Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

QIRA’AT AL-QURAN

Dosen Pengampu:
Endah Tri Wisudaningsih, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Lisa Umami (21.12.01.01.7130)


Himmatun Nadifah (21.12.01.01.7121)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN
GENGGONG KRAKSAAN PROBOLINGGO
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala Puji bagi Allah yang telah memberikan taufik dan hidayahnya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada suri teladan kita,
Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya yang membawa kebenaran
bagi kita semua.
Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yakni
ibu Endah Tri Wisudaningsih, M.Pd.I yang telah membimbing serta
mengajarkan kami, dan mendukung kami sehingga terselesaikan makalah yang
berjudul “QIRA’AT AL-QURAN” dan juga terima kasih yang sebesar-besarnya
kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga
terselesaikan makalah ini.
Ucapan terima kasih tak lupa kami ucapkan, sebagai wujud rasa syukur
dengan tersusunnya makalah ini kepada semua pihak yang telah berpartisipasi
selama penyusunan makalah ini, yang telah dengan tulus ikhlas membantu baik
secara moril maupun materiil, terutama kepada Dosen Pembina dan teman-teman
sekalian.

Kraksaan, 08 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang .........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................1
C. Tujuan Masalah ........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................2
A. Pengertian Qira’at Al-Qur’an...................................................................2
B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at .........................................2
C. Sebab-sebab perbedaan Qira’at ................................................................6
D. Macam-Macam Qira’at ............................................................................8
E. Urgensi Mempelajari Qira’at Dan Pengaruhnya Dalam Istinbath
Penetapan Hukum ....................................................................................9
BAB III PENUTUP ..............................................................................................15
A. Kesimpulan ............................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku.
Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-
suku lainnya. Sama halnya dengan Indonesia yang memiliki berbagai suku,
namun untuk memudahkan berkomunikasi Indonesia memiliki bahasa
persatuan, maka bangsa Arabpun demikian. Mereka menjadikan bahasa
Quraisy sebagai bahasa bersama dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi
ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan di atas,
sebenarnya kita dapat memahami alasan al-Qur’an diturunkan dengan
menggunakan bahasa Quraisy. Dengan perbedaan-perbedaan lahjah itu maka
terlahirnya bermacammacam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an.
Lahirnya bermacam-macam qira’ah itu sendiri, tidak dapat dihindarkan lagi.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan al-
Qur’an dengan berbagai macam qira’ah. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan
dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf)
dan hadis-hadis lainnya yang sepadan dengannya. Bahasa yang digunakan
dalam Al-Qur’an adalah Bahasa Quraisy.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Qira’at itu?
2. Bagaimana latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at?
3. Apa saja sebab perbedaan Qira’at?
4. Apa saja macam-macam Qira’at?
5. Apa saja urgensi mempelajari Qira’at dan pengaruhnya dalam penetapan
hukum?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya Qira’at A l-Qur’an
2. Untuk mengetahui macm-macam Qira’at
3. Untuk tau manfaat mempelajari Qira’at

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qira’at Al-Qur’an


Menurut bahasa, qira’at (‫ )قراءات‬adalah bentuk jamak dari qira’ah

(‫ )قراءة‬yang merupakan isim masdar dari qaraa (‫)قرأ‬, yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan
oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut
ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
1. Menurut A-Zarqani
Menurut al-Zarqani (penulis Manaḥil al-'Irfan fi Ulum al-Qur`an) qira’at
adalah mazhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan
lainnya dalam pengucapan al-Qur`an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan
jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun
bentuk-bentuk lainnya.
2. Menurut Ibnu Al-Jazairi
(penulis kitab Taḥbir at-Taysir Fi al-Qira’at al-’Asyr), qira’at adalah ilmu
membahas cara-cara mengucapkan kata-kata al-Qur`an dan perbedaan
perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
3. Menurut Al-Qastalany
penulis kitab Irsyad al-Syary qira’at adalah suatu ilmu yang mempelajari
hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut
persoalan lughat, hazf, i’rab, isbat, fasl, dan waṣl yang kesemuanya
diperoleh secara periwayatan.
4. Menurut az-Zarkasyi
qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafal-lafal alQur`an, baik
menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,
seperti takhfīf (meringankan), taṡqīl (memberatkan), dan atau yang lainnya.

