Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

BERINTERAKSI DENGAN HADIS DA’IF

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


STUDI AL QURAN HADIST

Disusun Oleh : Kelompok III

Andre Eka Putra /22010010


Elva Susanti / 22010002
Fandrijal / 22010013
Reska Yuliandari /22010007
Fuji Ilahi / 22010019

Dosen Pengampu:
Aguswan Rasyid, Lc, MA, Ph.D

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
TAHUN 2022M/1444 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan

rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah

ini yang berjudul “ Berinteraksi dengan Hadits Dai’if ” dalam bentuk maupun isinya dengan

sangat sederhana ini, dalam rangka memenuhi tugas Studi Al-Qur’an dan Hadits.

Sholawat dan salam tidak lupa kita doakan kepada Allah untuk junjugan kita Nabi

besar muhammad SAW. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai satu acuan,

petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi Pendidikan dan profesi

keguruan khususnya Pendididkan Agama Islam. Penulis merasa masih banyak kekurangan

dalam penulisan makalah ini, baik secara teknis maupun materi mengingat minimnya

kemampuan yang dimiliki. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai

pihak dibutuhkan demi penyempurnaan makalah ini. Penulis menyampaikan ucapan terima

kasih yang tak terhinga kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam penyelesaian

makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan setimpal

kepada mereka yang memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua bantuan itu sebagai

ibadah. Amin Ya Rabbal Alamin.

Padang, Januari 2023

Penulis

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAHAN
A. Pengertian hadis da’if
B. Jenis hadis da’if
C. Hukum mengamalkan hadis da’if
D. Cara meriwayatkan hadis da’if.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau ketetapan setelah beliau diangkat menjadi Nabi/
Rasul. Para ahli hadits membagi hadits menjadi banyak bagian dengan istilah yang berbeda-
beda. Namun, semua itu tujuannya pada pokoknya kembali kepada tiga objek pembahasan,
yaitu dari segi matan, sanad, serta matan dan sanad-sanad secara bersama-sama. Dan
kebanyakan mereka mengklasifikasikan hadits secara keseluruhan menjadi tiga kategori yaitu
shahih, hasan, dan dhaif.
Dalam makalah ini saya akan membahas lebih dalam dari salah satu kategori hadits
diatas yaitu hadits dhaif. Jadi untuk lebih jelasnya tentang hadits dhaif secara keseluruhan
akan dibahas dalam makalah ini.

B.   Rumusan Masalah
Makalah Studi Al-Qur’an Hadist dengan judul Berinteraksi dengan HadiTs Dha’if
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah dan untuk mempermudah diskusi dalam kelas.
Pokok permasalahan yang akan dibahas adalah:

1. Apa Pengertian hadis da’if?

2. Apa saja Jenis hadis da’if ?

3. Apa Hukum mengamalkan hadis da’if?

4. Bagaimana Cara meriwayatkan hadis da’if?


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian hadits dhaif

Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah,
lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang
dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak kuat.1
Secara terminologi, terdapat perbedaan rumusan di antara para ulama dalam
mendefinisikan hadits dho’if ini. Tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama.
Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat di bawah ini.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan :

Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat
hadits hasan.”

Ulama lainnya menyebutkan bahwa hadits dho’if ialah :

Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul.”2
Sedangkan yang dimaksud Hadits Maqbul di sini adalah hadits yang diterima, yaitu
sempurna padanya syarat-syarat diterimanya.3

Menurut Nur Ad-Din ‘Atr definisi hadits dhoif ialah :

Artinya :

1 Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133
2 Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
3 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987), hlm 220
“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits yang
shahih atau hadits yang hasan).”

Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja (dari
persyaratan hadits shahih atau hadits hasan hilang, berarti hadits itu dinyatakan sebagai
hadits dho’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat, seperti
perawinya tidak adil, dan adanya kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini dapat
dinyatakan sebagai hadits dho’if yang sangat lemah.4
Selain itu, Ibnu Shalah memberikan definisi hadits dho’if ialah :
‫ما لم يجمع صفات الصحيح والصفات الحسن‬
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.

Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang


seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :
‫ما لم يجمع صفات الحسن‬
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih.
Drs. Fatkhur Rahman memberikan definisi hadits dho’if ialah:
‫ما فقد شرطا او اكثر من شروط الصحيح اوالحس‬
“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat hadits shahih atau
hadits hasan”
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
‫الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح وال صفات الحديث‬
“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga
tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
DR. Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga dalam
pembagian hadits. Batasannya yang paling tepat adalah hadits yang padanya tidak terdapat
ciri-ciri hadits shahih atau hasan.
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat kita pahami bahwa hadits yang kehilangan
salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan, maka hadits tersebut dapat kita

4 Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157


kategorikan sebagai hadits dho’if.5

B. Jenis hadis da’if


Berdasarkan penelitian para ulama hadits, bahwa kedho’ifan suatu hadits bisa terjadi
pada tiga tempat, yaitu pada sanad, matan dan pada perowi hadits. Dari bagi ketiga ini, lalu
mereka membagi hadits ke dalam beberapa macam hadits dho’if.

1. Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanad.


Hadits yang tergolong dalam kelompok ini, diantaranya:
a. Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang disandarkan langsung oleh tabi’in pada
Rosulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya, tabi’in yang
di maksud bisa tabi’in kecil ataupun besar.
Pada dasarnya hukum hadits mursal adalah dho’if dan ditolak. Hal tersebut
karena kurangnya (hilangnya) salah satu syarat ke-shahih-an dan syarat diterimanya
suatu hadits, yaitu persambungan sanad. Selain itu juga tidak dikenalnya tentang
keadaan perawi yang dihilangkan tersebut, sebab boleh jadi perawi yyang
dihilangkan tersebut adalah bukan sahabat. Dengan adanya kemungkinan demikian,
maka ada kemungkinan hadits tersebut adalah dho’if.
b. Hadits Munqothi’
Hadits munqothi’ adalah hadits yang gugur pada sanadnya seorang perawi atau
pada sanad tersebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya. Tetapi kebanyakan
ulama hadits menggunakan istilah Munqothi’ secara umum, meliputi setiap hadits
yang terputus sanadnya seperti hadits mursal, mu’dhal, dan mu’allaq.
c. Hadits Mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara
berturut-turut. Dengan pengertian diatas, menunjukkan bahwa hadits mu’dhal
berbeda dengan hadits munqothi’. Pada hadits mu’dhal, gugurnya dua orang perawi
terjadi secara berturut-turut. Sedangkan pada hadits munqothi’, gugurnya dua orang
perawi, terjadi secara terpisah ( tidak berturut-turut).6
d. Hadits Mu’allaq

5 Sariono sby, http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-dho’if.html


6 Munzier  Suparto, Ilmu  Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hal 157
Hadits mu’allaq adalah hadits yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi
atau lebih secara berturut-turut.
Hadits mu’allaq hukumnya adalah mardud (tertolak), karena tidak terpenuhinya
salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad, yang dalam hal ini adalah
dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari sanadnya, sementara keadaan
perawi yang di hapuskan tersebut tidak diketahui.
e. Hadits mudallas
Kata “Mudallas” secara etimologi diambil dari kata “dals” yang berarti
“bercampurnya gelap dan terang”, dan kata itu digunakan untuk menyebut sebuah
hadits yang didalmnya mengandung unsur-unsur kesamaan dengan unsur-unsur
yang dikandung oleh makna kata tersebut. Sedang pengertian hadits mudallas
menurut terminologi ialah hadits yang disamarkan oleh rawi dengan berbagai
macam penyamaran.
Hadits mudallas ada dua macam yaitu:
- Tadlisu Al Sanad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dari orang yang satu masa
dengannya, namun disebutkan seolah-olah dia benar-benar mendengar darinya,
agar hadits tersebut dipandang baik.

- Tadlisu Al Syuyuukhi
Yaitu meriwayatkan hadits yang didengarnya dari seorang guru, namun dia
menyebut nama gurunya itu dengan menggunakan sebutan yang tidak populer
misalnya dengan menggunakan nama kuniahnya, nisbatnya atau sifatnya
dengan pertimbangan agar tidak di ketahui dengan jelas identitas gurunya yang
lemah, sehingga tertutupi kelemahannya.7

2. Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi.


