Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM
MEMBANGUN PARADIGMA QUR’ANI

Dosen Pengampu : Muhisom, M.Pd.I

Disusun oleh :
Kelompok 5
1. Mardo Labayu (2215041057)
2. Hendra Widiansyah (2215041061)
3. Ayu Widia Sari (2215041083)

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis berupa makalah ini dengan baik dan tanpa suatu
kendala yang berarti. Tidak lupa kami dari kelompok 5 yang beranggotakan 3 orang, Yaitu:
1. Mardo Labayu (2215041057)

2. Hendra Widiansyah (2215041061)


3. Ayu Widia Sari (22215041083)
mengucapkan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam, Bapak Muhisom,
M.Pd.I., yang telah membimbing dan memberi arahan dalam penyusunan makalah ini. Begitu pula
kepada teman-teman seperjuangan yang telah memberi masukan dan pandangan kepada kami selama
menyelesaikan makalah ini. Makalah berjudul “MEMBANGUN PARADIGMA QUR’ANI” ini
disusun untuk memenuhi tugas semester 2 mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini.
Karenanya, kami menerima kritik serta saran yang membangun dari pembaca agar kami dapat
menulis makalah secara lebih baik pada kesempatan berikutnya.
Besar harapan kami makalah ini dapat bermanfaat dan berdampak besar sehingga dapat memberi
inspirasi bagi para pembaca.

Bandar lampung, 16 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2 Tujuan Pembelajaran...................................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN........................................................................................................................................2
2.1 Pengertian Al-Qur’an.....................................................................................................................2
2.2 Sejarah Penulisan dan Kodifikasi Al-Qur’an..................................................................................5
2.3 Ulumul Qur’an..............................................................................................................................13
2.4 Fungsi dan Peranan Al-Qur’an.....................................................................................................15
2.5 Pengertian Sunnah / Hadist.......................................................................................................20
2.6 Macam-Macam Sunnah / Hadist...............................................................................................22
2.7 Kedudukan dan Fungsi Hadist dalam Sumber Ajaran Islam......................................................28
BAB III..................................................................................................................................................31
PENUTUP.............................................................................................................................................31
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................34

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Qur’an adalah kalam Allah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
melalui perantaraan malaikat jibril, yang tertulis dalam mushhaf mulai dari surat
al-Fatihah sampai dengan surat anNas, disampaikan oleh Rasulullah secara mutawatir dan
membacanya bernilai ibadah.

Al-Qur’an mempunyai sekian banyak fungsi, diantaranya adalah menjadi bukti kebenaran Nabi
Muhammad SAW. Walaupun al-Qur’an menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad, tetapi fungsi
utamanya adalah menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia.

Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua telah dibukukan pada masa pemerintahan
Umar bin Abdul Aziz, khilafah kelima Bani Umayyah. Sedangkan sebelumnya hadits– hadits
Nabi SAW masih terdengar dalam ingatan para sahabat untuk kepentingan dan pegangan mereka
sendiri.

Umat Islam di dunia harus menyadari bahwa hadits Rasulullah SAW sebagai pedoman hidup yang
kedua setelah AlQur‟an. Tingkah laku manusia yaang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, cara
mengamalkannya, tidak dirinci dengan ayat AlQur‟an secara mutlak dan secara jelas, hal ini
membuat para muhaditsin sadar akan perlunya mencari penyelesaian dalam hal tersebut dengan al-
hadits.

1.2 Tujuan Pembelajaran


1. Mengetahui pengertian Al-Qur’an
2. Mengetahui sejarah penulisan dan kodifikasi Al-Qur’an
3. Mengetahui ulumul Qur’an
4. Mengetahui fungsi dan peranan Al-Qur’an
5. Mengetahui pengertian sunnah / hadist
6. Mengetahui macam-macam sunnah / hadist
7. Mengetahui kedudukan hadist dalam sumber ajaran islam

1
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Al-Qur’an


Kata Al Qur’an, secara etimologis, merupakan bentuk masdar dari kata kerja (fi’il) qara’a- yaqra’u,
sinonim dengan kata qiraah, berarti bacaan. Pengertian ini dapat dijumpai dalam QS. Qiyaamah ayat
17-18:

“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan itu.”
Mengenai kata Al Qur’an dan maknanya, ada ulama’ yang berpendapat lain diantaranya:
a. Imam Syafi’i (105 H- 204 H) salah satu dari empat madzhab yang mashur bahwa Al Qur’an tidak
merupakan musytaq (kata bentukan) dari apapun, ia merupakan nama yang secara khusus diberikan
oleh Allah untuk kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana kata Injil
dan Taurat yang juga khusus nama yang dipergunakan sebagai nama Kitabullah yang masing-
masing diturunkan kepada Nabi Isa AS dan Nabi Musa AS.
b. Imam Al Farra’ (wafat 207 H) kata Al Qur’an adalah kata musytaq (kata bentukan) dari kata qara
ina yang merupakan isim jama’ dari kata qariinah yang berarti petunjuk atau indikator. Alasan
pendapat ini adalah karena pada kenyataannya sebagian ayat-ayat Al Qur’an itu satu dengan yang
lainnya berfungsi sebagai qorinah atau petunjuk indikator terhadap yang dimaksud oleh ayat lain yang
serupa atau dengan kata lain ayat-ayat Al Qur’an satu dengan yang lain saling memberikan petunjuk.
c. Al-Asy’ari (wafat 324 H) tokoh aliran Sunni berpendapat bahwa kata Al Qur’an adalah musytaq
dari qarana yang artinya menggabungkan. Alasan pendapat ini karena dalam kenyataannya surat-
surat yang berjumlah 114 dan ayat-ayat yang jumlahnuya lebih dari 6600 dihimpun dan
digabungdalam satu mushaf.
d. Aj-Jujaj (wafat 311 H) penulis kitab Ma’anil Qur’aan berpendapat bahwa kata Al Qur’an adalah
mengikuti wazan fu’laanun dan ia musytaq (kata bentukan) al qar’u yang mengandung arti
penghimpunan. Karena Al Qur’an di dalamya menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci
sebelumnya.
Pengertian Al Qur’an menurut istilah (terminologi) terdapat banyak definisi (ta’rif). Hal demikian
karena diakibatkanoleh sudut pandang dari disiplin ilmu yang berbeda dan juga

2
panjang pendeknya definisi yang dibuat. Semakin banyak sifat-sifat al qur’an yang diungkapkan
dalam rumusan definisi, maka semakin panjang pularumusan definisi Al Qur’an tersebut. Sebaliknya
jika hanya sedikit sifat-sifat Al Qur’an yang dikemukakan, maka otomatis aakan menjadi pendek
definisi Al Qur’an itu.
Mari kita amati dan teliti beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama’ di bawah ini:
a. Syaikh Muhammad Khudari Beik dalam bukunya Tarikh At Tasyri al Islami bahwa Al Qur’an
adalah firman Allah yang berbahasa Arab, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk
dipahami isinya dan diingat selalu yang disampaikan dengan jalan mutawatir, ditulis dalam mushaf
yang dimulai dengan surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas. Dalam definisi tersebut ada
beberapa sifat dan unsur Al Qur’an yang dikemukakan:
1) Al Qur’an adalah berbahasa Arab.

2) Diturunkan kepaada Nabi Muhammad SAW.


3) Disampaikan dengan jalan mutawatir.

4) Ditulis dalam mushaf.


5) Dimulai dari surat Al Fatihah daan diakhiti dengan surat An Nas.

b. Syaikh Muhammad Abduh dalam kitabnya Risaalatu Tauhid, Al Kitab/ Al Qur’an ialah bacaan
yang tertulia dalam mushaf-mushaf yang terjaga dalam hafalan-hfalan umat Islam. Yang
diungkapkan definisi ini adalah:
1) Al Qur’an merupakan bacaan.

2) Tertulis dalan mushaf-mushaf.


3) Terjaga dalam hafalan-hafalan umat Islam

c. Dr. Shabhi As-Shalih, mengungkapkan bahwa Al Qur’an adalah Kitab Allah sebagia mukjizat
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang termaktub dalam mushaf- mushaf yang
disampaikan dengan jalan mutawatir yang bernilai ibadah balam membacanya. Unsur-unsur yang
ditonjolkan dalam definisi tersebut:
1) Al Qur’an adalah Kalam Allah yang mengandung kemukjizatan.

2) Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.


3) Ditulis dalam mushaf-mushaf.

4) Disampaikan dengan jalan mutawatir.


5) Bernilai ibadah dalam membacanya.

Bagi umat Islam Al Qur’an adalah kitab suci yang diagungkan dan dihormati, bukan saja karena ia
merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada seorang Rasul-Nya yang terakhir, tetapi ia merupakan
pedoman hidup way of life bagi mereka. Ia adalah penuntun dan

3
petunjuk bagi umat Islam untuk menjalani kehidupaannya di muka bumi sebagai seorang hamba dan
sekaligus sebagai pengatur (khalifah).
Al Qur’an adalah sebuah kitab petunjuk bagi manusia yang menyeru kepada jalan kehidupan yang
benar sehingga manusia mampu meraih kebahagiaan, kebajikan, dan kedamaian hidup di dunia.6 Ia
diwahyukan dalam bahasa Arab yang jelas: suatu eksposisi mendetail tertera dalam bahasa yang
mudah dipahami,diilustrasi dalam banyak perumpamaan, dan mengandung pemberitahuan tentang
hal-hal ghaib dengan cukup pembicaraan tentang segala sesuatu yang besar dan kecil, basah dan
kering.
Al Qur’an bukanlah merupakan sebuah buku dalam pengertian umum, karene ia tidak pernah
diformulasikan, tetapi diwahyukan secara berangsurangsur kepada Nabi Muhammad SAW sesuai
situasi yang menuntutnya, seperti yaang diyakini sampai sekarang, pewahyuan Al Qur’an secara total
dan secara sekaligus itu tidak mungkin karena Al Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi kaum
musliminsecara beraangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan- kebutuhan yang ada.
Al Qur’an merupakan sumber ajaran Islam, di dalamnya mengandung berbagai petunjuk manusia
yang disajikan daam berbagai bentuk, antara lain melalui bentuk kisah (cerita). Semua kandungan Al
Qur’an merupakan petunjuk untuk dijadikan pedoman manusia dalam menjalankan kehidupannya
agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Al Qur’an Al karim adalah kitab Allah yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulnya Muhammad
SAW berisi petunjuk guna menjadi pedoman hidup atay way of life umat manusia. Ajaran-ajaran
Al Quran begitu luas dan dalam. Sedangkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya lengkap,
selaras dengan tuntutan hati nurani manusia, kapan dan dimana saja mereka berada menjadi
rahmat bagi alam semesta : Rahmatan lil ‘alamiin. Isi kandungan Al Quran itu selanjutnya dapat
digali dan dikembangkan menjadi berbagai bidang.

