Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HADIS DHA’IF

Dosen Pengampu: Bapak Warom, Lc., M.Pd

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadist

Disusun oleh :

1. Ika Nur’aeni NIM : 2008106021


2. Wawan Darmawan NIM : 2008106072

Kelas : Biologi A/2

JURUSAN TADRIS BIOLOGI


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2021
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah Subhanahu wata’ala yang telah
memberikan kelimpahan nikmat, taufik dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Hadist Dha’if” sebagai tugas kelompok 9 mata kuliah “Studi hadist”,
dengan tepat waktu. Shalawat serta salam kami sampaikan kepada Nabi agung kita, Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk
keselamatan umat di dunia.

Adapan tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Studi Hadist di program studi Tadris Biologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah Keguruan
(FITK), Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon yang ditugaskan oleh Bapak
Warom, Lc., M.Pd. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
pembaca dan penulis. Selanjutnya Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak
Warom, Lc., M.Pd. selaku dosen mata kuliah studi Hadist yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah wawasan di bidang yang kami tekuni. Tak lupa kami sampaikan
terimakasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal sehingga
terselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan


makalah ini, baik dari susunan kalimat, segi bahasa, maupun isi. Oleh karena itu, kami
menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar makalah ini menjadi lebih
sempurna.

Cirebon, 25 Februari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………....................1

KATA PENGANTAR……………………………………………………….........................2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….....................3

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………....................4

A. Latar Belakang……………………………………………………………...................4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………......................5

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………….....................6

A. Pengertian Dha’if…………………………………………………...............................6
B. Kriteria Hadist Dha’if…………………………………….............................................7
C. Macam-macam Hadist Dha’if………………………………………............................7
D. Kehujjahan Hadist Dha’if.............................................................................................11
E. Hukum Meriwayatkan Dan Mengamalkan Hadist Dha’if...........................................13

BAB III PENUTUP……………………………………………………………....................16

A. Kesimpulan………………………………………………………………...................16

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………................17
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat muslim dewasa ini banyak terkendala dengan keterbatasan mereka
dalam memahami posisi hukum dalam mengamalkan sesuatu perbuatan. Tulisan ini
hendak memudahkan dalam menakar kekuatan hukum yang mendasari sebuah
perbuatan, khususnya pada hadits dhoif.

Hadist Nabi memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam syariat
islam. Maka sejak munculnya hadist di masa sahabat, eksistensi hadist mendapat
banyak kritikan, ejekan, dan isu-isu yang terus berdatangan dari masa ke masa sampai
sekarang. Di awal munculnya hadist di masa sahabat misalnya, orang-orang mulai
meragukan hadist nabi. Diceritakan sekelompok orang mengkritik Abdullah bin Amr
bin Ash ra. yang telah menulis semua ucapan Rasulullah seraya berkata: ‚Rasulullah
itu manusia biasa yang terkadang berbicara dalam kondisi marah dan ridlo‛!.
Abdullah bin Amr bin Ash ra. mengadu kepada Rasulullah tentang hal tersebut,
akhirnya Beliau bersabda: ‚Tulislah dari Saya! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-
Nya tidak ada yang keluar dari mulutku kecuali kebenaran‛ .

Di masa Imam Syafi’i (w.204H), muncul kelompok orang yang mengingkari


kredibilitas hadist ahad (hadist yang diriwayatkan satu orang atau lebih yang tidak
sampai derajat mutawatir). Maka Imam Syafi’i membalas kritikan mereka dalam kitab
monumentalnya ‚ar-Risalah‛, sehingga Beliau dijuluki Nasiru as-Sunnah (penolong
sunnah). Di masa Imam Shuyuthi (w. 911H), muncul kelompok zindik dan rafidhoh
garis keras yang mengingkari kredibiltas sunnah (hadist), dan hanya mengambil
hujjah dari al Qur’an saja. Maka Imam Shuyuthi mengkritik mereka dan
mempertahankan sunnah dalam kitabnya ‚Mifathul Jannah Fil Ihtijaj Bis Sunnah‛.

Dan di masa sekarang, isu-isu, kritkan, dan hantaman terhadap hadist terus
bermunculan, diantaranya adalah muncul kelompok yang merendahkan dan tidak
memuliakan Rasulullah. Di sisi lain, muncul kelompok yang mengingkari sunnah dan
hanya berpegang kepada al-Qur’an saja atau yang sering dikenal dengan kelompok
Qur’aniyyin. Di sisi lain, muncul golongan yang mencela dan mengkritik kitab
shohihain (Shohih al-Bukhari dan Shohih Muslim), ada golongan yang mencela dan
merendahkan para sahabat nabi, ada juga golongan yang mencela dan
mengkritik.sosok Imam al-Bukhari dan isu-isu lain yang dituduhkan terhadap hadist
dan perangkatnya.

