Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

NASIKH DAN MANSUKH DALAM HADITS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadits

Dosen Pengampu:

Ahmad Marzuqi, S.Th.I. M.Pd.I.

Kelompok 2:

1. Cindy Eka Refiamanda Sari 12204193115


2. Yukki Candra Dewi 12204193126

TMT II A

TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG

FEBRUARI 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat dan karunia-Nya
sehingga penyusun dapat menyusun makalah yang Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qu’an dan
Hadits.

Melalui makalah ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada:

1. BapakAhmad Marzuqi, S.Th.I. M.Pd.I. selaku Dosen pengampu mata kuliah Studi Al-
Qur’an Hadits.
2. Semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini disusun berdasarkan hasil diskusi kelompok dan juga dari referensi yang
relevan, agar nantinya makalah ini dapat diterima dengan baik di semua kalangan dan dapat
memberi manfaat kepada pembacanya.

Penyusun menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dari makalah yang kami susun.
Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran oleh para pembaca yang dapat
membangun agar makalah ini menjadi lebih baik lagi kedepannya.

Tulungagung, 27 Februari 2020

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh..................................................................3


B. Syarat-Syarat Nasikh....................................................................................4
C. Rukun Nasikh dan Mansukh........................................................................5
D. Pola Nasikh dan Mansukh............................................................................6
E. Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh.......................................................8
F. Urgensi disekitar Nasikh dan Mansukh.......................................................9
G. Hikmah dari Nasikh dan Mansukh.............................................................10
H. Kitab-Kitab tentang Nasikh........................................................................10

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................11
B. Saran...........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad, yang
dinukilkan secara mutawatir, yang berisi petunjuk bagi tercapainya kebahagian kepada orang
yang percaya kepadanya. Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi serta dijelaskan secar terperinci juga diturunkan dari sisi Allah SWT. Sekalipun turun di
tengah bangsa Arab dan bahasa Arab, tetapi segala petunjuknya bersifat universal sesuai
dengan risalah Nabi Muhammad yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam.1
Sedangkan Hadits atau al- hadist menurut bahasa disebut dengan al jadid minal asyya
(sesuatu yang baru), lawan dari qodim (sesuatu yang dekat). Hal ini mencakup sesuatu
(perkataan) baik itu banyak ataupun sedikit. Hadist juga sering disebut dengan al-khabar (yang
berarti berita) yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang
lain dan ada kemungkinan ada benar atau salahnya, yang sama maknanya dengan hadist.
Menurut istilah terminology, para ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai
dengan latar belakang disiplin ilmunya. Dan adapun ahli hadits mendefisikan istilah hadis
hampir sama dengan sunah (murodif, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang
berasal dari Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita
memandang lafadz hadis secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir
beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum dari pada hadits sebagaimana hadis berikut: “segala
perkataan nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya
Salah satu teori yang senantiasa banyak iperbincangkan baik oleh kalangan ahli adalah
nasikh-mansukh. Tidak hanya diperbincangkan, keberadaannya dianggap begitu penting
dalam memahami dan meanfsirkan hukum-hukum dalam hadits.2 Oleh karena itu, kami
menulis makalh yang berjudul Nasikh dan Mansukh dalam Hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari nasikh?
2. Apa pengertian dari mansukh?
3. Bagaimana syarat-syarat nasikh?
4. Bagaiaman rukun dari nasikh?
5. Apa jenis-jenis nasikh?
6. Bagaimana pola dari nasikh dan mansukh?
7. Bagaimana cara mengetahui nasikh dan mansukh?
8. Apa kitab-kitab tentang nasikh?

