Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

HADITS MAQBUL
(HADITS PRESPEKTIF DALAM HUJJAH)

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas


Mata Kuliah Studi Hadits

Dosen Pengampu
Dr. H. KHOLILUR RAHMAN, M.Pd.I.

Oleh
NAMA : JAZA SIROF AMRULLOH
NIM : 2020390101227
KLS/SMT : B/2

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM IBRAHIMY GENTENG BANYUWANGI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Hadits Maqbul (Hadits Prespektif Dalam Hujjah) ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk


memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Filsafat Ilmu. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang arah pemikiran
filsafat bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. H. Kholilur


Rahman, M.Pd.I. selaku dosen mata kuliah Studi Hadis yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami
nantikan demi kesempurnaan makalah ini..

Banyuwangi, 24 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan ............................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................... 3
A. Pengertian Hadits Maqbul .................................................... 3
B. Syarat Syarat Hadits Maqbul ................................................ 3
C. Klasifikasi Hadits Maqbul ..................................................... 8
1. Hadits shahih lidzatihi ..................................................... 8
2. Hadits hasan lidzatihi ...................................................... 10
3. Hadits shahih lighoyrihi ................................................... 11
4. Hadits hasan lighoyrihi .................................................... 12
D. Macam Macam Hadits Maqbul .............................................. 13
1. Hadits ma’mulun bih ....................................................... 13
2. Hadits ghoiru ma’mulin bih ............................................. 14
E. Hadits Maqbul yang saling bertentangan (Mukhtalif) ............ 19
F. Kehujjahan Hadits Maqbul ................................................... 25
BAB III PENUTUP ..................................................................... 26
A. Simpulan ............................................................................. 26
B. Saran .................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pengertian hadits menurut

bahasa adalah baru atau khabar yang bermakna sesuatu yang

dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dalam

bentuk berita. Sedangkan menurut istilah hadits merupakan segala

sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw baik berupa

perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat-sifat beliau.

Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu hadits menurut ulama

mutaqaddimin adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang

cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW dari

segi hal ihwal para perawinya, kedhabitan, keadilan, dan dari

bersambung tidaknya sanad, dan sebagainya.

Ilmu hadits adalah salah satu ilmu yang harus kita pelajari untuk

mengetahui mana sebenarnya hadits yang murni berasal dari nabi

muhammad SAW, mana hadits yang meragu-ragukan dan mana hadits

yang tidak benar atau hadits yang dipalsukan oleh orang lain.

Jika kita melihat perkembangan ilmu hadits pada masa sekarang

ini, seperti yang telah penulis paparkan di atas, dalam membendung

pemalsuan Hadis, Ulama Islam memberikan perhatian yang besar

dimulai dari pembukuan sampai pada penyeleksian. Hadis-Hadis yang

dapat diterima dan diamalkan disebut hadis maqbūl. Untuk

1
2

membuktikan sebuah hadis para ahli Hadis merumuskan syarat-syarat

harus deipenuhi. Apabila sarat hadis tersebut tidak lengkap, maka hadis

itu tidak dapat diterima. Inilah yang membuat pemakalah tertarik untuk

membahas permasalahan ini dan memperkenalkan hadis maqbūl bagi

pembaca ilmu hadits yang berkaitan dengan hadits yang dapat diterima

(hadits maqbul) merupakan salah satu bagian dalam ilmu hadits yang

akan penulis coba paparkan dalam pembahasan berikutnya dalam

makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Hadits Maqbul?


2. Bagaimana Syarat – Syarat Hadits Maqbul?
3. Bagaimana Klasifikasi Hadits Maqbul?
4. Apa saja Macam – Macam Hadits Maqbul?
5. Bagaimana cara Mengatasi Hadits Maqbul Yang Saling Berlawanan
(Mukhtalif)?
6. Bagaimana kehujjahan Hadits Maqbul?

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui Pengertian Hadits Maqbul


2. Mengetahui Syarat Syarat Hadits Maqbul
3. Mengetahui tingkatan tingkatan Hadits Maqbul
4. Mengetahui Hadits yang tergolong Hadits Maqbul
5. Mengetahui Hadits Maqbul Yang Saling Berlawanan (Mukhtalif)
6. Mengetahui Kehujjahan Hadits Maqbul
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Maqbul


Maqbul menurut bahasa adalah “Ma’khudz” (yang diambil) dan
mushaddaq (yang dibenarkan atau yang diterima). Sedangkan menurut
istilah adalah:

‫َما تَ َوا فَ َرت فيه َجميع شروط ال َقب ول‬


“Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan.”
Mamud aṭ-Ṭaḥḥān mendefinisikan:

" ‫" ما ترجح صدق المخبر به‬


“hadis yang kejujuran pembawa beritanya lebih kuat.”

Definisi di atas memberikan pengertian bahwa sebuah hadis yang


disampaikan ada dalam dua kemungkinan dipercaya dan tidak. Apabila
kepercayaan terhadap pembawa berita lebih kuat dengan syarat - syarat
yang mengiringinya, maka berita tersebut dapat diterima. Namun, jika
kepercayaan itu sangat sedikit atau kurang, maka hadis tersebut tidak
dapat diterima.

B. Syarat – Syarat Hadits Maqbul

Telah dijelaskan di atas bahwa sebuah hadis dapat dikatakan


diterima ketika kepercayaan terhadap pembawa berita lebih besar dari
pada ketidak percayaan terhadapnya. Kepercayaan yang lebih itu dapat
diketahui dari indikasi-indikasi yang menguatkannya.

Dari kelima kriteria, yaitu sebagai berikut:

a. Persambungan sanad )‫(اتصال السند‬

Artinya, setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima

periwayatan dari perawi sebelumnya, baik secara langsung ( ‫) مباشرة‬

3
4

atau secara hukum ( ‫ ) حكمى‬dari awal sanad sampai akhirnya.

Pertemuan atau persambungan sanad dalam periwayatan ada dua


macam lambang yang digunakan oleh para periwayat:

1) Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka


langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan. Maka
ia mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa yang
dilakukan. Periwayatan dalam bentuk pertemuan langsung
seperti di atas pada umumnya menggunakan lambang ungkapan:

‫سمعت‬ = aku mendengar,

‫ أخبرنا‬/ ‫ حدثنا‬/ ‫ أخبرني‬/ ‫حدثني‬ = memberitakan kepadaku/kami,

‫رأيت فالنا‬ = aku melihat si Fulan, dan lain-lain.

Jika dalam periwayatan sanad hadis menggunakan kalimat


tersebut, atau sesamanya maka berarti sanad-nya muttashil
(bersambung).

2) Pertemuan secara hukum (hukmi); seseorang meriwayatkan


hadis dari seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan
kata yang mungkin mendengar atau mungkin melihat.
Misalnya:

‫ فعل فالن‬/ ‫ عن فالن‬/‫ = قال فالن‬si Fulan berkata: .../dari si Fulan/si

Fulan melakukan begini.


Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara
hukum, maka perlu penelitian lebih lanjut sehingga dapat
diketahui benar apakah ia bertemu dengan syaikhnya atau
tidak.

b. Keadilan para perawi (‘Adalah Ar-Ruwah)


Pengertian adil dalam bahasa adalah seimbang atau meletakkan
sesuatu pada tempatnya, lawan dari zalim. Dalam istilah
periwayatan, orang yang adil adalah:
5

َ‫وحس َن خلقه وسلم من الفسق َو َخ َوارم المرو َءة‬


َ ‫قام دي نه‬
َ َ‫من اشت‬

“(Adil adalah) orang yang konsisten (istiqamah) dalam beragama, baik


akhlaknya, tidak fasik, dan tidak melakukan cacat muru'ah.”
Istiqamah dalam beragama, artinya orang tersebut konsisten
dalam beragama, menjalankan segala perintah, dan menjauhkan
segala dosa yang menyebabkan kefasikan. Fasik artinya tidak patuh
beragama (Al-Khuruj 'an Ath-tha'ah), mempermudah dosa besar atau
melanggengkan dosa kecil secara kontinu. Adapun menjaga Muru’ah,
artinya menjaga kehormatan sebagai Seorang perawi, menjalankan
segala adab dan akhlak yang terpuji dan menjauhi sifat-sifat yang
tercela menurut umum dan tradisi. Misalnya, tidak membuka kepala
dan tidak melepas alas kaki ketika bepergian, tidak mengenakan baju
lengan pendek, tidak makan di pinggir jalan, dan lain sebagainya.
Dalam menilai keadilan seseorang tidak harus meneliti ke
lapangan langsung, dengan cara bertemu langsung. Hal ini sangat
sulit dilakukan karena mereka para perawi hadis hidup pada abad
awal dalam perkembangan Islam. Kecuali bagi mereka yang hidup
bersamanya atau yang hidup sezaman. Oleh karena itu, dalam
menilai keadilan seorang periwayat, cukup dilakukan dengan salah
satu teknik berikut.
1) Keterangan seorang atau beberapa ulama ahli ta'dil bahwa
seseorang itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam
kitab-kitab Al-Jarh wa At-Tadil.
2) Ketenaran seseorang bahwa ia bersifat adil, seperti Imam Empat,
yaitu Hanafi, Maliki, Asy-Syafi'i, dan Hanbali.

c. Para perawi bersifat dhâbith (Dhabth Ar-Ruwah)


Maksudnya, para perawi itu memiliki daya ingat hafalan yang kuat
dan sempurna. Daya ingat dan hafalan kuat ini sangat diperlukan
dalam rangka menjaga otentisitas hadis, mengingat tidak seluruh
hadis tercatat pada masa awal perkembangan Islam. Atau jika
tercatat, catatan tulisannya harus selalu benar, tidak terjadi
6

kesalahan yang mencurigakan. Sifat dhabith ini ada dua macam,


yaitu sebagai berikut.
1) Dhâbith dalam dada (adh-dhabth fî ash-shudûr), artinya memiliki
daya ingat dan hafalan yang kuat sejak ia menerima hadis dari
seorang syaikh atau seorang gurunya sampai dengan pada saat
menyampaikannya kepada orang lain, atau ia memiliki
kemampuan untuk menyampaikannya kapan saja diperlukan
kepada orang lain.
2) Dhàbith dalam tulisan (adh-dhabth fî as-suthûr), artinya tulisan
hadisnya sejak mendengar dari gurunya terpelihara dari
perubahan, pergantian, dan kekurangan. Singkatnya, tidak terjadi
kesalahan-kesalahan tulis kemudian diubah dan diganti, karena
hal demikian akan mengundang keraguan atas ke-dhabitlt-an
seseorang.
Untuk mengetahui ke-dhâbith-an seseorang, dapat dilakukan
dengan diadakan komparasi dengan periwayatan orang-orang tsiqah
lain atau dengan keterangan seorang peneliti yang dapat
dipertanggungjawabkan (mu'tabar). Bandingkan sanad hadis
periwayatan seseorang dengan berbagai sanad yang berbeda, jika
periwayatan seseorang banyak kesesuaiannya dengan periwayatan
orang-orang tsiqah, berarti ia dhábith. Jika banyak bertentangan,
berarti ia tidak dhabith.

d. Tidak terjadi kejanggalan (Syadzdz)


Syadzdz dalam bahasa berarti ganjil, terasing, atau menyalahi
aturan. Maksud syadzdz di sini adalah periwayatan orang asiqah
(tepercaya, yaitu adil dan dhábith) bertentangan dengan periwayatan
orang yang lebih tsiqah. Dengan demikian, jika disyaratkan hadis
shahih harus tidak terjadi syadzdz, berarti hadis tidak terjadi adanya
periwayatan orang tsiqah (tepercaya, yaitu adil dan dhabith)
bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah. Pengertian
syadzdz ini mengecualikan, jika periwayatan seorang dha'if
bertentangan dengan periwayatan orang tsiqah tidak dinamakan
7

syadzdz, tetapi nanti disebut hadis munkar yang tergolong hadis


dha'if. Logikanya, pertentangan periwayatan orang tsiqah terhadap
yang lebih tsiqah saja sudah tidak shahih, apalagi periwayatan orang
dha'if terhadap orang tsiqah. Demikian juga sebaliknya, periwayatan
orang tsiqah bertentangan dengan periwayatan seorang dha'if,
disebut hadis ma'ruf. Hadis ini tidak termasuk syadzdz jika
memenuhi beberapa persyaratan lain, bisa jadi menjadi shahih.
Contoh syadzdz, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
melalui jalan Ibnu Wahb sampai pada Abdullah bin Zaid dalam
memberikan sifat-sifat wudhu' Rasulullah:

‫أنه مسح برأيه بماء غير قلي يبيه‬

Bahwa beliau menyapu kepalanya dengan air yang bukan kelebihan


di tangannya
Sedangkan periwayatan Al-Baihaqi, melalui jalan sanad yang
sama mengatakan:

‫أنه أحد ألذيه ماء بخالف الماء الذي أخذ رأيه‬


Bahwasanya beliau mengambil air untuk kedua telinganya selain air
yang diambil untuk kepalanya.
Periwayatan Al-Baihaqi syadzdz (anggal) dan tidak shahih,
karena periwayatannya dari Ibnu Wahb seorang tsiqah, menyalahi
periwayatan jama'ah ulama dan Muslim yang lebih tsiqah. Syadzdz
bisa terjadi pada matan suatu hadis atau pada sanad. Contoh di atas
terjadi pada matan saja dikarenakan keterbatasan kondisi
pembahasan. Untuk penjelasan yang lebih lengkap, lihat pada
pembahasan hadis syâdzdz atau pada buku-buku yang luas
pembahasannya.

e. Tidak terjadi 'illat


Dari segi bahasa, ‘illat berarti penyakit, sebab, alasan, atau
udzur. Sedangkan arti ‘illat disini adalah suatu sebab tersembunyi
8

yang membuat cacat keabsahan suatu hadis padahal lahirnya


selamat dari cacat tersebut. Misalnya, sebuah hadis setelah diadakan
penelitian, ternyata ada sebab yang membuat cacat yang
menghalangi terkabulnya, seperti munqathi’, mawqùf, atau perawi
seorang fasik, tidak bagus hafalannya, seorang ahli bid'ah, dan lain-
lain. Atau ternyata seorang perawi me-mursal-kan hadis maushul,
me-maushul-kan hai munqathi', atau me-marfüʻ-kan hadis mauqûf.