Diantara isu-isu yang dituduhkan kepada hadist yang sedang berkembang


sekarang adalah isu mengingkari hadist dha’if. Di era sekarang muncul golongan baru
yang mengaku ahli sunnah tetapi tidak paham sunnah, hanya belajar dari buku, tidak
duduk dihadapan para guru, tidak memiliki sanad keilmuan yang muttasil kepada
Rasulullah, hobinya mendhoifkan hadist, suka membid’ahkan amalan, bahkan
mengkafirkan sesama, menolak taqlid tetapi mereka malah mengikuti ulama-ulama
mereka sendiri, suka menghukumi sohih dan dhoif suatu hadist sesuai dengan hawa
nafsunya sendiri. Golongan ini beranggapan bahwa hadist dhoif harus ditolak dan
tidak boleh diamalkan, hadist shohih dan hasan saja yang boleh diamalkan. Tentunya
anggapan ini sangat bertentangan dengan pandangan para ulama hadist dan ulama
fiqih. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk menganalisa, menelaah dan
mengkaji tentang disyariatkannya mengamalkan hadist dhoif dalam fadhoil a‘mal
(fadilah-fadilah amal), bahkan dalam persoalan fiqih, selama tidak ditemukan dalilnya
dari hadist shohih dan hasan. Sehingga anggapan orang yang mengatakan bahwa
hadist dhoif tidak boleh diamalkan adalah salah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hadist Dha’if ?
2. Bagaimana kriteria hadist dha’if ?
3. Apa saja macam-macam hadist dhaif ?
4. Bagaimana kehujjahan hadist dhaif ?
5. Apa hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadist dha’if ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hadist dha’if
2. Untuk mengetahui kriteria hadist dha’if
3. Untuk mengetahui macam-macam hadist dha’if
4. Untuk mengetahui kehujjahan hadist dha’if
5. Untuk mengetahui hukum meriwayatkan dan mengamalkan hadist dha’if
BAB II
Hadist Dha’if
1. Pengertian Hadist Dha’if

Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang
kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara bahasa berarti Hadist yang lemah,
yang sakit atau yang tidak kuat. Secara Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara
berbeda-beda. Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud yang sama, Pendapat An-
Nawawi : “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-
syarat Hadist Hasan.”

Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :


‫ما لم يجمع صفات الصحيح والصفات الحسن‬
Artinya:
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang
seharusnnya dihindarkan, menurut dia cukup :
‫ما لم يجمع صفات الحسن‬
Artinya:
“yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang
tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
‫ا لحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح وال صفات الحديث‬
Artinya:
“hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan
juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah
SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. imam Ibnu
Kasir mendefinisikan Hadis Dha’if adalah Hadis – Hadis yang tidak terdapat padanya
sifat-sifat Shahih dan sifat-sifat Hasan”. Imam Hafiz Hasan al-Mas‟udi memberikan
definisi Hadis Dha’if sebagai Hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari Hadis
Shahih atau Hadis Hasan.”
Hadis dhaif sebagaimana disebutkan di atas yaitu hadist yang tidak memenuhi
salah satu syarat-syarat hadist shohih dan hasan. Syarat-syarat hadist shohih dan hasan
dapat diringkas dalam 6 hal:
1). Sanad yang sambung dari awal sampai akhir sanad.
2) Perawi yang sifatnya ‘adil (dapat dipercaya).
3). Memiliki dhobit (tingkat hafalan yang sempurna untuk hadist shohih, dan tingkat
hafalan sedang untuk hadist hasan).
4). Tidak ada pertentangan sanad (syad).
5). Tidak ada cacat yang signifikan (illah qodihah).
6). Adanya ‘adhit (penolong) berupa jalur periwayatan lain yang dapat mengangkat hadist
dhoif naik ke hadist hasan li ghoiri .
Apabila salah satu dari enam syarat di atas tidak terpenuhi, maka hadist tersebut
dinamakan hadist dhaif. jika kurangnya lebih dari satu maka kualitas dari Hadis tersebut
semakin menurun dan lemah sekali bahkan boleh jadi merupakan Hadis yang palsu hadis
al-Maudu’) Namun secara umum, Imam Ibnu Hajar al-Asqolani menyebutkan ada dua
factor yang menyebabkan hadist menjadi dhaif yaitu: terputusnya sanad dan adanya cacat
dalam diri perawi hadist. Dari dua faktor utama penyebab hadist dhaif tersebut akan
memunculkan aneka ragam macam-macam hadist dhaif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits
yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah atau keraguan
didalamnya, atau dengan kata lain apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan.
Hadits dha’if juga bukan hanya tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga
tidak memenuhi syarat-syarat hadist hasan.

