HADIS DHA’IF
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadist
Disusun oleh :
Puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah Subhanahu wata’ala yang telah
memberikan kelimpahan nikmat, taufik dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Hadist Dha’if” sebagai tugas kelompok 9 mata kuliah “Studi hadist”,
dengan tepat waktu. Shalawat serta salam kami sampaikan kepada Nabi agung kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk
keselamatan umat di dunia.
Adapan tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Studi Hadist di program studi Tadris Biologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah Keguruan
(FITK), Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon yang ditugaskan oleh Bapak
Warom, Lc., M.Pd. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
pembaca dan penulis. Selanjutnya Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak
Warom, Lc., M.Pd. selaku dosen mata kuliah studi Hadist yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah wawasan di bidang yang kami tekuni. Tak lupa kami sampaikan
terimakasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal sehingga
terselesaikannya makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………....................1
KATA PENGANTAR……………………………………………………….........................2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….....................3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………....................4
A. Latar Belakang……………………………………………………………...................4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………......................5
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………….....................6
A. Pengertian Dha’if…………………………………………………...............................6
B. Kriteria Hadist Dha’if…………………………………….............................................7
C. Macam-macam Hadist Dha’if………………………………………............................7
D. Kehujjahan Hadist Dha’if.............................................................................................11
E. Hukum Meriwayatkan Dan Mengamalkan Hadist Dha’if...........................................13
A. Kesimpulan………………………………………………………………...................16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………................17
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat muslim dewasa ini banyak terkendala dengan keterbatasan mereka
dalam memahami posisi hukum dalam mengamalkan sesuatu perbuatan. Tulisan ini
hendak memudahkan dalam menakar kekuatan hukum yang mendasari sebuah
perbuatan, khususnya pada hadits dhoif.
Hadist Nabi memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam syariat
islam. Maka sejak munculnya hadist di masa sahabat, eksistensi hadist mendapat
banyak kritikan, ejekan, dan isu-isu yang terus berdatangan dari masa ke masa sampai
sekarang. Di awal munculnya hadist di masa sahabat misalnya, orang-orang mulai
meragukan hadist nabi. Diceritakan sekelompok orang mengkritik Abdullah bin Amr
bin Ash ra. yang telah menulis semua ucapan Rasulullah seraya berkata: ‚Rasulullah
itu manusia biasa yang terkadang berbicara dalam kondisi marah dan ridlo‛!.
Abdullah bin Amr bin Ash ra. mengadu kepada Rasulullah tentang hal tersebut,
akhirnya Beliau bersabda: ‚Tulislah dari Saya! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-
Nya tidak ada yang keluar dari mulutku kecuali kebenaran‛ .
Dan di masa sekarang, isu-isu, kritkan, dan hantaman terhadap hadist terus
bermunculan, diantaranya adalah muncul kelompok yang merendahkan dan tidak
memuliakan Rasulullah. Di sisi lain, muncul kelompok yang mengingkari sunnah dan
hanya berpegang kepada al-Qur’an saja atau yang sering dikenal dengan kelompok
Qur’aniyyin. Di sisi lain, muncul golongan yang mencela dan mengkritik kitab
shohihain (Shohih al-Bukhari dan Shohih Muslim), ada golongan yang mencela dan
merendahkan para sahabat nabi, ada juga golongan yang mencela dan
mengkritik.sosok Imam al-Bukhari dan isu-isu lain yang dituduhkan terhadap hadist
dan perangkatnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hadist Dha’if ?
2. Bagaimana kriteria hadist dha’if ?
3. Apa saja macam-macam hadist dhaif ?
4. Bagaimana kehujjahan hadist dhaif ?
5. Apa hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadist dha’if ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hadist dha’if
2. Untuk mengetahui kriteria hadist dha’if
3. Untuk mengetahui macam-macam hadist dha’if
4. Untuk mengetahui kehujjahan hadist dha’if
5. Untuk mengetahui hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadist dha’if
BAB II
Hadist Dha’if
1. Pengertian Hadist Dha’if
Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang
kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara bahasa berarti Hadist yang lemah,
yang sakit atau yang tidak kuat. Secara Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara
berbeda-beda. Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama, Pendapat An-
Nawawi : “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-
syarat Hadist Hasan.”
Artinya:
“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji,
berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.
4). Hadist Mu’allal
Hadits mu’allal ialah hadits yang terdapat padanya sebab-sebab yang
tersembunyi yang diketahui sebab-sebab itu sesudah dilakukan pemeriksaan
yang mendalam,sedang pada lahirnya dia tidak berpenyakit. Menemukan cacat
(illat) hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan
pemahaman yang cermat. Sebab, illat itu sendiri samar lagi tersembunyi,
bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu hadits-hadits. Ibnu Gajar
berkata “menemukan illat ini termasuk bagian ilmu hadits yamg paling samara
dan paling rumit. Yang bias melaksanakannya hanyalah orang yang oleh Allah
di beri pemahaman yang tajam, pengetahuan yang sempurna terhadap sanad-
sanad dan matan-matan.
