Anda di halaman 1dari 69

ULUMUL QUR’AN

A. Pengertian Ulumul Qur’an

Ulumul Qur'an terdiri atas dua kata: 'Ulum dan Al-Qur'an. 'Ulum adalah jamak
(plural) dari kata tunggal (mufrad) 'ilm , yang secara harfiah berarti ilmu. Sedangkan
Al-Qur'an adalah nama bagi kitab Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Secara istilah pengertian ‘Ulumul Qur’an lebih menekankan pada
ilmu-ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari
segi Qur’aniyah atau segi hidayah dan i’jaznya. Dengan demikian ‘Ulumul Qur’an
menekankan pada konteks Diniyah dan hal-hal yang terkandung dalam kitab suci
tersebut. Berdasarkan pengertian secara etimologis dan istilah yang telah dipaparkan
maka ‘Ulumul Qur’an memiliki makna ganda yaitu makna idhafi dan makna ‘alam
(nama diri), yang bisa dilihat pada paparan berikut.

B. Sejarah Ulumul Quran

Perkembangan ‘Ulumul Qur’an dikelompokan menjadi fase-fase sebagai


berikut:

1. Ulumul Qur’an Pada Masa Rasulullah SAW

Rasulullah SAW Menafsirkan Kepada Sahabat Beberapa Ayat. Dari Uqbah bin
Amir ia berkata : "aku pernah mendengar Rasulullah SAW berkata di atas mimbar,
"Dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi (Anfal : 60),
ingatlah bahwa kekuatan di sini adalah memanah" (HR Muslim).

Antusiasme sahabat dalam menghafal dan mempelajari Al-Qur’an.


Diriwayatkan dari Abu ‘Abdurrahman as-Sulami, ia mengatakan: "Mereka yang
membacakan Al-Qur'an kepada kami, seperti Utsman bin ‘Affan dan ‘Abdullah bin
Mas'ud serta yang lain menceritakan, bahwa mereka bila belajar dari Nabi sepuluh ayat
mereka tidak melanjutkannya, sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada di
dalamnya, mereka berkata 'kami mempelajari Al-Qur'an berikut ilmu dan amalnya
sekaligus.”

Larangan Rasulullah SAW untuk menulis selain Al-Qur'an, sebagai upaya


menjaga kemurnian Al-Qur’an. Dari Abu Sa’ad al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW
bersabda : “Janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa menuliskan tentang aku selain
Al-Qur'an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan
baginya, dan barang siapa sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya
di api neraka.” (HR Muslim).

2. Ulumul Qur’an Pada Masa Khalifah

Pada masa khalifah, tahapan perkembangan awal (embrio) ‘Ulumul quran mulai
berkembang pesat, diantaranya dengan kebijakan-kebijakan para khalifah sebagaimana
berikut :

Pertama, Khalifah Abu Bakar dengan Kebijakan Pengumpulan (Penulisan Al-


Quran yang pertama yang diprakarsai oleh ‘Umar bin Khottob dan dipegang oleh Zaid
bin Tsabit.

Kedua, Kekhalifahan Utsman RA. dengan kebijakan menyatukan lembaran-


lembaran Al-Qur’an pada satu mushaf, dan hal itupun terlaksana. Mushaf itu disebut
“Mushaf Utsmani”. Salinan-salinan mushaf ini juga dikirimkan ke beberapa provinsi.
Penulisan mushaf tersebut dinamakan ar- Rosmul 'Usmani yaitu dinisbahkan kepada
Usman, dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu Rasmil Qur'an.

Ketiga, Kekhalifahan Ali RA. dengan kebijakan perintahnya kepada Abu


'Aswad Ad-Du'ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan
baku dan memberikan ketentuan harakat pada qur'an. ini juga disebut sebagai
permulaan Ilmu I'rabil Qur'an.

3. ‘Ulumul Quran Masa Sahabat dan Tabi'in

Peranan Sahabat dalam penafsiran Al-Qur’an dan tokoh-tokohnya. Para sahabat


senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Al-Qur’an
dan penafsiran ayat-ayat yang berbeda diantara mereka, sesuai dengan kemampuan
mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan
tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW, hal demikian diteruskan oleh murid-
murid mereka, yaitu para tabi'in.

Diantara para Mufasir yang termashur dari para sahabat adalah: 1)Empat orang
Khalifah ( Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali ) 2)Ibnu Mas’ud 3)Ibnu ‘Abbas,
4)Ubai bin Ka'ab, 5)Zaid bin Tsabit, 6)Abu Musa al-Asy'ari dan 7)‘Abdullah bin
Zubair. Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Masud dan Ubai bin Kaab, dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak
berarti merupakan sudah tafsir Qur’an yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada
makna beberapa ayat dengan penafsiran apa yang masih samar dan penjelasan apa yang
masih global.

Peranan Tabi'in dalam penafsiran Al-Qur’an dan tokoh-tokohnya. Mengenai


para tabi'in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari
para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad
dalam menafsirkan ayat.

Diantara para Mufasir yang termashur dari para Tabi’in sebagai berikut:
1)Murid Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah, Sa'id bin ubair, Mujahid, 'iKrimah
bekas sahaya ( maula ) Ibnu Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan 'Ata' bin abu
Rabah. 2)Murid Ubai bin Ka'ab, di Madinah: Zaid bin Aslam, abul Aliyah, dan
Muhammad bin Ka'b al-Qurazi. 3)Abdullah bin Masud di Iraq yang terkenal : 'Alqamah
bin Qais, Masruq al Aswad bin Yazid, 'Amir as Sya'bi, Hasan Al-Basyri dan Qatadah
bin Di'amah as-Sadusi. Dan yang diriwayatkan mereka itu semua meliputi ilmu tafsir,
ilmu Gharibil Qur'an, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Makki Wal madani dan ilmu Nasikh
dan Mansukh, tetapi semua ini tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.

C. Penulisan Alquran.
1) Pengertian Alquran.

Alquran menurut istilah adalah firman Allah SWT. Yang disampaikan oleh
Malaikat Jibril dengan redaksi langsung dari Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad
SAW, dan yang diterima oleh umat Islam dari generasi ke generasi tanpa ada
perubahan. dengan demikian Alquran dinyatakan bahwasannya bersifat kalam nafsi
berada di Baitul Izzah (al-sama’ al-duniya), dan itu semuanya bermuatan makna
muhkamat yang menjadi rujukan atau tempat kembalinya ayat-ayat mutasyabihat,
sedangkan Alquran diturunkan ke bumi dan diterima oleh Nabi Muhammad SAW
sebagai Nabi terakhir, merupakan kalam lafdzi yang bermuatan kalam nafsi, karena
tidak mengandung ayat mutasyabihat tetapi juga ayat atau makna-maknanya bersifat
muhkamat.

2) Hikmah diwahyukan Alquran secara berangsur-angsur


Kitab suci Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW
secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Adapun hikmah
diturunkannya Alquran secara berangsur-angsur adalah untuk menetapkan hati
Rasulullah, melemahkan lawan-lawannya, agar Al-Qur’an lebih mudah difahami dan
dihafalkan karena turunnya ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan peristiwa-peristiwa
dalam penetapan hukum.

3) Pengertian rasm Alquran

Rasm berasal dari kata rasama-yarsamu-rasma, yang berarti menggambar atau


melukis. Kata rasm ini juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang resmi atau menurut
aturan. Jadi rasm berarti tulisan atau penulisan yang yang mempunyai metode tertentu.

4) Sejarah Perkembangan Rasmal-Qur’an

Pada mulahnya mushaf para sahabat yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena
umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan
diwariskan kepada generasi sesudahnya Di zaman Nabi saw, al-Qur’an ditulis pada
benda-benda sederhana, seperti kepingan-kepingan batu, tulang-tulang kulit unta dan
pelepah kurma. Tulisan Al-Qur’an ini masih terpencar-pencar dan belum terhimpun
dalam sebuah mushaf dan disimpan dirumah Nabi saw. Penulisan ini bertujuan
untuk membantu memelihara keutuhan dan kemurnian Al-Qur’an.

Di zaman Abu Bakar, Al-Qur’an yang terpancar-pancar itu disalin kedalam


shuhuf (lembaran-lembaran). Penghimpunan Al-Qur’an ini dilakukan Abu Bakar
setelah menerima usul dari Umar ibn al-Kattab yang khawatir akan semakin
hilangnya para penghafal Al-Qur’an sebagaimana yang terjadi pada perang
Yamamah yang menyebabkan gugurnya 70 orang penghafal Al-Qur’an.

Karena itu, tujuan pokok dalam penyalinan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar
masih dalam rangka pemeliharaan agar jangan sampai ada yang terluput dari Al-
Qur’an. Di zaman khalifah Usman bin Affan, Al-Qur’an disalin lagi kedalam
beberapa naskah. Untuk melakukan pekerjaan ini, Utsman membentuk tim yang terdiri
dari Zaid bin Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Saad Ibn al-Ash, dan Abd al-Rahman
Abd al-Harits. Dalam kerja penyalinan Al-Qur’an ini mereka mengikuti ketentuan-
ketentuan yang disetujui oleh Khalifah Usman. Di antara ketentuan-ketentuan itu
adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat mutawatir, mengabaikan
ayat-ayat Mansukh dan tidak diyakini dibaca kembali dimasa hidup Nabi saw.

5) Pendapat tentang rasm Alquran

Kelompok pertama (Jumhur Ulama) berpendapat bahwa pola rasm Usmani


bersifat tauqifi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahat-sahabat yang
ditunjuk dandipercaya Nabisaw, dan para sahabat tidak mungkin melakukan
kesepakatan (ijma’) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi.
Bentuk-bentuk inkonsentensididalam penulisan AL-Qur’an tidak bisa dilihat hanya
berdasarkan standar penulisan baku,tetapi dibalik itu ada rahasia yang belum dapat
terungkapsecra keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat
dan tabi’in.

Kelompok Kedua berpendapat, bahwa pola penulisan di dalam rasm Usmani


tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya bersifat ijtihad para sahabat. Tidak ditemukan
riwayat Nabimengenaiketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat
yang dikutip oleh rajab Farjani. Sesungguhnya Rasulullah SAW. Memerintahkan
menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak
melarang menulisnya dengan pola-polatertentu. Karena itu ada perbedaan model-model
penulisan Al-Qur’an dalam mushaf-mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafaz
Al-Qur’an sesuai dengan bunyi lafaz itu, ada yang menambah atau menguranginya,
karena mereka tau itu hanya cara. Karena itu dibenarkan menulis mushaf dengan
pola-pola penulisan masa lalu atau pola-pola baru.

Kelompok ketiga Mengatakan, bahwa penulisan Al-Qur’an dengan rasm Imla’I


dapat dibenarkan, tetapi kusus bagi orang awam.Bagi para ulama atau yang
memahami rasm Usmani, tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut.

D. Asbabun Nuzul
1) Pengertian Asbab An-nuzul

Secara etimologi, asbabun nuzul berasal dari kata “asbab” jamak dari “sababa”
yang artinya sebab-sebab, nuzul artinya turun. Yang dimaksud asbabun nuzul disini
adalah ayat al-Qur’an. Jadi, asbabun nuzul adalah suatu peristiwa yang menyebabkan
turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung. Lalu apakah
semua ayat al-Qur’an memiliki asbab al nuzul atau tidak? Al-Ja’bari berpendapat
tentang turunnya Al Quran itu terbagi dua:

Pertama, yaitu turun permulaan (ibtida’). Kedua, turun untuk menerangkan


suatu sebab suatu peristiwa atau pertanyaan. Oleh karena itu tidak semua al-Qur’an itu
turun diawali oleh suatu sebab atau peristiwa. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak
semua ayat al-Qur’an memiliki asbab an-nuzul. Oleh karena itu, ada ayat al-Qur’an
yang diturunkah tanpa ada yang melatar belakanginya (ibtida’), dan sebagian lainnya
diturunkan dengan dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa (ghair ibtida’).

2) fungsi asbabun an-nuzul

Mengetahui hikmah yang mendorong atas pensyariatan hukum, dan ini


bermanfaat bagi orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Adapun bagi orang
yang beriman maka akan bertambah imannya dan timbul keinginan yang kuat untuk
melaksanakan hukum-hukum Allah SWT. Sedangkan orang kafir maka hikmah-
hikmah yang terdapat pada pensyariatan hukum itu akan mengantarkannya kepada
beriman, jika ia mau insaf (sadar) ketika dia mengetahui bahwa pensyariatan hukum
Islam ini datang untuk menjaga kemaslahatan-kemaslahatan manusia, bukan untuk
menjerumuskannya dan menghukumnya.

3). Munasabah Alquran


a) Pengertian Munasabah

Kata munasabah secara etimologi berarti al-muqarabah (kedekatan), al-


musyakalah (keserupaan) dan al-muwafaqoh (kecocokan).

b) Macam-macam munasabah
a) Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasabah antar satu surat dengan
surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan
ungkapan pada surat sebelumnya.Sebagai contoh, dalam surat Al-Fatihah
ayat ada ungkapan alhamdulillah.
b) Munasabah antaranama surat dan tujuan turunnya
Setiap suratmempunyaitema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin
pada namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah [2], surat Yusuf
[12], surat An-Naml [27] dan Al-Jin[72]. Lihatlah firman Allah surat Al-
Baqarah [2]; 67-71.
c) Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah
memulaiPenjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al-Quran bagi
orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya
dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda-
beda,yaitu:mukmin, kafir, dan munafik.

E. Al-muhkam dan Al-Mutasyabih


1) Pengertian Al-muhkam dan Mutasyabih

Muhkam adalah isim maf‟ul dari fi‟il ahkama-yuhkimu yang menurut bahasa
diartikan dengan “menahan dari goncangan”. Kata al-hukm berarti memutuskan antara
dua hal atau perkara. “wa ihkam al-syai” artinya menguatkan, dan muhkam berarti yang
dikokohkan. Ihkam al-kalam berati menguatkan perkataan dengan memisahkan berita
yang benar dari berita yang salah.

Adapun menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan


muhkam. Diantara pendapat-pendapat itu adalah: Dalil adanya yang jelas dan tidak
mengandung penasakhan (penghapusan). Ayat yang hanya mengandung satu tafsir saja.
Ayat yang bisa dipahami tanpa membutuhkan rujukan kepada ayat lain. Ulama yang
berpendapat dengan pendapat pertama diantaranya adalah al-Jarjani. Diantara
perbedaan pendapat tersebut, Ibnu Hazm mengatakan bahwa ada dua pendapat yang
paling benar. Yang pertama yaitu ayat yang maknanya sudah jelas, dapat
menghilangkan musykilah dan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Yang kedua
adalah ayat yang sudah tersusun dengan susunan yang bisa dipahami baik itu dengan
ditafsirkan ataupun tidak tanpa adanya perselisihan dapat dipahami dengan melihat
zhahirnya, tidak mempunyai kemungkinan dihapus hukumnya dan tidak memerlukan
keterangan dari ayat lain untuk memahaminya.

