Anda di halaman 1dari 14

PERBEDAAN ANTARA ‫قراءة‬، ‫رواية‬، ‫ وجه & طريق‬DALAM

ILMU QIRA’AT AL QUR'AN

Dosen Pengampu:
Hj. Shofwatal Qolbiyyah, S.Pd.I., M.Pd.I.

Disusun Oleh:
MOH KHOTIB
NIM: 202304010030

UNIVERSITAS DARUL ‘ULUM JOMBANG


FAKULTAS AGAMA ISLAM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan
makalah tentang: ”PERBEDAAN ANTARA ‫قراءة‬، ‫رواية‬، ‫ وجه & طريق‬DALAM
ILMU QIRA’AT AL QUR'AN”. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas kuliah yang diampu Hj. Shofwatal Qolbiyyah, S.Pd.I., M.Pd.I. di
Program Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Darul
‘Ulum Jombang.
Penulis mengharapkan makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua,
dalam hal menambah pengetahuan dan wawasan tentang perbedaan antara qira’ah
(‫)قراءة‬, riwayah (‫)رواية‬, thariq (‫ )طريق‬dan wajh (‫ )وجه‬dalam ilmu Qira’at Al Qur’an.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan
kesempatan dan dukungan kepada penulis, sehingga makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
segala kritik dan saran yang membangun selalu peneliti harapkan. Selanjutnya,
peneliti berharap makalah ini mampu memberikan manfaat kepada semua pihak.

Jombang, 14 Desember 2023


Penulis,

Moh Khotib

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 3
A. Pengertian Ilmu Qira’at, Sejarah Perkembangannya dan Syarat-
Syaratnya .................................................................................... 3
B. Definisi Qira’ah (‫)قراءة‬, Riwayah (‫)رواية‬, Thariq (‫ )طريق‬dan
Wajh (‫ )وجه‬.................................................................................. 7
C. Perbedaan Qira’ah (‫)قراءة‬, Riwayah (‫)رواية‬, Thariq (‫ )طريق‬dan
Wajh (‫ )وجه‬dalam Ilmu Qira’at Al Qur’an ................................... 8
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada era teknologi yang semakin modern ini, para pembaca al-Quran
dapat membaca, mengikuti, dan mendengarkan bacaan orang lain dari belahan
dunia manapun. Hal ini menjadi suatu keunggulan dan menjadi metode baru
dalam belajar membaca al-Quran sehingga para pembaca al-Quran dapat
menerapkan berbagai metode. Akan tetapi, alangkah baiknya, sebelum para
pembaca menerapkan metode pembacaan al-Quran, perlu untuk memahami
perbedaan qiraah, riwayah, dan thariq dalam ilmu tajwid karena jika tidak
memahami perbedaan tersebut, problem muncul ketika bacaan yang didengar
tidak sama dengan bacaan yang pernah dipelajari oleh si pendengar sehingga
terjadi miskonsepsi dan mispersepsi. Padahal, bacaan al-Quran yang
menurutnya berbeda, itu juga bersumber dan diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Perbedaan bacaan al-Quran itu disebabkan adanya klasifikasi bacaan
yaitu qiraah, riwayah, dan thariq. Bacaan al-Quran yang populer di dunia Islam
serta menjadi role model di Indonesia saat ini, jika diklasifikasikan maka ia
adalah qiraah Ashim, riwayah Hafsh, dan thariq Syathibi.
Belakangan ini sering bermunculan para pembaca al-Qur’an yang
mencampuradukan (talfiq) bacaan al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena
ketidaktahuan mereka mengenai hal-hal yang berkaitan dengan thariq dalam
qira’ah tertentu, khususnya qira’ah Ashim dengan riwayah Hafs yang menjadi
bacaan mayoritas kaum muslimin di dunia. Misalnya, membaca saktah pada
lafal ‫ بل ران‬pada Q.S. al-Muthaffifin: 14, padahal ia membaca mad munfashil
dengan panjang dua harakat. Seharusnya ia membaca dengan mengidhgamkan
huruf lam ke dalam ra’.
Riwayah Hafs mempunyai thariq yang sangat banyak, yaitu 52 thariq
(Al-Jazari, 1998: 153). Sedangkan menurut Imam al-Dhabba’ mempunyai 57
thariq (Dhamrah, 2009: 46) dengan menambahkan 5 thariq yang tidak dipilih
oleh Imam Ibnu al-Jazari. Thariq dari riwayah Hafs yang menjadi pegangan