C. Tujuan Penulisan

1
Al-Anbiya’ (21): 107
2
Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (Bairut: Dar al-fikr,t.t),II: 20

1
2

1. Untuk mengetahui pengertian dari nasikh dan mansukh


2. Untuk mengetahui syarat-syarat nasikh.
3. Untuk mengetahui rukun dari nasikh.
4. Untuk mengetahui pola nasikh dan mansukh.
5. Untuk mengetahui cara mengetahui nasikh dan mansukh.
6. Untuk mengetahui urgensi nasikh dan mansukh.
7. Untuk mengetahui hikmah dari nasikh dan mansukh.
8. Untuk mengetahui kitab-kitab tentang nasikh.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Pengertian nasikh secara etimologis memiliki beberapa pengertian, yaitu :
penghapusan/pembatalan (al-izalah atau al-ibthal), pemindahan (al-naql),
pengubahan/penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-tahwil atau al-intiqal).3
Sedangkan terdapat perbedaan pendapat antara Ulama Mutaqaddimin dan
Mutaakhirin dalam mendefinisikan nasakh secara terminologis. Cakupan makna yang
ditetapkan Ulama Mutaqaddimin di antaranya:
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang ditetapkan
kemudian.
2. Pengecualian/pengkhususan hukum bersifat `am/umum oleh hukum yang lebih
khusus yang datang setelahnya.
3. Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat
samar.
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.4
Berdasarkan pada pernyataan di atas, Ulama Mutaqaddimin secara terminologis
mengusung makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas pada berakhir atau
terhapusnya suatu hukum baru yang ditetapkan. Namun interpretasi nasakh yang
diusung oleh mereka juga menyangkut yang bersifat pembatasan, pengkhususan,
bahkan pengecualian.
Sementara menurut Ulama Mutaakhirin, nasakh adalah dalil yang datang
kemudian, berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama.5
Dengan demikian mereka mempersempit ruang lingkup nasakh dengan beberapa
syarat, baik yang menasakh maupun yang dinasakh. Lebih lanjut Ulama Mutaakhirin
mendefinisikan nasakh sebagai berikut:
“Mengangkat (menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab) syara’ yang datang
kemudian”.6

3
Muhammad Abd al-`Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an, (Kairo: `Isa al-Babi al-
Halabi, 1957), hlm. 175. Lihat pula Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fî Ulum al-Qur`an,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm. 200. Lihat pula Supiana dan M. Karman, Ulumul al-Quran dan
Pengenalan Metode Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 149.
4
Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group, 2002), hlm.108.
5
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
(Bandung : Mizan, 2004), hlm. 143.
6
Abi Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani, Al-`Itibar fî al-Nasikh wa alMansukh min
al-Atsar, (Pakistan: Jami`ah al-Dirasat al-Islamiyyah Karatisyi 1982), hlm. 52.
Lihat juga Muhammad Wafa`, Ahkam al-Naskh fî al-Syari`ah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar
alThabi`ah al-Muhammadiyyah, 1984), hlm. 22-26

3
4

Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang
hadits yang datang kemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang
berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.
Para Muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:
‫هوالعلم ااذ ي يبحث عن االحاديث المتعارضة التلى اليمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها‬
.‫ فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا‬,‫ وعلى بعضهااالخر بانه منسوخ‬,‫باء نه ناسخ‬
“Ilmu yang membahas tentang hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat
dipertemukan dengan ketetapan yang datang terlebih dahulu disebut mansukh dan yang
datang kemudian disebut nasikh” 7
Atas dasar itu, dalil yang datang kemudian disebut nasakh (yang menghapus).
Sedangkan hukum yang pertama disebut mansukh (yang terhapus).8

B. Syarat-Syarat Nasikh
Ada sejumlah syarat yang harus terpenuhi agar nasikh dapat
dioperasionalkan. Namun syarat-syarat ini tidak baku, karena tidak ada kesepakatan antar
Ulama terkait hal ini. Diantara syarat-syarat terjadinya nasikh adalah sebagai berikut9:
1. Hukum yang dihapus adalah hukum syara’ yang bersifat amali.
2. Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat
dikompromikan, serta tidak bisa diamalkan secara bersamaan.
3. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga
yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansūkh sedangkan yang datang belakangan
ditetapkan sebagai nasīkh.
4. Hukum yang dihapus tidak terbatas oleh waktu. Sebab apabila sebuah hukum
dibatasi oleh waktu, keberlakuan hukum tersebut akan berakir dengan sendirinya.
5. Penghapusan berasal langsung dari Allah atau Nabi. Sebab penghapusan sebuah
hukum tidak bisa dilakukan melalui ijma’ atau qiyas.
6. Memenuhi syarat kontradiksi, antara lain, adalah persamaan subjek, objek, dan waktu.
7. Hukum yang di-naskh bukan hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang baik
buruknya suatu perbuatan. Seperti kejujuran dan ketidakadilan untuk pihak yang
baik serta kebohongan dan ketidak adilan untuk yang buruk.
8. Ketentuan hukum yang mencabut atau nasīkh ditetapkan kemudian, karena pada
hakikatnya nasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang
sudah ada.

7
Fachtur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1974) hlm. 331
8
Kahar Mansykur, Pokok-pokok Ulumul Qur`an, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hlm.
135
9
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h.162.
5

Ibn al-Jauzī, dalam Nawāsikh al-Qur’ān, juga mengajukan syarat-syarat terjadinya


naskh. Menurutnya ada lima syarat untuk terjadinya sebuah naskh:10
1. Hukum antara yang nāsikh dan mansūkh saling berlawanan dan tidak mungkin
untuk memberlakukan keduanya.
2. Hukum yang di-nasikh telah berlaku sebelumnya, baik dari segi pembicaraan
maupun sejarah.
3. Hukum yang di-nasikh disyariatkan dengan landasan ayat al-Qur’an.
4. Ayat dan hukum yang me-naskh merupakan sesuatu yang disyariatkan. Artinya
jika ada hukum yang tidak disyartiatkan secara nash, tidak termasuk dalam kategori
nasikh.
5. Cara penetapan hukum yang di-nasikh harus sama dengan cara penentatapan
hukum yang me-nasikh. Jika hukum yang me-nasikh lebih lemah dari pada hukum
yang di-nasikh, maka hal ini tidak termasuk dalam kategori nasikh.

C. Rukun Nasikh dan Mansukh


1. Adat nasikh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah
ada.
2. Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakiatnya
naskh itu berasal ari berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan
menghapusnya.
3. Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh ‘anh yaitu orang yang dibebani hukum.11

D. Pola Nasikh dan Mansukh Hadits


1. Nasakh Hadis Dengan Hadis
Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadis boleh dinasakhkan dengan
hadis, yaitu mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan mutawatir
dengan ahad. Contohnya ialah hadis larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging
korban. Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadis dan hadis sendiri
yang membenarkannya. Oleh itu, nasakh ini dikatakan nasakh hadis dengan hadis.12
2. Nasakh Hadis Dengan al-Qur’an
Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadis
dengan al-Qur’an. Walau bagaimanapun, Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur
Ulama berhujah bahwa nasakh seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan
contoh perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah. Al-Hazimi mengemukakan
satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:

10
Ibn al-Jauzī, Nawāsikh al-Qur’ān, muḥaqiq, Muhammad Asyraf Alī al-Malibārī
(Madinah: Iḥya al-Turāts al-Islamī ,1984), h. 97
11
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), Hlm. 165
12
Zuhaili, Ilmu Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 2. Hlm. 967
6

‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم كان اول ماقد المد ينة نزل على احداده من االء نصاروانه صلى‬
.‫قبل بيت المقد س سته عشر شهرا اءوسبعه عشر شهر‬

Daripada al-Barra’ bin `Azib bahwa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W.
apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar dan
baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan
atau tujuh belas bulan.

DitapHadis ini telah dinasakhkan oleh ayat yang artinya:


"Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu mengadah ke langit, maka sesungguhnya
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke
arahnya". (QS. al-Baqarah: 144)
3. Nasakh al-Qur’an Dengan Hadis
Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadis dengan al-
Qur’an sementara Imam al-Syafie mencegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah
hanya mengharuskan nasakh al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan masyhur kerana
ianya tersebar luas di kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah
dengan ayat wasiat kepada ibu bapa dan kaum kerabat.
"Diwajibkan ke atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapa dan kaum
kerabat secara ma`ruf, ini adalah kewajipan atas orang-orang yang bertakwa". (QS.
al-Baqarah:180)

TapAyat ini telah dimansukhkan dengan hadis:

‫ " ان هللا قد أعطى كل ذي حق‬:‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسم يقو ل‬:‫ قال‬,‫عن ابي امامة‬
‫ فال وصية لوارث" ابو داود‬,‫حقه‬

Daripada Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:


Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak
akan hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris (orang yang
berhak menerima pusaka).”
Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahawa ayat
wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaiu surah al-Maidah:11
sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.13

E. Cara Mengetahui Nasikh

13
Zuhaili, Ilmu Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 2. Hlm. 971
7

Terjadinya proses penghapusan (nasikh) ini bisa diketahui melalui empat cara yaitu
:14
1. Adanya penjelasan langsung dari syari’ yaitu Rasulullah. Contohnya sebagaimana
hadits tentang pelarangan ziarah kubur yang dihapus dengan perintah melakukannya.

ِ ‫ت القُب‬
‫ُور‬ َ ‫سلَّ َم لَعَنَ زَ َّو‬
ِ ‫ارا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ أَ َّن َر‬،َ‫ع ْن أَبِي ه َُري َْرة‬
َ ِ‫سو َل هللا‬ َ
“Bahwa Rasulullah SAW. Melaknat para perempuan peziarah kubur” (HR.
Tirmidzi).

ِ‫ارة‬ َ ‫ قَ ْد ُك ْنتُ نَ َه ْيت ُ ُك ْم‬:‫سلَّ َم‬


َ ‫ع ْن ِز َي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫سو ُل‬
َ ‫هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْن أَ ِبي ِه قَال‬َ ،َ‫س َل ْي َمانَ ب ِْن ب َُر ْيدَة‬ُ ‫ع ْن‬َ
ُ ‫ فَ ُز‬،‫ارةِ قَب ِْر أ ُ ِم ِه‬
ِ ‫وروهَا فَإِنَّ َها تُذَ ِك ُر‬
.َ‫اآلخ َرة‬ َ ‫ فَقَ ْد أُذِنَ ِل ُم َح َّم ٍد فِي ِز َي‬،‫ُور‬
ِ ‫القُب‬
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, bahwa: “Rasulullah SAW.
bersabda: “Sesungguhnya aku pernah melarang kalian ziarah kubur, sungguh telah
diizinkan bagi Muhammad untuk menziarahi kubur ibunya. Maka sekarang ziarah
kuburlah. Sebab dengan ziarah kubur itu akan membangkitkan kesadaran akan
kehidupan akhirat.” (HR. Turmudzi)
2. Adanya penjelasan dari sahabat Nabi tentang terjadinya nasikh, seperti hukum
pembatalan wudhu saat memegang api yang dijelaskan oleh Jabir bin Abdillah.
‫سلَّم‬
َ ‫علَيْه َو‬
َ ‫ى هللا‬ َ ‫س ْو ُل هللا‬
َّ ‫صل‬ َ ‫عن ابي هريرة قال إِنَّ َما أَت ََوضَّأ ُ ِم ْن أَثْ َو ِار أَقِطٍ أَك َْلتُها َ ِِلَنِي‬
ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬
ُ َّ‫َّت الن‬
‫ار‬ ُ ‫يَقُ ْو ُل ت ََوض‬
ْ ‫َّئوا ِم َّما َمس‬
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Sesungguhnya aku berwudhu, karena telah makan
sepotong keju, Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Berwudhulah kalian
karena makan sesuatu yang telah dimasak.” (HR. Muslim)

‫وء ِم َّما‬
ِ ‫ض‬ُ ‫س َّل َم ت َْركُ ْال ُو‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫آخ َر ْاِل َ ْم َري ِْن ِم ْن َر‬
ِ َّ ‫سو ِل‬
َ ‫َّللا‬ ِ َ‫ « َكان‬:َ‫ قَال‬،‫ع ْن َجا ِب ٍر‬ َ
»‫ار‬ُ ‫ت ال َّن‬
ِ ‫غي ََّر‬ َ
Diriwayatkan oleh Jabir, bahwa: “Adalah di antara dua perbuatan Rasulullah SAW.
ialah tidak berwudhu setelah makan sesuatu yang berubah karena dimasak.” (HR. Abu
Daud)
3. Melalui penelusuran sejarah keluarnya hadits, sebagaimana hadits Syaddad bin Aus
yang menjelaskan pembatalan puasa bagi orang yang bekam dan yang membekam.

