Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HADIST DHOIF DAN HADIS MAUDHU’

DisusunOleh :

Nama : 1. Devi Suciyani (1907026008)


2. Shinta Furry Anggareni (1907026016)
3. Ulfiaeni Sa’adah (1907026025)

Kelas : Gizi 2A

PROGRAM STUDI GIZI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya. Namun pada kasus ini, tidak
semua hadits yang disandarkan kepada Nabi adalah benar. Kadang adanya sebuah
penambahan pada matan, kecacatan pada rawi, terputusnya sanad dan berbagai bentuk
ketidakbenaran lainnya. Dari kasus  seperti ini, maka diadakanlah kodifikasi hadits atau
pembukuan hadits secara rinci yang membagi tingkatan-tingkatan hadits dari
keshahihannya sampai kedhaifannya.
Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhaif. Di mana hadits dhaif ini
adalah salah satu tingkatan hadits yang menjadi sasaran penting untuk dipelajari dalam
disiplin ilmu hadits.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa Itu hadist dhoi’if dan hadist maudhu’?
2.      Apa saja yang terkandung dalam hadis dho’if dan hadist maudhu’?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Dha’if


Hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-
syarat hadits shohih atau hadits hasan.
‫الحديث الضعيف هو ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح و ال صفات الحسن‬
Artinya: “hadits dha’if ialah hadits yang tidah memenuhi kriteria hadits shahih dan hadits
hasan.
Dha’if itu artinya lemah. Hadits dha’if artinya hadits yang lemah, maksudnya
hadits tersebut tidak kuat dijadikan landasan dan sandaran dalam menetapkan masalah
hukum halal dan haram. Hadits dinilai dha’if bukanlah karena Nabi SAW. akan tetapi
disebabkan oleh para periwayat dalam sanadnya yang terlibat dalam proses
periwayatannya.
Ke-dha’if-an hadits disebabkan pada beberapa hal, yaitu:
1.      sanadnya terputus
2.      kualitas moral (ke-‘adil-an) periwayatnya yang cacat
3.      kualitas intelektual (ke-dhabith-an) periwayatnya yang rusak
4.      susunan redaksinya yang bermasalah
5.      kandungan maknanya rancu

B. Klasifikasi Hadits Dha’if


Pada dasarnya hadits dha’if termasuk bagian dari hadits mardud (tertolak). Namun,
tidak semua hadits dha’if tertolak. Ada hadits dha’if  yang dapat diterima dan diamalkan
dengan kriteria tertentu. Dengan demikian ada hadits dha’if yang diterima dan ada juga
yang ditolak. Hadits dha’if dilihat dari segi kehujjahannya dapat diklasifikasikan menjadi
dua macam, yaitu:
A. Hadits dha’if ringan.
Maksudnya hadits yang kedh’ifannya dapat berubah kualitasnya karena mendapat
dukungan yang menguatkan dari hadits-hadits shahih lainnya yang kandungan maknanya
sama, sehingga berubah menjadi hadits hasan li ghairihi. Hadits dha’if yang dapat berubah
kualitasnya menjadi hadits hasan li ghairihi karena didukung dan dikuatkan oleh hadits
shahih lain sebagai mutabi’ atau syahid adalah hadits dha’if ringan yang kedha’ifannya
disebabkan oleh :
1. Sanadnya terputus, seperti hadits mu’allaq, munqathi’, mu’dhal, dan mursal
2. Ke-dhabith-an periwayatnya buruk, misalnya banyak bimbang dan ragu-ragu, atau
hafalan buruk
3. Tidak jelas ke-‘adil-an periwayatnya, misalnya mubham, majhul al-‘ain, dan al-
mastur.
Contohnya:
‫ل‬S‫ك قب‬S‫غلك و حيات‬SS‫ل ش‬S‫ك قب‬S‫رك و فراغ‬S‫ شبابك قبل هرمك و صحتك قبل سقمك و غناك قبل فق‬: ‫اغتنم خمسا قبل خمس‬
‫موتك‬
“perhatikanlah lima sebelum datang yang lima; mudamu sebelum tua, masa sehatmu
sebelum sakit, masa kayamu sebelum miskin, masa luangmu sebelum sbuk, dan masa
hidupmu sebelum meninggal”. Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad,
bersumber dari ‘Amr bin Maimun adalah dha’if, yaitu mursal. Hanya saja dha’ifnya ringan
karena sanadnya tidak bersambung. Hadits tersebut selain bersumber dari ‘Amr bin
Maimun juga bersumber dari Ibnu Abbas. Hakim dan Nasai meriwayatkan melalui jalur
Ibnu Abbas. Melalui sanad ini, kualitasnya shahih. Oleh karena itu hadits dha’if ringan
yang diriwayatkan Tirmidzi, Baihaqi dan Ahmad tersebut berubah kualitasnya menjadi
hadits hasan.

