Anda di halaman 1dari 16

HADIST DHOIF

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadist

Dosen Pengampu :

Lukman Zain Muhamad Sakur, M.A

NAMA: HASBI WILDAN HABIBI

NIM:2385110048

KELAS: SPI B

SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB


INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

2023 M/ 1445 H

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah berkenan
melimpahkan rahmat dan hidayah-NYA sehingga sampai saat ini kita masih
mendapatkan ketetapan Iman dan Islam. Proposan penelitian ini di susun untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Metode Penelitian Kuantitatif.

Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Lukman Zain Muhamad Sakur,
M.A selaku dosen mata kuliah yang telah membantu baik secara moral maupun
materi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman seperjuangan yang
telah mendukung sehingga bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa
mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan bagi pembaca dan bisa
bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Cirebon, 11 Desember 2023


Penulis
Hasbi wildan habibi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
C. Tujuan...........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................6
A. Kriteria Dan Pengertian Hadist Dhoif...........................................................6
B. Macam-Macam Hadist Dha’if......................................................................7
C. Hukum Mengamalkan Hadist Dhoif...........................................................12
BAB III KESIMPULAN...................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan salah satu dasar pengambilan hukum Islam
setelah alQuran. Sebab hadis mempunyai posisi sebagai penjelas terhadap
makna yang dikandung oleh teks suci tersebut. Apalagi, banyak terdapat
ayat-ayat yang masih global dan tidak jelas Maknanya sehingga seringkali
seorang mufassir memakai hadis untuk mempermudah pemahamannya.
Seiring dengan perkembangan ulumul hadis, maka terdapat beberapa
kalangan yang serius sebagai pemerhati hadis. Hal ini tidak lain bertujuan
untuk mengklasifikasikan hadis dari aspek kualitas hadis baik ditinjau dari
segi matan hadis maupun sanad hadis. Sehingga dapat ditemukan hadis-
hadis yang layak sebagai hujjah dan hadis yang tidak layak sebagai hujjah.
Posisi hadis sebagai sumber hukum. Tidak lain karena adanya kesesuaian
antara hadis dengan teks suci yang ditranmisikan kepada Nabi
Muhammad. Bisa juga dikatakan bahwa hadis merupakan wahyu Tuhan
yang tidak dikodifikasikan dalam bentuk kitab sebab lebih banyak hasil
dari proses berpikirnya Nabi dan hasil karya Nabi. Akan tetapi bukan
berarti hadis adalah al-Quran. Dengan alasan itu maka selayaknya hadis
mendapat perhatian yang khusus bagi tokoh cendekiawan Muslim selain
studi al-Quran. Agar khazanah ajaran islam benar-benar mengakar dengan
melakukan kontektualisasi terhadap realitas dimana hadis itu hadir. Dalam
memahami hadis Nabi, realitas mempunyai posisi yang sangat penting.
Agar hadis Nabi mampu mengakomodir segala realitas yang komplek dan
beragam. Dengan itu, maka hadis Nabi tidak akan pernah mati dan terus
hidup sampai penutupan zaman. Akan tetapi , dalam beberapa hal terdapat
ciri - ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya
diperlukan perhatian khusus. Berbeda ketika kondisi umat islam pada
masa Rasulullah tidak dapat begitu mendapat kesulitan dalam
memecahkan berbagai macam problematika yang berkaitan dengan
masalah agama, hal tersebut di karenakan setiap terjadi sesuatu yang
memerlukan hukum mereka langsung datang menemui rasulullah dan
bertanya tentang hukum dan sekaligus solusi terhadap masalah- masalah
yang terjadi saat itu, Rasul pun ketika itu langsung mendapatkan wahyu
sebagai penjelas dan yurisprudensi terhadap masalah tersebut. 1 Dengan
demikian ijtihad pada masa rasulullah masih belum di butuhkan bagi kaum
Muslimin, walaupun demikian ada indikasi bahwa ijtihad itu sudah ada
pada masa itu ini terbukti ketika dibenarkannya Mua‟dz bin Jabal oleh
Rasulullah untuk melakukan ijtihad terhadap masalah- masalah 1 .
Muhammad, Yusuf Musa Al- Madkhal Li Dirasat Al-Fiqhi Al- Islamy
( Bairut: Dar AlFikri Al- Araby, t.t ) 69 3 yang tidak ada dalam al- Qur‟an
dan sunnah Nabi, ketika dia di utus oleh rasulullah untuk menjadi Qadhi
( hakim ) di kota Yaman.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana kriteria hadist dhoif dan pengertian hadist dhoif
sendiri?
b. Bagaimana macam-macam hadist dhoif?
c. Bagaimana hukum mengamalkan hadist dhoif?