1
2

mayoritas umat Islam di dunia adalah thariq Ubaid bin Shabah yang
dinadzamkan oleh Imam al-Syatibi dalam qasidahnya Hirzu al-Amani wa
Wajhu al-Tahani. Thariq ini juga dikenal dengan nama thariq al-Syatibiyyah.
Thariq-thariq lain dari riwayah Hafs juga menjadi pedoman dalam membaca
al-Qur’an oleh sebagian umat Islam. Jadi, Thariq al-Syatibiyyah adalah salah
satu thariq dari 57 thariq dalam riwayah Hafs.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mencoba untuk memaparkan hal-hal
yang berkaitan dengan qiraah, riwayah, thariq dan wajh dalam varian bacaan
al-Qur’an. Sebagai contoh, penulis akan menggunakan contoh thariq-thariq
dalam riwayah Hafs. Thariq-thariq tersebut adalah thariq al-Syatibiyyah, thariq
al-Farisi dalam kitab al-Tajrid dan thariq Ibnu al-Mu’addal dalam kitab
Raudhah. Selain itu, penulis juga akan memaparkan hukum mencampuradukan
thariq dalam bacaan al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah
sebagai berikut: “Bagaimanakah perbedaan antara qira’ah (‫)قراءة‬, riwayah
(‫)رواية‬, thariq (‫ )طريق‬dan wajh (‫ )وجه‬dalam ilmu Qira’at Al Qur’an?

C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui perbedaan
antara qira’ah (‫)قراءة‬, riwayah (‫)رواية‬, thariq (‫ )طريق‬dan wajh (‫ )وجه‬dalam ilmu
Qira’at Al Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Qira’at, Sejarah Perkembangannya dan Syarat-


syaratnya
Qira’at (‫ )القراءة‬adalah kata majmu’ dari kata qira’ah ‫ ة َ َءا َ ِرق‬yang diambil
dari kata ‫( أ َ َرق‬Anis, Ibrahim, et. al, 1972: 722). Menurut istilah, qira’ah adalah
salah satu bacaan yang diriwayatkan oleh salah seorang ulama qira’at yang
berbeda dengan bacaan ulama lain dalam menuturkan lafaz Al-Qur’an al-
karim, sama ada perbedaan itu dalam menuturkan huruf-hurufnya atau
menuturkan lafaznya (az-Zarqany, 1995: 412). Maka ilmu qira’at adalah ilmu
yang dengannya dapat diketahui cara menuturkan kata-kata Alqur’an dan cara
membacanya, baik yang disepakati para ulama qira’at maupun yang padanya
terdapat khilaf, dengan menisbahkan setiap bacaan kepada orang yang
meriwayatkannya. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa materi ilmu qira’at
adalah cara menuturkan kata-kata Al-Qur’an dan cara membacanya.
Rasulullah SAW dan para sahabat pada awalnya menumpukan perhatian
terhadap menghafal Al-Qur’an, karena Rasul SAW adalah seorang yang ummi
diutus kepada orang-orang ummi, ditambah dengan sarana pada saat itu kurang
maksimal. Sebab itu para sahabat berusaha mendengar, menghafal, memahami,
dan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun
demikian Rasulullah SAW tidak mengabaikan pengumpulan Al-Qur’an
melalui tulisan. Rasulullah SAW telah mengangkat sebagian sahabat sebagai
penulis wahyu seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar, Utsman, Ali, Mu’awiyah,
Aban bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan
Tsabit bin Qais. Kemudian semua yang mereka tulis diletakkan di rumah
Rasulullah SAW. Oleh itu, semua aya-ayat Al-Qur’an telah ditulis pada zaman
Rasulullah SAW, walaupun belum disatukan dalam satu mushaf. Selain
sahabat yang diangkat oleh Rasulullah SAW sebagai penulis wahyu, sebagian
mereka menulis Al-Qur’an untuk dirinya sendiri, sementara sebagian yang lain
hanya memadakan hafalan saja (Nasution, 2019: 3).