14
Masyruri Mochtar, Kamus Istilah Hadis (Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri.
1435 H), hlm. 316.
8

Hadits ini muncul pada peristiwa penaklukan kota Mekkah kemudian di nasikh oleh
hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi melakukan bekam, sedang beliau dalam keadaan ihram
dan puasa, dan itu terjadi pada peristiwa haji wada’.
.‫اج ُم َوال َمحْ ُجو ُم‬ َ ‫ أَ ْف‬:َ‫سلَّ َم قَال‬
ِ ‫ط َر ال َح‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫ع ِن النَّبِي‬
َ ،ٍ‫ع ْن َرافِ ِع ب ِْن َخدِيج‬
َ
Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij, bahwa: Rasulullah SAW. bersabda “Batal
berpuasa bagi orang yang membekam dan yang dibekam.” (HR. Turmudzi)
‫ َواحْ تَ َج َم َوه َُو‬،‫سلَّ َم احْ تَ َج َم َوه َُو ُمحْ ِر ٌم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ِ‫ «أَ َّن النَّب‬:‫ع ْن ُه َما‬
َ ‫ي‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬
ِ ‫َّاس َر‬
ٍ ‫عب‬َ ‫ع ِن اب ِْن‬
َ
»‫صائِ ٌم‬
َ
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Nabi SAW. berbekam sedang beliau dalam
keadaan berihram dan berpuasa. (HR. Bukhari)
4. Petunjuk ijma’ atau konsensus ulama’ sebagaimana hukum cambuk bagi peminum
minuman keras yang jika mengulangi sampai empat kali maka dibunuh. Menurut An-
Nawawi, ijma’ menunjukkan terjadinya nasikh. Ijma’, katanya, tidak bisa menghapus
dan tidak bisa dihapus. Akan tetapi, ia hanya menunjukkan adanya nasikh didalamnya.

F. Urgensi di Sekitar Nasikh dan Mansukh


Ketika terdapat Hadits-hadits hukum yang bertentangan satu sama lainnya dan
tidak dapat dikompromikan, maka dibutuhkan ilmu nasikh dan mansukh untuk
menentukan hukum. Hadits yang lebih dahulu dihapus hukumnya oleh Hadits yang
datang setelahnya.
Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan suatu keharusan bagi seorang yang
ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah. Sebab seseorang tanpa mengetahui dalil-dalil
masikh dan mansukh, seseorang akan terjebak dalam kesalahan dalam penentuan hukum.
Begitu juga seorang muslim yang mengamalkan suatu Hadits tanpa mengetahui
kalau Hadits itu mansukh (sudah terhapus hukumnya), berarti dia telah terjatuh ke dalam
ilmu yang tidak diperintahkan oleh syariat untuk mengamalkannya.

G. Hikmah dari Nasikh dan Mansukh


Adapun Hikmah dengan adanya Nasikh yang terdapat dalam Al-Quran sendiri
diantaranya :
1. Menjaga kemashlahatan hamba.
9

2. Berlangsungnya pensyari'atan sesuai tingkat kesempurnaan da'wah dan keadaan


manusia.
3. Mengharapkan kebaikan untuk umat dan memudahkannya,dikarenakan nasikh
meskipun diberatkan didalamnya terkandung pahala yang lebih. Sedangkan jika
diringankan, didalamnya untuk meringankan dan memudahkan.15

H. Kitab-Kitab tentang Nasikh dan Mansukh


Sebagai ulama telah menyusun buku tentang nasikh dan mansukh dalam Hadits, di
antaranya:
1. karya Qatadah bin Di’amah al-sadusi (w.118 H), namun tidak sampai ke tangan kita
sekarang.
2. Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu, karya ahli hadits iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad al-
Baghdadi, yang dikenal denga Ibnu syahin (w.385 H).
3. Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu, karya al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Muhammad
al-atsrm (w. 261 H)
4. Al-l’tibar fi al- Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, karya Imam Abu Bakar Muhammad
bin Musa al-Hazimi al-Hamadani