Yang dimaksud dengan cacat pada perawi adalah terdapatnya kekurangan atau
cacat pada diri perawi, baik dari segi keadilannya, agama, atau dari segi ingatan,
hafalan, dan ketelitiannya.
Cacat yang berhubungan dengan keadilan perawi diantaranya adalah

7 Muhammad Alawi Al Maliki,  Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal 95-98
berbohong, dituduh berbohong, fasik, berbuat bid’ah dan tidak diketahui keadaanya.
Cacat yang berhubungan dengan ingatan dan hafalan adalah sangat keliru/
sangat dalam kesalahannya, buruk hafalannya, lalai, banyak prasangka dan menyalahi
perawi yang tsiqah.
Macam-macam hadits dho’if berdasarkan cacat yang dimiliki oleh perawinya
yaitu :
a. Hadits Matruk
Hadits Matruk adalah hadits yang perawinya mempunyai cacat tertuduh dusta,
pembohong atau pendusta.
b. Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang
sangat keliru, atau sering kali lalai dan terlihat kefasikannya secara nyata.
c. Hadits Mu’allal
Hadits Mu’allal adalah hadits yang perawinya cacat karena al-wahm, yaitu
banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.
d. Hadits Mudroj
Hadits mudroj adalah hadits yang terdapat tambahan yang bukan dari hadits
tersebut.
e. Hadits Maqlub
Hadits maqlub adalah hadits yang mengganti suatu lafadz dengan lafadz yang
lain pada sanad hadits atau pada matannya dengan cara mendahulukan atau
mengakhirkannya.
f. Hadits Mudhorib
Hadits mudhorib adalah hadits yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang
berlawanan yang masing-masing sama-sama kuat.
g. Hadits Mushoffaf
Hadits mushoffaf adalah  mengubah kalimat yang terdapat pada suatu hadits
menjadi kalimat yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqoh, baik secara
lafadz maupun maknanya.8
h. Hadits Syadz
Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul,

8 Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133-146
namun bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat atau yang lebih baik
dari padanya.9

C. Hukum mengamalkan hadis da’if

Adapun hukum mengamalkan hadits dhaif, secara teori, imam Syamsuddin bin
Abdurrahman al-Sakhowi murid dari al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan ada 3
madzhab dalam mengamalkan hadits dhaif, antara lain 10: Pertama: Boleh mengamalkan hadits
dhaif secara mutlak, baik dalam fadhail a'mal, maupun dalam hukum syariat (halal, haram,
wajib dan lain-lain) dengan syarat dhaifnya tidak dhaif syadid (lemah sekali), dan juga tidak
ada dalil lain selain hadits tersebut, atau dalil lain yang bertentangan dengan hadits tersebut.
Prof. Dr. Nuruddin Itr mengatakan dalam manhaj al-naqd fi ulum al-haditsnya 11 bahwa ini
adalah pendapat Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud. Imam Ahmad berkata: hadits dhaif
lebih kami sukai dari pada pendapat ulama (ra'yu), karena dia tidak mengambil dalil qiyas
kecuali jika tidak ada nash lagi12 . Imam Ibnu Mandah juga berkata: imam Abu Dawud
meriwayatkan hadits dengan sanad yag dhaif jika tidak ada dalil lain selain hadits tersebut,
karena menurut Abu Dawud hadits dhaif lebih kuat dari pada (ra'yu)13 .
Prof. Dr. Khalil Mula al-Khatir dalam salah satu kajiannnya yang berjudul "khuthurah
Musawati al-Hadits al-Dhaif Bil Maudhu 14
'' menyatakan bahwa diantara para ulama hadits
dan fuqoha yang mengikuti madzhab ini adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam
Syafi'I, Imam Ibnu Hazm, Imam Abu hatim al-Razi, Imam al-Auzai, Imam Sufyan al-Tsauri.
Kedua: Boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud, nasehat,
kisah-kisah, selain hukum syariat dan akidah, selama hadits tersebut bukan hadits maudu'
(palsu). Ini adalah madzhab jumhur ulama dari muhaditsin, fuqoha dan ulama yang lain.
Diantara ulama yang berpendapat madzhab ini adalah Imam Ibnu alMubarak, Imam
Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-Nawawi, Imam al-Sakhawi, dan

