Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

MUSTHOLAH HADITS
HADITS HASAN DAN HADITS MAUQUF
Dosen Pengampu : Thanil Fawaid,S.Hum, M.Hum

Disusun Oleh :
Kelompok 6
Nurain Mooduto [042049
Puteri Fatihah [04204991]
Fitri Solehat [042049
C\KP\IV

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN


STIKES SURYA GLOBAL YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis-hadis Nabi Muhammad Saw yang ada pada masa sekarang ini telah melewati beberapa masa
hingga akhir nya sampai kepada kita. Selama beberapa masa itu tentu saja hadis-hadis tersebut tidak
melalui metode yang sama untuk sampai kepada kita. Misalnya para sahabat meriwayatkan langsung
dari Rasulullah, selanjutnya para tabi'in meriwayatkan hadis dari para sahabat dan akhirnya kita
mengetahui hadis dari literatur-literatur hadis baik secara langsung maupun tidak langsung. Periwayatan
hadis merupakan proses penerimaan hadis oleh seorang rawi dari gurunya. Dalam periwayatan hadis
ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang rawi agar hadis yang diriwayatkannya bisa
diterima. Periwayatan hadisj uga berbeda dengan syahadah, salah satu perbedaannya ialah periwayatan
hadis oleh seorang perempuan bisa diterima sedangkan syahadah oleh seorang perempuan tidak
diterima. Periwayatan hadis oleh para sahabat, tabi'in tabi'attabi'in dan perawi lainnya memiliki metode
periwayatan yang tidak sama. Tingkatan tertinggi dalam periwayatan hadis adalah sima'i, yaitu
mendengar hadis secara langsung dari sumbernya. Mengenai langsung atau tidaknya hadis itu diperoleh
dari sumbernya dapat diketahui dari lafaz periwayatan yang terdapat pada sanad hadis seperti;
haddatsana, akhbarana, sami'tu dan seterusnya yang selanjutnya akan kita bahas dan kita kaji bersama
dalam pembahasan berikutny.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hadits hasan

2. Apa yang dimaksud dengan hadits mauquf

3. apa saja contoh-contoh hadits tersebut

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian hadits hasan

2. Untuk mengetahui pengertian hadits mauquf

3. Mengetahui contoh hadits tersebut

4. Mengetahui macam-macam hadits mauquf


BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits Hasan

Istilah hasan ada dikarenakan terdapat prasangka baik terhadap perawi hadis da‘if, sehingga hadis
yang diriwayatkan oleh perawi tersebut kualitasnya menjadi hasan, hanya saja derajat hasan pada suatu
hadis tidak sampai pada derajat sahih. Jamaluddin al-Qasimi membagi hadis hasan menjadi dua bagian
yakni hasan li dhatihi dan hasan li ghayrihi. Hasan li dhatihi dalam hal ini disebut hadis sahih [sahih
lighayrihi]. Sedangkan hasan li ghayrihi adalah hadis yang isnadnya tertutup, tidak diketahui riwayat
hidupnya, tetapi tidak dicurigai berdusta dengan sengaja dan tidak berbuat fasiq, selain itu dalam isnad
tersebut didapatkan mutabi dan shahid. Dengan demikian, jika suatu hadis da‘if yang mempunyai sifat
sebagaimana yang telah disebutkan, maka derajat hadis da‘if itu dapat meningkat menjadi hadis hasan li
ghayrihi. Di samping itu, hadis hasan juga bisa meningkat menjadi hasan sahih apabila diketahui bahwa
perawi suatu hadis itu dabit dan thiqah, serta diriwayatkan dari beberapa jalur sanad walaupun
ditemukan dari satu sanad ada yang kurang kuat.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa untuk menciptakan definisi hasan sangatlah sulit,
sebagaimana yang telah diungkapkan oleh al-Dhahabi dalam bukunya yang berjudul al-Muqidhat, beliau
berkomentar bahwasanya sangat sulit untuk membuat definisi hadis hasan yang komprehensif dan
dapat mencakup semua hadis hasan. Banyak hadis yang membuat para hafidh bingung dalam
menentukan kualitas sebuah hadis, apakah hadis tersebut termasuk hadis sahih, hasan, ataukah d}a‘i>f.
Bahkan dari hasil ijtihad seorang hafidh terkadang berubah-ubah, di satu saat dikatakan sahih dan disaat
yang lain dikatakan hasan, bahkan ada dari mereka yng mengatakan sampai pada derajat
melemahkannya Ulama hadis memberikan beragam pendapat dalam mendefinisikan makna hadis
h}asan. Keberagaman pemikiran itulah yang akan melahirkan banyak pendapat. Dalam hal pendefinisian
terhadap hadis hasan, Imam Tirmidhi sengaja memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada para
pakar hadis untuk mendefinisikannya, hal ini dapat diketahui dari ungkapan Imam Tirmidhi pada akhir
definisinya yakni dengan ungkapan ‘indana (menurut kami). Beberapa pendapat ulama hadis mengenai
definisi hadis hasan diantaranya adalah:

