Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Ragam Pendapat tentang Naskh dalam Al-Quran dan Hal-


hal yang Berhubungan dengannya

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu : Widodo Hami, M.Ag.

Disusun Oleh:

1. Eva Febriyani (2621020)


2. Zidny Ilma (2621060)

Kelas B

JURUSAN TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

2022

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha


Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Sholawat serta salam
tak lupa kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, para sahabat,
serta orang orang yg mengikuti sunah sunahnya semoga kita mendapat syafaat di
yaumil qiyamah aamiin.

Makalah “Ragam Pendapat tentang Naskh dalam Al-Quran dan Hal-hal


yang Berhubungan dengannya” ini kami susun guna memenuhi tugas dari bapak
Widodo Hami, M.Ag. IAIN Pekalongan yang senantiasa mendampingi kami
dalam menimba ilmu.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua teman mahasiswa yang telah
berkontribusi dan motivasinya dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah
ini bisa disusun dengan baik dan rapi. Namun terlepas dari itu, kami memahami
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Kami berharap bahwa makalah ini dapat menambah serta lebih memahami
wawasan kita mengenai Ragam Pendapat tentang Naskh dalam Al-Quran dan Hal-
hal yang Berhubungan dengannya.

Pekalongan, 20 April 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................................... 2
Daftar Isi .............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
A. Latar Belakang................................................................................................................ 4
B..Rumusan Masalah .......................................................................................................... 4
C..Tujuan ............................................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 5
A. Definisi Naskh ................................................................................................................ 5
B..Pembagian Nasikh Mansukh dalam al-Qur’an ............................................................... 5
C..Pendapat para Ulama tentang Nasikh Mansukh ............................................................ 9
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 13
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 13
B..Saran ............................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 14

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Naskh merupakan salah satu cabang keilmuan dalam ‘ulum al-
Qur’an yang menempati posisi sangat penting. Mempelajari tentang ilmu-
ilmu Alquran tidak kalah pentingnya jika dibandingkan dengan
mempelajari ilmu tafsir. Kedua keilmuan tersebut memiliki pengaruh
yang sangat tinggi dalam upaya memahami ayat-ayat Alquran. Jika
pincang di salah satunya, maka pemahaman atau penafsiran akan sangat
sulit sekali menjangkau nilai kebenaran. Sehingga banyak sekali ulama-
ulama yang sejak dulu telah mengkaji secara mendalam terkait ilmu-ilmu
Alquran ini, di antaranya adalah Badr al-Din al-Zarkasyi yang menyusun
kitab dengan judul Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an dengan menyebutkan
bahwa terdapat 74 ilmu yang masuk dalam kategori ‘ulum al-Qur’an, lalu
Jalal al-Din al-Suyuti dengan menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 100
ilmu yang masuk dalam kategori tersebut dalam kitabnya al-Itqan fi
‘Ulum al-Qur’an.
Terdapat beberapa ayat Alquran yang menjadi sumber atau dasar
atas dirumuskannya teori terkait dengan nasikh-mansukh. Beberapa ayat
tersebut adalah: QS. al-Baqarah [2]: 106 dan QS. al-Nahl [16]: 101.
Dalam penelitian kali ini, penulis akan lebih memfokuskan pada salah
satunya, yaitu pada QS. alBaqarah [2]: 106. Ayat ini dipilih karena dalam
beberapa literatur, penulis menemukan perbedaan pemaknaan terhadap
ayat ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi Naskh?
2. Bagaimana Pembagian Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an?
3. Bagaimana Pendapat para Ulama tentang Nasikh Mansukh?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan naskh.
2. Untuk mengetahui dan memahami pembagian nasikh mansukh dalam
al-qur’an.
3. Untuk mengetahui dan memahami pendapat-pendapat ulama tentang
nasikh mansukh.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Naskh
Kata naskh merupakan bentuk ubahan dari kata nasikh dan
mansukh, kata tersebut adalah berbentuk masdar, dari kata kerja masa
lampau (fi’il madli) nasakha. 1 Bisa disimpulkan bahwa secara etimologis
kata “Nasakha” mengandung tiga pengertian, yaitu al-naql
(memindahkan), al-izalah (menghapus), dan al-ibtal (membatalkan). Al-
naql mengandung makna bahwa ia tidak mengubah apa yang dinasakh,
melainkan melipat gandakannya. Al-izalah berarti menghapus sesuatu
dengan menempati, mengganti dan mengambil alih posisinya. Al-ibtal
bermakna menghapus sesuatu tanpa menggantikannya.2
Definisi naskh memiliki makna yang berbeda-beda yaitu
membatalkan, menghilangkan, menghapus, mengalihkan dan sebagainya.
Namun dari sekian banyak definisi itu, menurut tarjih ahli bahasa,
pengertian naskh yang mendekati kebenaran adalah nasakh dalam
pengertian al-izalah (mengangkat sesuatu dan menempatkan yang lain
pada tempatnya). 3
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa naskh secara
terminologi adalah ketentuan hukum yang datang kemudian, guna
membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang berlaku
adalah yang ditetapkan belakangan.