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui kriteria dari hadist dhoif dan paham akan
tentang hadist dhoif
b. Untuk mengetahui macam-macam hadist dhoif
c. Untuk mengetahui hukum mengamalkan hadist dhoif
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kriteria Dan Pengertian Hadist Dhoif


Pada definisi hadist dha’if diatas telah terlihat bahwa hadist dha’if tidak
memenuhi salah satu dari kriteria hadist shahih atau hadist hasan. Adapun
kriteria-kriteria dari hadist dha’if yaitu: (1) sanadnya terputus, (2) periwatnya
tidak adil, (3) periwatnya tidak dhabith, (4) mengandung syadz, dan (5)
mengandung illat.2 Pada hadis dhoif terdapat hal-hal yang menyebabkan
lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari
Rasulullah SAW. Kehati-hatian para ahli hadis dalam menerima hadis
sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hdis itu sebagai
alasan yang cukup untuk menolak hadis dan menghukuminya sebagai hadis
dhoif. Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian hadis itu bukan suatu bukti
yang pasti adanya kesalahan dan kedustaan dalam periwayatan hadis, seperti
kedhaifan hadis yang disebabkan rendahnya daya hapal rawinya atau
kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan sesuatu hadis, padahal
sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi
itu salah satu pula dalam meriwayatkan hadits yang dimaksud, bahkan
mungkin sekali hadis benar. Akan tetapi, karena adanya kekhawatiran yang
cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan
hadis yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk menolaknya1.
Demikian pula kedhoifan suatu hadis karena tidak bersambungnya sanad.
Hadis yang demikian dihukumi dhoif karena identitas rawi yang tidak
tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhoif.
Seandainya ia adalah rawi yang dhoif, maka boleh jadi ia melakukan
kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhaddisin
menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai
suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai suatu penghalang dapat
1
Hidayatus Sibyan, ‘Studi Hadits’, 2021, 1–20.
diterimanya suatu Hadis.Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang
sistematis, kritis dan ilmiah. Dari segi bahasa dhaif berarti lemah. Lawan dari
Al-Qawi yang berarti kuat2. Kelemahan hadis dhaif ini karena sanad dan
matannya tidak memenuhi kriteria hadis kuat yang diterima sebagian hujjah.
Sedangkan dari segi istilah hadis dhaif adalah:

‫هومالم يجمع صفة الحسن بفقد شرط من شروطه‬

Artinya : hadis yang tidak menghimpun sifat hadis hasan sebab


satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi. Atau definisi lain biasa
diungkapkan mayoritas ulama adalah:

‫هو مالم يجمع صفه الصحيح والحسن‬

Artinya hadist yang tidak menghimpun sifat hadis shhih dan hasan

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadis dha’if adalah hadis
yang lemah karena tidak memenuhi syarat hadis hasan dan shahih seperti
sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria karena sanadnya tidak
bersmbung (muttasshil), terjadi keganjilan, terjadinya cacat yang tersembunyi
(‘illat) dan para perawinya tidak adil dan tidak dhabit.

B. Macam-Macam Hadist Dha’if

1. Dha’if di tinjau dari segi persambungan sanad

a. Hadist Mursal

Secara etimologis, “mursal” diambil dari kata “irsal” yang


berarti “melepaskan”. Kat ini digunakan sebagi istilah untuk
menyebut sutu hadis, karena orang yang meriwayatkannya
melepaskan hadis itu langsung kepada nabi, tanpa menyebutkn
2
Hidayatus Sibyan, ‘Mengamalkan Hadist Dha ’ If’, 2021, 1–16.
rawinya, yakni tidak menyebutkan seseorang yang pertama
mengeluarkan hadist. Al-Hakim mendefinisikan hadis mursal ini
dengan: “hadis yang disandarkan langsung oleh tabi’in kepada Rasul
SAW, baik berupa perkataan, perbuataan, maupun taqrirnya 3.”

Hadis mursal ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu


mursal al-jali dan mursal al-khafi. Mursal al-jali yaitu tidak
disebutkannya nama sahabat tersebut dilakukan oleh tabi’in besar,
sedangkan jenis hadis yang kedua, mursal al-kahfi, yaitu
pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.

Termasuk dalam kategori hadis jenis ini adalah hadis yang


diriwayatkan oleh seorang sahabat yang ia senduri tidak langsung
menerima dari Rasul saw. kemungkinannya, ia ketika itu masih kecil
atau tidak hadir di majlis rasul pada saat hadis itu di wurudkn. Akan
tetapi dikatakannya bahwa ia menerima hadis itu sendiri dari
rasulullah oleh pra ahli hadis. Yang diriwayatkan dengan cara ini
disebut dengan mursal al-sahabi.

Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan hadis

mursal. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatin ada tiga pendapat


yang terholong masyhur. Pertama, membolehkan berhujjah dengan
hadist mursal secara mutlak. Ulama yang termasuk kelompok
pertama ini diantaranya Abu Hanfah, Imam Malik, Aimam Ahmad,
dan pendapat sebagian ahli ilmu. Kedua, tik membolehkan secara
mutlak. Hal ini didukung oleh ahli ilmu hadis, imam syafi’i,
kebanyakan ulama ahli fiqih dan ahli usul’ dan ketiga, membolehkan
menggunakan hadist musal apabila ada riwayat lain yang musnad,
diamalkan oleh Sebagian ulama atau sebagian besar ahli ilmu,
demikian pendapat jumhur ulama dan ahli hadis.

3
Sibyan, ‘Studi Hadits’.
b. Hadist Munqati’

Hadist munqati’ menurut Muhmmad al-Sabag adalah hadis


yang gugur pada sanadnya seorang perawi, atau pada sanad
tersebut disebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya.
Sedangkan Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib
mendinisikannnya sebagai hadis yang gugur sanadnya disatu
tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang
yang tidak dikenal. Sementara menurut Ibn Shalah
mendefinisikan yaitu hadis yang gugur seorang perawinya
sebelum sahabat pada satu tempat, yang tidak berturut-turut4.

Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa


gugurnya perawi pada hadis munqati’ bukan terletak pada
thabaqah pertama, yakni thabaqah sahabat, tetapi pada thabaqah
berikutnya. Dan dilihat dari persambungan sanadnya, hadis
munqati’ jelas masuk dalam kategori hadis dha’if.

‫مارواه عبدالرزاق عن الثوري عن ٔابي اسحاق عن زيدبن يثيع‬

‫ ان وليتموها ٔابابكر فقوي ٔامين‬: ‫عن حذيفة مرفوعا‬

Hadist yang diriwayatkan oleh ‘Abd al-Razzaq dar al-


Tsauri dari Abi Ishaq dari Zaid ibn Yutsi’ dari Huzaifah yang
menyatakannya sebagai Hadis Marfu’ (berasal dari Nabi saw):
jika kamu mengangkat Abu Bakar (sebagai pemimpin), maka dia
adalah seseorang yang kuat dan terpercaya
Pada sanad hadis hadist diatas terdapat satu orang perawi yang

4
(Sibyan, 2021)
digugurkan dipertengahan sanad tersebut, Yaitu Syuraik
seharusnya ada dianatara Al-Tsauri dan Abu Ishaq, karena Al-
Tsauri tidak mendengar Hadist dari Abu Ishaq secara langsung,
namun dia mendengarnya mellui perantara Syuraik, dan
Syuraiklah yang mendengarkannya melalui perantara dari Abu

Ishaq5. Hadist seperti inilah disebut munqhati’ karena ada


persambungan sanad yang tidak disebutkan sehingga
menyebabkan sanadnya gugur.

c. Hadist Mu’dhal

Secara etimologis, kata mu’dhal berarti “sesuatu yang


sulit dicari” atau “sesuatu yang sulit dipahami”. Sedangkan
secara terminologis, hadis mu’dhal didefinisikan sebagai “hadis
yang gugur dua orang sanadnya atau lebih, secara berturut-

turut”. 6 Dengan pengertian diatas, menunjukkan bahwa hadis


mu’dhal berbeda dengn hadis munqati’. Pada hadis mu’dal,
gugurnya dua orang perawi terjdi secara berturut-turut.
Sedangkan pada hadist munqati’, gugurnya dua orang perawi
terjadi secara terpisah. Salah satu contohnya adalah hadist Imam
Malik yang termuat dalam kitabnya al-muwaththa’ yang
berbunyi:

‫ قال رسول هللا عليه‬:‫ ٔانه بلغه ٔان ٔاباهريرة قال‬,‫حد ثني مالك‬

‫ للمملك طعامه وكسوته بالمعروف‬: ‫وسلم‬

Telah menceritakan kepadaku Malik, bahwasanya telah


sampai kepadanya berita bahwa Abu Hurairah berkata:
“Rasulullah SAW bersabda. “hak bagi hamba adalah
makanannya dan pakaiannya secara baik (ma’ruf).”
Hadist diatas adalah mu’dhal, karena gugur dua orang
perawinya secara berturut turut, yaitu antara Imam Malik dan
Abu Hurairah.

d. Hadist Muallaq

Secara etimologis, kata muallaq adalah isim maf’ul dari


kata ‘allaqa yang berarti “menggantungkan sesuatu pada sesutu
yang lin sehingga menjadi tergantung”. Sedangkan secara
terminoligis, hadis muallaq adalah “hadis yang dihapus dari awal
sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut- turut”. Pada
umumnya hadist muallaq adalah hadis yang diriwayatkan oleh
bukhari pada Muqaddimah bab mengenai “menutupi paha”,
berkata Abu Musa . “Rasulullah saw. menutupi kedua lutut beliau
ketika ‘Utsman masuk”. Hadist ini muallaq karena Bukhari
menghapus seluruh sanadnya, kecuali sahabat yaitu Abu Musa

Asy’ari.7 Hadist muallaq hukumnya adalah mardud (tertolak),


karena tidak terpenuhinya salah stu syarat qabul, yaitu
persambungan sanad, yang dalam hal ini adalah syarat
dihapuskannya satu orang perawi atau lebuh dari sanadnya,
sementar keadaan perawi yang dihapuskan tersebut tidak
diketahui.

e. Hadist Mudallas

Secara etimologis, kata mudallas merupakan isim maf’ul


dari kata tadlis. Yang berarti “menyembunyikan cacat barang
yang dijual dari si pembeli” kata al-dalsu megandung arti “gelap”
atau berbaut dengan gelap.” Sedangkan secara terminologis ilmu
hadis, didefinisikan sebagai “menyembunyikan cacat dalam sanad
dan menampakkannya pada lahirnya seperti baik”.
Para ulama membagi mudallas ,menjadi dua bagian. Yang
pertama yaitu tadlis al-isnad yang berarti seorang perawi
meriwayatkan hadis dari orang yang semasa dengannya yang
hadis tersebut tidak didengarnya dari orang itu namun seolah-
olah dia mendengarnya dari orang tersebut dengan menggunakan
perkataan: “berkata si fulan” atau “dari si fulan”, dan yang
seumpamanya. Boleh jadi di menggugurkan gurunya, atau orang
lain, yang dhaf atau masih kecil, agar hadis tersebut dipandang
baik. Dan kedua yaitu tadlis al-syuyukh, yaitu seorang perawi
memberi nama, gelar, nisbah atau sifat kepada gurunya dengan
sesutu nama atau gelar yang tidak dikenal. Umpamanya perkataan
Abu Bakar ibn Mujahid: haddatsana ‘Abdullah bin Abi ‘Abdillah,
telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah ibn ‘Abdillah.” Yang
dimaksud dengan Abdullah di sini adalah Abu Bakar ibn Ab
Dawud al-Sijistani.

C. Hukum Mengamalkan Hadist Dhoif

Hukum mengamalkan hadits dhaif, Pendapat imam Syamsuddin

bin Abdurrahman al-Sakhowi murid dari al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani


menyebutkan ada 3 Pendapat dalam mengamalkan hadits dhaif, antara lain

- Boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam


fadhail a'mal, maupun dalam hukum syariat (halal, haram, wajib
dan lain-lain) dengan syarat dhaifnya tidak dhaif syadid (lemah
sekali), dan juga tidak ada dalil lain selain hadits tersebut, atau
dalil lain yang bertentangan dengan hadits tersebut. Prof. Dr.
Nuruddin Itr mengatakan dalam manhaj al-naqd fi ulum al-
haditsnya
- Boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail
a'mal, zuhud, nasehat, kisah-kisah, selain hukum syariat dan
akidah, selama hadits tersebut bukan hadits maudu' (palsu). Ini
adalah madzhab jumhur ulama dari muhaditsin, fuqoha dan ulama
yang lain
- Tidak boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam
hal fadahil a'mal maupun dalam hukum syariat. Ini adalah
madzhab Imam Abu Bakar Ibnu al-Arabi, al-Syihab al-Khafaji,
dan al-Jalal al-Dawwani

Hadits Dhoif boleh mengamalkan hanya untuk fadhail a’mal


dengan syarat hadisnya tidak terlalu dhaif biasa hadis masuk ke
Hadits Ahad, tidak betentangan dengan Nas (Alquran) yang kuat
serta ketika mengamalkan bukan untuk diyakini sebagai Hukum
syariah islam.
Contoh Hadits Dhoif dari sanadnya :

‫مارواه عبدالرزاق عن الثوري عن ٔابي اسحاق عن زيدبن يثيع عن حذيفة‬


‫ ان وليتموها ٔابابكر فقوي ٔامين‬: ‫مرفوعا‬.

BAB III

KESIMPULAN

Dari segi bahasa dhaif berarti lemah. Lawan dari Al-Qawi yang berarti
kuat. Kelemahan hadis dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi
kriteria hadis kuat yang diterima sebagian hujjah. Sedangkan dari segi istilah
hadis dhaif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis hasan sebab satu dari
beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
Adapun kriteria-kriteria dari hadist dha’if yaitu: (1) sanadnya terputus, (2)
periwatnya tidak adil, (3) periwatnya tidak dhabith, (4) mengandung syadz, dan
(5) mengandung illat.

Macam-Macam Hadist Dha’if di tinjau dari segi persambungan sanad


yaitu hadist mursal, hadist munqati’, hadist mu’dhal, hadist muallaq, hadist
mudallad. Ditinjau dari segi sandarannya yaitu hadist hadist mauquf dan hadist
maqthu’. Ditinaju dari segi segi cacatnya perawi yaitu hadist matruk, hadis
munkar, hadis muallal, hadis mudraj, hadis maqlub, hadis mudraf, hadis
Mudhtharib, dan hadist Mushahhaf. Hukum mengamalkan hadis pertama, tidak
boleh mengamalkan hadis dhaif baik untuk fadhail a’mal atau kepentingan hukum
lainnya Kedua, boleh mengamalkan hadis dhaif ketimbang mengamalkan dengan
qiyas lebih baik menggunakan hadis dhaif. Ketiga, boleh mengamalkan hanya
untuk fadhail a’mal dengan syarat hadisnya tidak terlau dhaif, tidak betentangan
dengan nas yang kuat serta ketika mengamalkan bukan untuk diimani.

DAFTAR PUSTAKA

Sibyan, Hidayatus, ‘Mengamalkan Hadist Dha ’ If’, 2021, 1–16

———, ‘Studi Hadits’, 2021, 1–20

Anda mungkin juga menyukai