QIRA’AT AL-QURAN
Dosen Pengampu:
Endah Tri Wisudaningsih, M.Pd.I
Disusun Oleh:
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku.
Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-
suku lainnya. Sama halnya dengan Indonesia yang memiliki berbagai suku,
namun untuk memudahkan berkomunikasi Indonesia memiliki bahasa
persatuan, maka bangsa Arabpun demikian. Mereka menjadikan bahasa
Quraisy sebagai bahasa bersama dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi
ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan di atas,
sebenarnya kita dapat memahami alasan al-Qur’an diturunkan dengan
menggunakan bahasa Quraisy. Dengan perbedaan-perbedaan lahjah itu maka
terlahirnya bermacammacam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an.
Lahirnya bermacam-macam qira’ah itu sendiri, tidak dapat dihindarkan lagi.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan al-
Qur’an dengan berbagai macam qira’ah. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan
dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf)
dan hadis-hadis lainnya yang sepadan dengannya. Bahasa yang digunakan
dalam Al-Qur’an adalah Bahasa Quraisy.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Qira’at itu?
2. Bagaimana latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at?
3. Apa saja sebab perbedaan Qira’at?
4. Apa saja macam-macam Qira’at?
5. Apa saja urgensi mempelajari Qira’at dan pengaruhnya dalam penetapan
hukum?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya Qira’at A l-Qur’an
2. Untuk mengetahui macm-macam Qira’at
3. Untuk tau manfaat mempelajari Qira’at
1
BAB II
PEMBAHASAN
( )قراءةyang merupakan isim masdar dari qaraa ()قرأ, yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan
oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut
ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
1. Menurut A-Zarqani
Menurut al-Zarqani (penulis Manaḥil al-'Irfan fi Ulum al-Qur`an) qira’at
adalah mazhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan
lainnya dalam pengucapan al-Qur`an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan
jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun
bentuk-bentuk lainnya.
2. Menurut Ibnu Al-Jazairi
(penulis kitab Taḥbir at-Taysir Fi al-Qira’at al-’Asyr), qira’at adalah ilmu
membahas cara-cara mengucapkan kata-kata al-Qur`an dan perbedaan
perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
3. Menurut Al-Qastalany
penulis kitab Irsyad al-Syary qira’at adalah suatu ilmu yang mempelajari
hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut
persoalan lughat, hazf, i’rab, isbat, fasl, dan waṣl yang kesemuanya
diperoleh secara periwayatan.
4. Menurut az-Zarkasyi
qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafal-lafal alQur`an, baik
menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,
seperti takhfīf (meringankan), taṡqīl (memberatkan), dan atau yang lainnya.
2
Qiraat sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat
itu Qiraat bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat
yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu:(1)
a. Suatu ketika Umar bin Al-khathab berbeda pendapat dengan Hisyam bin
Hakim ketika membaca Al-Qur’an. Umar merasa tidak puas terhadap
bacaan Hisyam sewaktu ia membaca Surat Al-Furqon. Menurut Umar,
bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang
diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa
bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak
menghadap Nabi untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kemudian Nabi
menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah
Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :
َّ َر ٍ ت إِ َّن هـ َذا الْ ُقرآ َن أُنْ ِز َل َعلَى سبـع ِة أَحر
َّ َف فَاقـ َْرءُ ْوا َما تَـَي ْ َهـ َك َذا أُنْ ِزل
ُ ْ َ َْ ْ
ُِم ْنه
“Memang begitulah Al-Quran diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran
diturunkan atau tujuh huruf, maka bacalah yang mudah darinya.”
1
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Jakarta. Darul Kutub
Al- Islamiyah.
3
yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabipun menjawabnya.
“baik”.
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai pada
masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H. tatkala para qari telah tersebar
di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan Qira’at gurunya
dari pada mengikuti Qiraat Imam-imam lainnya.
Qiraat-Qiraat tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke
murid, sehingga sampai kepada para Imam Qiraat, baik yang tujuh,
sepuluh, atau yang empat belas.
4
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah di atas adalah Ba’id
karena statusnya sebagai fi’il amar, boleh juga dibaca Ba’ada yang
berarti keduanya menjadi fi’il madhi sehingga artinya telah jauh.
c. Perbedaan pada perubahan huruf tanpa peraubahan I’rab dan bentuk
tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah
Sebagai berikut.