2. Kriteria Hadist Dha’if


Kriteria hadits dhoif yaitu hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai
hadis shahih dan hasan. Dengan demikian, hadis dhoif itu bukan saja tidak memenuhi
syarat-syarat hadist shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadis hasan. Pada hadis
dhoif terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis
tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Kehati-hatian para ahli hadis dalam menerima hadis sehingga mereka menjadikan
tidak adanya petunjuk keaslian hadis itu sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadis
dan menghukuminya sebagai hadis dhoif. Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian
hadis itu bukan suatu bukti yang pasti adanya kesalahan dan kedustaan dalam
periwayatan hadis, seperti kedhaifan hadis yang disebabkan rendahnya daya hapal
rawinya atau kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan sesuatu hadis, padahal
sebetulnya ia jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah
satu pula dalam meriwayatkan hadits yang dimaksud, bahkan mungkin sekali hadis benar.
Akan tetapi, karena adanya kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam periwayatan hadis yang dimaksud, maka mereka menetapkan
untuk menolaknya.
Demikian pula kedhoifan suatu hadis karena tidak bersambungnya sanad. Hadis
yang demikian dihukumi dhoif karena identitas rawi yang tidak tercantum itu tidak
diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi yang dhoif. Seandainya ia adalah rawi yang
dhoif, maka boleh jadi ia melakukan kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu,
para muhaddisin menjadikan kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu
sebagai suatu pertimbangan dan menganggapnya sebagai suatu penghalang dapat
diterimanya suatu Hadis. Hal ini merupakan puncak kehati-hatian yang sistematis , kritis
dan ilmiah.
3. Macam-macam Hadis Dha’if
Secara garis besar yang menyebabkan suatu hadits digolongkan menjadi hadits
dhaif dikarenakan dua hal, yaitu gugurnya rawi dalam sanadnya dan ada cacat pada rawi
atau matan. Hadits dhaif karena gugurnya rawi adalah tidak adanya satu, dua atau
beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam sanad, baik para pemulaan sanad, pertengahan
ataupun akhirnya.
a. Hadits Dho’if karna Gugurnya Rawi
1) Hadis Mu’allaq
Hadits muallaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Dari
segi istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih
diawal sanad. Contoh: Bukhari berkata, kala Malik, dari Zuhri,dari Abu
Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
2) ‫التقاضلوابين األنبياء‬
Artinya:
“Jangan lah kamu melebihkan sbagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR.
Bukhari)
Menurut kesimpulan diatas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa hadits dha’if
karena gugurnya rawi artinya tidak adanya satu, dua, atau beberapa rawi, yang
seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan, pertengahan, maupun
diakhir sanad hadits ini terbagi menjadiempat, yaitu: hadits mursal
(melepaskan), hadits muqati’(terputus), hadits mudal (yang sulit dipahami),
dan hadits muallaq (tergantung).
2). Hadist Munqati

Hadits munqati menurut bahasa artinya terputus. Menurut sebagian


para ulama hadits, hadits munqati’ ialah hadits yang dimana didalam sanadnya
terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya oleh rawi, misalnya
perkataan seorang rawi, “dari seseorang laki-laki”. Sedang menurut para
ulama lain bahwa hadits muntaqi’ ialah hadits yang dalam sanadnya terdapat
seorang rawi yang gugur (tidak disebutkan) dari rawi-rawi sebelum sahabat,
baik dalam satu atau beberapa tempat, namun rawi yang gugur itu tetap satu
dengan syarat bukan pada permulaan sanad. Contoh hadits yang dari sanadnya
menggugurkan perawinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq
dari Ats-Tsauri, dari Abu Ishaq, dari Zain bin Yutsayi’, dari Hadzaifah yang
meriwayatkan secara Marfu’: jika kalian serahkan urusan kekhalifahan lagi
terpercaya…” Dari sanad hadits ini antara Ats-Tsauri dan Abu Ishaq ada
perawi yang digugurkan, yaitu Syarik. Sebab Ats-Sauri tidak mendengar
hadits ini secara langsung dari Abu Ishaq, melainkan lewat Syarik. Dan Syarik
inilah yang mendengar hadits dari Abu Ishaq.

3). Hadis Mu’dal

Hadits mudal menurut bahasa, berarti hadits yang sulit


dipahami. Para ulama member batasan hadits mudal adalah hadits yang gugur
dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya. Hadits
Mu’dlal dianggap sebagai bagian dari hadits Mungathi’Namun dengan suatu
aspek khusus. Karena setiap hadits mu’dlal bersifat munqathi’, tetapi tidak
setiap munqathi adalah mu’dlal.Tidak ada kesinambungan dalam sanadnya
merupakan sebab kedla’ifannya, seperti halnya dalam munqathi’ dan mursal.
Hadits mursal dari tabi’ut tabi’in ternasuk mu’dlal. contohnya: “telah sampai
kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
)‫للملةك طعامه وكسوته بالمعروف (رواه مالك‬
Artinya:
“Budak itu harus diberi makanan dan pakayan secara baik”. (HR. Malik).
4). Hadist Mursal
Hadits mursal, baik menurut ta’rif fuqaha, maupun menurut ta’rif ahli
hadits digolongkan kedalam hadits yang tiada bersambung sanadnya.
Definisinya yang terkenal adalah hadits yang perawinya adalah sahabat yang
digugurkan (tidak di sebut namanya), seperti perkataan Nafi’ “Rasullallah
s.a.w. bersabda demikian, atau berbuat demikian, “ dan serupa. Dengan
demikian, hadits yang mutlak marfu’ tabi’in besar atau kecil, dan disandarkan
lansung kepada Nabi SAW.
Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam
kitab Al-Muwqaththa’, dari Zaid bin Aslam, dari Atha’ bin Yasar, bahwasnya
Rasulullah Saw bersabda:
‫ان سدة الحر من فيح جهنم‬
“sesungguhnya cuaca yang sangat panas itu bagian dari uap neraka
Jahannam”.

