Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

“ PRA SYARAT DAN SYARAT-SYARAT MUFASIR”


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tafsir

Dosen pengampu :
Dr. Muhammad Asrori, M.Pd.I

Disusun oleh :

Imelda Vera (012110090)


Himatur Rosyidah (012110089)
Muhammad Asy’ari Hidayahtullah (012110096)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan segala


rahmat dan anugerah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Pra syarat dan syarat-syarat mufasir ” secara tepat waktu. Tidak lupa
shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Ilmu Tafsir. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menabah wawasan, baik bagi para pembaca maupun bagi
penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Muhammad
Asrori, M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu Tafsir yang telah
membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
dengan sebaik baiknya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang turut terlibat dalam
penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa masih terdapat berbagai
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, baik dalam segi kepenulisan maupun
materi. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan untuk
menjadi acuan penulis yang lebih baik di masa mendatang. Akhir kata, kami
berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Kami juga
mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat perkataan yang tidak
berkenan di hati para pembaca.

Lamongan, 24 September 2022

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................
1.1 LATAR BELAKANG..........................................................................................................
1.2 RUMUSAN MASALAH......................................................................................................
1.3 TUJUAN...............................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................
2.1 SYARAT-SYARAT MUFASSIR........................................................................................
2.2 ADAB SEORANG MUFASSIR..........................................................................................
2.3 URGENSI DALAM PENAFSIRAN....................................................................................
BAB III PENUTUP.....................................................................................................................
KESIMPULAN.........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................

II
III
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tafsir merupakan sarana untuk memahami al-qur’an secara lebih detail.


Tafsir mempunyai peranan yang sangat penting dalam menggali dan memahami
ayat-ayat al-qur’an.1 Seperti yang sudah kita ketahui bahwa ayat-ayat al-qur’an
tidak semua ayat bisa difahami langsung ketika membacanya. Bahasa yang
digunakan dalam al-qur’an tidak satu pun makhluk tuhan dapat menandingi
walaupun hanya satu kata. Penafsiran sangat dibutuhkan untuk dapat memahami
kandungan yang dimaksud dalam ayat-ayat al-qur’an, mengingat al-qur’an
sebagai sumber hukum yang utama. Akan tetapi tidak semua penafsiran dapat
diterima dan diaplikasikan begitu saja. Perlu ditinjau dari beberapa sisi, apakah
penafsiran yang ada dapat diterima atau tidak.

Ada penafsiran tentu saja ada yang menafsirkan. Orang yang melakukan
disebut dengan mufassir. Tidak semua orang penafsirannya dapat diterima.
Adapun syarat yang harus dipenuhi agar penafsirannya dapat diterima. Selain
syarat, mufassir juga harus mempunyai adab yang dapat diteladani. Adapun para
ulama’ telah merumuskan syarat dan adab yang harus ada pada diri seorang
mufassir. Terpenuhinya syarat adab mufassir menjadi syarat diterimanya
penafsiran. Oleh karnanya, perlu mengetahui syarat dan adab mufassir agar tidak
dangan mudah menerima dan mengaplikasikan penafsiran yang ada.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa saja syarat-syarat mufassir ?
2. Jelaskan adab seorang mufassir ?
3. Jelaskan Urgensi Dalam Penafsiran ?
1.3 TUJUAN
1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 307
1. Memahami syarat-syarat mufasir.
2. Memahami adab seorang mufasir.
3. Memahami urgensi dalam penafsiran.

BAB II

2
PEMBAHASAN

2.1 Syarat-Syarat Mufassir

Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril


kepada manusia pilihan dan penutup segala nabi dan rosul yaitu nabi Muhammad
SAW. Al-Qur’an itu diriwayatkan secara mutawatir dan bernilai ibadah
membacanya. Ia juga sebagai petunjuk dan pedoman sepanjang masa bagi mereka
yang menginginkan keselamatan, ketenangan dan kebahagiaan hidup didunia dan
diakhirat. Sedangkan bagi mereka yang tidak memperdulikan bahkan tidak
menginginkan al-Qur’an sebagai petunjuk maka al-Qur’an malah menjadikannya
sebagai beban yang menyesatkan hati dan fikiran, serta semakin jauh dari
kebenaran ilahi, bahkan diakhirat mereka tidak bisa membantah dan berdalih tidak
tahu dan kepada mereka yang ditimpakan siksaan yang sangat pedih. Sebagai
petunjuk maka al-Qur’an harus dimiliki, dibaca, dipahami, dan diamalkan serta
diajarkan kepada yang lainnya. Maka untuk memahami al-Qur’an, banyak orang
menempuh berbagai cara seperti membaca terjemahannya, melihat tafsirannya
dalam kitab-kitab tafsir dan lain-lain. selanjutnya dalam memahami dan
melakukan penafsiran al-Qur’an, maka harus memperhatikan beberapa syarat-
syarat sebagai mufassir, sedangkan para ulama telah menyebutkan syarat-syarat
yang harus dimiliki setiap mufassir yang dapat kami ringkaskan sebagai berikut.

1) Akidah yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya
dan seringkali mendorongnya untuk meng ubah nas-nas dan berkhianat dalam
penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka
dita'wilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya dan
membawanya kepada mazhabnya yang batil guna memalingkan manusia dari
mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.
2) Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk
membela kepentingan mazhabnya sehingga in menipu manusia dengan kata-

3
kata halus dan keterangan menarik seperti dilakukan golongan Qadariah, Syi'ah
Rafidah, Mu'tazilah dan para pendukung fanatik mazhab sejenis lainnya.
3) Menafsirkan, lebih dahulu, Qur'an dengan Qur'an, karena sesuatu yang masih
global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang
dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4) Mencari penafsiran dari sunah, karena sunah berfungsi se bagai pensyarah
Qur'an dan penjelasnya. Qur'an telah menyebutkan bahwa semua hukum
(ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah. "Sungguh, Kami telah menurunkan
Kitab (Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau
mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu..."
(An-Nisa'/4: 105). Allah menyebutkan bahwa sunah merupakan penjelas bagi
Kitab. "Dan Kami turunkan az-Zikr (Qur'an) kepadamu, agar eng kau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
agar mereka memikirkan." (an-Nahl/16: 44). Oleh karena itu Rasulullah
mengatakan: "Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Qur'an dan
bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya," yakni sunah. Berkenaan
dengan ini Syafi'i berkata: "Segala sesuatu yang áputuskan Rasulullah adalah
hasil pemahamannya terhadap Qur'an." Contoh-contoh penafsiran Qur'an
dengan sunah ini cukup banyak jamlahnya dan telah didokumentasikan secara
tertib bersama surahsurah yang ditafsirkannya oleh penulis al-Itgan dalam
pasal terakhir kitabnya. Misalnya penafsiran as-sabil dengan az-zäd war rahilah
(bekal dan kendaraan), az-zulm (kezaliman) dengan asy syirk (kemusyrikan)
dan al-hisab al-yasir (hisab, perhitungan yang ringan) dengan al-'ard
(penampakkan sekilas).
5) Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunah, hendak lah meninjau
pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur'an
mengingat merekalah yang menyaksikan qarinah dan kondisi ketika Qur'an
diturunkan di samping mereka mempunyai pemahaman (penalaran) sempurna,
ilmu yang sahih dan amal yang saleh.
6) Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur'an, sunah maupun dalam
pendapat para sahabat maka sebagian besar ulama, dalam hal ini, memeriksa

4
pendapat tabiin (generasi setelah sahabat), seperti Mujahid bin Jabr, Sa'id bin
Jubair, 'Ikrimah maula (sahaya yang dibebaskan oleh) Ibn Abbas, 'Ata' bin Abi
Rabah, Hasan al-Basri, Masruq bin al-Ajda', Sa'id bin al-Musayyab, ar Rabi bin
Anas, Qatadah, Dahhak bin Muzahim dan tabiin lainnya. Di antara tabiin ada
yang menerima seluruh penafsiran dari sahabat, namun tidak jarang mereka
juga berbicara tentang tafsir ini dengan istinbat (penyimpulan) dan istidlal
(penalaran dalil) sendiri. Tetapi yang (harus) menjadi pegangan dalam hal ini
adalah penukilan yang sahih. Berkenaan dengan hal ini Ahmad berkata: "Tiga
kitab tidak mempunyai dasar; magāzi (tempat-tempat terjadinya suatu
pertempuran atau sanjungan dan pujian terhadap perbuatan baik seorang
tokoh), malāḥim (kisah peperangan) dan tafsir (penafsiran)." Maksudnya, tafsir
yang tidak bersandar pada riwayat-riwayat sahih dalam penukilannya.
7) Pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, ka rena Qur'an diturunkan
dalam bahasa Arab dan pemahamannya amat bergantung pada penguraian
mufradat (kosa kata) lafaz-lafaz dan pengertian-pengertian yang
ditunjukkannya menurut letak kata-kata dalam rangkaian kalimat. Tentang
syarat ini Mujahid berkata: "Tidak diperkenankan bagi orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang Kitabullah apabila ia tidak
mengetahui berbagai dialek bahasa Arab." Makna (suatu kata dalam bahasa
Arab itu) berbeda-beda di sebabkan perbedaan i'rab (fungsi kata dalam
kalimat). Maka atas dasar ini sangat diperlukan pengetahuan tentang ilmu
nahwu (gramatika) dan ilmu tasrif (konyugasi) yang dengan ilmu ini akan
diketahui bentuk-bentuk kata. Sebuah kata yang masih samar-samar maknanya
akan segera jelas dengan mengetahui kata dasar (masdar) dan bentuk-bentuk
kata turunan (musytaq)-nya. Demikian juga pengetahuan tentang keistimewaan
suatu susunan kalimat dilihat dari segi penunjukannya kepada makna, dari segi
perbedaan maksud nya sesuai dengan kejelasan atau kesamaran penunjukkan
makna, kemudian dari segi keindahan susunan kalimat-yakni tiga cabang ilmu
balagah (retorika); ma'āni, bayan dan badi'. Semua itu me rupakan syarat
sangat penting yang harus dimiliki seorang mufasir mengingat bahwa ia pun

5
harus memperhatikan atau menyelami maksud-maksud kemukjizatan Qur'an.
Sedang kemukjizatan ter sebut hanya dapat diketahui dengan ilmu-ilmu ini.
8) Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Qur'an, seperti
ilmu qira'ah karena dengan ilmu ini di ketahui bagaimana cara mengucapkan
(lafaz-lafaz) Qur'an dan dapat memilih mana yang lebih kuat di antara berbagai
ragam bacaan yang diperkenankan, ilmu tauhid dengan ilmu ini di harapkan
mufasir tidak menta' wilkan ayat-ayat berkenaan dengan hak Allah dan sifat-
sifat-Nya secara melampaui batas hak-Nya, dan ilmu usul terutama usulut tafsir
dengan mendalami masalah masalah (kaidah-kaidah) yang dapat memperjelas
sesuatu makna dan meluruskan maksud-maksud Qur'an, seperti pengetahuan
tentang asbabun nuzul, nasikh-mansukh dan lain sebagainya.
9) Pemahaman yang cermat sehingga mufasir dapat mengukuhkan sesuatu makna
atas yang lain atau menyimpulkan makna sejalan dengan nas-nas syariat.2

2.2 Adab Seorang Mufasir

1) Berniat baik dan bertujuan bener, sebab amal perbuatan itu bergantung
pada niat. Orang yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu syariat hendaknya
mempunyai tujuan dan tekad membangun kebaikan umum, berbuat baik
kepada Islam dan mem bersihkan diri dari tujuan-tujuan duniawi agar
Allah meluruskan langkahnya dan memanfaatkan ilmunya sebagai buah
keikhlasannya.
2) Berakhlak baik karena mufasir bagai seorang pendidik yang didikannya itu
tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa a menjadi panutan yang diikuti
dalam hal akhlak dan perbuatan malia. Kata-kata yang kurang baik
terkadang menyebabkan siswa enggan memetik manfaat dari apa yang
didengar bahkan terkadang dapat mematahkan jalan pikirannya.
3) Taat dan beramal, Ilmu akan lebih dapat diterima oleh khalayak melalui
orang yang mengamalkannya ketimbang dan mereka yang hanya memiliki
ketinggian pengetahuan dan ke cermatan kajiannya. Dan perilaku mulia
2
Drs. Mudzakir AS, Studi ilmu-ilmu Qur’an, hlm.466-469

6
akan menjadikan masi sebagai panutan yang baik bagi (pelaksanaan)
masalah-masalah agama yang ditetapkannya. Seringkali manusia menolak
untuk dan dibacanya, menerima ilmu dari orang yang luas pengetahuannya
hanya karena orang tersebut berperilaku buruk dan tidak mengamalkan
ilmunya.
4) Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, sehingga mafa tidak berbicara
atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya.
Dengan cara ini ia akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.
5) Tawadu dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan
dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan
ilmunya.
6) Berjiwa mulia, Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal
yang remeh serta tidak mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa
bagai peminta-minta yang buta.
7) Vokal dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah
menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa dlalim.
8) Berpenampilan baik yang dapat menjadikan mufasir ber wibawa dan
terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara
duduk, berdiri dan berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-
paksakan.
9) Bersikap tenang dan mantap. Mufasir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam
berbicara tetapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas,
kata demi kata.
10) Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya. Seorang mufasir
hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan di hadapan orang yang lebih
pandai pada waktu mereka masih hidup dan tidak pula merendahkan
mereka sesudah mereka wafat. Tetapi hendaknya ia menganjurkan belajar
dari mereka dan membaca kitab-kitabnya.
11) Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penaf siran secara baik,
seperti memulai dengan menyebutkan asbabun purul, arti kosa kata,
menerangkan susunan kalimat, menjelaskan segi-segi balagah dan i'rab

7
yang padanya bergantung penentuan makna. Kemudian menjelaskan makna
umum dan menghubungkan nya dengan kehidupan umum yang sedang
dialami umat manusia pada masa itu dan kemudian mengambil kesimpulan
dan hukum.

2.3 Urgensi Dalam Penafsiran

Urgensi tafsir terkait dengan kedudukan, sistem, tujuan, serta


keutamaannya, juga kaitannya dengan kompetensi praktis-religius maupun
pragmatis. Kedudukan tafsir dapat dipahami sebagai kunci representatif untuk
membuka tabir rahasia makna al-Qur’an. Kedudukan tersebut, dalam sistem ajaran
Islam berfungsi sebagai media (tariqah) untuk menggapai tujuan yang dikehendaki
dalam memahami makna Al-Qur’an, yakni memperoleh mutiara dan permata
sebagai simbol makna tertinggi di dalamnya.3 Pemahaman tersebut dijadikan
sebagai pegangan yang kokoh untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Sehingga,
kompetensi apapun yang berorientasi pada hal-hal profanik (duniawi) maupun
eskatologik (ukhrawi) secara langsung bergantung pada equilibrium pemahaman
terhadap makna yang terkandung dalam kalamullah sebagai sumber utama yuris
prudensi kehidupan.

Demikianlah keindahan tafsir dengan kepentingan praktis-religius maupun


pragmatis. Dari sini dapat dicerna secara aksentuatif akan mendesaknya kebutuhan
al-Qur’an. Pertama, menurut al-Shabuniy, tafsir merupakan kunci untuk membuka
gudang simpanan yang terhimpun dalam Al-Qur’an. Tanpa tafsir orang tidak akan
dapat membuka gudang simpanan tersebut untuk mendapatkan mutiara dan
permata yang ada di dalamnya.

Itulah sebabnya tafsir menjadi kebutuhan yang begitu penting. Karena


tanpa tafsir tentu tidak akan diperoleh pemahaman yang tepat terhadap berbagai
ayat Al-Qur’an. Kedua, dengan kalimat yang sedemikian romantis al-Suyutiy
menyatakan urgensi tafsir, demikian Tafsir adalah ilmu syari’at yang paling agung
3
M. Agus Yusron, Memahami Tafsir Dan Urgensinya. (2022) hal.76.

8
dan paling tinggi kedudukannya. Tafsir merupakan ilmu yang paling mulia objek
pembahasan dan tujuannya, serta dibutuhkan. Objek pembahasannya adalah
kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah dan tambang segala
keutamaan. Tujuan utamanya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan
mencapai kebahagiaan hakiki. Sedangkan kebutuhan terhadapnya sangat mendesak
karena segala kesempurnaan agamawi dan duniawi haruslah sejalan dengan syara’,
sedang kesejalanan ini sangat bergantung pada pengetahuan tentang kitab Allah. 4
Menurut hemat penulis, urgensi tafsir pada saat ini sangat dibutuhkan di tengah
masyarakat modern, karena kampanye kebebasan berpikir, berekspresi, dan
berbuat semakin gencar dilakukan oleh kelompok liberal. Kondisi diperparah
dengan tersedianya media massa dan media social tanpa batas, yang menjangkau
seluruh manusia di berbagai belahan dunia. Masyarakat sangat membutuhkan
penafsiran-penafsiran ayat Al-Qur’an yang lebih segar, untuk mengaktifkan fungsi
Al-Qur’an itu sendiri sebagai hudan (petunjuk) atau adz-dzikr (pengingat), agar
tidak terjerumus pada kesesatan dan melampaui batas.

4
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, hal. 175

9
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, bisa disimpulkan bahwa Al-Qur’an sebagai


kalamullah memiliki posisi tertinggi dan termulia sebagai pedoman hidup
manusia. Sehingga aktivitas membaca, memahami, menafsirkan, mentadabburi
ayat-ayatnya merupakan salah satu ibadah teragung yang akan mengantarkan
kebahagiaan bagi umat manusia di dunia dan akhirat. Upaya memahami makna
ayat-ayat Al-Qur’an disebut dengan tafsir, tentu sesuai batas kemampuan masing-
masing ulama, karena tidak mungkin menggali dan mengeluarkan makna ayat-
ayat Al-Qur’an dengan kebenaran mutlak, sebagaimana yang diinginkan Allah
Swt. selaku pemilik kalam. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, dibutuhkan
bekal ilmu pengetahuan penunjang yang banyak (terutama Bahasa Arab dan
segala ilmu yang terkait dengannya), agar tidak sembarangan dalam menafsirkan.

Penafsir juga diharuskan memiliki akidah yang benar, memperhatikan


etika, dan tentu saja menghindari hawa nafsu ketika menafsirkan. Sehingga
petunjuk atau hukum yang ada pada ayat-ayat Al-Qur’an bisa memberikan
manfaat bagi manusia pada umumnya, bagi umat Muslim khususnya selaku
pembaca kitab suci tersebut. Selanjutnya, pesatnya teknologi dan media sosial
pada zaman sekarang mengakibatkan segala macam informasi atau ilmu
pengetahuan bisa didapatkan masyarakat dengan sangat cepat, termasuk tentang
Al-Qur’an dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Berdasarkan kondisi itu,
upaya penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama-ulama menjadi
sangat urgen, agar ilmu tentang Al-Qur’an yang sampai kepada masyarakat tidak
salah dipahami, yang membawa pada kesalahan dalam pengamalan. Terakhir,
beragamnya budaya dan sosial masyarakat Muslim di seluruh dunia, sedangkan
teks Al-Qur’an akan abadi sepanjang masa, sangat diperlukan
penafsiranpenafsiran baru yang bisa mengakomodir kebutuhan zaman dan sesuai

10
dengan konteks, sehingga arah hidup masyarakat tetap dalam bimbingan Al-
Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Yusron, M. Agus (2022), Memahami Tafsir Dan Urgensinya.

As-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulumil Qur’an.

Amin Suma, Muhammad (2003). Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers).

AS, Mudzakir. Studi ilmu-ilmu Qur’an.

11

Anda mungkin juga menyukai