B. Hadits dha’if berat.


Maksudnya adalah hadits dha’if yang kedha’ifannya bersifat paten, tidak berubah
kualitasnya walau sebanyak apa pun hadits shahih lainnya yang semakna dan
mendukungnya. Hadits dha’if yang paling parah atau kelas berat adalah hadits maudhu’
atau hadits palsu. Hadits dha’if berat tidak dapat berubah kualitasnya disebabkan kualitas
moral periwayatnya cacat, seperti dusta, tertuduh dusta, fasik, atau hapalannya rusak atau
kacau (ikhtilath). Hadits dha’if yang diriwayatkan oleh periwayat seperti ini disebut hadits
yang sangat dha’if, seperti hadits maudhu’, hadits munkar dan hadits matruk.
Contoh:
‫اطلبوا العلم ولو بالصين‬
“tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”.
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa riwayat, di antaranya Ibn ‘Adiy (356 H)
dalam bukunya Al-Kamil fi Dhu’afa’ Ar-Rijal, Abu Nu’aim (450 H) dalam
bukunya Akhbar Al-Ashbihan, Al-Katib Al-Baghdadiy (463 H) dalam bukunya Tarikh
Baghdad dan Ar-Rihlah fi Thalab Jami’ Bayan Al-‘Ilm wa Fadhlihi dan lainnya.
Dilihat dari sisi sumber sanadnya, hadits ini melalui al-Hasan ibn ‘Atiyah dari Abu
‘Atikah Tarif ibn Sulaiman dari Anas ibn Malik. Kualitas hadits ini dinilai oleh para ulama
hadits sebagai hadits dha’if. Kedha’ifan hadits ini disebabkan salah seorang periwayatnya
dalam sanadnya bernama Abu ‘Atikah Tarif ibn Sulaiman. Abu ‘Atikah dinilai oleh
kritikus hadits seperti al-‘Uqaili sebagai matruk (tertolak). Bukhari menilai bahwa
haditsnya munkar. An-Nasai menilai haditsnya tidak kuat. Abu Hatim menilai,
haditsnya dzahib (dibuang). Kata as-Sulaimani, Abu ‘Atikan dikenal pernah memalsukan
hadits. Ahmad ibn Hambal (243 H) tidak mengakui hadits tersebut. Ibn Hibban (354 H/965
M) menilai hadits ini bathil, tidak ada dasar dan sumbernya. Bahkan Ibn Al-Jauzi dalam
bukunya koleksi hadits-hadits palsu al-maudhu’at, menilai bahwa hadits tersebut adalah
palsu.

C. Kedudukan Hadits Dhaif
Para muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan.
Yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan.
Dari jurusan sanad diperinci menajadi dua bagian:
1. Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun
kehafalannya, seperti : dusta, tertuduh dusta, fasik, banyak salah, lengah dalam
menghafal, banyak waham, menyalahi orang kepercayaan, tidak diketahui
identitasnya, penganut bid’ah dan tidak baik hafalannya.
2. Tidak bersambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih, yang
digugurkan atau saling tidak bertemunya satu dengan yang lainnya.
           Sebab-sebab tertolaknya hadis karena sanad digugurkan (tidak bersambung) :
1. Kalau yang digugurkan itu sanad pertama.
2. Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (sahabat)
3. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut.
Dari jurusan matan, hadis dhaif yang disebabkan suatu sifat yang terdapat pada matan
ialah:
a. Hadis maufuq ilah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapan baik sanadnya bersambung atau tidak, dengan syarat
sunyi dari tanda-tanda marfu’. Kalau tidak sunyi maka hukumnya marfu’. Seperti
riwayat Bukhari :” adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas keduanya berbuka puasa dan
meringkas shalat pada perjalanan empat burad (12 mil).
b. Hadis maqthu ialah hadis yang disandarkan kepada tabiin dan orang-orang yang
datang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan maupu ketetapan, baik
sanadnya bersambung atau tidak, tetapi dengan syarat sunyi dari tanda-tanda
marfu’ dan mauquf. Contohnya : perkataan tabiin”berbuat demikian”.
Contoh hadis dhaif
‫من قا م ليلتي العيد ين محتسبا هللا لم يمت قلبه يو م تمو ت‬
Arinya: Barang siapa menyamarakkan malam dua hari raya hanya sematmmma-mata
mengharap ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari ketika manusia mati.
Hadis ini sangat dhaif. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah dengan sanad dari
buqayah bin al-walid, dari Tsur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Umamlah r.a,
sanad riwayat ini dhaif dikarenakan Buqayah dikenal sebagai orang yang suka
mencampuradukkan perawi, dengan demikian yang dinyatakan al-Hafizh al-
Iraqi dalam Tahrij al-Ihya-nya.