b. Hadits Dha’if karna Cacat pada Rawi atau Matan


1). Hadist Maudhu
Hadits yang disanadkan dari Rasululah SAW secara dibuat-buat dan
dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan dan menetapkan.
contoh:
‫اليدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء‬
Artinya:
“Anak jin tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.
2). Hadist Matruk
Hadits matruk ialah “Hadits yang diriwayatkan oleh hanya seorang perawi
yang bertuduh dusta, baik dalam soal hadits ataupun lainya, ataupun tertuduh
fasiq, atau banyak lalai atau sangka.
Contoh
‫أخبرنا القاضى أبو القاسم نا أبو علي نا عبدهللا بن محمد ذكر عبدالرحمن بن ص الح األزدى ن ا عم رو‬
‫بن هاشم الجنى عن جوبير عن الض حاك عن ابن عب اس عن الن بي ص لى هللا علي ه و س لم ق ال َعلَ ْي ُك ْم‬
‫ب ال رَّ بِّ َع َّز‬ َ ‫الس رِّ َفإِ َّن َه ا ُت ْطفِى ُء َغ‬
َ ‫ض‬ َ ‫الس و ِء َو َعلَ ْي ُك ْم ِب‬
ِّ ‫ص َد َق ِة‬ ُّ ‫ار َع‬
ِ ‫ص‬َ ‫اع ال َمعْ رُوفِ َفإِ َّن ُه َي ْم َن ُع َم‬ َ
ِ ‫ِباصْ ط َن‬
‫َّل‬ ‫َو َج‬
)٦ ‫ رقم‬، ٢٥ ‫أخرجه ابن أبى الدنيا فى قضاء الحوائج (ص‬
“Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang
buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah
tersembunyi akan memadamkan murka Allah SWT”.
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dari Ibnu Abbas. Di
dalam sanad  ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. An-
Nasa’i, ad-Daruquthni, dan lain-lain mengatakan bahwa haditsnya
َ ْ‫( الَ بَأ‬Ia tidak ada apa-
ditinggalkan (matrûk). Ibnu Ma’in berkata, “‫س بِ ِه‬
apanya)”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya), ini berarti ia
ِ ‫( ْال ُمتَّهَ ُم بِ ْال َك ِذ‬tertuduh berdusta)”.
“‫ب‬
3). Hadist Munkar
Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang
lemah yang menyalahi riwayat orang kepercayaan, atau riwayat orang yang
kurang lemah dari padanya. Lawanya dinamakan ma’ruf.
Contoh :
‫من اقام الصالة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة‬.

Artinya:
“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji,
berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.
4). Hadist Mu’allal
Hadits mu’allal ialah hadits yang terdapat padanya sebab-sebab yang
tersembunyi yang diketahui sebab-sebab itu sesudah dilakukan pemeriksaan
yang mendalam,sedang pada lahirnya dia tidak berpenyakit. Menemukan cacat
(illat) hadits ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan
pemahaman yang cermat. Sebab, illat itu sendiri samar lagi tersembunyi,
bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu hadits-hadits. Ibnu Gajar
berkata “menemukan illat ini termasuk bagian ilmu hadits yamg paling samara
dan paling rumit. Yang bias melaksanakannya hanyalah orang yang oleh Allah
di beri pemahaman yang tajam, pengetahuan yang sempurna terhadap sanad-
sanad dan matan-matan.
Cara mengenal hadits mu’allal adalah dengan mengumpulkan jalur-
jalur para perawinya, kekuatan ingatan mereka, serta kepintaran mereka.

Contoh:
ِ َ‫ْالبَيِّ َعا ِن بِ ْال ِخي‬
‫ار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا‬
“(Rasulullah s.a.w. bersabda): “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama
mereka belum berpisah”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan
ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu Umar. Matan hadis
ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya
memiliki ‘illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin
Dinar.

5). Hadist Mudltharab

Hadits mudltharab ialah Hadits yang berlawan-lawanan riwayatnya


atau matannya, baik di lakukan oleh perawi yang seorang atau oleh banyak
perawi, dengan mendahulukan, mengemudiakan, menambah, mengurangi
ataupun mengganti, serta tidak dapat di kuatkan salah satu riwayatnya atau
satumatannya.
Contoh idlthirab pada sanad ialah pada hadits Abu Bakar. Ia bertanya kepada
Rasulullah s.a.w. “ya rosulallah, aku melihat anda berubah.” Rasulullah
bersabda “Surat Hud dan semisalnya telah membuatku berubah.”