Cara mengenal hadits mu’allal adalah dengan mengumpulkan jalur-
jalur para perawinya, kekuatan ingatan mereka, serta kepintaran mereka.
Contoh:
ِ َْالبَيِّ َعا ِن بِ ْال ِخي
ار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا
“(Rasulullah s.a.w. bersabda): “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama
mereka belum berpisah”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan
ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu Umar. Matan hadis
ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya
memiliki ‘illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin
Dinar.
إذا سجد احدكم فال يربك كمايربك البعري وليضع يديه قبل وكبته
Artinya:
“ Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum seperti
menderumnya seekor unta, melinkan hendaknya meletakkan kedua
tanggannya sebelum meletakan kedua lututnya,” (HR. Al- Turmudji, dan
mengatakaknnya hadits ini gharib)
7). Hadits Mudraj
Hadits mudraj ialah Hadits yang di sisipkan kedalam matannya sesuatu
perkataan perkataan orang lain, baik orang itu shahaby, ataupun tabi’in untuk
menerangkan makna. Sesuatu hadits yang dapat di ketahui mana kata-kata
yang kedalamnya, dapat di pandang shahih dengan mengeluarkan kata-kata
itu. Tetapi jika tidak lagi dapat di bedakan nama kata-kata sisipan itu,
masuklah ia kedalam dha’if. Contoh :
والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم وجاهدفي سبيل هللا يبيت في ريض الجنة،انا زعيم :قال رسولوهللا صلي هللا عليه وسلم
)(رواه النسائ
Artinya:
“Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah
penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat danberjuang di jalan
Allah, dia bertempat tinggal di dalam surge.” (HR. Nasai)
8). Hadis syaz
Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
yang terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan riwayat rawi
yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan antara
keduanya. Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh
muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan,
dengan beberapa syarat:
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan
banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih
atau hasan
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam
fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits
lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi
dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
Dalam segi amali, kita lihat dalam sunan Abu Dawud, kitab al-Thaharah
(bersuci), bab mandi dari janabat, hadits no. 248 Yang artinya: "sesungguhnya di
bawah setiap rambut itu terdapat janabat, maka basuhlah rambut kalian, dan
bersihkanlah kulit kalian". Kemudian imam Abu Dawud setelah meriwayatkan hadits
tersebut berkata: al-harits bin wajih haditsnya munkar, dan dia dhaif.
Adapun hukum mengamalkan hadits dhaif, secara teori, imam Syamsuddin bin
Abdurrahman al-Sakhowi murid dari al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan
ada 3 madzhab dalam mengamalkan hadits dhaif, antara lain:
Pertama: Boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam fadhail a'mal,
maupun dalam hukum syariat (halal, haram, wajib dan lain-lain) dengan syarat
dhaifnya tidak dhaif syadid (lemah sekali), dan juga tidak ada dalil lain selain hadits
tersebut, atau dalil lain yang bertentangan dengan hadits tersebut. Prof. Dr. Nuruddin
Itr mengatakan dalam manhaj al-naqd fi ulum al-haditsnya bahwa ini adalah pendapat
Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud. Imam Ahmad berkata: hadits dhaif lebih kami
sukai dari pada pendapat ulama (ra'yu), karena dia tidak mengambil dalil qiyas
kecuali jika tidak ada nash lagi . Imam Ibnu Mandah juga berkata: imam Abu Dawud
meriwayatkan hadits dengan sanad yag dhaif jika tidak ada dalil lain selain hadits
tersebut, karena menurut Abu Dawud hadits dhaif lebih kuat dari pada (ra'yu).
Kedua: Boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud,
nasehat, kisah-kisah, selain hukum syariat dan akidah, selama hadits tersebut bukan
hadits maudu' (palsu). Ini adalah madzhab jumhur ulama dari muhaditsin, fuqoha dan
ulama yang lain. Diantara ulama yang berpendapat madzhab ini adalah Imam Ibnu
alMubarak, Imam Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-
Nawawi, Imam al-Sakhawi, dan para ulama hadits yang lain, bahkan Imam al-
Nawawi menyatakan kesepakatan ulama hadits, ulama fuqoha dan ulama-ulama yang
lain dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud, kisah-kisah dan
halhal yang lain selain perkara yang berhubungan dengan hukum syariat dan akidah.
Kedua: Boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud,
nasehat, kisah-kisah, selain hukum syariat dan akidah, selama hadits tersebut bukan
hadits maudu' (palsu). Ini adalah madzhab jumhur ulama dari muhaditsin, fuqoha dan
ulama yang lain. Diantara ulama yang berpendapat madzhab ini adalah Imam Ibnu
alMubarak, Imam Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-
Nawawi, Imam al-Sakhawi, dan para ulama hadits yang lain, bahkan Imam al-
Nawawi menyatakan kesepakatan ulama hadits, ulama fuqoha dan ulama-ulama yang
lain dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud, kisah-kisah dan
halhal yang lain selain perkara yang berhubungan dengan hukum syariat dan akidah25
. Dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, para ulama mensyaratkan
3 hal; yaitu:
2). Hadits tersebut masuk dalam salah satu kaidah syariat islam.