B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at


1. Latar Belakang Historis

2
Qiraat sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat
itu Qiraat bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat
yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu:(1)
a. Suatu ketika Umar bin Al-khathab berbeda pendapat dengan Hisyam bin
Hakim ketika membaca Al-Qur’an. Umar merasa tidak puas terhadap
bacaan Hisyam sewaktu ia membaca Surat Al-Furqon. Menurut Umar,
bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang
diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa
bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak
menghadap Nabi untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kemudian Nabi
menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah
Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :

‫َّ َر‬ ٍ ‫ت إِ َّن هـ َذا الْ ُقرآ َن أُنْ ِز َل َعلَى سبـع ِة أَحر‬
َّ َ‫ف فَاقـ َْرءُ ْوا َما تَـَي‬ ْ َ‫هـ َك َذا أُنْ ِزل‬
ُ ْ َ َْ ْ
ُ‫ِم ْنه‬
“Memang begitulah Al-Quran diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran
diturunkan atau tujuh huruf, maka bacalah yang mudah darinya.”

b. Di dalam sebuah riwayatnya, Ubay pernah bercerita. “Aku masuk ke


Mesjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang
kemudian ia membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan
bacaanku. Setelah ia selesai, aku bertanya siapakah yang membacakan
ayat itu kepadamu? ia menjawab,”Rasulullah s.a.w.”, kemudian
datanglah seorang lainnya mengerjakan shalat dengan membaca
permulaan surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaanku
dan bacaan orang pertama, setelah shalatnya selesai aku bertanya
“siapakah yang nenbacakan ayat itu kepadamu? Ia menjawab
“Rasulullah s.a.w. “. Kedua itu lalu kuajak menghadap Nabi, beliau
meminta salah satu dari dua orang itu membacakan lagi surat itu. Setelah
bacaanya selesai, Nabi bersabda, “Baik” kemudian Nabi meminta pada

1
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Jakarta. Darul Kutub
Al- Islamiyah.

3
yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabipun menjawabnya.
“baik”.
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai pada
masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H. tatkala para qari telah tersebar
di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan Qira’at gurunya
dari pada mengikuti Qiraat Imam-imam lainnya.
Qiraat-Qiraat tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke
murid, sehingga sampai kepada para Imam Qiraat, baik yang tujuh,
sepuluh, atau yang empat belas.

2. Latar Belakang Cara Penyampaian (Kaifiyat Al-Ada)


Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil,
Perbedaan Qiraat itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan
qiraat itu kepada murid-muridnya.
Hal-hal yang mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-
bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut.
a. Perbedaan dalam i’rab atau harokat, kalimat tanpa perubahan makna dan
bentuk kalimat, misalnya, pada firman Allah sebagai berikut :

37 : ‫ {النَّاء‬.......‫َّاس ِِبلْبُ ْخ ِل‬ ِ َّ


َ ‫اَلذيْ َن يَـ ْب َخلُ ْو َن َو ََي ُْم ُرْو َن الن‬
Artinya : ” (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain
berbuat kikir ” (Q.S. An.Nisa (4) : 37)
Kata Al-Bakhl yang berarti kikir di sini dapat dibaca Fathah pada huruf
Ba’nya sehingga dibaca bi al-bakhli : dapat pula dibaca dhomah pada
ba’nya sehingga menjadi bi al-bukhli.

b. Perbedaan pada I’rab dan harokat (baris) kalimat sehingga mengubah


maknanya, misalnya pada firman Allah sebagai berikut.

19 : ‫َس َفا ِر َن{النَّاء‬ ِ


ْ ‫ْي أ‬
َ ْ َ‫َربَّـنَا َِبع ْد ب‬
Artinya : “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. (Q.S.
Saba (34) : 19).