3
4

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia dan Abu Bakar dilantik


sebagai khalifah terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan Musailamah
al-kadzdzab dan pengikutnya. Pada peperangan ini banyak yang terbunuh dari
kalangan Qurra’, sehingga Umar bin Khattab ra menyarankan kepada Abu
Bakar ra supaya dilaksanakan pengumpulan Al-Qur’an. Pada awalnya Abu
Bakar ra enggan menerima saran tersebut, tetapi setelah Umar bin al Khattab ra
mendatangi beliau berulang kali, Allah Ta'ala membukakan hatinya, lalu
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melaksanakan pengumpulan Al-Qur’an
dari awal sampai akhir.
Zaid bin Tsabit telah berhasil mengemban amanah ini dengan baik dan
beliau berhasil mengumpul seluruh Al-Qur’an dalam sebuah mushhaf yang
kamil dalam satu tahun. Mushaf ini disimpan oleh Khalifah Abu Bakar ra pada
masa khilafahnya, kemudian Umar bin al-Khattab, kemudian Ummal
Mu’minin Hafshah binti Umar setelah bapaknya wafat.
Pada zaman khilafah Utsman bin Affan ra daerah kekuasaan Islam
semakin meluas dan para sahahabat banyak yang berpindah ke daerah-daerah
yang telah dikuasai kaum muslimin. Maka penduduk setiap daerah mengambil
qira’ah Al-Qur’an dari sahabat yang lebih populer dalam bidang Al-Qur’an
yang berdomisili di daerah mereka.
Penduduk Syam mengambil Qira’ah Ubay bin Ka'ab ra, penduduk Kufah
mengambil qira’ah Abdullah bin Mas’ud ra, dan penduduk daerah lain
mengambil qira’ah Abu Musa al-Asy'ari. Berdasarkan itu Qira’ah yang
diajarkan pada suatu daerah terkadang berbeda dengan qira’ah yang diajarkan
pada daerah lain, karena sebagian sahabat hanya mengambil satu huruf saja
dari Rasulullah SAW, sementara yang lain ada yang mengambil dua huruf atau
beberapa huruf. Hal ini menyebabkan terjadinya pertikaian di kalangan kaum
muslimin dalam qira’ah Al-Qur’an, seperti pertikaian yang terjadi di antara
para sahabat pada zaman Rasulullah SAW sebelum mereka mengetahui bahwa
Al-Qur’an turun atas 7 huruf (Nasution, 2019:4).
Pertikaian di antara kaum muslimin semakin memanas, karena
Rasulullah SAW telah tiada dan kaum muslimin telah jauh dari zaman
5

