MAKALAH
Oleh:
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
anugerah dari-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Macam-Macam
Qiroat”. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar
kita, Nabi Muhammad Saw. yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang
lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugerah terbesar bagi
seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi
tugas Ilmu Qiroat dengan judul “Macam-Macam Qiroat”. Disamping itu, kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat terselesaikannya makalah
ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar
kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini
masih banyak terdapat kekurangannya.
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur'an adalah kitab suci bagi umat Islam, dianggap sebagai pedoman utama
dalam kehidupan sehari-hari serta sumber hukum dan petunjuk spiritual. Keterampilan
membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar merupakan suatu keharusan bagi umat
Muslim. Dalam proses pembacaan Al-Qur'an, terdapat cabang ilmu yang disebut "Ilmu
Qira'at" yang berkaitan dengan berbagai cara baca yang sah dan sahih sesuai dengan
riwayat-riwayat yang diterima dari para ulama salaf.
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan beberapa masalah.
Masasalah yang ada sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan qiroaat ?
2. Ada berapakah jenis-jenis qiroaat ?
3. Sebutkan macam-macam wahyu ?
4. Sebutkan proses turun nya wahyu ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka disimpulkan tujuan penulisan,
yakni sebagai berikut:
1. Untuk mengetehui apa yang di maksud dengan qiroaat ?
2. Untuk mengetahui berapakah jenis-jenis qiroaat ?
3. Untuk memahami macam-macam wahyu ?
4. Untuk mengetahui proses turun nya wahyu ?
2
BAB II
PEMAHASAN
A. Devinisi Qiroaat
Qira’at secara bahasa adalah bentuk jamak dari kata قرأlalubentuk
Dari definisi diatas tampak bahwa qira’at al-Quran berasal dari Nabi
SAW,melalui al-Sima‟ wa al-Naql, maksud dari al-Isma‟ disini adalah bahwa qira’at
al-Quranitu diperoleh dengan cara langsung mendengar dari bacaaan Nabi SAW.
Sementara yangdimaksud dengan al-Naql yaitu qira’at tersebut diperoleh melalui
riwayat yang menyatakan bahwa qira’at al-Quran itu dibacakan dihadapan Nabi SAW
lalu beliau mentaqrirkan nya Selain itu, ada sebagian ulama yang mengaitkan definisi
qira’at dengan mazhab atau Imam qira’at tertentu selaku pakar qira’at yang
bersangkutan, dan atau yang mengembangkan serta yang mempopulerkannya.3
Sedangkan yang dinamakan al-muqri adalah orang yang alim dengan qira‟ah,
yang meriwayatkannya secara musyafahah (lisan) melalui jalan talaqqi (berguru
langsung) dari orang yang ahli dibidang qira’at, demikian terus hingga silsilah
qiraahbersambung kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian, seseorang yang telah
1
Ibrahim Anis dkk, Mu‟jam al-Wasith, (Cairo: Majma’ al-Buhuts, t.th) halaman 722
2
Imam Badr al-Din Muhammad az-Zarkasyi, al-Burhan Fi Ulum al-Quran, (Mesir: Isa al-Babi al-
Halabi,t.th) Juz ke-1, cet ke-2, Halaman 318
3
Abdul Hadi al-Fadli, al-Qiraat al-Quraniyyat, (Beirut: Dar al-Majma’ al-“Ilmi, 1979) Halaman 64
3
hafal kitab at-Taisir karya Ibn al-Jazairi dengan berbagai macam model qira’ah yang
didalamnya misalnya, tidak bisa disebut seorang muqri selama bacaan/qira’at yang dia
hafal itu tidak diperoleh secara lisan dan talaqqi dari gurunya, hingga sampai kepada
Rasulullah SAW.
Sebab dalam qira’at ada sesuatu yang tidak dapat diperoleh kecuali dengan cara
sima‟ (mendengar) dan musyafahah (menerima secara lisan).4 Qira’at bukanlah ciptaan
para Imam qira’at, akan tetapi ia datang dari Rasulullah SAW. Qira’at diturunkan
bersamaan dengan turunnya al-Quran, artinya qira’ah itu termasuk dalam alQuran.
Kemudian qira’at dinisbahkan kepada seorang imam yang meneliti dan menyeleksinya,
maka jika ada orang mengatakan qira’ah Qalun, berarti qira’ah tersebut adalah hasil
penelitian dan penyeleksian Imam Qalun, bukan qira’ah hasil ciptaan dan rekayasa
Qalun.
Qira’at yang benar merupakan hal yang memang diperkenalkan oleh Nabi
Muhammad SAW sendiri, yang berarti merupakan sunnah (hal yang bersifat praktis)
yang menunjukkan tatacara membaca setiap ayat al-Quran, karena dari sejak awal
diturunkan, wahyu tersebut adalah dalam bentuk lisan. Bukti atas hal tersebut dapat
diketahui dari berbagai referensi hadis yang dapat diperoleh dari beberapa sumber. Di
antaranya adalah hadis yang disebutkan dalam Kitab Sahih al-Bukhari yang bersumber
dari Umar bin Khatthab sebagai berikut:
“Sa’id bin Ufair telah menceritakan kepada kami, dia berkata bahwa al-Laits
telah menceritkan kepadaku, bahwa „Uqail dari Ibnu Syihab telah berkata, telah
menceritakan kepadaku „Urwah bin al-Qari telah menceritakan kepadanya bahwa
mereka berdua mendengar dari „Umar bin al-Khattab berkata: aku mendengar Hisyam
bin Hakim membaca surah al-Furqan pada Zaman Rasululloh SAW. Tiba-tiba dia
membaca bacaan yang banyak yang tidak pernah dibacakan Rasulullah kepadaku.
Hampir aku ingin menarinya dalam shalatnya, lalu aku bersabar hingga dia memberi
salam. Kemudian aku menarik bajunya sambil berkata: siapakah yang membacakan
perkataan ini kepadamu? Ia menjawab, Rasulullah SAW yang membacakan kepadaku.
Maka aku berkata: engkau berdusta, sesungguhnya Rasulullah SAW membacakan
kepadaku bacaan yang berbeda darimu. Maka aku membawanya denganku bertemu
Rasululloh. Aku berkata sesungguhnya kau mendengar Hisyam membaca surah al-
4
Nuruddin ‘Iter, Ulum al-Quran al-Karim, (Damaskus: Matba’ah al-Shalah, 1996) Cet. VI, Halaman. 146
4
Furqan dengan bacaan yang aku tidak pernah mendengarnya. Maka Rasulullah SAW
berkata: lepaskan dia, bacalah wahai Hisyam. Maka Hisyam membaca dengan bacaan
yang aku dengar didalam shalat tadi. Maka berkata Rasulullah SAW begitulah al-Quran
itu diturunkan. Kemudian dia berkata: bacalah wahai Hisyam, maka aku membaca
dengan bacaan yang diajarkan Rasulullah kepadaku. Rasululloh SAW berkata:
begitulah al-Quran itu diturunkan. Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dalam tujuh
huruf, maka bacalah apa yang mudah bagimu dari bacaan itu5.
5
Abû Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri,(Beirut: Dâr al-Fikri, 1995),Jilid. III,
Halaman. 239
6
Manna al-Qathtthan, Mabahis fi Ulum al-Quran, Mansyurat al-‘Asr al-Hadis, Halaman. 178
5
B. Jenis – Jenis Qiroat
Untuk mengetahui macam-macam qiroat yang ada terlebih lagi setelah dikaji
secara extra mendalam oleh para ulama qiraat berdasarkan riwayat-riwayat yang ada
yang demukian populernya dikalangan mereka ulama qiraat sendiri. Mereka
mengelompokan qiroat-qiroat itu menjadi qirat mutawatir, masyhur dan bahkan karena
ada orang-orang yang tidak ahli dan tidak bertanggung jawab tentang qiraat, pada hal
ini dan itu tersebut tidak termasuk qiraat berdasarkan kondisi qiraat seperti di sebutkan
diatas, para ulama qiraat membagi qiraat itu menjadi 6 bagian sebagai berikut :
1. Qiroat Mutawatir
Yaitu bacaan qiroat yang diriwayatkan oleh sekumpulan orang dari sekumpulan
orang sebelumnya yang tidak mungkin mereka bersekongkol untuk melakukan
kebohongan. Semua jalur qiroat berikutnya (thuruqi) sepakat memindahkan
bacaan tersebut ke jalur jalur selanjutnya sampai kita sekarang. Contohnya bacaan
ِ ك ي وِم
atau qiroat الديْ ِن ِِ
ْ َ ٰملayat 4 surat Al-Fatihah dengan ada alif atau tanpa alif
setelah huruf mim adalah qiraat mutawatir. Semua ulama sepakat mengatakan
bahwa qiroat sab’ah yaitu qiroat tujuh imam qiroat mutawatir.
2. Qiroat Masyhur
Qiroat masyhur adalah bacaan atau qiroat yang sanadnya shohih diriwayatkan
oleh orang yang adil dan sangat terpercaya (al ‘adlul dhabith) dari orang yang
sama sebelumnya sampai kepda puncak nya nabi sesuai dengan bahasa arab dan
rasm usmani. Periwayatan tersebut populer dan paraimam qiroat menerimanya
dengan sepenuhnya contoh bacaan atau qiroat abu ja’far salah satu dari imam
ِ ِ َّخ َذ الْم
ِ ت مت ْۖ
ِ َ ض وَْل َخل ِ َّ ْق
qiraat tiga ضدا
ُ ْي َع
َْ ضل ُ ُ ُ ْق اَنْ ُفس ِه ْم َوَما ُك ْن َ ِ الس ٰم ٰوت َو ْاْلَ ْر َ َمآ اَ ْش َه ْد هُّتُ ْم َخل
اَ ْش َه ْد هdan dengan baris atas ta’ ت
Dengan nun انُّتُ ْم َ ُك ْنayat 51 surat al kahfi. Para
ulama berbeda pendapat tentang qiraat tiga sebagian mereka mengatakan
mutawatir, sebagian lainnya mengatakan masyhur tidak sampai derajat
mutawatir. Para ulama menegaskan dua macam qiroat diatas wajib di i’tikatkan
sebagai Al-qur’an dan tidak dibenarkan untuk diingkari sedikitpun. Tujuh qiroat
imam tujuh ditambah dengan tiga imam qiroat yaitu Abu Ja’far (130 H), Ya’qub
(117 H-205 H) dan khalaf sepuluh qiroat. Bila sepuluh qiroat ini dihadapkan
dengan macam-macam qiroat lainnya seperti akan diuraikan dibawah ini maka
qiroat sepuluh dikelompokan sebagai qiroat yang mutawatir. Itulah sebabnya
banyak kitab qiroat sepuluh yang ditulis oleh para ulama terkemuka yang
dipelajari oleh umat islam diseluruh dunia diberi nama dengan qiroat sepuluh
mutawatir seperti kitab yang disusun oleh Asy-Syaikh Abdul Fattah Al-Qadhi :
6
البدور الزاهرة يف القراءات العشر املتواترة من طريقي الشاطبية والدورة
Kitab qiroat ini dipelajari dan dikaji serta menjadi referensi utama bagi mereka
yang mendalami ilmu qiroat di al-azhar atau ma’had-ma’had lain di mesir.
3. Qiroat Ahad
Qiroat yang sanad nya shohih namun menyalahi rasm usmani atau bahasa arab
dan periwayatannya tidak masyhur seperti kemasyhuran qiroat yang penulis
ketengahkan diatas, contoh, qiroat Ibn Muhaisin (123 H), Al-Yazidi, (128-202
H), Al-Hasan Basri (21-110 H). Qiroat Ibn Muhaisin dimaksud adalah
ٍ ض ٍر َّو َع ْب َق ِر ٍي ِحس
ان ْ ْي َع ٰلى رفارف ُخ ِ
َْ ِٕ ُمتَّك
َ
Ayat 76 surat Ar-Rahman. Seperti ini tidak boleh dinyatakan dan tidak wajib di
i’tikadkan sebagai bacaam Al-Qur’an.
4. Qiroat Syaadzdzah
ِ ك ي وِم
الديْ ِن ِِ
Yaitu bacaan qiroat yang sanadnya tidak shohih seperti qiroat ْ َ ٰمل
bentuk fi’il madhi dari ملكdan baris atas mim يَ ْو َم. Bacaan seperti ini tidak boleh
dinyatakan dan tidak wajib di i’tikadkan sebagai bacaan Al-Qur’an.
5. Qiroat Maudhu’
Yaitu bacaan yang tidak ada sumbernya sama sekali atau palsu. Dalam uraian ini
kata palsu dikaitkan dengan kata qiroat karena ada orang yang mengatakan
sebagai qiroat. Contoh qiroat maudhu’ yang diketengahkan ulama adalah huruf
lafadz هللاdengan baris dhommah dan huruf hamdzah lafadz العلماءdengan baris
ٰۤ ِ اّلل ِمن ِعب ِ
atas pada ادهِ الْعُلَ ٰم ُؤاَ ْ َ ٰ ا ََّّنَا ََيْ َشىayat 28 surat fathir.
7
6. Qiroat Mudrajah
Yaitu bacaan yang dalam bacaan qiroat tersebut diselipkan tapsiran dari ayat
bersangkutan seperti qiroat sa’ad bin abi waqash dengan menamkahkan kata
من اُمpada ayat َّولَهٓ اَخ اَ ْو اُ ْخت من اُم ayat 12 surat An-Nisa.
7
Shidqy Munjin. (2019). Konsep Asbab AlNuzul dalam Ulum Al-Qur’an. Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir, 04(01). hlm. 65.
7
Secara kuantitas qira’at terbagi menjadi tiga bagian yang terkenal di antaranya: Qira`at
sab`ah Qira’at sab‘ah adalah qira’at yang disandarkan kepada tujuh imam yang telah
disepakati oleh para ulama, antara lain: Ibnu Amir. Adapun yang dimaksud dengan
Qira’at Empat Belas (Qira’at Al-Arba’ ‘Asyarah) adalah sepuluh Qira’at ditambah
dengan empat Qira’at berikut:
1. Hasan Al-Bishry.
2. Muhammad bin Abdu Ar-Rahman.
3. Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidiy.
4. Abu Al-Faraj Muhammad bin Ahmad Al-Syanbudziy.
Namun 4 bacaan tambahan ini tidak lolos seleksi, sehingga dkategorikan
sebagai bacaan syadz yang tidak terpakai, karena dalam sanadnya tidak shahih.
C. Macam-Macam Wahyu
Menurut Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarqani (1988), wahyu Allah terdiri atas
bermacam-macam yakni berupa wahyu yang berisikan percakapan Allah dengan hamba yang
dipilihnya seperti Allah berbicara dengan Nabi Musa AS sebanar-benar berbicara, dan ada pula
wahyu itu dalam bentuk ilham berupa ilmu Dharuri yang dimasukkan ke dalam hati hamba
yang dipilihnya. Dari semua wahyu itu, al-Qur`an lah wahyu
Menurut Yunahar Ilyas yang dimaksud dengan perantaraan wahyu dalam ayat di atas
adalah melalui mimpi atau ilham. Sedangkan yang dimaksud dengan dibelakang tabir ialah
seorang dapat mendengar Kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang
terjadi kepada Nabi Musa AS. Rasul yang dimaksud dalam ayat di atas adalah malaikat seperti
malaikat Jibril AS. Dari kandungan ayat di atas dapat dipahami ada tiga cara Allah
menyampaikan wahyu kepada Nabi dan Rasul-Nya yaitu:
8
Manna al-Qathtthan, Mabahis fi Ulum al-Quran, Mansyurat al-‘Asr al-Hadis, Halaman. 178
9
a. Melalui mimpi yang benar Wahyu dengan cara ini langsung disampaikan kepada
Nabi dan Rasul-Nya tanpa perantara malaikat. Contohnya adalah mimpi Nabi Ibrahim AS.Agar
menyembelih putranya Ismail. Firman Allah yang terjemahannya: “Maka Kami beri dia kabar
gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah Firman Allah
yang terjemahannya: “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang
telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya
Tuhanku, nampakanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”.(al-
A’raf: 143) Melalui malaikat Jibril Menurut Manna’ al-Qathan (2004: 43-44), ada dua cara
penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul9:
1) Datang dengan suatu suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang amat kuat yang
dapat mempengaruhi kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima
pengaruh itu. Cara ini adalah yang paling berat bagi Rasul. Apabila wahyu yang turun kepada
Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya
untuk menerima, menghafal dan memahaminya.
2) Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki. Cara seperti ini lebih
ringan daripada cara sebelumnya, karena adanya kesesuaian anatara pembicara dengan
pendengar. Beliau mendengarkan apa yang disampaikan pembawa wahyu itu dengan senang,
dan merasa tenang seperti seseorang yang sedang berhadapan dengan saudaranya sendiri.
daripadanya, mempunyai banyak arti di dalam ayat-ayat al-Qur`an, seperti yang telah
dikemukakan pada bagian terdahulu. Demikian pula pihak yang menerimanya banyak pula
ragamnya, seperti malaikat, nabi dan rasul, manusia biasa, binatang dan lainnya.10
Di samping itu terdapat juga perbedaan latar belakang dari orang yang menetapkan
tentang konsep wahyu, ilham dan insting (ghazirah) tersebut, seperti perbedaan mazhab, aliran,
dan disiplin ilmu, serta keahliannya masing-masing. Oleh karena itu, biasanya ditemui pada
berbagai literatur dan lainnya, terdapat berbagai pendapat dari segenap pihak, baik dari para
ahli maupun dari kita ini, yang menetapkan tentang pengertian wahyu, ilham dan insting
(gharizah). Sejalan dengan itu, Subhi al- Shalih dalam Nasharudin Umar menjelaskan bahwa
akar kata wahyu di dalam kamus-kamus menunjukkan dua makna asal, yakni al- khafa’
(tersembunyi) dan al-sur’ah (cepat), yang barangkali memiliki pengertian mendasar
memberitahukan sesuatu (komunikasi suatu gagasan) dengan cara yang tersembunyi dan cepat.
9
Masduki, “Teori Collective Unconscious: Pemikiran W. Montgomery Watt tentang al-Qur‟an dalam
Islamic Revelationin the Modern World”,,, h. 352.
10
W. Montgomery Watt, Islamic Revolution in the Modern World,,, h. 110
10
Dengan demikian, wahyu mengandung maksud penyampaian sabda Tuhan kepada manusia
pilihan- Nya, tanpa diketahui orang lain, agar dapat diteruskan kepada manusia untuk dijadikan
sebagai pegangan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Sementara itu Quraish Shihab
menjelaskan bahwa kata “wahyu” dari segi bahasa adalah isyarat yang cepat, mirip dengan
sesuatu yang dirahasiakan. Banyak ulama mendefinisikannya dengan: “informasi yang
disampaikan Allah kepada seseorang Nabi tentang ajaran agama atau semacamnya, baik secara
Firman Allah yang terjemahannya: “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “buatlah
sarang- sarang di bukit-bukit, di pohon- pohon kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin
manusia” (an-Nahl: 68) Selanjutnya,Gharizah secara bahasa berarti insting, dorongan, tabiat,
watak. Dalam Mu’jam gharizah diartikan dengan al-thabi’ah yang berarti “perangai atau tabi’at,
al- Qarihah yang berarti “tabi’at manusia, kepintaran”, alsaijiyah yang berarti “perangai, tabiat,
akhlak” Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa insting sama dengan gharizah yang dapat
berarti naluri, tabi’at, perangai yang tidak dipelajari. Naluri atau gharizah diberikan Allah
kepada manusia biasa dan binatang.
11
Taufik Andan Amal, Rekontruksi Sejarah al-Qur’an,,, h. 81
11
Nya sebagai petunjuk, perintah, larangan, dan sebagainya. Selain itu dalam hal ini
penerima wahyu memahami komunikasi tanpa mendengar suara apapun atau melakukan
kontak dengannsiapapun.
Begitupun dengan wahyu yang diperoleh melalui mimpi yang benar (ar-Ru‟ya al-
S{adiq) termasuk dalam kategori ini. dalam penyampaian wahyu melalui mimpi yang
benar ini pernah dilalui oleh Nabi Ibrahīm a.s ketika bermimpi diperintahkan oleh Allah
untuk menyembil putranya yakni Nabi Isma‟īl a.s dan ketika beliau bangun dari tidurnya,
beliau yakin bahwa itu adalah perintah dari Allah swt.
Selain itu, wahyu dalam bentuk ini juga dirasakan oleh Rasulullah saw. sebelum
beliau menerima wahyu pertama di Gua Hirā yakni atau ahyu-wahyu al-Qur‟an, hal ini
sebagaimana yang diceritakan oleh Aisyah r.a dalam hadis Mutaffaqun „alaih bahwa:
“Wahyu yang pertama kali dialami oleh Rasulullah SAW adalah ar-ru'ya as}-s}adiqah
mimpi yang benar dalam tidur. Mimpi itu datang sejelas fajar Subuh yang menyingsing
kemudian beliau mulai suka menyendiri dan melakukannya di gua Hirā; beliau bersermedi
(beribadah) di dalamnya selama beberapa malam.” Menurut Muhammad Syahrur mimpi
yang benar terbagi kepada dua bagian yakni wahyu jenis pertama adalah wahyu yang
diperuntukan kepada para Nabi melalui tidur baik disampaikan secara langsung maupun
yang bersifat simbolik sebagaimana yang diterima oleh Nabi Yusuf a.s. Jenis yang kedua
disebut dengan istilah mubassirāt, yang mana itu adalah mimpi yang benar dan bukan
merupakan wahyu serta dapat terjadi kepada semua manusia. Adapun proses pewahyuan
yang tidak melalui perantara dengan bentuk yang kedua yakni wahyu yang diperoleh
dibalik tabir atau hijab, dimana seorang Nabi pertama-tama melihat sesuatu yang luar
biasa, atau mendengar suara-suara yang aneh, kemudian ia memusatkan perhatiannya
kearah tersebut lantas ia dapat mendengar wahyu dari Allah tanpa melihat dan mengetahui
sumber datangnya wahyu tersebut, dan seseuatu yang dilihat sebelum menerima wahyu
itulah yang disebut dengan hijab, yakni pemisah antara alam nyata dengan alam
transendental. Bentuk wahyu seperti ini sebagaimana yang dirasakan oleh Nabi Musa a.s,
begitupula dialami oleh Nabi Muhammad ketika peristiwa Isra Mi’rāj yang mendengar
secara langsung kalam Ilahi akan tetapi tidak dengan melihatnya. Menurut Manna
alQattan, tidak ada satupunwwahyu al-Qur‟an yang diterima dengan cara ini. Metode
pewahyuan yang dapat didengar oleh panca indra dan diilustrasikan seperti deringan
12
lonceng, merupakan salah satu jenis metode wahyu Tuhan yang diberikan kepada Rasul
dengan perantara Malaikat. 12
Dalam sebuah riwayat hadis yang diceritakan oleh Aisyah r.a bahwa malaikat datang
kepada Nabi Muhammad saw. dengan suara seperi bunyi lonceng dan suara yang amat
kuat sehingga mempengaruhi faktor-faktor alam sadar Muhammad saw., dan cara ini
adalah cara yang paling berat bagi Nabi saw. keadaan yang demikian menuntut ketinggian
rohani Nabi Muhammad saw. agar seimbang dengan derajat ketinggian rohani malaikat
Jibril. Ketika wahyu yang turun dengan cara inipkepada Muhammad saw, maka ia
mengumpulkan segala kekuatannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya.
Selanjutnya dalam membahas cara penerimaan wahyu dengan perantara ruh suci atau
malaikat yang memberikan efek suara (auditer) dan penglihatan (imaginal/visual), Abduh
menjalaskan bahwasanya adanya gambaran auditer dan visual ruh-ruh tersebut dalam diri
seseorang yang memiliki derajat yang tinggi seperti para Nabi, tidak perlu diperdebatkan
karena hal itu bukanlah sesuatu yang mengherankan. Dengan menggunakan pendekatan
psikologis dengan mengambil studi kasus yang pernah ada pada masa hidupnya, Abduh
mengatakan bahkan musuh-musuh para Nabi saja mempercayai hal yang tidak jauh
berbeda persoalan tersebut, yakni apa yang pernah terjadi pada sebagaian orang yang
terkena penyakit tertentu.
Yang mana dalam sebuah kasus tersebut mereka mempercayai bahwa apa yang dapat
dipikirkan padaaakal mereka, dapat dideskripsikan dalam ilusi dan kemudian terbawa
kedalam derajat yang dapat diindra oleh penglihatan, sehingga pada akhirnya samapai
kepada pernyataan bahwa seseorang yang memiliki penyakit tersebut mendengar dan
melihat sesuatu bahkan sampai pada taraf seolaholah dia sedang bercengkrama dengan
orang lain, dan hal tersebut dibenarkan saja, padalah pada hakikatnya hal tersebut tidak
pernah terjadi.
Dan penyakit ini dikenal di abad modern dengan istilah penyakit halusinasi auditorik
dan visual Dengan menggunakan analogi di atas, menurut penulis bukan berati Abduh
menyamakan keadaan para Nabi dengan orang yang sakit tersebut akan tetapi hal ini
menegaskan bahwa apa yang terjadi pada para Nabi benar adanya. Adanya suatu
penglihatan dari apa yang tergambar oleh akal dan sumbernya tidak lain adalah berasal
12
Arif Muammar, ‚Konsep Wahyu dalam Al-Qur’an: (Kajian Semantik)‛, Jurnal al-Tibyan, Vol. II, No.
2, (Juli-Desember, 2017), h. 184
13
dari ruh-ruh tersebut. Menurut Abduh hal tersebut bisa terjadi dikaranakan adanya suatu
gambaran yang hadir ke otak atau yang lebih dikenal dengan anima somatica, selain itu
hal tersebut terjadi karena saat roh-roh suci itu melepaskan diri dari alam nyata ini dan
berhubungan dengan alam rohani yang suci.
Terjadinya hal ihwal yang demikian dikarnakan adanya hubungan dan kesanggupan
akal pada para Nabi, yang memiliki personality yang istimewa dibandingkan dengan
kebanyakan manusia lain, ringkasnya perhubungan ruhruh dengan entitas para Nabi
merupakan sesuatu perkara yangktidak terjadi pada manusia biasa..50 Begitupula yang
dialami oleh Nabi Muhammad saw., sesuatu yang menyebabkan Nabi Muhammad saw.
lebih tinggi dan berbeda dari manusia lain menurut Abduh dikarnakan adanya intuisi
(wijdan) yang dibimbing langsung oleh Sang Khaliq yang tidak lain berbentuk wahyu Ilahi
yang memancarkan cahaya Tuhan yang menerangi jalannya dan mu‟jizat terbesar dari
kerasulannya.51 Maka bagi Muhammad Abduh adanya gambaran suara dan penglihatan
yang berasal dari ruh-ruh yang memiliki derajat yang tinggi lagi mulia itu adalah sesuatu
yang logis adanya, dan bukanlah masalah jika kita mendeskripsikan hakikat-hakikat
tersebut
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qira’at adalah bentuk jamak dari qira’ah yang artinya bacaan. Sedangkan
menurut istilah bahwa qira’at adalah merupakan metode atau cara baca lafazh atau
kalimat di dalam Al-Qur’an dari berbagai macam segi (riwayat), sebagaimana yang
telah diriwayatkan langsung dari Rasulullah S.A.W. Secara kuantitas qira’at terbagi
menjadi 3 bagian yang terkenal diantaranya, qira’at sab‘ah, qira’at asyrah dan qiraat
qrba‘ah Asyrah. sedangkan secara kualitas sebagai berikut, mutawatir, masyhur, ahad,
syadz, mudraj, maudlhu. Manfaat dari adanya khilafiyah qira’at yang utamanya adalah
tetap terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan, dan memudahkan
untuk qira’ah.
Dan wahyu secara etimologi berarti isyarat, perintah, ilham, bisikan ke dalam
sukma dan lainnya. Kemudian wahyu dalam pengertian isthilah atau terminologi adalah
firman Allah yang disampaikan kepada nabi dan rasul, baik langsung melalui malaikat
Jibril atau tidak, untuk disampaikan kepada umatnya sebagai pedoman hidup di dunia
dan di akhirat. Macam-macam wahyu terdiri atas wahyu jalli dan wahyu khafi. Wahyu
jalli adalah wahyu yang di sampaikan kepada nabi dan rasul baik langsung ataupun
tidak, sedangkan wahyu kaffi adalah berupa hadis Qudsi. Kemudian cara turun wahyu
kepada nabi dan rasul melalui cara langsung dan tidak langsung. Perbedaan antara
wahyu dengan insting (gharizah) dan ilham adalah, bahwa wahyu merupakan firman
Allah SWT yang disampaikan kepada nabi dan rasul.Sedangkan ilham merupakan
sesuatu yang diresapkan Allah kepada manusia biasa. Selanjutnya, insting (gharizah)
adalah perwujudan psikologik dan kebutuhan tubuh yang menuntut pemuasan, orang
biasa menyebutnya dengan naluri.
15
DAFTAR PUSTAKA
Munjin, S. (2019). Konsep Asbab Al-Nuzul dalam Ulum Al-Qur’an. AlHulaimi, A.H. (2016).
Qira’at dalam Perspektif Ignaz Goldziher. Ponpes Modern Gontor: Studia Quranika
Abû Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri,(Beirut: Dâr al-Fikri,
1995),Jilid. III,
Halaman. 239
Shidqy Munjin. (2019). Konsep Asbab AlNuzul dalam Ulum Al-Qur’an. Al-Tadabbur: Jurnal
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Imam Badr al-Din Muhammad az-Zarkasyi, al-Burhan Fi Ulum al-Quran, (Mesir: Isa al-Babi
al- Halabi,t.th)
16