Mutasyabih berasal dari fi‟il tasyabaha-yatasyabahu yang menurut bahasa


berarti apa-apa yang saling menyerupai satu sama lain. Untuk al-Qur`an, penyerupaan
itu dalam kesempurnaan, kebagusan, kebaikan dan dalam memberikan banyak hikmah
di dalamnya. Mutasyabihat (tunggal, mutasyabihat) berasal dari kata syubbiha yang
artinya meragukan, dalam verbal noun berbentuk jamak artinya adalah tidak tentu atau
hal yang meragukan. Dalam pengertian praktis adalah ayat-ayat al-Qur‟an yang artinya
tidak jelas atau belum sepenuhnya disetujui, sehingga terbuka bagi adanya dua atau
lebih penafsiran. Mutasyabuh menurut bahasa terambil dari tasyabuh yaitu yang satu
diserupakan dengan yang satu lagi. Syubhah yang berarti keadaan dimana salah satu
dari dua hal tidak dapat dibedakan karena adanya kesamaan antara keduanya.
Sebagaimana para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan muhkam menurut
istilah, mereka juga berbeda pendapat dalam mengartikan mutasyabih menurut istilah,
yaitu: Ayat-ayat yang tidak diketahui makna yang sebenarnya oleh siapapun kecuali
Allah saja. Ayat yang memiliki banyak tafsiran. Ayat yang tidak bisa dipahami menurut
zhahir lafal sehingga membutuhkan keterangan lain. Dapat dikatakan bahwa ayat
mutasyabih menurut istilah adalah ayat yang masih diperselisihkan tentang
penafsirannya dan penafsiran ayat yang sesungguhnya hanya Allah Yang Tahu.

F. I`jaz Alquran
1. Pengertian dan jenis-jenis mukjizat

Kata mukjizat terderivasi dari kata a’jaza-yu’jizu-i’jaz yang memiliki arti


membuat seseorang atau sesuatu menjadi lemah dantidak berdaya.Kata mukjizat
merupakanisim fa’il (pelaku pekerjaan) yang terderivasi dari kata al-‘ajzu yang berarti
antonim dari mampu (al-qudarah), sehingga mukjizat diartikan sebagai sesuatu yang
melemahkan penentangnya ketika terdapat sebuah tantangan. Pelakunya (yang
melemahkan) dinamai mukjiz, dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat
menonjol sehingga mampu membungkam lawan, maka dinamai Mukjizat
(mujizatun).Tambahan ta’ marbūthah pada akhir kata itu mengandung makna
mubalaghah (superlatif).

Mukjizat menurut al-Suyuti adalah suatu hal atau peristiwa luar biasa yang
disertai tantangan, namun tantangan tersebut tidak mungkin dapat dipenuhi. Kemudian
al-Suyuti membagi dua mukjizat yang dilihat dari sudut definisinya yaitu mu’jizah
hissiyah dan mu’jizah ma’nawiyyah. Mu’jizah hissiyah berarti keluarbiasaan yang
dimiliki oleh Nabi atau Rasul yang dapat dijangkau oleh panca indera dan ditunjukkan
kepada masyarakat yang belum mampu menggunakan akal pikiran mereka, sebagai
contoh mukjizat nabi Musa yang tongkatnya bisa menjadi ular dan lain sebagainya.
Sedangkan mu’jizah ma’nawiyyah (‘aqliyyah) berarti keluarbiasaan yang dimiliki oleh
Nabi atau Rasul yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera dan ditujukan pada
masyarakkat yang tingkat kecerdasannya lebih tinggi.Seperti mukjizat al-Qur’an yang
sifatnya bukan indrawi atau material tetapi dapat dipahami oleh akal. Karena sifatnya
yang demikian, ia tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Mukjizat al- Qur’an dapat
dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya dimana dan kapan pun.
Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan bahwa pelaku yang melemahkan itu dalam
Bahasa Arab dinamai dengan (mu’jiz). Bila kemampuan pelakunya dalam melemahkan
pihak lain sangat menonjol sehingga mampu membungkam lawan-lawannya, maka ia
dinamai (mujizatun). Tambahan pada akhir kata itu mengandung makna superlative
(mubalagah). Dengan demikian, Ijaz (kemukjizatan) al-Qur’an dapat didefinisikan
sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang membuat manusia tidak mampu meniru
atau menandingi al-Qur’anbaik itu dari segi susunan kalimat, bahasa, ataupun dari segi
makna dan kandungannya.

G. Tafsir, Takwil, dan Terjemah


1. Pengertian Tafsir, Takwil dan terjemah

Tafsir berasal dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan,


penjelasan atau uraian. Sedangkan menurut istilah, ada beberapa ulama’ yang
mengemukakan beberapa pendapat. Menurut al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan
makna ayat keadaannya, kisahnya, dan sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan
lafadz yang menunjukkan kepadanya dengan jelas sekali. Menurut az-Zarkazyi, ialah
suatu pengetahuan yang dengan pengetahuan itu dapat dipahamkan kibullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW menjelaskan maksud-maksudnya
mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmahnya.
Pengertian takwil secara bahasa berasal dari kata al-awl yang berarti kembali
pada asalnya. Sebagian ulama yang berpendapat bahwa pengertian takwil muradif
dengan pengertian tafsir dalam kebanyakan maknanya yaitu menerangkan (al-bayan)
dan juga berarti menjelaskan sesuatu (al-idhah).
Kata terjemah berasal dari bahasa arab, “tarjama” yang berarti menafsirkan dan
menerangkan dengan bahasa yang lain (fassara wa syaraha bi lisanin akhar), kemudian
kemasukan “ta’ marbutah” menjadi al-tarjamatun yang artinya pemindahan atau
penyalinan dari suatu bahasa ke bahasa lain (naql min lighatin ila ukhra).
2. Perbedaan Tafsir, Takwil, dan terjemah

Dari segi tujuan, antara tafsir dan takwil tidak memiliki perbedaan, yakni sama-
sama berusaha untuk menjelaskan makna ayat Alquran. Namun demikian, bila ditinjau
dari segi kerjanya atau jalan yang ditempuh, keduanya memiliki perbedaan yang jelas.
Perbedaan itu dapat ditegaskan. Tafsir sifatnya lebih umum dari takwil. Tafsir
menyangkut seluruh ayat, sedangkan takwil hanya berkenaan dengan ayat-ayat yang
mutasyabihat (samar dan perlu penjelasan).

Tafsir dengan terjemah baik terjemah ḥariyah dan terjemah tafsīriyah tidak
sama. Antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan, antara lain sebagai berikut:

• Terjadi perpindahan bahasa dari bahasa pertama ke bahasa terjemah kedua,


bahasa pertama tidak melekat pada bahasa terjemah Selalu ada keterkaitan
dengan bahasa asalnya dan tidak mesti adanya pemindahan bahasa.
• Tidak boleh penguraian melebihi dari sekedar pemindahan bahasa Harus
dilakukan apabila usaha menerangkan makna ayat baru dapat dicapai dengan
penguraian secara meluas.
• Dituntut terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada dalam bahasa yang
diterjemahkan Adanya usaha menerangkan masalah, baik keterangan itu secara
ijmālī garis besarnya maupun secara tafsīlī terperinci.
• Penerjemah diakui sudah melakukan penerjemahan apabila ia telah berhasil
memindahkan makna bahasa yang pertama ke bahasa terjemah Pengakuan
didapatkan dari orang yang sepaham dengan yang membaca hasil penafsiran.
ULUMUL HADITS 1

A. Hadist
• Epistimologi – (Al-Jadid = Sesuatu yang baru) (Al-Khabar = berita/sesuatu
yang dibicarakan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain)
• Terminologi – segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
baik itu hadits marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi) ataupun hadits maqthu’
(yang disandarkan kepada tabi’in).
B. Sunnah
• Epistimologi - cara yang bisa ditempuh baik maupun buruk.
• Terminologi - segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup, baik setelah
diangkat ataupun sebelumnya.
C. Khabar
• Epistimologi- serupa dengan makna hadist, yakni segala berita yang
disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.
• Terminologi- antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda pendapat. Ulama
lain megatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW
di sebut hadist. Ada juga yang mengatakan bahwa hadist lebih umum dan lebih
luas dari pada khabar, sehingga tiap hadist dapat dikatakan khabar tetapi tidak
setiap khabar dikatakan hadist.
D. Atsar
• Epistimologi- sama artinya dengan khabar, hadits, dan sunnah.
• Terminologi- segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga
disandarkan pada perkataan Nabi SAW
E. Struktur Hadis
1. Sanad (menurut bahasa artinya sandaran atau sesuatu yang dijadikan sebagai
sandaran) (Istilah- Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan sampai
kepada matan hadis)
2. Matan ( menurut bahasa- tanah yang tinggi dan keras) (menurut istilah- isi
pokok dari sebuah hadis, baik itu berupa perkataan Nabi atau perkataan seorang
sahabat tentang Nabi)
3. Mukharrij (bahasa- menampakkan, mengeluarkan dan menarik) (Istilah- orang
yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-
apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya)).
F. Dalil Hadis
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat
selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik).
G. Fungsi Hadis:
1. Bayan Tafsir (menjelaskan maksud dari Al-Qur’an)
2. Bayan Taqrir (untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an)
3. Bayan Tasyri’ (menjelaskan hukum yang tidak disinggung langsung dalam Al-
Qur’an)
4. Bayan An-Nasakh (adanya dalil syara’ yang datang kemudian)
5. Bayan at-Takhsis (penjelasan Nabi Saw. dengan cara membatasi atau
mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum (‘am), sehingga tidak
berlaku pada bagian-bagian tertentu yang mendapat perkecualian)
Hadis pada masa Nabi

proses terjadinya hadits bisa jadi timbul dari berbagai sisi, yakni ada tiga
sisi:

1. Terjadi pada Nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat dan
kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain. misalnya, suatu ketika nabi
melewati pedagang makanan dalam karung, beliau memasukkan tangan beliau
ternyata basah, lantas beliau bersabda: “Tidak tergolong umatku (umat yang
mendapat petunjuk) manusia yang menipu.” (HR. Ahmad).
2. Terjadi pada sahabat atau kaum muslimin karena mengalami suatu masalah
kemudian bertanya kepada Rasulullah. Banyak sekali hadits yang timbul
disebabkan dari pertanyaan seorang sahabat, kemudian beliau menjawab dan
memberi penjelasan-penjelasan.
3. Segala amal perbuatan dan tindakan nabi dalam melaksanakan syari’ah
Islamiah baik menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat,
kemudian mereka sampaikan kepada para tabi’in.
H. Larangan Menulis hadis di masa Nabi Muhammad
1. para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya,
disamping alat-alat tulis masih terbatas.
2. karena adanya larangan menulis, sebagaimana hadits Nabi. Abu Sa’id Al-
Khudri, berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Janganlah menulis seuatu
dariku selain Al-Qur’an, dan barangsiapa yang menulis dariku selain Al-
Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut
disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan Al-
Qur’an, atau mereka bisa melalaikan Al-Qur’an.
I. Kodifikasi Hadis
Secara etimologi kata kodifikasi berasal dari kata codification yang berarti
penyusunan menurut aturan/sistem tertentu. kata tadwin dapat berarti
perekaman(recording),penulisan (writingdown), pembukuan (booking), pendaftara
n (listing,registration). kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan
atau pengumpulan serta penyusunan.

J. Kodifikasi Hadis Dari Abad II Dan Seterusnya


1. Proses Kodifikasi Pada Abad Ke II (Masa tadwin hadits)
Munculnya usaha untuk melakukan tadwin hadits pada masa ini
dikarenakan khalifah Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya hadits-
hadits seiring wafatnya para penghafalnya. Beliau juga khawatir akan
tercampurnya hadits sahih dengan hadits palsu. Oleh karena itu, melalui
instruksi Umar ibn Abdul Aziz, para pejabat daerah dihimbau untuk
memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghapalnya.

2. Proses Kodifikasi Pada Abad ke III (Masa Penyaringan hadits)


Masa ini dikenal sebagai periode penyaringan hadits atau seleksi hadits
yang berlangsung dari masa pemerintahan Khalifah Al Ma’mun sampai pada
awal pemerintahan khalifah Al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti
Abbasiyah. Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan
penyaringan hadist melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan. Mereka berhasil
memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih, dan hadits-hadits
yang mauquf dan maqthu' dari yang marfu'.

3. Proses Kodifikasi Pada Abad Ke IV (Masa Penghafalan Hadits)


Abad ke empat ini merupakan abad pemisahan antara ulama
Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri
menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’in yang menghafal hadits dan
kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam usahanya
menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang
disusun oleh ulama mutaqaddimin.

4. Proses Kodifikasi Pada Abad Ke V dan Seterusnya (Masa Mengklasifikasikan


dan Mensistemasikan Susunan Kitab-kitab hadits)
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan
untuk mengklasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang
sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits.
Disamping itu mereka telah men-syarahkan (menguraikan dengan luas) dan
mengikhtishar (meringkaskan) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama
yang mendahuluinya.

K. Ulumul Hadits
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits.
(Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum
dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi
berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala
sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau
sifat.” Dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian
“ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”.

Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang


penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau
benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail dan dapat
dipertanggungjawabkan. Sedangkan Ilmu hadits dirayah yaitu satu ilmu yang
mempunyai beberapa kaidah (patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu dapat
diketahui keadaan perawi (sanad) dan diriwayatkan (marwiy) dari segi diterima atau
ditolaknya.

Sejarah Ilmu Hadis: dimulai beriringan dengan hadis itu sendiri tetapi lebih
kompleks ketika Imam al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab al-Risalah,
sebenarnya ilmu hadits telah mengalami perkembangan lebih maju, Penulisan ilmu
hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan
bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (wafat 360 H) menulis buku Al-Muhaddits al-
Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al-Naisaburi (wafat
405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi
menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-
Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.

L. Cabang Ilmu Hadis


1. Ilmu Rijalul Hadits Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari
sahabat, dari tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya.
2. Ilmu Tarikh Rijal Al-Hadits Adalah ilmu yang sangat membantu untuk
mengetahui derajat hadits dan sanad (apakah sanadnya muttashil (tersambung)
atau munqathi’ (terputus).
3. Ilmu Tarikh Rijal Al-Hadits yaitu ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-
cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta`dilannya
(memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan
tentang martabat-martabat kata-kata itu.
4. Ilmu Mukhtalif al-Hadits Adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits
yang tampaknya saling bertentangan. Lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengkompromikannya, disamping membahas hadits-hadits yang sulit difahami
atau dimengerti. Kemudian menghilangkan kesulitan tersebut serta menjelaskan
hakikatnya.
5. Ilmu `Ilalil Hadits yaitu ilmu yang membahas tentang sebab-sebab
tersembunyi dari segi keberadaannya mencacatkan hadits, me-muttasil-kan
(menyambung hadits) yang munqathi’ (terputus sanadnya), me-marfu’-kan
(menyandarkan kepada Nabi SAW) hadits yang mauquf (tidak sampai kepada
Nabi SAW atau terhenti pada sahabat), memasukkan suatu hadits kedalam
hadits lain dan mencampuradukkan sanad dengan matan atau yang lainnya.
6. Ilmu Gharibul-Hadits Yaitu ilmu (pengetahuan) untuk mengetahui lafadz-
lafadz dalam matan-matan hadits yang sulit lagi sukar difahami disebabkan
karena jarang sekali digunakan.
7. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits yaitu ilmu yang membahas Hadits-hadits
yang bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadits yang
satu menghapus (menasikh) hukum Hadits yang lain (mansukh). Yang datang
dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh.
Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.
8. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadits) Yaitu ilmu
yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya
Nabi menuturkan itu.
9. Ilmu Mushthalah Hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang
dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan
ditolaknya.
M. Pembagian Hadis
Ditinjau dari segi kuantitasnya (ada yang berpendapat dua yaitu mutawatir
dan ahad, ada juga yang tiga yaitu mutawatir masyhur dan ahad)

• Hadis Mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang
yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta
• Hadis Masyhur
• Hadis Ahad adalah Hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih,
yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur dan hadis
mutawatir.
Ditinjau dari segi kualitsanya.