15
Chadlori, Arif taufiqurrohman dkk, Fiqh wa Ushulihi, (Kudus: Perpusda
Jateng, 2009), hlm.47-48
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian dari nasikh dan mansukh, nasikh adalah ilmu yang saling berlawanan maknanya
yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari sgi hukum yang terdapat pada sebagiannya.
Nasikh adalah penghapus dan mansukh adalah yang dihapus
2. Rukun nasikh adalah sebagai berikut :
2.1 Adat naskh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang
telah ada.
2.2 Nasikh yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakiatnya
naskh itu berasal ari berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan
menghapusnya.
2.3 Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan. Mansukh
‘anh yaitu orang yang dibebani hukum
3. Pola dari nasikh dan mansukh Hadits
3.1 Nasakh Hadis Dengan Hadis
Contohnya ialah hadis larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging korban.
Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadis dan hadis sendiri yang
membenarkannya. Oleh itu, nasakh ini dikatakan nasakh hadis dengan hadits.
3.2 Nasakh Hadis Dengan al-Qur’an
Contoh perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan
mengadap ke arah Baitul Maqdis sememangnya thabit tetapi dengan hadis bukan al-
Qur’an. Al-Hazimi mengemukakan satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:

‫ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم كان اول ماقد المد ينة نزل على احداده من االء نصاروانه‬
.‫صلى قبل بيت المقد س سته عشر شهرا اءوسبعه عشر شهر‬
Daripada al-Barra’ bin `Azib bahawa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah
s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar
dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas
bulan atau tujuh belas bulan.
Hadis ini telah dinasakhkan oleh ayat yang artinya:

10
11

Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu mengadah ke langit, maka


sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu kr arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya. (Surah al-Baqarah: 144)
3.3 Nasakh al-Qur’an Dengan Hadis
Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadis dengan al-Qur’an
sementara Imam al-Syafie mencegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya
mengharuskan nasakh al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya
tersebar luas di kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah dengan ayat
wasiat kepada ibu bapa dan kaum kerabat.
Diwajibkan ke atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapa dan kaum kerabat
secara ma`ruf, ini adalah kewajipan atas orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah:180)
Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadis:

‫ " ان هللا قد أعطى كل ذي حق‬:‫ سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسم يقو ل‬:‫ قال‬,‫عن ابي امامة‬
‫ فال وصية لوارث" ابو داود‬,‫حقه‬

Daripada Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:


Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak
akan hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris (orang yang
berhak menerima pusaka).”
Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahawa
ayat wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah
sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.
3.4 Apakah Semua Hadis Yang Dimansukhkan Itu Dipersetujui Oleh Semua
Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut: “Banyak hadis yang didakwa
sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadis yang
berbentuk `azimah dan ada pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai
hukum masing-masing pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadis yang berkaitan dengan
keadaan tertentu dan hadis yang lain pula berkaitan dengan keadaan yang lain, maka
perbedaan keadaan itu bukan menunjukkan nasakh.
12

