Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan rahmatnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Ilmu Nasikh Mansukh. Tugas ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah Ulumul Qur’an.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing mata kuliah Ulumul Qur’an yang telah memberikan banyak
pengetahuan kepada kami dalam menyusun tugas ini, serta kepada semua pihak
yang sudah membantu.
Harapan kami semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk, maupun pedoman, juga membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga untuk kedepannya kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini dengan lebih baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
pembaca, khususnya dari dosen pembimbing.
i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................2
C. Tujuan Penulisan..............................................................................2
D. Manfaat Penulisan............................................................................2
1. Manfaat Untuk Penulis...............................................................2
2. Manfaat Untuk Pembaca.............................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3
A. Pengertian Nasikh Mansukh............................................................3
B. Rukun dan Syarat Nasikh Mansukh.................................................4
C. Pro Kontra Nasikh Mansukh............................................................6
D. Pembagian Nasakh.........................................................................10
E. Fungsi Nasikh Mansukh.................................................................15
F. Hikmah Nasakh..............................................................................17
BAB III PENUTUP.....................................................................................18
A. Kesimpulan....................................................................................18
B. Saran...............................................................................................19
1. Untuk Penulis............................................................................19
2. Untuk Pembaca.........................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dahulu kala, di dalam salah satu masjid di kota Kufah, khalifah Ali bin
Abi Thalib mendapati sosok pria yang merupakan seorang qadhi. Banyak
sekali orang yang mengelilingi qadhi tersebut dan mengadu berbagai
permasalahan kepadanya dengan berharap masalah yang diadukan tersebut
mendapat solusi. Bukan mendapat sebuah solusi, tetapi qadhi tersebut
terkesan menyesatkan karena telah mencampur adukan antara perintah dan
larangan Allah SWT. Menyaksikan hal tersebut, spontan khalifah Ali bin Abi
Thalib melontarkan pertanyaan kepadanya : “Ata’rif al-Nasikh min al-
Mansukh ?”. Dan dijawabnya :”La/tidak”. Kemudian khalifah Ali pun
kembali bertanya : “Kalau demikian, berarti engkau telah celaka dan
mencelakakan (orang lain)”.
Dari kalimat Tanya yang khalifah Ali ajukan tersebut, setidaknya telah
menjadi penegas akan urgensi pengetahuan Nasikh wal al-Mansukh selaku
unit ulumul qur’an. Karena urgensi tersebut, Jalaludin al-Suyyuti memberi
penegasan:
“Para ulama (a’imah) mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan
kitab Allah kecuali terlebih dahulu mengetahui ayat-ayat yang terdapat dalam
al-Qur’an, yang menashkan dan dinaskhkan”.
Al-Qur’an ialah kalamullah yang diwahyukan kepada Rasul (Nabiyullah
Muhammad SAW) agar dapat digunakan muslim sebagai pandangan hidup
berada di dunia juga di akhirat. Al-Qur’an menjadi prinsip dalam hidup umat
muslim yang fungsinya untuk menata kehidupan di dunia ataupun kehidupan
di akhirat. Pinsip dimana umat Islam harus menempatkan al-Qur’an sebagai
cara hidup adalah pemahaman tentang isi dan pelajaran yang terkandung
didalam al-Qur’an.
1
Dalam menerapkan suatu hukum, nasikh wa al-mansukh ini mnejadi syarat
yang wajib dipenuhi oleh seorang mujtahid dan dipastikan akan berakibat fatal
jika salah dalam memahaminya.
2
2
3
4
ataupun mubah. Artinya, bahwa suatu mansukh bukan berasal dari hukum
akal pikiran ataupun hukum yang diciptakan manusia.
2. Nasikh (dalil yang menghapuskan atau membatalkan) mesti memiliki
selang waktu dari mansukh (dalil hukum yang lama). Nasikh ini juga wajib
berwujud dalil-dalil syara’ baik al-Qur’an, al-Hadis, qiyas, ataupun ijma’.
3. Dalil baru (nasikh) dan dalil lama (mansukh) tersebut haruslah memiliki
pertentangan yang bersifat nyata (kontradiktif).
4. Sifat dari nasikh (dalil yang menghapuskan atau dalil yang mengganti)
ialah mutawatir. Sebab dalil yang sudah terbukti secara pasti ketetapan
hukumnya, maka tidak bisa digantikan (dinasakhan) melainkan oleh
hukum yang juga secara pasti sudah terbukti.
Sedangkan Abu Anwar memberikan batasan beberapa syarat yang
diperlukan dalam nasakh, yaitu :
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara`. Nasakh hanya terjadi pada
perintah dan larangan. nasakh tidak terdapat dalam akhlak, ibadah, akidah,
dan juga janji dan ancaman Allah.
b. Dalil yang dipergunakan untuk penghapusan hukum tersebut adalah kitab
syar`i yang datang kemudian.
c. Dalil yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu
tertentu. Sebab, jika demikian hukum akan berakhir dengan waktu
tersebut. Konsep ini seperti ditegaskan pada firman Allah dalam al-Quran
surat al-Baqarah ayat 109 :
اصفَح ُۡوا َح ٰتّى يَ ۡاتِ َى هّٰللا ُ بِاَمۡ ِر ٖه
ۡ اعفُ ۡوا َو
ۡ َ ف.....
ت بِ َخي ٍْر ِّم ْنهَٓا اَوْ ِم ْثلِهَا ۗ اَلَ ْم تَ ْعلَ ْم اَ َّن هّٰللا َ ع َٰلى ُك ِّل َش ْي ٍء
ِ َما نَ ْن َس ْخ ِم ْن ٰايَ ٍة اَوْ نُ ْن ِسهَا نَْأ
قَ ِد ْي ٌ†ر
Artinya: “Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan,
pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?”. (Q.S.
Al-Baqarah [2] : 106).
Ayat 106 dalam al-Quran surat al-Baqarah tersebut dijadikan dasar
naqli bagi mayoritas ulama yang mendukung adanya nasakh dalam al-
Quran. Mayoritas ulama tanpa keraguan menetapkan ayat-ayat yang
termasuk nasakh dan mansukh tetap berlaku, akan tetapi segi hukum yang
berlaku menyeluruh sampai waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali
oleh syara`. Jadi menurut pandangan beberapa tokoh, nasikh mansukh bisa
diterima oleh akal dan telah terjadi dalam hukum syara` sesuai dalil di atas.
Selain dalil naqli di atas, jumhur ulama pendukung nasakh juga
mendasarkan dalil naqli. Mereka berpandangan perbuatan Allah SWT itu
adalah mutlak, tidak tergantung kepada alasan dan tujuan. Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu
yang lain. Ini karena, Allah SWT lebih mengetahui kepentingan hambanya.
Pendapat lain yang mendasari mayoritas ulama tentang teori nasakh adalah
penetapan perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam al-
Quran yang menurut Rosihan Anwar, ada yang bersifat sementara dan
ketika keadaan berubah perintah tersebut dihapus dan diganti dengan
perintah baru lainnya. Namun, karena perintah perintah itu kalam Allah,
harus dibaca sebagai bagian dari al-Quran.
Ulama yang melopori konsep nasakh mansukh menurut Ahmad Izzan,
adalah asy-Syafi`i, al-Suyuti, al-Nahas, dan al-Syaukani. Persoalan nasakh
bagi kelompok pendukungnya merupakan salah satu cara menyelesaikan
beberapa dalil tersebut. Apabila tidak bisa dikompromikan, salah satunya
dinasakhan atau dibatalkan.
8
اَّل يَْأتِ ْي ِه ْالبَا ِط ُل ِم ۢ ْن بَي ِْن يَ َد ْي ِه َواَل ِم ْن خَ ْلفِ ٖه ۗتَ ْن ِز ْي ٌل ِّم ْن َح ِكي ٍْم َح ِم ْي ٍد
Artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan
maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang), yang
diturunkan dari Tuhan Yang Maha bijaksana, Maha Terpuji”. (Q.S.
Fussilat [41] : 42).
Hukum-hukum yang dibawa al-Quran bersifat abadi dan universal.
Jadi tidak layak kalau di dalam al-Quran terdapat nasakh. Lebih lanjut Abu
Muslim al-Isfahani, sebagai mana yang dikutip Amir Syarifuddin,
mengemukakan argumentasi sebagai berikut: 1) Suatu hukum yang
ditetapkan oleh Allah SWT adalah karena adanya maslahat atau mafsadat
pada sesuatu yang dikenai hukum itu. Sesuatu yang mengandung maslahat
tidak mungkin beralih menjadi mafsadat, dan 2) Kalam itu bersifat qadim,
dalam arti telah ada sejak dahulu (azali) sesuatu yang bersifat qadim tidak
mungkin dicabut.
Al-Isfahani tidak setuju dengan adanya nasakh. Al-Isfahani setuju jika
menginterpretasikan ayat yang secara zhahir terjadi kontradiksi dengan
jalan taksis (pengkhususan), untuk menghindari adanya nasakh atau
pembatalan, al-Isfahani berpendapat pembatalan hukum dari Allah
mengakibatkan kemustahilan-Nya, yaitu: 1) Ketidaktahuan, sehingga perlu
mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum lainnya, dan 2)
Jika itu dilakukan Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan permainan
belaka.
Berbeda dengan al-Isfahani yang cenderung kepada takhsis, menurut
Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip dari Rachmat Syafe’I, ia
menolak adanya nasakh, dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya
tabdil (dalam pengertian: pengalihan, pemindahan ayat hukum dengan ayat
hukum lainnya). Dalam arti bahwa semua ayat al-Quran tetap berlaku,
tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pengalihan hukum bagi masyarakat
atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda.
10
ِ ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ ِإ َذا َزنَيَا فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكاالً ِمنَ هللاِ َو هللاُ ع
َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم
“Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan
wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina,
maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang
mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha
Bijaksana.
11
ِ ب هَّللا
ِ ان َحتَّى يَقُو َل قَاِئ ٌل اَل نَ ِج ُد الرَّجْ َم فِي ِكتَا ٌ اس َز َم ِ َّول بِالن َ ُيت َأ ْن يَط ُ َشِ لَقَ ْد خ
صنَ ِإ َذا َ ْق َعلَى َم ْن زَ نَى َوقَ ْد َأح ٌّ يض ٍة َأ ْنزَ لَهَا هَّللا ُ َأاَل َوِإ َّن الرَّجْ َم َحَ ك فَ ِر ِ ْضلُّوا بِتَر ِ َفَي
ت َأاَل َوقَ ْد َر َج َم َرسُو ُل ُ ظْ ِت ْالبَيِّنَةُ َأوْ َكانَ ْال َحبَ ُل َأ ِو ااِل ْعتِ َرافُ قَا َل ُس ْفيَانُ َك َذا َحف ِ قَا َم
ُصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو َر َج ْمنَا† بَ ْع َدهَ ِ هَّللا
“Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap
manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati
rajam di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan
sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah.
Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah haq atas orang yang berzina
dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau
ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianlah yang aku ingat”.
“Ingatlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan
rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau”.
Dikatakan lafadz itu merupakan bagian dari ayat al-Quran yang
telah dinasakh bacaannya tanpa menasakh hukum yang terkandung di
dalamnya.
b. Nasakh pada bacaan dan hukum yang terkandung di dalamnya.
Maksudnya bahwa terdapat ayat al-Quran yang sebelumnya telah
permanen dari sisi lafadz dan juga makna kemudian di nasakh, baik itu
lafadz maupun makna (hukum yang terkandung di dalamnya).
Contohnya riwayat Aisyah tentang persusuan, yaitu penghapusan
ayat yang mengharamkan kawin dengan saudara persusuan, karena
menyusu pada ibu dengan sepuluh kali susuan, kemudian dinasakh
dengan lima kali susuan.
F. Hikmah Nasakh
Manna Khalil al-Qattan menjelaskan tentang hikmah adanya nasakh
dalam al-Quran, yaitu: 1) Menjaga keselamatan hamba Allah; 2)
Perkembangan tasyri` menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan perkembangan kondisi umat Islam; 3) Cobaan dan ujian bagi
Mukallaf untuk mematuhinya atau sebaliknya; dan 4) menghendaki kebaikan
dan kemudahan bagi umat Islam. Sebab jika nasakh itu beralih kepada hal atau
perkara yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika
beralih kepada hal atau perkara yang lebih ringan maka nasakh mengandung
kemudahan dan keringanan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologi, kata nasikh memiliki pengertian “Ar-Raf’ulal-izalah”
yang berarti penghapusan.”An-Naqlu” yang berarti penyalinan ataupun
penulikan. “Al-Ibhtal” yang berarti penghilangan atas sesuatu. “At-Taghyir
wal Ibtal Wal Iqamah ash-Shai’ Maqamahu” yang artinya ialah mengganti
atau menukar.
Sedangkan mansukh adalah suatu hal yang diganti. Sementara yang
dimaksud dengan nasakh adalah suatu perbuatan pembatalan atau
penghapusan pada hukum syara’ dari hukum lama menuju hukum baru yang
bersumber dalil syara’ yang dating kemudian. Maka dalam menasakhkan
diperlukan dua unsur penting yaitu nasakh dan mansukh. Dimana nasikh
merupakan hukum atau dalil syara’ yang sifatnya menghapus suatu hukum
atau merupakan subjek penghapus, sedangkan mansukh merupakan hukum
atau dalil syara’ yang nantinya dihapus atau diganti atau juga merupakan
objek penghapusannya.
Berdasarkan paparan tentang konsep nasikh mansukh di dalam al-Quran
dalam penetapan hukum Islam di atas dapat disimpulkan: 1) Pembahasan
tentang nasikh dan mansukh merupakan pembahasan yang sangat vital bagi
seorang mufassir untuk menghindari kekeliruan dan kesalahan dalam
menangkap maksud al-Quran; 2) Masalah nasikh dan mansukh, selama ini
masih menjadi perdebatan di kalangan ulama mufassirin, yaitu antara ulama
yang mendukung dan menolaknya. Namun bagaimanapun penetapan suatu
hukum, bukan berarti sudah menjadi suatu keputusan akhir, bisa saja
keputusan itu berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan sejarah;
dan 3) Meskipun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mufassirin
tentang ada tidaknya nasakh dalam al-Quran, namun perlu digaris bawahi
bahwa pada umumnya ulama ittifaq tentang terjadinya naskh dalam al-Quran.
18
19
B. Saran
1. Untuk Penulis
a. Harus lebih rajin mencari dan membaca materi mengenai ulumul
qur’an, agar menambah pengetahuan.
b. Harus terus belajar mengenai isi alQur’an, karena al-Qur’an
merupakan pedoman bagi umat manusia khususunya bagi umat
muslim.
2. Untuk Pembaca
a. Banyak membaca mengenai ulumul qur’an, untuk menambah
wawasan.
b. Harus terus menggali informasi mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
20
21