D. Hukum Periwayatan Hadis Dhaif


Ulama hadis mengingatkan agar orang yang meriwayatkan hadis dhaif  tanpa sanad
tidak meriwayatkan dengan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa ia
merupakan hadis. Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan: Rasulullah SAW.
Menyabdakan begini-begini”dan sejenisnya. Bahkan Ia harus meriwayatkan dengan
redaksi yang menujukkan keraguan akan keshahihannya misalnya; ruwiya (diriwayatkan)
ja’a (datang), nuqila (di pindahkan), fima yurwa. (pada sesuatu yang diriwayatkan) dan
sejenisnya. Adapun meriwayatkan hadis-hadis dhaif lengkap dengan sanadnya tidak di
makruhkan menggunakan redaksi yng menunjukkan kemantapan, bila diriwayatkan
kepada ahli ilmu. Bila diriwayatkan kepada orang awam, maka menggunakan redaksi yang
tidak menunjukkan kemantapan penuh, sama seperti ketika meriwayatkan tanpa
sanad. Para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dhaif sekalipun tanpa
menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat:
1. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.
2. Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram,
Tetapi berkaitan dengan masalahh mau’izhah, targhib watarhib (hadis-
hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.
Berbeda dengan meriwayatkan hadits shahih, harus menggunakan kata aktif yang
meyakinkan Rasulullah SAW bersabda makruh meriwayatkan dengan menggunakan
bentuk kata pasif seperti hadis dhaif. Kecuali jika hadis dhaif diriwayatkan dengan
menyebutkan sanad, sebaiknya dengan menggunakan bentuk kata aktif dan meyakinkan
ketika dikonsumsi oleh kalangan ahli ilmu dan untuk kalangan orang umum boleh dengan
menggunakan bentuk pasif tidak sebagaimana tanpa sanad.
E. Hukum pengamalan hadis dhaif
Para ulama berbeda pendapat dalam pengamalan hadis dhaif. Perbedaan itu dapat
dibagi menjadi tiga pendapat yaitu:
1. Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak baik mengenai fadhilah amal maupun
dalam hukum. Ini diceritakan oleh Ibnu Sayyid an-nas dari Yahya bin Ma’in dan pendapat
inilah yang dipilih Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazam.
2. Hadis dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhilah al-amal atau dalam
masalah hukum (ahkam). Pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat
bahwa hadis dhaif lebih kuat dari pada pendapat ulama.
3. Hadis dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mau’izah, targhib (janiji-janji yang
menggemparkan) dan tarhib m(ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa
persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yaitu sebagai
berikut:
1) Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadis mawdhu’) atau
dituduh dusta (hadis matruk), orang yang daya ingat hapalannya sangat kurang
dan berlaku fasik dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadis
munkar).
2) Masuk kedalam kategori hadis yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadis
muhkan (hadis maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadis lain),
nasikh (hadis yang membatalkan hukum pada hdis sebelumnya) dan rajah
(hadis yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
3) Tidak diyakinkan secara unggul yakin kebenaran hadis dari nabi, tetapi karena
berhati-hati semata atau ikhtiyath.
Hadis-hadis dha’if banyak terdapat pada sebagian karya berikut ini:
1. Ketiga mujani : at-thabari- al-kabir, al-awsat, as-shaghir
2. Kitab al-afrad, karya ad-daruquthni. Didalam hadis-hadis afrad terdapat hadis-hadis
al-fardu al-muthlaq dan al-frdu an-nisb
3. Kumpulan karya al-khathib al-baghdadi
4. Kitab hilyatul auliya ‘wa-thbaqtul ashfiya’kary abu nu’aim al-ashbahani.
F. Pengertian Hadits Maudhu’
Ditinjau dari sisi bahasa, hadits maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari
kata ‫ع – يضغ‬SSSSSS‫وض‬. Kata ‫وضع‬  memiliki beberapa makna, yaitu menggugurkan,
meninggalkan, mengada-ada dan membuat-buat.
Menurut para muhadditsin, hadits maudhu’ adalah
‫هو ما نسب الى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم اختالقا و كذبا مما لم يقله او يفعله او يقره‬.
“sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Secara mengada-ada dan dusta, yang
tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan”.
Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik perbuatan, perkataan
maupun taqrir, secara rekaan atau dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat
Islam, hadits Mmaudhu’ disebut juga dengan hadits palsu.

