Anda di halaman 1dari 20

RAGAM AL-QIROAT DAN

DIALEK BANGSA ARAB SERTA HIKMAHNYA

Dalam Memenuhi Tugas Makalah

Ulumul Quran

Oleh:

Muhammad Muqoyim
2016.5.2.1.00046

Dosen Pembimbing:

Dr. Maksum, M.S.I

INSTITUT AGAMA ISLAM BUNGA BANGSA CIREBON


FAKULTAS TARBIYAH
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
Jln. Widarasari III Tuparev Cirebon Telp. (0231) 24615
BAB I
PENDAHULUAN

Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis
tersebar di sepanjang Jazirah Arabia. Setiap suku itu mempunyai format dialek
(lahjah) yang tipikal berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu
tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing
suku. Namun, di samping setiap suku memiliki dialek yang berbeda-beda, mereka
telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language)
dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Kabah, dan melakukan bentuk-
bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami
mengapa Al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
Di sisi lain, perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu akhirnya membawa
konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qiraah) dalam melafalkan Al-
Quran. Lahirnya bermacam-macam qiraat itu sendiri, dengan melihat gejala
beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami (natural), artinya fenomena yang
tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan
pelafalan Al-Quran dengan berbagai macam qiraat. Sabdanya Al-Quran itu
diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadzza Al-Quran ala sabah
ahruf) dan hadis-hadis lain yang sepadan dengannya, kendatipun Abu Syamah
dalam kitabnya Al-Mursyid Al-Wajiz menolak muatan hadis itu sebagai
justifikasi qiraah sabah, tetapi konteks hadis itu sendiri memberikan peluang Al-
Quran dibaca dengan berbagai ragam qiraah.
Dalam penelusuran As-Syuthi, orang yang pertama kali menulis buku
tentang qiraat adalah Abd At-Qasim bin Salam (w. 224 H.), yang kemudian
diikuti Ahmad bin Jubair Al-Kufi, Ismail bin Ishaq al-Maliki, Abu Jafar bin Jarir
Ath-Thabari, Abu Bakar Muhammad bin ahmad bin Umar ad-Dajuni, dan Abu
Bakar bin Mujahid. Setelah itu, muncullah karya-karya qiraat yang beragam.
Thabaqah mereka secara khusus direkam oleh Hafizh Al-Islam Abu Abdillah
adz-Dazahabi dan Hafizh Al-Qurra Abu Al-Khair bin Al-Jazari )w.833 H.) di
dalam karyanya An-Nasyr fi Al-Qiraat Al-Asyr.

-1-
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al- Qiraat


Berdasarkan pengertian etimologi (bahasa), qiraat merupakan kata jadian
(mashdar) dari kata kerja qaraa (membaca). Sedangkan berdasarkan pengertian
terminologi (istilah). Maka ada beberapa definisi yang diintrodusir ulama:
1. Menurut Az-Zarqani:
Suatu madzhab yang dianut seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya
dalam pengucapan Al-Quran serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya,
baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan
bentuk-bentuknya.
2. Menurut Ibn Al-Jazari:
Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Quran dan
perbedaan-perbedannya dengan cara menisbathakan kepada penukilnya.
3. Menurut Al-Qasthalani:
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama
yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, irab, itsbat, fashl, dan washl yang
kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
4. Menurut Az-Zarkasyi:
Qiraat adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh Al-Quran, baik
menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti
takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.. Dari
pengertian ini, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an
yang memiliki perbedaan qiraat saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan
qiraat itu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qiraat itu.
5. Menurut Ash-Shabuni
Qiraat adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-Quran yang dianut salah
seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah
SAW.

-2-
6. Menurut Enksiklopedia Islam
Qiraah ialah cara yang dipakai oleh seorang imam qiraat, yang berbeda dengan
imam-imam lainnya dalam membaca al-Quran.Ilmu qiraat adalah ilmu yang
mempelajari tatacara membaca al-Quran yang dinisbatkan kepada salah satu imam
qiraat yang dipandang baik sanadnya sampai kepada Rasulullah.
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka
yang sama bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama
berasal dari satu sumber, yaitu baginda Nabi Muhammad. Adapun definisi yang
dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan di antara
beberapa qiraat yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qiraat yang dapat
ditangkap dari definisi-definisi di atas, yaitu:
1. Qiraat berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan
salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam
lainnya.
2. Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu bedasarkan atas riwayat yang
bersambungkepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qiraat itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf,
irab, itsbat, fashi, dan washi.

B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qiraat


1. Latar Belakang Historis
Qiraat sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada walaupun tentu
saja pada saat itu qiraat bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa
riwayat yang dapat mendukung asumsi di atas:
a. Suatu ketika Umar bin Al-Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam bin
Hakim ketika membaca ayat Al-Quran. Umar tidak puas terhadap bacaan
Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut Umar, bacaan
Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi
kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal
dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan

-3-
peristiwa di atas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu
shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda
Memang begitulah Al-Quran diturunkan. Sesungguhnya Al-Quran ini
diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian
anggap mudah dari tujuh huruf itu.
b. Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita:
Saya masuk ke masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah
seseorang dan membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan
bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya, Siapakah yang membacakan ayat
itu kepadamu? Ia menjawab, Rasulullah SAW. Kemudian, datanglah
seseorang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl
[16], tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi.
Setelah shalatnya selesai, saya bertanya, Siapakah yang membacakan ayat itu
kepadamu? Ia menjawab, Rasulullah SAW. Kedua orang itu lalu saya ajak
menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau
meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu.
Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, Baik. Kemudian, Nabi memminta
kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya
baik.
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qiraat dimulai pada masa
tabiin, yaitu pada awal II H. Tatkala para qari sudah tersebar di berbagai pelosok.
Mereka lebih suka mengemukakan qiraat gurunya daripada mengikuti qiraat
imam-imam lainnya. Qiraat-qiraat tersebut diajarkan secara turun-temurun dari
guru ke guru, sehingga sampai kepada para imam qiraat, baik yang tujuh,
sepuluh, atau yang empat belas.
Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf
lain selain yang telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn
Masud, Abu Musa Al-Asyari, Miqdad bin Amar, Ubay bin Kaab, dan Ali bin
Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam.
Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid
bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecuali pada dua hal saja, yaitu kronologi surat

-4-
dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah
tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-
masing.
Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari ke
berbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni
timbulnya qiraat yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya
transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa
bukan Arabin sehingga pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi
sebagaiman yang disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian
dilaporkannya kepada Utsman.

2. Sebab-sebab perbedaan qiraat


Di antara sebab-sebab munculnya beberapa qiraat yang berbeda adalah
sebagai berikut.
1) Perbedaan qiraat Nabi. Artinya dalam menyampaikan Al-Quran kepada para
sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qiraat.
2) Pengakuan dari Nabi terhadap berbagi qiraat yang berlaku di kalangan kaum
muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam
mengucapkan kata-kata di dalam Al-Quran. Contohnya:
a. Ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul atta hin padahal ia
menghendaki hatta hin, Rasul pun membolehkannya sebab memang
begitulah orang Hudzail mengucapkan dan menggunakannya.
b. Ketika orang Asadi membaca di hadapan Rasul tiswaddu wujuh, huruf ta
pada kata tiswaddu dikasrahkan. Dan alam ihad ilaikum, huruf hamzah
pada kata ihad (dikasrahkan), Rasul pun membolehkannya, sebab
memang demikianlah orang Asadi menggunakan dan mengucapkannya.
c. Ketika seorang qari membaca wa idza qila lahumm, dan ghidha Al-mau
dengan menggabungkan dhamah kepada kasrah, Rasul pun
membolehkannya sebab memang demikianlah ia menggunakan dan
mengucapkannya.

-5-
d. Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qiraat
yang ada.
e. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa
turunnya Al-Quran.

3. Macam-macam Qiraat
1. Dari Segi Kuantitas
a. Qiraah Sabah (Qiraah Tujuh). Maksud sabah adalah imam-imam qiraat
yang tujuh. Mereka adalah:
1) Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w. 120. H.) dari Mekah. Ad-Dari termasuk
generasi tabiin. Qiraat yang ia riwayatkan diperolehnya dari Abdullah bin
Jubair dan lain-lain. Sahabat Rasulullah yang pernah ditemui Ad-Dari, di
antaranya Anas bin Malik, Abu Ayyub Al-Anshari, Abdullah bin Abbas,
dan Abu Hurairah. Dua orang perowinya adalah Al Bazzi dan Qunbul.
2) Nafi bin Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169 H.) dari Madinah. Tokoh
ini belajar qiraat kepada 70 orang tabiin. Para tabiin yang menjadi
gurunya itu belajar kepada Ubay bin Kaab, Abdullah bin Abbas, dan Abu
Hurairah. Dua orang perowinya adalah Qalun dan Warsy.
3) Abdlullah Al-Yahshibi, terkenal dengan sebutan Abu Amir Ad-Dimasyqi
(wafat 118 H) dari Syam. Ia mengambil qiraat dari Al-Mughirah bin Abi
Syaibah Al-Mahzumi, dari Utsman bin Affan. Tokoh tabiin ini sempat
berjumpa dengan sahabat Rasulullah yang bernama Numan bin Basyir
dan Wailah bin Al-Asyqa. Sebagian riwayat mengatakan bahwa
Abdullah Al-Yashibi sempat berjumpa dengan Utsman bin Affan secara
langsung. Dua orang perowinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
4) Abu Amar (wafat 154 H) dari Bashrah, Irak. Nama lengkapnya adlah
Zabban bin Al-Ala bin Ammar. Ia meriwayatkan qiraat dari Abu Jakfar
Yazid bin Qaqa dan Hasan Al-Bashri, beliau dari Hattan dan Abu Aliyah,
beliau dari Umar bin Khottob dan Ubay bin Kaab. Dua orang perowinya
adalah Ad-Duri dan As-Susi.

-6-
5) Abu Hasan Ali Bin Hamzah Al-Kisai (wafat 189 H), dari Kufah, Irak.
Beliau membaca Al Quran dari imam Hamzah dan juga talaqqi pada
Muhammad bin Abu Laily dan Isa bin Umar, beliau berdua dari Ashim.
Dua perowinya adalah Abul Harits dan Ad-Duri.
6) Hamzah (wafat 188 H). Nama lengkapnya adalah Ibnu Habib Az-Zayyat.
Hamzah belajar qiraat pada Sulaiman bin Mahram Al-Amasy, dari
Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubaisy, dari Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, dan Ibnu Masud. Dua perowinya adalah Kholaf dan
Khollad.
7) Ashim. Adapun nama lengkap Ashim adalah Ibnu Abi An-Najud Al-Asadi
(wafat 127 H). Ia belajar qiraat kepada Dzar bin Hubaisy, dari Abdullah
bin Masud, Usman bin Affan, Ali Bin Abi Tholib, Ubay bin Kaab dan
Zaid bin Tsabit. Dua rang perowinya adalah Syubah dan Hafs.
Berkaitan dengan kualitas riwayat qiraat sabah, Az-Zarqani menuturkan
lima pendapat, dari yang ekstrem sampai yang moderat, yaitu:
1) Abu Saud farj bin Lubb, seorang mufti Andalusia, berpendapat bahwa
penolakan terhadap qiraat sabah dapat membawa pada kekafiran karena
akan menimbulkan konsekuensi pada penolakan kemutawatiran Al-Quran.
2) Sebagian ulama menyamakan qiraat sabah dengan qiraat-qiraat lainnya.
Tingkat keakurasian qiraat sabah, seperti halnya qiraat-qiraat lainnya,
hanya sampai pada derajat ahad.
3) Ibnu As-Subuki, dalm Jam Al-Jawami, menjelaskan bahwa qiraat sabah
merupakan riwayat mutawatir nabi.
4) Ibnu Al-Hajib juga berpendapat bahwa riwayat qiraat sabah adalah
mutawatir, tetapi ia mengecualikan persoalan-persoalan yang menyangkut
Al-ad, madd, imalah, dan takhfif hamzah. Al-Banani menjelaskan bahwa
persoalan-persoalan yang dikecualikan Ibnu Al-Hajib adalah persoalan
yang masuk pada ruang lingkup ijtihadi.
5) Abu Syamah, dalam kitabnya Al-Mursyid Al-Wajiz, berpendapat bahwa
kemutawatiran qiraat sabah hanya menyangkut jalan-jalan periwayatan
yang telah disepakati datang dari para imam qiraat. Adapun qiraat yang

-7-
jalan periwayatannya masih diperselisihkan datangnya dari mereka, qiraat
itu tidaklah mutawatir.
b. Qiraat Asyarah (Qiraat Sepuluh). Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah
qiraat tujuh yang disebutkan di atas ditambah dengan tiga qiraat berikut :
1) Abu Jafar. Nama lengkapnya adalah Yazid bin Al-Qaqa Al-Makhzumi
Al-Madani. Ia memperoleh qiraat dari Abdullah bin Abbasa, dan Abu
Hurairah. Mereka bersua memperolehnya dari Ubay bin Kaab, sedangkan
Ubay memperolehnya langsung dari nabi.
2) Yakub (117-205H). Nama lengkapnya adalah Yakub bin Ishaq bin Yazid
bin Abdlullah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia memperoleh
qiraat dari banyak orang yang sanadnya bertemu pada Abu Musa Al-
Asyari dan Ibnu Abbas, yang membacanya langsung dari Rasulullah
SWA.
3) Khallaf bin Hisyam (wafat 229 H). Nama lengkapnya adalah Abu
Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsalab Al-Bazzaz Al-Bagdadi. Ia
menertima qiraat dari Sulaiman bin Isa bin Habib.
c. Qiraat Arbaat Asyrah (Qiraat Empat Belas). Yang dimaksud qiraat empat
belas adalah qiraat sepuluh yang telah disebutkan diatas ditambah dengan
empat qiraat berikut :
1) Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H). Salah seorang tabiin besar yang
terkenal kezahidannya.
2) Muhammad bin Abdirrahman, yang terkenal dengan nama Ibnu Mahishan
(wafat 123 H). Ia adalah guru Abi Amr.
3) Yahya bin Al-mubarak Al-Yazidi an-Nahwi Al-Baghdadi (wafat 202 H).
Ia mengambil qwiraat dari Abi Amr dan Hamzah.
4) Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz (wafat 388 H).
2. Dari Segi Kualitas
Dalam kitab Zubdah Al-Itqon Fil Ulumil Quran karya Dr. Muhammad bin
Alwi Al-Maliki bahwa imam Al-Jaziri mengelompokkan Qiraah dalam lima
bagian, yaitu:

-8-
1) Mutawatir, yaitu Qiraat yang dinukil oleh sejumlah orang yang tidak
mungkin bersepakat dalam kedustaan dari orang-orang yang seperti
mereka hingga ke akhir sanad, dan ini yang dominan di dalam Qiraat.
2) Masyhur, yaitu yang sanadnya shahih namun tidak sampai ke tingkatan
Mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm, terkenal di
kalangan para Imam Qurra, dan mereka tidak menganggapnya keliru atau
ganjil. Dan para Ulama menyebutkan bahwa Qiraat jenis ini boleh
diamalkan bacaannya.
3) Ahad, yaitu yang sanadnya shahih, namun menyelisihi rasm atau
menyelisihi kaidah bahasa Arab, atau tidak terkenal sebagaimana
terkenalnya Qiraat yang telah disebutkan. Dan yang ini tidak diamalkan
bacaannya. Dan di antara contohnya adalah yang diriwayatkan oleh Imam
al-Hakim rahimahullah dari Abu Bakar radhiyallahu anhu, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wasallam membaca:





Qiraat di atas dalam mushaf dibaca:



(67(

Mereka bersantai pada bantal-bantal yang hijau dan permadani yang


indah. (QS. Ar-Rahman: 76)
Dan juga yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma,
bahwasanya beliau membaca: (surat At-Taubah ayat 128)

(821)


Dengan menfathahkan huruf Fa dalam
( padahal di Qiraat

yang lain dengan menkasrahkan Fa)


4) Syadz, yaitu yang tidak shahih sanadnya. Seperti Qiraat:


(4)

Dengan kata kerja bentuk lampau, yaitu ( malaka) dan mem-fathah-

kan kata ( di Qiraat yang benar dengan meng-kasrah-kannya).

-9-
5) Maudhu, atau palsu yaitu yang tidak ada asal-usulnya.
Imam Suyuthi menambahkan jenis qiraah yang keenam yaitu Qiraah
Mudraj, atau yang disisipi, yaitu ucapan yang ditambahkan dalam Qiraat (yang
shahih) sebagai bentuk penafsiran. Seperti Qiraat Ibnu Abbas radhiyallahu
anhuma:



.

Dan ucapan adalah tafsir yang disisipkan dalam ayat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Qiraat Sabah adalah Mutawatir, dan


selain yang Mutawatir dan Masyhur maka tidak boleh membaca dengannya, baik
dalam shalat maupun di luar shalat.
Imam an-Nawawi rahimahumullah berkata dalam Syarh al-Muhadzadzab:
Tidak boleh membaca dengan Qiraat Syadz di dalam shalat mapupun di luar
shalat, karena ia bukan al-Quran. Karena al-Quran tidak ditetapkan kecuali
dengan nukilan yang Mutawatir, dan Qiraat Syadz tidak Mutawatir. Dan barang
siapa yang berkata dengan selain ini maka ia adalah orang yang keliru dan bodoh.
Maka jika seseorang menyelisihi dan membaca dengan Qiraat Syadz, maka
Qiraatnya diingkari, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Dan para ulama
Baghdad telah sepakat bahwa barang siapa yang membaca dengan Qiraat Syadz
maka ia diminta bertaubat. Ibnu Abdil Barr rahimahullah menukil Ijma
(kesepakatan) seluruh kaum Muslimin tentang tidak diperbolehkannya membaca
dengan Qiraat Syadz, dan juga tidak diperbolehkannya shalat di belakang imam
yang membaca Qiraat ini (Syadz).

C. Dialek Bangsa Arab Dan Faktor Yang Mempengaruhinya


1. Ragam dialek bangsa arab
Masyarakat Arab adalah masyarakat yang dulunya nomaden. Mereka
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari sumber-
sumber kehidupan. Nah, kabilah-kabilah Arab tersebut menyebar ke berbagai
tempat dan mempunyai cara bertutur kata atau dialek masing-masing. Dalam
sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan beberapa ahli, termasuk Abdul

-10-
Shabur Shahin, intelektual Mesir, dialek orang Arab terbagi menjadi dua, yaitu
dialek suku-suku yang mendiami perkotaan (hadlari) dan suku-suku di pedesaan
(badawi).
Suku-suku badawi menempati Jazirah Arab sebelah timur, seperti Ubail,
Thaif, sampai ke Najed, sekarang Riyadh. Dialek mereka cenderung kuat,
menggunakan penekanan atau syiddah dalam berkata-kata. Dalam pengucapan
hamzah, misalnya, harus jelas. Huruf hamzah pada pengucapan kata a-
andzartahum atau al ardlu benarbenar terucapkan. Di sisi lain, mereka suka
mempersingkat kata-kata. Misalnya, yalamuma, mereka singkat menjadi
yalamma. Kata fihi hudan menjadi fiihudan. Suku-suku perkotaan atau hadlari
menempati wilayah barat, seperti Hijaz, Makkah, Madinah, dan juga Syam.
Tingkat pertemuan orang-orang perkotaan dengan masyarakat luar yang begitu
intens membiasakan mereka berbicara lambat dan tidak keras. Oleh karena itu,
cara pelafalan huruf hamzah, misalnya, cenderung dilemahkan. Misalnya
aandzartahum menjadi aandzartahum, kata yuminuun menjadi yuuminun.1
Fenomena ragam dialek Arab pada umumnya dipengaruhi oleh kebiasaan
artikulasi bunyi. Adapun bentuk-bentuk fenomena ragam dialek tersebut
diuraikan secara sederhana disertai nama-nama ragam yang masyhurnya seperti di
bawah ini:
a. Lahjah al-Kisykisyah
Lahjah al-Kisykisyah adalah bentuk perubahan kaf khithb muannats dalam
waqaf menjadi syin, misalnya kata biki dibaca bikasy, dan kata alaiki
dibaca alaikasy. Lahjah semacam ini hanya digunakan pada saat waqaf.
Selain itu, ada juga yang menggunakan pada saat washal dengan cara
tidak menyebutkan kaf khithab dan mengkasrahkannya ketika washal dan
mensukunkannya pada saat waqaf. Misalnya, kata alaiki dibaca alaisyi
ketika washal, dan dibaca alaisy ketika waqaf. Penggunaan lahjah
semacam ini hanya ditemukan pada kabilah Rabiah dan kabilah Mudhor.

1 Ahsin Sakho Muhammad, Ragam Bacaan Alquran Simbol Kearifan Nabi, Republika, 29 Juni
2009.

-11-
b. Lahjah al-Kaskasah
Lahjah al-Kaskasah adalah perubahan kaf khithab mudzakkar menjadi sin.
Misalnya, kata alaika dibaca alaikas; kata minka dibaca minkas. Istilah
alkaskasah merupakan wujud perubahan bacaan kaf khitab menjadi sin.
Penggunaan lahjah ini, hanya ditemukan pada kabilah Rabiah dan kabilah
Mudhor.
c. Lahjah al-Ananah
Lahjah al-Ananah adalah perubahan hamzah yang terletak diawal kata
menjadi ain. Misalnya, kata aslama yang berarti masuk Islam, berubah
menjadi aslama dengan makna yang sama. Penggunaan lahjah ini hanya
ditemukan pada bahasa Tamim, bahasa Qays, Asad, dan Mesir.
d. Lahjah al-fahfahah
Lahjah al-fahfahah adalah perubahan ha menjadi ain. Misalnya, kata
tahtahahu yang berarti menggerakkan, berubah menjadi tataahu dengan
makna yang sama. Penggunaan lahjah ini hanya ditemukan pada bahasa
Huzail.
e. Lahjah al-Wakm
Lahjah al-Wakm adalah perubahan harakah kaf menjadi kasrah apabila
didahului huruf ya atau harakah kasrah. Misalnya, kata alaikum berubah
menjadi alaikim dengan makna yang sama. Penggunaan lahjah ini hanya
ditemukan pada bahasa Rabiah dan bahasa Qalb.
f. Lahjah al-Wahm
Lahjah al-Wahm adalah perubahan harakah ha menjadi kasrah apabila tidak
didahului huruf ya atau harakah kasrah. Misalnya, kata anhum berubah
menjadi anhim dengan makna yang sama. Penggunaan lahjah ini hanya
ditemukan pada bahasa Rabiah dan bahasa Qalb.
g. Lahjah al-Ajajah
Lahjah al-Ajajah adalah perubahan ya musyaddadah (bertasydid) yang
terletak diakhir kata menjadi jim. Misalnya, kata tamimy (doble huruf
ya) yang berarti orang yang berasal dari suku Tamim, berubah menjadi
tamimij dengan makna yang sama. Contoh lain adalah kata Makassary

-12-
yang berarti orang berasal dan bersuku Makassar, berubah menjadi
Makassarij dengan makna yang sama. Penggunaan lahjah ini, menurut al-
Suyuti hanya ditemukan pada bahasa Qadhah yaitu berasal dari kabilah
Himyar.
h. Lahjah al-Istintha
Lahjah al-Istintha adalah perubahan ain sukun yang terletak ditengah-tengah
kata menjadi nun. Misalnya, kata atha yang berarti memberi, berubah
menjadi antha dengan makna yang sama. Contoh lain adalah kata ala yang
berarti lebih tinggi, berubah menjadi anla dengan makna yang sama.
Penggunaan lahjah ini hanya ditemukan pada bahasa Saad bin Bakar, Huzail,
Urdz, Qays, dan al-Anshari.
i. Lahjah al-Watm
Lahjah al-Watm adalah perubahan huruf sin yang terletak diakhir kata menjadi
ta. Misalnya, kata al-Nas yang berarti manusia, berubah bentuk menjadi al-Nat
dengan makna yang sama. Penggunaan lahjah ini hanya ditemukan pada
bahasa Yaman.
j. Lahjah al-Syansyanah
Lahjah al-Syansanah adalah perubahan huruf kaf yang terletak diakhir kata
menjadi syin. Misalnya, kata labbaika yang berarti aku memenuhi
panggilanmu, berubah bentuk menjadi labbaisya dengan makna yang sama.
Contoh lain adalah kata raaituka yang berarti aku telah melihatmu,
berubah bentuk menjadi raaitusya dengan makna yang sama. Penggunaan
lahjah ini hanya ditemukan pada bahasa Yaman.
k. Lahjah al-Lakhlakhaniyah
Lahjah al-Lakhlakhniyah merupakan salah satu bentuk dialek Arab yang
ditemukan atau dinisbahkan dalam bahasa Arab suku Syahr dan Oman.
Dalam dialek ini mereka membuang hamzah pada alif dalam hal
penulisannya, misalnya ma syaa (mim-alif Syin-alif), sedangkan yang
mereka maksudkan ma syaa a (mim-alif Syin-alif + Hamzah).

-13-
l. Lahjah al-Ruttah
Lahjah al-Ruttah, adalah tergesa-gesa dan cepat dalam bercakap. Penamaan
ini dinisbahkan kepada penduduk Iraq.
m. Lahjah al-Thamthamaniyah
Lahjah al-Thamthamaniyah, adalah perubahan lam tarif menjadi mim.
Penamaan ini dinisbahkan kepada kabilah Thayi, Azd, dan kepada kabilah
Humair di Selatan Jazirah Arab. Mereka membaca al- yang melekat pada isim
atau kata benda dalam bahasa Indonesia menjadi am-, misalnya dalam kalimat
thaba amhawa. Pada yang mereka maksud adalah thaba al-haw.
n. Lahjah al-Gamghamah
Lahjah al-Gamghamah, yaitu mendengar suara tetapi tidak jelas potongan-
potongan hurufnya. Ibn Yaisy berkata ghamghamah adalah percakapan yang
tidak jelas, seperti suara para pendekar dalam peperangan. Penamaan ini
di nisbahkan kepada kabilah Qadhaah.
o. Lahjah al-Tiltilah
Lahjah al-Tiltilah, adalah perubahan harakat harf mudhriah menjadi kasrah.
Penamaan ini dinisbahkan kepada kabilah Bahra, Contohnya ,

(di baca Ilamu dan Nilamu). Abu Amru yang dikutip dari Kamus Lisan
al-Arab mengatakan bahwa ta dan nun mudhari dibaca kasrah dalam bahasa
Qays Tamim, Asad, Rabiah dan umumnya bangsa Arab. Sedangkan bagi
orang Hijaz tetap membaca fathah2.
Ibnu Faris memberi kontribusi pemikiran kepada kita, bahwa dari bentuk
lahjah beberapa kabilah Arab hanya didasarkan pada enam belas penting yang
membedakan antara lahjah yang satu dengan lahjah yang lainnya.3 Keenam belas
bentuk tersebut adalah (1) perubahan harakah, (2) perbedaan harakah dan sukun,
(3) perbedaan dalam hal pergantian huruf, (4) perbedaan taqdim dan takhir huruf,

2 Sabar Muh Fihris Khalik, Aneka Ragam Dialek Arab, Arabic Teacher of MAN Wonosobo and
MA Makasar, mengutip dari kitab Abdul Gaffar, al-Lahajat al-Arabiyah: Nasyatan wa
Tathawwuran, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1414 H/1993 M), hal. 43
3 Ibnu Faris, al-Shahib fi Fiqh al-Lugah al-Arabiyah, (Beirut: Maktabah al-Maarif, 1993 M/1414
H), hal. 56

-14-
(5) perbedaan dalam hal hadzf dan itsbat, (6) perbedaan penggantian huruf
shahih dengan huruf mutal, (7) perbedaan dalam hal qiraat, imalah, dan tafkhim,
(8) perbedaan huruf sukun di depan, (9) perbedaan mudzakkar dan muannats, (10)
perbedaan idgam, (11) perbedaan Irab, (12) perbedaan dalam bentuk jamak,
(13) perbedaan dalam hal al-tahqiq dan alikhtilas, (14) perbedaan dalam hal
penyebutan ha (ta al-marbutha) menjadi ta tanits, (15) perbedaan dalam hal
ziaydah, dan (16) perbedaan dalam hal al-tadhad (antonym kata). Dibawah ini
akan dijelaskan secara sederhana perbedaan lahjah tersebut:

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan dialek


Banyak hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan ragam dialek
Arab, diantaranya yaitu; pertama, faktor sosial politik; kedua, faktor geografis;
dan yang ketiga, faktor fisiologis.

D. Hubungan Qiraat Dan Dialek Arab


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa bangsa arab merupakan
komunitas dari berbagai suku yang tersebar disepanjang jazirah arab. Setiap
suku mempunyai format dialek (lahjah) yang berbeda dengan suku-suku
lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan
sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun demikian, mereka telah
menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama ( common language)
dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi kabah, dan melakukan bentuk-
bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan diatas, sebenarnya kita dapat
memahami alas an Al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
Disisi lain, perbedaan-perbedaan lahjah (dialek) itu membawa konsekuensi
lahirnya bermacam-macam bacaan (qiraah) dalam melafalkan Al-Quran.
Lahirnya bermacammacam qiraat itu sendiri, dengan melihat gejala
beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami (natural). Artinya tidak dapat
dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasululah saw sendiri membenarkan pelafalan Al-
Quran dengan berbagai macam bacaan. Sabdanya, Al-Quran itu diturunkan
dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza Al-quran ala sabah ahruf).

-15-
E. Hikmah Adanya Perbedaan Qiraat Dalam Al-Quran
Adanya perbedaan qiraat al-Quran, tampaknya tidak terlepas dari adanya
hikmah yang terkandung di dalamnya.Karena itu para ulama berupaya mencoba
menemukan dan mengungkapkannya.Pada garis besarnya, terdapat dua macam
hikmah pokok sehubungan dengan adanya perbedaan qiraat al-Quran yaitu,
hikmah secara umum dan hikmah secara khusus.
1. Hikmah secara umum
Adapun hikmah secara umum dari adanya perbedaan qiraat al-Quran,
semenatar ulama mengemukakan sebagai berikut:
a. Untuk memberi kemudahan bagi umat Islam, khususnya bangsa Arba, dalam
membaca Al-Quran. Hal ini karena, mereka terdiri atas berbagai suku bangsa
yang mereka masing-masing memeliki lahjat yang berbeda-beda.
b. Mempersatukan umat Islam di kalangan bangsa Arab, yang relatif baru, dalam
satu bahasa yang dapat mengikat persatuan di antara mereka, yaitu bahasa
Quraisy yang dengan al-Quran diturunkan,dan dapat mengakomodasikan atau
menampung unsure-unsur bahasa arab dan kabilah-kabilah lainnya.
c. Menunjukan kelebihan umat Nabi Muhammad SAW, dari umat nabi-nabi
sebelumnya, karena kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi
Muhammad SAW hanya terdiri atas satu versi qiraat.
d. Menunjukan atau membuktikan terjaga serta terpeliharanya al-Quran dari
adanya penggantian dan pengubahan, termasuk berbagai versi qiraatnya.

2. Hikmah secara khusus


Adapun hikmah khusus yang berkenaan dengan maksud atau kandungan
ayat, khususnya yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum,dapat dikemukakan
sebagai berikut:
a. Mengukuhkan atau menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati dan di
sepakati oleh para ulama sebagai contoh firman Allah dalam an-nisa ayat 12 :





)82(

-16-
jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris.(Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Berdasarkan ayat di atas, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud
dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut yaitu,
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja.

-17-
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwasanya:
1. Qiraat adalah cara membaca ayat-ayat al-Quran yang dipilih dari salah
seorang imam ahli qiraat yang berbeda dengan cara ulama lain serta
didasarkan atas riwayat yang mutawatir sanadnya yang selaras dengan kaidah-
kaidah bahasa arab yang terdapat dalam salah satu mushaf Usmani.
2. Qiraat ini muncul pada Nabi Muhammad saw sampai sekarang.
3. Qiroat dari sisi kuantitas terbagi menjadi tiga, yaitu: Qiroah Sabah, Qiroah
Asyroh dan Qiroah Arbaah Asyroh. Dan Qiraat dari segi kualitas dibagi
menjadi lima yaitu Qiraah Mutawatir, Qiraah Masyhur, Qiraah Ahad,
Qiraah Syadz, Qiraah Maudlu.
4. Bangsa Arab sudah ada sejak zaman dahulu. Keberadaan mereka yang
tersebar diberbagai daerah di jazirah Arab terus berkembang dan menghasilkan
banyak keturunan sehingga membentuk berbagai kabilah. Masing-masing
kabilah memiliki corak kebahasaan yang kadang-kadang berbeda dengan
kabilah lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan faktor fisik, letak geografis,
atau sosial-politik yang terjadi kala itu.
5. Hikmah adanya perbedaan qiroat dalam Al Quran ada yang bersifat umum dan
ada yang bersifat khusus. Yang bersifat umum adalah: unutuk memudahkan
umat Islam, untuk mempersatukan umat Islam, menunjukkan kelebihan umat
Nabi Muhammad SAW dan menunjukkan terjaga dan terpeliharanya Al Quran
dari perubahan-perubahan. Sedangkan yang bersifat khusus adalah
Mengukuhkan atau menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati oleh
para ulama.

-18-
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gaffar, al-Lahajat al-Arabiyah: Nasyatan wa Tathawwuran. Cairo:


Maktabah Wahbah, 1414 H/1993 M.
Abu Hafs Umar, Al-Mukarrar fi Ma taeatara min Al-Qiraat Al-Sabi, Al-
Haramain, Singapura.
Ahsin Sakho Muhammad, Ragam Bacaan Alquran Simbol Kearifan Nabi.
Republika. 2009.
Al-Zarqani, Manahil Al-Irfan. Mesir: Mushthafa al-babi al-halabi, t.t.
Anwar M.Ag, Prof. Dr, H. Rosihon. 2009. Pengantar Ulumul Quran. Bandung:
Pustaka Setia.
Channa AW, M.Ag, Dra. Liliek. 2010. Ulum Al-Quran dan Pembelajarannya.
Surabaya: Kopertais IV Press.
Faisal Ismail, Sejarah Kebudayaan Islam dari Zaman Permulaan hingga
Khulafaurrasyidin. Yogyakarta:Bina Usaha, 1984.
Ibnu Faris, al-Shahib fi Fiqh al-Lugah al-Arabiyah, Beirut: Maktabah al-
Maarif, 1993 M/1414 H
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum Al-Quran, Maktabah Al-
Ghazali, Damaskus, 1390
Manna Qaththan, Mabahits Fi Ulum Al-Quran. Maktabah al-Maarif, 2000.
linafatinahberbagiilmu.blogspot.com
risyawardani.blogspot.com
bnetpwj.blogspot.com

-19-

Anda mungkin juga menyukai