1. Abu Sulayman al-Kahattabi dalam kitab Ma‟alim al-Sunan mendefinisikan hadis hasan sebagai berikut:

“Hadis yang sudah diketahui sumbernya, diriwayatkan oleh perawi yang sudah dikenal, hadis terbanyak
yang diterima oleh kebanyakan ulama, serta dipraktikkan oleh ulama fiqh.”

2. Al-Tirmidhi dalam kitabnya mendefinisikan hadis hasan sebagai berikut:

“Hadis hasan adalah hadis yang dalam sanadnya tidak terdapat rawi yang disangka berdusta, tidak
termasuk hadis yang syadz (janggal), dan diriwayatkan dari jalur jalur lain yang sederajat.”

3. Ibn Salah menganjurkan untuk tidak memperselisihkan mengenai definisi hadis hasan, beliau
menyimpulkan hadis hasan menjadi dua yakni hasan li dhatihi dan hasan li ghayrihi:

a. hasan li dhatihi adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang terkenal dengan amanah dan
kejujurannya, akan tetapi kedudukan perawi tersebut tidak sampai pada derajat perawi hadis sahih. Di
samping itu matan hadisnya tidak shadh atau mungkar dan tidak kemasukan cacat. Kesimpulan definisi
ini dilihat dari definisi menurut perspektif Imam Khattabi. b. h}asan li ghayrihi adalah hadis yang salah
satu perawinya ada yang mastur, tidak profesional, tetapi tidak termasuk kategori periwayat yang sering
melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis dan tidak terttuduh berbuat dusta, tidak ada indikasi
kebohongan yang disengaja dan matan hadisnya diceritakan di jalur lain yang menguatkannya, baik
hadis penguat tersebut diriwayatkan dengan lafalnya maupun diriwayatkan dengan maknanya.
Kesimpulan definisi ini dilihat dari perspektif Imam Tirmidhi. Dua definisi tersebut tidak menyodorkan
definisi baru dan redaksi baru, akan tetapi hanya mempertegas definisi dari Imam Tirmidhi dan Imam
Khattabi.32 Ibnu Bakar juga mendefinisikan hadis h}asan, namun definisinya juga hasil dari kombinasi
antara definisi Imam Khattabi dan definisi Imam Tirmidhi dengan menambahkan satu syarat yakni
terhindar dari „illat. Pesyaratan terhindar dari shadh diambil dari definisi Imam Tirmidhi sedangkan
Ittisal al-Sanad serta dabit diambil dari definisi Imam Khattabi.

b. hasan li ghayrihi adalah hadis yang salah satu perawinya ada yang mastur, tidak profesional, tetapi
tidak termasuk kategori periwayat yang sering melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis dan
tidak terttuduh berbuat dusta, tidak ada indikasi kebohongan yang disengaja dan matan hadisnya
diceritakan di jalur lain yang menguatkannya, baik hadis penguat tersebut diriwayatkan dengan lafalnya
maupun diriwayatkan dengan maknanya. Kesimpulan definisi ini dilihat dari perspektif Imam Tirmidhi.

