Oleh kelompok 11 :
PS - H
BUKITTINGGI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas penyusunan makalah “Hadist Dhaif Karena Cacat Keadilan".
Kami selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak
RIFQUL MANAN, S. ThI, MA selaku dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Hadist yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu
mendukung kelancaran tugas kami, serta pada anggota kelompok yang selalu kompak dan
konsisten dalam penyelesaian tugas ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Hadist. Dalam
penyusunan makalah ini, kami menyadari masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami tidak
menutupi diri dari pada pembaca akan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi
perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan makalah di masa yang akan datang. Dan kami
berharap, semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi kami penyusun dan para
pembaca semuanya. Aamiin.
Pemakalah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis dhaif dalam pandangan para ulama tidak dapat dijadikan landasan dalam untuk
beribadah namun ada juga yang mengatakan boleh. Meski begitu, akan tetapi kita perlu
mengetahui hadis dhaif, maupun sebab- sebab kedhaifannya, apakah karena pungguguran sanad,
maupun cacat perawi dalam hal ini cacat keadilan ataupun cacat kedhabithannya. Kita juga perlu
mengetahui bahwa apakah hadis dha‟if dapat diamalkan atau tidak menurut pandangan para
ulama.
Kita melihat realitas sekarang ini bahwa banyak sekali hadis yang beredar di kalangan
masyarakat maupun di kalangan kita sebagai pelajar. Hal itu mengakibatkan banyak diantara kita
yang saling bertentangan hanya karena perbedaan hadis yang dipegang untuk menjadi landasan
dalam berislam maupun beribadah. Tidak diketahui bahwa apakah hadis yang jadikan landasan
itu, benarbenar shahih atau tidak.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut etimologi, kata dha‟if berarti lemah lawan dari al-qawi yang berarti kuat. Secara
terminology terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian hadis dha‟if, yaitu hadis yang tidak
menghimpun sifat hadis hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
An-Nawawi mengatakan bahwa hadis dha‟if adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat
sifat-sifat hadis hasan dan shahih. Sedangkan As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
hadis yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan dari syarat-syarat yang maqbul, atau dengan
kata lain hadis yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul. Dari beberapa
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa hadis dha‟if adalah hadis yang memenuhi sebagian
atau semua persyaratan hadis hasan atau shahih.
Sebagaimana definisi hadis dhaif yaitu hadis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan hadis
shahih, misalnya tidak bersambung sanadnya, tidak adil, dan tidak dapat diandalkan kekuatan
daya ingat atau hafalan para perawi dalam seluruh sanad, atau karena adanya keganjilan baik
dalam sanad ataupun matan, dan atau karena adanya cacatcacat yang tersembunyi, baik dalam
sanad maupun dalam matan.Adapun penjelasan tentang kedhaifan hadis adalah sebagai berikut.
1. Hadist Matruk
Hadis matruk bagian dari hadis dhaif yang cacat keadilan. Dari segi bahasa, berasal dari
akar kata taraka, yatruku, tarkaan, yang artinya tertinggal. Orang Arab menyebutkan kulit telur
setelah mengeluarkan anak ayam disebut tarikah, artinya tertinggal, tidak ada faedahnya.
Pemberitaan seseorang tertinggal dalam arti tidak didengar, tidak dinggap, dan tidak dipercaya
karena menyangkut pribadi yang kurang baik. Sedangkan menurut istilah, hadist matruk adalah
hadis yang salah satu periwayatnya seorang tertuduh dusta.
Di antara sebab-sebab tertuduhnya dusta seorang perawi, ada beberapa kemungkinan yaitu,
sebagai berikut.
a. Periwayatan hadis yang menyendiri atau dia hanya sendiri yang meriwayatkannya.
Hal ini dikarenakan tidak ada seorang pun yang meriwayatkannya selain dia.
b. Seorang perawi dikenal sebagai pembohong dan pendusta pada selain hadis
tertentu.