kenabian, ditambah lagi dengan turunnya Al-Qur’an atas 7 huruf yang belum
dikenal oleh masyarakat muslim di berbagai pelosok. Semua ini menyebabkan
sebagian orang mengkafirkan sebagian yang lain. Melihat penomena ini,
Khalifah Utsman bin Affan memanggil para sahabat dan meminta pandapat
mereka bagaimana cara mengatasi problem yang terjadi di kalangan kaum
muslimin. Para sahabat akhirnya sepakat untuk menuliskan Al-Qur’an dalam
satu mushhaf. Maka pada akhir tahun 24 H. Khalifah Utsman bin Affan ra
mempercayakan tugas suci ini kepada empat orang sahabat terkemuka dalam
bidang Al-Qur’an yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash
dan Abd ar-Rahman bin al-Harits. Kemudian Khalifah Utsman bin Affan ra
meminta Ummul Mukminin Hafshah binti Umar ra supaya mengirimkan
mushaf yang dikumpul pada zaman Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, ra (Zaid,
1998: 128-129).
Para panitia penulisan Al-Qur’an yang telah dipilih oleh Khalifah
Utsman bin Affan berhasil menuliskan mushhaf yang menjadi panduan kepada
kaum muslimin. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushhaf yang
ditulis. Sebagian berpendapat jumlahnya empat, satu mushhaf dikirim oleh
Khalifah Utsman ke al-Kufah, satu ke al-Bashrah, satu ke asy-Syam dan satu
lagi bersama khalifah di al-Madinah. Sedangkan yang lain berpendapat
jumlahnya lima. Pendapat yang lain mengatakan jumlahnya tujuh dengan
menambah mushhaf yang di kirim ke Mesir, al-Yaman dan al-Bahrain.
Kemudian semua mushhaf yang ditulis pada zaman Khalifah Utsman bin Affan
tidak bertitik dan tidak berbaris, dan bentuk tulisannya memberi peluang
kepada semua qira’at.
Jika suatu kata tidak dapat memberi peluang kepada berbagai qira’at,
maka salah satu mushhaf ditulis dengan satu wajah dan mushhaf yang lain
ditulis dengan wajah yang lain. Seterusnya Khalifah Usman bin ‘Affan
mengutus seorang sahabat yang qira’ahnya sesuai dengan rasam mushaf yang
dikirim ke daerah itu dan memerintahkan kaum muslimin supaya berpegang
dengannya serta membakar mushhaf yang lainnya.
6

Perlu diketahui bahwa bacaan al-Qur’an diambil secara musyafahah dari


seorang imam dan imam ini juga mengambil secara musyafahah dari imam
yang di atasnya, begitulah sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Sebab itu
capaian para tabi’in, tabi’ tabiin dan para ulama qurra’ dalamqira’at berbeda
ntara seorang dengan yang lain.
Ilmu qira’at semakin berkembang, di mana setiap generasi terdapat
orang-orang yang terkemuka dalam bidang qira’at Al-Qur’an. Dari kalangan
Sahabat, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin
Thabit, Abdullah bin Mas’ud, Abu ad-Darda’ dan Abu Musa Al-Asy’ary. Dari
kalangan Tabiin Ibn al-Musayyab,’Atha’, ‘Amir bin Abd al-Qais, ‘Alqamah,
Al-Mughirah. Kemudian setelah zaman tabi’in banyak dari para ulama yang
bersungguh-sungguh mendalami ilmu qira’at, kemudian mereka
mengembangkannya sehingga pada akhirnya muncullah istilahqira’at sab’ah,
qira’at ‘asyarah dan qira’at arbata ‘asyar.
Ilmu qira’at sama seperti ilmu-ilmu yang lain telah lama ditinggalkan
oleh masyarakat muslim di dunia Islam, di mana peminatnya sangat sedikit,
dan orang yang mempelajarinya sangat terbatas. Tetapi pada zaman sekarang
ilmu-ilmu keislaman termasuk ilmu qira’at mulai diminati oleh para ilmuan
Muslim, karangan-karangan untuk mempermudah pengkajian ilmu qira’at
mulai muncul, sebagaimana canel-canel dan siaran-siaran yang khusus
menyiarkan Al-Qur’an dan ulumul Quran semakin banyak. Ilmu qira’at telah
tersebar di negara-negara Islam. Riwayat Hafash tersebar di negara-negara
bagian timur, riwayat Qalun di Libya, Tunisia dan sebagian al-Jazair, riwayat
Warasy di al-Jazair, Maroko, Mauritania dan sebagian besar negara-negara
Afrika, dan riwayat ad-Dury dari abu Amr di Sudan, Somalia dan Yaman.
Para ulama qira’at membuat syarat-syarat bagi qira’at yang dapat
diterima. Untuk membedakan antara yang benar dan qira’at yang aneh
(syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qira’at yang benar.
1. Qira’at itu sesuai dengan Bahasa Arab sekalipun menurut satu versi
2. Qira’at itu sesuai dengan salah satu mushaf-mushaf utsmani sekalipun
secara potensial (potensial).
7