Dua definisi tersebut tidak menyodorkan definisi baru dan redaksi baru, akan tetapi hanya mempertegas
definisi dari Imam Tirmidhi dan Imam Khattabi. Ibnu Bakar juga mendefinisikan hadis h}asan, namun
definisinya juga hasil dari kombinasi antara definisi Imam Khattabi dan definisi Imam Tirmidhi dengan
menambahkan satu syarat yakni terhindar dari „illat. Pesyaratan terhindar dari shadh diambil dari
definisi Imam Tirmidhi sedangkan Ittis}a>l al-Sanad serta d}abit} diambil dari definisi Imam Khat}t}abi.

4. Ibnu Hajar al-„Asqalani (773-852 H) memberikan definisi tentang hadis hasan sebagai berikut:

Khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya,
dengan tidak terdapat „illat atau tidak shadz disebut hadis sahih jika kekuatan ingatannya kurang
sempurna, maka disebut hadis hasan li dhatihi.

Dari beberapa pendapat ulama mengenai definisi hadis hasan di atas, justru yang sering dipakai untuk
mendefinisikan hadis hasan, dan terkesan lebih diterima oleh ulama hadis adalah definisi yang
diungkapkan dari Ibnu Hajar al-„Asqalani. Oleh karena itu, ketika memberikan definisi hadis hasan,
ulama hadis sering menggunakan definisi hadis hasan menurut ibnu Hajar diberbagai kitab karangannya
karena definisinya dianggap definisi yang jami‟ dan mani‟.

Dari beberapa definisi mengenai hadis hasan sebelumnya, dapat diketahui beberapa kriteria hadis hasan
tersebut yakni :

1. Bersambungnya sanad (Ittisal al-Sanad)

2. Para perawinya bersifat ‘Adil

3. Perawinya ada yang kurang dabit

4. Terhindar dari shadh

5. Terhindar dari ‘Illat


B. HADITS MAUQUF

Hadits Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan,
Atau Taqriri. “ Hadist yang diriwayatkan dari para sahabat, yaitu berupa perkataan, perbuatan, Atau
Taqrirnya, baik periwayatannya itu bersambung atau tidak, Pengertian lain menyebutkan : Artinya
“Hadis yang disandarkan kepada sahabat”.

Dengan kata lain hadis mauquf adalah perkataan sahabat, perbuatan, taqrirnya. Dikatakan mauquf
karena sandaran-nya terhenti pada thabaqoh sahabat. Kemudian tidak dikatakan marfu`, karena hadist
ini tidak dirafa`kan atau disandarkan pada Rasulullah SAW. Ibnu Shalah membagi hadis mauquf kepada
dua bagian yaitu mauquf alMausul dan Mauquf Ghair a-mausul. mauquf Al-Mausul, berarti Hadis
mauquf yang sanadnya bersambung. Dilihat dari segi persambungan ini, hadis mauhaif yang lebih
rendah dari pada mauquf Al-Mausul. Adapun hukum hadits mauquf, pada prinsipnya, tidak dapat dibuat
hujjah, kecuali ada qarinah yang menunjukkan (yang menjadikan marfu`)