Dalam banyak ayat, Al Qur’an mengajak manusia untuk melakukan pembacaan, memikirkan,
merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi
dengan berbagai macam isinya. Secara khusus, Al Qur’an mengajak manusia untuk mempelajari ilmu-
ilmu kealaman, metafisika, filsafat, sastra, dan semua ilmu yang dapat dicapai oleh pemikiran
manusia, yang semuanya untuk kesejahteraannya di dunia dan di akhirat.
Sebagai sumber utama yang tidak akan pernah surut, Al qur’aan banyak menawarkan gagasan dan
konsep-konsep yang perlu dijabarkan dalam bentuk operasional melalui bimbingan rasul, agar dapat
dirasakan kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak diragukan lagi, Al-Qur’an telah
meninggalkan dampaknya terhadap pribadi Rasulullah SAW, dan para sahabatnya. Aisyah istri
Beliau, telah memberikan kesaksian tentang hal itu, dikatakannya : Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.
Bahkan Allah SWT sendiri telah terlebih dahulu memberikan kesaksian itu dengan firman-Nya QS :
AlFurqan ayat 32

4
“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali
turun saja?"; demikianla supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara
tartil (teratur dan benar).”
Di dalam Al Qur’an termuat ajaran dan petunjuk tentang akidah, hukum, ibadah dan akhlak. Pada
intinya, Al Qur’an mengandung petunjuk tentang jalan hidup manusia kepada kebahagiaan dan
kesejahteraan. Al Qur’an berfirman dalam QS. Al isra’ ayat 9:

“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar
gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Al Qur’an merupakan firman atau kalam Allah SWT yang
disampiakan dalan bahasa Arab, diturunkan secara berangsur-angsur melalui malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang telah
tertulis dalam mushaf Utsmani dan telah dihafalkan secara baik oleh umat Islam sejak masa Nabi
Muhammad SAW sampai sekarang yang dimulai dari surat Al Fatihah sampai surat An Nas, merupakan
ibadah bagi pembacanya. Dan Al Qur’an adalah sumber yang harus dijadikan dasar hukum atau
pedoman dalam kehidupan umat manusia.

2.2 Sejarah Penulisan dan Kodifikasi Al-Qur’an


 Sejarah Penulisan Al-Qur’an
Ketika diturunkan satu atau beberapa ayat, Rasulullah saw langsung menyuruh para sahabat untuk
menghafalkannya dan menuliskannya di hadapan beliau. Rasulullah mendiktekannya kepada para
penulis wahyu. Para penulis wahyu menuliskannya ke dalam lembaran-lembaran yang terbuat dari
kulit, daun, kaghid, tulang yang pipih, pelepah kurma, dan batu-batu tipis. Mengenai lembaran-
lembaran ini Allah SWT berfirman:

5
Artinya: (yaitu) seorang utusan Allah (yakni Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang
disucikan (al-Qur`an) (QS. Al-Bayyinah [98]: 2)

Rasulullah saw mengizinkan kaum muslimin untuk menuliskan al-Qur`an berdasarkan apa yang
beliau diktekan kepada para penulis wahyu. Rasulullah saw bersabda: “janganlah kalian menulis dari
aku. Barangsiapa yang telah menulis dari aku selain alQur`an hendaknya ia menghapusnya”. (HR.
Muslim).
Rasulullah saw tidak khawatir dengan hilangnya ayat-ayat al-Qur`an karena Allah telah
menjamin untuk memeliharanya berdasarkan nash yang jelas:

Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]:9).

Rasulullah saw gembira dan ridha dengan al-Qur`an sebagai mukjizat terbesarnya yang dapat
digunakan sebagai hujjah terhadap orang-orang Arab maupun orang-orang di seluruh dunia Ketika
Nabi saw wafat, al-Quran secara keseluruhan sudah tertulis pada lembaran-lembaran, tulang-tulang,
pelepah kurma, dan batu-batu tipis, dan di dalam hafalan para sahabat ra.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa dalam sejarah penulisan Al-Qur’an terdapat empat periode
atau fase yaitu: pada periode Nabi Muhammad SAW, pada Periode Abu Bakar Shiddiq, pada
periode Usman bin Affan dan periode/fase Pemberian titik dan baris pada AlQur’an.

1. Penulisan Al-Qur’an di masa Rasulullah saw.


Pada masa Rasulullah masih hidup Al-Qur’an dipelihara sedemikian rupa, sehingga cara yang paling
terkenal untuk memelihara Al-Qur’an adalah dengan menghafal dan menulisnya.
Rasulullah di masa hidupnya menyampaikan wahyu kepada para sahabat dan memerintahkan agar
sahabat menghafalnya dengan baik. Apa yang diperintahkan oleh Rasulullah dapat dilaksanakan
dengan baik pula oleh para sahabat.
Al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur baik di Mekah maupun di Madinah sangat memudahkan
dokumentasi yang dilakukan para sahabat. Al-Qur’an tidak turun sekaligus seperti proses pembelian di
toko akan tetapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pada waktu itu.
Seperti yang diriwayatkan Ibnu Abbas : “Alquran diturunkan secara terpisah (perayat atau
beberapa ayat) tidak persurah, maka yang diturunkan di Mekah kami tetapkan di Mekah walaupun
penyempurnaannya di Madinah. Demikian juga yang diturunkan di Madinah,

6
bahwasanya Alquran itu dipisah antara satu surah dengan surah yang lain, apabila
turun Bismillahirrahmanirrahim maka mereka (para sahabat) mengetahui bahwa
surah yang pertama sudah selesai dan dimulai dengan surah yang lain”.
Atas perintah Nabi SAW, Al-Qur’an ditulis oleh penulis-penulis wahyu di atas pelepah
kurma, kulit binatang, tulang dan batu. Semuanya ditulis teratur seperti yang Allah
wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushaf. Di samping itu ada beberapa
sahabat yang menulis sendiri beberapa juz dan surat yang mereka hafal dari Rasulullah
saw.

2. Penulisan Al-Qur’an di masa Abu Bakar As Shiddiq.

Di masa pemerintahan Khalifatur Rasul Abu Bakar ash-Shiddiq ra, terjadi perang
Yamamah yang mengakibatkan banyak sekali para qurra’/ para huffazh (penghafal al-
Qur`an) terbunuh. Akibat peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab merasa khawatir
akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat al-Qur`an akibat wafatnya para huffazh. Maka
beliau berpikir tentang pengumpulan al-Qur`an yang masih ada di lembaran-lembaran.

Zaid bin Tsabit ra berkata: Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku tentang korban
Perang Ahlul Yamamah. Saat itu Umar bin Khaththab berada di sisinya. Abu Bakar ra
berkata, bahwa Umar telah datang kepadanya lalu ia berkata: “Sesungguhnya
peperangan sengit terjadi di hari Yamamah dan menimpa para qurra’ (para huffazh).
Dan aku merasa khawatir dengan sengitnya peperangan terhadap para qurra (sehingga
mereka banyak yang terbunuh) di negeri itu. Dengan demikian akan hilanglah sebagian
besar al-Qur`an. ”Abu Bakar berkata kepada Umar: “Bagaimana mungkin aku
melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul saw. ”Umar menjawab:
“Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik. ”Umar selalu mengulang-ulang kepada Abu
Bakar hingga Allah memberikan kelapangan pada dada Abu Bakar tentang perkara itu.
Lalu Abu Bakar berpendapat seperti apa yang dipandang oleh Umar. Zaid bin Tsabit
melanjutkan kisahnya. Abu Bakar telah mengatakan kepadaku, “Engkau laki-laki yang
masih muda dan cerdas. Kami sekalikali tidak pernah memberikan tuduhan atas
dirimu, dan engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah saw sehingga engkau selalu
mengikuti al-Qur`an, maka kumpulkanlah ia. ”Demi Allah seandainya kalian
membebaniku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, maka sungguh hal itu
tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku mengenai pengumpulan al-
Qur`an. Aku bertanya: “Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw? ” Umar menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang baik.
Umar selalu mengulang- ulang perkataaannya sampai Allah memberikan kelapangan
pada dadaku seperti yang telah diberikanNya kepada Umar dan Abu Bakar ra.

Maka aku mulai menyusun al-Qur`an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma,
tulang- tulang, dari batu-batu tipis, serta dari hafalan para sahabat, hingga aku
dapatkan akhir surat at-Taubah pada diri Khuzaimah al-Anshari yang tidak aku
temukan dari yang lainnya, yaitu: “Artinya: Sesungguhnya telah datang kepadamu

7
seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olenya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (QS. At-Taubah [9]: 128).

8
Pengumpulan al-Qur`an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan para huffazh
saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di hadapan Rasulullah saw. Lembaran-
lembaran al-Qur`an tersebut tidak diterima, kecuali setelah disaksikan dan dipaparkan di depan dua
orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran ini merupakan lembaran yang ditulis di hadapan
Rasulullah saw. Tidak selembar pun diambil kecuali memenuhi dua syarat:
1) Harus diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat.
2) Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.

Saking telitinya, hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti karena tidak bisa
dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat at-Taubah tersebut ditulis di
hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para sahabat tidak berani menghimpun
akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah,
bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil. Barulah
mereka menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebut.

Demikianlah, walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat al-Qur`an, namun mereka tidak hanya
mendasarkan pada hafalan mereka saja. Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan al-Qur`an yang
sangat berat namun sangat mulia ini. Perlu diketahui, bahwa pengumpulan ini bukan pengumpulan al-
Qur`an untuk ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang
telah ditulis di hadapan Rasulullah saw ke dalam satu tempat.

Lembaran-lembaran al-Qur`an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada
pada Umar bin al-Khaththab selama hidupnya. Kemudian bersama Ummul Mu`minin Hafshah binti
Umar ra sesuai wasiat Umar.

Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak
hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan
pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu
Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan
pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu,
dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu
Bakar mengatakan kepada Zaid
: “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak
meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan
mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang.
Mushaf tersebut berada ditangan Abu Bakar hingga beliau wafat, kemudian dipegang oleh umar hngga
wafatnya, dan kemudian dipegang oleh Hafsah Binti Umar bin khattab rahiyallahu ‘anhuma
diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.

9
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka
menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn
Abi Thalib ra. mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu
Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang
yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3. Penulisan Al-Qur’an di masa Usman bin 'Affan.


Untuk pertama kali Al-Qur’an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan
aslinya yang terdapat pada Hafshah binti Umar. (hasil usaha pengumpulan di masa Abu Bakar ra.).
Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan bacaan (untuk menghindari perselisihan di
antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit,
Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan AbdurRahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut
ditulis tanpa titik dan baris. Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan sisanya disebar ke
berbagai penjuru negara Islam.
 Kondisi Al-Qur’an
Tersebarnya Al-Qur’an di beberapa negeri ternyata berdampak negatif terhadap persatuan umat Islam
karena masing-masing daerah memiliki karakter bahasa dan dialek yang berbeda. Hal ini memicu
egosentris masing-masing pemegang mushaf di daerah dengan menyangka bahwa riwayat qiro’at
merekalah yang paling benar dan lebih baik dari qiro’at yang lain.
Yang lebih ironinya adalah timbul konflik antara murid-murid yang belajar AlQur’an dari guru
yang berbeda. Tak menghiraukan Al-Qur’an lagi dan tak menghormati guru (sahabat) yang
mengajar di antara mereka saling mengkafirkan yang lain.
 Gagasan pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf
Terjadi perbedaan cara membaca (qiro’at) di beberapa negara Islam. Maka, Usman menyatukannya
dalam satu bacaan yang sering dibaca Rasulullah. Dia satukan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan
bacaan tadi dan memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf yang lain. Ras Utsmani merupakan
bacaan kaum muslimin hingga masa kini.
Perilaku menyimpang dan terlalu gampang mengklaim kafir terhadap sesama muslim itu akhirnya
didengar oleh Usman bin Affan. Berita tersebut merisaukan Usman dan menjejaskan persatuan umat.
Menyikapi berita itu dia berpidato di hadapan kaum muslimin: “Kalian yang ada di hadapanku
berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari ku pasti lebih-lebih lagi
perbedaannya”.
Salah seorang sahabat yang sangat prihatin melihat prilaku kaum muslimin ini adalah Huzaifah. Dia
sangat menyayangkan sikap kaum muslimin yang semakin hari semakin hebat perselisihan tentang
qiro’at. Maka serta dia mengusulkan kepada Usman agar mengatasi permasalahan dan menghentikan
perselisihan qiro’at.

10
Ketika terjadi perselisihan tentang Al-Qur’an seyogyanya tidak menghukum sendiri akan tetapi
merujuk kepada orang yang ahli. Sebaiknya adalah menghindari terjadinya perselisihan tersebut.
Menurut As-Sayyid Nada hendaknya seseorang membubarkan diri jika terjadi pereselisihan tentang
Al-Qur’an sebagaimana dianjurkannya manusia berkumpul untuk membaca Al-Qur’an. Jika terjadi
perselisihan di antara mereka tentang Al-Qur’an, lafazh- lafazh, hukum-hukumnya, atau yang
selainnya dan perselisishan itu berlarut-larut hingga dikhawatirkan akan membawa akibat-akibat
buruk, hendaknya mereka membubarkan diri.
Sebab, dikhawatirkan syaitan akan menjadikan mereka bercerai-berai.
Ditunjuklah beberapa orang sahabat untuk menjadi tim penulis wahyu setelah melalui penelitian.
Mereka yang terpilih adalah orang yang paling tulisannya dan paling menguasai Bahasa Arab yaitu
Zaid bin Tsabit Sang Penulis Wahyu sejak zaman Rasul dan Sa’id bin Ash yang dialek Arabnya sangat
mirip dengan Rasul. Mereka berdua dibantu oleh Abdullah bin Zubair.
 Pedoman penyalinan kembali Al-Qur’an

Di samping itu Usman juga mengadakan penelitian terhadap shuhuf yang telah sempurna
pengumpulannya pada zaman Abu Bakar dan Umar. Shuhuf yang disimpan Hafsah itulah yang
mewarnai Mushaf pertama yang dijadikan sebagai pegangan.
Dwi tunggal penulis wahyu itu selalu sependapat dan tidak pernah berselisih pendapat dalam
melaksanakan tugas kecuali pada satu tempat dan itupun segera mereka atasi dengan mengambil
qiro’ah Zaid bin Tsabit sebagai pedoman dengan alasan Zaid adalah penulis wahyu.
Manakala penulisan selesai pekerjaan selanjutnya adalah menggandakan mushaf untuk didistribusikan
ke negeri-negeri Islam dan menyita semua mushaf yang ada pada masyarakat kecuali beberapa mushaf
yang ditulis oleh sahabat kenamaan seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin
Ka’ab.
 Keistimewaan Mushaf Utsmani
Beberapa keistimewaan Mushaf Usmani yaitu:

1. Mushaf ini ditulis berdasarkan kepada riwayat yang mutawatir bukan riwayat ahad
2. Mushaf ini meninggalkan ayat yang dinasakh bacaannya

3. Tertib susunannya (ayat dan surat) sesuai dengan tertib ayat dan surat yang dikenal
sekarang ini
4. Penulisannya berdasarkan cara yang dapat menghimpun segi bacaan yang berbeda-beda dan
huruf-hurufnya sesuai dengan diturunkannya Alquran tujuh huruf
5. Menjauhkan segala sesuatu yang bukan Alquran, seperti tafsiran yang ditulis oleh sebagian orang
(sahabat) dalam mushaf pribadinya.
Keistimewaan mushaf ini mengistimewakan Utsman sebagai pelopor atau orang yang pertama
menghimpun Al-Qur’an dalam satu tulisan.

11
 Penyempurnaan Mushaf Utsmani
Setidaknya ada tiga fase penyempurnaan tulisan Al-Qur’an. Penyempurnaan dilakukan karena
banyaknya orang non-Arab yang masuk Islam dimana dialek mereka berbeda dengan dialek Arab
yang asli. Maka lahirlah gagasan untuk mempermudah bacaan Al-Qur’an sebagai upaya menghindari
terjadinya kecacatan atau kecederaan dalam bacaan. Tiga fase itu adalah sebagai berikut:
a. Mu’awiyah bin Abu sofyan menugaskan Abul Aswad Ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca
(i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
b. Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al-Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai
pembeda antara satu huruf dengan lainnya (baa dengan satu titik di bawah, taa dengan dua titik di
atas, tsaa dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al-Hajjaj minta bantuan kepada Nashir bin ‘Ashim
dan Hay bin Ya’mar.
c. Peletakkan baris atau tanda baca (i’rab) seperti: dhammah, fathah, kasrah dan sukun, mengikuti
cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al-Farahidy.
Tidak hanya sampai di situ upaya penyempurnaan tulisan Alquran, pemberian tanda-tanda ayat, tanda-
tanda waqaf, pangkal surah, nama surah, tempat turunnya, dan bilangan ayatnya. Upaya ini terjadi
pada masa Al-Makmun. Adapun fase-fase percetakkan Al-Qur’an agar jumlah Al-Qur’an yang
beredar di tengah masyarakat setidaknya memadai dan mencukupi kebutuhan kaum muslimin juga
mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Kalau pada mulanya Al-Qur’an digandakan secara manual
lalu disebarkan tetapi sangat terbatas, maka proses percetakkan bertujuan agar jumlah oplahnya
banyak.

 Fase-fase percetakan Alquran adalah:


a. Dicetak di Venesia (Bunduqiyah) pada tahun 1530 M. Masa ini mengalami intimidasi dari gereja.
b. Dicetak di Hamburg pada tahun 1694 M oleh Hinkelmann
c. Dicetak di Padone pada tahun 1698 M oleh Marocci.
d. Dicetak secara Islami di Saint Petersbaurg Rusia pada tahun 1873 M oleh Maulaya Usman
e. Dicetak di Qazan
f. Dicetak di Iran sebanyak dua kali

g. Dicetak di Taheran pada tahun 1828.


h. Dicetak di Tibriz pada tahun 1833 M

i. Dicetak oleh Flugel di Leipzig pada tahun 1834.

4. fase Pemberian titik dan baris pada Al-Qur’am

12
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang
ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-
i’rab) yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf Al- Qur’an-. Langkah ini
sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat
mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-
naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum
muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk
keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya
penambahan titik ataupun harakat terhadap kata- kata dalam mushaf tersebut. Hal ini berlangsung
selama kurang lebih 40 tahun lamanya.

Dalam masa itu, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayahwilayah baru. Konsekwensi
dari perluasan wilayah ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk ke dalam
Islam, disamping tentu saja meningkatnya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab –
muslim ataupun non muslim- . Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf)
dan al-lahn (kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak
terhindarkan. Tidak hanya di kalangan kaum muslimin non-Arab, namun juga di kalangan muslimin
Arab sendiri.
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama
karena mengingat mushaf Al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu
baca berupa titik dan harakat.
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda
bacaan terhadap mushaf Al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat
oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu
diawali ketika Mu’awiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya, ‘Ubaidullah, untuk
menghadap Mu’awiyah. Saat ‘Ubaidullah datang menghadapnya, Mu’awiyah terkejut melihat bahwa
anak muda itu telah melakukan banyak al-lahn dalam pembicaraannya. Mu’awiyah pun
mengirimkan surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Tanpa buang waktu, Ziyad pun menulis
surat kepada Abu al-Aswad al- Du’aly.

Pertama: Mu'awiyah bin Abi Sofyan menugaskan Abul Asad Ad-dualy untuk meletakkan tanda
bacaan (I’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan dalam membaca.
Kedua: Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai
pembeda antara satu huruf dengan lainnya (Baa'; dengan satu titik di bawah, Ta; dengan dua titik di
atas, Tsa; dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim
dan Hay bin Ya'mar.
Ketiga: Peletakan baris atau tanda baca (i'rab) seperti: Dhammah, Fathah, Kasrah dan Sukun, mengikuti
cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy.

13
2.3 Ulumul Qur’an
2.3.1 Pengertian Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an terdiri atas dua kata: ulum dan al-Qur’an. Ulum (‫ )علوم‬adalah jamak dari
kata tunggal ilm (‫)علم‬, yang secara harfiah berarti ilmu. Sedangkan al- Qur’an adalah nama
bagi kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Dengan demikian, maka
secara harfiah kata ‘ulumul qur’an’ dapat diartikan sebagai ilmu-ilmu al-Qur’an.

2.3.2 Pengertian Ulum


Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata,
yaitu “Ulum” dan Al-Qur’an. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata “ilmu” yang berarti
ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan pada Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa
ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari
segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang
terkandung di dalamnya.

2.3.3 Pengertian Ulumul Qur’an


Kata u`lum jamak dari kata i`lmu. I`lmu berarti al-fahmu wal idrak “paham dan menguasai”.
Kemudian arti kata ini berubah menjadi permasalahan yang beraneka ragam yang disusun
secara ilmiah. Jadi, yang dimaksud dengan U`luumul Qu`ran ialah ilmu yang membahas
masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Quran dari segi asbabun nuzuul "sebab-sebab
turunnya Al-Qur`an", pengumpulan dan penertiban Qur`an, pengetahuan tentang surah-surah
Mekah dan Madinah, An-Nasikh wal mansukh, Al-Muhkam wal Mutasyaabih dan lain
sebagainya yang berhubungan dengan Qur`an. Terkadang ilmu ini dinamakan juga ushuulu
tafsir (dasar-dasar tafsir) karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus
diketahui oleh seorang Mufassir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur`an.

2.3.4 Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an

Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ‘Ulumul Qur’an tidak lahir
sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu cabang disiplin ilmu setelah melalui proses
pertumbuhan dan perkembangannya.

14
Sejarah perkembangan ulumul quran dimulai menjadi beberapa fase, dimana tiap-tiap
fase menjadi dasar bagi perkembangan menuju fase selanjutnya, hingga ulumul quran
menjadi sebuah ilmu khusus yang dipelajari dan dibahas secara khusus pula. Berikut
beberapa fase / tahapan perkembangan Ulumul quran.

 Ulumul Qur’an pada masa Rasulullah SAW


Ulumul qur’an itu sendiri bermula dari Rasulullah SAW., sebagai penafsir utama dan pertama
Al-Qur’an. Allah menurunkan Al-Qur’an kepadanya dan mengajarkan segala sesuatu yang belum
diketahuinya. Penulisan tentang tafsir dan ilmu Al-Qur’an belum dibutuhkan selama Rasululllah
dan para sahabat utamanya masih ada. Ada beberapa alasan kenapa para sahabat ketika Nabi
masih ada dan beberapa saat sepeninggal beliau tidak menulis apa yang mereka terima dari Nabi
Muhammad SAW., yang berkenaan dengan Ulumul Qur’an. Sebagai
upayamenjagakemurnianAlQuran.Dari Abu Saad al- Khudri, bahwa Rasulullah SAW berkata:
Janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa menuliskan aku selain qur'an, hendaklah dihapus.
Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya, dan barang siapa sengaja berdusta
atas namaku, ia akan menempati tempatnya di api neraka." (HR Muslim)

 Ulumul Qur’an pada masa Khilafah


Pada masa khalifah, tahapan perkembangan awal (embrio) ulumul quran mulai
berkembangpesat, diantaranyadengankebijakan-kebijakan para khalifah sebagaimanaberikut :
 Khalifah Abu Bakar : Dengan Kebijakan Pengumpulan/Penulisan Al-Quran yg pertama
yang diprakarsai oleh Umar bin Khottob dan dipegang oleh Zaid bin Tsabit.
 Kekhalifahan Usman Ra : Dengan kebijakan menyatukan kaum muslimin pada satu
mushaf, dan hal itupun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf Imam. Salinan-salinan
mushaf ini juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut
dinamakan ar-Rosmul 'Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman, dan ini dianggap
sebagai permulaan dari ilmu Rasmil Qur'an.
 Kekalifahan Ali Ra : Dengan kebijakan perintahnya kepada Abu 'aswad Ad- Du'ali
meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku

15
dan memberikan ketentuan harakat pada qur'an. Ini juga disebut sebagai
permulaan Ilmu I'rabil Qur'an.

 Ulumul Qur’an pada masa modern/kontemporer


Sebagaimana pada periode sebelumnya, perkembangan ulumul quran pada masa kontemporer
ini juga berlanjut seputar penulisan sebuah metode atau cabang ilmu Al- Quran secara khusus dan
terpisah, sebagaimana ada pula yang kembali membali menyusun atau menyatukan cabang-
cabang ulumul quran dalam kitab tersendiri dengan penulisan yang lebih sederhana dan sistematis
dari kitab-kitab klasik terdahulu.

2.4 Fungsi dan Peranan Al-Qur’an


 Petunjuk bagi manusia
Fungsi pertama al-Qur‘an adalah sebagai petunjuk bagi manusia. Seperti diketahui, fungsi
utama sebuah kitab suci dalam agama dan keyakinan apapun adalah menjadi pedoman bagi
penganutnya. Begitu pula al-Quran, menjadi pedoman bagi umat Islam. Meskipun begitu, al-
Qur‘an menyatakan bahwa ia bukan hanya menjadi petunjuk bagi kaum Muslimin, tapi juga bagi
umat manusia seluruhnya. Kemenyeluruhan misi al- Qur‘an ini tidak lepas dari kemenyeluruhan
misi Nabi Muhammad Saw yang diutus untuk seluruh manusia. Hal ini ditegaskan Allah Swt
dalam beberapa firman-Nya yang di antaranya adalah sbb.:
Dan Kami (Allah) tidak mengutuskamu (Muhammad), melainkan kepada Umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan,
tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (Q.S. Saba: 28).
Di dalam al-Qur‘an memangada dua versi penyebutan al-Qur‘an sebagai petunjuk.
Pertama, ia petunjuk bagi seluruh manusia. Kedua, ia petunjuk bagi orang-orang yang
beriman atau bertakwa.
Ketika disebut bahwa al-Qur‘an adalah petunjuk bagi manusia, kalimat ini masih pada tataran
ide dan harapan, belum menjadi kenyataan. Petunjuk dalam pengertian ini masih berkemungkinan
untuk diterima atau ditolak oleh yang menjadi sasaran ajakan. Namun, ketika di sebut bahwa al-
Qur‘an adalah petunjuk bagi orang-orang yang beriman atau bertakwa, petunjuk di sini
menunjukkan kenyataan yang sudah terjadi. Petunjuk di sini

16
berarti taufik yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman karena mereka telah
membuka hati untuk menerima kebenaran al-Quran.
Dua pengertian petunjuk di atas terkadang hadir bersamaan dalam satu ayat seperti pada
dua ayat berikut:
Al Quran ini adalah pedoman bag imanusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
meyakini. (Q.S. al-Jatsiyah: 20)
(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta
Pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Ali Imran: 138)

 Penyempurna kitab-kitab suci sebelumnya


Al-Qur‘an juga berfungsi sebagai penyempurna kitab-kitab suci sebelumnya. Fungsi ini hadir
karena al-Qur‘an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah Swt kepada rasul dan
nabi-Nya. Sebagai kitab suci terakhir, al-Qur‘an membawa tugas menyempurnakan kitab-kitab
suci terdahulu. Rasionalitas di balik fungsi ini setidaknya bisa diterangkan melalui dua alasan.
Pertama, kitab-kitab suci terdahulu memang diturunkan untuk kaum tertentu dan zaman yang
terbatas. Kedua, dalam perkembangan sejarah, kitab-kitab suci terdahulu tidak bebas dari
perubahan dan penyimpangan.
Terkait fungsi al-Qur‘an sebagai penyempurna kitab-kitab suci sebelumnya, ada tiga rincian
tugas. Pertama, membenarkan adanya kitab-kitab suci terdahulu;Kedua,meluruskan hal-hal yang
telah diselewengkan dari kitab-kitab suci tersebut; Ketiga, menjadi kitab alternatif untuk kitab-
kitab suci yang pernah ada.

Pertama, al-Qur‘an membenarkan kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya. Al- Qur‘an
hadir bukan untuk menyangkal adanya kitab-kitab suci tersebut. Bahkan, dalam doktrin Islam,
seorang Muslim diwajibkan percaya adanya kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi
sebelum Muhammad, seperti yang terdapat pada ayat berikut:

Dan (di antara ciri orang yang bertakwa adalah) mereka yang beriman kepada Kitab (Al
Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta
mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (Q.S. al-Baqarah: 4).

Kehadiran al-Qur‘an adalah melanjutkan ajaran kitab-kitab suci sebelumnya. Misi pokok semua
kitab suci adalah mengajak manusia untuk menyembah satu tuhan, yaitu Allah Swt. Kalau pun ada
perbedaan, hal itu tidak lebih dari hal-hal yang menyangkut masalah cabang (furuiyah), misalnya
terkait ritus peribadatan dan beberapa aspek hukum.

17
Itu pun disebabkan karena faktor perbedaan zaman, tempat dan masyarakat di mana kitab-kitab
itu diturunkan. Akan tetapi, dalam masalah aqidah, semua kitab suci mengajarkan hal yang
sama, yaitu penyembahan kepada satu Tuhan (tauhid). Agama ini di dalam Al-Qur‘an disebut
Islam, sebagaimana para nabi terdahulu juga sebagai kaum Muslimin.

Kesamaan aqidah yang dibawa oleh semua rasul sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad
ditegaskan oleh beberapa ayat al-Quran:

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan
kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku". (Q.S. Al-Anbiya: 25)

Dia (Allah) telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. (Q.S. Asy-Syura: 13)

Kedua, al-Qur‘an meluruskan hal-hal yang telah diselewengkan dari ajaran kitab- kitab
terdahulu. Hal ini karena kitab-kitab sebelum al-Quran, dalam perjalanan sejarah, tidak bebas
dari penyimpangan, perubahan, pergantian,penambahan atau pengurangan, sehingga diperlukan
upaya pemurnian. Kitab suci terdahulu seperti Taurat, Zabur dan Injil yang ada sekarang tidak
bisa disebut asli atau sama dengan kitab yang diturunkan kepada nabi-nabinya dahulu.
Fenomena penyimpangan semacam ini telah disinggung oleh al-Quran:

Di antara orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan (dalam kitab suci) dari tempat-
tempatnya. (Q.S. An-Nisa: 46)

Sesungguhnya diantara mereka (ahli kitab) ada segolongan yang memutarmutar lidahnya
membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal
ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah",
padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka
mengetahui. (Q.S. Ali Imrah: 78)

Karena itu, al-Qur‘an datang sebagai batu ujian (verifikator, korektor) terhadap kitab- kitab
terdahulu. Al-Qur‘an bertugas mengoreksi hal-hal yang diselewengkan dari ajaran kitab-kitab
tersebut. Koreksi itu bisa menyangkut masalah aqidah, hukum, berita masa

18
lalu, dan sebagainya. Di antara contoh koreksi al-Qur‘an terhadap apa yang diselewengkan dari
ajaran kitab terdahulu adalah koreksi al-Qur‘an terhadap iman kaum Nasrani yang menuhankan
Nabi Isa dan meyakini Trinitas.Dalam hal ini, Al-Qur‘an telah menyatakan kekafiran mereka,
seperti yang difirmankan Allah Swt pada ayat berikut:

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al


Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah
Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada
bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (Q.S. al-Maidah: 72)

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari
(tuhan) yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak
berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan
ditimpa siksaan yang pedih. (Q.S. al-Maidah: 73)

Ketiga, al-Qur‘an berfungsi sebagai alternatif pengganti kitab-kitab suci terdahulu.Seperti


diterangkan di atas, kitab-kitab terdahulu telah mengalami perubahan, penyimpangan dan
penyelewengan, sehingga sulit untuk disebut asli seperti saat mereka diturunkan kepada nabi atau
rasul yang membawanya. Karena itu, al-Qur‘an hadir sebagai solusi dan alternatif pengganti bagi
mereka.

Sebagai kitab suci terakhir, Al-Qur‘an adalah petunjuk sempurna yang tidak perlu diragukan
kebenarannya. Dilihat dari berbagai sisi, al-Qur‘an memiliki keunggulan yang tidak bisa
ditandingi oleh kitab-kitab sebelumnya, baik dari sisi orisinilitas, kesempurnaan, maupun
kekuatannya sebagai mukjizat. Karena itu, tidak ada alasan bagi orang yang beriman untuk tidak
menjadikan al-Qur‘an sebagai pedoman, sebagaimana al- Qur‘an juga mengajak mereka yang
mencari kebenaran untuk berlabuh kepada al-Quran.

 Sumber pokok agama Islam

Sebagaimana diketahui, sumber agama Islam itu ada tiga, yakni: al-Quran, Sunnah, dan
Ijtihad. Al-Qur‘an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Sunnah adalah
sabda, tindakan dan ketetapan Rasulullah Muhammad. Sedangkan ijtihad adalah usaha sungguh-
sungguh yang dilakukan oleh ulama mujtahid untuk

19
menyimpulkan hukum agama dengan tetap mengacu kepada Al-Qur‘an dan Sunnah. Ada dua
bentuk ijtihad yang disepakati oleh ulama, yaitu Ijma‘ (kesepakatan umat pasca wafatnya
Rasulullah) dan Qiyas (analogi).

Al-Qur‘an merupakan sumber pokok seluruh ajaran Islam. Yusuf al-Qardlawi mengatakan
bahwa al-Qur‘an adalah pokok Islam dan jiwanya. Dari al-Quranlah diperoleh ajaran tentang
keimanan (aqidah), ibadah, akhlak, dan prinsip-prinsip hukum serta syariat.16 Secara garis
besar, Al-Qur‘an sebagai sumber ajaran Islam dapat dirinci sebagai berikut:

Pertama, sumber pokok aqidah. Dalam banyak ayat, al-Qur‘an berbicara kepada banyak
kalangan, termasuk mereka yang tidak percaya kepada Tuhan, Hari Akhir, atau kenabian
Muhammad. Al-Qur‘an berusaha meyakinkan mereka tentang adanya Allah yang menciptakan
alam semesta dengan argumen-argumen yang bisa diterima oleh akal. Al-Qur‘an juga
menjelaskan prinsip-prinsip ketuhanan, menegaskan kenabian Muhammad Saw yang diutus
sebagai penerus para nabi dan rasul sebelumnya. Al-Qur‘an juga mengabarkan berita tentang
umat-umat terdahulu untuk dijadikan pelajaran bagi yang hidup sesudahnya. Al-Qur‘an juga
menginformasikan tentang adanya Hari Akhir dan kehidupan Akhirat kelak dimana setiap
manusia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang pernah dilakukannya di dunia.

Kedua, sumber pokok syariah. Selain sumber pokok aqidah, al-Qur‘an juga menjadi sumber
pokok syariah Islam. Syariah adalah sistem hukum yang mengatur amal perbuatan manusia
dalam hidupnya, baik yang terkait hubungannya dengan Allah Swt maupun hubungannya dengan
sesama manusia dan mahluk lain. Di dalam al-Qur‘an ada sekitar 500 ayaat atau lebih yang
membicarakan masalah syariat ini.

Di antaranya, al-Qur‘an mengajarkan tata cara menjalankan ibadah kepada Allah Swt melalui
perintah salat, zakat, puasa, haji, umrah, dan sebagainya. Al-Qur‘an juga menerangkan beberapa
unsur teknis terkait pelaksanaan ibadah itu, seperti tata cara bersuci (thaharah) dan keharusan
menghadap qiblat sebagai syarat menjalankan salat, bagaimana melaksanakan salat di saat perang
atau dalam perjalanan, bagaimana tata cara menjalankan haji, dan sebagainya.

Ketiga, sumber pokok akhlak. Al-Qur‘an juga merupakan sumber ajaran agama Islam yang
terkait dengan akhlak, baik akhlak ketuhanan (rabbaniyah) maupun akhlak kemanusiaan
(insaniyah). Di antara akhlak ketuhanan yang diajarkan al-Qur‘an adalah

20
seperti ikhlas dalam beribadah hanya untuk Allah Swt,bertawakkal kepada-Nya,
mengharap rahmat dan ridlo-Nya, takut akan siksa-Nya, merasa malu kepada-Nya,
bersyukur atas nikmat-Nya, sabar atas cobaan-Nya, menerima dengan rela segala
keputusan-Nya, mengutamakan kehidupan akhirat daripada dunia, dan sebagainya. Akhlak
rabbaniyah bertujuan untuk menjalin hubungan intim dengan Allah dan memperkuat
ketakwaan kepada-Nya.

2.5 Pengertian Sunnah / Hadist


2.5.1. Pengertian Sunnah
Kata sunnah terdiri dari akar huruf sin (‫ )س‬dan huruf nun (‫ ) ن‬yakni (‫)سن‬, sunnah bermakna sawwara
(gambaran), sedangkan secara etimologi, Ibnu Manzur mendefinisikan sunnah sebagai al-tariqah
(jalan) atau as-sirah (sikap), yakni jalan manusia yang lurus atau sikap manusia yang baik.
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak
yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.
Sunnah secara literal berarti “jalan hidup (sirah) atau jalan (thariqoh) yang baik maupun yang buruk”.
Ibnu Taimiyyah menggungkapkan bahwa sunnah adalah adat kebiasaan (al-adaah), yakni jalan
(thariqoh) yang terus diulang-ulang oleh beragam manusia, baik yang dianggap sebagai ibadah
ataupun bukan ibadah. Ulama hadis sunni umumnya beranggapan bahwa sunnah merupakan sinonim
dari kata hadis, khabar, dan atsar. Mereka mendefinisikan sunnah sebagai “sesuatu yang diriwayatkan
dari Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, penampilan fisik dan budi pekerti, sema
saja sebelum kenabian ataupun disandarkan kepada Nabi saw, sahabat, ataupun tabi‟in. Mayoritas
berasal dari Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun persetujuan.
Menurut para Ahli Hadist, sunnah adalah sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau
jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad Saw, baik sebelum menjadi Nabi atau sesudahnya.
Dengan arti ini, menurut mayoritas ulama, sunnah sinonim dengan hadits, sekalipun sebagian dari
mereka membedakan antara keduanya.
Sunnah menurut Ahli-ahli Usul Fiqih, adalah sabda Nabi Muhammad yang bukan berasal dari al-
Qur‟an, pekerjaan, atau ketetapannya. Sementara menurut para ahli Fiqih (fuqaha), sunnah adalah
hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak
wajib dikerjakan. Arti sunnah tersebut di atas telah disepakati oleh para ulama, baik dari ahli-ahli
bahasa, usul fiqih, fiqih maupun hadits.
Dalam sejarah lahirnya sunnah menurut sebagian pendapat bagi kaum muslimin periode awal, sunah
berarti sekedar praktik yang dijadikan kaum muslimin sendiri. Dapat dinyatakan disini bahwa konsep
sunnah Rasul dalam Islam, timbul setelah datangnya Nabi. Al-Quran berulang kali menyuruh kaum
muslimin untuk mematuhi perintah Rasulullah saw dan menyatakan perilaku beliau yang ideal. Oleh
karena itulah kaum muslimin semenjak semula

21
menerima perilaku beliau sebagai model bagi mereka atas dasar ajaran Al-Qur‟an. Semasa
Rasulullah masih hidup, sunnah mengandung kesesuaian tindakan para sahabat dengan tindakan
Rasulullah. Mereka menata kehidupan berdasarkan Al-Qur‟an sebagaimana dicontohkan dan
digambarkan oleh perilaku Rasulullah. Tidak ada hukum tersendiri yang di perlukan untuk
mendukung kelurusan tindakan-tindakan mereka kecuali perkataan dan perilaku dari Rasulullah.
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat masih memilki Al-Qur‟an, perilaku Rasulullah, dan
kebiasaan-kebiasaan mereka sendiri yang di praktikkan semasa Rasulullah masih hidup. Para sahabat
menetap di berbagai kota diluar Arabia, Mereka tidak hanya menjadi penyampai sunnah Rasul, tetapi
juga menjadi penafsiran dan penguraiannya. Kemudian dari kelakuan dan pendapat para sahabat
lambat laun dipandang sebagai contoh oleh generasi berikutnya.

2.5.2 Pengertian Hadist


Kata hadis di ambil dari kata dasar huruf arab (‫ح‬-‫د‬-‫ ) ث‬dan menurut ar-Razi adalah adanya sesuatu
setelah tidak adanya sesuatu, sedangkan Ibnu Manzur memberi makna hadis dengan jadid (yang baru),
yang merupakan lawan qadim (yang lama), selain itu Subkhi juga memaknai hadis dengan khabar
berita).
Kata al-hadits kemudian dapat pula berarti al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal, yaitu
sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang
lain. Hadits dengan pengertian al-khabar sebagaimana tersebut dalam beberapa ayat al-Qur’an, Allah
swt. Berfirman:
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-
orang yang benar.” (Q.S. Ath-Thur (52): 34)
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka
berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).” (Q.S. Al-Kahfi
(18): 6)
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Q.S. Adh-Dhuha (93): 11)

Berdasarkan informasi ayat-ayat di atas, kita dapat memperoleh suatu pengertian bahwa pengertian
hadits dari segi bahasa lebih ditekankan pada arti berita atau khabar.
Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa telah sampai kepadanya hadis bahwa Rasulullah SAW
telah bersabda:.

‫و ُ سنَّةَ َن ِب ِ’ي ِه‬


ِ k k‫كت‬ ِ ُ‫ ل َت َم ْ كت‬k ‫كُ ْم أَ ْم َر ْي ض‬k k ‫ت ي‬ ‫َت َر ْك‬
‫هل‬ ‫ا‬ ‫وا ما ْم ه‬ َ‫ِن لَ ْ ن ت‬
‫ال‬ ‫َما‬ ‫س‬
‫ب‬
Artinya: “Aku telah tinggalkan kepada kalian dua hal yang jika kalian berpegang teguh kepadanya
tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunah nabi-Nya.” (HR. Malik dalam al- Muwatha‘)
Hadis menurut pengertian bahasa mempunyai beberapa arti, yaitu “jadid” (sesuatu yang baru) lawan
kata dari “qadiim” (sesuatu yang lama). “qarib” (dekat) lawan kata dari “ba’id” (jauh),

22
dan “khabar” (berita) yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain.
Sedangkan hadis menurut istilah, ada perbedaan pendapat antara ahli Hadis dan Ahli Ushul. Menurut
ahli Hadis ialah “seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad SAW.
sedangkan menurut yang lainnya ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik yang berupa
perkataan, perbatan, maupun ketetapannya”.
Sedangkan ahli Ushul, definisi hadis ialah “semua perkataan, perbuatan, taqrir Nabi Muhammad
SAW. yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.
Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang
singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan
dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan
perkataan.
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadis mengalami perkembangan yang agak lamban dan
bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini wajar saja karena Al-Qur’an
pada masa Nabi Muhammad SAW. sudah tercatat seluruhnya, sekalipun sangat sederhana, dan mulai
dibukukan pada masa Abu Bakar, Khalifah pertama dari Khulafa’ ar-Rasyidiin sekalipun dalam
penyempurnaannya dilakukan pada masa Utsman bin ‘Affan yang disebut dengan tulisan Utsmani.
Sedangkan penulisan hadis pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa
pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke-2 hijriyah dan mengalami kejayaan pada
abad ke-3 hijriyah.

Berbagai kalangan menempatkan hadis sebagai objek kajian ilmu-ilmu modern sekalipun selama ini
ilmu hadis dinilai sudah matang. Dalam hal ini, penulis mengambil perhatian pada sejarah
perkembangan hadis dari Masa sahabat Rasulullah SAW. hingga era modern saat ini.

2.6 Macam-Macam Sunnah / Hadist


2.6.1 Macam macam sunnah
1. Sunnah Qauliyah
Sunnah Qauliyah merupakan bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw., yang berisi berbagai tuntunan dan petunjuk syarak, peristiwa- peristiwa atau
kisah-kisah, baik yang berkenaan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.
Dengan kata lain, Sunnah Qauliyah yaitu sunnah Nabi saw yang hanya berupa ucapannya saja baik
dalam bentuk pernyataan, anjuran, perintah cegahan maupun larangan.

Yang dimaksud dengan pernyatan Nabi saw. di sini adalah sabda Nabi saw dalam merespon
keadaan yang berlaku pada masa lalu, masa kininya dan masa depannya,

23
kadang-kadang dalam bentuk dialog dengan para sahabat atau jawaban yang diajukan oleh
sahabat atau bentuk-bentuk ain seperti khutbah.
Dilihat dari tingkatannya sunnah qauliyah menempati urutan pertama yang berarti kualitasnya lebih
tinggi dari kualitas sunnah fi'liyah maupun taqririyah.
Contoh sunnah qauliyah :

Terjemahan Hadis tentang doa Nabi Muhammad saw kepada orang yang mendengar, menghafal
dan menyampaikan ilmu.
“Dari Zaid bin dabit ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Semoga Allah
memperindah orang yang mendengar hadis dariku lalu menghafal dan menyampaikannya kepada
orang lain, berapa banyak orang menyampaikan ilmu kepada orang yang lebih berilmu, dan
berapa banyak pembawa ilmu yang tidak berilmu.” (HR. Abu Dawud)

2. Sunnah Fi’liyah
Sunnah Fi’liyah merupakan segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Kualitas sunnah Fi’liyah menduduki tingkat kedua setelah sunnah qauliyah.
Sunnah Fi’liyah juga dapat maknakan sunnah Nabi saw yang berupa perbuatan Nabi yang
diberitakan oleh para sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti melaksanakan shalat
manasik haji dan lain-lain.
Contoh sunnah fi’liyah :

Terjemahan Hadis tentang tata cara shalat di atas kendaraan


“Dari Jabir bin ‘Abdullah berkata, “Rasulullah saw. shalat di atas tunggangannya menghadap ke
mana arah tunggangannya menghadap. Jika Beliau hendak melaksanakan shalat yang fardhu,
maka beliau turun lalu shalat menghadap kiblat. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

3. Sunnah Taqririyah
Sunnah Taqririyah merupakan sunnah yang berupa ketetapan Nabi Muhammad saw terhadap apa
yang datang atau dilakukan para sahabatnya.
Dengan kata lain, sunnah taqririyah, yaitu sunnah Nabi saw yang berupa penetapan Nabi saw
terhadap perbuatan para sahabat yang diketahui Nabi saw.
Nabi saw tidak menegor atau melarangnya, bahkan Nabi saw cenderung mendiamkannya.
Beliau membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan para sahabatnya tanpa
memberikan penegasan apakah beliau membenarkan atau menyalahkannya.
Contoh sunnah taqririyah : Terjemahan Hadis
tentang Tayamum

24
“Dari Abu Sa’id Al Khudri ra, ia berkata: “Pernah ada dua orang bepergian dalam sebuah
perjalanan jauh dan waktu shalat telah tiba, sedang mereka tidak membawa air. Kemudian,
mereka berdua bertayamum dengan debu yang bersih dan melakukan shalat, keduanya mendapati
air (dan waktu shalat masih ada), lalu salah seorang dari keduanya kembali mengulanginya.

4. Sunnah Hammiyah
Sunnah Hammiyah merupakan suatu yang dikehendaki Nabi saw, akan tetapi belum dikerjakan.
Sebagian ulama hadis ada yang menambahkan perincian sunnah tersebut dengan sunnah hammiyah.
Hal tersebut dikarenakan, dalam diri Nabi saw terdapat sifat-sifat, keadaan-keadaan (ahwal)
serta himmah (hasrat untuk melakukan sesuatu).
Contoh sunnah hammiyah :

Terjemahan Hadis mengenai puasa tanggal 9 Asyura


“Saya mendengar Abdullah bin Abbas ra. berkata saat Rasulullah saw. berpuasa pada hari
‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.”
Maka Rasulullah saw. bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari
ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung
tiba, hingga Rasulullah saw. wafat..” (HR Muslim)

2.6.2 Macam-macam Hadist

 Macam-macam hadist berdasarkan tingkat keaslian hadist :

1. Hadist shahih
Kata shahih menurut bahasa berasal dari kata shahha, yashihhu, suhhan wa shihhatan wa
shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang
benar. Para ulama biasa menyebut kata shahih sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit). Maka
hadist shahih menurut bahasa berarti hadist yang sah, hadist yang sehat atau hadist yang selamat.

Hadist shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah sebagai berikut: "Hadist yang disandarkan
kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit
hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber'illat."

Ibnu Hajar al-Asqalani mendefinisikan hadist dengan lebih ringkas yaitu: "Hadist yang
diriwayatkan oleh orang–orang yang adil, sempurna kedzabittannya, bersambung sanadnya,
tidak ber'illat dan tidak syadz."

25
Dari kedua pengertian di atas, dapat dipahami bahwa hadist shahih merupakan hadist yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sanadnya bersambung, perawinya yang adil, kuat
ingatannya atau kecerdasannya, tidak ada cacat atau rusak. Hadist shahih merupakan tingkatan
tertinggi penerimaan pada suatu hadis.

Syarat-syarat hadist shahih, yaitu :


a) Sanadnya bersambung. Tiap–tiap periwayatan dalam sanad hadist menerima periwayat
hadist dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung demikian sampai
akhir anad dari hadits itu.

b) Periwayatan bersifat adil. Periwayat adalah seorang muslim yang baligh, berakal sehat,
selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diridari perbuatan-perbuatan maksiat.

c) Periwayatan bersifat dhabit. Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang
telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghendakinya.

d) Tidak janggal atau Syadz. Adalah hadist yang tidak bertentangan dengan hadist lain yang
sudah diketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.

e) Terhindar dari 'illat (cacat). Adalah hadits yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan adanya
hal-hal yang tidak baik atau yang kelihatan samar-samar.

Pembagian hadist shahih :

1. Hadist Shahih Li-Dzatih


Adalah hadist shahih dengan sendirinya. Artinya hadist shahih yang memiliki lima syarat atau
kiteria sebagaimana disebutkan di atas atau “hadist yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang
mengharuskan kita menerimanya.” Dengan demikian penyebutan hadist shahih li-dzatih dalam
pemakaian sehari-hari cukup disebut dengan hadist shahih.

2. Hadist Shahih Li-Ghairih


Adalah hadist yang keshahihannya dibantu oleh keterangan lain. Hadist pada kategori ini pada
mulanya memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabitannya.Sehingga dianggap tidak memenuhi
syarat untuk dikategorikan sebagai hadist shahih.

2. Hadist Hasan
Menurut pendapat Ibnu Hajar, hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh orang yang
adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.
Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai berikut : “Tiap-tiap hadist yang pada
sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan
(syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain”.

26
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa hadist hasan tidak memperlihatkan kelemahan dalam
sanadnya. Disamping itu, hadist hasan hampir sama dengan hadist shahih.
Perbedaannya hanya mengenai hafalan, di mana hadist hasan rawinya tidak kuat hafalannya.

Syarat-syarat hadist hasan :


a) Para perawinya yang adil,
b) Ke-Dhabith-an perawinya dibawah perawi Hadist shahih,
c) Sanad-sanadnya bersambung,
d) Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,
e) Tidak mengandung 'illat.

Pembagian hadist hasan :

Terdapat macam-macam hadist hasan. Para ulama dan ahli hadist membaginya menjadi dua
macam yaitu:

1. Hadist Hasan Li-Dzatih

Adalah hadist hasan dengan sendirinya. Yakni hadist yang telah memenuhi persyaratan hadist hasan
yang lima. Menurut Ibn Ash-Shalah, pada hadist hasan Li-Dzatih para perawinya terkenal
kebaikannya, akan tetapi daya ingatannya atau daya kekuatan hafalan belum sampai kepada derajat
hafalan para perawi yang shahih.

2. Hadist Hasan Li-Ghairih

Adalah hadist yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur-tak nyata keahliannya, bukan pelupa
yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan hadistnya
adalah baik berdasarkan pernyataan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.

Hadist Hasan Li-Ghairihi adalah hadist hasan yang bukan dengan sendirinya. Artinya, hadist
tersebut berkualitas hasan karena dibantu oleh keterangan hadist lain yang sanadnya Hasan.
Jadi Hadist yang pertama dapat terangkat derajatnya oleh keberadaan hadist yang kedua.

3. Hadist Dhaif
Kata Dhaif menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang kuat. Sebagai lawan dari
kata shahih, kata dhaif secara bahasa berarti hadist yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya secara berbeda-beda. Akan tetapi pada
dasarnya mengandung maksud yang sama. Pendapat An-Nawawi mengenai hadist dhaif adalah
sebagai berikut: “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan
syarat-syarat Hadist Hasan.”

Hadits dhaif terbagi menjadi lima macam berdasarkan segi keterputusan sanad:

27
a. Hadits mursal
Hadits mursal adalah yang diriwayatkan oleh tabi`in dan menyebutkan langsung bahwa
ia menerimanya dari Nabi Muhammad SAW, padahal tabi`in merupakan generasi
setelah sahabat nabi jadi tidak mungkin bertemu langsung dengan nabi.
b. Hadits munqathi`
Hadits munqothi` adalah hadits dari rawi yang gugur (tidak disebutkan namanya) tidak
hanya pada sahabat, tapi juga bisa terjadi pada rawi yang di tengah atau di akhir.
c. Hadits al-mu`adhdhal
Hadits al-mu`adhdhal adalah hadits dari dua orang atau lebih perawi setelah sahabat secara
berurutan dan tidak disebutkan dalam rangkaian sanad.
d. Hadits mudallas
Hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawinya dari orang yang sezaman
dengannya, namun menerimanya secara tidak langsung dari yang bersangkutan.
e. Hadits mu`allal
Hadits mu`allal adalah hadits yang terlihat selamat, namun sejatinya memiliki kecacatan
tersembunyi, baik itu yang ada pada sanadnya maupun pada matannya.

Hadits dhaif ialah hadits yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Namun
dalam beberapa kasus, menurut ulama hadits, hadits dhaif boleh diamalkan selama tidak terlalu
lemah dan untuk fadhail amal.

4. Hadist Maudhu
Hadis Maudhu adalah Hadis dusta, dibuat-buat atau palsu. Bila hadis dicurigai palsu atau buatan
karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.

 Macam-macam hadist berdasarkan ujung sanadnya :


Klasifikasi ini dibagi menjadi 3 golongan yakni Hadis Marfu (terangkat), Mauquf (terhenti) dan
Maqthu’(terputus).
1. Hadis Marfu'
Yaitu hadis yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
2. Hadis Mauquf
Yaitu hadis yang sanadnya terhenti pada para sahabat Nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara
perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'.
Contoh hadist ini adalah:
Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas
dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah".
Pernyataan dalam contoh itu tidak jelas, apakah berasal dari Nabi atau sekadar pendapat para
sahabat. Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat adalah seperti "Kami diperintahkan..",
"Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama Rasulullah", maka derajat hadis
tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.

28
3. Hadis Maqthu'
Yaitu hadis yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus) atau sebawahnya. Contoh
hadis ini adalah:
Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan:
"Pengetahuan ini (hadis) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil
agamamu".

2.7 Kedudukan dan Fungsi Hadist dalam Sumber Ajaran Islam


Dilihat dari tingkatannya, kedudukan hadits menepati urutan kedua setelah Alquran sebagai landasan
hukum Islam.

Sementara dari keutamaannya, ada empat fungsi hadits terhadap Alquran, di antaranya:

1. Bayan At-Taqrir

Bayan At-Taqrir adalah salah satu fungsi hadits untuk memperjelas isi yang ada di dalam
Alquran. Dengan begitu, umat Islam bisa memahami apa yang terdapat di dalam Alquran dengan
mudah.

Hal ini meliputi pemahaman tentang ketentuan hukum Islam hingga menjalankan perintah Allah
SWT yang ada di dalamnya.

Contohnya dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, ada sebuah hadits yang menjelaskan perihal
berwudhu yakni:

“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima salat seseorang yang berhadas sampai ia berwudhu.” (H.R
Bukhari No. 6954 dan Muslim No. 225)

Hadits tersebut memperjelas ayat yang ada di dalam Alquran, yakni pada surat Al-Maidah ayat 6
yang berbunyi:
‫ا َمنُ ْٰٓوا الَّ ِذ ْي‬² ‫لو ِة ِ ا َلى قُ ْمتُ ْم اِذَا‬² ‫ْ وا الص‬
ُ ُ َ ‫َُك ْم ِ ب سكُ ْم وا ْمسح ْوا ا ْل‬k k ‫جل‬ ‫ا ْل َ ك ْ عبَ ْي ِن اِ َلى واَ ْر‬
ُ‫ يٰٓاَ ُّي َها غسل‬² ‫ ك َن‬k‫ ك ْم ْ ْ ه‬k k‫ق لى د َي‬
‫و ْم َفا‬ ‫َوا َ ي‬ ‫ُر ُ ء ْو َم َرا ِف‬
‫وج‬
‫ ًا‬k ‫ اط َّه ُر ْو ا جنُب‬k‫ ى ُك ْنتُ ْم وِا ْ ن َ ف‬k‫لى م ْر ٰٓ ض‬² „ َ‫حد˚ َْا ج ۤا َء ا‬ ‫ل َمستُ ُم اَ ْو ا ْل‬² ‫ُد ْوا لَ ْم ال ِنِّس ۤا َء‬kkkk‫ج‬ ‫م ۤ ا ًء‬
‫ر اَ ْو ع ْنتُ ْم وِا ْ ن‬ ‫ْو ِّم ْنكُ ْم‬ ‫َغ ۤا ِٕىط ِّ م َ ن‬ ‫َْت‬
‫سَف‬
‫ًا ص ِع ْي‬k k‫ك ُ وج ْو ِ هكُ ْم ا ْمسح ْوا َ ط ِِّيب‬kkk‫ي‬ ُ ْ ‫لَي ْ ج َ ع َ ل ّل ُال ُْ ُي م ِّ ِد‬ ‫ل ِك ْ ن ح َر „ج‬² ‫ُط ِّه َرك و‬k k k k‫و ِليُ ِت َّم لي‬ ‫ْ ع َمتَ ˚ه‬
ُ‫ ْم و َا ًدا تَ َي َّم ُم ْوا تَ شكُ ُر ْو َ ن لَ َ علَّكُ ْم َ علَ ْيك‬k ‫من‬ ‫ِر ْيد‬ ُ‫ْم ُّ ي ِر ْيد‬
‫ِّم ْ ن علَ ْيكُ ْم‬
‫ْم‬ ‫ا هُ ْي‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka
basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu
sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan
tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah: 6)

2. Bayan At-Tafsir 29
Fungsi hadits selanjutnya adalah Bayan At-Tafsir, yakni menafsirkan isi Alquran yang masih
bersifat umum (mujmal).
Selain itu, hadits juga bermanfaat untuk memberikan batasan terhadap ayat-ayat Alquran yang
sifatnya mutlak. Dengan kata lain, penafsiran terhadap Alquran akan dirincikan secara lebih detil
di dalam hadits.
Sebagai contoh, dalam sebuah hadits Muslim dijelaskan mengenai hukum pencurian dalam
Islam.

“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan
pencuri tersebut dari pergelangan tangan.” (HR Muslim)

Hadits ini menjelaskan tentang hukum mencuri yang dikatakan dalam surat Al-Maidah ayat 38,
bunyinya sebagai berikut:

² ‫ً ًل من‬
‫َٱ ْق َ طع ُ ٰٓو ۟ا ج َ ك‬k k‫َة ُ ف‬kk‫ِ ر وٱل َّ سا ِرق‬ ْ ‫وَّٱ ُلل ِ ز ح‬ ِ‫َّٱلل‬
َ ‫ك‬‫َزا ٓ ٰ م َبا‬ ‫ِكي َوٱ ل ق ا َأ ْي ِد َي ُ ه َما‬ ‫ي‬
‫ًء ا‬ ‫˚ز ˚م‬
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al-
Maidah: 38)

3. Bayan At-Tasyri
Bayan At-Tasyri artinya memberikan kepastian hukum Islam yang tidak dijelaskan di dalam
Alquran. Dengan adanya hadits, umat Islam bisa lebih memahami hukum yang dijelaskan dalam
Alquran.

Contoh dari Bayan At-Tasyri bisa dilihat dari hadits riwayat Muslim yang menjelaskan tentang zakat
fitrah.

“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadan satu sha’ kurma
atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.” (HR.
Muslim)

Hadits tersebut memperjelas hukum zakat fitrah yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 103,
yakni:

ْ ‫خذ‬ ‫ْع ُ ه‬k k k‫ِ مي‬


‫ دَ قَة ً اَ ْم َوا ِل‬kk‫ص‬ ‫ِه ْم صل ب وتُ َز ِ ّ ِك ْي ِ ِّه‬ ‫ص ك‬ ‫ ك‬k‫س‬ ‫ِ لْي ˚م‬
‫ِه ْم من‬ ُ ُ
‫ره ْم‬ ُ ‫ِه ْ م ت‬ ‫و لَ ْي َها‬ ‫لو تَ ِان‬² ‫ُال‬
‫ْم ّل ن‬ ‫و‬
‫ط‬ َّ‫ل‬

Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi
mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. At- Taubah: 103)

4. Bayan Nasakh

30
Fungsi hadits yang terakhir adalah Bayan Nasakh, artinya untuk mengganti ketentuan terdahulu.

Fungsi Bayan Nasakh ini bisa dilihat dalam sebuah hadits Muslim yang berbunyi:

“Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap orang haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat
untuk ahli waris.” (HR. Muslim)

ini mengacu pada ketentuan ahli waris yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 180 yang
berbunyi:

‫ كُ ْم‬k‫ْي‬k َ ‫ ل‬k‫ن ال صيَّةُۨ ً را َت ْ ن ا ْل ت حدكُ م ض َ ر ِاذَ ا َ ع‬


ُ َ ‫ َ ق لْ َوا‬kkkkkkk‫ِا ْل َم ْ ع وا ْل‬k k‫ًّا ب‬k k‫حق‬ ‫ن‬ ْ ‫الْ ُ مت َ ّ قِ ي‬
‫ُكتِب‬ ‫َر خ َم ْو ك َا ح‬ ۖ ‫َو‬ ‫ِلد َ ْي‬ ‫َرب ِيْن‬ ‫ُر ْو ِ ف‬ َ
‫َعل ى‬
‫ِا‬ ‫ْي‬

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda- tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara
ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS.Al-Baqarah: 180)

31
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Kata Al Qur’an, secara etimologis, merupakan bentuk masdar dari kata kerja (fi’il) qara’a-
yaqra’u, sinonim dengan kata qiraah, yang berarti bacaan.
2.Pengertian Al Qur’an secara lengkap yaitu Al Qur’an merupakan firman atau kalam Allah SWT
yang disampiakan dalan bahasa Arab, diturunkan secara berangsur-angsur melalui malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat yang disampaikan kepada kita secara mutawatir,
yang telah tertulis dalam mushaf Utsmani dan telah dihafalkan secara baik oleh umat Islam sejak
masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang yang dimulai dari surat Al Fatihah sampai surat An
Nas, merupakan ibadah bagi pembacanya. Dan Al Qur’an adalah sumber yang harus dijadikan dasar
hukum atau pedoman dalam kehidupan umat manusia.

3. Keutamaan Al Qur’an yaitu untuk mengajak manusia untuk melakukan pembacaan,


memikirkan, merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, baik yang ada di langit maupun
yang ada di bumi dengan berbagai macam isinya. Secara khusus, Al Qur’an mengajak manusia
untuk mempelajari ilmu-ilmu kealaman, metafisika, filsafat, sastra, dan semua ilmu yang dapat
dicapai oleh pemikiran manusia, yang semuanya untuk kesejahteraannya di dunia dan di akhirat.
4. Sejarah penulisan Al-Qur’an terdapat empat periode atau fase yaitu: pada periode Nabi
Muhammad SAW, pada Periode Abu Bakar Shiddiq, pada periode Usman bin Affan dan
periode/fase Pemberian titik dan baris pada AlQur’an.
5. Pada masa Rasulullah masih hidup Al-Qur’an dipelihara sedemikian rupa, sehingga cara yang
paling terkenal untuk memelihara Al-Qur’an adalah dengan menghafal dan menulisnya. Rasulullah di
masa hidupnya menyampaikan wahyu kepada para sahabat dan memerintahkan agar sahabat
menghafalnya dengan baik.
6. Di masa pemerintahan Khalifatur Rasul Abu Bakar ash-Shiddiq ra, terjadi perang Yamamah yang
mengakibatkan banyak sekali para qurra’/ para huffazh (penghafal al-Qur`an) terbunuh. Akibat
peristiwa tersebut, Umar bin Khaththab merasa khawatir akan hilangnya sebagian besar ayat-ayat al-
Qur`an akibat wafatnya para huffazh. Maka beliau berpikir tentang pengumpulan al-Qur`an yang
masih ada di lembaran-lembaran.
7. Pada masa Usman bin Affan, Untuk pertama kali Al-Qur’an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan
ini disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah binti Umar (hasil usaha
pengumpulan di masa Abu Bakar ra.). Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan
bacaan (untuk menghindari perselisihan di antara umat).
8. Pada masa pemberian titik dan baris pada Al- Qur’an dibuat karena pada masa itu, terjadi
berbagai perluasan dan pembukaan wilayah- wilayah baru. Sehingga dampak dari perluasan

32
wilayah ini adalah banyaknya interaksi muslimin Arab dengan orang-orang non Arab – muslim
ataupun non muslim- . Akibatnya, al-‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf) dan al-lahn
(kesalahan dalam membaca harakat huruf) menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan. Maka
dari itu pemberian tanda titik dan juga baris dibuat agar menghindari kesalahan dalam membaca Al-
Quran.
9. Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang lengkap dan mencakup semua ilmu yang ada
hubungannya dengan al-Qur’an baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, maupun berupa ilmu-
ilmu bahasa Arab seperti ilmu I’rab al-Qur’an.
10. Al-Qur‘an memiliki fungsi yang secara umum dapat disimpulkan menjadi tiga: Pertama, sebagai
petunjuk bagi seluruh manusia hingga akhir zaman. Ini berbeda dari kitabkitab sebelumnya yang
rata-rata diturunkan untuk umat dan zaman tertentu; Kedua, penyempurna bagi kitab-kitab suci
sebelumnya. Dalam hal ini al-Qur‘an berfungsi melengkapi, meluruskan, dan menggantikan kitab-
kitab tersebut; Ketiga, sumber pokok ajaran agama Islam baik dalam masalah aqidah (keyakinan),
syariah (ibadah dan mu‘amalah), dan akhlak.
11. Kata sunnah terdiri dari akar huruf sin (‫ )س‬dan huruf nun (‫ ) ن‬yakni (‫)سن‬, sunnah bermakna
sawwara (gambaran), sedangkan secara etimologi, Ibnu Manzur mendefinisikan sunnah sebagai al-
tariqah (jalan) atau as-sirah (sikap), yakni jalan manusia yang lurus atau sikap manusia yang baik.
12. As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir
(penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’
(pensyari’atan) bagi ummat Islam.
13. Kata hadis di ambil dari kata dasar huruf arab (‫ح‬-‫د‬-‫ ) ث‬dan menurut ar-Razi adalah adanya
sesuatu setelah tidak adanya sesuatu, sedangkan Ibnu Manzur memberi makna hadis dengan jadid
(yang baru), yang merupakan lawan qadim (yang lama), selain itu Subkhi juga memaknai hadis
dengan khabar berita).
14. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan
perkataan.
15. Macam-macam sunnah yaitu sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, sunnah taqririyah, dan sunnah
hammiyah.
16. Sunnah Qauliyah merupakan bentuk perkataan atau ucapan. Sunnah Fi’liyah merupakan segala
perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Sunnah Taqririyah merupakan sunnah
yang berupa ketetapan Nabi Muhammad saw terhadap apa yang datang atau dilakukan para
sahabatnya. Sunnah Hammiyah merupakan suatu yang dikehendaki Nabi saw, akan tetapi belum
dikerjakan.
17. Macam-macam hadist berdasarkan tingkat keaslian hadist : Hadist shahih, hadist hasan, hadist
dhaif, hadist maudhu..

33
18. Hadist shahih merupakan hadist yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sanadnya
bersambung, perawinya yang adil, kuat ingatannya atau kecerdasannya, tidak ada cacat atau rusak.
Hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang
muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil. Hadist Dhaif adalah Hadist yang didalamnya tidak
terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist Hasan. Hadis Maudhu adalah Hadis
dusta, dibuat-buat atau palsu. Bila hadis dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya
dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.
19. Macam-macam hadist berdasarkan ujung sanadnya : Hadist marfu, hadist mauquf, hadist
maqthu’.
20. Hadis Marfu' yaitu hadis yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam. Hadist mauquf yaitu hadis yang sanadnya terhenti pada para sahabat Nabi tanpa
ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Hadist
maqhtu’ yaitu hadis yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus) atau sebawahnya.
21. Kedudukan dan fungsi hadist dalam sumber ajaran islam : Bayan At-taqrir, bayan at- tafsir,
bayan at-tasyri, bayan nasakh.
22. Bayan At-Taqrir adalah salah satu fungsi hadits untuk memperjelas isi yang ada di dalam
Alquran. Bayan At-Tafsir, yakni menafsirkan isi Alquran yang masih bersifat umum (mujmal). Bayan
At-Tasyri artinya memberikan kepastian hukum Islam yang tidak dijelaskan di dalam Alquran. Bayan
Nasakh, artinya untuk mengganti ketentuan terdahulu.

34
DAFTAR PUSTAKA

Diroyah. 1986. Hadits, Bulan Bintang, Jakarta.

Fathur Rahman. 1987. Ikhtisar Musthalahu‟ul Hadits, Al-Ma‟arif, Bandung, Cet. V, Hasbi Ash-
Shidiqi,

Hamid, A. 2016. Pengantar Studi Al-Qur’an.Jakarta: Kencana.

Indina, Rahma. 2021. 6-jenis-hadits-mulai-dari-perkataan-hingga-perbuatan-rasulullah-saw.


https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5854085/6-jenis-hadits-mulai-dari-perkataan- hingga-
perbuatan-rasulullah-saw, diakses pada 8 Maret 2023.

Kastolani. 2022. "Hadist: Pengertian, Fungsi, Macam-macam & Kedudukan dalam Islam".
https://www.inews.id/amp/lifestyle/muslim/hadits-pengertian-fungsi-macam-macam- kedudukan-
dalam- islam#amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=16785195003485&referrer=https%3A%2F%2Fww
w.google.com, diakses pada Kamis, 9 Maret 2023 pukul 17.30 WIB.

Muawwanah, 2018. Penafsiran Ayat-Ayat Mutasyâbihât Dalam Tafsir Fath Al-Qadîr Karya Imam
Al-Syaukânî.

Muhammad bin Alawi al-Malik.1999. Mutiara Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Rosihlmon.


Bandung: CV. Pustaka Setia.

Syuhudi Ismail.1992. Metodologi Penelitian Hadits, Bulan Bintang, Jakarta. Ulya,

A. 2019. "Sunah dan Hadist".


http://repository.iainkudus.ac.id/3392/5/5.%20BAB%20II.pdf, diakses pada Kamis, 9 Maret 2023
pukul 16.00 WIB

Zainuddin Hamidi.1992. et Al, Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Widjaya, Jakarta.

Zidny Fahma, http://Zidny Fahma Makalah-Ulum-al-Qur`an-dan-sejarah- perkembangannya.html?m=1,


diakses pada Jumat, 16 Maret 2023 pukul 13.15 WIB

Zufran Resman. 1995. Kajian Sunnah Nabi SAW sebagai sumber hukum islam, Pedoman Ilmu
Jaya, Jakarta, Cet. I.

35

Anda mungkin juga menyukai