• Hadis Maqbul adalah Hadis yang telah sempurna padanya, syarat-syarat


penerimaan (sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi
dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya tidak syadz dan tidak ber’illat)
• Hadis Mardud adalah Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian
syarat hadis maqbul.
Ditinjau dari sumber berita

• Hadis Qudsi yaitu “Sesuatu yang dipindahkan dari Nabi SAW. serta
penyandaraannya kepada Allah SWT”. Atau hadis yang disandarkan kepada
Allah SWT.
• Hadis Marfu yaitu berita yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan,
perbuatan, sifat dan persetujuan, sekalipun sanad-nya tidak bersambung atau
terputus, seperti hadis mursal, muttashil, dan munqathi’.
• Hadis Mauquf yaitu sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat atau
segolongan sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan, baik
bersambung sanad-nya atau terputus.
• Hadis Maqthu’ yaitu sifat matan yang disandarkan kepada seorang tabi’in atau
seorang generasi setelahnya, baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan.
Dari segi kualitas sanad, hadis di bagi menjadi tiga, sahih, hasan dan daif:

• Hadis sahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung (tidak putus) dan para rawi
yang meriwayatkan hadis tersebut adalah adil dan dabit, serta dalam matan
hadis tersebut tidak ada kejanggalan (syaz) dan cacat (‘illah). Hadis sahih dibagi
menjadi dua yaitu, sahih lidzatihi dan sahih li-gairihi.
• Hadis hasan yaitu hadis hasan yang kriterianya sama dengan hadis sahih hanya
saja ada salah seorang rawinya yang kurang.
• Hadis Dho’if yaitu Yang tidak terkumpul sifat-sifat shohih dan sifat-sifat hasan
atau hadis lemah dan biasa disebut hadis mardud.
N. Hadis dhoif
1. Dhoif karena terputus sanad dan macam-macamnya.
• Hadis Mu’allaq yaitu Hadist yang satu perawinya ada didalam sanad itu
gugur atau putus, walaupun yang gugur itu satu perawi atau lebih secara
terus-menerus sampe akhir sanad
• Hadis Munqoti’ yaitu hadist yang satu perawi dari sana hadist tersebut gugur
dengan syarat yang gugur perawinnya bukan dari seorang sahabat,
walaupun satu perawi atau lebih yang gugur dengan syarat putusnya tidak
secara berurutan.
• Hadis Mursal yaitu hadist yang perawinya gugur diakhir sanad. Dua hadis
Mursal: Hadis mursal shahabi (Hadist yang disandarkan langsung ke
sahabat Nabi) dan hadis mursal khofi (Hadist yang disandarkan langsung ke
tabi’in).
• Hadis Mudallas yaitu Hadist perawinya menyembunyikan aib didalam
sanadnya sekira hadist tersebut keliatah hadist shohih.
2. Dhoif yang disebabkan oleh cacatnya perawi dan macam-macamnya
• Hadis Maudhu: Hadis yang dibuat seseorang yang langsung disandarkan
kepada Nabi (hadis palsu).
• Hadis Matruk: Hadist yang ada perawinya didalam sanad hadist disangka
bedusta, seorang yang fasik, atau kebanyakan menghayal.
• Hadis Munkar: Hadist yang perawinya tidak tsiqoh didalam meriwayatkan
hadist.
• Hadis Mu’allal: Hadisnya yang dzhahirnya shohih, tetapi setelah diperiksa
terdapat ‘ilat yang dapat merusak keshohihan hadist tersebut.
• Hadis Mudraj: hadist dengan lafadz yang berasal dari sebagian rawi,
bergandengan dengan matan, tanpa ada penjelasan kepada pendengar hanya
saja lafadz itu berada di tengah hadist.
• Hadis Mubham: Hadist yang tidak disebutkan nama perawinya didalam
sanadnya maupun matanya.
• Hadis Mu’dol: Hadist yang gugur dua atau lebih dari perawinya secara
berurutan.
• Hadis Syadz: Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya yang
bertentangan dengan perawi yang lebih terpercaya.
• Hadis Maqlub: Hadist yang diganti lafadznya oleh perawi dengan kata lain
pada sanad atau matan atau lafadznya di dahulukan atau diakhirkan.
O. Perawi Hadis
rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab
apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Bentuk
jama’nya adalah ruwat dan perbuatannya menyampaikan hadist disebut
meriwayatkan hadist.

A. Syarat Perawi Hadis


• Beragama Islam
• Balig/Mukallaf
• Adil: suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang melazimi taqwa
dan menjaga kehormatan dirinya (muru’ah).
• Kuat Ingatan (dlabith): Yang dimaksud dengan dlabith adalah kemampuan
seorang perawi dalam memahami dan mengingat apa yang ia dengar ketika
tahammul, masih ingat atau hapal pada saat menyampaikan periwayatannya
dengan hafalannya (dlabith shadr) dan terpelihara tulisannya dari
kesalahan, pergantian dan kekurangan (dlabith kitab).
Tahammul Wal Ada secara istilah tahammul adalah mengambil dan
menerimah hadist dari seseorang syaikh dengan metode tertentu dari beberapa
model tahammul. ada’ secara istilah adalah meriwayatkan hadist dan
menyampaikannya kepada orang lain dengan menggunakan bentuk kata tertentu.
Metode Tahammul wal ada ada 8 yaitu:

• Metode as-sima’ yaitu guru yang membaca hadist di depan para muridnya.
Bentuk ungkapan ada’ yang digunakan dalam metode ini adalah sami’tu dan
haddatsana.
• Metode al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadist di depan guru,
sedangkan guru mendengarkan bacaannya, baik murid itu membaca sendiri atau
mendengar murid lain yang membaca di hadapannya, baik bacaan dari
hafalannya atau dari tulisan (kitab). ungkapan ada’ yang dipakai dalam metode
ini adalah akhbarana, qara’tu’ala fulanin atau haddatsana qiraatan ‘alaihi.
• Al-Ijazah Yaitu pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan
buku hadist tanpa membaca hadist tersebut satu demi satu. Dalam hal ini ada 3
bentuk, yaitu ada kalanya Ijazah fi mu’ayyanin limu’ayyanin (izin untuk
meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang yang tertentu), Ijazah fi
ghairi mu’ayyanin limu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu kepada orang tertentu), dan Ijazah ghairu mu’ayyanin bighairi
mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang
yang tidak tertentu). Istilah yang dipakai untuk ada’ adalah an-ba-ana.
• Al-Munawalah Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadist tanpa
menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai dalam penyampaian
(ada’) adalah an-ba-ana.
• Al-Mukatabah Yaitu seorang guru menulis hadist untuk seseorang, hal ini mirip
dengan metode ijazah. Lafadz yang digunakan dalam penyampaian (ada’)
adalah “kataba ilayya fulanun” atau “haddasana kitabatan”.
• I’lam as-Syaikh Yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadist
dalam kitab tertentu adalah hasil periwayatan yang diperoleh dari seseorang
tanpa menyebut namanya dan tanpa menyuruh meriwayatkannya, karena
kemungkinan sang guru sudah mengetahui adanya cacat dalam hadist tersebut.
Lafadz penyampaiannya adalah “a’lamani Syaikhi bikadza”.
• Al-Washiyah Yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadist kepada muridnya
sebelum meninggal. Lafadz penyampaiannya adalah “Ausha ilayya fulanun
biladza” atau “haddasani fulanun washiyatan”.
• Al-Wijadah Yaitu seseorang yang menemukan catatan hadist seseorang tanpa
ada rekomendasi untuk meriwayatkannya. Lafadz penyampaiannya adalah
wajadtu bikhaththi fulanun atau qara’tu bikhaththi fulanun.
Istilah yang Berkenaan dengan Periwayatan Hadist

• Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan
hadist Bukhari dan Muslim
• Akhrajahu Syaikhani Artinya hadist tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim.
• Akhrajahu Thalathah Artinya hadist tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud,
Tirmidzi, dan an-Nasa’i.
• Akhrajahu Arba’ah Berarti hadist tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud,
Tirmidzi, an-Nasa’I dan Ibn Majah.
• Akhrajahu Khamsah Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi,
An-Nasai, Ibn Majah dan Imam Ahmad.
• Akhrajahu Sittah Berarti hadist tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibn Majah.
• Akhrajahu Sab’ah Berarti hadist tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah, dan Imam Ahmad.
• Akhrajahu Jama’ah Artinya hadist tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama
Hadist
P. Takhrij Hadis
Takhrij Hadis Takhrij ialah penunjukkan terhadap tempat hadist dalam
sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan martabatnya sesuai dengan keperluan.
Takhrij al-Hadits sangat berguna untuk memperluas pengetahuan seseorang tentang
seluk beluk kitab-kitab Hadits dalam berbagai bentuk dan system penyusunannya,
mempermudah seseorang dalam mengembalikan sesuatu Hadits yang
ditemukannya kedalam sumber-sumber aslinya, sehingga dengan demikian akan
mudah pula untuk mengetahui derajat keshahihan tidaknya Hadits tersebut, Selain
itu, dengan takhrij al-Hadits secara tidak langsung seseorang akan mengetahui
hadits-hadits lain yang sebenarnya tidak dicari dan sempat membacanya dalam
kitab-kitab itu.

Cara untuk mentakhrij yaitu Dengan cara mengetahui nama sahabat yang
meriwayatkan Hadits. Metode takhrij ini dapat diterapkan selama nama shahabat
yang meriwayatkannya terdapat dalam hadits yang hendak di-takhrij.

1. Kitab kitab utama yang terkait dengan kegiatan takhrij al-hadist

• Kitab-kitab al-musnad kitab-kitab Hadits yang disusun berdasar urutan


nama-nama rawi pertama dengan mengumpulkan Hadits-hadits yang
diriwayatkan satu kelompok.
• Kitab Mu’jam adalah kitab Hadits yang disusun berdasarkan nama-nama
(musnad) sahabat, guru-gurunya, negaranya berdasarkan urutan alfabetis.

‘Ilmu Jarh wa Ta’dil terfokus pada penelitian terhadap perawi hadis,


sehingga diantara mereka dapat dibedakan antara perawi yang mempunyai sifat-
sifat keadilan atau kedhabit-an dan yang tidak memilikinya. Ilmu jarh wa al-ta’dil
ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa
diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “dijarh” oleh para
ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya, bila
dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.

Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua
jalan yaitu: Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka
dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Dan
Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil.

Syarat-syarat Seorang Pentajrih dan Penta’dil: Berilmu, Taqwa, Wara’,


Jujur, Jauh dari Ta’ashub (fanatik golongan), Mengetahui sebab-sebab mentajrih
dan menta’dil, Adil, dan mengetahui seluk-beluk bahasa Arab.

Q. Inkar Sunnah
Inkar al-Sunnah terdiri dari dua kata yaitu Inkar dan Sunnah. Inkar,
menurut bahasa, artinya "menolak atau menginkari", berasal dari kata kerja,
ankara–yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa, mempunyai beberapa arti
diantaranya adalah, "jalan yang dijalani, terpuji atau tidak," suatu tradisi yang
sudah dibiasakan dinamai sunnah meskipun tidak baik.

LUMUL HADIS 2

• Kriteria hadis shahih adalah 1. Tersambung sanad, 2. Adil, 3. Dhabit, 4. Tidak


adanya illa (cacat yang tersembunyi atau samar), 5. Tidak adanya Syadz
(bertentangan dengan hadis shahih lain)
• Kitab hadis mustadrak adalah kitab hadis yang menghimpun hadis hadis yang
mempunyai syarat-syarat imam Al-Bukhari dan imam Muslim atau salah satunya,
yang kebetulan tidak diriwayatkan oleh keduanya. Contoh: Kitab al-Mustadrak ‘alā
Ṣahihayn karya al-Hakim al-Naysaburi.
• Kitab hadis mustakhraj adalah kitab hadis yang seorang mustakhrij (periwayat)
yang menyandarkan hadis-hadis dalam kitabnya kepada hadis-hadis dalam kitab lain
seperti shahih Bukhari, Muslim, atau yang lainnya, hanya saja dengan sanad yang
berbeda; maksudnya, hadis-hadisnya sama dengan kitab yang ditelaah si mustakhrij,
hanya ia meriwayatkannya dengan sanadnya sendiri , lalu sanad
si mustakhrij kemudian bertemu dengan sanad si penyusun kitab pada gurunya,
sanad imam Muslim misalnya. Contoh: Mustakhraj dari Sahih Bukhari, yang
disusun oleh Abu Bakar Ismail al-Jurjani (w. 371 H)
• Kitab Az-Zawaid adalah kitab yang mengmpulkan hadis-hadis yang disebutkan
dalam satu kitab tertentu namun tidak disebutkan dalam kitab-kitab hadis lain.
Contoh: Kitab Mawarid Az-Zam’an Ila Zawaid Ibnu Hibban Karya Al-Hafiz Al-
Haisami.
• Kitab As-Sunan, adalah kiab hadis yang disusun berdasarkan bab fikih, mulai
masalah thaharah, shalat, zakat, dst. Contoh: Al-Sunan al-Kubra karya imam al-
Baihaqi.
• I’tibar Adalah penelusuran jalur-jalur hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang
rawi untuk mengetahui apakah terdapat rawi lain yang berserikat dalam riwayatnya
atau tidak. Atau penelitian jalan-jalan hadits yang diriwayatkan oleh satu orang
perawi untuk mengetahui apakah ada orang lain dalam meriwayatkan hadits itu atau
tidak, yaitu kondisi menuju kepada muttabi’ dan syahid
• Periwayat Mutabi’ adalah satu hadits yang sanadnya menguatkan sanad lain dari
hadits itu juga, dan shahabat yang meriwayatkannya adalah satu.
• Periwayat Syahid adalah satu hadits yang matannya sama dengan hadits lain dan
biasanya shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut berlainan.
• Syarh Hadis adalah menjelaskan makna-makna hadis dan mengeluarkan seluruh
kandungannya, baik hukum maupun hikmah.
• Fiqh Hadis adalah memahami maksud dari perkataan Nabi saw. dan mengeluarkan
maknanya.
AL-DAKHIL DAN AL-ASHIL

Definisi Al-Dakhil

Secara Bahasa al-dakhil berasal dari kata kerja yang terdiri dari huruf (‫ )دخل‬yang
memiliki arti “sesuatu yang masuk” dan memiliki makna bagian dalamnya rusak,
ditimpa oleh kerusakan atau mengandung cacat.

Secara terminologi al-dakhil adalah penafsiran Alquran yang tidak memiliki


sumber, argumentasi dan data yang valid dari agama. Dengan kata lain, al-dakhil adalah
penafsiran yang tidak memiliki landasan yang valid dan ilmiah, baik dari Alquran, hadis
sahih, pendapat sahabat dan tabiin, maupun dari akal sehat yang memenuhi kriteria dan
prasyarat ijtihad.

Ad-dakhil atau penafsiran yang tanpa asas yang kuat menurut para ulama tafsir masuk
dalam kitab-kitab tafsir melaui dua sumber.
a. Dakhil fi al-manqul (ma’tsur) melalui riwayat isra’iliyat (riwayat yang bersumber
dari ahlul kitab) dan hadits maudu`(palsu).
Pada literatur lain sebab ini juga disebut dengan factor eksternal yang berasal dari
orang-orang yang memusuhi al-Qur`an, diantaranya orang-orang Yahudi,
Nashrani, Komunis, filosof eksistensi dan lain-lain, yang ingin merusak Islam dan
mengotori ajaran Islam dengan hal-hal yang tidak layak. Mereka menyebar dan
menyelipkan khurafat dan kebatilan-kebatilan kedalam al-Qur`an agar umat Islam
merasa ragu dengan agamanya sendiri dari kitabnya.

b. Dakhil fi al-Ra’yi yang bersumber dari akal yang fasid (rusak).