C. Klasifikasi Hadits Maqbul

Nuruddin ‘Itr dalam Manhâj an-Naqd fî ‘Ulûm al Hadîs


mengelompokkan hadis-hadis yang diterima (maqbûl) sebagai berikut:
1. Hadits ṣahih lidzatihi
2. Hadits hasan lidzatihi
3. Hadits ṣahih lighairihi
4. Hadits hasan lighairihi

1. Hadit Shahih Lidzatihi

Shahih menurut bahasa diartikan orang sehat, antonym dari


kata as –saqim artinya orang yang sakit. Jadi yang dimaksudkan
hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar, tidak terdapat
penyakit dan cacat. Dalam Istilah Hadits, Hadits Shahih adalah:

‫هو ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط ضبطا كامال عن مثله وخال من الشذوذ والعلة‬
Hadits yang muttashil (sambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang
adil dan dhabith (kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya,
selamat dari kejanggalan (syadzdz), dan cacat (‘Illat)
Dari definisi ini jelaslah bahwa untuk hadits shahih
dipersyaratkan adanya 5 syarat berikut:
1. Sanadnya bersambung: yaitu setiap perawi telah mengambil
hadits secara langsung dari gurunya mulai dari permulaan
sampai akhir sanad.
2. Para perawi yang adil; yaitu setiap perawi harus seorang yang
muslim, baligh, berakal, tidak fasik, dan perperangai yang baik.
9

3. Dhabith yang sempurna, yaitu setiap perawi harus sempurna


hafalannya. Dhabth ada dua macam: dhabth shadr dan dhabth
kitab.
Dhabth shadr adalah bila seorang perawi benar benar hafal
hadits yang telah didengarnya dalam dadanya, dan mampu
mengungkapkannya kapan saja.
Dhabth kitab adalah bila seorang perawi “menjaga” hadits yang
telah didengarnya dalam bentuk tulisan.
4. Tidak ada syudzudz (syadz), yaitu hadits tersebut tidak syadz.
Syudzudz adalah jika seorang perawi yang tsiqah menyelisihi
perawi yang lebih tsiqah darinya.
5. Tidak ada ‘illat, yaitu hadits tersebut tidak boleh ada cacat.
‘illat adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat merusak
status keshahihan hadits meskipun zhahirnya tidak nampak
ada cacat.

Jika salah satu dari lima syarat tersebut tidak terpenuhi, maka ia
tidak dapat dinamakan sebagai hadits shahih.

Contoh hadis Sahîh lidzatihi:

ٌ ‫ َح َّدثَني َمال‬: ‫ال‬


‫ َعن‬، ‫ َعن نَاف ٍع‬، ‫ك‬ َ َ‫ ق‬، ‫ك َو َحدَّثَنَا إس َماعيل‬
ٌ ‫ أَخبَ َرنَا َمال‬، ‫ف‬
َ ‫حدَّثَنَا َعبد اهلل بن يوس‬

‫اجى‬
َ َ‫ إ َذا َكانوا ثَالَثَةٌ فَالَ يَتَ ن‬: ‫ال‬ َّ ‫ أ‬، ‫ َرضي اللَّه َعنه‬، ‫َعبد اهلل‬
َ َ‫َن َرسو َل اهلل صلى اهلل عليه وسلم ق‬ َ
.‫اث نَان دو َن الثَّالث‬

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah


mengabarkan kepada kami Malik dan telah menceritakan kepada kami
Ismail ia berkata telah mengabarkan kepada kami, Malik,dari Nafi’,
dari Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Apabila mereka itu
bertiga orang, janganlah dua orang diantaranya berbisik-bisikan
dengan tidak bersama yang ketiga”.

Keterangan:
10

Bila sanad tersebut diperiksa dari al-Bukhari (w. 256 H/870 M)


sampai Nabi SAW, maka semua sanadnya bersambung dan semua
rawi rawinya adil dan ḍabit sempurna, tidak syâdz dan tidak ada
‘illath, jadi hadis tersebut sahih.
Kekuatan hadits shahih mempunyai tingkatan derajat
berdasarkan pada syarat – syarat hadits shahih. Oleh karena itu,
sebagian ulama hadits menyebut untuk tingkatan sanad yang paling
tinggi dengan istilah; Innahu ashahul asanid,” dan setiap imam
menguatkan sanad yang menurutnya paling kuat. Diantara mereka
adalah:
a. Ibnu syihab Az-Zuhri, dari Salim bin Abdullah bin Umar,
dari bapaknya.
b. Muhammad bin sirin, dari Ubaidah bin Amru, dari Ali bin
Abi Thalib
c. Ibrahim An-Nakha’i dari ‘Alqamah bin Qais, dari Abdullah
bin Mas’ud.
d. Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar.

Jadi Hadits Shahih Lidzatih (Shahih dengan sendiri) adalah


Hadist yang memenuhi sifat-sifat penerimaan hadist pada tingkat
tertinggi, atau dengan kata lain memenuhi lima kriteria di atas secara
sempurna.

2. Hadis hasan lidzatihi

Hadis hasan lidzatihi adalah hadis yang bersambung sanadnya,


diriwayatkan oleh rawi yag adil, yang rendah tingkat kekuatan daya
hafalnya, tidak syadz dan tidak ‘illat. Dengan membandingkan definisi
hadis hasan ini dan hadis sahih, maka akan kita temukan titik
keserupaan yang cukup besar diantara kedua jenis hadis ini.
Keduanya harus memenuhi seluruh kriteria hadis sahih kecuali yang
berkaitan dengan kekuatan daya hafal (ḍabit). Hadis sahih
diriwayatkan oleh rawi yang sempurna daya hafalnya yakni kuat
11

hafalannya dan tinggi tingkat akurasinya, sedangkan rawi hadis


hasan adalah yang rendah tingkat daya hafalnya.

Contoh hadis hasan lidzatihi:

: ‫حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال‬

‫قال رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم لوال أن أشق على أمتي ألمرتهم بالسواك عند كل صالة‬
“Telah menceitakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan
kepada kami ‘Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin ‘Amr dari Abi
Salamah dari Abi Hurairah, ia berkata Rasulullah SAW bersabda: “Jika
Aku tidak memberatkan ummatku niscaya Aku perintah mereka
bersiwak setiap hendak sholat”. (HR.at-Tirmidzi)

Keterangan:
Bila sanadnya diperiksa dari at-Tirmidzi (w. 279 H/892 M) sampai
Nabi SAW maka sanadnya bersambung, semua rawi yang
meriwayatkan adil dan ḍabit, tidak ada syadz dan tidak ada ‘illat
kecuali Muhammad bin ‘Amr, ia kurang ḍabit.