4. Cara mengetahui nasikh dan mansukh antara lain:


Terjadinya proses penghapusan (nasikh) ini bisa diketahui melalui empat cara yaitu :16
4.1 Adanya penjelasan langsung dari syari’ yaitu Rasulullah. Contohnya sebagaimana
hadits tentang pelarangan ziarah kubur yang dihapus dengan perintah melakukannya.
4.2 Adanya penjelasan dari sahabat Nabi tentang terjadinya nasikh, seperti hukum
pembatalan wudhu saat memegang api yang dijelaskan oleh Jabir bin Abdillah.
4.3 Melalui penelusuran sejarah keluarnya hadits, sebagaimana hadits Syaddad bin Aus
yang menjelaskan pembatalan puasa bagi orang yang bekam dan yang membekam.
4.4 Petunjuk ijma’ atau konsensus ulama’ sebagaimana hukum cambuk bagi peminum
minuman keras yang jika mengulangi sampai empat kali maka dibunuh. Menurut An-
Nawawi, ijma’ menunjukkan terjadinya nasikh. Ijma’, katanya, tidak bisa menghapus
dan tidak bisa dihapus. Akan tetapi, ia hanya menunjukkan adanya nasikh didalamnya.
5. Urgensi di sekitar nasikh- mansukh
Ketika terdapat Hadits-hadits hukum yang bertentangan satu sama lainnya dan
tidak dapat dikompromikan, maka dibutuhkan ilmu nasikh dan mansukh untuk
menentukan hukum. Hadits yang lebih dahulu dihapus hukumnya oleh Hadits yang
datang setelahnya.
Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan suatu keharusan bagi seorang yang
ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah. Sebab seseorang tanpa mengetahui dalil-dalil
masikh dan mansukh, seseorang akan terjebak dalam kesalahan dalam penentuan hukum.
Begitu juga seorang muslim yang mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui
kalau Hadits itu mansukh (sudah terhapus hukumnya), berarti dia telah terjatuh ke dalam
ilmu yang tidak diperintahkan oleh syariat untuk mengamalkannya.
6. Hikmah dari nasikh dan mansukh
Adapun Hikmah dengan adanya Naskh yang terdapat dalam
Al-Quran sendiri diantaranya :
6.1 Menjaga kemashlahatan hamba
6.2 Berlangsungnya pensyari’atan sesuai tingkat kesempurnaan da‟wah dan keadaan
manusia

16
Masyruri Mochtar, Kamus Istilah Hadis (Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren Sidogiri.
1435 H), hlm. 316.
13

6.3 Mengharapkan kebaikan untuk umat dan memudahkannya, dikarenakan naskh


meskipun diberatkan didalamnya terkandung pahala yang lebih. Sedangkan jika
diringankan, didalamnya untuk meringankan dan memudahkan.17
7. Kitab kitab tentang nasikh dan mansukh
Sebagai ulama telah menyusun buku tentang nasikh dan mansukh dalam Hadits, di
antaranya:
7.1 karya Qatadah bin Di’amah al-sadusi (w.118 H), namun tidak sampai ke tangan kita
sekarang.
7.2 Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu, karya ahli hadits iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad
al- Baghdadi, yang dikenal denga Ibnu syahin (w.385H).
7.3 Nasikh al-Hadits wa Mansukhuhu, karya al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad al-atsrm (w. 261 H)
7.4 Al-l’tibar fi al- Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, karya Imam Abu Bakar
Muhammad bin Musa al-Hazimi al-Hamadani
B. Saran
Disarankan para pembaca untuk mencari referansi tambahan untuk melengkapi informasi
mengenai nasikh dan mansukh dalam hadits agar pembaca dapat lebih paham.

17
Chadlori, Arif taufiqurrohman dkk, Fiqh wa Ushulihi, (Kudus: Perpusda
Jateng, 2009), hlm.47-48
14
DAFTAR PUSTAKA

Abd,Muhammad al-`Azhim al-Zarqani. 1957. Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an. Kairo: `Isa al-Babi
al-Halabi.
Nor,Moch Ichwan. 2002. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Semarang : Rasail Media Group.
Quraish M Shihab. 2004. Membumikan al-Quran,Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan.
Bandung : Mizan.
Bakar,Abi Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani. 1982. Al-`Itibar fî al-Nasikh wa
alMansukh min al-Atsar. Pakistan: Jami`ah al-Dirasat al-Islamiyyah Karatisyi.
Mansykur,Kahar. 2002. Pokok-pokok Ulumul Qur`an. Jakarta : Rineka Cipta.
Anwar,Rosihon. Ulum Al-Qur’an. 2008. Bandung: CV Pustaka Setia.
Mochtar,Masyuri. 2014. Kamus Istilah Hadis. Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren
Sidogiri.
Chadlori, Arif taufiqurrohman dkk. 2009. Fiqh wa Ushulihi. Kudus: Perpusda Jateng.

16

Anda mungkin juga menyukai