3. Bahwa sahih sanadnya baik diriwayatkan dari imam qira’at yang tujuh dan
yang sepuluh maupun dari imam-imam yang diterima selain mereka. Setiap
qira’at yang memenuhi kriteria di atas adalah qira’at yang benar yang tidak
boleh ditolak dan harus diterima. Namun bila kurang dari ketiga syarat
diatas disebut qira’at syazzah (abnormal).

B. Definisi Qira’ah (‫)قراءة‬, Riwayah (‫)رواية‬, Thariq (‫ )طريق‬dan Wajh (‫)وجه‬


Bagi orang yang ingin mendalami ilmu qira’at, ia harus mengetahui
perbedaan empat istilah kunci. Sebagian orang terkadang sukar membedakan
diantaranya, dan kemudian tercampur-aduk begitu saja. Empat istilah tersebut
adalah qira’ah, riwayah, thariq, dan wajh. Para ulama’ sendiri mempergunakan
keempat istilah ini untuk menunjuk pengertian tertentu, sehingga harus
dipahami dengan tepat agar tidak membingungkan. Berikut ini definisi qira’ah
(‫)قراءة‬, riwayah (‫)رواية‬, thariq (‫ )طريق‬dan wajh (‫( )وجه‬Nasution, 2019:2).
Qira’ah (‫ )القراءة‬secara bahasa berarti bacaan. Maksud dari istilah ini
adalah setiap bacaan yang disandarkan kepada salah seorang Qari’ (ulama’ ahli
bacaan al-Qur’an) tertentu. Maka akan ada istilah Qira’at ‘Ashim, Qira’at
Nafi’, Qira’at Ibnu Katsir, dan sebagainya. Mereka adalah para Imam yang
menjadi sumber qira’at tertentu.
Riwayah (‫ )الرواية‬adalah sesuatu yang disandarkan kepada perawi atau
orang yang mengutip qira’at secara langsung dari Imam Qira’at tertentu. Para
Imam Qira’at memiliki murid-murid yang melalui mereka ilmu qira’at tersebar
luas. Misalnya riwayah Warasy dari Nafi’, riwayah Hafsh dari ‘Ashim,
riwayah Ibnu Wardan dari Abu Ja’far, dan sebagainya.
Thariq (‫ )الطريق‬secara bahasa berarti jalur, jalan. Maksudnya adalah
rangkaian sanad (yakni, para perawi) yang berakhir pada seorang perawi dari
Imam Qira’at atau guru (syaikh) bacaan Al-Qur’an tertentu. Istilah ini
dipergunakan untuk menunjuk apa yang diriwayatkan oleh seorang Qari’ dari
generasi lebih akhir (yakni, yang hidup sesudah Rawi pertama dari Qari’
tertentu). Misalnya, thariq atau jalur al-Azraq dari Warasy, thariq Abu Rabi’ah
dari al-Bazzy, thariq ‘Ubaid Ibnu ash-Shabbah dari Hafsh, dan sebagainya.
8

Wajh (‫ )الوجه‬secara bebas dapat dimaknai versi atau ragam, yaitu semua
bentuk perbedaan atau khilafiyah yang diriwayatkan dari Qari’ tertentu, lalu
dalam kasus ini seseorang dipersilakan untuk memilih mana yang akan
dibacanya, karena semuanya shahih dari Qari’ tersebut. Perbedaan-perbedaan
Thariq terkadang mencakup perbedaan-perbedaan pula dalam Wajh ini.
Misalnya, pada saat waqaf pada kata al-‘alamin (‫ )العالمين‬dalam ayat ke-2 surah
al-Fatihah, terdapat 3 wajh atau versi, yaitu dibaca pendek (qashr), sedang
(tawassuth), dan panjang (madd). Seorang qari’ diperbolehkan memilih mana
saja dari ketiganya, namun disarankan oleh Ibnu al-Jazari agar ia memilih satu
versi saja dalam satu kali pengkhataman. Maksudnya, pada seluruh kata
tersebut di mana pun ia waqaf selama membacanya, ia memilih satu versi. Bila
ia sudah selesai, lalu memulai dari awal lagi, ia boleh menggunakan versi
lainnya.
Dengan demikian, bacaan Al-Qur’an yang dinisbatkan kepada seorang
imam tertentu disebut Qira’at, lalu apa yang dinisbatkan kepada seseorang
yang mengutip riwayatnya dari imam tersebut secara langsung disebut
Riwayah, kemudian apa yang disandarkan kepada orang lain yang
meriwayatkan bacaan sesudah mereka disebut dengan Thariq, sedangkan
perbedaan-perbedaan yang mungkin ada di dalam riwayat dari satu orang imam
tertentu dalam cara membaca kata atau ayat yang sama disebut dengan Wajh.

C. Perbedaan Qira’ah (‫)قراءة‬, Riwayah (‫)رواية‬, Thariq (‫ )طريق‬dan Wajh (‫)وجه‬


dalam Ilmu Qira’at Al Qur’an
Qira’ah secara bahasa berarti bacaan. Maksud dari istilah ini adalah
setiap bacaan yang disandarkan kepada salah seorang Qari’ (ulama’ ahli bacaan
Al-Qur’an) tertentu. Maka, kita akan mendengar istilah Qiraat ‘Ashim, Qiraat
Nafi’, Qiraat Ibnu Katsir, dan sebagainya. Mereka adalah para Imam yang
menjadi sumber qiraat tertentu.
Riwayah adalah sesuatu yang disandarkan kepara perawi atau orang yang
mengutip qiraat secara langsung dari Imam Qiraat tertentu. Para Imam Qiraat
memiliki murid-murid yang melalui mereka ilmu qiraat tersebar luas. Misalnya
9

riwayah Warasy dari Nafi’, riwayah Hafsh dari ‘Ashim, riwayah Ibnu Wardan
dari Abu Ja’far, dan sebagainya.
Thariq secara bahasa berarti jalur, jalan. Maksudnya adalah rangkaian
sanad (yakni, para perawi) yang berakhir pada seorang perawi dari Imam
Qiraat atau guru (syaikh) bacaan Al-Qur’an tertentu. Istilah ini dipergunakan
untuk menunjuk apa yang diriwayatkan oleh seorang Qari’ dari generasi lebih
akhir (yakni, yang hidup sesudah Rawi pertama dari Qari’ tertentu). Misalnya,
tharhq atau jalur al-Azraq dari Warasy, thariq Abu Rabi’ah dari al-Bazzy,
thariq ‘Ubaid Ibnu ash-Shabbah dari Hafsh, dan sebagainya.
Tiga istilah di atas disebut juga dengan Khilaf Wajib, dengan kata lain
seseorang yang membaca Al Quran denga riwayat tertentu harus mengikuti
kaedah-kaedah yang berlaku dalam Qiraat, riwayah thariq tersebut.
Wajh secara bebas dapat dimaknai versi atau ragam, yaitu semua bentuk
perbedaan atau khilafiyah yang diriwayatkan dari Qari’ tertentu, lalu dalam
kasus ini seseorang dipersilakan untuk memilih mana yang akan dibacanya,
karena semuanya shahih dari Qari’ tersebut. Namun disarankan oleh Ibnu
Jazari agar kita memilih satu versi saja dalam satu kali pengkhataman. Yang
terakhir ini disebut juga Khilaf Jaiz yaitu perbedaan para qurra dalam memilih
bentuk bacaan seumpama bacaan istia’azah, bacaan basmalah antara dua surah,
memilih untuk berhenti secara sukun, roum atau isymam, memilih bacaan
dengan kadar panjang ishba’ (panjang) 6 harakat, tawassut (pertengahan) 4
harakat atau qashar (pendek) 2 harakat dalam mad ‘aridh lissukun.
Dewasa ini, Riwayat Hafs dari Qiraat ‘Ashim (Riwayah Hafsh ‘An
‘Ashim Min Thariqi Asy Syathibiyyah) adalah riwayat yang paling banyak
digunakan kaum muslimin termasuk Indonesia, Warsy masih dipakai di
Marokko dan Jazair dan sebagian warga Niger, Qiraat Abu ‘Amr dipakai
sebagian warga Somalia dan Chad, Riwayat Qalun masih dipakai di negara
Tunisia. Beberapa abad yang lalu daerah bekas Uni Soviet (Kazakstan,
Uzbekistan, Dagestan, Thajikistan) pernah memakai Qiraat Abu ‘Amr secara
luas, begitu juga kawasan Afrika Utara pernah memakai riwayat Warsy secara
luas.
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan kajian yang penulis paparkan di atas, terlihat jelas bahwa Al


Quran dapat dibaca dengan varian qiraat yang berbeda dengan silsilah sanad yang
bersambung kepada Rasulullah SAW. Fakta ini menunjukkan bahwa Al Quran
terjaga keasliannya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dalam kajian ini
juga kita dapat melihat usaha dan kerja keras ulama dalam mentransformasikan
qiraat serta mengkodifikasinya sehingga dapat dipelajari secara riwayah dan
dirayah. Ditambah lagi bahwa riwayat mutawatirah yang sampai kepada kita
berjumlah sepuluh (qiraah ‘asyrah) boleh dibaca dalam salat dan dihitung sebagai
ibadah ketika membacanya.
Selain itu, kita juga dapat mengenal siapa saja imam qiraah dan dapat
memahami perbedaan dari qiraah, riwayah dan thariq. Seluruh imam qiraah,
riwayah dan thariq ini sebenarnya mempunyai ratusan bahkan sampai ribuan
murid, akan tetapi di antara mereka kemudian dipilih masing-masing murid yang
paling kuat riwayatnya dan dijadikan sandaran imam pilihan. Dari mereka inilah
ilmu bacaan Al-Qur’an kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia hingga masuk
ke Indonesia.

10
DAFTAR PUSTAKA

al-Jazari, Muhammad bin Muhammad Ibnu. 1998. Al-Nasyr fi al-Qiraat al-


‘Asyar. Jilid 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Anis, Ibrahim, et. al. 1972. Al-Mu’jam al-Wasith. Kairo: Dar al-Ma’arif.
az-Zarqany, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. 1995. Manahil al-‘Irfan fi Ulum al
Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi.
Dhamrah, Taufiq Ibrahim. 2009. Ahsan al-Bayan Syarh Thuruq al-Tayyibah li
Riwayat Hafs bin Sulaiman. Cetakan II. Amman: Muassasah al-Rayyan.
Nasution, Muhammad Roihan. 2019. Qira’at Sab’ah: Khazanah Bacaan Al-
Qur’an Teori dan Praktik. Medan: Perdana Publishing.
Zaid, Muhammad Syar’iy Abu. 1998. “Jam’ al-Qur’an fi Marahilih at-Tarikhiyah
min al-‘Ashr an-Nabwy ila al-‘Ashr al-Hadits.” Disertasi. Kuwait: Tafsir
dan Ulumul Qur’an, Fakultas Syari’ah Universitas al-Kuwait.

11

Anda mungkin juga menyukai