9 Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001), hlm 278
10 Imam Syamsuddin bin Abdurrahman al-Sakhowi, al-Qoul al-Badi' Fi al-Sholah Ala al-habib al-Syafi', Dar
alRayyan Li al-Turats, Mesir, hal. 256. Lihat juga: Prof. Dr. Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd Fi Ulum al-Hadits, Dar
al-Fikr, Beirut, cet. II, 1979, Hal. 392-294.
11 Prof. Dr. Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd Fi Ulum al-Hadits, Op. cit, Hal. 392.
12 Ibnu Hazm, al-Muhalla, Penerbit al-Muniriyyah, Mesir, tahkik. Syaikh Ahmad Syakir, cet I, 1347H, juz. 1, hal.
68. Lihat juga: Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, Op. cit, juz. 1, Hal. 374
13 Ibnu Mandah, Fadl al-Akhbar Wa Syarh Madahib Ahl al-Atsar, Dar al-Muslim, Riyadh, tahkik. Abdul
alRahman al-Faryawai, cet. I, Hal. 73. Ibnu Shalah, Ulum al-Hadits, cet. I, 1931M, Halb, hal. 40.
14 Prof. Dr. Khalil Mula al-Khatir, khuthurah Musawati al-Hadits al-Dhaif Bil Maudhu, cet. I, 1428H, Hal.63- 65.
Kajian tersebut disampaikan dalam suatu symposium di Fakultas Dirasat Islamiyah Wal Arabiyah di Dubai.
para ulama hadits yang lain, bahkan Imam al-Nawawi menyatakan kesepakatan ulama hadits,
ulama fuqoha dan ulama-ulama yang lain dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail
a'mal, zuhud, kisah-kisah dan halhal yang lain selain perkara yang berhubungan dengan
hukum syariat dan akidah15 . Dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, para
ulama mensyaratkan 3 hal; yaitu: 1). Hadits tersebut tidak boleh syadid dhaif (lemah sekali).
2). Hadits tersebut masuk dalam salah satu kaidah syariat islam. 3). Ketika mengamalkannya
kita tidak boleh menyakini kebenaran hadits tersebut, supaya tidak menisbatkan sesuatu yang
tidak diucapkan oleh baginda nabi. Ketiga: Tidak boleh mengamalkan hadits dhaif secara
mutlak, baik dalam hal fadahil a'mal maupun dalam hukum syariat. Ini adalah madzhab Imam
Abu Bakar Ibnu alArabi, al-Syihab al-Khafaji, dan al-Jalal al-Dawwani. Sekarang kita akan
menganalisa pengamalan hadits dhaif dari para ulama hadits sekaligus ulama fiqih secara
praktis. Imam Malik semisal, Imam Ibnu Abdil Bar dalam Tamhidnya menyatakan ada 61
hadits dengan shigat balaghat (disampaikan) dan hadits mursal, namun semuanya
disambungkan sanadnya oleh beliau, kecuali 4 hadits16 . Dan hadist dengan bentuk balaghot
dan hadist mursal termasuk dalam kategori hadist dhaif. Contoh lain dalam masalah
mengusap kaos kaki dalam bersuci, Imam Malik tidak menentukan waktunya berdasarkan
perkataan sahabat dan tabi'in, padahal ada hadits nabi dengan sanad muttasil menentukan
waktunya, 3 hari untuk musafir, sehari semalam untuk muqim 17 . Imam Abu hanifah
berpendapat tertawa dalam shalat dapat membatalkan wudhu' dan shalat sekaligus. itu
didasarkan kepada hadist mursal yang diriwayatkan Imam al-Hasan al-Basri, meskipun para
ulama hadits mendhaifkan hadits tersebut18 . Contoh lain, imam Abu Hanifah
memperbolehkan wudhu' dengan air anggur, dan mendahulukan hadits tentang wudhu' dengan
air anggur dari pada qiyas, meskipun hadits tersebut dhaif 19 . Imam Syafi'i memperbolehkan
shalat di Makkah di waktu terlarang untuk shalat, meskipun hadits tersebut dhaif. Beliau juga
15 Imam al-Nawawi, al-Adzkar, Maktabah Nazar Mustafa al-Baz, Makkah, cet. I, 1997 juz. 1, Hal. 10-11. Lihat
juga: Imam al-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Saudi Arabia, tahkik. Muhammad
Najib al-Muthi'i, juz. 3, hal. 226.
16 Keempat hadits tersebut adalah:

17 Ibnu Abdil Bar, al-Tamhid Lima Fil Muwatha' Min al-Ma'ani Wal Asanid, Wizarah al-Auqaf Wal al-Syu'un al-
Islamiyah, Maroko, 1985, tahkik. Mustafa bin Ahmad al-Alawi, juz. 11, Hal. 251.
18 Muhammad bin Hasan al-Syaibani, Kitab al-Atsar, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. II, 1993, ta'lik. Abu al-
Wafa' al-Afghani, juz. 1, Hal. 732.
mendahulukan hadits siapa yang muntah atau mimisan, maka hendaklah berwudhu' dan
meneruskan shalatnya, dari pada qiyas, meskipun hadits tersebut dhaif 20 . Imam Ahmad
mengambil hadits ( ‫اء‬p‫ذائك إل أكف‬p‫ذجاو ان‬pp‫ان وان‬p‫"اض‬
ُ (manusia sederajat, kecuali penganyam dan
pembekam" dalam syarat pernikahan, meskipun hadits tersebut dhaif. Dan banyak lagi
contoh-contoh yang menunjukkan bahwa para ulama hadits dan ulama fiqh mengamalkan
hadits dhaif dalam fadhail a'mal dengan 3 syarat dia atas, bahkan diamalkan dalam hukum
fiqih, dengan syarat hadits tersebut tidak maudhu' (palsu) dan tidak ada dalil selain hadits
tersebut.

D. Cara meriwayatkan hadis da’if.


Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadits
dhaif. Perbedaan ini terbagi dalam atas tiga pendapat:

1. Hadits dhaif itu tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah hukum, aqidah,
targhib wa tarhib dan selainnya. Pendapat ini dipegang oleh beberapa ulama terkemuka di
bidang hadits, diantaranya: al-Hafizh Yahya bin Ma’in, Imam al-Bukhari, Imam Muslim,
Imam al- Khaththabi, Imam Ibnu Hazm, al-Hafizh Abu Bakar Ibnu al-‘Arabi al-Maliki,
dan Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
2. Boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bab Fadhail al-A’mal, dan targhib wa tarhib,
namun tidak diamalkan dalam masalah akidah dan hukum. Pendapat ini dicetuskan oleh
sebagian ahli Fikih dan ahli Hadits, seperti al-Hafizh Ibnu Abdil Pendapat atau mazhab
ketiga ini dinisbatkan kepada keempat imam mazhab utamanya Imam Ahmad dan
muridnya Abu Dawud Barr, Ibnu Qudamah, Imam Nawawi, al-Hafizh Ibn Katsir dan
Imam Suyuthi.
3. Boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam masalah fikih, akidah dan
selainnya, jika dalam masalah itu tidak didapatkan hadits-hadits sahih ataupun hasan..

Para Ulama yang membolehkan periwayatan dan pengamalan hadits dhaif, menetapkan
beberapa syarat yang mesti diperhatikan:

19 Muhammad bin Abdil Hadi, Tankih Tahkik Ahadits al-Ta'lik, Adwa' al-Salaf, Riyadh, cet. I, 2007, tahkik. Sami
Bin Muhammad bin Jadillah, juz. 1, Hal. 52. Lihat juga: Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Dar Ibnu
al-Jauzi, Saudi Arabia, tahkik. Masyhur bin Hasan Al Salman, cet. I, 1423H, juz. 2, hal. 56.
20 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Op. cit. juz. . 2, hal. 58.
1. Hadits tersebut tidak lemah sekali -bukan hadits yang derajatnya dha’if jiddan apalagi
maudhu’-.

2. Hadits dhaif tersebut masuk dan ditunjuki oleh suatu dasar umum dan dipegangi yang
berasal dari hadits sahih. Dimana hadits dhaif itu tidak boleh dijadikan asal dan dasar
dalam menetapkan suatu hukum.

3. Tidak boleh meyakini bahwa ia adalah sabda Nabi atau perbuatan beliau. Hadits itu
diamalkan hanya karena kehati-hatian ketimbang mengamalkan sesuatu yang tidak ada
dasarnya sama sekali.

4. Hadits tersebut khusus untuk Fadhail al-A’mal atau Targhib wa Tarhib. Bukan dalam
masalah akidah, hukum -urusan halal haram dan lainnya-, tafsir al-Qur’an dan sebagainya
yang sifatnya prinsip dalam al-Dien ini.

5. Orang yang mengamalkan tidak boleh mempopulerkan hadits tersebut, karena masyarakat
awam jika melihat hadits itu mereka pasti menyangka bahwa ia merupakan hadits
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

6. Dalam periwayatannya tidak boleh menggunakan shigah (bentuk) al-jazm, seperti “qaala”
(Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda). namun hendaknya menggunakan
shigah al-tamridh (bentuk yang menunjukkan bahwa hadits itu ada cacatnya), seperti:
”qiila” (dikatakan), “ruwiya” (diriwayatkan) dan lafazh-lafazh lain yang dikenal di
kalangan ahli hadits.

LAPORKAN IKLAN INI


Adapun para ulama hadits yang berpegang pada pendapat pertama -tidak boleh meriwayatkan
dan mengamalkan hadits dhaif secara mutlak-, juga telah mengemukakan dalil-dalil atas
pernyataan ini, diantaranya:

1. Dalil-dalil umum yang melarang menyampaikan hadits kecuali yang sahih dan benar
datangnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam -lihat sebagian dari dalil-dalil
mereka pada bagian pertama tulisan ini-. Mereka mengatakan, bahwa menisbatkan atau
menyandarkan hadits dhaif kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidak
dibenarkan sama sekali.
2. Mereka mengatakan, bahwa kabar yang bersumber dari hadits dhaif itu hanya
memberikan faedah berupa zhon (prasangka) yang lemah, yaitu masih diragukan apakah
benar sabda Nabi atau bukan. Olehnya, atas dasar apa kita mengatakan bahwa hadits
dhaif  bisa diamalkan?  Padahal Allah mencela zhon itu dalam beberapa ayat al-Qur’an
seperti firman Allah dalam surah An-Najm :28 (artinya): “Dan mereka tidak mempunyai
sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.

Demikian pula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Jauhilah zhon (prasangka), karena prasangka itu sedusta-dusta perkataan atau ucapan” (HR
Bukhari nomor 5143).

Adapun perkataan Imam Ahmad (pendapat atau mazhab ketiga) bahwasanya beliau
rahimahullah jika tidak mendapatkan hadits sahih dalam satu bab maka beliau berpegang pada
hadits yang dhaif ketimbang berpegang pada pendapatnya sendiri atau pendapat imam yang
lain. Menurut sebagian ulama diantaranya Syekh al Islam Ibn Taimiyah maksud dari hadits
dhaif di sini adalah hadits hasan menurut istilah kita sekarang. Karena pada masa mereka ilmu
mushtholah hadits belum begitu berkembang sehingga pembagian hadits yang mereka kenal
ketika itu hanyalah sahih dan dhaif, jadi jika mereka menyebutkan hadits dhaif ketika itu
maka boleh jadi yang mereka maksud hadits hasan menurut istilah kita sekarang, karena yang
pertama kali banyak menggunakan pembagian hadits menjadi tiga : sahih, hasan, dhaif adalah
Imam At-Tirmidzi, yang mana beliau datang sesudah Imam Ahmad. Namun pandangan Imam
Ibn Taimiyah ini kurang tepat karena ternyata peristilahan hadits hasan sudah dikenal oleh
sebagian ulama sebelum Imam Tirmidzi seperti yang difahami dari ungkapan beberapa ulama
seperti Ali ibn Al Madini, Imam Ahmad dan Imam Bukhari,