3. Hadis sahih lighairihi

Hadis sahih lighairihi adalah hadis hasan lidzatihi yang apabila


diriwayatkan pula melalui jalur lain yang semisal atau yang lebih
kuat, baik dengan redaksi yang sama maupun maknanya saja yang
sama, Dinamakan Shahih li ghairihi karena keshahihannya bukan
berasal dari sanad hadits itu sendiri, melainkan datang dari
penggabungan riwayat lain. Kedudukannya lebih tinggi dari hasan li
dzatihi dan masih di bawah shahih li dzatihi.

Contoh hadis sahih lighairihi:

‫الصالَة الطُّهور َوتَحريم َها التَّكبير َوتَحليل َها التَّسليم‬


َّ ‫مفتَاح‬
“Pembuka shalat itu ialah bersuci dan yang memasukkan seseorang
kedalam shalat ialah takbir dan yang mengeluarkan seseorang dari
shalat adalah salam”.(Hadis riwayat at-Tirmidzi).”
12

Keterangan:
Rawi-rawi yang ada dalam sanad ini semuanya kepercayaan,
melainkan ‘Abdullah bin muhammad bin ‘Aqil saja, walaupun ia
orang yang benar tetapi tentang hafalannya –kuat atau tidaknya-
masih dalam perselisihan, yakni diantara ulama ada yang
menganggap hafalannya kurang kuat, dan ada yang menganggapnya
kuat. Oleh karna itu, riwayat ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqil
dianggap Hasan Lidzatihi. Hadis ini dikuatkan oleh enam jalan lain.

4. Hadis hasan lighairihi

Hadis hasan lighairihi adalah suatu hadis yang meningkat


kualitasnya menjadi hadis hasan karena diperkuat oleh hadis lain.
Imam At Turmudzi (w. 279 H/892 M) mendefinisikan pengertian hadis
ini dalam salah satu kitabnya yaitu al-‘ilal pada bagian akhir kitab
jami’nya, yaitu hadis yang sanadnya baik menurut kami, yaitu setiap
hadis yang diriwayatkan melalui sanad yang didalamnya tidak
terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya tidak janggal,
diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat.

Contoh hadis Hasan Lighairihi:

‫ وحسنه من طريق هشيم عن يزيد بن أبي زياد عن ابن ابي ليلى عن البراء‬- ‫ أيضا‬- ‫رواه الترمذي‬

‫ إن حقا على المسلمين أن يغتسلوا يوم الجمعة‬-‫مرفوعا‬


“Tirmidzi telah meriwayatkan – juga – dan menghasankannya dari
jalan Husyaim dari Yazid bin Abi Ziyad dari Ibnu abi Laili dari al-Bara’
secara marfu’: ”Sesungguhnya suatu kewajiban atas orang-orang islam
mandi pada hari jum’at”.(HR al-Tirmidzi)

Keterangan:
Rawi rawi yang ada dalam sanad ini semua orang kepercayaanm
kecuali Husyaim yang terkenal sebagai mudallis. Karna itu maka
sanadnya dianggap tidak terlalu lemah, karna orangnya kepercayaan.
13

Selain itu hadis ini juga di kuatkan oleh jalan lain, oleh karna itu
dinamakan “hasan lighairihi”.

D. Macam – Macam Hadits Maqbul


Hadits maqbul menurut sifatnya, dapat diterima menjadi hujjah
dan dapat diamalkan. Hadits maqbul yang demikian itu disebut dengan
hadits maqbul ma'mulun bih. Di samping itu juga ada hadits maqbul
yang tidak dapat diamalkan, yang disebut dengan hadits maqbul ghair
ma’mulin bih, disebabkan karena beberapa sebab.

1. Hadits maqbul yang ma’mul bih


a. Hadits Muhkam. Yakni hadits-hadits yang tidak mempunyai
saingan dengan hadits lain, yang dapat mempengaruhi artinya.
Dikatakan dengan muhkam (dapat dipakai berhukum). lantaran
dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikit pun.
Al-Hakim Abu 'Abdillah An-Nisabury, mengumpulkan hadits-
hadits muhkam dalam satu bab dan menjeniskannya dalam ilmu
hadits. Hadits muhkam itu banyak sekali, contohnya antara lain:

‫ ال يقبل اهلل صالة بغيرطهور‬:‫ سمعت رسول اهلل صلم يقول‬:‫ قال‬. ‫ع‬.‫عن عمر بن الخطاب ر‬

ٍ ‫والصدقة من غل‬
‫ رواه مسلم‬. ) ‫ول‬

"Warta dari 'Umar bin Al-Khaththab r.a. mengabarkan, ujarnya:


Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda: Allah itu tidak akan
menerima shalat tanpa bersuci dan tidak pula sedekah hasil dari
pengkhianatan'. (Riwayat Muslim)

b. Hadits Mukhtalif (berlawanan) yang dapat dijama'kan


(dikompromikan). Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau
bisa dikompromikan, diamalkan kedua-duanya.

c. Hadits Rajih: Yakni sebuah hadits yang terkuat di antara dua


buah hadits yang berlawanan maksudnya.
14

d. Hadits Nasih: Yakni hadits yang datang lebih akhir, yang


menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits
yang datang mendahuluinya.
2. Hadits makbul yang ghairu ma'mul bih, ialah:

a. Hadits mutasyabih. Sebagaimana halnya ayat-ayat Al-Qur'an, ada


yang muhkam dan ada yang mutasyabih, Al-Hadits pun ada yang
muhkam dan ada yang mutasyabih. Hadits mutasyabih, ialah
hadits yang sukar dipahami maksudnya, lantaran tidak dapat
diketahui ta'wilnya.
ketentuan hadits mutasyabih ini, harus diimankan adanya, tetapi
tidak boleh diamalkan.
Para ulama memperselisihkan apakah boleh seseorang
menelaahnya sehingga terbuka kesyubhatannya atau hanya
menyerah bahwa yang dapat membuka kesyubhatan itu hanya
Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: membolehkannya dan,
Kedua: menurut kebanyakan ulama tidak membolehkannya.
Hal itu dimaksud agar selamat dari suatu penyelewengan.
Allah telah mencela para penganut orang yang menta'wilkan ayat-
yat mutasyabih, sebagai penyelewengan dan pengikut fitnah, dan
memuji orang yang pada menyerahkan penta'wilannya kepada
Allah, sebagai orang yang mengimankan hal-hal yang gaib, dengan
firman-Nya yang tercantum dalam surat Ali 'Imran: 7
َۡ ٓ َ
َ ۡ َٓ ََ َ َّ َ ٞ ُُ َ ‫ فَأ َ َّما َّٱَّل‬.........
‫ِين ِِف قلوبِهِ ۡم َزيۡغ فيَتب ِ ُعون َما تشَٰبَ َه مِنۡ ُه ٱبۡت ِغا َء ٱلفِتۡنَةِ َوٱبۡت ِغا َء تأوِيلِه ِۦ َو َما َي ۡعل ُم‬
ْ ُ ْ ُ ٓ َّ ُ َّ َّ َ َ َ َ ‫َ ل‬ ٞ‫ُ ل‬ َ ُ َُ ۡ ۡ َ ُ َّ َ ُ َّ َّ ٓ ُ َ ۡ َ
‫امنَّا بِه ِۦ ك لم ِۡن عِن ِد ربِناه وما يذكر إَِّل أولوا‬
َ ‫ون َء‬ ‫ٱلرَٰسِخون ِِف ٱلعِل ِم يقول‬‫تأوِيلهۥ إَِّل ٱلل ه و‬