Pada literatur lain sebab ini disebut pula faktor internal yaitu, mereka yang
mengaku bagian dari sekte Islam. Padahal mereka memiliki hubungan yang kuat
dengan musuh Islam diatas. Sekte Islam itu hanya menjalankan strategi yang
dirumuskan oleh musuh-musuh Islam.

Definisi Al-Ashil

Secata bahasa Al-Ashil berasal dari kata al Ashl yang berarti asal, valid, dasar,
pokok dan sumber. Al Ashil menurut bahasa adalah sesuatu yang memiliki asal yang
kuat dalam objek yang dimasukinya.
Sedangkan menurut istilah, al-Ashil adalah Tafsir yang berlandaskan kepada al-
Quran dan As-Sunnah, atau pendapat sahabat dan tabi'in dan atau berdasarkan ijtihad
dan ra'yun yang sesuai dengan kaidah bahasa arab dan kaidah Syari'ah

Al-ashil lah yang menjadi parameter yang kemudian digunakan untuk


mengukur kualitas dari sebuah penafsiran. Jika sesuai dengan teori Al-ashil, maka
penafsirannya bisa dikatakan sahih dan objektif. Sebaliknya, jika berlawanan dapat
diktegorikan sebagai Al-dakhil yang perlu dilihat, teliti hingga di di revisi.

Latar Belakang Munculnya Ad-dakhil


Al-Dakhil dicetuskan pertama kali oleh Ibrahim Abdurrahman Khalifah pada
tahun 1980-an melalui al-Dakhil fi al-Tafsir.

Praktik al-Dakhil tersebut telah terjadi semenjak awal kehadiran Islam di tanah
Arab ketika Nabi Muhammad dan para sahabat bersinggungan dan berinteraksi dengan
Yahudi, Nasrani, dan penganut kepercayaan lain. Waktu itu, tidak jarang orang-orang
Yahudi dan Nasrani memberikan informasi yang berasal dari kitab suci mereka kepada
umat Islam, dan sengaja atau tidak dipergunakan oleh umat Islam sebagai rujukan.
Inilah yang kemudian memunculkan kajian secara khusus yang disebut dengan
Israiliyat. Selang beberapa waktu setelah beliau wafat, hadis-hadis palsu (hadis
maudhu) bermunculan. Lahirnya hadis-hadis palsu tersebut disinyalir kuat berawal dari
perpecahan politik dan perbedaan pandangan keagamaan sebagai upaya justifikasi
masing-masing kelompok. Bahkan, hadis maudlu’ berkembang bukan hanya berkaitan
dengan payung ideologi, melainkan berhubungan juga dengan motivasi dan keutamaan-
keutamaan. Begitu seterusnya, sampai akhirnya hadis maudhu dilibatkan dalam
aktifitas penafsiran, sehingga menurut Ibrahim Khalifah termasuk al-Dakhil.

Tidak hanya di situ, menurut Ibrahim Khalifah, praktik al-Dakhil juga dilakukan
oleh sekte-sekte keagamaan yang muncul pertama kalinya pada masa awal Islam,
seperti Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah, Murj’iah dan sebagainya.

Faktor berkembangnya al-Dakhil


1. Faktor politik dan kekuasaan
2. Faktor kebencian terhadap Islam
3. Faktor fanatisme
4. Faktor perbedaan mazhab
5. Faktor ketidaktahuan
Contoh-contoh ad-Dakhil

1. Contoh tafsir Al-Dakhil dengan riwayat hadis maudhu’ adalah hadis maudhu’
yang membicarakan keutamaan Ali bin Abi Thalib yang terangkum dalam surat
al-maidah ayat ke-55.

‫ص هلوةَ َويُ ْؤتُ ْو َن ال مزهكوةَ َو ُه ْم هركِعُ ْو َن‬ ٰ‫اِ مَّنَا َولِيُّ ُك ُم ه‬


‫اّللُ َوَر ُس ْولُهٗ َوالم ِذيْ َن اه َمنُوا الم ِذيْ َن يُِقْي ُم ْو َن ال م‬
Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman yang menegakkan salat dan menunaikan zakat seraya tunduk (kepada
Allah).
Ayat tersebut turun kepada Ali bin Abi Thalib waktu dalam posisi shalat dan
hal tersebut banyak disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam penafsirannya melalui
jalan dan hukum yang banyak dan dari setiap jalur terdapat kelemahan pada
perawinya atau palsu seperti halnya hadis yang datang dari jalur al-Kalbi.

2. Salah satu contoh tafsir Al-Dakhil dengan riwayat Isra’iliyat adalah riwayat
yang menjelaskan ayat ke-12 dari surat ke-20 (Thaha):

ِ ‫ك ِِبل َْو ِاد ال ُْم َق مد‬


‫س طًُوى‬ ‫م‬
‫ن‬ ِ‫اِِنْٓ اَ َ۠ن ربُّك فَا ْخلَع نَعلَي َۚك ا‬
َ َْْ ْ َ َ َ ْٰ
Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Lepaskanlah kedua terompahmu karena
sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, yaitu Tuwa.

Ayat di atas ditafsirkan dengan riwayat Isra’iliyat yang yang bersumber dari
Humaid al-A’raj, dari Abdullah Ibn al-Harits, dari Ibn Mas’ud, dari Nabi saw.,
beliau bersabda: “tatkala diajak bicara oleh Tuhan, musa mengenakan pakaian
bulu, jubah bulu, kopyah bulu, dan celana bulu, sedang kedua terompahnya
(terbuat) dari kulit Himar (keledai) yang telah mati”.
Humaid al-A’raj dalam riwayat di atas, dikatakan oleh al-Bukhari sebagai
periwayat yang Hadits-nya diingkari (munkar al-Hadits), dengan kata lain dia
sering meriwayatkan hadis munkar.

3. Sebagai contoh Al-Dakhil yang dinisbatkan kepada Tabi’in adalah Hadits yang
berkenaan dengan firman Allah dalam surat al-A’raf ayat ke-12:
َۚ
ٍ ْ ‫ال اَ َ َ۠ن َخ ْْيٌ ِٰمْنهُ َخلَ ْقتَِِن ِم ْن مَن ٍر مو َخلَ ْقتَهٗ ِم ْن ِط‬
‫ي‬ َ َ‫ك ق‬ ِ
َ ُ‫ك اَمَّل تَ ْس ُج َد ا ْذ اََم ْرت‬
َ ‫ال َما َمنَ َع‬
َ َ‫ق‬
ْ
Dia (Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak
bersujud ketika Aku menyuruhmu?” Ia (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik
daripada dia. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan
dari tanah.”

Hadits yang terkait dengan ayat tersebut diriwayatkan oleh Abu al-‘Abbas al-
Manshury Ahmad Ibn Muhammad Ibn Shalih33 dengan sanadnya kepada ‘Ali
ra. Secara marfu’: “yang pertama kali beranalogi adalah Iblis, karena itu
janganlah kalian beranalogi”. Hadits ini dinilai palsu, dari segi penisbatannya
kepada Rasulullah saw. al-Dhahaby juga memberikan penilaian senada.

Pengertian Israiliyat

Dalam bahasa Ibrani (Hebrew), Isrā berarti hamba, dan īl berarti Allah. Kata
isrā īli āt secara Etimologi merupakan kata jamak dari kata isrā īli āh yang dinisbahkan
kepada Banī isrā īl yang merupakan anak-anak Nabi Ya’qub AS dan keturunan
seterusnya, mulai dari zaman Nabi Musa sampai zaman Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan scara Terminologi, ada beberapa pandangan Ulama’ tentang Isrā īli āt
diantaranya dalam buku Mabahits fii Ulum Al-Qur an isrā īli āt adalah berita-berita
yang dibawa oleh Ahl Kitāb yang masuk Islam yang berhubungan dengan kisah-kisah
para Nabi dan Umat Terdahulu, yang dikemukakan secara mendetail, misalnya tentang
nama-nama negeri dan nama pribadinya. Dalam buku isrā īli āt dan Hadits Palsu dalam
Kitab-Kitab Tafsir isrā īli āt adalah semua periwayatan kisah-kisah al-Quran yang
sebagian besar diambil dari pengetahuannya orang-orang Yahudi Bani Israil dan
sebagian kecil berasal dari pengetahuannya orang-orang Nasrani.

Dalam buku Madzahibut Tafsir al-Islami, srā īli āt adalah pengetahuan tentang
al-Quran yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani yang menjadikan ajaran al-Quran
sejalan dengan apa yang ada dalam kedua kitab tersebut. Menurut HAMKA dalam
Tafsir Al-Azhar, Isrā īli āt adalah cerita-cerita yang banyak dibawakan oleh orang-
orang Yahudi yang telah masuk Islam. Sedangkan Isrā īli āt menurut adz-Dzahabi
adalah pengaruh-pengaruh kebudayaan Yahudi terhadap penafsiran al-Quran, dan yang
lebih luas dari itu, isrā īli āt merupakan pengaruh kebudayaan Yahudi dan Nasrani
terhadap tafsir.

Kesimpulannya ialah yang dimaksud dengan isrā īli āt adalah segala kisah dari
al-Quran yang penafsirannya berasal dari pengetahuan kaum Yahudi dan Nasrani yang
telah masuk Islam.

1. Asal-usul Israiliyat

Masuknya kisah isrā īli āt berkaitan erat dengan masyarakat Arab Jahiliyyah.
Pihak yang sangat berperan besar dalam hal ini adalah para Ahl Kitāb yang sebagian
besar terdiri dari kaum Yahudi yang bermigrasi ke Jazirah Arab pada tahun 70 M.

pertama, karena semakin banyaknya orang-orang Yahudi yang masuk Islam.


Sebelumnya mereka adalah kaum berperadaban tinggi. Tatkala masuk Islam
mereka tidak melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka anut terlebih dahulu,
sehingga dalam pemahamannya seringkali tercampur antara ajaran yang mereka
anut terdahulu dengan ajaran Islam.

Kedua adanya keinginan dari kaum muslim pada waktu itu untuk mengetahui
sepenuhnya tentang seluk beluk bangsa Yahudi yang berperadaban tinggi, dimana
al-Qurân hanya mengungkapkan secara sepintas saja. Dengan ini maka muncullah
kelompok mufassir yang berusaha meraih kesempatan itu dengan memasukkan
kisah-kisah yang bersumber dari orang-orang Yahudi tersebut. Akibatnya tafsîr itu
penuh dengan kesimpang siuran, bahkan terkadang mendekatai khurafat dan
tahayyul.

Kertiga adanya ulama Yahudi yang masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam,
Ka’ab bin Akhbar, Wahab bin Manabbih. Mereka dipandang mempunyai andil
besar terhadap tersebarnya kisah Israiliyyat pada kalangan Muslim. Hal ini
dipandang sebagai indikasi bahwa kisah Israilyyat masuk di dalam Islam sejak masa
sahabat dan membawa pengaruh besar terhadap kegiatan penafsiran al-Quran pada
masa sesudahnya.

2. Macam-macam Israiliyat

Menurut Ibn Kaṡīr, kisah-kisah Isrā īli āt dalam al-Quran dapat dibagi menjadi tiga
macam
A. Isrā īli āt Yang Dianggap Benar

Isrā īli āt yang dianggap benar adalah kisah-kisah isrā īli āt yang tidak bertentangan
dengan ajaran agama Islam dan kisah-kisah tersebut dibenarkan dalam al-Quran.
Contohnya pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir yang juga diceritakan oleh Taurat.

B. Isrā īli āt Yang Dianggap Salah

Isrā īli āt yang dianggap salah adalah kisah-kisah srā īli āt yang tidak dibenarkan oleh
syariat agama dan bahkan tidak bisa diterima oleh akal. Salah satu contoh Isrā īli āt
yang dianggap salah pada Tafsir Al Qur’anil Adzim adalah kisah tentang diturunkannya
Malaikat Harut-Marut ke bumi untuk menjalankan ujian ketaatan terhadap Allah. Di
dalam tafsir ini mereka diceritakan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan sifat
kemalaikatan yang selama ini dianggap sebagai makhluk Allah yang paling taat. Kisah
ini ada pada surat al-Baqarah ayat 101-103.

C. Isrā īli āt Yang Didiamkan

Isrā īli āt yang didiamkan adalah kisah-kisah oleh syariat agama tidak terdapat dalil
yang memperbolehkan maupun yang melarang. Misalnya penjelasan tentang nama dan
warna anjing, serta tempat dimana Aṣḥab alKahf bersembunyi yang diceritakan pada
surat al-Kahfi ayat 9-26. Para Ulama’ mendiamkan penafsiran tersebut dikarenakan,
penjabaran tersebut tidak berpengaruh terhadap kemaslahatan agama Islam

3. Tokoh-Tokoh Periwayat Israiliyat

Menurut adz-Dzahabi, sebagaimana telah dikutip dalam buku Al-Qur an Kita:


Studi lmu Sejarah dan Tafsir Kalamullah, ada beberapa nama sahabat yang pernah
menukil riwayat dari Ahl Kitāb, diantaranya.

A. Abdullah ibn Sallam

Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf ibn Salam al-Haris al-Israily alAnshari,
namun setelah memeluk agama Islam, Nabi Muhammad mengganti namanya dengan
Abdullah. Abdullah ibn Sallam ini dianggap sebagai salah seorang yang keadilannya
disetujui oleh Ulama’ Tafsir dan Ulama’ Hadits, baik sebelum maupun sesudah dia
memeluk agama Islam.

B. Ka’ab al-Ahbar
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’bu ibn Mani’al-Himyari, namun
dikemudian hari dia dikenal dengan nama Ka’ab al-Ahbar dikarenakan keilmuan yang
dimilikinya bahkan setelah masa keislamannya pun dia masih mempelajari kitab
Taurat. Hal inilah yang kemudian menyebabkannya keadilannya masuk kategori
diragukan, bahkan banyak Ulama’ yang juga meragukan keislamannya.

4. Pendapat Ulama’ Tentang Israiliyat

Tentang pandangan Ulama’ terkait dengan adanya Isrā īli āt dalam penafsiran al-
Quran, berikut penulis paparkan beberapa pandangan, diantaranya:

1. Ahmad Musthafa al-Maraghi Menurut al-Maraghi, Isrā īli āt merupakan suatu


cerita yang digunakan para Ahl Kitāb untuk menipu orang-orang Arab sehingga
menghalangi mereka untuk menemukan petunjuk yang sebenarnya tentang al-Quran.

2. Muhammad Abduh Tentang Isrā īli āt, menurut Abduh sebagaimana telah dikutip
oleh Usman, beliau menolak validitas Ulama’ tafsir yang menghubungkan alQuran
dengan srā īli āt. Menurutnya hal tersebut telah mendistorsikan pemahaman ajaran
Islam.

3. Rasyid Ridha Menurut Rasyid Ridha sebagaimana dikemukakan dalam tafsirnya,


riwayat Isrā īli āt yang masuk dalam penafsiran sebenarnya telah keluar dari konteks
al-Quran itu sendiri.
USHUL TAFSRI WA QAWAIDUH
A. Kaidah Wadhih Ad-Dilalah (Dhamir, Nash, Mufassar, dan Muhkam)
1. Pengertian Wadhih Ad-Dilalah
Wadhih secara bahasa artinya adalah “Jelas” dan “Terang”. Secara istilah adalah
makna yang ditunjukkan oleh bentuk nash (jelas) itu sendiri tanpa memperhatikan
faktor luar. Secara garis besar, wadhih atau lafadz yang jelas ini terbagi kepada 2
macam, yaitu:

Sedangkan arti dilalah secara umum adalah “memahami sesuatu atas sesuatu”.
Kata sesuatu yang pertama disebut dengan “madhul” (yang ditunjuk). Dalam
hubungannya dengan hukum yang disebut dengan madhul itu adalah “hukum” itu
sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dengan dalil (yang menjadi
petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut “dalil hukum”.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Wadih ad-Dalalah adalah lafal-lafal


yang dapat dengan mudah dipahami makna dan maksudnya, tanpa membutuhkan faktor
eksternal selain dari redaksinya itu sendiri.