G. Kedudukan Hadits Maudhu’
Jumhur ahli hadis juga berpendapat, bahwa berdusta termasuk dosa besar. Semua
ahli hadis menolak khabar pendusta. Bahkan Syeikh Abu Muhammad al-juwainiy
mengkafirkan pemalsu hadis. Semua hadis maummmmdhu bathil lagi tertolak dan tidak
bisa dijadikan pegangan, karena merupakan kedustan atas diri rasul SAW.
Disamping sepakat mengenai keharaman membuat hadis palsu, ulama juga
sepakat  mengenai keharaman meriwayatknnya, tanpa menjelaskan kemaudhuannya dan
kedustaannya. MerekaM tidak memperbolehkan meriwayatkan sedikit pun hadis palsu,
baik berkenaan dengan kisah, tarhib, targthib, hukum-hukum ataupun tidak, berdasarkan
sabda Rasulullah SAW
‫من احذث عني بحد ير انه كذب فهواحدالكاذبين‬
Artinya:” Barang siapa yang meriwayatkan dariku sebuah hadis dan terlihat bahwa
mhadis itu dusta, maka Ia juga termasuk satu diantara para pendusta”.
1. Tanda-tanda hadis maudhu
Hadis maudhu dapat diketahui melalui tanda-tandanya baik yang ada pada sanad
maupun pada matan. Tanda-tanda maudhu pada sanad, diantaranya sebagai berikut:
a. Pengkuan dari ornag yang membuat sendiri
Sebagaimana pengakuan abdul Karim bin Abu Al-Auja ketika akan dihukum mati ia
mengatakan: “ demi Allah aku palsukan padamu 4000 buah hadis. Di dalamnya aku
haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram”. Kemudian dihukum pancung
lehernya atas instruksi Muhammad bin Sulaiman bin Ali gubernur Basrah (160-173
H). Maysarah bin Abdi Rabbih al-Farisi mengaku banyak membuat hadis maudhu lebih
dari 70 hadis. Demikian Abu Ishmah bin Maryam yang bergelar Nuh Al-Jami mengaku
banyak membuat hadis maudhu yang disandarkan kepada abbas tentang keutamaan al-
quran.
b. Adanya bukti (qarinah) mengenai pengakuan
Seperti seorang yang meriwayatkan hadis dengan ungkapan yang mantap serta
meyakinkan (jazam) dari seorang syeikh padahal dalam sejarah ia tidak pernah bertemu
atau dari seorang syeikh di suatu negeri yang ia tidak pernah ke sana atau seorang syeikh
yang telah wafat sementara ia masih kecil atau belum lahir. Ma’mun bin ahmad al-kharawi
mengaku mendengar hadis dari Hisyam bin Hammar. Al-hafizh bin Hibban bertanya:’
kapan anda datang ke syam?”, Ma’mun menjwab: “ pada tahun 250 H. “ Ibnu Hibban
menjelaskan bahwa Hisyam bin Amar meninggal pada tahun 245 H. sambut Ma’mun :”
Hisyam bin Amar yang lain. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan bahwa ia tidak
pernah bertemu dengan Hisyam bin Amar.
c. Adanya bukti pada perawi
Adanya indikasi pada perawi yang menujukkan akan kepalsuannya, misalnya
seorang perawi yang rafidhah dan hadisnya berisikan tentang keutamaan ahlul baith.
d. Kedustaan perawi
Seorang perawi yang dikenal dusta meriwayatkan suatu hadis sendirian dan tidak
ada seorang tsiqah yang meriwayatkannya.
Tanda-tanda maudhu pada matan :
a. Lemah susunan lafal dan maknanya
Dari segi maknanya, maka hadis itu bertentangan dengan al-quran, hadis, dengan
ijma dan logika yang sehat. Secara logis tidak di benarkan bahwa ungkapan itu datang
dmari Rasul. Banyak hadis-hadis panjang yang lemah susunan bahasa dan maknanya.
Seorang yang memiliki ketajaman dalam memahami hadis dari Nabi atau bukan hadis
maudhu ini bukan bahasa Nabi yang mengandung sastra (fashahah), karena sangat rusak
susunanya, Ar-Rabi’ bin  Khats yang berkata: sesungguhnya hadis itu bercahaya seperti
cahaya kami mengenalnya dan memilki kegelapan bagaikan gelap malam kami
menolaknya.
b. Rusak maknanya
Maksud rusak maknanya karena bertentangan dengan rasio yang sehat, menyalahi
kaidah kesehatan, mendorong pelampiasan biologis seks dan lain-lain dan tidak bisa
ditakwilkan.
Contoh:
‫النظرال الوجه الحسن يجاوالبصر والنظرال الوجه القبيح يورث الكا ح‬
Artinya:” Memandang wajah yang cantik dapat menerangkan mata, memandang wajah