‫ب‬ َٰ َ ۡ‫ۡٱۡلَل‬
‫ب‬
ِ

"Adapun orang-orang yang di dalam hatinya terdapat


penyelewengan, lalu dicari-carinya ta'wil ayat mutasyabih,
lantaran hendak membuat fitnah dan membuat-buat ta'wilnya.
15

Padahal hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Orang-orang


yang pada tangguh ilmunya, berkata: 'Kami mempercayainya saja,
sebab seluruhnya dari sisi Tuhan kami, dan tidaklah mau
mengerti (pengakuan) ini, selain orang-orang yang mempunyai
pikiran sehat'."
Al-Khaththaby berpedapat bahwa mutasyabaih itu, ada dua
macam.
Pertama, yaitu mutasyabih yang bila dikembalikan kepada yang
muhkam dan dii'tibarkan kepadanya dapat diketahui maknanya.
Kedua, yaitu yang sudah tidak ada jalan lain untuk mengetahui
hakikatnya, kecuali ilham. Inilah yang pada diikuti oleh para
penyeleweng untuk mencari-cari ta wilnya sehingga meragukan
dan mudah membangkitkan fitnah,
Contoh hadits mutasyabih, ialah:

‫ إنه لَي غَان َعلَى قَ لبى َوإنى َألَستَ غفر اهللَ فى اليَ وم‬:‫عن األَغَر الم َزنى اَ َّن رسول اهلل صلعم قال‬
ٍ‫مائَةَ م َّرة‬
َ

"Warta dari AL-Agarr Al-Muzany mengabarkan, ujarnya:


Rasulullah SAW. bersabda: "Sungguh, hatiku telah terpesona, dan
(jika hatiku terpesona) sungguh, aku meminta ampun kepada
Allah dalam sehari seratus kali'. " (Riwayat Muslim)
Hadits mutasyabih tersebut sukar sekali untuk dipahamkan
maksudnya. Yang ditasyabuhkan (disemukan) dalam hadits ini,
ialah arti perkataan: "yughanu 'ala qalby”
Ketika AI-Ashma'iy ditanya oleh seseorang tentang arti dan
maksud hadits tersebut, beliau menjawab: Andaikata hati tersebut
bukan hati Nabi, tentu kuperbincangkan, tetapi menurut
ungkapan bahasa Arab, perkataan "ghain" itu berarti ghan ar-raqiq
(awan tipis).
Para Muhadditsin dalam menta'wilkan perkataan ghain in
berbeda-beda.
16

Imam An-Nawawy mengatakan bahwa perkataan ghain


dalam hadits tersebut yang dimaksudkan, ialah "mayataghasysya
qalba" (keadaan-keadaan atau perbuatan-perbuatan
mempersonakan hati).
Al-Qadli ‘lyadl menta'wilkan perkataan tersebut dengan:
Kelalaian dan kelupaan berzikir, yang seharusnya zikir itu
diabadikan. Karena itu bila hati beliau lalai dan lengah dari zikir
(dikarenakan kesibukan-kesibukan dalam melaksanakan tugas
tugas kemaslahatan umat), maka beliau lantas menganggap
kelengahan itu adalah suatu doša, karenanya beliau lalu meminta
ampun kepada Allah sehari seratus kali.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang
menyebabkan kelalaian berzikir itu adalah kemasygulan beliau
dalam mengusahakan kemaslahatan umat, melawan musuh-
musuh Islam, mengikat hati orang-orang mukallaf dan lain
sebagainya. Ditinjau dari tugas yang besar lagi berat bagi Nabi
sebagai mubalig, sungguh memasygulkan. Tetapi dari segi
ketinggian derajat beliau, hal itu dianggap suatu cela, untuk
bermusyahadah, bermuraqabah kepada Allah, yang semua
perbuatan itu harus dijauhkan dalam lintasan hati. Karena itulah
beliau beristighfar dalam sehari seratus kali."
b. Hadits mutawaqqaf fihi: Yakni dua buah hadits maqbul yang saling
berlawanan yang tidak dapat dikompromikan, ditarjihkan dan
dinasakhkan. Kedua hadits itu hendaknya dibekukan untuk
sementara. Ada sebagian ulama yang berpendapat: Bahwa hadits
mutawaqqaf fih itu dapat diamalkan salah satunya dalam satu
waktu dan yang lain di waktu yang lain.
Penggunaan istilah tawaqquf lebih tepat daripada tasaquth
(pengguguran) karena kesukaran pentarjihan salah satunya itu
ditinjau dari kondisi si pentarjih dalam suatu situasi yang ada
kemungkinan dapat ditarjihkan oleh orang lain dalam kondisi dan
17

situasi yang lain pula. Sedang kalau dianggap gugur, hapus untuk
selama-lamanya.
c. Hadits marjuh: Yakni sebuah hadits makbul yang ditenggang oleh
hadits makbul lain yang lebih kuat. Kalau yang ditenggang itu
bukan hadits makbul, bukan disebut hadits marjuh. (Periksa
contoh pada bab berikutnya).
d. Hadits mansukh: Yakni hadits makbul yang telah dihapuskan
(nasakh) oleh hadits makbul yang datang kemudian.
e. Hadits maqbul yang maknanya berlawanan dengan Al-Qur'an,
hadits mutawatir, akal yang sehat dan ijma' ulama.
Contoh hadits makbul yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan
akal yang sehat, ialah hadits muttafaq-'alaihi yang diriwayatkan
oleh 'Aisyah r.a. tentang Nabi disihir oleh seorang Yahudi yang
bernama Lubaid bin A'sham, ujarnya:

َ َ‫ ق‬.‫كان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم سح َر َحتَّى َكا َن يَ َرى أَنَّه الن َساء َوالَ يَأتيه َّن‬
‫ال سفيَان‬

َ ‫ َو َه َذا أَ َش ُّد َمايَکون م َن السحر ا َذا َكا َن گ َذال‬،‫السنَد‬


‫ الحديث‬- ‫ك‬ َّ ‫(أَ َحد ر َجال‬

"Konon Rasulullah SAW. pernah tersihir, sehingga terbayang oleh


beliau seakan-akan mendatangi istrinya, padahal tidak
mendatanginya. Sufyan (salah seorang rawi hadits ini) berkata:
'Inilah sihir yang paling berat, bila benar demikian ... dan
seterusnya'.
Abu Bakar Al-Jashshash dan Muhammad 'Abduh
mengingkari hadits tersebut, karena berlawanan dengan Al-
Qur'an. Allah membohongkan tuduhan orang kafir terhadap
tersihirnya Nabi, dalam firman-Nya pada surat Al-Isra' 47:
ً ‫ون إ ََّّل َر ُج اٗل َّم ۡس ُح‬
َ ُ َّ َ َ ُ َّ ُ ُ َ ۡ
٤٧ ‫ورا‬ ِ ‫ إِذ يقول ٱلظَٰل ِمون إِن تتبِع‬.........

"... tatkala orang dhalim pada berkata: "Tidaklah kamu


mengikutinya selain kepada seorang yang tersihir'."
18

Kalau Nabi tersihir, pikirannya kusut dan selalu menghayati suatu


perbuatan yang tidak berwujud, maka wahyu yang diturunkan
kepada beliau hanya terkhayal saja, tidak diturunkan dengan
sebenar-benarnya. Dengan kata lain, kalau Nabi pernah tidak
sehat pikirannya karena tersihir, niscaya Al-Qur'an yang
disampaikan kepada umat sekarang ini, merupakan khayalan
Nabi semata. Orang yang mempercayai riwayat tersebut, berarti
membenarkan tuduhan orang-orang musyrik yang mendustakan
Al-Qur'an. Baik Al-Qur'an maupun akal yang sehat menolak
hadits tersebut. Karena itu biarpun hadits itu shahih (makbul),
tetapi tak dapat diamalkan.
Contoh lain, misalnya hadits muttafaq 'alaih yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Ibrahim a.s. pernah berdusta
tiga kali, ujarnya:

ٍ ‫الس َالم إالَّ ثَالَتَا َك َذب‬


‫ ثنتَ ين من ه َّن في َذات اهلل عزوجل قَ وله (إنى‬،‫ات‬ َّ ‫لَم يَكذب إب َراهيم َعليه‬
َ
‫َسقي ٌم) َوقَ وله (بَل فَ َعلَه َكبي رهم َه َذا) وقال بَي نَاه َو َذات يَوٍم َو َس َارة إذ أَتَى َعلَى َجبَّارم َن ال َجبَاب َرة‬

"Nabi Ibrahim a.s. tidak pernah berdusta selain hanya tiga kali.
Yang dua kali berdusta mengenai zat Allah 'Azza wa Jalla, yaitu
tentang perkataannya: 'Aku sakit' dan perkataannya: 'bahkan
pemimpin mereka membuatnya demikian ini'." Kata Abu Hurairah
r.a.: "Pada suatu hari tatkala Nabi Ibrahim bersama Sarah, tiba-
tiba bertemu dengan orang gagah perkasa dari golongan tyrani -
dan seterusnya....)

Menganggap dusta kepada Nabi dan Rasul, tak dapat diterima oleh
akal yang sehat, sebab beliau itu telah diakui oleh Al-Qur'an dan
As Sunnah tentang kejujurannya.
Contoh hadits makbul yang bertentangan dengan akal dan ijma'
ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang
19

bersanadkan ayahnya, Ibnu Nufail, Muhammad bin Zubair, Al-


Hajjaj. Ikrimah dan Ibnu Abbas r.a., ujarnya:

َ ‫صلَّى اهلل عليه وسلم ال َوحي باللَّيل يَن َساه بالن‬


‫َّهار‬ َ ‫ َكا َن م َّما ي نَ َّزل َعلَى النَّبي‬.

"Konon termasuk yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.,


wahyu yang diturunkan di malam hari dan Nabi melupakannya di
siang hari."

Hadits ini adalah sebagai penjelas Asbabun Nuzul ayat 106 surat
Al-Baqarah:

‫َ ۡ ل ۡ َ ٓ َ ۡ ۡ َ ٓ َ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َ َّ َّ َ َ َ َٰ ُ ل‬ َۡ َ ُ َۡ َ
١٠٦ ‫ِير‬ ۡ َ ‫ك‬
ٌ ‫َشءم قَد‬ ‫لَع‬ ‫ٱلل‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ل‬‫ل‬ ‫ه‬ ‫ا‬ ‫ِه‬ ‫ل‬ ‫ِل‬ ‫م‬ ‫و‬‫أ‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫ِن‬ ‫م‬ ‫ٖرۡي‬ ‫ب‬
ِ ِ‫ت‬
ۡ َ َ َ
‫نسخ م ِۡن َءاي ٍة أو ننسِها نأ‬ ‫ما ن‬
ِ ‫م‬

"Apa yang Kami hapuskan tentang sesuatu ayat atau yang Kami
suruh melupakannya Kami ganti dengan yang lebih baik
daripadanya atau yang sepadan."

Hadits yang semakna dengan hadits Ibnu 'Abbas ini, banyak


diriwayatkan orang. Andai kata hadits tersebut maqbul (shahih
atau hasan), tetap tidak dapat diamalkan, sebab menerima
anggapan bahwa Nabi pernah lupa, adalah bertentangan dengan
pikiran yang sehat dan putusan ijma' tentang ke-ishmah-annya
Rasulullah (terpelihara dari dosa dan kelupaan) dalam
menyampaikan syari'at (wahyu).

E. Cara Mengatasi Hadits Maqbul Yang Saling Berlawanan (Mukhtalif)


Apabila kita mendapati dua buah hadits maqbul yang saling
bertentangan maksudnya menurut lahirnya, maka:
Pertama: Hendaklah kita berusaha untuk mengumpulkan
(mengkompromikan) kedua-duanya sampai hilang perlawanannya.
Kedua: Kalau usaha ini gagal, hendaklah kita mencari, mana di antara
kedua hadits tersebut yang datang lebih dahulu, dan mana yang datang
20

kemudian. Hadits yang datang lebih dahulu hendaklah dinasakhkan oleh


hadits yang datang kemudian.
Hadits yang dinasakh, disebut dengan hadits Mansukh, dan yang
menasakhnya disebut dengan hadits Nasikh.
Ketiga: Kalau usaha mencari nasikhnya tidak pula berhasil, beralih
kepada penelitian mana hadits yang kuat, baik sanad maupun
matannya, untuk ditarjihkannya. Hadits yang kuat disebut hadits Rajih,
sedang yang ditarjihkan disebut Marjuh.
Keempat: Kalau usaha yang terakhir ini pun gagal, kedua hadits tersebut
hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya. Hadits yang
ditawaqqufkan ini, disebut dengan hadits Mutawaqqaf-fihi. Hadits
mutawaqqaf-fih ini, menurut sebagian pendapat dapat diamalkan salah
satu, dan ada pula yang berpendapat bisa diamalkan berganti-ganti
dalam waktu yang berbeda-beda.
Dua buah hadits maqbul yang mempunyai perlawanan ini, disebut
dengan Hadits-Mukhtalif (mukhtaliful-hadits)
Hadits mukhtalif itu ada dua macam:
1. Yang masih dapat dikumpulkan
Kalau keduanya dapat dikumpulkan, hendaklah diamalkan
kedua-duanya. Contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh 'Aldullah
bin 'Amr r.a.:

َ َ‫اذَابَلَ َغ ال َماء ق لَّتَ ين لَم يَحمل ال َخب‬


‫ث‬
"Bila air itu sebanyak dua kullah tidak dapat menjadi (air) najis
(Riwayat empat orang rawi pemilik Kitab Sunan dan dishahihkan oleh
Ibnu Khizaimah)
Hadits tersebut, nampaknya berlawanan dengan mafhum hadits Abu
Sa'id Al-Khudry, ujarnya:

.)‫اء طَهورا َالي نَج ُّسه َشىءٌ االَّ َماغَيَّ َر طَعمه أَو لَونَه أَو ري َحه‬
َ ‫ ( َخلَ َق اهلل ال َم‬.‫قال رسول اهلل صلعم‬.
"Rasulullah SAW. bersabda: "Allah telah menjadikan air itu suci, tidak
bisa menjadi najis, selain bila berubah rasa, warna atau baunya."
21

(Riwayat tiga orang rawi Abu Dawud, At-Turmudzy dan An-Nasa'iy dan
dishahibkan oleh Ahmad)
Mafhum hadits 'Abdullah bin 'Amr tersebut menetapkan kesucian air
yang sebanyak dua kullah secara mutlak, baik berubah sifatnya, rasa
dan baunya maupun tidak berubah sama sekali.
Sedang hadits Abu Sa'id, menetapkan kesucian air yang tidak berubah
sifat-sifatnya, baik air itu sebanyak dua kullah, maupun kurang dari dua
kullah. Cara mengkompromikannya ialah dengan mentakhsishkan
keumuman hadits itu satu sama lain. Yakni:

a. Keumuman hadits pertama, bahwa setiap air yang mencapai


jumlah dua kullah, adalah suci, ditakhsishkan oleh hadits kedua.
Sebagai hasil pengkompromiannya ialah bahwa air yang sebanyak
dua kullah itu dapat menjadi najis bila berubah rasa, warna dan
baunya.
b. Keumuman hadits kedua, tentang kesucian air yang tidak berubah
sifat-sifatnya, ditakhshish oleh hadits pertama, hingga melahirkan
suatu ketetapan, bahwa air itu dapat menjadi najis, bila jumlahnya
kurang dari dua kullah."
2. Yang tidak mungkin dapat dikumpulkan Dalam hal yang demikian ini
hendaklah dicari:

a. Nasikh dan mansukhnya


Yakni dicari manakah hadits yang menurut tarikh datangnya
terkemudian, sebagai penasakh terhadap hadits yang datang
mendahuluinya, yang harus dinasakh (mansukh).
Kandungan yang terdapat pada hadits nasikh harus diamalkan,
sedang yang terdapat pada hadits mansukh harus ditinggalkan.
Untuk menetapkan suatu hadits sebagai nasikh dan suatu hadits
yang lain sebagai mansukhnya, dapat diketahui dengan beberapa
jalan, antara lain:

1. Penjelasan dari Syari' sendiri


Misalnya sabda Nabi:
22

ٍ َ‫َضاحى فَ و َق ثَال‬
‫ فَكلوا‬,‫ث‬ َ ‫ فَ زورو َها َوكنت نَ َهيتكم َعن لحوم األ‬،‫كنت نَ َهيتكم َعن زيَا َرة القب ور‬

‫َمابَ َداكم‬
"Konon aku pernah melarangmu menziarahi kubur. Kemudian
ziarahlah. Dan konon aku pernah melarang makan daging
binatang kurban selama lebih tiga hari, kemudian makanlah
sesukamu.” (Riwayat Muslim)
Larangan menziarahi kubur telah dinasakh dengan nash yang
terdapat dalam matan hadits itu sendiri, yakni kalimat:
"fazuruha”, demikian pula halnya larangan makan daging
binatang kurban telah dinasakh dengan nash yang terdapat
dalam rangkaian hadits itu sendiri, yakni kalimat: fakulu".

2. Penjelasan dari sahabat


Misalnya seperti kata Jabir r.a.:

‫ رواه أبو داود والنسائي‬- .‫َكا َن آخ َر األَم َرين من َرسول اهلل صلى اهلل عليه وسل تَ رك الوضوء م َّما َم َّست النَّار‬
"Yang terakhir dari dua kejadian yang berasal dari Rasulullah
SAW ialah meninggalkan wudlu' bekas tersentuh api.” (Riwayat
Abu Dawud dan An-Nasa'iy)
3. Diketahui tarikh keluarnya hadits
Misalnya hadits Syaddad: :

‫ رواه أبو داود وغيره‬. ‫أفتراجم والمحجوم‬


"Batallah puasa orang yang membekam dan orang yang
dibekam. (Riwayat Abu Dawud)

Menurut Imam Asy-Syafi'iy telah dinasakh oleh hadits Ibnu


Abbas ra:

‫ ( رواه سم‬. ‫)صلى اهلل علي وستم إحتجم وهو صائم‬


"Bahwa Rasulullah SAW pernah berbekam, padahal beliau
sedang ihram dan berpuasa. (Riwayat Muslim)
23

Disebabkan karena hadits Syaddad tersebut disabdakan oleh


Nabi pada tahun 8 Hijriah, yakni saat-saat dikuasainya
kembali kota Mekah, sedang hadits Ibnu Abbas disabdakan
pada tahun 10 Hijriah, yakni pada haji wada'.
Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasikh dan mansukh
ini, di antaranya:
1. Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H),
2. Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H),
3. Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H)
Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang
menyusunnya, yaitu:
1. Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya,
yang dinamai Allktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan
oleh Ibnu Abdil Haq (744 H) .
2. Tajrid al-Ahadis al-Mansukhah karya al-Jauzi.
3. Muhammad bin Musa al-Hazimi penyusun kitab Al-I’tibar fi an-
Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar

b. Rajih dan Marjuhnya


Cara mengatasi hadits mukhtalif yang baru lalu, telah
diperkatakan, bahwa jika dalam tingkatan kedua, yakni mencari
nasikh dan mansukhnya hadits yang berlawanan, tidak berhasil,
maka beralihlah ke tingkat ketiga, yaitu mencari yang lebih kuat di
antara dua buah hadits yang berlawanan itu. Hadits lebih kuat
sebagai rajih-nya dan hadits yang lemah sebagai marjuh-nya. Pada
prinsipnya hadits yang rajih itu diamalkan dan hadits yang marjuh
ditinggalkan Contoh antara lain hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan:

َ ‫انَّه صلى اهلل عليه وسلم تَ َزَّو َج َميمونَةَ بن‬


‫ت ال َحارث َوه َو‬
"Bahwa Rasulullah SAW. menikahi Maimunah binti'l-Harits, pada
waktu beliau sedang ihram.'
24

Hadits tersebut ditarjihkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh


Abi Rafi' yang mengabarkan:

‫انَّه صلی اهلل عليه وسلم تَ َزَّو َج َها َوه َو َحالَ ٌل‬.
"Bahwa Rasulullah SAW. menikahi Maimunah binti'l-Harits, pada
waktu beliau tahallul."

Hadits Abi Rafi' ini adalah lebih rajih daripada hadits Ibnu 'Abbas
r.a., karena Abi Rafi' r.a. sendiri bersama-sama pergi dengan
Rasulullah dan Maimunah di saat itu dan kebanyakan sahabat
meriwayatkan seperti hadits Abi Rafi'.

Al-Qadli 'lyadl berkata: "Tidak ada orang yang meriwayatkan


bahwa Rasulullah SAW menikahi Maimunah di kala beliau sedang
ihram, selain Ibnu 'Abbas r.a. sendiri."")
Macam-macam tarjih
Mentarjihkan hadits itu, dapat ditinjau dari beberapa jurusan:
1. Jurusan sanad (i'tibaru's-sanad). Misalnya:
a. Hadits yang rawinya banyak, merajihkan hadits yang rawinya
sedikit.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh rawi besar, merajihkan hadits
yang diriwayatkan oleh rawi kecil.
c. Hadits yang rawinya lebih tsiqah, merajihkan hadits yang
rawinya kurang tsiqah.
2. Jurusan matan (i'tibaru'l-matan). Misalnya:
a. Hadits yang mempunyai arti hakikat, merajihkan hadits yang
mempunyai arti majazi.
b. Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi,
merajihkan hadits yang hanya mempunyai petunjuk maksud
dari satu segi.
3. Jurusan hasil penunjukan (mad-lul). Misalnya: Mad-lul yang
positif merajihkan yang negatif (didahulukan mutsbit 'alan-nafi).
4. Jurusan dari luar (al-umuru'l-Kharijah). Misalnya:
Dalil yang qauliyah, merajihkan dalil yang fi'liyah.
25

F. Kehujjahan Hadits Maqbul

Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib


diamalkan sebagai hujah atau dalil Syara’ sesuai dengan Ijma’ para
ulama hadis dan sebagaian ulama’ ushul dan fiqh. Tidak ada alasan bagi
seorang muslim, tinggal mengamalkannya. Hadits shahih lighayrih lebih
tinggi derajatnya daripada hasan lidzatih, tetapi lebih rendah daripada
shahih lidzatih. Sekalipun demikian, ketiganya dapat di jadikan hujjah.
Ada beberapa pendapat para ulama yang memperkuat kehujjahan hadits
shahih ini, diantaranya sebagai berikut.
a. Hadits Shahih memberikan faedah qath’i (pasti kebenarannya) jika
terdapat di dalam Kitab Shahihayn ( Al-Bukhari dan Muslim)
sebagaimana pendapat yang dipilih Ibnu Ash- Shalah.
b. Wajib menerima hadits Shahih sekalipun tidak ada seorangpun yang
mengamalkannya, hal ini sebagaimana pendapat Al-Qasimi dalam
Qawa’id At-Tahdits.

Hadits Hasan dapat dijadikan hujah walaupun kualitasnya


dibawah hadits shahih. Semua fuqoha, sebagian Muhadditsin dan
Ushuliyyin mengamalkannya, kecuali sedikit dari kalangan orang yang
sangat ketat dalam mensyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin).
Bahkan sebagian Muhadditsin yang mempermudah dalam dalam
persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkannya ke dalam hadits
shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
Jadi, pada prinsipnya kedua-duanya mempunyai sifat yang dapat
diterima (maqbul). Walaupun rawi hadits hasan kurang hafalannya
dibanding dengan rawi hadits shahih, tetapi rawi hadits hasan masih
terkenal sebagai orang yang jujur dan dari pada melakukan perbuatan
dusta.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan Penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa


hadits Maqbul adalah Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-
syarat penerimaan. Hadits Maqbul mempunyai klasifikasi hadits
diantaranya adalah Hadits Shahih Lidzatih, Hadits Hasan Lidzatih,
Hadits Shahih Li ghoirihi, Hadits Hasan Lighairihi. Dalam pada itu, tidak
semua hadits maqbul boleh diamalkan, akan tetapi ada juga yang tidak
boleh diamalkan. Dengan kata lain hadits maqbul ada yang ma’mulun
bih yakni hadits yang bisa diamalkan dan ada yang ghoiru ma’mulun bih
yakni hadits yang tidak bisa diamalkan.

Dalam penelitian Hadits Maqbul ada yang mukhtalif yaitu hadits


maqbul yang saling berlawanan atau bertentangan maksudnya secara
lahir. Dalam menyikapi, masalah hadits mukhtalif para ulama berbeda
pendapat, antara lain ada yang membolehkan untuk mengamalkan
salah satu dari kedua hadits mukhtalif, dan ada pula yang
membolehkan untuk mengamalkan kedua hadits yang berlawanan.

Hadits Maqbul yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih


wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil Syara’ sesuai dengan Ijma’
para ulama hadis dan sebagaian ulama’ ushul dan fiqh. Tidak ada
alasan bagi seorang muslim, tinggal mengamalkannya. Sedangkan
Hadits Hasan dapat dijadikan hujah walaupun kualitasnya dibawah
hadits shahih.

B. Saran

Setelah melakukan pengkajian tentang hadis maqbul dalam


makalah ini, penulis memberikan beberapa saran:

1. Kepada kaum muslim untuk berhati-hati dalam menggunakan


Hadis kecuali setelah mengetahui kualitasnya.
26
27

2. Kepada kaum muslimin mengaplikasikan kaedah-kaedah dalam


ilmu Hadis, sehingga semakin menambah pengetahuan dan
kepercayaan terhadap sebuah Hadis.
DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Arabiah Mujamma’ al-Lugah, al-Mu’jam al-Wasit, cet. 4. Mesir: Maktabah


asy-Syuruq ad-Dauliah, 2004
Asqalani, Ibnu Hajar, Nuzhah an-Nazr, cet.3. Madinah: al-maktabah al-
‘Ilmiah, 1975
Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.
At-Tirmizi, Abu ‘Isa, Sunan at-Tirmizi. Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, t.t
Al-Hajjaj, Muslim ibn, Sahih Muslim. Riyaḍ: Bait al-Afkar ad-Dauliyah, 1998
Bukhori, Shahih Bukhori, (Bairut: Dar Al-Fikri, tt)
Ahmad Abi Adirrahman bin suaib Ali An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, (Riyad:
Maktabah Al- Ma’arif. t.t.
H. Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus. Ilmu Mustholah Hadis. Jakarta: PT
Hadikarya Agung, 1984
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2005,
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002,
Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul hadits. Bandung: PT Alma’arif,
1974,
At-Tahhan Mahmud, Taisir Mustalah al-Hadis, cet.7. t.t.p: Markaz al-Huda
Li ad-Dirasat, 1405 H,
Abdul Majid Khon, Haji, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2020,

28

Anda mungkin juga menyukai