Contoh, hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Ad-Dunya dalam qadha‟ Al-Hawa‟ij
melalui jalan Juwaibir bin Sa‟id Al-Azdi dari Adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw:
“wajib bagi kalian melakukan yang makruf, sesungguhnya ia mencegah pergulatan
kejahatan dan wajib atas kamu shadaqah samaran (sirr), sesungguhnya ia mematikan murka
Allah Ajja wa Jalla. Dalam hadis tersebut diatas, terdapat Juwaibir bin Sa‟id Al-Azdi, An-
Nasa‟I dan Ad-Daruquthni berkata bahwa ia matruk al-hadits, Hadis matruk adalah hadis
yang terburuk setelah hadis mawdhu, tidak dapat dimalkan sama sekali karena cacat yang
sangat fatal, yaitu tertuduh dusta, posisinya dekat dengan hadis mawdhu. Oleh karena itu,
sesuai dengan namanya matruk tertinggal, tidak didengar, tidak dianggap, dan tidak
diamalkan.
2. Hadist Majhul
Menurut bahasa, kata berasal dari kata jahila, yajhalu, jahlaan, yang berarti tidak diketahui
antonym dari kata ma‟lum, yang artinya dimaklumi atau diketahui. Misalnya seorang perawi
yang tidak dikenal atau tidak diketahui asal usul dan latar belakangnya yang menyangkut
kepercayaan seseorang, padahal untuk menilai otentisitas hadis diperlukan pembawanya
seorang yang memiliki kredibilitas yang dapat diandalkan.
Sedangkan menurut istilah, hadis majhul yaitu apabila seorang perawi yang tidak dikenal
jati diri dan identitasnya. Tidak dikenalnya perawi atau identitas itu (jahalah),
terdapatbeberapa faktor, yaitu :
c. Tidak tegas penyebutan nama perawi karena diringkas menjadi nama kecil atau
nama panggilan atau karena tujuan lain.
• Majhul Al-Hal disebut juga Matsur, apabila periwayatan seseorang diambil dari dua orang
atau lebih, tetapai tidak ada yang tsiqah. Atau diartikan tidak ada yang menukil tentang jarh
(cacat) dan ta'dilnya (menilai adil), contohnya, hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah
melalui Itsam bin Ali dari Al- A'masy dari Abu Ishaq dari Hani bin Hani berkata: Ammar
masuk kerumah Ali, maka menyambutnya: “selamat datang seorang sucidan disucikan” aku
mendengar Rasulullah bersabda: Ammar dipenuhi imannya sampai ketulang- tulangnya.
Dalam hadis tersebut, Hani bin Hani tidak diketahui identitasnya (majhul al-hal), karena
tidak ada seorang tsiqah yang meriwayatkan hadisnya atau tidak ada yang menerangkan
tentang ketsiqahannya. Dengan demikian, hokum periwayatan hadis di atas hadis majhul
tertolak (mardud) menurut pendapat yang shahih, yaitu mayoritas ulama hadis.
3. Hadist Mubham
Arti mubham menurut bahasa adalah samar, tidak jelas. Jadi perawinya atau orang ketiga
yang menjadi objek pembicaraan tidak dijelaskan siapa nama dan dari mana dia. Menurut
istilah, hadis mubham yaitu apabila seorang perawi tidak disebutkan namanya, baik dalam
sanad atau matan. Jadi , mubham adalah tidak adanya penyebutan nama seorang perawi yang
jelas, karena hanya disebutkan seorang laki-laki atau seorang perempuan saja, tidak
disebutkan nama yang jelas. Mubham adakalanya dalam sanad atau dalam matan.
Contoh, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan, melalui Al-Hajjaj bin
Farafishah dari seorang laki-laki dari Abu Salamah dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah
Saw bersabda: “orang mukmin adalah seorang mulia yang murah, sedangkan orang durhaka
adalah penipu yang tercela". Dalam hadis tersebut, disebutkan dari “seorang laki-laki” dari
Abu Salamah, tanpa menyebutkan nama si laki-laki, maka dinamakan mubham.
Hukum mubham dalam sanad, jika terjadi pada seorang sahabat, tidak mengapa, karena
semua sahabat adil dan jika terjadi pada selain sahabat, jumhur ulama menolaknya sehingga
diketahui identitasnya seperti majhul al-ayn. Sedangkan mubham dalam matan tidak mengapa
dan tidak mengganggu keshahihan suatu hadis.
Hadis dhaif pada dasarnya adalah bertolak dan tidak boleh diamalkan, bila dibandingkan
dengan hadis sahih dan hadis hasan. Namun para ulama’ melakukan pengkajian terhadap
kemungkinan dipakai dan diamAlkanya hadis dhaif, sehingga terjadi perbedaan pendapat
diantara mereka.Adapun kehujjahan Hadist dhaif ada tiga pendapat yaitu:
Pertama, pendapat para ahli Hadist yang besar seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang
berpendapat bahwa Hadits dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak. Baik dalam masalah fadla'il
al-a’mal, ahkam, al-i’tibar maupun masalah mawa'idz. Perkara-perkara agama tidak dapat
didasarkan kecuali pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw yang shahîh. Adapun Hadist dhaif
adalah Hadist yang bukan shahîh. Dan pengambilan Hadist dhaif dalam masalah agama berarti
menambah masalah-masalah syari’at yang tidak diketahui dasar ilmunya. Padahal ada larangan
dari Allah swt. yang tidak boleh mengikuti sesuatu yang tidak didasarkan atas ilmunya.
Kedua, Hadist dhaif bisa diamalkan secara mutlak. Sebagaimana Imam al-Suyuthi mengatakan
bahwa Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad, keduanya berpendapat kalau Hadist dhaif lebih kuat
dari pada ra’y perorangan.
Ketiga, Hadist dhaif bisa digunakan dalam masalah fadla’il, mawa’idz atau yang sejenis bila
memenuhi beberapa syarat. Ibnu Hajar mensyaratkan Hadist dhaif yang dapat diamalkan adalah:
a. ke-dhaifan-nya tidak terlalu, sehingga tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau
yang tertuduh berdusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlalu sering
melakukan kesalahan;
b. Hadîts dhaif tersebut masuk dalam cakupan Hadist pokok yang bisa diamalkan dan tidak
keluar dari kaidah-kaidah Islam;
c. ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa Hadist itu berstatus kuat, tetapi sekedar
berhati-hati;
d. fadla'il dan yang sejenis seperti mawadz, al-targhib wa al-tarhib bukan dalam masalah
aqidah dan hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat bias diterima sebagai hadits
shahih dan hadits hasan. Sebab kedha’ifan hadits karena tiga hal yaitu, dha’if dari sudut
sandaran matannya, dari segi sanadnya yang terputus, dan dari sudut kecacatan rawinya.
Hadits dha’if termasuk banyak ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain,
disebabkan banyak sedikitnya syarat-syarat hadits shahih atau hasan.
Adapun cacat pada keadilan dan kedhabitan rawi itu ada sepuluh macam, yaitu: Dusta,
Tertuduh dusta, Fasik, Banyak salah, Lengah dalam menghafal, Menyalahi riwayat orang
kepercayaan, Banyak waham, Tidak diketahui identitasnya, Penganud bid’ah, dan Tidak baik
hafalannya.Klasifikasi hadits dha’if berdasarkan cacat pada keadilannya dan kedhabitan rawi
itu dapat dibagikan atas hadist matruk, hadist mujhal dan hadist mubham.
B. Saran
Dengan disusunya makalah ini, maka pembaca atau mahasiswa dapat mengerti dan
memahami “Hadist Dhaif karena Cacat Keadilannya". Semoga makalah ini dapat
diterima dan dimengerti serta berguna bagi pembaca atau mahasiswa, dalam makalah
ini kami mohon maaf jika ada tulisan kami atau bahasa kami kurang berkenan, dengan
demikian kami mengharapkan kritik dan saran atas tulisan kami agar bisa membangun
dan memotivasi kami agar membuat tulisan jauh lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA