Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“ILMU NASIKH MANSUKH”


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu : Bapak. Ruhyat, M.Ag

Disusun Oleh : Kelompok 2


Iis Novianti
Nanang Junaedi

MATA KULIAH ULUMUL QUR’AN


JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH
(STAIM) GARUT
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan rahmatnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Ilmu Nasikh Mansukh. Tugas ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah Ulumul Qur’an.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing mata kuliah Ulumul Qur’an yang telah memberikan banyak
pengetahuan kepada kami dalam menyusun tugas ini, serta kepada semua pihak
yang sudah membantu.
Harapan kami semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk, maupun pedoman, juga membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga untuk kedepannya kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini dengan lebih baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
pembaca, khususnya dari dosen pembimbing.

Talegong, 24 Februari 2023


Penyusun

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................2
C. Tujuan Penulisan..............................................................................2
D. Manfaat Penulisan............................................................................2
1. Manfaat Untuk Penulis...............................................................2
2. Manfaat Untuk Pembaca.............................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3
A. Pengertian Nasikh Mansukh............................................................3
B. Rukun dan Syarat Nasikh Mansukh.................................................4
C. Pro Kontra Nasikh Mansukh............................................................6
D. Pembagian Nasakh.........................................................................10
E. Fungsi Nasikh Mansukh.................................................................15
F. Hikmah Nasakh..............................................................................17
BAB III PENUTUP.....................................................................................18
A. Kesimpulan....................................................................................18
B. Saran...............................................................................................19
1. Untuk Penulis............................................................................19
2. Untuk Pembaca.........................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dahulu kala, di dalam salah satu masjid di kota Kufah, khalifah Ali bin
Abi Thalib mendapati sosok pria yang merupakan seorang qadhi. Banyak
sekali orang yang mengelilingi qadhi tersebut dan mengadu berbagai
permasalahan kepadanya dengan berharap masalah yang diadukan tersebut
mendapat solusi. Bukan mendapat sebuah solusi, tetapi qadhi tersebut
terkesan menyesatkan karena telah mencampur adukan antara perintah dan
larangan Allah SWT. Menyaksikan hal tersebut, spontan khalifah Ali bin Abi
Thalib melontarkan pertanyaan kepadanya : “Ata’rif al-Nasikh min al-
Mansukh ?”. Dan dijawabnya :”La/tidak”. Kemudian khalifah Ali pun
kembali bertanya : “Kalau demikian, berarti engkau telah celaka dan
mencelakakan (orang lain)”.
Dari kalimat Tanya yang khalifah Ali ajukan tersebut, setidaknya telah
menjadi penegas akan urgensi pengetahuan Nasikh wal al-Mansukh selaku
unit ulumul qur’an. Karena urgensi tersebut, Jalaludin al-Suyyuti memberi
penegasan:
“Para ulama (a’imah) mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan
kitab Allah kecuali terlebih dahulu mengetahui ayat-ayat yang terdapat dalam
al-Qur’an, yang menashkan dan dinaskhkan”.
Al-Qur’an ialah kalamullah yang diwahyukan kepada Rasul (Nabiyullah
Muhammad SAW) agar dapat digunakan muslim sebagai pandangan hidup
berada di dunia juga di akhirat. Al-Qur’an menjadi prinsip dalam hidup umat
muslim yang fungsinya untuk menata kehidupan di dunia ataupun kehidupan
di akhirat. Pinsip dimana umat Islam harus menempatkan al-Qur’an sebagai
cara hidup adalah pemahaman tentang isi dan pelajaran yang terkandung
didalam al-Qur’an.

1
Dalam menerapkan suatu hukum, nasikh wa al-mansukh ini mnejadi syarat
yang wajib dipenuhi oleh seorang mujtahid dan dipastikan akan berakibat fatal
jika salah dalam memahaminya.

2
2

Sebagian ulama sepakat bahwa pengetahuan tentang nasikh wa al-


mansukh terlalu mendesak untuk digunakan sebagai sarana untuk memahami
al-Qur’an. Sejumlah ulama juga percaya bahwa tiada kontradiksi pada setiap
ayat di al-Qur’an atau dapat dinyatakan bahwasanya ayat-ayat yang terlihat
bertentangan sebenarnya tidaklah bertentangan. Oleh sebab itu, diperlukan
pola-pola penafsiran guna meneliti atau mengoreksi ayat-ayat yang sifatnya
kontradiktif tersebut.
Maka karena itu, penyusun mencoba memaparkan salah satu yang ada
dalam pembahasan ulumul qur’an yakni mengenai nasikh wa al-mansukh.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
1. Apa yang dimaksud nasikh mansukh ?
2. Apa saja rukun dan syarat nasikh mansukh ?
3. Apa saja pro kontra nasikh mansukh ?
4. Bagaimana pembagian nasakh ?
5. Apa saja fungsi nasikh mansukh ?
6. Apa hikmah nasakh ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian nasikh mansukh.
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat nasikh mansukh.
3. Untuk mengetahui pro kontra nasikh mansukh.
4. Untuk mengetahui pembagian nasakh.
5. Untuk mengetahui fungsi nasikh mansukh.
6. Untuk mengetahui hikmah nasakh.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Untuk Penulis
Untuk menambah wawasan mengenai nasikh dan mansukh dalam al-
Qur’an.
2. Manfaat Untuk Pembaca
Untuk menambah wawasan dan juga gambaran mengenai nasikh dan
mansukh, sebagai interpretasi hukum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh Mansukh