2
Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja Garfindo,
Persada, Jakarta.
5
ِ ت س ْكرةُ الْمو
19 : {ق.ت َِب ْْلَِِّق ْ َ َ َ ْ اء َ } َو َج
Artinya : “ Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya “.
(Q.S. Qof (50) : 19).
Konon menurut suatu riwayat, Abu bakar pernah membacanya menjadi
“Wa ja’at sakrat al-haqq bi al-maut”,ia menggeser kata al-Maut ke
belakang, dan memasukan kata al-Haqq, setelah mengalami pergeseran,
bila kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berarti “dan
datanglah sakarat yang benar-benar dengan kematian”. Qiraat semacam
ini juga tidak dipakai karena menyalahi ketentuan yang berlaku.
g. Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada
firman Allah sebagai berikut.
ِ ِ ٍ
ُ ََجنَّات ََتْ ِر ْي م ْن تَ ْح ِتَا اْأل َْْن
{25 : ار {البقرة
Artinya : “ surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”.
Kata Min pada ayat ini dibuang dan pada ayat serupa yang tanpa Min
justru ditambah.
6
orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.
(Q.S. Asy-Syu’ara: 192-195).
Ketika suku Asadi membaca ayat di hadapan Rasulullah; ْْْْه سْْْْْْْْْْ َه
تِ و
(tiswaddu wujuhun) padahal seharusnya; ه ( تَ وtaswaddu wujuwhun).
س َه
7
Orang Tamimi menyebut ( َ ِحينwahiyn) padahal yang seharusnya (حينhiyn),
ِ
dan masih banyak contoh lainnya.(3)
D. Macam-Macam Qira’at
Menurut al-Suyuthi, qira`at itu ada enam macam yaitu:
1. Qira’at Mutawatir yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta, dari
sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga
penghabisannya yakni Nabi SAW. Dan inilah yang umum dalam hal qira`at.
2. Qira’at Masyhur yaitu qira’at yang shahih sanadnya, di mana perawinya
„adil dan dhabid. Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan
salah satu Mushaf Usmâni serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’at
sehingga qira’at ini tidak dikatagorikan ke dalam qira’at yang salah atau
syaz namun tidak mencapai derajat mutawatir. Qira’at seperti ini merupakan
qira’at yang dapat digunakan.
3. Qira’at Ahad yaitu qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rams
Ustmani dan kaidah bahasa arab atau sesuai dengan rams Ustmani dan
kaidah bahasa Arab, namun tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur.
Qira’at seperti ini tidak dapat dibaca dan tidak wajib untuk diyakini.( 4 )
Misalnya qira`at yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ashim al-Jahdarî
dari Abu Bakar bahwa Nabi Saw.membaca surat al-Rahman ayat 76 :
dengan
ۡ َر ۡف َرفٍ ُخdan عباقري, dan yang diriwayatkan oleh Ibnu „Abbas bahwa
ضر
Nabi Saw. Membaca surat al-Taubah ayat 128: dengan fathah fa’ pada kata
أَنفُ ِس ُكم.
4. Qira’at Syaz yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya. Seperti surat al-
Fatihah ayat 4: yang dibaca dalam bentuk fi’il madhi dan menasabkan يَو َم
3
Ibrahim Al-Abyari, Loc. Cit, h. 100-101
4
Muhammad „Abd. Al-„Adhîm al-Zarqâni, Manâhi,, hal. 301. Lihat juga
Mûsâ Syâhain Lâhain, Al Âli‟u, hal.97.
8
5. Qira’at Maudhu’ yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.Seperti qira’atal-
Khuza’î yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah dalam firman Allah
surat Fathir ayat 28: yang dirafa’ kan lafadh هللاdan dinasabkan العلماء
6. Qira’at Mudraj yaitu qira`at yang menambahkan kalimat penafsiran dalam
ayat-ayat al-Qur`an. Seperti qira`at Sa’ad bin Abî Waqas yang membaca
frman Allah surat al-Baqarah ayat 198: dengan menaambah lafadh
َ اسِِِِِ ِم ال
ِ فِي َم َوsetelah lafadh من ربكمkalimat َ اسِِِِِ ِم ال
ِ فِي َم َوadalah
penafsiran yang ditambahkan ke dalam ayat.(5)
5
Ibid., hal.301-302
9
c. Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. misalnya, dalam
surat Al-Baqarah [2] ayat 222. Sementara qiraat yang membacanya
َّ َ( يsementara dalam mushaf Ustmani tertulis َ)يَط ُهرن, dapat
dengan َط ِهرن
difahami bahwa seoranng suami tidak boleh melakukan hubungan
seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d. Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi
berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat
6 ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu membaca أَر ُج ِل ُكم. Perbedaan
qiraat ini tentu saja mengkonsekwensikan kesimpulan hukum yang
berbeda.
e. Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Quran
yang mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, di dalam Surat Al-
Qariah [10] ayat 5, Allah berfirman:
6
Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.