4
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah di atas adalah Ba’id
karena statusnya sebagai fi’il amar, boleh juga dibaca Ba’ada yang
berarti keduanya menjadi fi’il madhi sehingga artinya telah jauh.
c. Perbedaan pada perubahan huruf tanpa peraubahan I’rab dan bentuk
tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah
Sebagai berikut.

259 : ‫ف نُـ ْن ِش ُزَها {البقرة‬


َ ‫}وانْظُْر إِ ََل ال ِْعظَ ِام َك َْي‬
َ
Artinya : “ … dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian
kami menyusunnya kembali”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 259)
Kata Nunsyizuha (kami menyusun kembali) yang ditulis dengan
menggunakan huruf Zay (‫ )ز‬diganti dengan huruf Ra’ (‫ )ر‬sehingga
berubah bunyi menjadiNunsyiruha yang berarti kami hidupkan kembali.

d. Perubahan pada kalimat dengan perubahan bentuk tulisannya, tetapi


maknanya tidak berubah. Misalnya, pada firman Allah berikut:

ِ ‫ال َكال ِْع ْه ِن ال َْم ْنـ ُف ْو‬


5 : ‫ش {القارعة‬ ُ َ‫}وتَ ُك ْو ُن ا ْْلِب‬
َ
Artinya : “ dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan
“. ( Q.S. Al-Qori’ah (10) : 5).
Beberapa Qiraat mengganti kata al-‘Ihn dengan kata ash-Shufi sehingga
kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu
domba. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma ulama tidak dibenarkan
karena bertentangan dengan Mushaf Utsmani.

e. Perbedaan pada kalimat menyebabkan perubahan bentuk dan


maknanya, misalnya uangkapan Thal’in mandhud menjadi thalthin
mandhud.

f. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirinya ; misalnya pada


firman Allah yang berbunyi.(2)

2
Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja Garfindo,
Persada, Jakarta.

5
ِ ‫ت س ْكرةُ الْمو‬
19 :‫ {ق‬.‫ت َِب ْْلَِِّق‬ ْ َ َ َ ْ ‫اء‬ َ ‫} َو َج‬
Artinya : “ Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya “.
(Q.S. Qof (50) : 19).
Konon menurut suatu riwayat, Abu bakar pernah membacanya menjadi
“Wa ja’at sakrat al-haqq bi al-maut”,ia menggeser kata al-Maut ke
belakang, dan memasukan kata al-Haqq, setelah mengalami pergeseran,
bila kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berarti “dan
datanglah sakarat yang benar-benar dengan kematian”. Qiraat semacam
ini juga tidak dipakai karena menyalahi ketentuan yang berlaku.
g. Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada
firman Allah sebagai berikut.
ِ ِ ٍ
ُ َ‫َجنَّات ََتْ ِر ْي م ْن تَ ْح ِتَا اْأل َْْن‬
{25 : ‫ار {البقرة‬
Artinya : “ surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”.
Kata Min pada ayat ini dibuang dan pada ayat serupa yang tanpa Min
justru ditambah.

C. Sebab-sebab perbedaan Qira’at


Rasul menerima Al-Qur’an makna dan lafadznya dalam bentuk wahyu
dari Allah Subhana Wata’ala lewat perantara malaikat Jibril ‘Alaihissalam
kemudian Rasu menyampaikan kepada kaumnya dengan bahasa kaumnya.

‫آَّن َع َربَِيا لَّ َعلَّ ُك ْم تَـ ْع ِقلُو َن‬ َ ‫إِ ََّّن أ‬


‫َنزلْنَاهُ قُـ ْر ا‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Q.S. Yusuf: 2)

Dan juga firman Allah.

‫َ لِتَ ُكو َن ِم َن‬


َ ِ‫ْي َعلَ ٰى قَـ ْلب‬ ِ
ُ ‫وح ْاألَم‬ ُّ ‫ْي نَـ َز َل بِ ِه‬
ُ ‫الر‬ َ ‫ب ال َْعالَ ِم‬ِِّ ‫يل َر‬ ِ
ُ ‫َوإنَّهُ لَتَن ِز‬
ٍ ِ‫ان َع َرٍِب ُّمب‬
‫ْي‬ ٍ َِّ‫نذ ِرين بِل‬ ِ
ِّ َ َ ‫ال ُْم‬
Artinya: “Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara

6
orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.
(Q.S. Asy-Syu’ara: 192-195).

Di dalam Al-Qur’an itu berhimpn ejaan-ejaan Arab. Dan setiap kabilah


mempunyai dialek bahasa sendiri-sendiri. Rasul tidak ingin mempersulit
kaumnya dalam melafadzkan Al-Qur’an, sebagaimana hadits Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam. Sesungguhnya Al Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf,
maka bacalah oleh kalian mana yang mudah“. (H.R. Bukhari). Abu Bakrah
berkata; setiap ujung ayat telah sempurna, selagi ayat adzab tidak dibatasi
dengan rahmat atau ayat rahmat dengan adzab sebagaimana perkataanmu; (H.R.
Ahmad, Hadits Abu Bakrah Nafi’ bin Al Harits). Sehingga dapat kita ambil
kesimpulan bahwa penyebab munculnya qira’ah yang berbeda-beda adalah
untuk mempermudah bacaan Al-Qur’an dengan tetap memperhatikan atau
mempertahankan maknanya.
Setiap qira’ah tentunya mendapat bimbingan dari Rasul, sehingga ilmu
mengenai suatu qira’ah adalah taukifi berdasarkan petunjuk Rasul. “ Jibril telah
membacakan padaku dengan satu dialek, maka aku pun kembali kepadanya
untuk meminta agar ditambahkan, begitu berulang-ulang hingga berakhirlah
dengan Sab’atu Ahruf (Tujuh dialek yang berbeda)”.(H.R. Bukhari).

Ketika suku Hudzal membaca ayat dihadapan Rasulullah; ‫عتَى ِحين‬


َ (‘atahiyn)
padahal yang dimaksud adalah; ‫( َحتَّى ِحين‬hattahiyn) hal ini diperbolehkan
karena ini adalah bahasa mereka yang dipakai sehari-hari.

Ketika suku Asadi membaca ayat di hadapan Rasulullah; ‫ْْْْه‬ ‫سْْْْْْْْْْ َه‬
‫تِ و‬
(tiswaddu wujuhun) padahal seharusnya; ‫ه‬ ‫( تَ و‬taswaddu wujuwhun).
‫س َه‬

Ketika membaca ‫علَي ِوهم‬


َ dan ‫ فِي ِوهم‬dengan mewashalkan-nya menjadi; ‫علَيوهمه‬
َ
dan ‫ فِي ِوهمه‬beliau memperbolehkannya.

Ketika membaca ‫ ِعي ٰوسى‬, ‫ م وه ٰسى‬dan ْْْ‫سـْْْـْْْـْْْـْْْـْْْ َـ‬


َ dengan imalah dan yang lain
halus, beliau memperkenankannya.

7
Orang Tamimi menyebut ‫( َ ِحين‬wahiyn) padahal yang seharusnya ‫(حين‬hiyn),
ِ
dan masih banyak contoh lainnya.(3)

D. Macam-Macam Qira’at
Menurut al-Suyuthi, qira`at itu ada enam macam yaitu:
1. Qira’at Mutawatir yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta, dari
sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga
penghabisannya yakni Nabi SAW. Dan inilah yang umum dalam hal qira`at.
2. Qira’at Masyhur yaitu qira’at yang shahih sanadnya, di mana perawinya
„adil dan dhabid. Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan
salah satu Mushaf Usmâni serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’at
sehingga qira’at ini tidak dikatagorikan ke dalam qira’at yang salah atau
syaz namun tidak mencapai derajat mutawatir. Qira’at seperti ini merupakan
qira’at yang dapat digunakan.
3. Qira’at Ahad yaitu qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rams
Ustmani dan kaidah bahasa arab atau sesuai dengan rams Ustmani dan
kaidah bahasa Arab, namun tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur.
Qira’at seperti ini tidak dapat dibaca dan tidak wajib untuk diyakini.( 4 )
Misalnya qira`at yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ashim al-Jahdarî
dari Abu Bakar bahwa Nabi Saw.membaca surat al-Rahman ayat 76 :
dengan
ۡ ‫ َر ۡف َرفٍ ُخ‬dan ‫ عباقري‬, dan yang diriwayatkan oleh Ibnu „Abbas bahwa
‫ضر‬
Nabi Saw. Membaca surat al-Taubah ayat 128: dengan fathah fa’ pada kata
‫ أَنفُ ِس ُكم‬.
4. Qira’at Syaz yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya. Seperti surat al-
Fatihah ayat 4: yang dibaca dalam bentuk fi’il madhi dan menasabkan ‫يَو َم‬

3
Ibrahim Al-Abyari, Loc. Cit, h. 100-101
4
Muhammad „Abd. Al-„Adhîm al-Zarqâni, Manâhi,, hal. 301. Lihat juga
Mûsâ Syâhain Lâhain, Al Âli‟u, hal.97.

8
5. Qira’at Maudhu’ yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.Seperti qira’atal-
Khuza’î yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah dalam firman Allah

surat Fathir ayat 28: yang dirafa’ kan lafadh ‫ هللا‬dan dinasabkan ‫العلماء‬
6. Qira’at Mudraj yaitu qira`at yang menambahkan kalimat penafsiran dalam
ayat-ayat al-Qur`an. Seperti qira`at Sa’ad bin Abî Waqas yang membaca
frman Allah surat al-Baqarah ayat 198: dengan menaambah lafadh

َ ‫اسِِِِِ ِم ال‬
ِ ‫ فِي َم َو‬setelah lafadh ‫ من ربكم‬kalimat َ ‫اسِِِِِ ِم ال‬
ِ ‫ فِي َم َو‬adalah
penafsiran yang ditambahkan ke dalam ayat.(5)

E. Urgensi Mempelajari Qira’at Dan Pengaruhnya Dalam Istinbath


Penetapan Hukum
1. Urgensi Mempelajari Qira’at
a. Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama,
misalnya berdasarkan surat An-Nsia [4] ayat 12, para ulama sepakat
bahwa yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan
dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan
seibu saja.
Artinya : “jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta.” (Q.S. An-Nisa [4] : 12)
Dengan demikian, qiraat Sa’ad bin Waqash dapat memperkuat
dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
b. Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam
surat Al-Maidah [5] ayat 89, disebutkan bahwa qirat sumpah adalah
berupa memerdekakan abid.
Tambahan kata mukminatin berfungsi menarjih pendapat para
ulama antara lain As-Syafi’iy yang mewajibkan memerdekakan budak
mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu bentuk
alternatif kifaratnya.

5
Ibid., hal.301-302

9
c. Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. misalnya, dalam
surat Al-Baqarah [2] ayat 222. Sementara qiraat yang membacanya
َّ َ‫( ي‬sementara dalam mushaf Ustmani tertulis َ‫)يَط ُهرن‬, dapat
dengan َ‫ط ِهرن‬
difahami bahwa seoranng suami tidak boleh melakukan hubungan
seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d. Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi
berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat
6 ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu membaca ‫أَر ُج ِل ُكم‬. Perbedaan
qiraat ini tentu saja mengkonsekwensikan kesimpulan hukum yang
berbeda.
e. Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Quran
yang mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, di dalam Surat Al-
Qariah [10] ayat 5, Allah berfirman:

ِ ‫ال َكال ِْع ْه ِن ال َْم ْنـ ُف ْو‬


‫ش‬ ُ َ‫َوتَ ُك ْو ُن ا ْْلِب‬
Dalam sebuah qiraat yang syadz dibaca:
ِ ‫الصو‬
ِ ‫ف ال َْم ْنـ ُف ْو‬
‫ش‬ ُ َ‫َوتَ ُك ْو ُن ا ْْلِب‬
ْ ُّ ‫ال َك‬
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata
‫ ال ِعه ِن‬adalah ‫وف‬
ِ ‫ص‬ُّ ‫ ال‬.
2. Pengaruh qiraat terhadap istinbat hukum(6)
Dalam hal istimbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan
hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur'an yang
berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi
makna dari lafaz tersebut adakalanya tidak. Dengan demikian, maka
perbedaan qiraat al-Qur'an adakalanya berpengaruh terhadap istimbat
hukum dan adakalanya tidak.
a. Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbat Hukum
Qira’at shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir
dan penjelas serta dasar penetapan hukum, misalnya qira’at membantu
penafsiran qira’at ‫) ََل َم و‬
(‫ست وم‬ dalam menetapkan hal-hal yang
membatalkan wudu seperti dalam Q.S Al-Nisa’ 4: 43 :

6
Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.

10
‫َح ٌد ِمْن ُك ْم ِم ْن الْغَائِ ِط أ َْو ََل َم ْستُ ْم‬
َ ‫ضى أ َْو َعلَى َس َف ٍر أ َْو َجاءَ أ‬َ ‫َوإِ ْن ُكنتُ ْم َم ْر‬
‫وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُك ْم إِ َّن‬
ِ ‫النِِّساء فَلَم ََِت ُدوا ماء فَت ي َّمموا صعِيدا طَيِبا فَامسحوا بِوج‬
ُ ُ ُ َ ْ ِّ َ ُ ََ َ ْ ََ
‫اَّللَ َكا َن َع ُف ًّوا َغ ُفورا‬
َّ
Artinya: “ Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun".

َ ِ‫) ََل َمستُم الن‬. Ibn


Ada perbedaan cara membaca pada lafaz (‫سا َء‬

Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca ( ‫ََل َمستُم‬

‫سا َء‬ َ ‫) ََل َمستُم ال ِن‬.


َ ‫)ال ِن‬, sedangkan Ham-zah dan al-Kisa'i, membaca (‫سا َء‬
Para ulama berbeda pendapat tentang makna dari qira’at (‫) ََل َمستُم‬,

ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna (‫)ََ ا َمستُم‬, yaitu:
bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari (‫)ََ ا َمستُم‬.
Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat
bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn
Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud
adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan atau dalam
bentuk lainnya.
Ada sebuah pendapat yang menyatakan, bahwa yang

َ ِ‫ ) ََل َمستُم الن‬adalah sekedar menyentuh perempuan.


dimaksud dengan (‫سا َء‬

Sedangkan maksud dari (‫ )ا َمستُم‬adalah berjima’ dengan perempuan.


Sementara ada hadis shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW
pernah mencium istrinya sebelum berangkat sholat tanpa berwudhu
lagi. Jadi yang dimaksud dengan َ ِ‫ ) ََل َمستُم الن‬di sini adalah
kata (‫سا َء‬
berjima’, bukan sekedar menyentuh perempuan. Dari contoh di atas
dapat diambil kesimpulan, bahwa yang membatalkan wudhu adalah
berjima’, bukan sekedar bersentuhan dengan perempuan.

11
Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah
yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang
menyatakan bahwa kata al-lums (‫ )اللمس‬dalam qira’at (‫)لمستم‬, makna
hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa
bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian
hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat (‫ )المالمسات‬dalam qira’at

(‫)ل َمستُم‬, makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti
bersetubuh.
b. Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh terhadap Istinbat Hukum
Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi
tidak berpengaruh terhadap istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab
(33): 49.

ِ َ‫َيأَيُّها الَّ ِذين آمنُوا إِ َذا نَ َكحتُم الْم ْؤِمن‬


ِ ‫ات ُُثَّ طَلَّ ْقتُم‬
ُ ‫وه َّن م ْن قَ ْب ِل أَ ْن ََتَ ُّس‬
‫وه َّن‬ ُ ُ ُ ْْ َ َ َ َ
‫جيل‬ َِ ‫ُّوَنَا فَمتِِّعوه َّن وس ِرحوه َّن سراحا‬ ٍ ِ ِ ِ
َ َ ُ ُ ِّ َ َ ُ ُ َ َ ‫فَ َما لَ ُك ْم َعلَْيه َّن م ْن عدَّة تَ ْعتَد‬
Arinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib
atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan
cara sebaik-baiknya."
Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn
oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa
iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita
yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan kawin
lagi dengan laki-laki lain.
Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I,
membacanya dengan (‫ه َّن‬ ُّ ‫) ِمنقَب ِل أَن ت َمآ‬, sementara Ibn Kasir, Abu
ُ ‫سو‬
'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: (‫ه َّن‬ ُّ ‫) ِمن قَب ِل أَن ت َ َم‬. Perbedaan
ُ ‫سو‬
bacaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan
hukum yang terkandung di dalamnya.

12
c. Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum(7)
Tidak hanya qira’at mutawatir dan masyhur yang dapat
dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at
Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum syar’iyah.
Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama
kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan
mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat
Jumhur ulama.
Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan
Qiraat Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa
Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh
Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz
sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai
Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan
Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai
berikut :
 Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn
Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :

‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا أَْْيانيَ ُه َما‬


َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan kanan keduanya…..”
Dalam Qiraat yang shahihah ayat tersebut berbunyi :

‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْ ِديَ ُه َما‬


َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
 Mazhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai
kafarah sumpah, juga berdasarkan kepada qiraat Ibn Mas’ud dalam
surat al-Maidah ayat 89, yang berbunyi:

‫ييَا ُ لََللَِة أ َََّيٍ متتلبعات‬


ِ َ‫فَمن ََل َِي ْد ف‬
ْ َْ

7
Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar
el-Islam

13
Artinya: “………..Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian,
maka kafaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut ….”
Dalam qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :

ٍ‫ييا لََللَِة أَ ََّي‬


ِ ِ
ُ َ َ‫فَ َم ْن ََلْ َي ْد ف‬
Sya’ban Muhammad Ismail, mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid,
menyatakan bahwa tujuan sebenarnya dari Qiraat Syaz adalah
merupakan Tafsir dari qiraat shahih (masyhur) dan penjelasan
mengenai dirinya. Huruf-huruf tersebut harakatnya (lafaz Qira’at
Syaz tersebut) menjadi tafsir bagi ayat al-Qur’an pada tempat
tersebut. Hal yang demikian ini, yaitu tafsir mengenai ayat-ayat
tersebut, pernah dikemukakan oleh para Tabi’in, dan ini merupakan
hal yang sangat baik.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Qira’at adalah ilmu yang mempelajari tentang pengucapan kalimat-
kalimat di dalam al-Qur’an dengan cara menyandarkan kepada penutur asal dan
aslinya. Timbulnya berbagai perbedaan di karenakan lahjah atau dialek dari
berbagai suku itu berbeda-beda, tetapi Qira’ah diturunkan dengan tujuh huruf.
Jika ditinjau dari segi riwayatnya seperti dalam hadith, qira’at mempunyai enam
macam, seperti Mutawattir, Masyhur, Shahih, Syadz, Maudu’ dan Mudraj. Al-
Qur’an dalam wujud mushaf yang dikenal dan dimiliki kaum muslim sekarang,
bukanlah merupakan satu-satunya versi, karena itu terdapat pula versi qira’ah
lainnya yang berbeda dengan versi qira’ah sebagaiman yang terbaca dalam
mushaf al-Qur’an yang kita miliki.
Qira’at memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu
hukum akibat perbedan kata, huruf dan cara baca.dengan adanya qira’atul
Qur’an ini maka dapat memudahkan umat islma untuk membanyanya sesuai
dengan yang ia pehami. Karena Rosulullah Saw, memperbolahkan pembacaan
al-qur’an yang tidak sesuai dengan pertama kali Al-qur’an itu diturunkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar
el-Islam

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Jakarta. Darul


Kutub Al- Islamiyah.

Ibid., hal.301-302

Ibrahim Al-Abyari, Loc. Cit, h. 100-101

Muhammad „Abd. Al-„Adhîm al-Zarqâni, Manâhi,, hal. 301. Lihat jugaMûsâ Syâhain
Lâhain, Al Âli‟u, hal.97.

Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.

Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja
Garfindo, Persada, Jakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai