Anda di halaman 1dari 13

RASM AL-QUR’AN

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah : Praktek Tilawah


Dosen Pengampu : Pepep, M.Pd.

Disusun Oleh :
LAELA NUR AFIFAH PAI/II/B1 022.011.0055

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SILIWANGI
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan pada kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala karena
dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan Makalah ini. Makalah
ini disusun untuk memenuhi Tugas Praktek Tilawah. Selain itu makalah ini dibuat
bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu Wa
Ta'ala.
Makalah yang Saya buat berisikan materi tentang "Rasm Al-Qur’An". Dalam
makalah ini akan dibahas tentang Sejarah, Hukum Penulisan, dan Faidah-Faidah
Rasm Al-Qur-An.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi yang jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, Saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah sebagai pengantar kata dengan harapan semoga makalah ini dapat
diterima dan bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat umum. Aamiin.

Cimahi, 15 Juli 2023


Penulis,

Laela Nur Afifah


022.011.0055
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir di maksudkan untuk menjadi
petunjuk, bukan saja bagi anggota masyarakat tempat kitab ini diturunkan,
tetapi juga bagi seluruh masyarakat manusia hingga akhir zaman.
Al-Qur’an juga merupakan salah satu sumber hokum islam yang
menduduki peringkat teratas Dan seluruh ayatnya berstatus qat’I al-Qurud yang
diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah swt. Dengan demikian,
autentitas serta orsanilitas al-Qur’an benar-benar dapat di pertanggung
jawabkan, karena ia merupakan wahyu Allah baik dari segi lafadz maupun dari
segi maknanya. [Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ushul al-Fiqh, (Cet. I
Mesir:Maktabah al-Da’wa al-Islamiyah, 1968), h.21]
Sejak awal hingga akhir turunnya, seluruh ayat Al-Qur’an telah ditulis dan
di dokumentasikan oleh para juru tulis wahyu yang ditunjuk oleh rasulullah
saw. Disamping itu seluruh ayat-ayat Al-Qur’an dinuklirkan atau diriwayatkan
secara mutawatir baik secara hafalan maupun tulisan. [Hasanuddin AF,
Analomi Al-Qur’an perbedaan Qira’at dan pengaruhnya terhadap istimbath
hokum dalam al- Qur’an, (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
h.2.]
Dalam pada itu, Al-Qur’an sebagai yang dimiliki umat Islam sekarang,
ternyata telah mengalami proses sejarah yang cukup unik dalam upaya
penulisan dan pembukuannya. Pada masa Nabi saw, Al-Qur’an belum ditulis
dan dibukukan dalam satu mushaf. Ia baru ditulis pada kepingan-kepingan
tulang’ pelepah-pelepah kurmna, dan batu-batu sesuai dengan kondisi
peradaban masyarakat waktu itu yang belum mengenal adanya alat tulis
menulis seperti kertas.
Untuk mengfungsikan al-Qur’an dan memahami isi serta kandungan maka
diperlukan suatu ilmu yang terkait. Salah satunya adalah ilmu Rasm Al-Qur’an.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa itu Rasm Al-Qur’an ?
b. Bagaimana pendapat para Ulama mengenai Rasm Al-Qur’an ?
c. Apa saja Kaidah-Kaidah Rasm Al-Qur’an ?

C. TUJUAN
a. Agar mengetahui penjelasan tentang Rasm Al-Qur’an secara detail.
b. Menjelaskan mengenai Pendapat-Pendapat Para Ulama.
c. Memaparkan Kaidah-Kaidah Rasm Al-Qur’An.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Rasm Al-Qur’an


Secara Etimologi Rasm berasal dari kata Rasama-Yarsumu berarti bekas,
perumpamaan, mendeskripsikan sesuatu dengan pena atau tulisan bergambar
(lukisan / ukiran). [Ahmad Warson Munawwir , Kamus Al-Munawwir,
(yogyakarta: t.tp. 1954),h.533]
Sedangkan secara Terminologi menurut Shubhi Al-shahih, yang dikutip
oleh Ramli Abd wahid, Rasm Al-Qur’an berarti tata cara atau kaedah-kaedah
penulisan huruf-huruf dan kata-kata al-qur’an yang disetujui utsman dan
dipedomani oleh tim penyalin al-qur’an terdiri dari Zaid bin tsabit, Abdullah
bin al-zubair, Sait ibn al-ash dan Abd al-rahman ibn al-harist ibn hisyam.
Jadi Rasm Al-Qur’an adalah Metode penulisan Al-Qur’an yang digunakan
Usman bin Affan dan para sahabat ketika menulis dan membukukan Al-qur’an,
kemudian pola penulisan tersebut dijadikan standar dalam penulisan kembali
atau penggandaan mushaf al-qur’an. Karena pola penulisan tersebut ditemukan
pada masa Usman, maka disebut Rasm Usmani.
Rasmul Al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan Ar-Rasm Al-‘Utsmani
lil Mushaf (penulisan mushaf Utsmani) adalah : Suatu metode khusus dalam
penulisan Al-Qur’an yang di tempuh oleh Zaid bin Tsabit bersama tiga orang
Quraisy yang di setujui oleh Utsman. Rasmul al-Qur’an yaitu : Penulisan Al-
Qur’an yang dilakukan oleh 4 sahabat yang dikepalai oleh Zaid bin Tsabit,
dibantu tiga sahabat yaitu Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin
Affan yang dilatar belakangi oleh saran dari Umar bin Khattab kepada Abu
Bakar, kemudian keduanya meminta kepada Zaid bin Tsabit selaku penulis
wahyu pada zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam untuk
mengumpulkan (menulis) Al-Qur’an karena banyaknya para sahabat dan
khususnya 700 penghafal Al-Qur’an syahid pada perang Yamamah.

B. Pendapat para Ulama


Dilansir dari Pola Penulisan Al-Qur’an, dari Nabi atau Ijtihad Sahabat?
dalam kitab Manahilul Irfân karya Syekh Abdul Adhim al-Zurqani dijelaskan
bahwa perbedaan ini terbagi dalam tiga pendapat:
1. Pendapat mayoritas ulama, yang menyatakan pola penulisan Al-Qur’an
dalam mushaf adalah bersifat tauqifî, yaitu sesuai petunjuk dan perintah
Nabi. Hal ini didasarkan pada dua hal, (1) penulisan Al-Qur’an dilakukan
oleh kuttab al-wahyi (para penulis Al-Qur’an) di masa Nabi saw. Apa yang
ditulis oleh mereka tentu telah mendapatkan persetujuan dari Nabi. (2)
tulisan ini tetap ada dan terus berlanjut pada masa Abu Bakar, dan pada
masa Utsman bin Affan hingga sampai masa para tabi’in (generasi yang
menjumpai sahabat) dan tabi’it tabi’in (generasi yang menjumpai tabi’in).
[M.Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulum Al-Qur’an , (cet. III; Jakarta
Pustaka Firdaus, 2001), h.95.]
Dengan demikian, penulisan ini merupakan kesepakatan sahabat. Tidak
mungkin para sahabat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
penetapan Nabi, baik menambah huruf maupun menguranginya tanpa
petunjuk Nabi. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa haram
hukumnya menyalahi penulisan Rasm Utsmanî, baik dalam penulisan
huruf, ya’, alif, dan wawu.
2. Pendapat sebagian Ulama, termasuk Imam al-Baqillanî dan Ibnu Khaldun,
berpendapat bahwa penulisan Al-Qur’an dalam mushaf itu merupakan hasil
ijtihad para sahabat Nabi. Tidak bersifat tauqifî. Hal ini didasarkan pada
dua fakta: (1) tidak ditemukan nash (dalil) baik berupa ayat Al-Qur’an
maupun sunnah, yang menunjukkan keharusan menulis Al-Qur’an sesuai
Rasm Utsmanî; (2) seandainya pola penulisan mushaf itu bersifat tauqifî,
sesuai petunjuk Nabi, kenapa menggunakan istilah “Rasm Ustmanî” bukan
“Rasm Nabawî”?
Imam al-Baqillanî menyatakan bahwa sunnah menuliskan Al-Qur’an
dengan pola yang mudah, sebab Nabi Muhammad memerintahkan para
sahabat menulis Al-Qur’an namun beliau tidak menunjukkan pola tertentu
dan tidak melarang menulis pola tertentu juga.
Oleh sebab itu, bentuk dan model penulisan itu tidak lain hanyalah
suatu tanda atau simbol. Segala bentuk serta model penulisan Al-Qur’an
yang menunjukkan arah bacaan yang benar, dapat dibenarkan. Sedangkan
Rasm Utsmani yang menyalahi Rasm Imla’î (menurut kaidah penulisan
Arab konvensional) yang dikenal masyarakat, menyulitkan banyak orang
dan dapat mengakibatkan kesulitan dan keserupaan bagi pembaca.
[Muhammad Rajab Farjani, Kaifa nata Abbad Ma’a al-Mushaf (t.tp Daar
al-l’Tisham.1978), h.166.
3. Pendapat ini sepertinya ingin mengakomodasi dua pendapat di atas dengan
melihat kebutuhan dan kondisi sosialnya. Di satu sisi memperbolehkan
bahkan mengharuskan menulis Al-Qur’an dengan menggunakan pola
imla’î, dalam rangka memudahkan masyarakat umum. Artinya, bagi
mereka yang tidak mengerti, tidak boleh menulis Al-Qur’an dengan Rasm
Utsmanî agar tidak jatuh pada keserupaan dan perubahan.
Di sisi yang lain dianjurkan menulis dengan pola Rasm Utsmani untuk
menjaga dan melestarikan sebagai warisan yang berharga bagi generasi
selanjutnya. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Nawawi dan Imam al-
Zarkasyi.
Sehubungan dengan ini, Imam al-Zurqanî berkata:
Artinya: pendapat ini dimaksudkan untuk menjaga eksistensi Al-Qur’an
dari dua aspek: pertama, yaitu penulisan Al-Qur’an dengan penulisan yang
dikenal (masyarakat umum), agar terhindar dari keserupaan dan kekacauan
dan kesalahan dalam membacanya. Kedua, upaya pelestarian rasm-nya
yang orisinil, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mengerti (arif),
yang tidak dikhawatirkan terjadi kekacauan dalam membacanya. Tidak
diragukan lagi bahwa berhati-hati merupakan tuntutan agama yang agung,
utamanya dalam hal menjaga Al-Qur’an”.

C. Kaitan Rasm Al-Qur’An dengan Qira’at


Secara etimologi Qiraat adalah jamak dari Qira’ah, yang berarti ‘bacaan’,
dan ia adalah masdar (verbal noun) dari Qara’a. Secara terminologi atau istilah
ilmiyah Qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan al-Qur’an yang
dipilih oleh seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan
mazhab yang lainya.
Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada
Rasulullah. Periode qurra (ahli/imam qiraat) yang mengajarkan bacaan al-
Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah
dengan berpedoman kepada masa para sahabat.diantara para sahabat yang
terkenal yang mengajarkan qiraat ialah Ubay, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas’ud,
Abu Musa Al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat
dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira’at yang semuanya bersandar kepada
Rasulullah.
Untuk menghindarkan umat dari kekeliruan para ulama berusaha
menerangkan mana yang hak mana yang batil. Maka segala qira’at yang dapat
disesuaikan dengan Bahasa Arab dan dapat disesuaikan dengan salah satu
mushaf usmani serta sah pula sanadnya dipandang qira’at yang bebas masuk ke
dalam qira’at tujuh, maupun diterimanya dari imam yang sepuluh ataupun dari
yang lain.
Meskipun Mushaf ‘Utsmani tetap dianggap sebagai satusatunya mushaf
yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan al-
Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal
ini disebabkan penulisan al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal
adanya tandatanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada
baris harakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani
yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk
membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih
terdapatnya keragaman cara membaca al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan Rasmul Qur’an dengan Qira’at sangat erat.
Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula
kesulitan untuk mengungkap pengertianpengertian yang terkandung didalam
al-Qur’an. Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali
berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-
orang Islam non Arab dalam membaca al-Qur’an dengan memberikan tanda-
tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an
dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut. [Manna Khalil al-
Qattan, Studi ilmu-ilmu qur’an, Jakarta: PT Pustaka Antar Nusa, Tahun 1994,
Cetakan Kedua, halaman 247]

D. Sejarah Rasm Al-Qur’An


Pada mulanya mushaf para sahabat yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena
umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan
akan diwariskan kepada generasi sesudahnya.
Di zaman Nabi saw, al-Qur’an ditulis pada benda-benda sederhana, seperti
kepingan-kepingan batu, tulang-tulang kulit unta dan pelepah kurma. Tulisan
Al-Qur'an ini masih terpencar-pencar dan belum terhimpun dalam sebuah
mushaf dan disimpan dirumah Nabi saw. Penulisan ini bertujuan untuk
membantu memelihara keutuhan dan kemurnian Al- Qur’an. Di zaman Abu
Bakar, Al-Qur’an yang terpancar-pancar itu di salin kedalam shuhuf
(lembaran-lembaran). Penghimpunan Al-Qur’an ini dilakukan Abu Bakar
setelah menerima usul dari Umar ibn al-Kattab yang khawatir akan semakin
hilangnya para penghafal Al- Qur’an sebagaimana yang terjadi pada perang
yamamah yang menyebabkan gugurnya 70 orang penghafal Al-Qur’an. Karena
itu, tujuan pokok dalam penyalinan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar masih
dalam rangka pemeliharaan agar jangan sampai ada yang terluput dari Al-
Qur’an. [Ramli Abdul Wahid, Ulum Al-Qur’an, Edisi revisi (Cet. IV;
Jakarta.P.T. Grafindo Persada, 2002),h.31.]
Di zaman khalifah Usman bin Affan, Al-Qur’an disalin lagi kedalam
beberapa naskah. Untuk melakukan pekerjaan ini, Utsman membentuk tim 4
yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Saad Ibn al-Ash,
dan Abd al-Rahman Abd al_harits.
Dalam kerja penyalinan Al-Qur’an ini mereka mengikuti ketentuan-
ketentuan yang disetujui oleh Khalifah Usman. Di antara ketentuan-ketentuan
itu adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat mutawatir,
mengabaikan ayat-ayat Mansukh dan tidak diyakini dibaca kembali dimasa
hidup Nabi saw. Tulisannya secara maksimal maupun diakomodasi ira’at yang
berbeda-beda, dan menghilangkan semua tulisan sahabat yang tidak termasuk
ayat Al-Qur’an. Para penulis dan para sahabat setuju dengan tulisan yang
mereka gunakan ini. Para ulama menyebut cara penulisannya ini sebagai rasm
al-Mushaf. Karena cara penulisan disetujui oleh Usman sehingga sering pula
dibangsakan oleh Usman. Sehingga mereka sebut rasm Usman atau rasm al-
Usmani. Namun demikian pengertian rasm ini terbatas pada mushaf oleh tim 4
di zaman Usman dan tidak mencakup rasm Abu Bakar pada zaman Nabi saw.
Bahkan,Khalifah Usman membakar salinan-salinan mushaf tim 4 karena
kawatir akan beredarnya dan menimbulkan perselisihan dikalangan uman
Islam. Hal ini nanti membuka peluang bagi ulama kemudian untuk berbeda
pendapat tentang kewajiban mengikuti rasm Usmani. Tulisan ini yang tersebar
di dunia dewasa ini. [Ibid. h.30-31]

