Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

QIRO’AT AL-QUR’AN
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Moh Syaeful Ulum, S.Ag.,M.SI

Disusun oleh :
Kelompok 2
1. Sarah Andriani
2. Lusi Nurjanah
3. Safira
4. Rahil
5. Najib

PAI 1 F

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG
SINGAPARNA - TASIKMALAYA
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, segala puji
bagi Allah SWT. Sholawat serta salam tetap kami haturkan kepada junjungan Nabi besar kita
Muhammad SAW. atas rahmat dan karunia Allah SWT, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas Makalah Ulumul Qur’an yang bertema “QIRA’ATUL QUR’AN”. Kami menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak dukungan dari berbagai pihak baik, yang mana
dapat memotivasi kami untuk belajar Ulumul Qur’an.
Kami ucapkan banyak terimakasih kepada pengampu kami, Bapak Dosen Dan kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna meskipun disertai
dengan usaha dan upaya yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, kami mengharapkan
saran dan diterima dengan hati yang lapang.
Dan akhirnya kepada Allah SWT jualah segala usaha kami dan semoga makalah
sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.
Cipasung, 16 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
C. Manfaat Dan Tujuan .............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiro’at .................................................................................................. 2
B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qiro’at ...................................................... 2
C. Sebab-Sebab Perbedaan Qira’at ............................................................................ 3
D. Urgensi Mempelajari Qira’at Dan Pengaruhnya Dalam Penetapan Hukum ......... 3
E. Macam-Macam Qira’āt .......................................................................................... 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 7
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an. Setiap suku memiliki
dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan tersebut
pastinya di karenakan faktor kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio culture pada
masing-masing suku. Oleh karena itu, disini perbedaan lahjah membawa konsekuensi lahirnya
bermacam-macam bacaan (qira’āh) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya macam-macam
qira’āh ini tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW membenarkan
pelafalan al-Qur’an dengan berbagai macam qira’āh. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan
dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza al-Quran ‘ala sab’ah ahruf) dan hadith-hadith
lainnya yang sepadan dengannya. Bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an adalah bahasa
Quraisy.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Qira’at itu?
2. Bagaimana latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at?
3. Apa saja sebab perbedaan Qira’at?
4. Apa saja urgensi mempelajari Qira’at dan pengaruhnya dalam penetapan hukum?
5. Apa saja macam-macam Qira’at?

C. Manfaat dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan penulisan makalah ini untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Ulumul Qur’an, sekaligus untuk memperluas wawasan tentang Qira’at.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qira’at
Secara etimologi, Al-Qira’āt : jama’ dari qira’āh ( ( ‫قراءة‬bentuk masdar dari qara’ā (‫)قرأ‬,
sedangkan menurut terminologi salah satu madzab (aliran) pengucapan atau pelafalan al-
Qur’an seorang madzab qurro’ yang berbeda dengan madzab lainnya.1[1] Sebagaian ulama
mendefisinikan qira’āh sebagai “ilmu tentang pengucapan kalimat-kalimat al-Qur’an dengan
berbagai macam variasinya dengan cara menyandarkan kepada penutur asal dan aslinya secara
mutawattir.2[2]
B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
Qira’āh sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada walaupun tentu saja pada saat
itu qira’āh bukan merupakan disiplin ilmu. Ketika Hisyam bin Hakim membaca surat Al-
Furqan itu kurang benar, kemudian Umar mendengar dan kurang puas, sehingga timbul lah
sebuah perbedaan dengan Umar bin Khattab. Lalu, Umar menyuruh Hisyam untuk menghadap
Rasul dengan membaca kembali surat tersebut dan Rasul bersabada:
‫نز َل على سبعة أحْ َرف فَا ْق َرءُوْ ا َماتيَ َّس َر ِم ْنه‬
ِ ُ‫ت اِ َّن هذا القران ا‬ ِ ُ‫هكاذا ا‬
ْ َ‫نزل‬
Artinya: memang begitulah al-Quran diturunkan. Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dalam
tujuh huruf, maka bacalah oleh apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.
Timbulnya penyebaran qira’āh dimulai pada masa tabiin, yaitu awal abad 11 H. Abu
Bakar Shidiq tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf yang selain yang telah disusun Zaid bin
Tsabit, seperti mushaf Ibn Mas’ud, Miqdad bin Umar dan lain-lain. Mushaf-mushaf dari selain
Zaid bn Tsabit tidak jauh berbeda dengan milik Zaid bin Tsabit. Adanya mushaf-mushaf itu
disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai juru melahirkan sesuatu yang tidak
diinginkan, yaitu timbulnya qira’āh yang semakin beragam dan terjadinya transformasi bahasa
dan akulturasi dari bangsa-bangsa bukan Arabin sehingga menimbulkan perbedaan qira’āh.
3[3] Kemudian setelah mereka banyak qurra’ yang tersebar di negara-negara dan di belakang
mereka diikuti oleh segenap umat. Maka ketika itu muncullah imam yang cendikiawan di
dalam ijtihadnya membedakan antara shahih dan bathil, mengumpulkan huruf-huruf dan

2
qira’āt, menguatkan beberapa wajah dan riwayat, menjelaskan yang shahih dan syadz
(aneh).4[4]
C. Sebab-sebab Perbedaan Qira’at
Di antara sebab-sebab munculnya beberapa qira’āt yang berbeda adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan qira’āt Nabi. Artinya, dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya,
Nabi memakai beberapa versi qira’āt. Misalnya dalam surat As-Sajdah ayat 17, sebagai
berikut:
ٍ ‫فَالَ تَعلَ ُم نَفسٌ َّمااُ ْخفِي لَهُم ِمن قُرَّا‬
‫ت اَ ْعيُ ٍن‬
Qira’ah versi mushaf Ustmani adalah :
‫فَالَ تَعلَ ُم نَفسٌ َمااُ ْخفِ َي لَهُم ِمن قُرَّة اَ ْعي ٍُن‬
2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin.
Hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Quran.
ٍ ‫ َعتّى ِح‬, padahal ia menghendaki ‫حتى حين‬, Rasul pun
a. Ketika seorang Hudzail membaca ‫ين‬
memperbolehkannya sebab memang begitulah orang Hudzail mengucapkannya.
b. Ketika orang Tamim mengucapkan hamzah pada suatu kata yang tidak diucapkan orang
Quraisy, Rasul pun memperbolehkannya sebab memang demikianlah orang Tamim
menggunakan dan mengucapkannya.
3. Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’āt yang ada.
4. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-
Qur’an.5[5]
D. Urgensi Mempelajari Qira’at dan Pengaruhnya dalam Penetapan Hukum
1. Urgensi Mempelajari Qira’āt
a. Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.
Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang
dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam qira’āt Syadz, Sa’ad bin Abi
Waqqash memberi tambahan ungkapan “Min Umm” Sehingga ayat itu menjadi:

.‫ث َك َٰلَلَةً أَ ِو ٱم َرأَةٌ َولَ ٓۥه ُ أَ ٌخ أَو أُخت) من ام ) فَلِ ُك ِّل َٰ َو ِحد ِّمنهُ َما ٱل ُّسدُس‬
ُ ‫َوإِن َكانَ َرجُل يُو َر‬

3
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta.6[6]
b. Dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat al-
Maidah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekan budak.
Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini
mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’āt syadz, ayat
itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian menjadi:

.‫َحري ُر َرقَبَ ٍة مؤمن ٍة‬


ِ ‫ت‬ ‫فَ َك َٰفَّ َرتُ ٓۥهُ إِط َعا ُم َع َش َر ِة َم َٰ َس ِكينَ ِمن أَو َس ِط َما تُط ِع ُمونَ أَهلِي ُك ْم أَو ِكس َوتُهُم أَو‬
“_maka kiffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak mukmin ”.7[7]
Tambahan kata “Mukminatin” berfungsi men-tarjih pendapat sebagian ulama, antara
lain As-Syafi’i, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar
sumpah, sebagai salah satu alternatif bentuk kifaratnya.
c. Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam surat al-
Baqarah 2 ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan
seksual tatkala istrinya sedang haid, sebelumnya haidnya berakhir. Sementara qira’āt
yang membacanya dengan “yuththahirna” (di dalam mushaf ‘Utsmani tertulis
“yathhurna”), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan
seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d. Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
Misalnya, yang terdapat dalam surat al-Ma’idah 5 ayat. Ada dua bacaan mengenai ayat
itu, yaitu yang membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan
qira’at ini tentu saja mengosekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e. Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang mungkin
sulit dipahami maknaya. Misalnya, di dalam surat al-Qari’ah 101 ayat 5, Allah
berfirman:

4
ِ ُ ‫هن ٱل َمنف‬
‫وش‬ ِ ‫َوتَ ُكونُ ٱل ِجبَا ُل َكٱل ِع‬
Dalam sebuah qira’āt yang syadz dibaca:
ِ ُ‫َوتَ ُكونُ ٱل ِجبَا ُل َكٱلصوف ٱل َمنف‬
‫وش‬
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata kata“al-ihn”
adalah“al’shuf.”8[8]
2. Pengaruh Qira’at terhadap Istinbath Hukum
Perbedaan antara satu qira’āt dan qira’āt lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf,
bentuk kata, susunan kalimat, i’rob, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan
ini sudah barang tentu membawa sedikit atau banyak, perbedaan kepada makna yang
selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistinbath dari padanya. Karena itu, Al- Zarkasyi
berkata:
ْ ‫َقض ُوضو ِء‬
ُ‫المل ُموس َو َع َد َمه‬ ْ َ‫ت ي‬
َ ‫ظهَ ُر االختالف فى االَح َك ِام و لهاذا بَنَى الُفُقَهَا ُء ن‬ ِ َ‫أَ َّن بِاختِال‬
ِ ‫ف القِرا َء‬ ‫على اختالف‬
‫القراءت فى (لَ َم ْستُ ْم) و (المستم) وكذالك جواز وطاء الحائظ عند االنقطاع وعدمه الى الغسل على اختالفهم فى (حتى‬
)‫يطهرن‬
Menurut qira’at Nafi’ dan Abu Amr dibaca ْ َ‫َحتَّى ي‬
َ‫طهُرْ ن‬
Dan menurut qira’āt Hamzah dan Al-Kisai َ‫َحتَّى يَطَّهَّرْ ن‬
Qira’āt pertama dengan sukun ta’ dan dammah ha menunjukkan larangan menggauli
perempuan itu ketika haid. Ini berarti bahwa ia boleh di campuri setelah terputusnya haid
sekalipun sebelum mandi. Inilah pendapat Abu hanifah. Sedangkan qira’āt kedua dengan
tasydid ta dan ha menunjukkan adanya perbuatan manusia dalam usaha menjadikan dirinya
bersih.
Perbedaan antara qira’at ‫الَ َمسْت ُم النِساء‬dan juga mempengaruhi ‫ لَ َم ْستُم النساء‬perbedaan
dalam istimbat hukum. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, semata-mata bersentuh antara
laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Sebab, menurut Hanafi, kata: ‫الَ َمسْت ُم‬di sini
berarti jima’ dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan perasaan nafsu.
Sedangkan menurut madzhab Syafi’i, bersentuhan semata akan membatalkan wudhu.9[9]
E. Macam-macam Qira’āt
Dari segi periwayatan atau sanadnya, qira’āt dibagi menjadi enam macam, yaitu:
1. Mutawattir, yaitu qira’āt yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang mustahil
sepakat berbuat kebohongan pada qira’āt tersebut.

5
2. Mashyur, yaitu qira’āt yang sanad dari periwayatannya shahih, tetapi tidak mencapai
derajat mutawattir dan sesuai tata bahasa Arab dan rashm Utsmani.
3. Ahad, yaitu qira’āt yang shahih secara periwayatan tetapi menyalahi rashm Utsmani
atau kaidah bahasa Arab.
4. Syadz, yaitu qira’āt yang sanadnya tidak shahih.
5. Maudu, yaitu qira’āt yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sama sekali secara
sanad.
6. Mudraj, yaitu qira’āt yang menyertakan catatan tambahan ke dalamnya. Padahal
tambahan tersebut adalah merupakan hasil penafsiran.10[10]

6
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Qira’āt adalah ilmu yang mempelajari tentang pengucapan kalimat-kalimat di dalam al-
Qur’an dengan cara menyandarkan kepada penutur asal dan aslinya. Timbulnya berbagai
perbedaan di karenakan lahjah atau dialek dari berbagai suku itu berbeda-beda, tetapi qira’āh
diturunkan dengan tujuh huruf. Jika ditinjau dari segi riwayatnya seperti dalam hadith, qira’āt
mempunyai enam macam, seperti Mutawattir, Masyhur, Shahih, Syadz, Maudu’ dan Mudraj.
Al-Qur’an dalam wujud mushaf yang dikenal dan dimiliki kaum muslim sekarang, bukanlah
merupakan satu-satunya versi, karena itu terdapat pula versi qira’āh lainnya yang berbeda
dengan versi qira’āh sebagaiman yang terbaca dalam mushaf al-Qur’an yang kita miliki.

7
DAFTAR PUSTAKA

Anshori. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 2013.


Anwar, Rosihon. Ulumul Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Arifin, Zaenal M. “Hakikat Qira’ah Al-Qur’an”. Ulumul Qur’an, (2015), Vol. 14: 72.
Qaththan, Al-Manna’. Mabahith fil-Ulumil Qur’an.Riyadl: Kharomain, 1973.
Shobuni, Muhammad Ali. At-tibyaan fil-Ulumil Qur’an. Beirut: Darul Mawahib Al-
Islamiyah, 2016.
Syadali, Akhmad dan Ahmad Rafi’i. Ulumul Qur’an 1. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Anda mungkin juga menyukai