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun dapat
menyimpulkan:
1. Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti lemah,
dan yang dimaksud hadits dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau tidak
kuat. Secara terminologi, di antara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam
mendefinisikan hadits dho’if ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya
adalah sama yaitu hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits
maqbul.
2. Kedudukan hadits dho’if dalam hukum islam yaitu berada setelah hadits shahih dan
hadits hasan.
3. Terdapat 3 madzhab pendapat para ulama mengenai pengamalan hadits dho’if, yaitu :
a. Mazhab Pertama mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan secara mutlak,
baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib dengan syarat tidak
ditemukan hadits lain dalam bab tersebut.
b. Mazhab kedua mengatakan mempergunakan hadits yang dho’if untuk fadha ‘ilul
a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu
sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-
Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk
menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang
hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
c. Mazhab ketiga mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah tidak boleh
secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun halal dan haram.
4. Berdasarkan ke-dho’if-an suatu hadits, maka hadits dho’if terbagi atas :
a. Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanadnya : Hadits Mursal, Hadits
Munqothi, Hadits Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas
b. Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi : Hadits Matruk, Hadits Munkar, Hadits
Mu’allal, Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Hadits Mudhorib, Hadits Mushoffaf,
dan Hadits Syadz.

B. SARAN
Saran yang dapat kami berikan terkait pembahasan Hadits Dho’if ini adalah :
1. Bagi pembaca diharapkan dapat membedakan hadits dho’if dengan hadits lainnya.
2. Untuk lebih memahami mengenai hadits dho’if, diharapkan pembaca dapat mencari
lebih banyak lagi informasi dari berbagai sumber.
3. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca kami mengharapkan saran dan kritik
ataupun tegur sapa yang sifatnya membangun akan diterima dengan senang hati demi
kesempurnaan makalah selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

Al Maliki , Muhammad Alawi; 2009; Ilmu Ushul Hadis; Pustaka Pelajar; Yogyakarta.


Ash Shiddieqy, M. Hasbi; 1987; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1; PT Bulan
Bintang; Jakarta.
Ichwan , Mohammad Nor; 2007; Study Ilmu Hadits; Rasail Media Group; Semarang.
Mudasir; 1999; Ilmu Hadits; Pustaka Setia; Bandung.
Suparto, Munzier; 2003; Ilmu  Hadits; PT RajaGrafindo Persada; Jakarta.
Yuslem , Nawir; 2001; Ulumul Hadits; PT Mutiara Sumber Widya; Jakarta.
al-Sakhowi, Syamsuddin bin Abdurrahman, al-Qoul al-Badi' Fi al-Sholah Ala al-habib al-
Syafi', Mesir: Dar al-Rayyan Li al-Turats.
Itr, Nuruddin, 1979, Manhaj al-Naqd Fi Ulum al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, cet. II
Ibnu Hazm, 1347H, al-Muhalla, Mesir: Penerbit al-Muniriyyah, tahkik. Syaikh Ahmad
Syakir, cet I.
Ibnu Mandah, Fadl al-Akhbar Wa Syarh Madahib Ahl al-Atsar, Riyadh: Dar al-Muslim,
tahkik. Abdul al-Rahman al-Faryawai, cet. I.
Ibnu Shalah, 1931M, Ulum al-Hadits, Halb: Percetakan Ilmiyah.
Ibrahim, Mohmmad Zaki, 2000, Wadifatul Hadist ad-Dhaif Fil Islam, Kairo: Dar Nubar.
al-Khatir, Khalil Mula, 1428H, Khuthurah Musawati al-Hadits al-Dhaif Bil Maudhu
al-Asqolani, Ibnu Hajar, 2000, Nuzhatun Nadzor Syarh Nukhbatul Fikar (Damascus:
Percetakan AlShobah,), cet III, tahkik: Dr. Nurudin Itr.
al-Asqolani, Ibnu Hajar, 1984, al-Nukat Ala Muqoddimah Ibn Sholah, Saudi Arabia:
Universitas Islamiyah Madinah.
Tohhan, Mahmud, 1415H, Taisir Mustolah Hadist, Alexandria: Markaz al-Huda Lid Dirosat.
Al-Yafi’I, Abdul Fattah Qodis, Hukmul Amal Bil Hadist ad-Dhaif ‘Indah Muhadisin Wal
Fuqoha’.

Anda mungkin juga menyukai