Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

NASIKH MANSUKH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al-Qur‟an dan Hadist
Dosen Pengampu:
Dr. H. Moh. Toriquddin, Lc., M.HI

Oleh:
Rindi Yani (230201210043)
Ricky Dwi Septian (230201210044)
Abdullah Syarif (230201210053)

PROGRAM STUDI PASCASARJANA HUKUM KELUARGA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, wr. wb.

Dengan limpahan ucap syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberi kebesaran serta kemurahanNya kepada penulis sehingga mampu

menyelesaikan makalah tanpa ada halangan suatu apapun.

Sholawat serta salam dipanjatkan kepada baginda Muhammad SAW yang

telah menuntun kita kepada agama terang benderang ini yaitu Islam. Tak terlupakan

juga serangkaian ucapan terimakasih disampaikan kepada Bapak Dr. Moh.

Toriquddin, Lc. M.HI. selaku dosen pengajar mata kuliah Studi Al-Qur‟an dan

Hadits, atas bimbingan serta dukungannya, dan untuk teman-teman atas

kerjasamanya.

Makalah ini dibuat dengan tujuan pembelajaran bagi mahasiswa agar dapat

mengetahui dan memahami dengan baik tentang Nasikh Mansukh. Penulis

menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu

penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan

penulisan di masa yang akan datang. Demikian semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Malang, 15 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 3
A. Pengertian Nasikh Mansukh .............................................................................. 3
B. Pembagian dan Macam Nasikh Mansukh .......................................................... 6
C. Madzhab Nasikh Mansukh............................................................................... 10
D. Implikasi Filosofis Nasikh Mansukh ............................................................... 18
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 25
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 25
B. Saran ................................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur‟an sebagai pedoman pertama serta paling utama bagi umat Islam

yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw melalui perantara malaikat jibril

dengan menggunakan bahasa arab. Namun hal ini menjadi permasalahan dan

perbedaan akibat perbedaan bahasa dan kapasitas berpikir pada setiap manusia

dalam memahami Al-Qur‟an karena orang arab sendiri yang berbahasa arab tidak

mudah untuk memahami maksud dari Al-Qur‟an itu sendiri terlebih bagi orang

yang non arab („ajam). Bahkan para sahabatpun ada yang keliru dan berbeda

dalam memahami suatu ayat dalam Al-Qur‟an

Kesulitan dalam memahami Al-Qur‟an menyadarkan para sahabat dan

ulama generasi selanjutnya akan kelangsungan dalam memahami Al-Qur‟an. Hal

ini menjadikan semangat para sahabat dan ulama‟ setelahnya untuk menghasilkan

cabang ilmu Al-Qur‟an sehingga memudahkan umat islam dalam memahami isi

Al-Qur‟an. Diantara ilmu Al-Qur‟an yang dipopulerkan oleh imam masyhur

adalah Asbabun Nuzul, Qira‟at, Muhkam Mutasyabih dan Nasikh Mansukh. Hal

ini dipandang penting dalam proses memahami isi atau maksud dari Al-Qur‟an

agar tidak terjadi kekliruan.1

1
Prof. Dr. H. Amroeni Drajat, M. Ag., Ulumul Qur’an (Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an), (Kencana:
Jakarta, 2017), 5.

1
Berdasarkan ilmu-ilmu Al-Qur‟an yang ada, dalam Makalah ini akan

dijelaskan secara rinci tentang Nasikh Mansukh yang akan menerangkan tentang

apa itu Nasikh Mansukh, macam-macam beserta madzhabnya dan implikasi atau

hikmah dari adanya ilmu Nasikh Mansukh sehingga dapat menentukan maksud

ayat yang terkandung dalam Al-Qur‟an sehingga akan mengetahui hukum atau

norma yang terdapat dalam Al-Qur‟an sesuai dengan ijtihad para ulama‟.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian Nasikh Mansukh?

2. Apa pembagian dan macam Nasikh Mansukh?

3. Bagaimana madzhab-madzhab Nasikh Mansukh?

4. Bagaimana implikasi filosofis Nasikh Mansukh?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Nasikh Mansukh

2. Untuk mengetahui pembagian dan macam Nasikh Mansukh

3. Untuk mengetahui madzhab-madzhab Nasikh Mansukh

4. Untuk mengetahui implikasi filosofis Nasikh Mansukh

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh Mansukh

Al-Qur'an merupakan kalamullah yang diwahyukan kepada Rasulullah

SAW. Agar dapat digunakan umat muslim sebagai pegangan hidup selama di

dunia dan di akhirat. Al-Qur'an menjadi prinsip dalam hidup umat muslim yang

berfungsi menata kehidupan baik di dunia ini ataupun kehidupan akhirat. Umat

Islam harus menempatkan Al-Qur'an sebagai pedoman hidup dengan mengambil

pemahaman tentang isi dan pelajaran yang terkandung didalam Al-Qur'an. Pada

pembelajaran ini, terdapat banyak hal yang perlu dibahas secara mendalam, salah

satunya adalah Nasikh Mansukh, yang mana bagian tersebut merupakan hal yang

fundamental yang harus diketahui dan dipelajari oleh seorang muslim, terutama

orang yang berijtihad (mujtahid).

Nasikh secara etimologi memiliki beberapa arti, diantaranya adalah Ar-

Raf’ulal-izalah yang berarti penghapusan, An-Naqlu yang berarti penyalinan

ataupun penulikan dan Al-Ibthal yang berarti penghilangan atas sesuatu.

Sedangkan menurut terminologi adalah pengangkatan atau penghapusan hukum

syara‟ (lampau) dengan dalil syara‟ yang baru. Yang dimaksud pengangkatan

hukum syara‟ adalah penghapusan pengamalan hukum dengan mengamalkan

hukum yang ditetapkan terakhir (baru). Mansukh secara etimologi artinya “suatu

hal yang diganti”. Sedangkan secara terminologi, Mansukh diartikan sebagai

3
“hukum syara‟ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum

diganti dengan hukum syara‟ yang datang kemudian”.2

Diantara para ualam‟ masyhur pada ilmu Qur‟an khusunya Nasikh

Mansukh adalah kitab Mabahits Fi Ulumul Al-Qur’an karya imam Manna Khalil

Al-Qattan. Dalam kitab ini dijelaskan tentang pengertian Nasikh Mansukh, syarat-

syaratnya, ruang lingkup, pedoman mengetahui Nasikh Mansukh, pendapat

tentang naskh dan dalil ketetapannya, pembagian naskh, macam-macam Naskh

dalam al-Qur‟an, hikmah Naskh, Naskh berpengganti dan tidak berpengganti,

kekaburan Naskh, dan contoh-contoh Naskh.3 Berikut adalah contoh dari Nasikh

Mansukh menurut imam Manna Khalil Al-Qattan yaitu QS. Al-Baqarah ayat 115

dinasakh oleh QS. Al-Baqarah ayat 144 yaitu:

‫الِلَ َو ِاس ٌع َعلِْي ٌم‬ ِ ِ ‫وِهلِلِ الْمش ِرق والْمغ ِرب فَاَي نما ت ولُّوا فَثم وجو ه‬.
ّ‫الِل ۗ ا َّن ه‬
ّ ُ ْ َ َّ َ ْ َ ُ َ َْ ُ ْ َ َ ُ ْ َ ّ َ

Artinya: “Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di

sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui”.

2
Anita Rahmalia dan Ridho Pramadya Putra, “Nasikh Mansukh”, El-Mu’jam, (Kebumen: Vol.2, No.1,
2022), 30. View of NASIKH WA AL-MANSUKH (iainu-kebumen.ac.id)
3
Imam Masrur, “Konsep Nasikh Mansukh Jalaluddin As-Suyuti dan Implikasi Metode Pengajaran di
Perguruan Tinggi”, Realita, (Kediri: Vol. 16, No.1, 2018), 7.
http://jurnallppm.iainkediri.ac.id/index.php/realita/article/view/65/61

4
‫ك َشطَْر الْ َم ْس ِج ِد‬ ِ ِ ِ ِ ‫السم ۤا‬
َ َ ْ َ َ َ ْ َ ً ْ َ َ َ ُ َ َّ ‫ك ِِف‬
‫ه‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ل‬
ّ ‫و‬ ‫ف‬
َ ۖ ‫ا‬‫هىه‬
‫ض‬ ‫ر‬ ‫ت‬ ‫ة‬َ‫ل‬ ‫ب‬ ‫ق‬ ‫َّك‬
‫ن‬ ‫ي‬ّ‫ل‬‫و‬ ‫ن‬َ‫ل‬ ‫ف‬
َ ‫ء‬ َ ‫ب َو ْج ِه‬ ُّ
َ ‫قَ ْد نَ هرى تَ َقل‬

ۗ ‫اْلَ ُّ ُّق ِم ْن ََِِِّّ ْم‬ ِ ِ َّ ِ ۗ ُّ ُ ‫اْلََرِام ۗ َو َحْي‬


َ ‫ث َما ُكْن تُ ْم فَ َول ْوا ُو ُج ْوَى ُك ْم َشطَْره ۗ َوا َّن الذيْ َن اُْوتُوا الْكت‬
ْ ُ‫هب لَيَ ْعلَ ُم ْو َن اَنَّو‬ ْ

‫الِلُ بِغَافِ ٍل َع َّما يَ ْع َملُ ْو َن‬


ّ‫َوَما ه‬

Artinya: “Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit,

maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka

hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada,

hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi

Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran

dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan”.

Dari pengertian diatas, selanjutnya kita perlu memahami kata Nasakh,

dimana kata Nasakh merupakan suatu pembatalan atau penghapusan hukum

syara‟ dari hukum lama menuju hukum baru yang bersumber dalil syara‟. Maka

dalam menasakh diperlukan dua unsur penting yaitu Nasikh dan Manshuk.

Dimana Nasikh merupakan dalil syara‟ yang sifatnya menghapus suatu hukum

(subjek), sedangkan Mansukh merupakan dalil syara‟ yang nantinya dihapus atau

diganti (objek).

Dalam menetapkan suatu hukum, Nasikh Mansukh menjadi syarat yang

wajib dipenuhi oleh mujtahid dan akan berakibat fatal jika salah dalam

memahaminya. Sebagian ulama sepakat bahwa pengetahuan tentang Nasikh

5
Mansukh terlalu mendesak untuk digunakan sebagai sarana untuk memahami Al-

Qur'an. Sejumlah ulama juga percaya bahwa tiada kontradiksi pada setiap ayat di

Al-Qur'an, atau dapat dinyatakan bahwasanya ayat-ayat yang terlihat

bertentangan sebenarnya tidaklah bertentangan. Oleh sebab itu, diperlukan pola-

pola penafsiran guna meneliti atau mengoreksi ayat-ayat yang sifatnya

kontradiktif tersebut.

B. Pembagian dan Macam Nasikh Mansukh

Nasikh Mansukh dibagi menjadi empat bagian, yaitu4:

1. Al-Qur‟an di nasakh dengan Al-Qur‟an pula. Ulama-Ulama sepakat

mengatakan ini diperbolehkan dan ada juga yang berpendapat Al-Qur‟an

hanya dapat dinaskh dengan Al-Qur‟an.

2. Al-Qur‟an dinasikhk dengan Sunnah (Hadits). Terdapat dua macam, yaitu:

a. Al-Qur‟an itu dinasikh dengan hadis ahad. Menurut Jumhur ulama‟,

hal ini tidak diperbolehkan. Karena Al-Qur‟an itu adalah mutawatir,

harus di yakini, sedangkan ahad itu masih diragukan. Tidak sah

membuang yang sudah diketahui dengan dzan (yang masih

diragukan).

b. Al-Qur‟an itu dinasikh dengan Sunnah Mutawatir. Diperbolehkan oleh

Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hambal sedangkan Imam

4
H.M. Arsyad Almakki, “Sejarah Al-Qur‟an dan Nasikh Mansukh”, Fikruna, (Yogyakarta: Vol.4,
No.2, 2022), 89. View of SEJARAH AL-QUR'AN DAN NASIKH MANSUKH (stitibnurusyd-
tgt.ac.id)

6
Syafii‟i, Ahli Zahir dan Ahmad merasa enggan menerima karena

Sunnah itu bukan lebih baik dari Al-Qur‟an dan bukan pula sebanding

dengannya.

3. Sunnah dinasikh dengan Al-Qur‟an. Ini diperbolehkan menurut Jumhur.

Menasikh Sunnah dengan Al-Qur‟an ini dilarang oleh Syafi‟i. Sebab bila

diperbolehkan menasikhkannya dengan Sunnah disamping itu

diperbolehkan pula dengan Al-Qur‟an maka jelaslah bahwa Al-Qur‟an itu

setara dengan Sunnah.

4. Sunnah dinasikh dengan Sunnah pula. Yang termasuk dengan golongan

ini ada empat, yaitu:

a. Mutawatir dinasikh dengan mutawatir

b. Ahad dinasikh dengan ahad

c. Ahad dinasikh dengan mutawatir

d. Mutawatir dinasikh dengan ahad.

Pembagian diatas merupakan hal penting yang harus diketahui agar tidak

asal dalam menaskh khususnya bagi imam mujtahid, hal ini berkaitan pula dengan

macam-macam Nasikh Mansukh untuk mengetahui apasaja pengapusan yang bisa

terjadi, ditaranya adalah sebagai berikut:

1. Ayat yang dinaskh lafal atau bacaannya akan tetapi tidak dengan

kandungan hukumnya. Diantaranya yaitu ayat yang mengenai rajam.

Umar bin Khattab dan Ubai bin Ka‟ab mengatakan bahwa kalimat: laki-

7
laki tua dan perempuan tua (sudah menikah) apabila berzina, maka

rajamlah keduanya. Termasuk ayat al-qur‟an walaupun kalimat tersebut

tidak ditemukan dalam mushaf, namun hukumnya tetap berlaku sampai

sekarang.5

2. Ayat yang dinasakh kandungan hukumnya akan tetapi tidak dengan lafal

atau bacaannya. Salah satu contohnya ayat „iddah satu tahun dalam QS.

Al-Baqarah ayat 240: “Dan orang-orang yang akan mati di antara kamu

dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat wasiat untuk istri-

istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahuntanpa mengeluarkannya (dari

rumah). Tetapi jika mereka keluar (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu

(mengenai apa) yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dalam

hal-hal yang baik. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” Dinaskh dengan

„iddah 4 bulan 10 hari dalam QS. Al-Baqarah ayat 234: “Dan orang-

orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah

mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian

apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu

mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara

yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Hikmah dibalik pengahapusan hukum tetapi tilawahnya tetap adalah agar

umat Islam mengetahui akan pensyari‟atan tersebut dan tetap membaca

5
Karunia Hazyimara, “Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur‟an”, Setyaki, (Makassar: Vol.1, No.1,
2023), 68. View of The Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur‟an (kalimasadagroup.com)

8
ayatnya. Karena Al-Qur‟an adalah firman Allah, dan bagi siapa yang

membaca berhak pahala baginya. Selain itu agar umat Islam mengetahui

pemberian nikmat Allah Swt.6

3. Ayat yang dinasakh lafal atau bacaannya beserta kandungan hukumnya

sekaligus. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Nasa‟i dari Aisyah “dari

Aisyah, ia berkata bahwa Allah Swt. telah menurunkan ayat. Dan Al-

Haris berkata: diantara yang diturunkan dari ayat Al-Qur’an adalah

sepuluh susuan yang maklum itu yang menyebabkan muhrim. Kemudian

ketentuan itu dinaskh oleh lima susuan yang maklum. Ketika Rasulullah

wafat, lima susuan ini termasuk ayat Al-Qur’an yang dibaca.” Hadis di

atas menunjukkan bahwa pada mulanya turun ayat yang menyatakan

bahwa sepuluh susuan menyebabkan seseorang menjadi mahram.

Kemudian ayat tersebut dinaskh dengan turunnya ayat yang menyatakan

lima susuan menjadi penyebab seseorang menjadi mahram.7

Nasikh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan

dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar)

yang bermakna perintah (amar) atau larangan (nahy). Jika hal tersebut tidak

berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada Dzat Allah Swt,

sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya dari hari kemudian, serta tidak berkaitan pula

6
Khoiron Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: LKiS,
2005), 152.
7
Khoiron Nahdliyyin, 152.

9
dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu‟amalah maka

tidak bisa dinasakh. Hal ini karena semua syari‟at ilahi tidak lepas dari pokok-

pokok tersebut. Nasikh tidak terjadi dalam berita atau kabar yang jelas-jelas tidak

bermakna talab (tuntutan, perintah atau larangan), seperti janji (al-wa‟d) dan

ancaman (al-wa‟id)

C. Madzhab Nasikh Mansukh

Keterbukaan al-Qur‟an memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk

membaca, memahami serta menafsirkan al-Qur‟an. Namun ada beberapa hal yang

harus diperhatikan dan diamati ketika menafsirkan al-Qur‟an, seperti nāsikh-

mansūk. Latar belakang dan kepentingan yang berbeda-beda dari setiap orang

yang mendekati al-Qur‟an memunculkan berbagai persoalan. Salah satu yang

serius adalah munculnya asumsi adanya kontradiksi antar ayat di dalam al-

Qur‟an8 Kontroversial nasikh mansukh muncul pada kalangan Mufassir dan para

ulama sejak para ulama tafsir menemukan kontradiksi dalam ayat al-Qur‟an dan

kemudian terjadi perdebatan pendapat. Kontroversial ini kemudian berlanjut

dikalangan para ulama dari ulama pada masa klasik, pertengahan hingga

kontemporer, hal ini ditandai dengan munculnya argumen-argumen ulama yang

setuju maupun menolak adanya naskh dalam al-Qur'an.

8
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997), h. 144.

10
Perbedaan pendapat para ulama tentang ada tidaknya nāsikh-mansūk

dalam Al-Qur‟an disebabkan penafsiran mereka yang berbeda. Ada golongan

besar (Pro dan Kontra) yang berpendapat terkait keberadaan nāsikh-mansūk

diantaranya:

1. Pro dengan Nāsikh-Mansūk:

a. Imam al-Syafi‟i (150 H – 204 H)

Imam al-Syafi‟i menjelaskan dalam kitab al-Risalah bahwa adanya

nasikh mansukh merupakan bentuk rahmat bagi manusia dalam bentuk

rukhsah (keringanan) apabila hukum tersebut dihapuskan dan sebagai

kewajiban yang berbalas syurga atau keselamatan dari adzab-Nya apabila

hukum yang Allah tetapkan tetap berlaku dan tidak dihapuskan. Bebrapa

argumen Imam al-Syafi‟i dalam kitab al-Risalah:

1) Naskh al-Qur'an hanya bisa di nasakh oleh al-Qur'an

Imam al-Syafi‟i mengungkapkan argumennya bahwa Allah

hanya me-nasakh (menghapus) al-Qur'an dengan al-Qur'an dan al-

Sunnah tidak me-nasakh al-Qur'an melainkan mengikuti (menjadi

penjelas) al-Qur'an yang diturunkan dalam bentuk nash. Dalil

mengenai hal ini, Imam al-Syafi‟i mencantumkan firman Allah QS.

Yunus [10]: 15. yang artinya:

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami

yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan

11
pertemuan dengan Kami berkata,‟Datangkanlah al-

Qur'an yang lain dari yang ini atau gantilah

dia‟.Katakanlah,‟Tidaklah patut bagiku menggantinya

dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti melainkan

apa yang diahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut

jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar

(Kiamat).”

Ayat di atas menjelaskan bahwa hanya Allah yang me-nasakh

kitab-Nya. Rasulullah hanya mengikuti apa yang diwahyukan

kepadanya, serta tidak ada kewenang bagi Rasulullah untuk mengganti

sesuai dengan dirinya.9

2) Nasikh-Mansukh dalam al-Sunnah

Nasikh Mansukh dalam al-Sunnah Imam al-Syafi‟i

mengemukakan argumen mengenai nasikh mansukh dalam al-Sunnah

bahwa sebagaimana al-Qur‟an hanya bisa di-nasakh oleh al-Qur‟an

karena tidak ada yang serupa dengan al-Qur‟an, maka berlaku pula hal

tersebut pada al-Sunnah. Sunnah Rasulullah bersumber dari Allah,

sehingga orang yang mengikuti sunnah Rasulullah berarti

telahmengikuti landasan kitab Allah. Apabila al-Sunnah sedemikian

jelasnya, maka dalam al-Sunnah tidak ada ucapan manusia pun yang

9
Imam al-Syafi‟i, al-Risalah, Edisi terjemahan, (Jakarta selatan: Penebit Buku Islam
Rahmatan),h.211-212.

12
serupa dengan al-Sunnah. Sehingga sebagaimana al-Qur‟an yang

memiliki nash yang jelas, maka al-Sunnah pun hanya dapat di nasakh

oleh al-Sunnah.

b. Ibn Hazm ( 364 H – 456 H )

Argumen Ibnu Hazm dalam kitabal-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Beliau

menjelaskan bahwa naslkh bermakna berakhirnya masa awal dalam hal-

hal yang tidak berulang.10 Ibnu Hazm mempunyai pendapat bahwa boleh

melakukan Nasakh al-Qur‟an dengan al-Sunnah dengan alasan bahwa

kedudukan dan kekuatan al-Qur‟an dan al-Sunnah adalah sama. Argumen

ini berdasar pada hakikat al-Qur‟an dan al-Sunnah adalah wahyu yang

diturunkan Allah kepada nabi Muhammad.11 Sebagaimana dijelaskan

dalam QS. An-Najm [53] ayat 3 dan 4 yang artinya: “Dan tiadalah yang

diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.

Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa tindakan Nabi, baik perkataan

maupun diam (ketetapan) nya merupakan wahyu dari Allah. Oleh karena

itu, menasakh hukum yang terdapat dalam al-Qur‟an dengan al-Sunnah

itu diperbolehkan, karena sama berasal dari Allah. Hal ini berlaku pula

pada nasakh al-Sunnah (Hadits) dengan al-Qur‟an diperbolehkan.12

c. Imam Jalaluddin al-Suyuti ( 849 H – 911 H )

10
Ibnu Hazm, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kitab al-Islamiyyah, 1985),h. 475.
11
Ibnu Hazm , h. 518
12
Ibnu Hazm , h. 519

13
Argumen Imam Jalaluddin al-Suyuti dalam kitab al-Itqan fi Ulum al-

Qur‟an menjelaskan bahwa makna naskh sebagai penghapusan,

penggantian, dan/atau pemindahan. Imam Jalaluddin al-Suyuti dalam

kitab al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an mengenai makna naskh yang bermakna

penghapusan, sebagaimana dalam firman Allah QS. Al-Hajj [22] ayat 52

yang artinya: “Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan

itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya”.

Nasikh Mansukh dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah. Mengenai adanya

argumen yang berbeda dalam nasakh al-Qur‟an dengan al-Sunnah, bahwa

al-Qur‟an hanya dapat di nasakh oleh al-Qur‟an. Ada pula argumen

bahwa al-Qur‟an dapat di nasakh oleh al-Sunnah karena al-Sunnah juga

berasal dari sisi Allah. Serta mengenai argumen yang menyatakan bahwa

hanya al-Sunnah yang bersumber dari perintah Allah yang dapat

menasakh al-Qur‟an. Imam Jalaluddin al-Suyuti mempunyai pendapat

yang sama dengan Imam al-Syafi‟i dengan mengutip perkataan Imam al-

Syafi‟i.

Imam Jalaluddin al-Suyuti mengemukakan dua pendapat (argumen)

apabila terdapat pertanyaan mengenai hikmah dari adanya penghapusan

hukum sedangkan bacaannya masih tetap, yaitu:

1) Al-Qur‟an merupakan kalam Allah untuk dibaca dan diketahui

hukumnya serta diamalkan kemudian Allah memberi pahala

kepada pembacanya. Sehingga bacaan ayat yang kontradiksi dapat

14
diamalkan sebagaimana maksud Allah menurunkan ayat al-

Qur‟an untuk diamalkan oleh hamba-Nya.

2) Adanya nasakh pada dasarnya rukhsah (keringanan). Maka

dengan bacaan yang tetap dapat mengingatkan terhadap nikmat

Allah dan menghilangkan kesulitan.13

2. Kontra dengan Nāsikh-Mansūk

a. Al-Razi (544 H – 606 H)

Menurut al-Razi pada dasarnya tidak ada nasakhdalam al-Qur‟an. Al-

Razi melemahkan pendapat ulama yang mendukung adanya naskh dengan

dalil yang kuat, yaitu ayat al-Qur‟an QS. Al-An‟am [5] ayat 106 yang

artinya: “Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu;

tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.”

Al-Razi menjadikan ayat tersebut dalil tidak adanya naskh dalam al-

Qur‟an. Yang dimaksudkan diwahyukan kepadamu adalah seluruh isi al-

Qur‟an, sehingga tidak ada ayat (wahyu) yang dihapuskan (tidak diikuti)

dalam al-Qur‟an.14

b. Ahmad Mustafa al-Maraghi (1300 H – 1371 H)

Tidak terdapat ayat mansukh satu pun di dalam al-Qur‟an Ahmad

Hassan memberi makna naskh dengan makna izalah (menghapus)

sebagaimana pandangan jumhur ulama. Namun, mengenai adanya nasikh

13
Imam Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Terjemah: Ulumul Qur‟an II, (Surakarta:
Indiva Pustaka, 2009), h. 175-190.
14
Firdaus, Studi Kritis Tafsir Mafatih al-Ghaib, Jurnal Mubarak, Vol 3, No. 1 (Sinjai, 2018),h. 59.

15
dan mansukh Ahmad Hassan tidak menganggap keduanya terjadi di

dalam al-Qur‟an. Pada pendahuluan tafsir al-Furqan Ahmad Hassan

menyatakan bahwa di dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang menjadi

nasakh (nasikh) terhadap ayat-ayat yang berisi syariat pembolehan dan

larangan. Namun terhadap mansukh, Ahmad Hassan menyatakan kembali

bahwa tidak terdapat ayat yang mansukh di dalam al-Qur‟an.15

Pandangan Ahmad Hassan tersebut dikemukakan dengan penjelasan

bahwa di dalam al-Qur‟an tidak ada satu pun ayat yang menunjukkan

bahwa ayat tertentu mansukh oleh ayat lain. Di dalam hadits pun tidak

terdapat hal tersebut (mansukh) dan tidak ada satu pun hadits yang

menyatakan adanya ayat-ayat yang mansu>kh di dalam al-Qur‟an.

Kemudian beliau juga berpendapat bahwa yang di nasakh bukanlah

ayat-ayat al-Qur‟an melainkan mukjizat. Pandangan Ahmad Hassan

mengenai kata ayah dalam dalil adanya nasikh mansukh oleh jumhur

ulama yaitu QS. Al-Baqarah [2] ayat 106, mukjizat bukan kata ayah

bermakna ayat melainkan kata ayah bermakna mukjizat. Berdasarkan

argumen Ahmad Hassan sebelumnya, ayat di atas bermakna bahwa Allah

menghapus/mengganti atau Allah menjadikan manusia lupa kepadanya,

15
Ahmad Zuhri, Jididn Mukti. Analisis Pandangan Ahmad Hssan terhadap Nasakh dalam al-Qur'an,
Jurnal Ibn Abbas, Vol. 4, No.1, (Medan: UIN Sumatera Utara, September 2021), h. 63.

16
kemudian Allah menggantinya dengan mukjizat yang lebih baik atau

sebanding dengannya.16

c. Ahmad Hassan (1305 H – 1378 H)

Nasakh menurut pengertian syara‟ merupakan habisnya masa berlaku

suatu hukum ayat. Jika suatu ketika hukum tersebut tidak dibutuhkan lagi,

dengan sendirinya hukum tersebut sudah habis masa berlakunya.17

d. Hasbi ash-Shiddiqie (1321 H – 1395 H)

1) Tidak ada ayat yang kontradiksi (bertentangan) dalam al-Qur'an

Hasbi mengemukakan bahwa di dalam al-Qur'an tidak terdapat

kontradiksi ayat yang satu dengan ayat yang lain. Jika memang ada

ayat yang bertentangan maka hal itu bukan dari Allah. Disebutkan

dalam QS. Al-Nisa [4] ayat 82 yang artinya: "Maka apakah mereka

tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan

dari sisi Allah tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak

di dalamnya". Ayat tersebut menurut pandangan Hasbi menjelaskan

bahwa sesuatu yang berasal dari Allah tidaklah ada pertentangan,

sehingga jelaslah bahwa seluruh ayat di dalam al-Qur‟an tidak

mungkin terjadi pertentangan atau kontradiksi.

2) Dalil tidak adanya nasakh dalam al-Qur‟an

16
Ahmad Zuhri, h. 64.
17
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,(Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), h. 158.

17
Hasbi ash-Shiddiqie menanggapi argumen pendukung nasikh

masukh mengenai dalil adanya naskh dengan mengutip argumen Abu

Muslim al-Ishfahani yang mengatakan jika didalam al-Qur‟an ada

ayat yang di-mansukh-kan, berarti telah membatalkan sebagian

isinya, membatalkan tersebut berarti menetapkan bahwa di dalam al-

Quran itu ada yang batal. Padahal Allah berfirman dalam QS.

Fus}s}ilat [41] ayat 42 yang artinya: “Yang tidak datang kepadanya

(al-Qur‟an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang

diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.

Berdasarkan ayat di atas, Abu Muslim al-Isfahani mengatakan

bahwa ayat-ayat dalam al-Qur'an tidak ada yang batal. Hasbi

menambahkan bahwa al-Qur'an merupakan pedoman syariat yang

diabadikan sampai hari kiamat dan menjadi hujjah bagi manusia.

Oleh karena tidak patut terdapat yang mansukh dalam al-Qur'an.

Allah menyatakan tidak ada yang bertentangan di dalam al-Qur‟an

sehingga tidak mungkin terdapat ayat mansukh di dalam al-Qur‟an.18

D. Implikasi Filosofis Nasikh Mansukh

Al Quran merupakan sumber hukum tertinggi didalam kehidupan umat

manusia terutama umat Islam. Kita selalu menjalankan hukum-hukum syara‟

yang telah tercantum didalam Alquran, tetapi dengan seiring berkembangnya

18
Hasbi ash-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan tafsir, cet.III, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2010), h. 94-95.

18
zaman, kehidupan masyarakat telah berbeda. Dahulu Allah Swt menurunkan

ayat-ayat Alquran untuk dijadikan jawaban atas masalah-masalah yang terjadi

pada masa itu, yang hingga saat ini hukum itu masih dipergunakan. Sehingga

hal tersebut menjadikan hukum seperti kaku dan tidak bisa pula menjadi

jawaban atas masalah-masalah yang terjadi pada masyarakat saat ini.19

Keterbukaan Alquran memberikan kesempatan bagi siapapun untuk

memahami, membaca dan juga menafsirkan Alquran. Tetapi ketika

menafsirkan Alquran, ada beberapa hal yang harus diperhatikan salah satunya

adalah nasikh mansukh, karena dalam penerapannya nasikh mansukh

memiliki implikasi filosofis pada penafsiran Alquran. Implikasi tersebut jika

dilihat dari dua periode, yaitu terdapat pada periode klasik dan periode

kontemporer atau modern.

1. Periode Klasik

Makna naskh yang ditetapkan oleh para ulama ialah mengangkat atau

menghapuskan hukum syara‟ dengan hukum syara‟ lainnya. Para ulama yang

menganut teori naskh mengakui proses tahapan pengiriman wahyu ilahi yaitu

dengan penyesuaian pada realitas yang berkembang, bahwa Nabi Muhammad

SAW diutus ditengah masyarakat jahiliyah yang notabenenya tidak mengenal

agama, yang mana jika hukum itu sekiranya diberikan secara sekaligus maka itu

akan membuat masyarakat berat untuk menerimanya, sehingga diturunkanlah

19
Risa Fadhilah, “Konsep Nasikh Mansukh Di Era Modern Dalam Prespektif Imam Al-Tabathaba‟i”,
Jurnal Studi Hukum Islam: Isti’dal, no.(2021):307.

19
hukum tersebut secara tahap demi tahap, sesuai dengan kebutuhan hukum waktu

itu. Maka jika ada hukum yang dinaskh itu bukan hukum yang berlaku abadi.

Jumhur ulama, berpendapat bahwa naskh adalah suatu hal yang dapat diterima

akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara‟.20 Dalilnya adalah:

ِ ‫ت و ِعْن َدهُ اُُّم الْ ِكت‬ ِ ۤ


‫هب‬ ْ ‫ي‬‫و‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ّ‫َيَْ ُحوا ه‬
َ ُ ُ َ ُ ‫الِلُ َما يَ َش‬
‫ب‬ ‫ث‬

Artinya: “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa

yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (QS. Ar-

Rad/13:39).

Konsep naskh yang dibawa oleh para ulama klasik adalah berdasarkan Alquran

surat An-Nahl ayat 101, yaitu:

‫ت ُم ْف َ ٍۗت بَ ْل اَ ْكثَ ُرُى ْم ََ يَ ْعلَ ُم ْو َن‬ ِ ِ


َ ْ‫الِلُ اَ ْعلَ ُم ِبَا يُنَ ِّزُل قَالُْٓوا اََّّنَآ اَن‬
ٍ ِ
ّ‫َواذَا بَ َّدلْنَآ اهيَةً َّم َكا َن اهيَة َّۙو ه‬

Artinya: “Dan apabila kami letakan suatu ayat ditempat ayat yang lain sebagai

penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka

berkata: “Sesunguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan

kebanyakan mereka tiada mengetahui (QS.An-Nahl/16:101).

Dengan mempertimbangkan bahwa ayat Alquran yang lebih awal turun

dihapuskan atau dibatalkan oleh ayat yang turun kemudian, dan

mencampuradukkan antara konsep naskh dengan konsep-konsep lainnya. Hal ini

20
Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Manna’ Khalil al-Qattan (Bogor: Litera AntarNusa, 2016),
334.

20
karena pendekatan antara tokoh-tokoh yang berbeda-beda sehingga menyebabkan

pemahaman yang dihasilkanpun ikut berbeda pula.21

Disamping itu, telah disepakati oleh para ulama bahwa terjadinya naskh itu

hanyalah pada masa Nabi Muhammad dan tidak terjadi naskh mansukh itu

sesudah nabi wafat.22 Kemudian jika konsep naskh diterapkan pada masa periode

klasik ini (padahal ulama cenderung memahami naskh adalah penghapusan) maka

implikasi yang sangat menonjol adalah mengurangi ayat-ayat al-Qur'an dan

mengurangi fungsi al-Qur'an sebagai hidayah. Karena harus "dibuang" maka tidak

layak untuk diamalkan, padahal ayat-ayat al-Qur'an yang diturunkan di Makkah

adalah ayat-ayat yang pokok dan sangat dibutuhkan oleh manusia.

2. Periode Kontemporer/Modern

Semakin berkembangnya modernisasi yang begitu pesat, membuat segala

sesuatu menjadi jauh, mulai dari cara berpikir, berperilaku, kebiasaan dan segala

sesuatu yang serba digital dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tidak dapat

dipungkiri bahwa hal ini akan mengubah hukum yang ada di masyarakat, dengan

menyesuaikan kehidupan manusia. Sebab tidak mungkin hukum yang ada di

masyarakat disamakan dengan hukum yang terdahulu, karena situasi dan

kondisinya yang jauh berbeda. Kontroversi nasikh mansukh terus menjadi

21
Rolly,”Al-Nasikh Wa Al-Mansukh dan Implikasinya Dalam Penafsiran Al-Qur‟an”(Undergraduate
thesis,Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003).
22
https://aliboron.wordpress.com/2010/10/25/nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran-berbagai-
perspektif/

21
perdebatan karena perbedaan pendapat dari para ulama, sehingga dalam hal ini

menjadikan Alquran semakin abstrak jika tidak dikaji melalui banyak pendekatan.

Menurut salah seorang ulama kontemporer yaitu Abdullah Ahmed An-Na‟im,

bahwa naskh bisa saja memiliki arti penghapusan atau penangguhan ayat yang

datang belakangan oleh ayat yang turun terlebih dahulu, apabila memang kondisi-

kondisi kontemporer membutuhkannya, dan ayat yang mansukh apabila

diperlukan maka dapat kembali diaktifkan pada kesempatan lain sesuai dengan

kebutuhannya. Maka ini yang dimaksud dengan “intiqal min nas ila nas” yaitu

peralihan dari teks yang telah berfungsi sesuai dengan tujuannya ke teks lain yang

tertunda menunggu waktu yang tepat. Cara kerja naskh yang dilakukan oleh

ulama terdahulu untuk menghasilkan hukum syara‟ adalah dengan menggunakan

ayat madaniyah sebagai nasikh dan ayat makkiyah sebagai mansukh. Berbeda

dengan ulama kontemporer yaitu Abdullah Ahmed An-Na‟im yang menggunakan

nasakh sebagai metodologi untuk melahirkan syari‟ah modern dengan cara

sebaliknya, karena menurut beliau ayat Makiyah adalah ayat yang bersifat

universal dan tidak diskriminatif, lebih relevan bagi kehidupan umat manusia saat

ini atau modern.23

Sehingga dalam periode kontemporer atau modern, implikasi penerapan naskh

pada penafsiran al Qur'an adalah menjadikan pemahaman dan kesempurnaan al

qur'an secara utuh dan mampu menjawab tantangan zaman. Hal ini disebabkan

23
Ahmad Taufiq, “Pemikiran Abdullah Ahmed An-Naim tentang Dekontruksi Syariah sebagai Sebuah
Solusi”, International Journal Ihya’ Ulum Al-Din, no.2(2018): 160.
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/ihya/article/view/4044/Pemik%20an-Naim

22
oleh tidak adanya naskh dalam arti penghapusan, maka ayat-ayat yang disebut

oleh ulama modern sebagai nasikh, sesungguhnya adalah penangguhan sampai

dimana ayat-ayat tersebut cocok dan dapat diterapkan pada suatu masa tertentu.

Sejumlah ulama meyebutkan bahwa ada beberapa hikmah yang dapat diambil

dari terjadinya penerapan naskh didalam al-Qur‟an, yaitu diantaranya:

a. Menunjukkan adanya konsep rububiyah, karena dengan naskh dapat

membuktikan bahwa atas kuasa Allah lah syariat Islam dapat diubah serta

ditetapkan.

b. Sebagai bentuk ujian bagi kita untuk membuktikan dengan jelas golongan

umat yang memilih taat pada syariat atau golongan umat yang memilih

untuk menentang.

c. Menghendaki kebaikan sekaligus menghilangkan kesulitan bagi seorang

hamba pada beberapa hukum guna kemaslahatan umat. Sebab ketika

naskh tersebut berubah menjadi hukum yang semakin berat tentu akan

menambah pahala didalamnya, sedangkan ketika naskh berubah menjadi

hukum yang semakin ringan tentu ada keringanan didalamnya.

d. Bentuk perhatian dan kasih sayang Allah pada kemaslahatan hamba-Nya,

dimana hal tersebut merupakan tujuan pokok adanya syariat agama Islam

Rahmatan lil 'Alamin.

23
e. Dapat menaikkan tingkat iman kita kepada Allah SWT tentang kejadian

apapun yang telah berlalu atas seizin-Nya di dunia ini.24

24
Anita Rahmalia dan Ridho Pramadya Putra, “Nasikh Wa Al-Mansukh”, El-Mu’jam:Jurnal Kajian Al
Qur’an dan Hadis, no.1(2022):36-37 https://ejournal.iainu-kebumen.ac.id/index.php/el-mujam

24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nasikh mansukh merupakan salah satu metode dalam ulumul Qur‟an

dimana didalamnya menerangkan tentang penghapusan ayat atau hukum yang

terkandung dalam Al-Qur‟an. Diantaranya terdapat pernghapusan antara Al-

Qur‟an dengan Al-Qur‟an, Al-Quran dengan As-Suunah (Ahad & Mutawatir),

As-Sunnah dengan Al-Qur‟an dan As-Sunnah dengan As-Sunnah (Mutawatir

dengan Mutawatir, Ahad dengan Ahad, Ahad dengan Mutawatir dan Mutawatir

dengan Ahad).

Macam-macam Nasikh Mansukh ada tiga yaitu pengahapusan lafadz

namun tidak dengan hukumnya, penghapusan hukum namun tidak dengan

lafadznya dan pengahapusan lafadz beserta hukumnya. Sehingga tidak semerta-

merta dihapuskan namun ada beberapa faktor dan penyebab sehingga

penghapusan hanya pada bagian tertentu dan salah satunya saja dan terdapat

beberapa ulama‟ yang menerima dan menolak pada konsep Nasikh Mansukh

dalam Al-Qur‟an sesuai dengan dalil dan pandangan ulama‟ sehingga tidak bisa

disalahkan salah satunya.

Perkembangan Al-Qur‟an selalu diperhatikan dari zaman sahabat hingga

kini sehingga terdapat dua zaman dalam pengajiannya yakni zaman klasik dan

zaman modern dengan pemahaman dan pendekatan yang memiliki perbedaan

sesuai perkmebangan zaman namun hal ini memiliki hikmah yang dapat diambil

25
dan dijadikan pelajaran dengan adanya Nasikh Mansukh pada Al-Qur‟an yaitu

menunjukkan konsep rububiyah, menghendaki kebaikan dan menghindari dari

kaburukan, menambah keimanan dan sebagainya karena agama islam merupakan

agama rahmatan lilalamin.

B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat

bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari

bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan

kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.

26
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddiqie Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan tafsir, cet.III,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010)
Al-Syafi‟i Imam, al-Risalah, Edisi terjemahan, (Jakarta selatan: Penebit Buku Islam
Rahmatan)
AS Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Manna’ Khalil al-Qattan (Bogor: Litera
AntarNusa, 2016)
Arsyad M. Almakki, “Sejarah Al-Qur‟an dan Nasikh Mansukh”, Fikruna,
(Yogyakarta: Vol.4, No.2, 2022) View of SEJARAH AL-QUR'AN DAN
NASIKH MANSUKH (stitibnurusyd-tgt.ac.id)
Drajat Prof. Dr. H. Amroeni, M. Ag., Ulumul Qur’an (Pengantar Ilmu-Ilmu Al-
Qur’an), (Kencana: Jakarta, 2017)
Fadhilah Risa, “Konsep Nasikh Mansukh Di Era Modern Dalam Prespektif Imam Al-
Tabathaba‟i”, Jurnal Studi Hukum Islam: Isti’dal, no.(2021)
Firdaus, Studi Kritis Tafsir Mafatih al-Ghaib, Jurnal Mubarak, Vol 3, No. 1 (Sinjai,
2018)
Hazm Ibnu, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kitab al-Islamiyyah, 1985)
Hazyimara Karunia, “Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur‟an”, Setyaki, (Makassar:
Vol.1, No.1, 2023) View of The Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur‟an
(kalimasadagroup.com)
Jalaluddin Imam al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Terjemah: Ulumul Qur‟an II,
(Surakarta: Indiva Pustaka, 2009)
Masrur Imam, “Konsep Nasikh Mansukh Jalaluddin As-Suyuti dan Implikasi Metode
Pengajaran di Perguruan Tinggi”, Realita, (Kediri: Vol. 16, No.1, 2018)
http://jurnallppm.iainkediri.ac.id/index.php/realita/article/view/65/61
Mustafa Ahmad al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,(Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2006)
Nahdliyyin Khoiron, Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an,
(Yogyakarta: LKiS, 2005)
Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur‟an
https://aliboron.wordpress.com/2010/10/25/nasikh-dan-mansukh-dalam-al-quran-
berbagai-perspektif/

27
Quraish M. Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1997)
Rahmalia Anita dan Ridho Pramadya Putra, “Nasikh Wa Al-Mansukh”, El-
Mu’jam:Jurnal Kajian Al Qur’an dan Hadis, no.1(2022) https://ejournal.iainu-
kebumen.ac.id/index.php/el-mujam
Rolly ”Al-Nasikh Wa Al-Mansukh dan Implikasinya Dalam Penafsiran Al-
Qur‟an” (Undergraduate thesis, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2003).
Taufiq Ahmad, “Pemikiran Abdullah Ahmed An-Naim tentang Dekontruksi
Syariah sebagai Sebuah Solusi”, International Journal Ihya’ Ulum Al-Din,
no.2(2018)
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/ihya/article/view/4044/Pemik%20an-Naim
Zuhri Ahmad, Jididn Mukti. Analisis Pandangan Ahmad Hssan terhadap
Nasakh dalam al-Qur'an, Jurnal Ibn Abbas, Vol. 4, No.1, (Medan: UIN Sumatera
Utara, September 2021)

28

Anda mungkin juga menyukai