yang jelek dapat menyebabkan sedih”.
c. Bertentangan teks Al-Qur’an atau hadis mutawatir
Contoh yang bertentangan dengan Al-Quran adalah tentang jangka usia dunia,
yaitu tujuh ribu tahun. Ini jelas tidak shahih, tentu semau orang akan mengerti kapan
kiamat tiba. Padahal Allah Azza Wa Jalla berfirman:
Sۚ S‫ َو‬Sُ‫ اَّل ه‬Sِ‫ إ‬S‫ ا‬Sَ‫ ه‬Sِ‫ ت‬S‫ ْق‬S‫و‬Sَ Sِ‫ ل‬S‫ ا‬Sَ‫ه‬S‫ ي‬Sِّ‫ ل‬S‫ َج‬Sُ‫ اَل ي‬Sۖ S‫ ي‬SِّS‫ ب‬S‫ر‬Sَ S‫ َد‬S‫ ْن‬S‫ع‬Sِ S‫ ا‬Sَ‫ ه‬S‫ ُم‬S‫ ْل‬S‫ع‬Sِ S‫ ا‬S‫َّ َم‬S‫ ن‬Sِ‫ إ‬S‫ل‬Sْ Sُ‫ ق‬Sۖ S‫ ا‬Sَ‫ه‬S‫ ا‬S‫ َس‬S‫ر‬Sْ S‫ ُم‬S‫ن‬Sَ S‫َّ ا‬S‫ ي‬Sَ‫ أ‬S‫ ِة‬S‫ َع‬S‫َّ ا‬S‫س‬S‫ل‬S‫ ا‬S‫ ِن‬S‫ َع‬S‫ك‬ َ Sَ‫ن‬S‫ و‬Sُ‫ل‬Sَ‫ أ‬S‫ ْس‬Sَ‫ي‬
S‫ ا‬SSَ‫ ه‬S‫ ُم‬S‫ ْل‬S‫ ِع‬S‫ ا‬SS‫َّ َم‬S‫ ن‬Sِ‫ إ‬S‫ل‬Sْ SSُ‫ ق‬Sۖ S‫ ا‬SSَ‫ ه‬S‫ ْن‬S‫ َع‬S‫ ٌّي‬Sِ‫ ف‬S‫ح‬Sَ S‫ك‬ َ َّS‫ن‬Sَ‫ أ‬S‫ َك‬S‫ك‬ Sْ Sَ‫ ي‬Sۗ Sً‫ ة‬Sَ‫ ت‬S‫ ْغ‬Sَ‫ اَّل ب‬Sِ‫ إ‬S‫ ْم‬S‫ ُك‬S‫ ي‬Sِ‫ ت‬Sْ‫ أ‬Sَ‫ اَل ت‬Sۚ S‫ض‬
َ Sَ‫ن‬S‫ و‬Sُ‫ل‬Sَ‫ أ‬S ‫س‬S ِ S‫ر‬Sْ Sَ ‫أْل‬S‫ ا‬S‫ َو‬S‫ت‬ ِ S‫ ا‬S‫و‬Sَ S‫ ا‬S‫َّ َم‬S‫س‬S‫ل‬S‫ ا‬S‫ ي‬Sِ‫ ف‬S‫ت‬Sْ Sَ‫ ل‬Sُ‫ ق‬Sَ‫ث‬
S‫ َن‬S‫ و‬S‫ ُم‬Sَ‫ ل‬S‫ع‬Sْ Sَ‫ اَل ي‬S‫س‬ ِ S‫َّ ا‬S‫ن‬S‫ل‬S‫ ا‬S‫ َر‬Sَ‫ ث‬S‫ ْك‬Sَ‫ن أ‬ َّS S‫ ِك‬Sَ‫ل‬SٰS‫و‬Sَ Sِ ‫ هَّللا‬S‫ َد‬S‫ ْن‬S‫ِع‬
Artinya:”Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?"
Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku;
tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu
amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan
datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan
kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari
kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".(QS. Al-
Araf:187)
Contoh hadis maudhu yang bertentangan dengan hadis mutawatir:
‫وان كل من يسمي بهذه السماء (محمدواحمد)آليدخل انار‬
Artinya:” Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammd Ahmad dan
semisalnya) ini, tidak akan dimaksukkan ke neraka.”
Contoh hadis palsu yang bertentangan dengan hadis shahih adalah hadis-hadis
tentang pujian terhadap prang yang namanya Muhammad atau Ahmad dan bahwa orang-
orang yang namanya seperti itu tidak akan masuk neraka. Jadi hadis tersebut jelas
bertentangan dengan ajaran agama, bahwa neraka tidak akan terpengaruh oleh nama-nama
tertentu. untuk selamat darinya hanya bisa dilakukam dengan beriman dan beramal shaleh.
          Setiap hadis yang meriwayatkan Ali adalah shahih yang menyatakan wasiat khalifah
ada pada Ali r.a. tidaklah shahih. Karena ia bertentangan dengan ijma’ ulama, bahwa nabi
SAW tidak menegaskan siapa yang akan mengganti beliau.
d. Menyalahi realita sejarah
Misalnya hadis yang menjelaskan bahwa Nabi memungut jizyah (pajak) para
penuduk khaibar dengan di saksikan oleh Sa’ad bin Mu’ads padahal Sa’ad telah meninggal
pada masa perang khandaq sebelum kejadian tersebut.
e. Hadis sesuai dengan mazhab perawi
misalnya, hadis yang diriwayatkanm oleh Habbah bin Juwaihi, ia berkata: saya
mendengar Ali berkatam
‫عبدت هللا مع ر سوله قبل ان يعبده ااحدمن هذه اال مة خمس سنين اوسبع سنين‬
artinya:” Aku menyembah Tuhan bersama Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya seorang
pun dari umat ini lima atau tujuh tahun.”
         Hadis ini mengkultuskan Ali sesuai dengan prinsip madzhab syiah, tetapi
mengkultuskan itu juga tidak masuk akal, bagaimana Ali beribadah bersama rasul lima
atau tujuh tahun sebelum umat ini.
f. Mengandung pahala yang berlebih bagi amal yng kecil.
Biasanya motif pemalsuan hadis ini disampaikan para tukang kisah yang ingin
menarik perhatian para pendengarnya atau agar menarik pendengar agar melakukan amal
saleh. Tetapi memang tinggi dalam membesarkan suatu amal kecil dengan pahala yang
berlebihan. Misalnya:
‫من صل الضفي كذاوكذاركعة اعطي ثواب سبعين نبيا‬

Artinya:”Barang siapa yang sholat d ‫ا‬uha sekian rakaat diberi pahala 70 nabi.”
g. Sahabat dituduh menyembunyikan hadist
Sahabat dituduh menyembunyikan hadis dan tidak menayampaikan atau tidak
meriwayatkan kepada orang lain, padahal hadis itu secara transparan harus
disampaikan Nabi SAW, misalnya, nabi memegang tangan Ali bin Abi Thalib di
hadapan para sahabat semua, kemudian bersabda: ini wasiatku dan saudaraku dan
khalifah setelah aku. Seandainya ini benar wasiat dari Nabi SAW tentu banyak diantara
para sahabat yang meriwayatkannya, karena masalahnya adalah untuk kepentingan
umum yakni kepemimpinan. Tidak mungkin para sahabat diam tidak meriwayatkan
jika hal itu terjadi benar pada diri Rasulullah.

Usaha para ulama dalam mengatasi hadis palsu :


Ada beberapa usaha yang dilakukan para ulama dalam menanggulangi hadis
maudhu, dengan tujuan agar hadis tetap eksis terpelihara dan bersih dari pemalsuan tangan
orang-orang kotor. Disamping itu agar lebih jelas posisi hadis maudhu tidak tercampur
dengan hadis-hadis shahih. Diantara usaha-usaha itu adalah:
1. Memelihara sanad hadis
Dalam rangka memelihara sunnah siapa saja yang mengaku mendapat sunnah harus
disertai sanad. jika tidak disertai dengan sanad,maka suatu hadits tidak dapat di terima.
Abdullah bin Al-Mubarok berkata : yang mencari agamanya tanpa sanad bagaikan orang
yang naik loteng tanpa tangga.keharusan sanad dalam menerima hadis bukan pada orang-
orang khusus saja, bagi masyarakat umum pun pada saat itu mengharuskan menerimanya
dengan sanad. Hal ini mulai berkembang sejak masa tabi’in, hingga merupakan suatu
kewajiban bagi ahli hadis menerangkan sanad hadis yang ia riwayat kan.
2. Meningkatkan kesungguhan penelitian
Sejak masa sahabat dan tabi’in, mereka telah mengadakan penelitian dan
pemeriksaan hadis yang mereka dengar dan yang mereka terima dari sesamanya. Jika hadis
yang mereka terima itu meragukan atau datang bukan  dari sahabat yang langsung terlibat
dalam permasalahan hadis, segera mereka melakukan rihlah (perjalanan) sekalipun dalam
jarak jauh untuk mengecek kebenarannya kepada para sahabat senior atau yang terlibat
dalam kejadian hadis. Hasilnya mereka bukukan dalam berbagai buku hadis seperti buku
hadis induk enam atau tujuh. Imam syafie menulis ar-risalah dan al-umm yang memuat
ulumul hadis, at-tirmidzi dalam akhir kitab jami-nya.
3. Mengisolir para pendusta hadis
Para ulama berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Orang-orang
yang dikenal sebagai pendusta hadis dijauhi dan masyarakat pun di jauhkan dari padanya.
Semua ahli hadis juga menyampaikan hadis-hadis maudhu dan pembuatnya itu kepada
murid-muridnya, agar mereka menjauhi dan tidak meriwayatkan hadis dari padanya.
Diantara para ulama yang dkenal menentang para maudhu adalah Amir Asy-
Sya’bi,Syu’bah bin Al-Hajj, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Mubarak dll.
4. Menerangkan keadaan para perawi
Para ahli hadis berusaha menelusuri sejarah kehidupan baik mulai dari lahir hingga
wafat atau pun dari segi-segi sifat-sifat para perawi hadis, dari yang jujur, adil, dan
andalnya ingatannya dan sebaliknya. Sehingga dapat dibedakan mana hadis shahih dan
mana hadis yang palsu. Hasilnya mereka himpun dalam buku Rijal Al-Hadis dan Al-Jarrh
wa At-Ta’dil sehingga oleh generasi berikutnya.
5. Memberikan kaidah-kaidah hadis
Para ulama meletakkan dasar-dasar secara metodelogis tentang penelitian hadis
untuk menganalisa otensitasnya sehingga dapat diketahui mana shahih, hasan, dhaif dan
maudhu. Kaidah-kidah itu dijadikan standar penilaian suatu hadis menurut criteria sebagai
hadis yang diterima atau ditolak.

Para pendusta dan kitab-kitab hadis maudhu


      Diantara pendusta hadis yang diketahui setelah melakukan penelitian yang dilakukan
para ulama adalah sebagai berikut:
1) Aban bin Jafar Al-Numaiqi, membuat 300 hadis yang disandarkan kepada abu
hanifah
2) Ibrhim bin Zaid Al-Aslami, membuat hadis disandarkan dari malik
3) Ahmad bin Abdullah Al-Juwaini, yang membuat beribu-ribu hadis kepentingan al-
karramiyah
4) Jabir bin Zaid Al-Juafi, membuat 30.000 hadis
5) Nuh bin Abu Maryam membuat hadis maudhu tentang fadhail surah-surah dalam
Al-Quran
6) Muhammad bin Syuja Al-Wasithi, Al-Harits bin Said Al-Mashlub, Al-Waqidi
Muqatil bin sulaiman, Muhammad bin Saad Al-Mashlub, Al-Waqidi dan Ibnu Abu
Yahya.
Diantara kitab-kitab yang memuat hadis maudhu adalah sebagai berikut:
a. Tadzkirah al-maudhuat, karya Abu al-Fadhal Muhammad bin Thahir al-Maqdisi
(448-507 H) didalam kitab ini disebutkan nama perawi yang dinilai cacat (tarjih)
b. Al-Maudhu’at al-Kubra, karya Abu al-Faraj Abdurrahman al-Jauzi (508-597)
c. Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Maudhu’ah, karya Jalaluddin as-Suyuti (849-911 H)
d. Al-ba’its ‘ala al-Khalash Min Hawadits al-Qashash, karya Zainuddin Abdurahman
al-Iaraqi(725-806 H)
e. Al-fawa’id al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Mawdhu’ah, karya al-Qadhi Abu
Abdullah Muhammad Asy-Syaukani (1173-1255 H)

H. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Hadist Maudhu’


1.      Pertentangan Politik dalam Soal Pemilihan Khalifah
Pertentangan di antara umat islam timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap
khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifahan digantikan oleh Ali
bin Abi Thalib.
Umat islam pada masa itu terpecah-belah menjadi beberapa golongan, seperti
golongan yang ingin menuntut bela terhadap kematian khalifah Utsman dan golongan yang
mendukung kekhalifahan Sayyidina Ali (Syi’ah). Setelah perang Siffin, muncul pula
beberapa golongan lainnya, seperti Khawarij dan golongan pendukung Muawiyyah.
Di antara golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongannya masing-
masing, mereka membuat hadist palsu. Yang pertama dan yang paling banyak membuat
hadist maudhu’ adalah dari golongan Syi’ah dan Rafidhah.
2.      Adanya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
Golongan ini adalah terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani
yang senantiasa menyimpan dendam terhadap agama islam. Mereka tidak mampu untuk
melawan kekuatan islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini.
Mereka menciptakan sejumlah besar hadist maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran islam.
Faktor ini merupakan factor awal munculnya hadist maudhu’. Hal ini berdasarkan
peristiwa Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah-belah umat Islam dengan mengaku
kecintaannya kepada Ahli Bait. Sejarah mencatatbahwa ia adalah seorang Yahudi yang
berpura-pura memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, ia berani menciptakan
hadist maudhu’ pada saat masih banyak sahabat ulama masih hidup.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadist maudhu’ dari kalangan orang zindiq ini,
adalah:
1) Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadist maudhu’ tentang
hukum halal-haram. Akhirnya, ia dihukum mati olen Muhammad bin Sulaiman,
Walikota Bashrah.
2) Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-
Mashur.
3) Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin
Abdillah.
3.      Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah
Mereka membuat hadist-hadist palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau
dorongan-dorongan untuk meningkatkan amal, melalui hadist tarhib wa targhib(anjuran-
anjuran untuk meninggalkan yang tidak baik dan untuk mengerjakan yang dipandangnya
baik) dengan cara berlebihan.[23]
4.      Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ulama-ulama membuat hadist palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan
para penguasa sehingga dari perbuatannya tersebut, mereka mendapat upah dengan diberi
kedudukan atau harta.
Sebab-sebab Pemalsuan Hadist dan kelompok-kelompok Pemalsuannya:
a. Sebab pemalsuan hadis yang pertama kali muncul adalah adanya prselisihan
yang melanda kaum Muslimin yang bersumber pada fitnah dan kasus-kasus
yang mengikutinya yakni umat Islam menjdi beberapa kelompok.
b. Permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelek-jelekkannya. Yaitu upaya yang
ditempuh oleh orang-orang zindik, lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa
yang terkalahkan oleh umat Islam.
c. Upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada
pemerintah atau upayamengumpulkan manusia ke dalam majelis,seperti yang
dilakukan oleh para juru cerita dan para peminta-minta. Dampak negative
kelompok ini sangat besar.
Kepalsuan yang terjadi pada hadis seorang rawi tanpa disengaja, seperti
kesalahannya menyandarkan kepada Nabi SAW.
1. Pemberantasan Hadis Palsu dan Media Terpenting untuk Memberantasnya
Para ulama mengambil langkah untuk memerangi pemalsu hadis dan
menghindarkan bahaya para pemalsu. Untuk itu, merekamenggunakan
berbagai metodologi yang cukup untuk kesimpulannya sebagai berikut:
Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan
riwayat mereka.
2. Memberi peringatan keras kepada para pendusta dan mengungkap-ungkap
kejelekan mereka, mengumumkan kedustaan mereka kepada para pemuka
masyarakat.
3. Pencarian sanad hadis, sehingga mereka tidak menerima hadis yang tidak
bersanad, bahkan hadis yang demikian mereka anggap sebagai hadis yang
batil.
4. Menguji kebenaran hadis dengan membandingkannya dengan riwayat yang
melalui jalur lain dan hadi-hadis yang telah diakui keberadaannya.
5. Menetapkan pedoman-pedomanuntuk mengungkapkan hadis maudhu’.
6. Menyusun kitab himpunan hadis-hadismaudhu’ untuk member penerangan
dan peringatan kepada masyarakt tentang keberadaan hadis-hadis tersebut.
I. Ciri-ciri Hadits Maudhu’
Para ulama muhadditsin, disamping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui
shahih, hasan atau dha’ifnya suatu hadits, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk
mengetahui ke-maudhu’-an suatu hadits.
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat dari ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan
matan.
1.      Ciri-ciri yang terdapat pada Sanat, antara lain:
a. Pengakuan dari si pembuat sendiri
Seorang guru tasawuf misalnya, meriwayatkan hadits-hadits tentang keutamaan
ayat-ayat tertentu, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail Al-Imam Al-Bukhari tentang hadits-
hadits yang dia riwayatkan itu ia berkata dengan terus terang:
‫لَم يُحدّثنى أحد ولكن رأينا الناس قد رغبوا عن القرأن فوضعنا هذا الحديث‬
"Tidak satupun yang meriwayatkan hadits kepadaku, akan tetapi serentak kami melihat
manusia-manusia membenci Al-Quran. Kami ciptakan untuk mereka hadits ini (keutamaan
ayat-ayat Al-Quran), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Quran".
Karena menjadi kewajiban kita sebagai kaum terpelajar untuk melacak hadits-hadits
tentang keutamaan beberapa surat atau ayat-ayat Al-Qur'an dengan tetap berpedoman
kepada para alim yang dianugerahi Allah pemahaman. Misalnya:
ْ َ‫َمنْ قَ َرأَ َيس فِ ْي لَ ْيلَ ٍة أ‬
ُ‫ َم ْغفُ ْو ًرا لَه‬ ‫صبَ َح‬
"Barangsiapa yang membaca surat Yaasiin dalam satu malam, maka ketika ia bangun
pagi hari diampuni dosanya.” (Riwayat Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (I/247).
Imam Ibnul Jauzi berkata: Hadits ini dari semua jMalannya adalah bathil, tidak ada
asalnya. Imam Daraquthni berkata: “Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits
ini adalah tukang memalsukan hadits.” 
b. Qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu'
Misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia
tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau menerima hadits dari seorang guru yang
telah meninggal dunia sebelum ia dilahirkan.
c. Adanya qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya
Seperti juga kisah Giyats bin Ibrahim An-Nakh'i  Al-Kufi dengan Amir Mukminin
Al-Mahdi, ketika masuk ke ruangan  Amirul Mukminin dan menjumpai Al-Mahdi tengah
bermain-main dengan burung merpati. Maka ia menambahkan perkataan dalam hadits
yang disandarkan kepada Nabi, bahwa beliau bersabda:mmmmm
ٍ َ‫ص ٍل أَ ْو ُخفٍّ أَ ْو َحافِ ٍر أَ ْو ُجن‬
‫اح‬ ْ َ‫في ن‬
ِ َّ‫ق إِال‬ َ َ‫ال‬
َ َ‫سب‬
"Tidak ada perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, menggali atau sayap."  
Ia menambahkan kata sayap (junah), yang dilakukan  untuk menyenangkan Al
Mahdi, lalu Al Mahdi memberinya sepuluh dirham. Setelah berpaling, Sang Amir
berkata:"Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian  Al-Mahdi menyuruh untuk
menyembelih burung merpati itu. Tingkah laku Ghiyats semacam ini menjadi qarinah
untuk menetapkan ke-maudhu'-an hadits.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hadits dha’if pada dasarnya adalah hadits yang mardud (tertolak). Namun ada
beberapa hal yang menjadikan sebagian dari hadits dha’if tersebut bisa diterima, yaitu
dikarenakan hadits tersebut tergolong dalam hadits dha’if yang ringan seperti mu’allaq,
munqathi’, mu’dhal mursal dan yang sejenisnya.
Adapun hadits dha’if yang tertolak adalah hadits dha’if berat seperti hadits
maudhu’, munkar, matruk dan sejenisnya.
B.     Saran
Dari apa yang telah dibahasm dan dijelaskan dalam makalah ini, tentunya masih
terdapat keurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih
kepada dosen pengampu mata kuliah ini, memberikan masukan yang bermanfaat bagi
penulis makalah ini juga kepada saudara-saudara yang sedang mendalami disiplin ilmu
ulumul hadits ini.

Daftar Pustaka

Wajidi Sayadi. 2009. Pengantar Studi Hadis. Pontianak: Pustaka Abuya


Agus Solahuddin dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 1997. Sisilah hadis Dha’if dan Maudhu.
Jakarta: Gema Insani Press
Al-khatib, Muhammad Ajaj. 1998. Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits.
Jakarta: dar al-al-mas’udi, hafid hasan. Ilmu Musthalah Hadis. Surabaya: Al-Hikmah
Al-qaththan, syaikh manna. 2004. Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta : pustaka
Al-Kautsar
Al-adlabi, Shalahudin ibn Ahmad. 2004. Kritik Metodologi Matan Hadis. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Azami, M. Mustafa. 1996. Metedologi Kritik Hadis. Bandung: Pustaka Hidayah
Fikr
Ismail, H.M. Syuhudi. 1995. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengikar, dan
Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press
Khon, H. Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta:Amza
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul hadis. Bandung:PT. Al Ma’arif
Yunus, H. Mahmud.1986. Terjemah Al-Qur’an Karim. Bandung: Pt Al-Ma’ari
Agus Solahudin. Ulumul Hadist. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Kasman. Hadist Dalam Pandangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Mitra
Pustaka. 2012.
Nurrudin, Ulumul Hadis.PT Remaja Rosdakarya Bandung. Cetakan pertama. 2012

Anda mungkin juga menyukai