Kedudukan Pendapat Hadis Mauquf

Terdapat gambaran mengenai hadist mauquf, baik pada lafadh maupun bentuknya akan tetapi
penelitian cermat dilakukan terhadap hakikat nya (oleh para ulama hadist) menunjukan bahwa hadist
mauquf tersebut mempunyai makna hadist marfu’. Oleh karena itu, para ulama memutlakkan hadist
semacam itu dengan nama marfu’, hukuman (marfu’ secara hukum); yaitu bahwasannya hadist tersebut
secara lafadh memang mauquf, namun secara hukum adalah marfu’. Para ulama berbeda pendapat
tentang boleh tidak nya berhujjah dengan hadis mauquf, yang di pastikan keberadaannya dari sahabat
dalam menetapkan hukum-hukum syara’. Al-Razi, Fakhrul islam al-sarkhasi dan ulama muta’akhirin
riwayatnya dari kalangan hanafiyah , Malik dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwa
hadis yang demikian dapat dipakai hujjah, karena tindakan para sahabat merupakan pengalaman
terhadap sunnah dan penyampaian syariat. Sebagaian Ulama hanafiah dan al syafi;I berpendapat bahwa
hadist yg demikian tidak dapat dipakai hujjah karena boleh jadi memang didengar dari nabi Saw. Apabila
suatu hadist mauquf disertai beberapa qarinah, baik lafalnya maupun maknanya yang menunjukkan
bahwa hadis tersebut marfu kepada Nabi Saw Maka ia dihukumi marfu dan dipakai hujjah.1 Pendapat
senada juga dituturkan oleh manna al-Qaththan dalam kitabnya bahwa hadis mauquf sebagaimana yang
telah diketahui bisa shahih, hasan, atau dha’if. Akan tetapi meskipun telah tetap kesahihannya, apakah
dapat berhujjah dengannya? Jawaban atas hal tersebut adalah bahwasanya asal dari hadist mauquf
adalah tidak bisa dipakai sebagai hujjah.2 Hal itu disebabkan karena hadist mauquf hanyalah merupakan
perkataan atau perbuatan dari sahabat saja. Namun jika hadist tersebut telah tetap, maka hal itu bisa
memperkuat sebagian hadist dla’if. Sebagaimana telah dibahas pada hadist mursal.

Macam-macam hadist mauquf ada 3 yaitu :

1) Mauquf pada perkataan

Contoh : perkataan rawi : Telah berkata ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu :“Sampaikanlah kepada
manusia menurut apa yang mereka ketahui. Apakah engkau menginginkan Allah dan Rasul-Nya
didustakan ?” (HR. Al-Bukhari no. 127)

2) Mauquf pada perbuatan Contoh : perkataan Al-Bukhari : “Ibnu ‘Abbas mengimami (shalat), sedangkan
ia dalam keadaan bertayamum.” (HR. AlBukhari, kitab At-Tayammum juz 1 hal. 82.)
3) Mauquf pada taqrir Contoh : perkataan sebagian tabi’in : ”Aku telah melakukan demikian di depan
salah seorang shahabat, dan beliau tidak mengingkariku sedikitpun”.

Contoh Hadis Mauquf

Contoh hadist mauquf terbagi ada 2 yaitu :

1. Hadits Mauquf yang Shahih Contoh berikut ini kita nukil hanya pada matan dan Sahabat Nabi yang
menyampaikannya. Dari Abdullah (bin Mas’ud) –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Sederhana
dalam Sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam kebid’ahan (riwayat al-Baihaqiy dalam
as Sunan al-Kubro, al-Hakim dalam al-Mustadrak, dinyatakan shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim
oleh adz-Dzahabiy) Ini adalah hadits mauquf yang merupakan ucapan seorang Sahabat Nabi Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu anhu. Hadits itu memberikan pelajaran bagi kita bahwa yang terpenting dalam
menjalankan Dien ini adalah ketepatan sesuai dengan Sunnah Nabi. Meski kita hanya sedikit dalam
mengamalkan sunnah Nabi, itu jauh lebih baik dibandingkan banyak ibadah, namun berkubang dalam
kebid’ahan.

2. Hadits Mauquf yang Tidak Shahih Berikut ini adalah contoh hadits mauquf yang tidak shahih, tentang
bacaan di dalam sholat, yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud: (Abu Dawud menyatakan) Telah
menceritakan kepada kami Abu Taubah arRabi’ bin Naafi’ (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada
kami Abu Ishaq yaitu al-Fazaariy dari Humaid dari alHasan dari Jabir bin Abdillah –semoga Allah
meridhainya ia berkata: Kami melakukan sholat tathowwu’ (sunnah), kami berdoa saat berdiri dan
duduk, dan kami bertasbih saat ruku’ dan sujud (H.R Abu Dawud) Hadits ini dinisbatkan sebagai ucapan
Sahabat Nabi Jabir bin Abdillah.