Nasikh memiliki dua pengertian yakni secara etimologi (bahasa) dan juga
secara terminology (istilah). Berikut makna kata nasikh secara bahasa yang
dipandang relevan:
1. “Ar-Raf’ulal-izalah” yang berarti penghapusan.
2. ”An-Naqlu” yang berarti penyalinan ataupun penulikan.
3. “Al-Ibhtal” yang berarti penghilangan atas sesuatu.
4. “At-Taghyir wal Ibtal Wal Iqamah ash-Shai’ Maqamahu” yang artinya
ialah mengganti atau menukar. Makna diatas mempunyai dasar kalamullah
pada ayat 106 Q.S Al-Baqarah, artinya: “Ayat mana saja yang Kami
nasikhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa keadaannya. Kami
datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya.
Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu”.
5. “At-Tahwil wal Baqa ‘ihi fi Nafsihi/At-Tabdil” yang artinya
“memalingkan, menyalin atau memindahkan”. Namun tiada kalamullah
yang mencohtohkan ataupun mendasari makna ini.
Selanjutnya makna kata nasikh secara istilah yang dijelaskan oleh Ahli
fiqih (fuqaha) yaitu bahwa nasikh adalah “rof’u as syaari’hukman syar’iyyan
bi dalilin syar’iyyin mutaraakhin ‘anhu’ yang berarti “pengangkatan
(penghapusan) oleh as-Syaari (Allah SWT) terhadap hukum syara’ (yang
lampau) dengan dalil syara’ yang terbaru. Yang dimaksud dengan
pengangkatan hukum syara’ adalah penghapusan kontinuitas pengamalan
hukum tersebut dengan mengamalkan hukum yang ditetapkan terakhir”.
Sama dengan nasikh, kata mansukh juga memliki pengertian secara
etimologi (bahasa) dan juga terminology (istilah). Maka secara etimologi,
mansukh adalah “suatu hal yang diganti”.

3
4

Sedang secara istilah/terminologi, mansukh diartikan sebagai “hukum


syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti
dengan hukum syara’ yang datang kemudian”.
Dari pengertian-pengertian diatas, selanjutnya kita perlu memahami kata
nasakh. Yang dimaksud dengan nasakh adalah suatu perbuatan pembatalan
atau penghapusan pada hukum syara’ dari hukum lama menuju hukum baru
yang bersumber dalil syara’ yang datang kemudian. Maka dalam
menasakhkan diperlukan dua unsur penting yaitu nasikh dan mansukh.
Dimana nasikh merupakan hukum atau dalil syara’ yang sifatnya menghapus
suatu hukum atau merupakan subjek penghapus, sedangkan mansukh
merupakan hukum atau dalil syara’ yang nantinya dihapus atau diganti atau
juga merupakan objek penghapusannya.
B. Rukun dan Syarat Nasikh Mansukh
Menurut sistematisasi tafsir dalam ilmu hukum hubungan norma hukum
antara keduanya harus dicermati dengan seksama agar tidak terjadi
pertentangan diantara satu kalimat dengan kalimat yang lain. Berdasarkan hal
itu, maka dalam nasikh dan mansukh ada sejumlah pilar yaitu rukun yang
terdiri atas:
1. “Adat Nasikh”, ialah sebuah statement yang meyakinkan bahwa benar-
benar ada pembatalan suatu hukum yang sudah ada.
2. “Nasikh”, yang merupakan hukum atau dalil atau ayat yang sifatnya “akan
menghapus” dalil atau hukum awal atau yang sudah ada.
3. “Mansukh”, ini merupakan suatu hukum atau dalil yang akan dihapus,
dibatalkan ataupun dipindahkan keberadannya.
4. “Mansukh ‘anh”, yang berarti orang-orang yang harus mendapat beban
dari hukum tersebut.
Serta syarat-syarat yang terdiri atas empat hal sebagai berikut:
1. Mansukh (dalil hukum yang dihapuskan atau dibatalkan) haruslah berupa
hukum syara’. Hukum syara’ merupakan aturan-aturan yang berasal dari
Allah SWT dan telah ditetapkan guna mengatur segala perbuatan aaupun
tingkah laku para mukallaf yang berupa wajib, sunnah, haram, makruh,
5

ataupun mubah. Artinya, bahwa suatu mansukh bukan berasal dari hukum
akal pikiran ataupun hukum yang diciptakan manusia.
2. Nasikh (dalil yang menghapuskan atau membatalkan) mesti memiliki
selang waktu dari mansukh (dalil hukum yang lama). Nasikh ini juga wajib
berwujud dalil-dalil syara’ baik al-Qur’an, al-Hadis, qiyas, ataupun ijma’.
3. Dalil baru (nasikh) dan dalil lama (mansukh) tersebut haruslah memiliki
pertentangan yang bersifat nyata (kontradiktif).
4. Sifat dari nasikh (dalil yang menghapuskan atau dalil yang mengganti)
ialah mutawatir. Sebab dalil yang sudah terbukti secara pasti ketetapan
hukumnya, maka tidak bisa digantikan (dinasakhan) melainkan oleh
hukum yang juga secara pasti sudah terbukti.
Sedangkan Abu Anwar memberikan batasan beberapa syarat yang
diperlukan dalam nasakh, yaitu :
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara`. Nasakh hanya terjadi pada
perintah dan larangan. nasakh tidak terdapat dalam akhlak, ibadah, akidah,
dan juga janji dan ancaman Allah.
b. Dalil yang dipergunakan untuk penghapusan hukum tersebut adalah kitab
syar`i yang datang kemudian.
c. Dalil yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu
tertentu. Sebab, jika demikian hukum akan berakhir dengan waktu
tersebut. Konsep ini seperti ditegaskan pada firman Allah dalam al-Quran
surat al-Baqarah ayat 109 :
‫اصفَح ُۡوا َح ٰتّى يَ ۡاتِ َى هّٰللا ُ بِاَمۡ ِر ٖه‬
ۡ ‫اعفُ ۡوا َو‬
ۡ َ‫ ف‬.....

Artinya: “Maka maafkanlah dan berlapang dadalah, sampai Allah


memberikan perintah-Nya…”. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 109).
Ayat tersebut tidak mansukh sebab dikaitkan dengan batas waktu,
sedangkan nasakh tidak dikaitkan dengan batas waktu. Dengan
memperhatikan syarat di atas, maka jelas bahwa nasakh tidak bisa
ditetapkan sembarangan dan harus mematuhi syarat yang ada.
6

Kecuali dalam berita, tidak terjadi nasikh mansukh, karena mustahil


Allah berdusta. Kemudian dua dalil yang nampak kontradiksi itu
datangnya tidak bersamaan, nasakh datang lebih akhir dari pada mansukh.
Pada hakikatnya, nasakh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan
ketentuan hukum yang ada sebelumnya, yang mana ketentuan tersebut
tidak dibatasi oleh waktu.
C. Pro Kontra Nasikh Mansukh
Menurut Subhi as-Shalih, Konsep nasikh mansukh dalam al-Quran
menimbulkan polemik para ulama. Adapun sumber perbedaan itu berawal dari
pemahaman ulama tafsir tentang al-Quran surat an-Nisa ayat 82.
ْ ‫اَفَاَل يَتَ َدبَّرُوْ نَ ْالقُرْ ٰانَ ۗ َولَوْ َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد َغي ِْر هّٰللا ِ لَ َو َج ُدوْ ا فِ ْي ِه‬
‫اختِاَل فًا َكثِ ْي ًر‬
Artinya: “Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an?
Sekiranya (Al-Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan
banyak hal yang bertentangan di dalamnya”. (Q.S. An-Nisa [4] : 82).
Ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini keberadaanya oleh
setiap muslim, namun sebagian yang lain ada yang berpendapat bahwa dalam
menghadapi ayat-ayat al-Quran yang secara dhahir menunjukkan akan
kontradiksinya.
Menurut Yusuf Qardhawi, setidaknya ada tiga kecenderungan dalam
masalah nasakh, yaitu : 1) Ada yang meluaskan diri dalam mengklaim adanya
nasakh dalam al-Quran dan berpendapat bahwa sekian dalam surat sekian
dinasakh, sementara tidak ada dalil yang kuat terhadap pe-nasakhan itu. 2)
Sebagai antithesis dari mereka, ada yang mengingkari sama sekali adanya
nasakh dalam al-Quran, dan 3) Ada pendapat pertengahan yang mengakui
adanya nasakh, jika dalil yang sahih dan jelas, yang meyakinkan akal dan
menenangkan hati. Berikut adalah pendapat dari golongan yang menerima dan
menolak nasakh mansukh :
1. Nasikh Mansukh dalam Perspektif Pendukungnya
Salah satu ayat yang menjadi basis pembangunan teori nasakh adalah
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 106:
7

‫ت بِ َخي ٍْر ِّم ْنهَٓا اَوْ ِم ْثلِهَا ۗ اَلَ ْم تَ ْعلَ ْم اَ َّن هّٰللا َ ع َٰلى ُك ِّل َش ْي ٍء‬
ِ ‫َما نَ ْن َس ْخ ِم ْن ٰايَ ٍة اَوْ نُ ْن ِسهَا نَْأ‬
‫قَ ِد ْي ٌ†ر‬
Artinya: “Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan,
pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?”. (Q.S.
Al-Baqarah [2] : 106).
Ayat 106 dalam al-Quran surat al-Baqarah tersebut dijadikan dasar
naqli bagi mayoritas ulama yang mendukung adanya nasakh dalam al-
Quran. Mayoritas ulama tanpa keraguan menetapkan ayat-ayat yang
termasuk nasakh dan mansukh tetap berlaku, akan tetapi segi hukum yang
berlaku menyeluruh sampai waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali
oleh syara`. Jadi menurut pandangan beberapa tokoh, nasikh mansukh bisa
diterima oleh akal dan telah terjadi dalam hukum syara` sesuai dalil di atas.
Selain dalil naqli di atas, jumhur ulama pendukung nasakh juga
mendasarkan dalil naqli. Mereka berpandangan perbuatan Allah SWT itu
adalah mutlak, tidak tergantung kepada alasan dan tujuan. Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu
yang lain. Ini karena, Allah SWT lebih mengetahui kepentingan hambanya.
Pendapat lain yang mendasari mayoritas ulama tentang teori nasakh adalah
penetapan perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam al-
Quran yang menurut Rosihan Anwar, ada yang bersifat sementara dan
ketika keadaan berubah perintah tersebut dihapus dan diganti dengan
perintah baru lainnya. Namun, karena perintah perintah itu kalam Allah,
harus dibaca sebagai bagian dari al-Quran.
Ulama yang melopori konsep nasakh mansukh menurut Ahmad Izzan,
adalah asy-Syafi`i, al-Suyuti, al-Nahas, dan al-Syaukani. Persoalan nasakh
bagi kelompok pendukungnya merupakan salah satu cara menyelesaikan
beberapa dalil tersebut. Apabila tidak bisa dikompromikan, salah satunya
dinasakhan atau dibatalkan.
8