B. Pembagian Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an


Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian,
yaitu nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan

1
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqanu Fi ‘Ulumi Al-Qur’an, Daru Al-Syuruq (Kairo: Daru al-Syuruq,
1966), hal. 66.
2
Rijalul Fikri, Teori Naskh Al-qur’an Kontemporer (Serang: penerbit A-Empat, 2021), hal. 35.
3
Musthafa Zaid, Al-Naskh Fi Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar al-FIkr, 1991), hal. 67.

5
sunnah. nasakh sunnah dengan sunnah, dan nasakh sunnah dengan Al-
Qur’an berikut penjelasannya.
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an
kemudian dinasakh dengan dalil ayat Al-Qur’an pula. Tentang hal ini
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mereka yang
berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat
Al-Qur’an berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106. Menurut para
ulama yang menerima adanya nasikh mansukh dalam AlQur’an ini,
bahwa adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an dapat diterima
akal karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang,
sehingga hukum yang ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan,
dan kemudian perlu diganti dengan hukum yang tidak ringan lagi
setelah orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang
sudah mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal tersebut
termasuk kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.
Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak ada nasikh
mansukh dalam ayat-ayat Al Qur’an. Menurut ulama-ulama ini Al-
Qur’an memang telah menasakh kitab-kitab suci terdahulu, tetapi
semua ayat Al-Qur’an yang ada sekarang tidak ada lagi yang mansukh.
Hal tersebut menurut mereka sesuai dengan firman Allah SWT dalam
QS. Fussilat 42, yang artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh
kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari
Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
Karena tidak ada satu ayat pun yang batil baik di bagian muka
maupun di belakang, tidak ada ayat Al-Qur’anyang dinasakh maupun
mansukh. Ayat-ayat Al-Qur’anmemang telah menasakh ayat-ayat
dalam kitab-kitab suci terdahulu yaitu Taurat, Zabur, dan Injil.

6
Pendapat demikian dikemukakan oleh Abu Muslim al Isfahani.
4
Beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian bahwa sesama Al-
Qur’an tidak ada yang nasikh dan mansukh.

2. Nasakh Al-Qur’an dengan sunnah


Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al-Qur’an dinasakh
dengan dalil sunnah. Nasakh jenis ini menurut Manna’ Al-Qatthan
terbagi dua, yaitu:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad
Jumhur berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh
hadis ahad, sebab Al-Qur’an adalah mutawatir dan
menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan,
di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang
ma’lum(jelas diketahui) dengan yang maznun(diduga).
b. Nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah
dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing
keduanya adalah wahyu. Dasarnya adalah firman Allah dalam
surah an Najm ayat 3-4 yang artinya ”Dan tiadalah yang
diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)”.(QS. An Najm 3-4)
Sementara itu Asy Syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam
riwayatnya yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan firman
Allah dalam surah Al Baqarah ayat 106.
Apa saja ayat yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding
denganya (QS. Albaqarah 106) Sedang hadits menurut ulama-ulama
tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan Al-Qur’an. Jadi jumhur
ulama sepakat tidak ada nasakh AlQur’an dengan sunnah, karena Al-

4
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulum Al-Qur’an. Maktabah syamilah,hal. 242

7
Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang lebih
tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al Baqarah
ayat 106 telah disebutkan bahwa dalil yang menasakh yaitu lebih baik
dalam arti kuat dari pada dalil yang dinasakh, atau setidaknya sama.

3. Nasakh sunnah dengan sunnah


Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau
dihapus dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya adalah
larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi boleh. Hadisnya seperti
yang diriwayatkan At Tirmidzi yang artinya ”Dahulu aku melarang
kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah”.(Riwayat At Tirmidzi).
Dalam hal nasakh sunnah dengan sunnah ini Manna Khalil Al
Qattan mengkategorikan ke dalam empat bentuk, yaitu:5
a. Nasakh mutawatir dengan mutawatir
b. Nasakh ahad dengan ahad
c. Ahad dengan mutawatir
d. Nasakh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang bentuk keempat terjadi
silang pendapat. Namun jumhur ulama tidak membolehkan.

4. Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an


Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian
dinasakh dengan dalil Al-Qur’an. Seperti shalat yang semula
menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi menghadap Ka’bah di
Masjidil Haram setelah turun ayat Al-Qur’an surah Al Baqarah/2 ayat
144: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan
dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan

5
Manna’ al Qaththan, Mabahits Fi Ulum Al Qur’an : Manna’ Al Qaththan (Muassasah al Risalah,
1994), hal. 243.

8
sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab
(Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil
Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan” QS. Albaqarah 144)
Namun nasakh seperti itu pun ditolak oleh Imam Syafi’i
sebagaimana dikutip Manna’ Alqatthan dari Al Itqan, menurut Imam
Syafi’I, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-
Qur’an dan apa saja yang ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula
oleh sunnah. Hal tersebut menurut beliau antara Kitab dengan sunnah
harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.

C. Pendapat para Ulama tentang Nasikh Mansukh


Pembicaraan tentang naskh telah dimulai sejak abad kedua hijriyah
dan tetap berada pada posisi eksis hingga saat ini. Perdebatan tentangnya
tak pernah surut dalam perdiskusian. Terdapat kelompok yang sepakat
dengan adanya naskh dengan mengunggulkan beberapa argumen, begitu
pula kelompok yang berseberang pendapat dengannya. Mereka saling
mengajukan argumen untuk mendukung pendapatnya.
a. Menerima Adanya Nasakh
Ulama-ulama yang menerima adanya nasakh berpendapat, nasakh
adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam
hukum-hukum syara’. Mayoritas ulama sepakat bahwa terdapat naskh
dalam Alquran, atau bisa dikatakan dengan Alquran terdapat revisi.
Penerapan perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam
Alquran yang hanya bersifat sementara, ketika keadaan telah berubah,
perintah tersebut dihapus dan diganti dengan perintah baru yang lebih
baik. Oleh karena perintah-perintah tersebut merupakan kalamullah , ia
tetap harus dibaca sebagai bagian dari Alquran.6

6
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an..., hal. 177-178

9
Dalam pandangan kelompok ini, terdapat ayat-ayat yang diterima
untuk dihapuskan oleh ayat-ayat yang lain. Teori ini dianggap relevan
ketika ayat-ayat tersebut berada dalam satu persoalan yang sama-sama
menunjuk pada hukum yang bertentangan, yang mana ayat-ayat yang
bertentangan tersebut sudah tidak bisa lagi dikompromikan dengan
takhsi al-‘amm, taqyid al-mutlaq, tabyin al-mujmal dan lain
sebagainya. Teori ini dapat dijalankan dengan menilai ayat-ayat
Alquran yang diwahyukan terdahulu dihapuskan oleh ayat-ayat
Alquran yang diwahyukan kemudian. 7
Kendati beberapa ulama bersepakat tentang adanya naskh dalam
Alquran, tak sedikit yang tidak sejalan dalam menentukan jumlah ayat-
ayat yang dinilai mansukh, seperti berikut:8
1) Menurut Ibn Hazm terdapat 214 ayat
2) Menurut al-Nahhas terdapat 134 ayat
3) Menurut Ibn Salamah dan al-Ajhuri terdapat 213 ayat
4) Menurut Ibn Barakat terdapat 210 ayat
5) Menurut Ibn al-Jawzi terdapat 147 ayat
6) Menurut ‘Abd al-Qadir al-Bagdadi terdapat 66 ayat.
Selain berselisih dalam hal jumlah ayat yang dianggap mansukh,
mereka juga berselisih mengenai ayat-ayatnya.
Bagi penganut paham ini, QS. al-Baqarah [2]: 106 diartikan
dengan: “Apapun ayat yang Kami hapuskan atau Kami lupakan, maka
Kami datangkan ayat lain yang lebih baik atau yang sepadan
dengannya…”. Ayat ini dipakai sebagai dalil utama dalam
menegaskan bahwa memang terdapat naskh dalam Alquran, bahkan
Alquran sendiri yang melegitimasinya.
b. Menolak Adanya Nasakh
Diantara yang menolak adanya nasakh adalah Abu Muslim al
Asfahani. Menurutnya, naskh sama sekali tidak menghapuskan ayat-
7
Ahmad Baidowi, Teori Naskh dalam Studi Al-Quran: Gagasan Rekonstruktif MH. Al-Tabataba’i…,
hal. 4.
8
Ibid., hal. 479.

10
ayat Alquran, baik secara garis besar mepun rinciannya. Beliau lebih
suka menyebut naskh dengan istilah takhsis. Penyebutan ini dilakukan
untuk menghindari kesan adanya pembatalan terhadap hukum-hukum
Alquran yang telah diturunkan oleh Allah swt.
Adapun alasan menolak adanya nasakh adalah;
1) Sekiranya dalam Al-Qur’an ada nasakh, maka berarti dalam
Al-Qur’an ada yang salah atau batal. Sedang dalam Al-Qur’an
dinyatakan tidak ada kebatalan.
2) Dalil yang dijadikan alasan nasakh perlu peninjauan lebih
lanjut.
3) Tidak ada kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang
telah dinasakh.
4) Tidak ada penegasan dari Nabi tentang ada atau tidaknya
nasakh.
5) Adanya ayat yang nampaknya bertentangan dan yang mungkin
belum dapat dikompromikan, belum bisa menjadi jaminan
adanya nasakh.

Menurut al-Asfahani, QS. al - Baqarah [2]: 106 yang


dijadikan dalil utama untuk menggagas adanya naskh dalam
Alquran sangat tidak bisa dibenarkan. Karena ayat tersebut hanya
menunjukkan pengandaian bahwa apabila terdapat ayat yang
dinaskh , maka Allah akan mendatangkan yang lebih baik atau
paling tidak yang sepadan dengan ayat yang dinaskh sebelumnya.
Yang ada hanyalah pengandaian, bukan keniscayaan.

Hasbi al-Siddiqi juga termasuk dalam kelompok yang


menolak adanya naskh dalam Alquran. Beberapa alasan atas
penolakannya adalah;

1) Tidak ada satu ayat pun dalam Alquran yang menyatakan


ke-mansukh -an suatu ayat;

11
2) Hadis-hadis tentang naskh tidak memenuhi kriteria
kesahihan sehingga sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah ;
3) Tidak ada kesepakatan dari ulama mengenai kemansukh -
an suatu ayat;
4) Ke-mansukh -an suatu ayat menjadi batal ketika
pertentangan lahiriyah antara ayat-ayat yang dianggap
mansukh dengan ayat yang nasikh sudah bisa
dikompromikan,
5) Tidak ada hikmah dengan adanya ayat-ayat yang di naskh.9

9
Ibid., hal. 72-73.

12
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Naskh secara terminologi adalah ketentuan hukum yang datang
kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan yang berlaku adalah yang ditetapkan belakangan.
Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian,
yaitu nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan
sunnah. nasakh sunnah dengan sunnah, dan nasakh sunnah dengan Al-
Qur’an berikut penjelasannya.
Pembicaraan tentang naskh telah dimulai sejak abad kedua hijriyah
dan tetap berada pada posisi eksis hingga saat ini. Perdebatan tentangnya
tak pernah surut dalam perdiskusian. Terdapat kelompok yang sepakat
dengan adanya naskh dengan mengunggulkan beberapa argumen, begitu
pula kelompok yang berseberang pendapat dengannya. Mereka saling
mengajukan argumen untuk mendukung pendapatnya.

B. SARAN
Dalam penulisan makalah ini, Kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dan kelemahan baik dari struktur penulisan maupun
penyajian materinya. Sumber yang didapat pun masih sangat minim,
karena itu kami mengharap adanya kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak yang terlibat terutama dosen dan para mahasiswa agar
makalah ini dapat menjadi makalah yang lebih baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuthi, Jalaluddin. 1966. Daru al-Syuruq Al-Itqanu Fi ‘Ulumi


Al-Qur’an. Kairo: Daru al-Syuruq.

Al-Qaththan, Manna. 1994. Mabahits Fi Ulum Al Qur’an : Manna’


Al Qaththan. Muassasah al Risalah.

Anwar, Rosihon. 2000. Ulumul Qur’an. Bandung: CV. Pustaka


Setia.

Baidowi, Ahmad. 2003. Teori Naskh dalam Studi al-qur’an:


Gagasan Rekonstruktif MH. Al-Tabataba’i. Yogyakarta:
Nun Pustaka.

Fikri, R. 2021. Teori Naskh Al-Qur’an Kontemporer: Studi


Pemikiran Mahmud Muhammad Taha dan Jasser Auda.
Penerbit A-Empat.

Zaid, Musthafa. 1991. Al-Naskh Fi Al-Qur’an Al-Karim. Beirut:


Dar al-FIkr.

14

Anda mungkin juga menyukai