QIRA,AT AL-QUR’AN
Disusun Oleh:
220702037
Dosen Pengampu:
Hj.Dr.Nurjannah Ismai,M.Ag.
Tak ada gading yang tak retak karenanya saya sebagai penulis menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari sisi
materi maupun penulisannya. saya dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka
menerima berbagai masukan maupun saran yang bersifat membangun yang
diharapkan berguna bagi seluruh pembaca.
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
A. Pengertian Ibadah.................................................................................
B. Pengertian Thaharah.............................................................................
C. Pengertian Shalat..................................................................................
D. Pengertian Zakat...................................................................................
E. Pengertian Puasa...................................................................................
F. Pengertian Haji.....................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW, perhatian umat terhadap kitab Al-Qur‟an
ialah memperoleh ayat-ayat Al-Qur‟an dengan mendengarkan, membaca dan
menghafalkannya secara lisan dari mulut ke mulut.
Hal itu diupayakan Khalifah Utsman, karena pada waktu ada perselisihan sesama
muslim di daerah Azzerbeijan mengenai bacaan AlQur‟an. Perselisihan tersebut hampir
saja menimbulkan perang saudara sesama umat Islam. Sebab, mereka berlainan dalam
menerima bacaan ayat-ayat Al-Qur‟an karena oleh Nabi Muhammad SAW diajarkan cara
bacaan yang relevan dengan dialek mereka masing-masing. Tetapi karena tidak
memahami maksud tujuan Nabi Muhammad SAW, lalu tiap golongan menganggap hanya
bacaan mereka sendiri yang benar, sedang bacaan yang lain salah, sehingga
mengakibatkan perselisihan. Itulah pangkal perbedaan qira‟at dan tonggak sejarah
tumbuhnya ilmu qira’at.1
Tatkala para qari‟ sudah tersebar di berbagai pelosok. qira‟at tersebut diajarkan
secara turun temurun dari guru ke guru, sehingga sampai pada para imam qira‟at, baik
yang tujuh maupun sepuluh.
1
Abdul Djalal, Usul Fiqh (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), hlm. 242-243.
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qira‟at yang masyhur padahal masih
banyak imam-imam qira‟at lain yang lebih tinggi kedudukannya, karena sangat
banyaknya periwayat qira‟at mereka. Ketika semangat dan perhatian generasi sesudahnya
menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qira‟at yang sesuai dengan
khaf mushaf serta dapat mempermudah penghafalan dan pendabitan qira’atnya. 2
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ibadah?
2. Apa pengertian Thaharah?
3. Apa pengertian Shalat?
4. Apa pengertian Zakat?
5. Apa pengertian Puasa?
6. Apa pengertian Haji?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ibadah.
2. Untuk mengetahui pengetian dari Thaharah.
3. Untuk mengetahui pengertian dari Shalat.
4. Untuk mengetahui pengertian Zakat.
5. Untuk mengetahui pengertian Puasa.
6. Untuk mengetahui pengertian Haji.
2
Manna’ Khalil Al-Qaththan, Studi-studi Ilmu-ilm Fiqh(Bogor: Litera Antar Nusa, 2016),
hlm. 249.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qira’at Al-Qur’an
Qira’at secara bahasa adalah bentuk jamak dari qira’ah. Qira’ah diambil dari kata
قرأlalu dibentuk mashdarnya menjadi يقرأ قرأ- وقرآنا- قراءة- yang berarti menghimpun
atau membaca. Sedangkan menurut terminologi qira’ah adalah:
القراءة هي اختال ف ألفاظ الوحي المذكور في كتا بة الحروف أوكيفية النطق بها من تخفيف وتثقيل وغيرهما
القراءات مذ هب من مذاهب النطق في القرآن يذ هب به إمام من االئمة القراء مذهبا يخالف غيره في النطق ابلقرآن
الكر يم وهي ثا بتة بأ سانيد ها إ لى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم
“Qira’at adalah salah satu madzhab dari beberapa madzhab artikulasi (kosa kata) Al-
Qur’an yang dipilih oleh salah seorang Imam Qira’at yang berbeda dengan madzhab
lainnya serta berdasarkan pada sanad yang bersambung hingga Rasulullah SAW.”
Sedangkan yang dimaksud dengan al-muqri’ adalah orang yang alim dengan
qira‟ah yang meriwayatkannya secara musyafahah (lisan) melalui jalan talaqqi (berguru
langsung) dari orang yang ahli di bidang qira‟ah, demikian sampai silsilah qira‟ah
tersebut bersambung hingga kepada Rasulullah SAW.
Dengan demikian, maka qira‟at bukan ciptaan para imam qira’at tetapi ia dari
Rasulullah SAW. Qira‟at diturunkan bersamaan dengan turunnya Al-Qur‟an. Artinya,
qira‟at itu termasuk dalam Al-Qur‟an yang kemudian Al-Qur‟an dinisbatkan kepada
seorang Imam Qira‟at yang meneliti dan menyeleksinya (Qira’at Qalun).3
Jadi, yang dimaksud dengan Ilmu Qira‟at Al-Qur‟an adalah ilmu yang
mempelajari tentang cara membaca ayat-ayat Al-Qur‟an yang berupa wahyu Allah SWT,
dipilih oleh salah seorang imam ahli qira‟at, berbeda dengan cara ulama lain,
berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir sanadnya dan selaras dengan kaidah-kaidah
bahasa Arab serta cocok dengan bacaan terhadap tulisan Al-Qur‟an yang terdapat dalam
salah satu mushaf Utsman.5
Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at
bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung
asumsi ini, yaitu:
Suatu ketika Umar bin Khathtab membaca Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa
perbedaan membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah SAW. Maka beliau menjawab
dengan sabdanya, yang artinya :
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in,
yaitu pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di
berbagai pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya dari pada mengikuti
3
Anshori, Ulumul Qur’an; Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan (Jakarta: Rajawali
Press, 2014), hlm. 143-144.
4
Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 15.
5
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), hlm. 340-341.
qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari
guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang
empat belas.
Pada masa itu himbauan tokoh-tokoh dan pemimpin ummat untuk bekerja keras
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa membedakan antara bacaan
yang benar dan yang tidak benar. Mereka mengumpulkan huruf dan qira'at,
mengembangkan wajah-wajah dan dirayah, menjelaskan yang benar dan yang salah serta
yang berkembang dan yang punah dengan pedoman-pedoman yang mereka kembangkan
dan segi-segi yang mereka utamakan.
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu
bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya.
Dan kalau diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam
kasus Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri.
a. Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk
kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang
pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat
“Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca “Bil Bakhli”, dapat pula dibaca
“Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi “Bil Bukhli”.
b. Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya,
misalnya pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “Ya Tuhan kami
jauhkanlah jarak perjalanan kami”. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah
diatas adalah “ba’id” karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca
“ba’ada” yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh.
c. Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya,
sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-
Baqarah ayat 259, yang artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai
itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata
“nunsyizuhaa” artinya (kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan
huruf (Za’) diganti dengan huruf (ra’) sehingga berubah bunyi menjadi
“nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).
d. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi
maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah
ayat : 5, yang artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang
dihamburkan”. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-
shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi
bulu-bulu domba.
e. Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya,
misalnya pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”.
f. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman
Allah dalam surah Qof ayat : 19, yang artinya “dan datanglah sakaratul maut
dengan sebenar-benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah
membacanya menjadi “wa ja’at sakrat al-haqq bin al-maut”. Ia menggeser kata
“al-maut” ke belakang dan memasukkan kata “al-Haq”. Sehingga jika diartikan
dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan
kematian”.
g. Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah
dalam surah al-Baqarah: 25, yang artinya “…surga-surga yang mengalir sungai-
sungai di dalamnya.” Dalam ayat tersebut terdapat kata “min”, kata ini dibuang
pada ayat serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa
menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa tidak terdapat
“min” justru ditambah.6
6
Umar, Ratnah. "QIRA’AT AL-QUR’AN (Makna dan Latar Belakang Timbulnya Perbedaan
Qira’at)." AL ASAS 3.2 (2019): hlm. 35-41.
Sebab-sebab munculnya beberapa Qira’at yang berbeda adalah:
Perbedaan antara satu qira’at dan qira’ah lainnya bisa terjadi pada huruf, bentuk
kata, susunan kalimat, i’rab, serta penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan –
perbedaan ini sedikit banyaknya membawa perbedaan makna, yang selanjutnya pada
hukum yang di-istinbath-kan. Karena itu, al-Zarkasyi berkata yang artinya :
با خال ف ا لقرا ءات يظهر اال ختال ف في اال حكام رلهذا بني الفقهاء نقض وضوء الملموس وعد مه علىان
اختال ف القراءات في (لمستم) و (المستم) وكذ لك جواز وط ء الحا ئض عند اال نقطا ع وعد مه الى الغسل على
)اختال فهم في (حتى يطهرن
Menurut qira’ah nafi’ dan Abu ‘Amir dibaca حتى يطهرن, dan menurut qira’ah al-
Kisa’i dan Hamzah رن²²تى يطه²ح. Qira’ah pertama dengan sukun tha dan dhammah ha
menunjukkan larangan menggauli perempuan itu ketika haid. Ini berarti bahwa ia boleh
dicampuri setelah haidnya sekalipun belum mandi. Ini pendapat Abu Hanifah, adapun
qira’ah kedua dengan tasydid tha dan ha menunjukkan adanya perbuatan manusia dalam
usaha menjadikan dirinya bersih. Perbuatan ini adalah mandi, sehingga يطهرنditafsirkan
denganلن²²²( يغسmandi). Berdasarkan qira’at Hamzah dan al-Kisa’i, jumhur ulama
menafsirkan bacaan yang tidak bertasydid dengan makna bacaan yang bertasydid. 8
Perbedaan antara qira’ah ال مستم النساءdan juga memengaruhi لمستم النساءperbedaan
dalam istinbath hukum. Menurut mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, berarti bersentuhan
yang disertai dengan syahwat . Adanya menurut mazhab al-Syafi’i, bersentuhan kulot
saja akan membatalkan wudhu’.
Dari sudut qira’ah, perbedaan qira’ah dalam ayat ini jelas menimbulkan perbedaan
pengertian. Qira’ah pertama mengandung unsur interaksi antara pihak yang menyentuh
dan yang disentuh. Baik interaksinya sampai pada jimak sebagaimana yang dianut
mazhab Hanafi maupun hanya sampai batas perasaan syahwat sebagaimana yang
dipahami dalam mazhab Maliki. Sebab kataالمس termasuk bentuk kata musyarakah
dalam ‘ilm sharaf. Sementara itu, qira’ah لمسadalah bentuk kata kerja muta’addi
(transitif) yang tidak mengandung unsur musyarakah. Karena itu, qira’ah pertama
mendukung pendapat mazhab Hanafi dan Maliki dan qira’ah kedua mendukung mazhab
al-Syafi’i. Di samping itu, masing-masing mempunyai alasan lain.
7
Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fii Ulum Al-Qur’an, hlm. 326
8
Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir al-Ahkam min Al-Qur’an, jilid 1, (Mekkah):
T,P., t.t.), hlm. 301-302.
Sebagian ulama memandang qira’ah syadzdzah sebagai pembantu untuk
mengetahui kebenaran suatu takwil. Qira’ah Ibn Mas’udا نهما²²وا ايم²²والسارق واالسارقة فا قطع
dapat membantu memahami hukum potong tangan bagi pencuri. Dalam qira’ah lain yang
berbunyi ديهما²²وا اي²²ا قطع²²فqira’ah sa’d ibnAbi Waqqash اواخ اواخت من ام²²ولهاخmenjelaskan
qira’ah Hafsah yang tanpa kalimat من امtentang jenis saudara dalam masalah warisan. 9
Kasus lain misalnya ayat :
ِ ِٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا ِا َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َواَ ْي ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف
ق َوا ْم َسحُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَ ْي ۗ ِن
Perbedaan cara membaca pada ayata ini membawa pengaruh besar dalam istinbath,
pengambilan hukum kedua kaki dalam wudhu’. Sebagian ulama memahami wajib
membasuh keduanya dan sebagai lainnya menyamakan dengan menyapunya. Perbedaan
ini timbul karena perbadaan qira’ah, Nafi’, Ibn ‘Amir, dan Al-Kasa’i membaca ارجلكلم
dengan fathah lam. Adapun Ibn Katsir, Abu ‘Amir, dan Hamzah membacanya ارجلكلم
dengan kasrah lam. Dengan mengambil qira’ah nashb ( fathah lam ), jumhur
berpendapat, membasuh kadua kaki wajib hukumnya dan tidak menyamakannya dengan
menyapunya, pendapat ini mereka kuatkan dengan beberapa Hadis. Syi’ah Imamiyah
berpegang pada qira’ah jar ( kasrah lam ), sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua
kaki dalam wudu’. Pendapat yang sama diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas dan Anas Ibn
Malik.10
9
Al-Shalih, Mabaahits fi’Ulum al-Qur’an, hlm. 252-253.
10
Mushafa Sa’id al-Khinn, Alsar al-Ikhtilaf al-Qawa’id al- Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, (Kairo:
Muassasah al-Risalah, 1972), hlm. 38-40.
ini. Hal ini menujakkan bahwa Malik dan Syafi’i hanya berpegang pada qira’ah yang
tertulis dalam mushaf.
11
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, jilid 1, hlm. 84.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian
Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at
bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung
asumsi ini, yaitu: Suatu ketika Umar bin Khathtab membaca Ayat Al-Qur’an. Kemudian
peristiwa perbedaan membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah SAW. Maka beliau
menjawab dengan sabdanya, yang artinya : “Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan.
Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa
yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu,”
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu
bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya.
Dan kalau diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam
kasus Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri.
pengetahuan tentang berbagai qira’ah sangat perlu bagi seseorang yang ingin
meng-instinbath hukum dari Al-Qur’an pada khususnya dan menafsirkan pada umumnya.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa penulisan masih jauh
dari kata sempurna, kedepannya kami akan lebih berhati-hati dalam menjelaskan
tentang makalah dengan sumber-sumber yang lebih baik dan dapat lebih
dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Djalal Abdul, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), hlm. 242-243.
Djalal Abdul, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), hlm. 340-341.
al-Khinn Sa’id Mushafa, Alsar al-Ikhtilaf al-Qawa’id al- Ushuliyah fi Ikhtilaf al-
Fuqaha’, (Kairo: Muassasah al-Risalah, 1972), hlm. 38-40.