2. Pembagian Wadhih Ad-Dalalah


Dalam wadhih atau kejelasan (lafaz yang jelas) itu para ulama ushul fiqh
membagi wadlih (kejelasan) ini menjadi 4 (empat) macam,yaitu:
a. Ad- Dhahir
Ad Dhahir menurut bahasa adalah terang, jelas, tampak, dan lain-lain. Adapaun
secara istilah adalah lafadz yang dapat menunjukkan makna yang dimaksud dengan
bentuk lafadz itu sendiri, tanpa memperhatikan pemahaman yang dimaksud dari
padanya dari faktor luar atau bukan yang dimaksud menurut redaksi asal kata, dan
mengandung takwil. Dengan kata lain dhahir ini menunjukkan makna yang jelas baik
dari lisan maupun tulisan. Dan perlu adanya pen-takhsis-an, pen-takwil-an, dan pe-
naskh-an.
Definisi tentang dhahir dari beberapa ulama sebagai berikut:
• Al-Bazdawi: Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi
pendengar, melalui bentuk lafadz itu sendiri.
• Al-Sarakhsi: Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu
sendiri tanpa harus dipikirkan terlebih dahulu.
Contoh:

ِٰ ‫اّللُ الْبَ ْي َع َو َح مرَم‬


...ۚ‫الرَِب‬ ‫َح مل م‬
َ ‫ َوأ‬...
Artinya: “...Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah
[2]: 275)

Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal
dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat ditangkap
oleh akal seseorang tanpa memerlukan adanya penjelasan.

Selain itu, dhahir ini juga ada yang sifatnya ta’wil (perlu penjelasan). Atau
secara bahasa dapat dikatakan menjelaskan sesuatu yang kembali kepadanya suatu hal.
Ta’wil dapat diterima apabila ditunjukkan dengan dalil yang shohih, dan dapat pula
ditolak karena tidak ada dalil yang shohih yang dapat menunjukkan makna tersebut.

Contoh:
Lafadz ayat al-Qur’an surah adz-Dzariyat ayat 47 yang dita’wilkan dengan
surah Asy-Syura ayat 11,
ِ ‫سماء ب نَ ْي هنَ َها ِِبَيي ٍد وإِ مَن لَم‬
‫وسعُو َن‬ ُ َ ْ َ َ َ ‫َوٱل م‬
Artinya: “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya
Kami benar-benar berkuasa.”
Lafadz yad pada ayat tersebut, makna dhahir-nya adalah tangan, tetapi para
ulama mena’wilkan lafadz tersebut dengan arti kekuasaan, sebab jika diartikan secara
dzahir, maka sama dengan mempersamakan Allah dengan mahluk yang mempunyai
tangan. Sedangkan pada surah Asy-Syura ayat 11 dijelaskan bahwa Allah tidak bisa
dipersamakan dengan mahluk ciptaan-Nya sendiri.

b. An-Nash
Nash adalah lafal yang mudah dipahami maknanya semata melihat bentuk dari
lafadznya dan juga berpeluang untuk di ta’wil dan di naskh. Hanya saja nash berbeda
dengan lafal dhahir, makna Nash adalah makna asli, sementara dhahir merupakan
makna sisipan atau makna kedua.
Definisi tentang nash dari beberapa ulama sebagai berikut:
• Menurut Ad-Dabusi: Sesuatu lafadz yang maknanya lebih jelas dari pada dhahir
bila ia dibandingkan dengan lafadz dhahir.
• Menurut Al-Bazdawi: Lafadz yang lebih jelas maknanya dari pada makna
lafadz dhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu
sendiri.
Dalam hal bentuknya, nash itu terdiri dari 2 bentuk, yaitu bentuk lafdzhiyyah
(bahasa) merupakan hukum yang ditetapkan dengan cara melihat tesk dalilnya dan
bentuk maknawiyah yaitu makna yang ada pada kasus pokok dan kasus cabang.
Contoh lafadz nash dalam firman Allah surat Al-Baqarah: 275

ِٰ ‫اّللُ الْبَ ْي َع َو َح مرَم‬


...ۚ‫الرَِب‬ ‫َحلم م‬
َ ‫ َوأ‬...
Secara nash, ayat tersebut bertujuan untuk menyaratkan perbedaan antara jual
beli dengan riba sebagai sanggahan terhadap orang yang menganggapnya sama. Hal ini
dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini
sudah sangat jelas namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain bahkan dalam
arti yang lebih jelas yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya riba. Pemahaman
menurut cara yang terakhir ini disebut dhahir
Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah lebih kuat dibandingkan
dengan dhahir, karena penunjukan nash lebih terang dari segi maknanya. Nash itulah
yang dituju menurut ungkapan asal. Sedangkan dhahir bukanlah tujuan langsung dari
pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu, makna yang dituju secara langsung
itu lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan makna lainnya yang tidak
langsung.
c. Al-Mufassar
Dalam Ilmu Ushul Fiqh mufassar adalah lafal yang dapat dipahami maknanya
semata-mata melihat bentuk redaksi. Karna jelasnya makna yang ditunjukkan sehingga
ia tidak berpeluang untuk di ta’wil, namun masih bisa di naskh. Biasanya Mufassar ini
muncul sebab sebelumnya dia masuk kategori lafal Mujmal (tidak jelas maksudnya).
Kemudian dijelaskan oleh lafal lain sehingga ia menjadi lafal yang Mufassar.

Mufassar terbagi menjadi dua, yaitu:

Pertama, Mufassar bi Nafsihi: Yaitu ayat yang sudah jelas maknanya dengan
sendirinya tanpa dijelaskan oleh ayat atau dalil yang lain . Karena secara bahasa makna
kata yang ada di dalamnya sangat terang dan jelas. Contoh :

ِ ‫س ذَائَِقةُ الْمو‬
...ۚ‫ت‬ ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬
َْ
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati,...”

Kedua, Mufassar bi Ghairihi: Yaitu ayat yang menjadi jelas maksudnya karena
dijelaskan oleh ayat atau dalil yang lain . Pada awalnya maksud ayat tersebut masih
samar, atau mujmal, tetapi setelah ada penjelasan dari ayat atau dalil lainnya maka
maksud nya menjadi terang dan jelas. Contohnya

َ ْ ِ‫ص هلوةَ َواهتُوا ال مزهكوةَ َو ْارَكعُ ْوا َم َع ال مراكِع‬


‫ي‬ ‫َواَقِْي ُموا ال م‬
Artinya: “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang
yang rukuk” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)
Lafal as-Shalah pada ayat di atas sebelum dijelaskan oleh Nabi SAW. adalah
lafal Mujmal, namun setelah Nabi bersabda “salatlah kalian sebagaimana kalian
melihat saya salat” maka kata as-Shalah di atas menjadi lafal Mufassar.
d. Muhkam
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama yang berarti aqtana, yaitu
pasti dan tegas. Selain itu juga berasal dari kata ihkam yang berarti kekukuhan,
kesempurnaa, keseksamaan dan pencegahan. Sedangkan menurut istilah adalah lafal
yang menunjuk pada suatu makna yang tidak mungkin dihapus, diganti, apalagi
dipalingkan kepada makna lain, karena kejelasan dan kepatenan makna yang dikandung
sebagai dasar-dasar agama atau pokok-pokok akhlak mulia. Seperti soal ketauhidan dan
keimanan dsb. Contohnya: Seperti firman Allah yang sangat jelas mengenai hukuman
bagi penuduh ketika tidak dapat mendatangkan empat orang saksi:

‫ادةً أَبَ ًدا‬


َ ‫َوَّلَ تَ ْقبَ لُ ْوا ََلُ ْم َش َه‬
Artinya: “Dan janganlah kamu menerima kesaksiaan mereka selama-lamanya.”
(QS. An-Nuur [24]: 4)

Kalimat larangan ini disertai dengan lafadz ‫أَبَ ًدا‬, hal ini menunjukkan dalil
muhkam yang tidak dapat di-naskh.
B. Mubham Al-Dalalah
1. Pengertian Mubham Al-Dalalah
Mubham secara bahasa artinya adalah “samar-samar”. Secara istilah adalah lafadz
yang dari segi lafadz itu sendiri tidak dapat diketahui maknanya, lafadz ini baru dapat
dipahami maknanya bila ada penjelasan atau penafsiran dari luar lafadz tersebut.
Mubham ini juga dapat diartikan sebagai lafadz yang maknanya tersamar dan
ketersamarannya kadangkala karena redaksinya sendiri namun bisa juga karena faktor
eksternal.

2. Pembagian Mubham Al-Dalalah

Tingkatan Mubham ada empat, yaitu Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih:

a. Khafi

Khafi secara bahasa yaitu “tidak jelas”. Adapun secara istilah adalah suatu lafaz
yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)-nya yang disebabkan oleh
faktor luar, bukan dari segi sighat (bentuk) lafadz.

Menurut Amir Syarifuddin khafi itu sebenarnya dari segi lafadz-nya


menunjukkan arti jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian lain dari
satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan
penalaran dan takwil.

ُ ‫سا ِر‬
Contoh pada lafal pencuri (‫ق‬ ‫ )ال م‬pada surat al-Maidah ayat 38:

ِ ِ‫سا ِرقَةُ فَاقْطَعوا أَي ِدي هما جزاء ِِبَا َكسبا نَ َك ًاَّل ِمن م‬
‫سا ِر ُق َوال م‬
ٌ ‫اّللُ َع ِز ٌيز َحك‬
‫يم‬ ‫اّلل َو م‬ َ ََ ً ََ َ َُ ْ ُ ‫َوال م‬

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah [5]: 38)

Lafadz ‫سا ِر ُق‬


‫ ال م‬pada ayat di atas artinya jelas, yaitu pengambil harta berharga
milik orang lain secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya. Tapi untuk
menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa satuan merupakan suatu bentuk yang

samar dan tidak jelas. Seperti ‫ال‬


ُ‫ش‬ َ ٰ‫( الن‬pencopet) dan ‫اش‬
ُ َ‫( النمب‬pencuri barang-barang di
dalam kuburan) lafaz tersebut dikatakan khafi (samar).

Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Yusuf keduanya tergolong
pencuri, maka harus dipotong tangannya. Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah
pencopet digolongkan kepada pencuri, sehingga hukumannya potong tangan, tapi
pencuri barang-barang di dalam kuburan tidak digolongkan kepada pencuri, sehingga
hukumannya cukup dengan ta’zir.

b. Musykil

Musykil secara bahasa adalah sukar, sulit, dan pelik. Dalam bahasa Arab musykil
bermakna sesuatu yang musytarak (mempunyai lebih dari satu makna) dan
menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan. Menurut Syeikh Wahbah al-Zuhaili
musykil adalah sebuah lafadz yang tidak jelas maknanya yang dimaksud disebabkan
karena faktor internal lafadz itu sendiri, yang mana tidak dapat diketahui maksudnya
melainkan dengan cara menelitinya dan adanya qarinah (faktor luar dari lafadz itu) yang
menjelaskan maksudnya.

Contoh:

ٍ ‫ات ي ََتبمصن ِِبَنْ ُف ِس ِه من ثَََلثَةَ قُر‬


...ۚ‫وء‬ُ َ ْ َ َ ُ ‫َوال ُْمطَلم َق‬

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'..."(QS. Al-Baqarah [2]: 228)

ٍ ‫ قُر‬yang di dalam bahasa arab dapat berarti masa suci dan bisa juga masa
Kata ‫وء‬
ُ
haid, yang berarti para wanita yang ditalak disuruh untuk menahan diri selama 3 bulan.

c. Mujmal

Secara bahasa Mujmal berarti samar, atau majmu’, (kumpulan), dan tidak
terperinci. Sedangkan dalam istilah ushul fiqh Mujmal berarti lafadz yang maknanya
tidak bisa ditangkap oleh nalar karena merupakan kata-kata yang secara kebahasaan
bersifat tidak pasti atau pinjaman dari bahasa lain (bukan arab).

Lafadz mujmal terdiri dari dua sebab yaitu:

1) Lafadz-lafadz yang asing

Misal lafal (‫ )اهللوع‬dalam firman Allah pada surat Al-Ma’ârij


ِ
ُ‫ي‬
ۚ‫ۚاْلَإ‬
‫سهُ إ‬ َ ‫)ۚوإِ َذ‬
َّ ‫اۚم‬ َ 20(ًۚ‫ۚج ُزوعا‬ َّ ُ‫سه‬
َ ‫ۚالش ُّر‬ َ ‫)ۚإِ َذ‬19(ًۚ‫ۚهلُوعا‬
َّ ‫اۚم‬ َ ‫نسا َنۚ ُخل َق‬ ِ‫ۚإِ َّنۚ إ‬
َ ‫اْل‬
21(ًۚ‫َمنُوعا‬

Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19)
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20) dan apabila ia mendapat kebaikan
ia amat kikir (21).”

Pada ayat 19 diatas terdapat lafal (‫ع‬


ۚ ‫ )اهللو‬yang tidak dapat dipahami karena
termasuk lafal asing sehingga Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya.

2) Pemalingan dari makna lughâwî (bahasa) ke makna ishthilâhî (istilah)

Seperti lafadz shalat, zakat, puasa dan lafadz lainnya yang Allah palingkan dari
makna lughâwî dan digunakan di dalam makna syariat yang tidak diketahui melalui
aspek bahasa melainkan dijelaskan lewat hadits-hadits Nabi Muhammad SAW.

d. Mutasyabih

Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya


karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih
adalah lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk
mencapai artinya.

Mutasyabih dapat berupa potongan huruf di awal-awal surat di dalam Al-

Qur’an seperti ‫امل‬, ‫كهيعص‬, dan lain sebagainya. Sebagian ulama mengatakan bahwa
kedudukan lafal mutasyabih mencakup apa yang diutarakan oleh Ibnu Hazm (yang
mengatakan bahwa ayat mutasyabih adalah pada potongan huruf di awal-awal surat
dan qasam (sumpah) Allah di dalam Al-Qur’an) dan mencakup ayat-ayat yang di
dalamnya terdapat penyerupaan Allah dengan ciptaan-Nya.

Contoh:

ِ‫اّلل ي ُد م‬
...ۚ‫اّلل فَ ْو َق أَيْ ِدي ِه ْم‬ ِ
َ َ‫ك إِ مَّنَا يُبَايِعُو َن م‬ َ ‫إِ من المذ‬
َ َ‫ين يُبَايِعُون‬
Artinya: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka,...” (QS. Al-
Fath [48]: 10)

Pada ayat tersebut kata “Tangan Allah di atas tangan mereka” ta’wil-nya adalah

“kekuasaan Allah berada diatas kekuasaan mereka”.

C. Kaidah Dalalah Al-Fazh Ala Al-Ahkam: Al-Ibarah, Al-Isyarah, Al-Nash, Al-

Iqtidha

1. Pengertian Dalalah al-Alfadz ala al-Ahkam

Lafadz dalalah secara bahasa merupakan sighat mashdar dari lafadz “dalla
yadullu” yang memiliki arti menunjukkan. Sedangkan secara istilah dalalah memiliki
arti memahami sesuatu dari sesuatu. Yang disebutkan pertama disebut madlul (yang
ditunjuk) sighatnya maf’ul. Sedangkan yang disebutkan kedua disebut dal (yang
menjadi petunjuk) sighatnya fa’il. Madlul dan dal dihubungan kedalam masalah hukum
berarti madlul adalah hukum (wajib, sunnah dll) dan dal adalah dalil hukum. Adapun
perbedaan antara dalil dan dalalah yaitu dalil adalah yang memberi petunjuk dan
dilalah/dalalah ialah sesuatu yang ditunjukkan.