Namun riwayatnya lemah. Meski semua perawinya tsiqoh, namun sanadnya terputus antara alHasan
dengan Jabir. Karena al-Hasan (al-Bashri) tidak pernah bertemu dengan Jabir bin Abdillah. Ali bin al-
Madiniy (salah seorang guru alImam al-Bukhari) menyatakan: Al-Hasan tidak pernah mendengar
(riwayat) apapun dari Jabir bin Abdillah (al-Marosiil karya Ibnu Abi Hatim (1/36). Selain itu, al-Hasan al-
Bashri adalah seorang perawi yang mudallis. Periwayatan darinya lemah dalam riwayat mu’an-‘an,
seperti hadits tersebut. Lebih lanjut tentang mudallis dan mu’an-‘an akan ada pembahasan tersendiri,
insyaallah. Hadits ini secara makna juga lemah, karena bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang
shahih, bahwa pada kondisi berdiri dalam sholat, setidaknya harus membaca alFatihah di dalamnya.
Tidak bisa digantikan dengan sekedar berdoa.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

hadis hasan adalah Khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatannya,
bersambung sanadnya, dengan tidak terdapat „illat atau tidak shadz disebut hadis sahih jika kekuatan
ingatannya kurang sempurna, maka disebut hadis hasan li dhatihi.

Hadits Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, Atau
Taqriri.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Nasir, “Konsep, 57.

Shams al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad al-Dhahabi, al-Muqi>dhat fi> ‘Ilm Mus}t}alah} alHadi>th
(Beirut: Da>r al-Bas}a>ir al-Islamiyah, 1405), 28

Abu> Shuhbah}, al-Wasi>t}, 266.

Ibid., 265-266.

Ibid., 266.

Dalam kitab al-‘Ilal yang terdapat dibagian akhir dari kitab al-Ja>mi‘nya. Al-Tirmidhi>, al-Ja>mi‘ al-
S{ah}i>h, Jld 5 (Mashr: al-Halabi { >, 1968), 340.

Abu> Shuhbah}, al-Wasi>t}, 266. Nuruddin „Itr, ‘Ulu>m al-H{adi>th 2, ter. Mujiyo (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), 32.

Abd. Nasir, “Konsep, 69.

Ibid., 66.

Idri, Studi Hadis, Cet. I (Jakarta: Kencana, 2010), 160.

M. „Ajjaj al-Kha>tib, Us}u>l Al - Hadi>th: Pokok - Pokok Ilmu Hadis, terj. M. Nur Ahmad Musyafiq
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 276-281.

Al-Khathib, Muhammad ‘Ajaj. Ushul al-Hadis, terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq,Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2013.

At-Tabrizi, Abu al-Hasan Ali bin Abi Muhammad Abdillah bin Hasan alArdabili.,Al-Kâfî fî‘Ulum Al ash-
Shiddieqy, M. Hasbi.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,Semarang: PT Pustaka RizkiPutra, 2009.

As-Suyuthi, Jalaluddin. Tadrîbu ar-Râwi fi Syarh Taqrîbu an-Nawâwi, Riyadh: Maktabah al-Kautsar, 1415
H. Abdul Mannan ar-Rasikh. 2006.

An-Nahwy, Al-Imam al-Hafidz Umar bin Ali Ibn., At-Tadzkirah fî Ulum al-Hadîts Oman: DâralUmmar,
1988.

Al-Qaththan, Manna. Mabâhis fî Ulûm al-Hadist,t.t. Maktabah Wahbah, 1996.

Farid, Ahmad. 60 Biografi Ulama Salaf. Terj (Jakarta Timur: Pustaka A; Kausar, 2006)

Anda mungkin juga menyukai