6). Hadist Maqlub

Hadits maqlub ialah sesuatu hadits yang telah terjadi padanya


kekhilafan pada seorang perawi dengan mendahulukan yang kemudian, atau
mengemudiankan yang dahulu. Contoh :

‫إذا سجد احدكم فال يربك كمايربك البعري وليضع يديه قبل وكبته‬
Artinya:
“ Apabila salah seorang kamu sujud, jangan menderum seperti
menderumnya seekor unta, melinkan hendaknya meletakkan kedua
tanggannya sebelum meletakan kedua lututnya,” (HR. Al- Turmudji, dan
mengatakaknnya hadits ini gharib)
7). Hadits Mudraj
Hadits mudraj ialah Hadits yang di sisipkan kedalam matannya sesuatu
perkataan perkataan orang lain, baik orang itu shahaby, ataupun tabi’in untuk
menerangkan makna. Sesuatu hadits yang dapat di ketahui mana kata-kata
yang kedalamnya, dapat di pandang shahih dengan mengeluarkan kata-kata
itu. Tetapi jika tidak lagi dapat di bedakan nama kata-kata sisipan itu,
masuklah ia kedalam dha’if. Contoh :
‫ والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم وجاهدفي سبيل هللا يبيت في ريض الجنة‬،‫انا زعيم‬ :‫قال رسولوهللا صلي هللا عليه وسلم‬
)‫(رواه النسائ‬
Artinya:
“Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah
penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat danberjuang di jalan
Allah, dia bertempat tinggal di dalam surge.” (HR. Nasai)
8). Hadis syaz
Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
yang terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan riwayat rawi
yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan antara
keduanya. Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh
muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:

‫ايام التشريق ايام اكل وشرب‬


Artinya:
“hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”.
Jadi, kesimpulan bahwa hadits yang cacat rawi dan matan atau kedua-
duanya digolongkan hadits dha’if yang terbagi menjadi tujuh, yaitu: hadits
maudu’ (palsu), hadits matruk (yang ditinggalkan) atau hadits matruh (yang
dibuang), hadits munkar(yang diingkari), hadits muallal (terkena illat), hadits
mudras (yang dimasuki sisipan), hadits maqlub (yang diputar balik), dan hadits
syaz (yang ganjil).
4. Kehujjahan Hadist Dha’if

Cacat-cacat hadis dhoif berbeda-beda, baik macamnya maupun berat


ringannya. Oleh karena itu, tingkatan(martabat) hadis-hadis dhoif tersebut juga
berbeda. Dari hadis-hadis yang mengandung cacat pada rawi (sanad) atau
matannya, yang paling rendah martabatnya adalah hadis maudhu‟. Kemudian
hadis matruk, hadis munkar, hadis muallal, hadis mudraj, hadis maqlub dan hadis-
hadis lain. Dari hadis-hadis yang gugur rawi atau sejumlah rawinya, yang paling
lemah adalah hadis muallaq (kecuali hadits-hadis shahih yang diriwayatkan secara
muallaq oleh Bukhari dalam kitab shahihnya), hadis mu’dal, lalu hadis munqati,
kemudian hadis mursal. Bila suatu hadis dhoif dimungkinkan bahwa rawinya
benar-benar hafal dan menyampaikannya dengan cara yang benar maka hal ini
telah mengandung perbedaan pendapat yang serius dikalangan ulama sehubungan

Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan,
dengan beberapa syarat:

a. Level Kedhaifannya Tidak Parah

Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan
banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih
atau hasan

b. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih

Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam
fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits
lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi
dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.

c. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya


Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh
meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasulullah SAW atau
perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih
menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
5. Hukum Meriwayatkan Dan Mengamalkan Hadis Dha’if.