Jadi, pengertian Dalalah al-Alfadz ala al-Ahkam ialah petunjuk pada lafadz-
lafadz atas suatu hukum. Maksudnya suatu hukum diambil dari lafadz-lafadz pada suatu
dalil yang mana lafadz-lafadz tersebut memiliki petunjuk untuk diambil hukum.
Contoh

...َ‫ص ََلةَ َوآتُوا ال مزَكاة‬


‫يموا ال م‬ِ
ُ ‫َوأَق‬
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat...” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)

Pada ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah memerintahkan umat Islam untuk
mendirikan sholat dan laksanakan zakat maka wajib dilaksanakan jika syarat-syaratnya
terpenuhi. Pada ayat tersebut sudah ada petunjuk pada suatu perintah mendirikan sholat
dan laksanakan zakat yang bermakna wajib dilakukan bagi umat Islam yang memenuhi
syaratnya.

2. Al-Ibaratun Nash
Pada dasarnya ibarat al-nash merupakan upaya memahami makna dari lafadz.
Dikarenakan berbagai macam pendapat dari para ulama ushul fiqh, ibarat al-nash
mempunyai kriteria-kriteria sebagai berikut:

• Mengandung lafadz yang tersusun dari dua makna maksud hukum; maksud
hukum asli (hukum yang mula-mula dipakai) dan maksud hukum bukan asli
(taba’iy = ikutan)
• Mengandung makna yang segera dapat dipahami dari susunan lafadznya.
• Diantara lafadznya mengandung lafadz al-Zhahir, lafadz al-nash, lafadz-
muhkam atau lafadz ghayr al-muhkam.

Contoh:

ِٰ ‫اّللُ الْبَ ْي َع َو َح مرَم‬


...ۚ‫الرَِب‬ ‫َحلم م‬
َ ‫ َوأ‬...
Artinya: “...Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah
[2]: 275)

Ayat ini menunjukkan kepada dua arti: yakni arti asli dan bukan asli (taba’iy).

Arti asli yang dapat dipahami dari Ibarat al-nash ayat ini ialah bahwa jual beli
tidak sama dengan riba. Arti ini dikatakan sebagai arti asli karena mula ayat-ayat ini
dimaksudkan untuk membantah anggapan orang yang mengatakan bahwa jual beli itu
sama dengan riba.

Sedangkan arti bukan asli yang dapat dipahami dan ibarat al-nash ayat ini ialah
bahwa hukum jual-beli adalah halal dan hukum riba adalah haram. Arti ini dikatakan
sebagai arti bukan asli karena merupakan arti lain; yakni meniadakan persamaan antara
jual-beli dengan riba, serta menjelaskan hukum masing-masing.

3. Al-Isyaratun Nash

Al-Isyaratun Nash adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan
untuk arti menurut asalnya. Tegasnya, isyarat al-nash itu ialah dilalah lafadz yang
didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat.

Contoh:
ِ ‫فَِإ ْن ِخ ْفتم أ مََّل تَع ِدلُوا فَ و‬...
...ً‫اح َدة‬ َ ْ ُْ
Artinya: “...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja,...” (QS. An-Nisa [4]: 3)

Ibarat al-nash dalam ayat ini dapat dipahami bahwa tidak halal bagi seorang
laki-laki baik menurut agama maupun peradilan, untuk menikahi isteri lebih dari satu
apabila ia meyakini tidak dapat berbuat adil di antara isteri-isterinya. Sedangkan dari
Isyarat al-nash-nya dapat dipahami bahwa berbuat adil itu wajib selamanya, baik itu
laki-laki ketika beristeri satu atau ketika berbilang isteri, karena berbuat aniaya terhadap
isteri adalah haram hukumnya.

4. Dalalatun Nash

Menurut Romli, Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu
ketentuan hukum yang juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena
terdapatnya persamaan ‘illat antara keduanya.

Contoh:

ٍٰ ‫فَ ََل تَ ُق ْل ََلَُما أ‬...


...‫ُف َوََّل تَ ْن َه ْر ُُهَا‬

Artinya: “...maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang


tua) perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka...” (QS. Al-Isra’ [17]: 23)

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang”
mengucapkan kata-kata “ah” dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah
melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah
“menyakitkan” perasaan kedua orang tua.

5. Al-Iqtidha’un Nash

Menurut Romli, Iqtida’ al-Nash adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang
tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu
harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya.

Contoh:

...‫اْلِْن ِزي ِر‬ ْ ‫ُح ِٰرَم‬


ْ ‫ت َعلَْي ُك ُم ال َْمْي تَةُ َوال مد ُم َو ََلْ ُم‬

Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,...” (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Pengertian ayat ini belum jelas. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan
menambah unsur kata dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya ialah
“diharamkan untuk memakan atau memanfaatkan bangkai, darah dan daging babi”.

D. Kaidah Wujuh Al-Mukhathabah


1. Pengertian Wujuh al-Mukhatabah
Khithabat adalah bentuk jamak dari khitab, kata ini seakar dengan kata khutbah
yang berarti penyampaian pidato/informasi, yang biasanya digunakan untuk
penyampaian hal-hal yang bersifat penting kepada sasaran tertentu.

Penyampaian tentang menikah dinamai khitbah karena penyampaian tersebut


dinilai sebagai sesuatu yang penting. Wahyu-wahyu Allah dalam Al-Quran yang
disampaikan untuk umat manusia dinamakan khitbah/khithabat karena apa dan
bagaimana pun bentuk penyampaian-Nya, maka itu adalah hal yang penting.

2. Pembagian Khitab Al-Quran dan dalam Al-Quran


a. Mukhathib (penyampai informasi/pembicara)
• Ucapan si Pengucap Sekaligus Pemiliknya

Contoh pada surah Ta ha ayat 12:

ِ ‫ك ِِبل َْو ِاد ال ُْم َق مد‬


‫س طًُوى‬ َ ‫ك ۖ إِنم‬ َ ُّ‫إِِٰن أ َََن َرب‬
َ ‫ك فَا ْخلَ ْع نَ ْعلَْي‬

Artinya: “Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua


terompahmu; sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa.” (QS. Ta Ha
[20]: 12)
Ucapan si pengucap/penyampai dan sekaligus pemilik-nya dapat merupakan
pesan atau informasi, seperti perintah Allah untuk shalat, dan dapat juga merupakan
pengajaran untuk diucapkan.

• Ucapan Si Pengucap Tetapi Bukan Dia Pemiliknya

Contoh pada surah at-Takwir ayat 19

ٍ ‫إِنمهُ لََق ْو ُل َر ُس‬


‫ول َك ِر ٍي‬

Artinya: “Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa


oleh) utusan yang mulia (Jibril)” (QS. At-Takwir [81]: 19)
Yang dimaksud dengan ucapan di sini adalah penyampaian, yakni Jibril hanya
menyampaikan, bukan dia pemiliknya.

b. Mukhathab (lawan bicara)


• ‘Am
‘Am secara bahasa berarti menyeluruh. Dalam pandangan Ulama Ushul Fiqih,
yang dimaksud dengan istilah ‘Am adalah kata yang memuat seluruh bagian dari
kandungan lafadz, sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata
lain. ‘Am adalah kata yang mencakup semua makna yang terkait tanpa batas.
• Khas

Lafadz Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi
arti umum. Menurut istilah, definisi Al-khash adalah lafadz yang diciptakan untuk
menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad, atau menunjukkan satu
jenis, seperti lelaki, atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas,
seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan
bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan tersebut.

c. Khithab (kandungan pembicaraan)

Para ulama Bahasa telah membuat suatu kaidah berkaitan dengan al-khithab
dengan menggunakan ism (kata benda) dan al-khithab dengan menggunakan fi’il (kata
kerja). Masing-masing dari keduanya mempunyai tempat tersendiri yang tidak
ditempati oleh yang lainnya.
Khithab dengan menggunakan kata benda berbeda konotasinya jika
menggunakan kata kerja. Hal itu disebabkan oleh perbedaan dalalah antara kata benda
dan kata kerja tersebut. Di mana kata benda mengandung makna tetap dan terus
menerus tanpa terputus, sebaliknya kata kerja tidak mengandung makan serupa itu,
melainkan menunjuk kepada suatu peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, masa
lampau, sekarang, dan akan datang.

E. Kaidah Al-Su’al Wa Al-Jawab


1. Pengertian al-Su’al wa al-Jawab
Secara bahasa al-su’al wa al-jawab dapat diartikan sebagai pertanyaan dan
jawaban. Dalam kaidah tafsir makna al-su’al wa al-jawab merupakan salah satu bentuk
uslub dalam al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berisikan
pertanyaan beserta jawaban atas pertanyaan tersebut.
Contoh:

ِ ‫يت لِلن‬
...ۚ‫ماس َوا َْلَ ِٰج‬ ُ ِ‫ك َع ِن ْاْل َِهلم ِة ۖ قُ ْل ِه َي َم َواق‬
َ َ‫يَ ْسأَلُون‬

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji,...” (QS. Al-Baqarah
[2]: 189)

ِ ‫ْاْل‬
Pada ayat di atas memuat pertanyaan dan jawaban, kalimat ‫َهلم ِة‬ ‫ك َع ِن‬
َ َ‫يَ ْسأَلُون‬

merupakan kalimat pertanyaan dan kalimat setelahnya ‫اَلَ ِٰج‬ ِ ‫يت لِلن‬
ْ ‫ماس َو‬ ُ ِ‫قُ ْل ِه َي َم َواق‬
adalah jawabannya.

F. Kaidah Al-Muradif, Al-Musytarak, Wujuh dan Nazhair


1. Pengertian Al-Muradif

Muradif ialah kalimat yang lafadznya banyak, sedangkan artinya sama


(sinonim), Muradif menurut bahasa artinya adalah “membonceng” atau ”ikut serta”.
Muradif yang dimaksudkan oleh ahli uṣul fiqih adalah: “beberapa lafadẓ terpakai untuk
satu makna” seperti lafadz al-asad dan al-laits yang artinya adalah singa.

Adapun di dalam Al-Qur’an kata muradif salah satu contohnya adalah kata al-
Khauf dan al-Khasyah yang memiliki arti yang sama yaitu “takut”. Kedua kata ini
memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata al-
Khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya daripada kata al-
Khauf.

2. Pengertian Al-Musytarak

Musytarak adalah kebalikan dari muradif yaitu satu lafadz (kata) yang
menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama
menurut orang ahli dalam bahasa tersebut.

Contoh pada lafadz ‫الصَلة‬ yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu

dalam firman Allah dalam surata Al-Ahzab ayat 56:


‫علَ ْي ِه‬
َ ‫صلُّوا‬ َ ‫علَى النَّبِي ِ ۚ يَا أَيُّ َها الَّذ‬
َ ‫ِين آ َمنُوا‬ َ ُّ‫صل‬
َ ‫ون‬ َ ُ‫َّللا َو َم ََلئِ َكتَهُ ي‬
َ َّ ‫إِ َّن‬
ْ َ ‫س ِل ُموا ت‬
‫س ِلي ًما‬ َ ‫َو‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab [33]: 56)

Lafadz ‫الصَلة‬ pada ayat tersebut bukan bermakna “sholat” dalam ibadah

tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena ‫الصَلة‬
dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat
dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.

3. Pengertian Al-Wujuh
Secara bahasa al wujuh merupakan lafal jama’ dari bentuk mufrod wajhun yang
berarti bermacam-macam/beragam. Menurut M. Quraish Shihab al wujuh adalah kata
yang sama sepenuhnya, dalam huruf dan bentuknya yang ditemukan dalam berbagai
redaksi (ayat), tetapi beraneka ragam makna yang dikandungnya. Misalnya, kata
“ummat” dalam al-Qur’an terulang sebanyak 52 kali, al-Husain bin Muhammad ad-
Dhamighani menyebutkan bahwa ada 9 arti untuk kata tersebut, yaitu: kelompok,
agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam,
orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya. Selanjutnya M. Quraish Shihab
melanjutkan bahwa titik temu yang menjadi benang merah dari gabungan makna-
makna tersebut adalah “himpunan”.

4. Pengertian Nazhair
An-Nazhair adalah bentuk jamak dari nazhirah yang menurut Ibnu Al-Manzhur
maknanya adalah kesamaan dan keserupan dalam bentuk, perilaku, perbuatan dan
perkataan. Secara istilah istilah adalah makna bagi satu kata dalam satu ayat sama
dengan makna tersebut pada ayat yang lain, meskipun menggunakan kata yang berbeda.
Dengan demikian an-nazhair bisa diartikan lafadz-lafadz yang berbeda dengan makna
yang sama.

Contoh pada kata ‫ قلب‬dan ‫فؤاد‬


Kata qalb ditemukan berfungsi sebagai wadah dan juga bisa berfungsi sebagai
pelaku. Qalb ketika berfungsi ada yang tidak berada dalam kontrol manusia sehingga
pelakunya tidak dituntut untuk bertanggung jawab, tetapi ada juga yang harus
dipertanggung jawabkan. Berbeda dengan lafadz fuad yang ditemukan dalam al-Qur’an
sebanyak enam belas kali, fuad adalah hati yang harus mempertanggung jawabkan
sikapnya.

G. Kaidah ‘Amm Dan Khash


1. ‘Amm

Al-'Amm secara etimologi berarti merata, yang umum. Sedangkan secara


istilah, Muhammad Adibah telah mendefinisikan bahwa al-‘Amm adalah lafaz
yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian tiap lafaz itu
sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. Manna' Khalil al-Qattan
mendefinisikan Al-'Amm ialah lafaz yang menunjukkan atas mencakup dan
menghabiskan semua satu-satuan yang ada di dalam lafaz itu dengan tanpa
menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan itu.

Al-'Amm (keumuman) ialah Lafaz yang menunjukkan pengertian yang


meliputi seluruh objek-objeknya seperti:

‫سانَ لَ ِف ا‬
٢ ‫ي ُخس ٍۙار‬ ِ ‫اِ َّن ا‬
َ ‫اْل ان‬

Terjemah: “Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.”


(Q.S. Al-Asr/103: 2)
Lafaznya Insan adalah umum, yakni menunjukkan pengertian menyeluruh
atas semua orang. Dari sini bisa disimpulkan bahwa lafaz 'Amm atau umum ialah
lafaz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafaz itu
sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.

2. Lafaz–Lafaz ‘Amm
Menurut Manna’ Khalil Al-Qattan, sedikitnya ada 6 sighat ‘Amm (bentuk
kata umum) di antaranya:
a. ِ ‫( كُ ُّل نَ افس ذَائِقَةُ ا ال َم او‬ali ‘Imran: 185).
Kull, seperti firman Allah: ‫ت‬
b. Lafaz-lafaz yang di-ma’rifah-kan dengan al yang bukan al-‘ahdiyah.
‫سانَ لَ ِف ا‬
Misalnya :‫ي ُخسار‬ ‫( َو اال َع ا‬al-‘Asr: 1-2).
َ ‫ص ِر اِ َّن اا ِْل ان‬
c. ‫ث َوْلَفُ ا‬
Isim Nakirah dalam konteks Nafi dan Nahi, seperti: ‫سوقَ َوْلَ ِجدَا َل‬ َ َ‫فَالَ َرف‬
ِ ‫( فِي اال َح‬al-Baqarah : 197).
‫ج‬
d. Al-Lati dan Al-Lazi serta cabang-cabangnya. Misalnya: ‫ي قَا َل ل َِوا ِلدَ اي ِه أُف‬
‫َوالَّ ِذ ا‬
‫( لَكُ َما‬al-Ahqaf: 17).
e. Semua isim syarat. Misalnya : ‫ف ِب ِه َما‬ َّ ‫علَ اي ِه ا َ ان َي‬
َ ‫ط َو‬ َ ‫فَ َم ان َح َّج اال َبياتَ ا َ ِوا اعت َ َم َرفَالَ ُجنَا َح‬
(al-Baqarah: 158) ini untuk menunjukkan umum bagi semua yang berakal.
‫( َو َما ت َ افعَلُ او ا‬al-Baqarah: 197) ini untuk menunjukkan bagi
Dan ‫مِن َخيار يَ اعلَ امهُ هللا‬
yang tidak berakal.
f. Ismul-Jins (kata jenis) yang di-idafat-kan kepada isim ma’rifah.
Misalnya ‫ع ان أ َ ام ِر ِه‬
َ َ‫( فَ اليَحا ذَ ِر الَّ ِذيانَ يُخَا ِلفُ اون‬an-Nur: 63) maksudnya segala
perintah Allah.

3. Macam-macam ‘Amm
Abdul Wahab Khalaf menyimpulkan bahwa menurut hasil penelitiannya
terhadap beberapa nash, telah ditetapkan bahwa al-‘Amm itu ada tiga bagian :
a. ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (Al-‘amm al-baqi ala umumih).
Seperti ‘Amm dalam firman Allah SWT:
‫ّٰللا ِر ازقُ َها‬
ِ ‫علَى ه‬ ِ ‫۞ َو َما مِ ان دَ ۤابَّة فِى ااْلَ ار‬
َ ‫ض ا َِّْل‬
Terjemah: “Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi
melainkan dijamin rezekinya oleh Allah.” (Q.S. Hud/11: 6)

Dan firman Allah :


‫يء َح ٍّۗي‬ َ ‫َو َجعَ النَا مِنَ ا ال َم ۤاءِ كُ َّل‬
‫ش ا‬
Terjemah: “Dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal
dari air”. (Q.S. Al-Anbiya’/21: 30)

Di dalam masing-masing ayat tersebut terdapat ketetapan sunah


Tuhan yang umum yang tidak ditakhsiskan atau diganti. Jadi Al-‘Amm yang
terdapat dalam dua ayat tersebut, adalah pasti dalalahnya tentang
keumumannya dan tidak mempunyai kemungkinan bahwa yang dimaksud
dari padanya adalah kekhususan.
b. keumuman yang menuju pengkhususan (Al-‘amm al-murad bihi al-khusus)
Yaitu ‘amm yang dibarengi dengan qorinah yang dapat meniadakan
ketetapan al-‘amm kepada keumumannya, dan dapat menjelaskan bahwa
yang dimaksud dari padanya ialah sebagian satuannya. Seperti firman
Allah:
ٍّۗ ‫سبِي ااال‬
َ ‫ع اِلَ اي ِه‬ َ َ ‫ست‬
َ ‫طا‬ ِ ‫اس حِ ُّج ا البَ اي‬
ْ ‫ت َم ِن ا‬ ِ َّ‫علَى الن‬ ِ ‫َو ِ ه‬
َ ‫ّلِل‬
Terjemah: “(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah
melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang
mampu1 mengadakan perjalanan ke sana”. (Q.S. Ali ‘Imran/3: 97)

c. ‘Amm yang di khususkan (Al-‘amm al-makhsus)


Yaitu ‘amm al-Muthlaq yang dibarengi dengan qorinah yang dapat
meniadakan kemungkinan mentakhsisnya, dan tidak pula merupakan
qorinah yang dapat meniadakan dalalahnya atas umum. Seperti
kebanyakan nash yang di dalamnya terdapat sighot umum, adalah
digeneralkan dari qorinah-qorinah berupa akal atau lafaz,
atau urf (kebiasaan) yang dapat menentukan umum atau khusus. Ini jelas
umum sampai ada dalil yang mentakhsisnya. Seperti: َ‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصان‬
َ ‫َوا ال ُم‬
“perempuan-perempuan yang dijatuhi talak itu menahan diri atau
menunggu”.

1. Khash

Khash adalah lafaz yang tidak dapat digunakan mengikutsertakan banyak


satuannya. Firman Allah yang menetapkan masa tunggu wanita yang hamil
sampai dengan kelahiran anaknya, merupakan lafaz yang khusus untuk wanita
yang demikian itu halnya, tidak mencakup selainnya. Upaya pengkhususan
disebut takhshish dan sesuatu yang mengkhususkan dinamakan dengan al-
mukhashshish.

2. Pembagian Khash

Manna’ Khalil Al-Qattan membagi Mukhashshish menjadi dua, yaitu


pertama, mukhashshish yang tidak dapat berdiri sendiri dan maknanya
berhubungan dengan sebelumnya, disebut dengan muttashil (bersambung).

a. Mukhtashshish muttasil terbagi dalam lima macam:

1
Kriteria mampu adalah sanggup mendapatkan perbekalan, alat transportasi, sehat jasmani,
perjalanan aman, dan keluarga yang ditinggalkan terjamin kehidupannya.
1) Istitsna (pengecualian). Contohnya sebagai berikut:
ٰۤ ُ
. . . ‫ ا َِّْل الَّ ِذيانَ ت َاب اُوا‬٤ ٍۙ َ‫ولىِٕكَ هُ ُم ا ال ٰف ِس ُق اون‬ ‫ َوا‬. . .

Terjemah: “Mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali


mereka yang bertobat”. (Q.S. an-Nur/24: 4-5)
Perhatikanlah kalimat illal ladzina tabu pada ayat tersebut.
Kalimat itu merupakan sambungan dari kalimat sebelumnya dan
sekaligus menjadi pengkhusus dengan bentuk pengecualian.

2) Shifat (sifat). Contohnya sebagaimana berikut:


‫س ۤا ِٕىكُ ُم الهتِ ا‬
‫ي دَ َخ الت ُ ام ِب ِه َّن فَا اِن لَّ ام تَكُ اونُ اوا دَ َخ الت ُ ام ِب ِه َّن فَ َال‬ َ ِ‫ي ُح ُج او ِركُ ام ِم ان ن‬ ‫ َو َر َب ۤا ِٕىبُكُ ُم الهتِ ا‬. . .
‫ي فِ ا‬
. . . ‫ع َل اي ُك ام‬ َ ‫ُجنَا َح‬

Terjemah: “(Diharamkan atas kamu menikahi) anak-anak


perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu2
dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak
berdosa bagimu (menikahinya)”. (Q.S. An-Nisa’/4: 23)
Kalimat al-lati dakhaltum bihinna, merupakan sifat terhadap
nisa’ikum. Dengan demikian, maka makna ayat tersebut bahwasanya
perempuan-perempuan yang menjadi anak tiri dan menjadi
pemeliharaan dari seorang laki-laki (bapak tiri) adalah haram dikawini
oleh bapak tirinya itu, jika ibu dari perempuan-perempuan itu telah
dicampuri, tapi bila belum dicampuri, maka perempuan (anak tiri) halal
dikawini olehnya.

3) Syarth (syarat). Contohnya sebagai berikut:


َ ‫صيَّةُ ِل ال َوا ِلدَي ِان َو ا‬
َ‫اْل اق َر ِبيان‬ ِ ‫ض َر ا َ َحدَكُ ُم ا ال َم اوتُ ا اِن ت ََركَ َخي اارا ۨا ال َو‬ َ ‫علَ ايكُ ام اِذَا َح‬
َ ‫ِب‬ َ ‫كُت‬
١٨٠ ٍّۗ َ‫علَى اال ُمت َّ ِقيان‬
َ ‫ِب اال َم اع ُر اوفِِۚ َحقًّا‬

Terjemah: “Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara


kamu didatangi (tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan
kebaikan (harta yang banyak), berwasiat kepada kedua orang
tua dan karib kerabat dengan cara yang patut (sebagai)

2
Yang dimaksud dengan ibu pada awal ayat ini adalah ibu, nenek, dan seterusnya ke atas,
sedangkan anak perempuan adalah anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah. Yang
dimaksud dengan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut sebagian besar ulama,
mencakup anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.3 (Q.S. Al-
Baqarah/2: 180)
Kalimat in taraka khairan (sedang dia meninggalkan kebaikan
(harta yang banyak)) adalah merupakan syarat dalam wasiat yang
dimaksud.

4) Ghayah (batas). Contohnya sebagai berikut:


. . . ٍّۗ ‫ي َمحِ لَّه‬
ُ ‫سكُ ام َحتهى يَ ابلُ َغ ا ال َهدا‬
َ ‫ َو َْل ت َحا ِلقُ اوا ُر ُء او‬. . .

Terjemah: “Dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum


hadyu4 sampai di tempat penyembelihannya. (Q.S. Al-
Baqarah/2: 196)
Kalimat hatta yublighal hadyu mahillahu merupakan batas awal
bagi pelaksanaan ibadah mencukur rambut.

5) Badalul ba’dhi minal kulli (mengganti sebagian dari keseluruhannya).


Contohnya sebagai berikut:
. . .ٍّۗ ‫س ِبي ااال‬
َ ‫ع اِلَ اي ِه‬
َ ‫طا‬ ِ ‫اس حِ ُّج ا ال َب اي‬
َ َ ‫ت َم ِن ا است‬ ِ َّ‫علَى الن‬ ِ ‫ َو ِ ه‬. . .
َ ‫ّلِل‬
Terjemah: “(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah
adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi)
orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana”. (Q.S. Ali
‘Imran/3: 97)
Lafaz ‫ من‬adalah pengganti (badal) dari lafaz ‫( الناس‬manusia) yang
disebutkan sebelumnya. Potongan pertama ayat mengandung arti
“semua manusia” harus menunaikan haji. Kemudian manusia yang
dikenai kewajiban haji itu dijelaskan yaitu “orang-orang yang
mempunyai kesanggupan”, sehingga dengan adanya takhsish ini
berarti orang-orang yang tidak mempunyai kesanggupan tidak
termasuk dalam pengertian ‘amm yang dikenai kewajiban haji.

b. Mukhtashshish yang berada di tempat lain, disebut munfashil (terpisah).


Bentuk mukhtashshish munfasil bermacam-macam, yaitu:
1) Yang di-takhshish oleh al-Qur’an. Contoh pada surah Al-Baqarah

3
Menurut mayoritas ulama, ayat ini dinasakh dengan ayat waris dan hadis “lā waṣiyyata li
wāriṡin” (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).
4
Hadyu adalah hewan ternak yang disembelih di tanah haram Makkah pada Iduladha dan hari-
hari tasyrik karena menjalankan haji tamattu’ atau qiran, meninggalkan salah satu manasik haji atau
umrah, mengerjakan salah satu larangan manasik, atau murni ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt.
sebagai ibadah sunah.
ayat 228: ‫طلَّ ٰقتُ َيت ََربَّصانَ ِبا َ انفُ ِس ِه َّن ث َ ٰلثَةَ قُ ُر ۤ او ٍّۗء‬
َ ‫“ َوا ال ُم‬Para istri yang diceraikan
(wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’ (suci atau
haid).” Ayat ini di-takhshish oleh ayat:
َ ‫طلَّ اقت ُ ُم اوهُ َّن ِم ان قَ اب ِل ا َ ان ت َ َمس اُّوه َُّن فَ َما لَكُ ام‬
‫علَ اي ِه َّن ِم ان‬ ِ ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيانَ ٰا َمنُ آٰوا اِذَا نَ َك احت ُ ُم ا ال ُمؤا ِم ٰن‬
َ ‫ت ث ُ َّم‬
. . . ‫ِعدَّة ت َ اعتَد اُّونَ َه ِۚا‬

Terjemah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu


menikahi perempuan-perempuan mukminat, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak ada masa
idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan”. (Q.S. Al-
Ahzab/33: 49)

2) Yang di-takhshish oleh hadis. Contoh pada surah Al-Baqarah ayat


ٍّۗ ‫الر ٰب‬
275: ‫وا‬ ِ ‫ّٰللاُ ا ال َب اي َع َو َح َّر َم‬
‫“ َوا َ َح َّل ه‬Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Ayat ini di-takhshish oleh macam-macam jual
beli yang rusak yang banyak dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi.
Dan dari jenis riba didispensasikanlah jual beli ‘ariyah,
sebagaimana menjual kurma basah yang masih di pohon dengan
kurma kering. Jual beli ini diperkenankan (mubah) oleh sunah.

‫ي َبي ِاع ا ال َع َرا َيا‬ َ ‫سلَّ َم َر َّخ‬


‫ص ِف ا‬ َ ‫علَ اي ِه َو‬
َ ‫ص َّل هللا‬
َ ‫س او َل هللا‬ُ ‫ع انهُ أ َ َّن َر‬
َ ُ‫ي هللا‬َ ‫ض‬ ِ ‫ي ه َُري َارة َ َر‬ ‫ع ان أ َ ِب ا‬
َ
َ
‫س ِة أ اوسُق‬
َ ‫ي َخ ام‬ َ
‫س ِة أ اوسُق أوء فِ ا‬َ َ ‫رص َها فِ اي َما د اُونَ َخ ام‬ ِ ِ‫بِخ‬
Artinya: “Dari Abi Hurairah, Bahwa Rasulullah memberi
keringanan untuk jual beli ‘ariyah dengan ukuran yang sama
jika kurang dari lima wasaq’ (muttafaqun ‘alaihi).

3) Yang di-takhshish oleh ijma’. Seperti ayat mawarits di-takhshish oleh


ketentuan ijma’ bahwa seorang hamba sahaya tidak dapat menerima
warisan, sebagaimana yang telah diutarakan oleh Makkiyyun.

4) Yang di-takhshish oleh qiyas. Seperti ayat tentang perzinaan pada


surah An-Nur ayat 2: ‫ي فَا اج ِلد اُوا كُ َّل َواحِ د ِم ان ُه َما ِمائَةَ َج الدَة‬ َّ ‫لزا ِن َيةُ َو‬
‫الزا ِن ا‬ َّ َ ‫“ ا‬Pezina
perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari
keduanya seratus kali”. Adapun qiyasnya seorang pezina dari hamba
sahaya (budak), maka Hamba sahaya pria diberi kekhususan karena
diqiyaskan pada hamba sahaya wanita yang dijelaskan pada surah
An-Nisa’ ayat 25:

ِ ٍّۗ ‫ت مِنَ ا ال َعذَا‬


‫ب‬ َ ‫علَى ا ال ُم اح‬
ِ ‫ص ٰن‬ َ ‫ف َما‬ ِ ‫فَ ِاذَآ ا ُ اح‬
‫ص َّن فَا اِن اَتَيانَ ِبفَاحِ شَة فَ َعلَ اي ِه َّن ِن ا‬
ُ ‫ص‬
Terjemah: “Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami),
tetapi melakukan perbuatan keji (zina), (hukuman) atas
mereka adalah setengah dari hukuman perempuan-perempuan
merdeka (yang tidak bersuami)”. (Q.S. An-Nisa’/4: 25)
5) Yang di-takhshish oleh Akal. Contohnya pada firman Allah dalam
surat ar-Ra’d ayat 16:
. . . ‫يء‬
‫ش ا‬ ‫ قُ ِل ه‬. . .
َ ‫ّٰللاُ خَا ِل ُق كُ ِل‬

Terjemah: “Katakanlah, “Allah pencipta segala sesuatu”.