Oleh karena itu, jika seseorang ingin menafsirkan al-Quran, menurut


M. Abu Zahrah, harus terlebih dahulu mengetahui tentang nasikh dan
mansukh.
Adapun Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya "Tafsir al-Manar"
menyatakan:
”Sesungguhnya syariah atau hukum itu (dapat) berbeda karena
perbedaan zaman, tempat, dan situasi. Kalau satu hukum diundangkan
pada saat dibutuhkannya hukum, kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi,
maka suatu tindakan bijaksana menghapus hukum itu dan
menggantikannya dengan hukum (lain) yang lebih sesuai dengan waktu
yang belakangan itu.”
Abdullahi Ahmed An-Naim, seorang pemikir Islam asal
Sudan. (Sebagaimana dikutip Sahiron Syamsuddin yang juga dosen
Universitas Islam negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) mengatakan: Bahwa
proses nasakh itu bersifat tentatif sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya,
ayat mana yang dibutuhkan pada masa tertentu, maka itulah yang
diberlakukan (muhkam), sedangkan ayat yang tidak diperlukan, (karena
tidak relevan dengan perkembangan kontemporer), dihapuskan atau
ditangguhkan (mansukh) penggunaannya.
2. Nasikh dan Mansukh dalam Perspektif Penolaknya
Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran
berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang kelihatan bertentangan
sehingga tidak perlu dinasakh. Kelompok penolak yang dipelopori oleh
Abu Muslim al-Isfahani, menyatakan bahwa dalam al-Quran tidak
terdapat nasakh. Jika mengakui adanya nasakh berarti mengakui adanya
kebatilan dalam al-Quran.
Abu Muslim al-Isfahani mendasarkan argumentasinya pada al-Quran
surat Fussilat ayat 42 :
9

‫اَّل يَْأتِ ْي ِه ْالبَا ِط ُل ِم ۢ ْن بَي ِْن يَ َد ْي ِه َواَل ِم ْن خَ ْلفِ ٖه ۗتَ ْن ِز ْي ٌل ِّم ْن َح ِكي ٍْم َح ِم ْي ٍد‬
Artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan
maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang), yang
diturunkan dari Tuhan Yang Maha bijaksana, Maha Terpuji”. (Q.S.
Fussilat [41] : 42).
Hukum-hukum yang dibawa al-Quran bersifat abadi dan universal.
Jadi tidak layak kalau di dalam al-Quran terdapat nasakh. Lebih lanjut Abu
Muslim al-Isfahani, sebagai mana yang dikutip Amir Syarifuddin,
mengemukakan argumentasi sebagai berikut: 1) Suatu hukum yang
ditetapkan oleh Allah SWT adalah karena adanya maslahat atau mafsadat
pada sesuatu yang dikenai hukum itu. Sesuatu yang mengandung maslahat
tidak mungkin beralih menjadi mafsadat, dan 2) Kalam itu bersifat qadim,
dalam arti telah ada sejak dahulu (azali) sesuatu yang bersifat qadim tidak
mungkin dicabut.
Al-Isfahani tidak setuju dengan adanya nasakh. Al-Isfahani setuju jika
menginterpretasikan ayat yang secara zhahir terjadi kontradiksi dengan
jalan taksis (pengkhususan), untuk menghindari adanya nasakh atau
pembatalan, al-Isfahani berpendapat pembatalan hukum dari Allah
mengakibatkan kemustahilan-Nya, yaitu: 1) Ketidaktahuan, sehingga perlu
mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum lainnya, dan 2)
Jika itu dilakukan Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan permainan
belaka.
Berbeda dengan al-Isfahani yang cenderung kepada takhsis, menurut
Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip dari Rachmat Syafe’I, ia
menolak adanya nasakh, dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya
tabdil (dalam pengertian: pengalihan, pemindahan ayat hukum dengan ayat
hukum lainnya). Dalam arti bahwa semua ayat al-Quran tetap berlaku,
tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pengalihan hukum bagi masyarakat
atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda.
10

Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku baginya, tetap


berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka.
Dalam perspektif hikmah, pemahaman semacam ini menurut Quraish
Shihab akan sangat membantu dakwah islamiyah, sehingga ayat-ayat
hukum yang bertahap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama
dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.
Jadi, perbedaan nasakh mansukh di atas, didasarkan pada
perbedaan dalam menginterpretasikan dalil-dalil hukum yang kontradiksi
atau bertentangan. Jumhur ulama menyetujui adanya nasakh dalam arti
penghapusan, sementara Abu Muslim al-Isfahani menyepakati adanya
taksis, sedangkan Muhammad Abduh lebih setuju jika nasakh diartikan
dengan al-Tabdil yaitu menggantikan.
D. Pembagian Nasakh
Dari segi nasakh atau yang berhak menghapus sebuah nash
(dalil/hukum), nasakh dikelompokkan dalam empat bagian :
1. Nasakh al-Quran dengan al-Quran
Bagian ini disepakati oleh para pendukung nasakh. Adapun nasakh
dalam al-Quran terbagi dalam tiga kategori :
a. Ayat-ayat yang teksnya di nasakh, namun hukumnya masih tetap
berlaku. Maksudnya adalah bahwa terdapat ayat al-Quran yang turun
kepada Rasulullah yang kemudian lafadznya dinasakh tetapi hukum
yang terdapat dalam lafadz tersebut masih berlaku, contohnya ayat
tentang rajam.
Lafadz Al-Quran yang dihapus tersebut adalah:

ِ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ ِإ َذا َزنَيَا فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكاالً ِمنَ هللاِ َو هللاُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬
“Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan
wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina,
maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang
mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha
Bijaksana.
11

Hal ini diperkuat dengan riyawat dari Umar bin Al-Khathab


radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

ِ ‫ب هَّللا‬
ِ ‫ان َحتَّى يَقُو َل قَاِئ ٌل اَل نَ ِج ُد الرَّجْ َم فِي ِكتَا‬ ٌ ‫اس َز َم‬ ِ َّ‫ول بِالن‬ َ ُ‫يت َأ ْن يَط‬ ُ ‫َش‬ِ ‫لَقَ ْد خ‬
‫صنَ ِإ َذا‬ َ ْ‫ق َعلَى َم ْن زَ نَى َوقَ ْد َأح‬ ٌّ ‫يض ٍة َأ ْنزَ لَهَا هَّللا ُ َأاَل َوِإ َّن الرَّجْ َم َح‬َ ‫ك فَ ِر‬ ِ ْ‫ضلُّوا بِتَر‬ ِ َ‫فَي‬
‫ت َأاَل َوقَ ْد َر َج َم َرسُو ُل‬ ُ ‫ظ‬ْ ِ‫ت ْالبَيِّنَةُ َأوْ َكانَ ْال َحبَ ُل َأ ِو ااِل ْعتِ َرافُ قَا َل ُس ْفيَانُ َك َذا َحف‬ ِ ‫قَا َم‬
ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو َر َج ْمنَا† بَ ْع َده‬َ ِ ‫هَّللا‬
“Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap
manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati
rajam di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan
sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah.
Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah haq atas orang yang berzina
dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau
ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianlah yang aku ingat”.
“Ingatlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan
rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau”.
Dikatakan lafadz itu merupakan bagian dari ayat al-Quran yang
telah dinasakh bacaannya tanpa menasakh hukum yang terkandung di
dalamnya.
b. Nasakh pada bacaan dan hukum yang terkandung di dalamnya.
Maksudnya bahwa terdapat ayat al-Quran yang sebelumnya telah
permanen dari sisi lafadz dan juga makna kemudian di nasakh, baik itu
lafadz maupun makna (hukum yang terkandung di dalamnya).
Contohnya riwayat Aisyah tentang persusuan, yaitu penghapusan
ayat yang mengharamkan kawin dengan saudara persusuan, karena
menyusu pada ibu dengan sepuluh kali susuan, kemudian dinasakh
dengan lima kali susuan.

ٍ ‫ت ي َُحرِّ ْمنَ ثُ َّم نُ ِس ْخنَ بِخَ ْم‬


‫س‬ ٍ ‫ت َم ْعلُو َما‬ ٍ ‫ض َعا‬ َ ‫َكانَ فِي َما ُأ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُرْ آ ِن َع ْش ُر َر‬
ِ ْ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوه َُّن فِي َما يُ ْق َرُأ ِمنَ ْالقُر‬
‫آن‬ َ ِ ‫ت فَتُ ُوفِّ َي َرسُو ُل هَّللا‬
ٍ ‫َم ْعلُو َما‬
12

“Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an


adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”,
kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan
yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an.”
c. Menasakh hukum tanpa menasakh tilawahnya. Maksudnya, ada
beberapa ayat al-Quran yang hukumnya sudah tidak berlaku,
sedangkan bacaannya masih tetap dalam al-Quran. Contoh : Tentang
masa iddah isteri yang ditinggal mati oleh suami, yang semula tinggal
di rumah suami selama satu tahun dinasakh dengan ayat tentang masa
iddah empat bulan sepuluh hari.
‫صيَّةً اِّل َ ۡز َوا ِج ِهۡ†م َّمتَاعًا اِلَى ۡال َح ۡـو ِل غ َۡي َر‬ ِ ‫َوالَّ ِذ ۡينَ يُت ََوفَّ ۡونَ ِم ۡن ُکمۡ َويَ َذر ُۡونَ اَ ۡز َواجًا  ۖۚ َّو‬
ُ ‫فؕ َوهّٰللا‬
ٍ ‫خَر ۡجنَ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ۡي ُکمۡ فِ ۡى َما فَ َع ۡلنَ فِ ۡ ٓى اَ ۡنفُ ِس ِه َّن ِم ۡن َّم ۡعر ُۡو‬َ ‫اج ۚ فَاِ ۡن‬ ‌ٍ ‫اِ ۡخ َر‬
‫َز ۡي ٌز َح ِک ۡي ٌم‬ ِ ‫ع‬
Artinya: “Dan orang-orang yang akan mati di antara kamu dan
meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat wasiat untuk istri-
istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari
rumah). Tetapi jika mereka keluar (sendiri), maka tidak ada dosa
bagimu (mengenai apa) yang mereka lakukan terhadap diri mereka
sendiri dalam hal-hal yang baik. Allah Mahaperkasa,
Mahabijaksana”. (Q.S. Al-Baqarah [2] : 240).
Ayat tersebut bacaannya masih utuh, namun hukumnya tidak
berlaku lagi dengan adanya hukum iddah dalam surat al-Baqarah ayat
234.
‫َوالَّ ِذ ْينَ يُت ََوفَّوْ نَ ِم ْن ُك ْم َويَ َذرُوْ نَ اَ ْز َواجًا يَّت ََربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن اَرْ بَ َعةَ اَ ْشه ٍُر َّو َع ْشرًا ۚ فَاِ َذا‬
َ‫ف َوهّٰللا ُ بِ َما تَ ْع َملُوْ ن‬
ِ †ۗ ْ‫بَلَ ْغنَ اَ َجلَه َُّن فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما فَ َع ْلنَ فِ ْٓي اَ ْنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعرُو‬
‫خَ بِ ْي ٌر‬
13

Artinya: “Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta


meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir)
idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang
mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah
[2] : 234).
Mengingat pembagian nasakh dalam al-Quran ada beberapa
pendapat yang dikemukakan ulama. Sebagian ulama berpendapat
tidak boleh menasakh hukum tanpa nasakh tilawah dengan alasan: 1)
Yang dimaksud dengan bacaan ayat-ayat al-Quran adalah untuk
menjelaskan adanya hukum, bacaan diturunkan untuk alasan tersebut.
Sehingga tidak mungkin terjadi pencabutan hukum sedangkan
bacaannya masih ada, sebab akan hilang apa yang dimaksud dengan
adanya bacaan itu; 2) Suatu hukum apabila dinasakh dan masih tetap
bacaannya akan menimbulkan dugaan masih adanya hukum, hal yang
demikian mendorong mukallaf meyakini suatu kebodohan.
2. Nasakh al-Quran dengan Sunnah
Ada perbedaan pendapat mengenai bentuk nasakh ini, menurut jumhur
ulama, sunnah tidak dapat menasakh al-Quran karena hadits bersifat
dzanni, sementara al-Quran bersifat qath`i. Al-Quran lebih kuat dari
sunnah. Menurut asy-Syafi`i, sunnah tidak sederajat dengan al-Quran.
Pendapat ini didasarkan surat al-Baqarah ayat 106. Sementara itu ulama
Hanafiyah, Imam Malik dan Ahmad, membolehkan al-Quran dinasakh
dengan sunnah mutawatir dengan alasan sunnah itu wahyu, seperti firman
Allah dalam surat an-Najm ayat 3-4.
‫ق ع َِن ْالهَ َوى‬
ُ ‫َو َما يَ ْن ِط‬
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan
hawa nafsunya”. (Q.S. An-Najm [53] : 3).
14

ٌ ْ‫ِإ ْن ه َُو ِإال َوح‬


‫ي يُو َحى‬
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut
kemauan hawa nafsunya”. (Q.S. An-Najm [53] : 4).
Memang secara syar`i terjadi nasakh dengan sunnah nabi Muhammad
saw sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 180.
ِ ‫ك خ َۡي َرا  ۖۚ ۨا ۡل َو‬
َ‫صيَّةُ لِ ۡل َوالِد َۡي ِن َوااۡل َ ۡق َربِ ۡين‬ ُ ‫ض َر اَ َح َد ُك ُم ۡال َم ۡو‬
َ ‫ت اِ ۡن ت ََر‬ َ ‫ب َعلَ ۡي ُكمۡ اِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
ؕ َ‫ف َحقًّا َعلَى ۡال ُمتَّقِ ۡين‬ِ ۚ ‫بِ ۡال َم ۡعر ُۡو‬
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput
seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk
kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai)
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 180).
Ayat tersebut dinasakh oleh sabda Rasulullah saw dalam salah satu
hadis dari Umamah, menurut riwayat empat perawi hadits, selain an-
Nasa`i, dinyatakan hadits hasan menurut Ahmad dan at-Tirmuzi, yaitu
sabda Rasulullah saw. : “Sesungguhnya Allah SWT telah memberi bagian
tertentu untuk yang berhak, maka tidak boleh berwasiat kepada ahli
waris”. (HR. Tirmidzi).
3. Nasakh Sunnah dengan al-Quran
Muhammad Abu Zahrah, memberikan contoh sunnah tentang shalat
menghadap ke Bait al-Maqdis, dinasakh dengan ayat tentang shalat
menghadap ke masjidil Haram, yang tertera dalam surat al-Baqarah ayat
150.
ۡ‫ث َما ُك ۡنتُمۡ فَ َولُّ ۡوا† ُوج ُۡوهَڪُم‬
ُ ‫ـر ِامؕ َو َح ۡي‬َ ‫خَر ۡجتَ فَ َو ِّل َو ۡجهَكَ َش ۡط َر ۡال َم ۡس ِج ِد ۡال َح‬ َ ‫ث‬ ُ ‫َو ِم ۡن َح ۡي‬
ۡ ‫اس َعلَ ۡي ُكمۡ ُح َّجةٌ اِاَّل الَّ ِذ ۡينَ ظَلَ ُم ۡوا ِم ۡنهُمۡ فَاَل ت َۡخ َش ۡوهۡ†ُم َو‬ ۡ
‫اخ َش ۡونِ ۡ†ى وَاِل ُتِ َّم‬ ِ َّ‫َشط َر ٗه ۙ لَِئاَّل يَ ُك ۡونَ لِلن‬
َ‫نِ ۡع َمتِ ۡى َعلَ ۡي ُكمۡ َولَ َعلَّ ُكمۡ ت َۡهتَد ُۡون‬
15

Artinya: “Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, maka


hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram. Dan di mana saja kamu
berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu, agar tidak ada alasan
bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zhalim di
antara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku, agar Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu
mendapat petunjuk”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 150).
Contoh lain adalah berpuasa wajib pada hari asy-Syura yang
ditetapkan berdasarkan sunnah riwayat Bukhari-Muslim dari Aisyah, r.a.,
beliau berkata : “Hari asy-Syura itu adalah wajib berpuasa. Ketika
diturunkan (wajib berpuasa) bulan Ramadhan, maka ada orang berpuasa
dan ada yang tidak berpuasa”. Puasa bulan asy-Syura semula wajib
hukumnya, tetapi setelah turun kewajiban puasa di bulan Ramadhan, maka
puasa asy-Syura tidak wajib lagi, ada yang berpuasa dan ada pula yang
tidak berpuasa.
Mengenai pembagian nasakh ini, asy-Syafi`i menolaknya dengan
alasan. “Jika nabi Muhammad saw menetapkan suatu ketentuan, kemudian
turun ayat yang isinya bertentangan, beliau pasti akan membuat ketentuan
lain yang sesuai dengan al-Quran. Jika tidak demikian, maka terbukalah
pintu untuk menuduh bahwa setiap sunnah yang menjadi bayang al-Quran
itu telah dihapus.
4. Nasakh sunnah dengan sunnah
Menurut Abu Zahrah, Nasakh ini pada hakikatnya adalah hukum yang
ditetapkan berdasarkan sunnah dinasakh dengan dalil sunnah pula. Contoh
tentang ziarah kubur yang sebelumnya dilarang oleh Rasulullah saw,
kemudian setelah itu Rasulullah malah menganjurkannya.
E. Fungsi Nasikh Mansukh
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, fungsi nasakh secara umum ada tiga
yaitu : Sebagai salah satu upaya interprestasi hukum sebagai penahapan dalam
tasyri` untuk pemberian kemudahan.
16

1. Sebagai upaya interpretasi Hukum


Dalam upaya untuk melakukan interpretasi suatu peraturan dalam
syariat, baik al-Quran maupun hadits, setiap ketentuan hukum harus jelas
sehingga dapat diamalkan. Nasakh ini digunakan untuk menghadapi dua
dalil yang kontradiktif. Dalam hal ini harus ada upaya atau mengumpulkan
dua dalil hukum itu atau mengkhususkan dalil (taksis), ataupun untuk
memperkuat salah satunya (tarjih).
Jika interpretasi tadi sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi, maka
penyelesaiannya dengan nasikh mansukh, dengan syarat-syarat yang telah
dijelaskan sebelumnya.
2. Sebagai penahapan dalam tasryi`
Penahapan ini bertujuan untuk memperkenalkan hukum secara
bertahap kepada orang Arab pada permulaan Islam, sehingga
memungkinkan mereka yang menerimanya untuk menerapkan perintah-
perintah yang dikandungnya secara bertahap. Jadi hukum itu tidak
ditetapkan secara mendadak (tiba-tiba/frontal) serta pada akhirnya tidak
memberatkan subjek hukum yang menyuruh atau melarang seseorang
untuk menjalankan perintah atau larangan yang ditetapkan. Adanya
penahapan ini, menghendaki adanya pencabutan dan penggantian.
Contohnya mengenai penahapan larangan minum khamr. Semula
orang Arab sudah menyatu dengan minuman khamr, sehingga tidak mudah
untuk menghapuskan begitu saja. Oleh karena itu Allah SWT secara
bijaksana menetapkan keharamannya secara bertahap.
3. Sebagai Pemberian Kemudahan
Konsep nasakh ini, kemudahan bisa dilihat dengan tetap
ditampilkannya teks-teks yang dinasakh, selain teks-teks yang menasakh.
Dengan begitu, hukum ayat yang dinasakh dapat dimunculkan kembali
pada tata aturan masyarakat.
17

F. Hikmah Nasakh
Manna Khalil al-Qattan menjelaskan tentang hikmah adanya nasakh
dalam al-Quran, yaitu: 1) Menjaga keselamatan hamba Allah; 2)
Perkembangan tasyri` menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan perkembangan kondisi umat Islam; 3) Cobaan dan ujian bagi
Mukallaf untuk mematuhinya atau sebaliknya; dan 4) menghendaki kebaikan
dan kemudahan bagi umat Islam. Sebab jika nasakh itu beralih kepada hal atau
perkara yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika
beralih kepada hal atau perkara yang lebih ringan maka nasakh mengandung
kemudahan dan keringanan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologi, kata nasikh memiliki pengertian “Ar-Raf’ulal-izalah”
yang berarti penghapusan.”An-Naqlu” yang berarti penyalinan ataupun
penulikan. “Al-Ibhtal” yang berarti penghilangan atas sesuatu. “At-Taghyir
wal Ibtal Wal Iqamah ash-Shai’ Maqamahu” yang artinya ialah mengganti
atau menukar.
Sedangkan mansukh adalah suatu hal yang diganti. Sementara yang
dimaksud dengan nasakh adalah suatu perbuatan pembatalan atau
penghapusan pada hukum syara’ dari hukum lama menuju hukum baru yang
bersumber dalil syara’ yang dating kemudian. Maka dalam menasakhkan
diperlukan dua unsur penting yaitu nasakh dan mansukh. Dimana nasikh
merupakan hukum atau dalil syara’ yang sifatnya menghapus suatu hukum
atau merupakan subjek penghapus, sedangkan mansukh merupakan hukum
atau dalil syara’ yang nantinya dihapus atau diganti atau juga merupakan
objek penghapusannya.
Berdasarkan paparan tentang konsep nasikh mansukh di dalam al-Quran
dalam penetapan hukum Islam di atas dapat disimpulkan: 1) Pembahasan
tentang nasikh dan mansukh merupakan pembahasan yang sangat vital bagi
seorang mufassir untuk menghindari kekeliruan dan kesalahan dalam
menangkap maksud al-Quran; 2) Masalah nasikh dan mansukh, selama ini
masih menjadi perdebatan di kalangan ulama mufassirin, yaitu antara ulama
yang mendukung dan menolaknya. Namun bagaimanapun penetapan suatu
hukum, bukan berarti sudah menjadi suatu keputusan akhir, bisa saja
keputusan itu berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan sejarah;
dan 3) Meskipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mufassirin
tentang ada tidaknya nasakh dalam al-Quran, namun perlu digaris bawahi
bahwa pada umumnya ulama ittifaq tentang terjadinya naskh dalam al-Quran.

18
19

B. Saran
1. Untuk Penulis
a. Harus lebih rajin mencari dan membaca materi mengenai ulumul
qur’an, agar menambah pengetahuan.
b. Harus terus belajar mengenai isi alQur’an, karena al-Qur’an
merupakan pedoman bagi umat manusia khususunya bagi umat
muslim.
2. Untuk Pembaca
a. Banyak membaca mengenai ulumul qur’an, untuk menambah
wawasan.
b. Harus terus menggali informasi mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qhattan, Manna Khalil. 2001. Studi-Studi Ilmu al-Qur’an. Terj. Mudzakir.


Yogyakarta: Pustaka Lentera.
Anwar, Abu. 2009. Ulumul Qur’an: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Amzah.
hlm.52.
Anwar, Rosihan. 2007. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. hlm.163.
As-Shalih, Subhi. 2004. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Tempat. Tokoh Nama
dan Istilah dalam al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. hlm. 369.
Izzan, Ahmad. 2011. Ulumul Qur’an: Telaah Tekstual dan Konstektual al-
Qur’an. Bandung: Tafakur. hlm. 187.
Qardhawi, Yusuf. 1999. Berinteraksi dengan al-Qur’an. Jakarta: Gama Insani
Press. hlm.467.
Ridha, Al-Sayyid, Muhammad Rasyid. 1973. Tafsir al-Qur’an Al-Hakim (Tafsir
Al-Manar). Kairo: Dar Al-Manar, t.th. Juz I. hlm.414.
Shihab, Muhammad Quraish. 2004. Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan. Bandung: Mizan. hlm. 148.
Syafe’I, Rachmat. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia. hlm.88.
Syamsuddin, Sahiron. 2010. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadits. Yogyakarta:
ElsaQ Press. hlm. 5.
Syarifuddin, Amir. 2007. Ushul Fiqh. Jilid I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Zahrah, Muhammad Abu. 2008. Ushul Fiqih. Terjm. Saefullah Ma’sum, dkk.
Pustaka Firdaus.
Zaid, Abu Nasir Hamid. 2003. Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul
Qur’an. Yogyakarta: LKIS. hlm.149.
Q.S. Al-Baqarah [2]: 106.
Q.S. Al-Baqarah [2]: 109.
Q.S. Al-Baqarah [2]: 150.
Q.S. Al-Baqarah [2]: 180.
Q.S. An-Nisa [4]: 82.
Q.S. An-Najm [53]: 3.

20
21

Q.S. An-Najm [53]: 4.


Q.S. Fussilat [41]: 42.
Q.S. Al-Baqarah [2]: 234
Q.S. Al-Baqarah [2]: 240.
H.R. Tirmidzi.

Anda mungkin juga menyukai