A. Hukum meriwayatkan Hadist Dhoif

Secara teori, ulama hadits telah menyepakati diperbolehkannya meriwayatkan


hadits dhaif. Itu terbukti dengan banyaknya hadits-hadits dhaif yang tersimpan di
sejumlah kitabkitab hadits. Semisal kitab-kitab sunan (Sunan Abi Dawud, Sunan al-
Tirmidzi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah, dan sunan-sunan yang lain). Imam
Muhammad bin Thahir al Maqdisi dalam kitabnya "Syurut al-Aimmah al-Sittah"
menjelaskan metodemetode ulama-ulama kutubus sittah (shahih al-Bukhari, shahih
Muslim, sunan Abi Dawud, sunan al-Tarmidzi, sunan an-Nasai, sunan Ibnu Majah)
dalam meriwayatkan dan pengambilan suatu hadits. Dalam sunan Abi Dawud
misalnya, imam Ibnu Thahir al-Maqdisi menjelaskan bahwa metode Abu Dawud
membagi hadits-haditsnya menjadi tiga bagian; pertama: hadits shahih sebagaimana
dalam shahih al-Bukhari dan Muslim. Kedua: hadits shahih sesuai dengan standart
Abu Dawud yang tidak ada di shahih al-Bukhari dan Muslim. Ketiga: hadits tidak
shahih, yang diriwayatkan untuk melawan suatu pendapat dalam suatu bab fiqih. Di
sisi lain, Imam Abu Dawud sendiri juga telah menjelaskan metodenya dalam kitabnya
"Risalah Abi Dawud Ila Ahli Makkah fi Wasfi Sunanihi", beliau mengatakan: "dalam
kitab sunan yang saya karang ini tidak ada perawi yang matruk (yang ditinggalkan
haditsnya, yakni karena diduga berdusta), dan jika ada hadits munkar (hadits yang
hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya), maka saya jelaskan kemunkarannya,
…dan jika ada hadits yang sangat lemah maka akan saya jelaskan, dan juga ada hadist
yang tidak shahih sanadnya'.

Dalam sunan at-Tirmidzi, imam Ibnu Thahir al-Maqdisi menjelaskan bahwa


al-Tirmdzi membagi hadits dalam sunannya menjadi empat bagian; bagian ketiga
yaitu hadits yang diriwayatkan sebagaimana dalam bagian ketiga dalam sunan Abu
Dawud dengan menjelaskan kecacatan haditsnya. Bagian keempat yaitu tidak ada satu
hadits yang diriwayatkan al-Tirmidzi dalam sunannya kecuali telah diamalkan oleh
sebagian para fuqaha. Metode atau bagian keempat ini adalah bagian yang cukup luas,
yang mencakup hadits yang shohih sanadnya, dan juga hadits yang tidah shahih
sanadnya. Dari pernyataan imam al-Maqdisi, serta pernyataan dari Imam Abu Dawud
dan Imam al-Tirmidzi sendiri telah menunjukkan adanya hadits-hadits dhaif di kitab-
kitab mereka. Bahkan kalau kita menganalisa kitab-kitab yang mensyaratkan hadits
shahih, seperti shahih Ibnu Hibban, mustadrak ala shahihain imam al-Hakim, shahih
Ibnu Khuzaimah dan kitab-kitab yang lain, kita akan menemukan hadits dhaif pula.
Bahkan Imam al-Bukhari dalam beberapa kitabnya, yang sebagian orang dianggap
sangat keras menolak hadits dhaif, akan kita temukan hadits-hadits dhaif, seperti kitab
al-Adab al-Mufrad, kitab Rafúl Yadain fi al-Shalah, kitab al-Qiraáh Khalfil Imam,
dan kitab-kitab yang lain.

Dalam segi amali, kita lihat dalam sunan Abu Dawud, kitab al-Thaharah
(bersuci), bab mandi dari janabat, hadits no. 248 Yang artinya: "sesungguhnya di
bawah setiap rambut itu terdapat janabat, maka basuhlah rambut kalian, dan
bersihkanlah kulit kalian". Kemudian imam Abu Dawud setelah meriwayatkan hadits
tersebut berkata: al-harits bin wajih haditsnya munkar, dan dia dhaif.

B. Hukum Mengamalkan Hadist Dho’if

Adapun hukum mengamalkan hadits dhaif, secara teori, imam Syamsuddin bin
Abdurrahman al-Sakhowi murid dari al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan
ada 3 madzhab dalam mengamalkan hadits dhaif, antara lain:

Pertama: Boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam fadhail a'mal,
maupun dalam hukum syariat (halal, haram, wajib dan lain-lain) dengan syarat
dhaifnya tidak dhaif syadid (lemah sekali), dan juga tidak ada dalil lain selain hadits
tersebut, atau dalil lain yang bertentangan dengan hadits tersebut. Prof. Dr. Nuruddin
Itr mengatakan dalam manhaj al-naqd fi ulum al-haditsnya bahwa ini adalah pendapat
Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud. Imam Ahmad berkata: hadits dhaif lebih kami
sukai dari pada pendapat ulama (ra'yu), karena dia tidak mengambil dalil qiyas
kecuali jika tidak ada nash lagi . Imam Ibnu Mandah juga berkata: imam Abu Dawud
meriwayatkan hadits dengan sanad yag dhaif jika tidak ada dalil lain selain hadits
tersebut, karena menurut Abu Dawud hadits dhaif lebih kuat dari pada (ra'yu).

Kedua: Boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud,
nasehat, kisah-kisah, selain hukum syariat dan akidah, selama hadits tersebut bukan
hadits maudu' (palsu). Ini adalah madzhab jumhur ulama dari muhaditsin, fuqoha dan
ulama yang lain. Diantara ulama yang berpendapat madzhab ini adalah Imam Ibnu
alMubarak, Imam Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-
Nawawi, Imam al-Sakhawi, dan para ulama hadits yang lain, bahkan Imam al-
Nawawi menyatakan kesepakatan ulama hadits, ulama fuqoha dan ulama-ulama yang
lain dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud, kisah-kisah dan
halhal yang lain selain perkara yang berhubungan dengan hukum syariat dan akidah.

Kedua: Boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud,
nasehat, kisah-kisah, selain hukum syariat dan akidah, selama hadits tersebut bukan
hadits maudu' (palsu). Ini adalah madzhab jumhur ulama dari muhaditsin, fuqoha dan
ulama yang lain. Diantara ulama yang berpendapat madzhab ini adalah Imam Ibnu
alMubarak, Imam Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-
Nawawi, Imam al-Sakhawi, dan para ulama hadits yang lain, bahkan Imam al-
Nawawi menyatakan kesepakatan ulama hadits, ulama fuqoha dan ulama-ulama yang
lain dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud, kisah-kisah dan
halhal yang lain selain perkara yang berhubungan dengan hukum syariat dan akidah25
. Dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, para ulama mensyaratkan
3 hal; yaitu:

1). Hadits tersebut tidak boleh syadid dhaif (lemah sekali).

2). Hadits tersebut masuk dalam salah satu kaidah syariat islam.

3). Ketika mengamalkannya kita tidak boleh menyakini kebenaran hadits tersebut,
supaya tidak menisbatkan sesuatu yang tidak diucapkan oleh baginda nabi.

Ketiga: Tidak boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam hal fadahil
a'mal maupun dalam hukum syariat. Ini adalah madzhab Imam Abu Bakar Ibnu
alArabi, al-Syihab al-Khafaji, dan al-Jalal al-Dawwani.

pengamalan hadits dhaif dari para ulama hadits sekaligus ulama fiqih secara
praktis. Imam Malik semisal, Imam Ibnu Abdil Bar dalam Tamhidnya menyatakan
ada 61 hadits dengan shigat balaghat (disampaikan) dan hadits mursal, namun
semuanya disambungkan sanadnya oleh beliau, kecuali 4 hadits . Dan hadist dengan
bentuk balaghot dan hadist mursal termasuk dalam kategori hadist dhaif. Contoh lain
dalam masalah mengusap kaos kaki dalam bersuci, Imam Malik tidak menentukan
waktunya berdasarkan perkataan sahabat dan tabi'in, padahal ada hadits nabi dengan
sanad muttasil menentukan waktunya, 3 hari untuk musafir, sehari semalam untuk
muqim.

Imam Abu hanifah berpendapat tertawa dalam shalat dapat membatalkan


wudhu' dan shalat sekaligus. itu didasarkan kepada hadist mursal yang diriwayatkan
Imam al-Hasan al-Basri, meskipun para ulama hadits mendhaifkan hadits tersebut .
Contoh lain, imam Abu Hanifah memperbolehkan wudhu' dengan air anggur, dan
mendahulukan hadits tentang wudhu' dengan air anggur dari pada qiyas, meskipun
hadits tersebut dhaif .

Imam Syafi'i memperbolehkan shalat di Makkah di waktu terlarang untuk


shalat, meskipun hadits tersebut dhaif. Beliau juga mendahulukan hadits siapa yang
muntah atau mimisan, maka hendaklah berwudhu' dan meneruskan shalatnya, dari
pada qiyas, meskipun hadits tersebut dhaif. Imam Ahmad mengambil hadits ( ‫اضُان‬
‫( "وانذجاو انذائك إل أكفاء‬manusia sederajat, kecuali penganyam dan pembekam" dalam
syarat pernikahan, meskipun hadits tersebut dhaif. Dan banyak lagi contoh-contoh
yang menunjukkan bahwa para ulama hadits dan ulama fiqh mengamalkan hadits
dhaif dalam fadhail a'mal dengan 3 syarat dia atas, bahkan diamalkan dalam hukum
fiqih, dengan syarat hadits tersebut tidak maudhu' (palsu) dan tidak ada dalil selain
hadits tersebut. Wallahu a'lam

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy
yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara bahasa berarti Hadist
yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih
memiliki dugaan yang lemah atau keraguan didalamnya, atau dengan kata lain apakah
hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if juga bukan hanya tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadist
hasan.
Kriteria hadits dhoif yaitu hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai
hadis shahih dan hasan. Dengan demikian, hadis dhoif itu bukan saja tidak memenuhi
syarat-syarat hadist shahih, juga tidak memenuhi persyaratan hadis hasan. Pada hadis
dhoif terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis
tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Secara garis besar yang menyebabkan suatu hadits digolongkan menjadi hadits
dhaif dikarenakan dua hal, yaitu gugurnya rawi dalam sanadnya dan ada cacat pada rawi
atau matan. Hadits dhaif karena gugurnya rawi adalah tidak adanya satu, dua atau
beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam sanad, baik para pemulaan sanad, pertengahan
ataupun akhirnya. Adapun jenis hadistnya yaitu, hadist mu’alaq, hadist mnqati, hadist
mu’dal dan hadist mursal. Banyak macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau
menimpa matan, diantaranya pendusta, pernah berdusta, fasiq, tidak di kenal, dan berbuat
bid’ah, merupakan cacat yang masing-masing dapat menghilangkan  sifat dhabit rawi.
Banyak keliru, banyak faham, buruk hafalan, lalu mengusahakan hafalan dan menyalahi
raw-rawi yang dipercaya,juga merupakan cacat yang masing-masing dapat
menghilangkan sifat dhabit pada rawi. Adapun cacat matan misalnya, terdapat sisipan
ditengah-tengah lafadz hadis, atau lafadz hadis itu di putarbalikan sehingga member
pengertian yang berbeda dengan maksud lafadz yang sebenarnya. Jenis hadistnya yaitu,
hadist maudhu, hadist matruk, hadist munkar, hadist mu’allal, hadist mudltharab, hadist
maqlub, hadist Mudraj dan hadist syaz.

Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan
beberapa syarat yaitu, level kedhaifannya tidak parah, berda dibawah nash lain yang
shahih dan ketika mengamalkannya tidak boleh Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100%
bahwa ini merupakan sabda Rasulullah SAW atau perbuatan beliau.

Secara teori, ulama hadits telah menyepakati diperbolehkannya meriwayatkan


hadits dhaif. Itu terbukti dengan banyaknya hadits-hadits dhaif yang tersimpan di
sejumlah kitabkitab hadits. Dan Dalam segi amali, dapat lihat dalam sunan Abu Dawud,
kitab al-Thaharah (bersuci), bab mandi dari janabat, hadits no. 248 Yang artinya:
"sesungguhnya di bawah setiap rambut itu terdapat janabat, maka basuhlah rambut kalian,
dan bersihkanlah kulit kalian". Kemudian imam Abu Dawud setelah meriwayatkan hadits
tersebut berkata: al-harits bin wajih haditsnya munkar, dan dia dhaif.

hukum mengamalkan hadits dhaif, secara teori, imam Syamsuddin bin


Abdurrahman al-Sakhowi murid dari al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan ada 3
madzhab dalam mengamalkan hadits dhaif, antara lain: Pertama: Boleh mengamalkan
hadits dhaif secara mutlak, baik dalam fadhail a'mal, maupun dalam hukum syariat (halal,
haram, wajib dan lain-lain) dengan syarat dhaifnya tidak dhaif syadid (lemah sekali), dan
juga tidak ada dalil lain selain hadits tersebut, atau dalil lain yang bertentangan dengan
hadits tersebut. Kedua: Boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail
a'mal, zuhud, nasehat, kisah-kisah, selain hukum syariat dan akidah, selama hadits
tersebut bukan hadits maudu' (palsu). Ketiga: Tidak boleh mengamalkan hadits dhaif
secara mutlak, baik dalam hal fadahil a'mal maupun dalam hukum syariat

B. Saran

Pembaca dapat memahami pengertian hadist dhoif dengan mudah dalam makalah ini.
Namun, penulis tetap menghimbau pembaca untuk tetap memperbanyak literasi
mengenai hadist dhpif dari sumber literasi lainnya agar pengetahuan mengenai hadist
dhoif pembaca dapat bertambah sehingga pembaca dapat menyimpulkan mengenai
pengertian hadist dhoif secara menyeluruh.
Daftar pustaka

An-Nawawi, At-Taqrib An-nawawi Fann Ushul Hadits, Abdul arrasman Muhammad,


Kairo,tt.

Anwar Br. Moh. Ilmu Mustalah Hadits. 1981.  Surabaya: Al-Iklas Ahmad.

Muhammad. M. Mudzakir. Ulumul Hadits. 2006. Bandung; CV. Pustaka Setia.

H. Muhammad Ahmad, dkk.2000. Ulumul Hadits. Bandung : CV. Pustaka setia. pp.
27.

Imam Syafi’I. 2001. Kitab ar Risalah. Mesir : Dar al-Wafa’. Pp. 170.

Kholis, Mohammad Maulana Nur.2016. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif dalam


Fadhail A’mal: Studi Teoritis dan Praktis. Al-Tsiqoh: Islamic Economy and Da’wa
Journal. Volume 1. No 02. pp. 26-39.

Khadafi. 2020. Kriteria Hadist Dha’if. Kampus dunia.

Khaq, Misbakhul. 2015. Studi Kritik Kualitas Hadis Dalam Kitab Al- Nurul Al
Burhani Fi Tarjamati Al Lujaini Al Dhani Juz II Karya KH. Mushlih Bin
Abdurrahman Mranggen. Jurnal UIN Wali Songo.

Muhammad Ahmad. M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadits. Bandung, CV. Pustaka


Setia.pp. 112.

Muhammad Alwi Al-Maliki. 2006. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
pp. 92,10

Anda mungkin juga menyukai