10
َح ٌد ِمْن ُك ْم ِم ْن الْغَائِ ِط أ َْو ََل َم ْستُ ْم
َ ضى أ َْو َعلَى َس َف ٍر أ َْو َجاءَ أَ َوإِ ْن ُكنتُ ْم َم ْر
وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُك ْم إِ َّن
ِ النِِّساء فَلَم ََِت ُدوا ماء فَت ي َّمموا صعِيدا طَيِبا فَامسحوا بِوج
ُ ُ ُ َ ْ ِّ َ ُ ََ َ ْ ََ
اَّللَ َكا َن َع ُف ًّوا َغ ُفورا
َّ
Artinya: “ Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun".
Katsir, Nafi', 'Ashim, Abu 'Amer dan Ibn 'Amir, membaca ( ََل َمستُم
ada tiga versi pendapat ulama mengenai makna ()ََ ا َمستُم, yaitu:
bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta bersetubuh.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang maksud dari ()ََ ا َمستُم.
Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat
bahwa maksudya adalah: bersetubuh. Sementara itu, Ibn Mas'ud, Ibn
Abbas al-Nakha'i dan Imam Syafi'i berpendapat, bahwa yang dimaksud
adalah: bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan atau dalam
bentuk lainnya.
Ada sebuah pendapat yang menyatakan, bahwa yang
11
Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah
yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi yang
menyatakan bahwa kata al-lums ( )اللمسdalam qira’at ()لمستم, makna
hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan bahwa
bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian
hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat ( )المالمساتdalam qira’at
()ل َمستُم, makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan bukan berarti
bersetubuh.
b. Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh terhadap Istinbat Hukum
Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi
tidak berpengaruh terhadap istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-Ahzab
(33): 49.
12
c. Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum(7)
Tidak hanya qira’at mutawatir dan masyhur yang dapat
dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at
Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum syar’iyah.
Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama
kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan
mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat
Jumhur ulama.
Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan
Qiraat Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa
Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh
Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz
sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai
Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan
Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai
berikut :
Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn
Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
7
Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar
el-Islam
13
Artinya: “………..Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian,
maka kafaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut ….”
Dalam qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qira’at adalah ilmu yang mempelajari tentang pengucapan kalimat-
kalimat di dalam al-Qur’an dengan cara menyandarkan kepada penutur asal dan
aslinya. Timbulnya berbagai perbedaan di karenakan lahjah atau dialek dari
berbagai suku itu berbeda-beda, tetapi Qira’ah diturunkan dengan tujuh huruf.
Jika ditinjau dari segi riwayatnya seperti dalam hadith, qira’at mempunyai enam
macam, seperti Mutawattir, Masyhur, Shahih, Syadz, Maudu’ dan Mudraj. Al-
Qur’an dalam wujud mushaf yang dikenal dan dimiliki kaum muslim sekarang,
bukanlah merupakan satu-satunya versi, karena itu terdapat pula versi qira’ah
lainnya yang berbeda dengan versi qira’ah sebagaiman yang terbaca dalam
mushaf al-Qur’an yang kita miliki.
Qira’at memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu
hukum akibat perbedan kata, huruf dan cara baca.dengan adanya qira’atul
Qur’an ini maka dapat memudahkan umat islma untuk membanyanya sesuai
dengan yang ia pehami. Karena Rosulullah Saw, memperbolahkan pembacaan
al-qur’an yang tidak sesuai dengan pertama kali Al-qur’an itu diturunkan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar
el-Islam
Ibid., hal.301-302
Muhammad „Abd. Al-„Adhîm al-Zarqâni, Manâhi,, hal. 301. Lihat jugaMûsâ Syâhain
Lâhain, Al Âli‟u, hal.97.
Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.
Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja
Garfindo, Persada, Jakarta.
16