E. Kaidah-Kaidah Rasm Al-Qur’An


Mushaf Usmani ditulis menurut kaidah-kaidah tulisan tertentu yang
berbeda dengan kaidah tulisan imla’. Para ulama merumuskan kaidah-kaidah
tersebut menjadi enam istilah. [Muhammad Ibnu Abdillah Al-Zarqazi, Al-
Burhan fi Ulum Ai-Qur’an, (Jilid I, Cairo: Maktabah: Isla al-babi al- Halabi wa
syirkah, 1972), h.376-403.]
1). Kaidah Buang (al-Hadzf).
a. Membuang atau menghilangkan huruf ‘alif’
1. dari ya nida (ya seru)
2. dari ha tanbi (ha menarik perhatian)
3. dari kata na,
4. dari lafal Allah
5. dari dua kata “Arrohman” dan sabbihun
6. sesudah huruf lam
7. Dari semua bentuk musanna (dual)
8. dari semua bentuk jamak shahih, baik muzakkir maupun muannas
9. dari semua bentuk jamak yang setimbang
10. Dari semua kata bilangan
11. Dari basmalah
b. Membuang huruf “ya”
Huruf ya dibuang dari setiap manqushah munawwan, baik berbaris
raf maupun jar
c. Membuang huruf ‘waw’
Huruf waw dibuang apabila bergandengan dengan waw juga
d. membuang huruf lam

2). Kaidah Penambahan (al-Ziyadah)


Penambahan (al-ziyadah) disini berarti penambahan huruf alif atau
ya atau hamzah pada kata-kata tertentu.
a. Penambahan huruf ‘alif’
1. sesudah waw pada akhir setiap isim jama’ kata benda berbentuk
jamak atau mempunyai hukum jamak
2. Penambahan huruf alif sesudah hamza (hamza yang ditulis di atas
rumah waw)
b. Penambahan huruf ‘ya’

3). Kaidah Hamzah (al-Hamzah)


Apabilah hamzah berharakat (berbaris) sukun (tanda mati), maka
tulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, kecuali pada beberapa
keadaan.
Adapun hamzah yang berharakat, maka jika ia berada diawal kata
dan bersambung dengan hamzah tersebut tambahan, mutlak harus
ditulis dengan alif dalam keadaan berharakat fathah atau kasrah.
Adapun jika hamzah terletak ditengah, maka ia ditulis sesuai
dengan huruf harakatnya. Kalau fathah dengan alif, kalau kasrah
dengan ya dan kalau Dhammah dengan waw. Tetapi, apabila huruf yang
sebelum hamzah itu sukun, maka tidak ada tambahan.
Namun , diluar tersebut ini kata yang di kecualikan.
4). Kaidah Penggantian (al_Badal)
Dalam surah al-Baqarah, al-A’raf, Hud, Maryam, Al’Rum, dan al-
Zurhur. Dan kata ta’nis ditulis dengan kata maftuhah pada kata yang
terdapat dalam Surah Al-Baqarah, Ali Imran, Al-Maidah, Ibrahim, Al-
Nahl, Lukman, Fathir, dan Al-Thur demikian juga yang terdapat pada
surah al-Mujadalah.
5). Kaidah Sambung dan Pisah (washl dan fashl)
Washl berarti menyambung, disini washl dimaksutkan metode
penyambungkan kata yang mengakibatkan hilang atau dibuangnya
huruf tertentu seperti antara lain:
a. Bila an dengan harakat fathah pada hamzahnya disusun
dengan la, maka penulisannya bersambung dengan
menghilangkan huruf nun, tidak ditulis.
b. Min yang disusun dengan man ditulis bersambung dengan
menghilangkan huruf nun sehingga menjadi mimman,
bukan min man.

6). Kata yang bisa dibaca dua bunyi


Satu kata yang boleh dibaca dengan dua cara dalam bahasa Arab
penulisannya disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Didalam
mushaf Usmani penulisan kata semacam itu ditulis dengan
menghilangkan alif, seperti pada kalimat maliki yaumiddin
yakhdaunallah, ayat-ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif
(madd) dan boleh dengan suara tanpa alif sehingga bunyinya pendek.
[Al-Zakqani, Muhammad Abd al-Azim, op,cit (jilid I). h.369-373]

F. Faidah Rasm Al-Qur’An


a. Memilihara dan melestarikan penulisan al-Qur’an sesuai dengan pola
penulisan al-Qur’an pada awal penulisan dan pembukuannya.
b. Memberi kemungkinan pada lafaz yang sama untuk dibaca dengan versi
qira’at, seperti dalam firman Allah swt. Dalam Qs.2:7
c. Kemungkinan dapat menunjukan makna atau maksut yang tersembunyi,
dalam ayat-ayat tertentu yang penulisannya menyalahi rasm imla’I seperti
dalam firman Allah SWT Qs.:51:47
d. Kemungkinan dapat menunjukan keaslian harakat (syakal) suatu lafaz.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Muslim di seluruh dunia. Penulisan
Al-Qur’an dengan pola Rasm Utsmani, jika tidak dikatakan sebagai
petunjuk Nabi, ia merupakan suatu kesepakatan para sahabat. Kesepakatan
sahabat memiliki kekuatan hukum yang mengikat, serta wajib diikuti oleh
kaum Muslim. Termasuk pola penulisan Al-Qur’an.
2. Penulisan Al-Qur’an dengan pola Rasm Utsmani merupakan sunnah yang
harus dikuti. Hal ini dinyatakan dalam kitab al-Minhaj fi fiqh al-Syafi’i,
“Kalimat (‫ )الربوا‬ditulis dengan wawu dan alif sebagaimana dalam Rasm
Utsmani. Dalam Al-Qur’an tidak ditulis dengan ya’ dan alif, karena Rasm
Utsmani adalah sunnah yang harus diikuti.”
3. Pola penulisan Al-Qur’an sesuai dengan Rasm Utsmani adalah sebuah
keniscayaan, utamanya penyatuan pola penulisan Al-Qur’an bagi seluruh
ummat Muslim dengan Rasm Utsmani, agar seragam sesuai dengan
penulisan awal dan agar terhindar dari fitnah. Sehingga tidak ada
ungkapan-ungkapan yang muncul, “Mushaf kami lebih bagus dari mushaf
kalian, rasm kami lebih baik daripada rasm kalian!”
4. Boleh menulis Al-Qur’an tanpa menggunakan Rasm Utsmani apabila
digunakan untuk kepentingan pembelajaran bagi orang masyarakat awam,
umumnya di kalangan sekolah-sekolah yang masih butuh pengetahuan
tentang bahasa Arab.

B. SARAN
Maka dari itu perbedaan suatu pendapat merupakan hal yang sudah biasa
dalam keilmuan Islam, terlebih karena memang para sahabat dan ulama
memiliki kapasitas yang kompeten dalam penelitian suatu ilmu.
Dan yang terpenting yang harus kita lakukan untuk zaman sekarang adalah
meneladani para sahabat dan ulama, tidak perlu gusar dengan perbedaan,
apalagi sampai menyalahkan dan menganggap sesat. Cukuplah fokus mencari
ilmu dan mengembangkannya, sehingga ilmu keislaman semakin maju.
DAFTAR PUSTAKA

[Ahmad Warson Munawwir , Kamus Al-Munawwir, (yogyakarta: t.tp.


1954),h.533]
https://makalahnih.blogspot.com/2014/09/rasmul-quran-rasm-al-quran.html
[M.Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan Ulum Al-Qur’an , (cet. III; Jakarta Pustaka
Firdaus, 2001), h.95.]
[Muhammad Rajab Farjani, Kaifa nata Abbad Ma’a al-Mushaf (t.tp Daar al-
l’Tisham.1978), h.166.
https://lampung.nu.or.id/syiar/tiga-pendapat-tentang-penulisan-al-qur-an-J1vVO
[Manna Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu qur’an, Jakarta: PT Pustaka Antar Nusa,
Tahun 1994, Cetakan Kedua, halaman 247]
[Ramli Abdul Wahid, Ulum Al-Qur’an, Edisi revisi (Cet. IV; Jakarta.P.T.
Grafindo Persada, 2002),h.31.]
[Ibid. h.30-31]
https://media.neliti.com/media/publications/240231-ilmu-rasm-al-quran-
98e24376.pdf
[Muhammad Ibnu Abdillah Al-Zarqazi, Al-Burhan fi Ulum Ai-Qur’an, (Jilid I,
Cairo: Maktabah: Isla al-babi al- Halabi wa syirkah, 1972), h.376-403.]
[Al-Zakqani, Muhammad Abd al-Azim, op,cit (jilid I). h.369-373]

Anda mungkin juga menyukai