarah hidup
periwayat, juga dapat dilakukan melalui istilah, kata-kata, singkatan kata atau huruf yang digunakan
oleh para periwayat Hadits, seperti kata sami’tu (aku mendengar), sami’na (kami mendengar),
ahbarana (menginformasikan), haddasana (menceritakan kepada kami), haddasani (menceritakan
kepadaku) qaala (berkata) zakara (menye-butkan), kana yaqulu kaza ( mengatakan demikian).
Menurut al-Khatib al-Baghdadi, periwayatan hadits yang menggunakan kata sami’tu lebih
tinggi kualitasnya dari Hadits yang diriwayatkan dengan menggunakan haddasana, dan Hadits yang
diriwayatkan dengan kata haddasana lebih tinggi kualitasnya daripada Hadits yang diriwayatkan
dengan haddasani, karena kata sami’tu menurut al-Khatib al-Baghdadi mengindikasikan bahwa
periwayat mendengar langsung hadits itu dari gurunya atau perawi sebelummnya. Sementara Ibn
Hajar as-Asqalani menyatakan bahwa kata haddasana dan ahbarana lebih tinggi kedudukannya
daripada sami’tu, karena kedua kata tersebut mengindikasikan bahwa periwayat mendengar
langsung bersama periwayat lain.

2
Menurut sebagian ulama, sanad hadits yang mengandung kata anna (hadits mu’nan) atau ‘an
(hadits mu’an’an) mengindikasikan bahwa sanad Hadits tersebut terputus, kecuali jika: a) Dalam
sanad tersebut tidak terdapat penyembunyian informasi (tadlis) yang dilakukan periwayat; b) Antara
periwayat dengan periwayat yang terdekat ada kemungkinan terjadi pertemuan, dan; c) para
periwayat haruslah orang-orang kepercayaan. Oleh karena itu untuk mengetahui sanadnya bersam-
bung atau tidak diperlukan penelitian terlebih dahulu.

TUGAS/ULANGAN KE-5
1. Bagaimana menilai kesohehan suatu Hadits?
2. Apa yang dimaksud dengan al-jarh wa at-ta’dul.
3. Apakah al-jarh wa ta’dil itu tidak terkategori perbuatan ghibah (membuka aib) seseorang. Beri
alasan.
4. Apa yang dimaksud dengan Hadits mu’an’an dan Hadits mu’nan? Dan bagaimana kualiats Hadits
tersebut.

CATATAN; Jawaban sudah terkirim ke dosen paling lambat tanggal 14 Mei 2020 pukul 18.00 WIB.

1. Cara menilai kesohehan suatu hadist dapat dilakukan dengan memperhatikan Bagian
sanad Hadits yang menjadi hal utama seperti perawi Hadits dalam sanad yang menjadi
rangkaian persambungannya mulai dari periwayat terakhir hingga sampai pada Nabi. Ini
berarti, suatu sanad yang seluruh periwayatnya berdaya ingat kuat tetapi rangkaian
sanadnya tidak bersambung, maka sanad hadits tidak dapat dikatakan sebagai saheh.
Demikian pula sebaliknya, sanad suatu Hadits bersambung, tetapi salah seorang atau
lebih periwayatnya ada yang berdaya ingat kurang kuat, maka sanadnya juga tidak dapat
disebut sebagai berkualitas saheh.
2. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta'dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang
dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta'dilannya (memandang lurus para
perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak
riwayat mereka.
3. Tidak. alasannya Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta‟dil, dan tidak
menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan
dalil-dalil berikut :
- Sabda Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam kepada seorang laki-laki : “(Dan) itu
seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya”. (HR. Bukhari).
- Sabda Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang
menanyakan tentang Mu‟awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah
melamarnya : “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya
(suka memukul), sedangkan Mu‟awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta”
(HR.Muslim).
Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan.
Adapun At-Ta‟dil, salah satunya berdasarkan hadits :
Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah
Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan
Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu „anhu). Oleh karena itu, para ulama
membolehkan Al-Jarh wat-Ta‟dil untuk menjaga syari‟at/agama ini, bukan untuk
mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada
perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam
masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta

3
Hadits Mu’an-an adalah hadits yang sanadnya terdapat redaksi ‘an (dari) seseorang
Pendapat ulama ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua fersi:

1) Bahwa hadits yang jalurnya (sanad ) itu menggunakan redaksi ‘an (dari) termasuk dalam
kategori hadits yang sanadnya muttasil. Akan tetapi hadits mu’an’an untuk bisa dikategorikn sebagai
hadits muttasil, harus memenuhi beberapa syarat. Dalam hal-hal syarat ini terdapat dua pendapat:

a) Syarat-syarat yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan sejumlah ahli
hadits lain antara lain:

– Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.

– Harus terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu.

– Perawi bukan termasuk mudallis.

b) Syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:

– Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.

– Perawi bukan termasuk mudallis.

– Hubungan antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu
dimungkinkan untuk bertemu.

Pengertiaanya adalah hadits yang redaksi sanadnya terdapat kata anna. Ulama dalam
mengomentari hadits seperti ini dapat di kalsifikasikan menjadi dua:

1) Bahwa hadits ini sama dengan mu’an’an dari segi muttasilnya, apabila mempunyai syarat-
syarat yang terdapat dalam hadits mu’an-an. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan jumhurul
hadits.

2) Hadits muannan termasuk dalam kategori hadits munqati’ sampai terdapat kejelasan
bahwa murid telah mendengar. Tokoh dari pendapat ini adalah al- Bardaji. Contoh dari hadits ini
adalah hadits yangdiriwayatkan oleh Imam malik dari Ibnu Shihab

Anda mungkin juga menyukai