3). Ketika mengamalkannya kita tidak boleh menyakini kebenaran hadits tersebut,
supaya tidak menisbatkan sesuatu yang tidak diucapkan oleh baginda nabi.
Ketiga: Tidak boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam hal fadahil
a'mal maupun dalam hukum syariat. Ini adalah madzhab Imam Abu Bakar Ibnu
alArabi, al-Syihab al-Khafaji, dan al-Jalal al-Dawwani.
pengamalan hadits dhaif dari para ulama hadits sekaligus ulama fiqih secara
praktis. Imam Malik semisal, Imam Ibnu Abdil Bar dalam Tamhidnya menyatakan
ada 61 hadits dengan shigat balaghat (disampaikan) dan hadits mursal, namun
semuanya disambungkan sanadnya oleh beliau, kecuali 4 hadits . Dan hadist dengan
bentuk balaghot dan hadist mursal termasuk dalam kategori hadist dhaif. Contoh lain
dalam masalah mengusap kaos kaki dalam bersuci, Imam Malik tidak menentukan
waktunya berdasarkan perkataan sahabat dan tabi'in, padahal ada hadits nabi dengan
sanad muttasil menentukan waktunya, 3 hari untuk musafir, sehari semalam untuk
muqim.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy
yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara bahasa berarti Hadist
yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih
memiliki dugaan yang lemah atau keraguan didalamnya, atau dengan kata lain apakah
hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if juga bukan hanya tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadist
hasan.
Kriteria hadits dhoif yaitu hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai
hadis shahih dan hasan. Dengan demikian, hadis dhoif itu bukan saja tidak memenuhi
syarat-syarat hadist shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadis hasan. Pada hadis
dhoif terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis
tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Secara garis besar yang menyebabkan suatu hadits digolongkan menjadi hadits
dhaif dikarenakan dua hal, yaitu gugurnya rawi dalam sanadnya dan ada cacat pada rawi
atau matan. Hadits dhaif karena gugurnya rawi adalah tidak adanya satu, dua atau
beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam sanad, baik para pemulaan sanad, pertengahan
ataupun akhirnya. Adapun jenis hadistnya yaitu, hadist mu’alaq, hadist mnqati, hadist
mu’dal dan hadist mursal. Banyak macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau
menimpa matan, diantaranya pendusta, pernah berdusta, fasiq, tidak di kenal, dan berbuat
bid’ah, merupakan cacat yang masing-masing dapat menghilangkan sifat dhabit rawi.
Banyak keliru, banyak faham, buruk hafalan, lalu mengusahakan hafalan dan menyalahi
raw-rawi yang dipercaya,juga merupakan cacat yang masing-masing dapat
menghilangkan sifat dhabit pada rawi. Adapun cacat matan misalnya, terdapat sisipan
ditengah-tengah lafadz hadis, atau lafadz hadis itu di putarbalikan sehingga member
pengertian yang berbeda dengan maksud lafadz yang sebenarnya. Jenis hadistnya yaitu,
hadist maudhu, hadist matruk, hadist munkar, hadist mu’allal, hadist mudltharab, hadist
maqlub, hadist Mudraj dan hadist syaz.
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan
beberapa syarat yaitu, level kedhaifannya tidak parah, berda dibawah nash lain yang
shahih dan ketika mengamalkannya tidak boleh Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100%
bahwa ini merupakan sabda Rasulullah SAW atau perbuatan beliau.
B. Saran
Pembaca dapat memahami pengertian hadist dhoif dengan mudah dalam makalah ini.
Namun, penulis tetap menghimbau pembaca untuk tetap memperbanyak literasi
mengenai hadist dhpif dari sumber literasi lainnya agar pengetahuan mengenai hadist
dhoif pembaca dapat bertambah sehingga pembaca dapat menyimpulkan mengenai
pengertian hadist dhoif secara menyeluruh.
Daftar pustaka
Anwar Br. Moh. Ilmu Mustalah Hadits. 1981. Surabaya: Al-Iklas Ahmad.
H. Muhammad Ahmad, dkk.2000. Ulumul Hadits. Bandung : CV. Pustaka setia. pp.
27.
Imam Syafi’I. 2001. Kitab ar Risalah. Mesir : Dar al-Wafa’. Pp. 170.
Khaq, Misbakhul. 2015. Studi Kritik Kualitas Hadis Dalam Kitab Al- Nurul Al
Burhani Fi Tarjamati Al Lujaini Al Dhani Juz II Karya KH. Mushlih Bin
Abdurrahman Mranggen. Jurnal UIN Wali Songo.
Muhammad Alwi Al-Maliki. 2006. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
pp. 92,10