(Q.S. Ar-Ra’d/13: 16)
Akal kita menetapkan bahwa Dia bukan Pencipta bagi Dzat-
Nya sendiri. Mentakhshish dengan akal di sini bukanlah berarti
memenangkan dalil akal daripada dalil syar’i tetapi merupakan
upaya mengompromikan keduanya, dikarenakan tidak adanya
kemungkinan untuk menggunakan dalil syara’ tadi menurut
keumumannya lantaran adanya pencegah yang mutlak (mani’un
qath’iyyun), yakni logika.
6) Yang di-takhshish oleh Indra. Yaitu apabila datang dalil syara’
dengan sifat umum, namun menurut indra bahwa yang dimaksud
dengan umum itu adalah sebagian satuannya, maka indra tersebut
telah berfungsi sebagai mukhashshish (pengkhusus) terhadap
keumuman itu. Contohnya pada firman Allah dalam surat an-Naml
ayat 23:

٢٣ ‫عظِ اي ٌم‬
َ ‫ش‬ َ ‫يء َّولَ َها‬
ٌ ‫ع ار‬ ‫ش ا‬ ‫ي َو َجداتُّ ا ام َراَة ا ت َ ام ِلكُ ُه ام َوا ُ اوتِ َي ا‬
َ ‫ت ِم ان كُ ِل‬ ‫اِنِ ا‬

Terjemah: “Sesungguhnya aku mendapati ada seorang


perempuan5 yang memerintah mereka (penduduk negeri
Saba’). Dia dianugerahi segala sesuatu dan memiliki
singgasana yang besar”. (Q.S. An-Naml/27: 23)

Di dalam ayat di atas, dilukiskan bahwa wanita tersebut


dianugerahi segala sesuatu, tetapi indra kita menetapkan bahwa
wanita itu tidak diberi segala sesuatu sebagaimana yang menjadi
milik Nabi Sulaiman as.

7) Yang di-takhshish oleh Siyaq. Siyaq adalah keterangan yang

5
Yang dimaksud dengan perempuan dalam ayat ini adalah Ratu Balqis yang memerintah
kerajaan Saba’ pada zaman Nabi Sulaiman a.s.
mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya. Contohnya
pada firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 163:
. . . ‫اض َرة َ ا البَح ِۘ ِار‬ ‫ع ِن ا القَ اريَ ِة الَّتِ ا‬
‫ي كَان ا‬
ِ ‫َت َح‬ َ ‫َوساـَٔ ال ُه ام‬

Terjemah: “Tanyakanlah kepada mereka tentang negeri6 yang


terletak di dekat laut”. (Q.S. al-A’raf/7: 163)

Dalam ayat tersebut dilukiskan bahwa yang dipertanyakan


adalah tentang keadaan negeri. Menurut siyaqul kalam bahwa yang
dimaksudkan dengan negeri itu merujuk kepada penduduknya.

3. Mekanisme Ke-khushush-an
Jika mekanisme keumuman didasarkan pada beberapa perangkat
kebahasaan, maka masih terdapat beberapa perangkat kebahasaan lain yang dapat
mengalihkan yang umum menjadi yang khusus, makna umum teks menjadi
khusus. “ke-khushush-an” secara bahasa terangkum dalam salah satu dari dua hal,
seperti yang dikatakan oleh ahli fiqh: pertama, kata dengan format umum, namun
maknanya tidak mencakup semua bagian yang ditunjukkan kata tersebut, tetapi
maknanya khusus. Kedua, kata yang menurut bentuk dan maknanya ‘amm, tetapi
hukum (pesan) yang ada dalam teks tidak tepat diterapkan pada acuannya (kata
tersebut).
Bentuk-bentuk lafaz khusus terbagi menjadi empat, yaitu:
1. Isim ‘alam, baik manusia seperti, Muhammad, Nuh, atau nama bagi benda
seperti tuffahah, misymisy, nama bagi buah yang terkenal, seperti buah
zaitun, buah tin, dan lain sebagainya.
2. Isim yang di ma’rifatkan dengan al-Lil ‘ahdi, seperti perkataan jā’a ar-
Rajuulu, dan kita maksudkan terhadap seorang lelaki tertentu yang
diketahui antara kita dan di antara orang yang diajak bicara.
3. Menentukan isim dengan menunjuknya, seperti perkataan dzalika, al-
qadim, atau hadza al-jalisu.
4. Bilangan yang dibatasi, meskipun lebih banyak dari dua, seperti tsalatsun
atau khamsun.

H. Kaidah Al-Khabar Dan Al-Insya’

6
Negeri dekat laut di sini adalah kota Eilah yang terletak di pantai Laut Merah, antara kota
Madyan dan Gunung Sinai.
1. Al-Khabar
Al-Khabar ialah pembicaraan yang mengandung kemungkinan benar atau
bohong, semata-mata dilihat dari pembicaraannya itu sendiri jika seseorang
mengucapkan suatu kalimat yang mempunyai pengertian yang sempurna, setelah
itu kita bisa menilai bahwa kalimat tersebut benar atau salah. Maka, kita bisa
menetapkan bahwa kalimat merupakan kalam khabar dikatakan benar jika
maknanya sesuai dengan realitas, dan dikatakan dusta (kadzab) jika maknanya
bertentangan dengan realitas.

Khabar dapat dipahami secara mendalam berdasarkan empat pendapat


berikut:

a. Khabar yang benar adalah yang sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya


adalah khabar yang bohong walaupun terdapat keyakinan lain dari
mutakallim. Pendapat itulah yang benar.
b. Pendapat al-Nidham (Mu’tazilah), bahwa khabar yang benar adalah yang
sesuai dengan keyakinan mutakallim, walaupun keyakinan itu salah.
Sebaliknya adalah khabar itu salah bila tidak diyakini, sekalipun
kenyataannya benar.
c. Pendapat al-Jâhid (pengikut al-Nidhâm), bahwa khabar yang benar adalah
yang sesuai dengan kenyataan dan keyakinan mutakallim.
d. Pendapat al-Raghib, mendukung pendapat al-Nidhâm.

Khabar ada kalanya berjumlah fi’liyah dan kadang ada yang berjumlah
ismiyah, yaitu:
a. Berjumlah fi’liyah. Ketika disusun untuk menyatakan kejadian yang
berlangsung pada waktu tertentu dan terbatas.
b. Berjumlah ismiyah. Ketika disusun semata-mata untuk menyatakan
tetapnya musnad atau khabar bagi musnad ilaih atau mubtadanya.

Fungsi Kalâm khabar adalah menyampaikan suatu informasi kepada


mukhathab (penerima), di mana informasi tersebut sama sekali belum diketahui
oleh mukhattab.

Maksud dan tujuan Kalâm khabar adalah:

a. Faidah al-khabar, yaitu memberi tahu orang yang diajak berbicara


mengenai isi pembicaraan tersebut atau menyampaikan pengetahuan
kepada mukhâthab tentang berita yang terkandung suatu kalimat, jika
ternyata mukhâthab belum mengetahuinya. Sama saja seperti kita
memberitahu suatu kabar yang belum diketahui pendengar.
Contohnya seperti pembicaraan guru dan murid dalam kegiatan
belajar dan mengajar.
b. Lazimah al-faidah, yaitu mutakallim memberitahukan kepada
mukhâthab bahwa mutakallim juga telah mengetahui berita yang
disampaikan.
Tujuan selain tujuan yang pokok yaitu adalah:
a. Istirham bermakna untuk dikasihi, seperti yang termaktub dalam
doanya nabi Musa dalam surah Al-Qashas ayat 24: “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku memerlukan suatu kebaikan yang engkau
turunkan kepadaku”.
b. Izharut Dha’fi berarti untuk menampakkan kelemahan. Seperti doa
Nabi Zakaria dalam surah Maryam ayat 4: “Ya tuhanku,
sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi
uban”.
c. Izhar al-tahassur, yaitu memperlihatkan penyesalan. Seperti doanya
Imran ketika mendapatkan anak perempuan dalam surah Ali Imran
ayat 36: “Ya tuhanku sesungguhnya aku melahirkan seorang anak
perempuan”.
d. Al-Fakhr bermaksud untuk kesombongan. “Dan katakanlah: yang
benar telah dating dan batil lenyap, sesungguhnya yang batil itu
adalah sesuatu yang pasti lenyap”. (Q.S. Al-Isra’/17: 81)

2. Pembagian Khabar
a. Khabar Ibtidai. Apabila mukhatab tidak mengetahui tentang berita tersebut
dan berita yang disampaikan tidak perlu menggunakan taukid (penguat).
ٌ ‫ أَب اُوكَ َم ِري‬Artinya: Ayahmu sakit.
Contoh: ‫اض‬
b. Khabar Thalabi. Apabila mukhathab ragu-ragu atau bingung mengenai
kebenaran suatu berita dan diharapkan mukhathab menjadi yakin akan
kebenaran berita tersebut. Berita yang disampaikan lebih baik menggunakan
ٌ ‫ ِإ َّن أَبَاكَ َم ِري‬Artinya: sesungguhnya ayahmu sakit.
taukid (penguat). Contoh: ‫اض‬
c. Khabar Inkari. Apabila mukhathab mengingkari kebenaran suatu pernyataan
yang disampaikan. Dalam khabar inkari harus menggunakan taukid
(penguat) lebih dari satu, tergantung tingkat keingkaran mukhathab. Contoh:
ٌ ‫ إِ َّن أَبَاكَ لَ َم ِري‬Artinya: sesungguhnya ayahmu sakit,‫اض‬
‫اض‬ ٌ ‫ َوهللاِ إِ َّن أَبَاكَ لَ َم ِري‬Demi
Allah, sesungguhnya ayahmu sakit.

1. Al-Insya’
Kata Insya’i, secara bahasa bermakna membangun, memulai, kreasi, asli,
menulis dan Menyusun. Merupakan bentuk Masdar dari insya’an. Menurut
pendapat lain, Al-Hasyimi mengatakan insya’ secara bahasa adalah mengadakan.
Dan pengertiannya secara istilah merupakan kebalikan dari pengertian khabar.
Yakni setelah kalimat itu dituturkan, maka tidak bisa dinilai/bernilai benar dan
salah (dusta). Misalnya jika ada seseorang yang mengatakan isma’ (dengarlah),
maka kalimat ini tidak sama sekali mengandung nilai benar dan salah.

Menurut terminologi, kalam insya’i adalah kalimat yang mengandung


unsur kebenaran bukan kesalahan (kedustaan) pada dirinya.

2. Pembagian Kalam Insya’i


Secara umum, insya’ terbagi menjadi dua:

a. Insya’ Thalabi. Yaitu kalimat yang menghendaki suatu permintaan, atau


kalimat yang menuntut terjadinya sesuatu, seperti kalimat amr (perintah),
nahi (larangan), istifham (kalimat tanya), nida (kalimat panggilan).
Menurut pakar ilmu Balaghah, insya’ thalabi adalah suatu kalam
yang menghendaki adanya tuntutan yang tidak terwujud ketika kalam itu
diucapkan.
Kalam-kalam yang dikategorikan sebagai insya’ thalabi ada 5 (lima):
1) Amr (perintah). Dalam ilmu balaghah, Amr adalah kalam yang
menghendaki tuntutan, dari yang lebih tinggi kedudukannya, kepada
yang lebih rendah.

Untuk Menyusun sebuah kalam amr, ada empat shigah yang


biasa digunakan:
• Fi’il al-Amr. Semua kata kerja yang fi’il amr termasuk kategori
thalabi. Contoh: َ‫الرسُو َل لَعَلَّ ُك ام ت ُ ار َح ُمون‬
َّ ‫الزكَاة َ َوأَطِ يعُوا‬ َّ ‫أَقِي ُموا ال‬
َّ ‫ص َالة َ َوآتُوا‬
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada
Rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
• Fi’il mudhari’ yang disertai lam amr. ٰٓ ‫علَ اي ِه ِر ازقُ ۥهُ فَ اليُنف اِق مِ َّما‬
َ ‫َو َمن قُد َِر‬
َّ ُ‫“ َءات َٰىه‬Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah
ِۚ ُ‫ٱّلِل‬
berinfak dari apa yang Allah berikan kepadanya”.
• Isim fi’il amr. Kata Isim yang bermakna kata kerja. Misalnya
َّ ‫علَى ال‬
ِ‫صالَة‬ َ ‫ي‬
َّ ‫ َح‬Pada kata hayya artinya ‘marilah’.
• َ ٰ ‫ض ٰى َربُّكَ أ َ َّْل ت َ اعبُد ُٰٓو ۟ا ِإ َّْلٰٓ ِإيَّاهُ َو ِبٱ ال ٰ َو ِلدَي ِان ِإ اح‬
Mashdar pengganti fi’il. ‫س انا‬ َ َ‫َوق‬
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar tidak menyembah
kepada selainnya. Dan berbuat baiklah kepada orang tua
dengan sebaik-baiknya”.
2) Nahi (larangan). Kata ini bermakna menahan dan menentang, atau
untuk meninggalkan sesuatu yang datang dari atas kepadanya. Pada
dasarnya Nahi adalah fi’il mudhari’ yang didahului lam amr.
Sedangkan secara terminologi menurut ilmu balaghah, lam amr adalah
tuntutan meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi.
‫سبِ ا‬
Contohnya: ‫يال‬ َ ‫سا ٰٓ َء‬ َ ِ‫ٱلزن ٰ َٰٓى إِنَّهُۥ َكانَ ٰفَح‬
َ ‫شةا َو‬ ۟ ‫“ َو َْل ت َ اق َرب‬Dan janganlah kalian
ِ ‫ُوا‬
mendekati zina, karena sesungguhnya ia adalah perbuatan yang keji
dan jalan yang buruk.”
3) Istifham (pemahaman/pengertian). Dalam ilmu balaghah, Istifham
adalah menuntut pengetahuan akan sesuatu yang sebelumnya tidak
diketahui. Atau bahasa mudahnya adalah kalimat tanya. Kata istifham
yang digunakan adalah ‫ أَي‬،‫ أَنَّى‬، َ‫ أَيان‬،‫اف‬
َ ‫ َكي‬، َ‫ أَيَّان‬،‫ َك ام‬،‫ َمت َى‬،‫ أ‬،‫ َه ال‬،‫ َم ان‬،‫ َما‬.
4) Tamanni. Yaitu menuntut sesuatu yang diinginkan, tetapi tuntutan itu
sulit terjadi atau bahkan mustahil terjadi. Jika tuntutan itu mudah dan
mungkin terjadi, disebut tarajji. Contoh: ‫ٱ َّلذِينَ ي ُِريدُونَ ٱ ال َح َي ٰوة َ ٱلدُّ ان َيا ٰ َي َلياتَ َلنَا ِم اث َل‬
َ ‫ِى ٰقَ ُرو ُن إِنَّ ۥهُ لَذُو َحظ‬
‫عظِ يم‬ َ ‫“ َما ٰٓ أُوت‬Berkatalah orang-orang yang menginginkan
kehidupan dunia, ‘moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa
yang diinginkan qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai
keberuntungan yang besar.”
5) Nida (panggilan). Dalam ilmu balaghah, Nida adalah tuntutan
mutakallim yang menghendaki seseorang untuk menghadapnya.
Huruf-huruf yang digunakan ada 8 (delapan): ‫ هيا – يا – ا –أ‬- ‫اي – ا – ايا‬
‫وا‬. Hamzah dan ay untuk panggilan jarak dekat, sedangkan yang
lainnya untuk panggilan jarak jauh. Dan terkadang panggilan jarak jauh
diposisikan seperti panggilan jarak dekat karena sangat menginginkan
kehadiran mukhattab, maka seolah-olah mukhattab seperti orang yang
hadir bersamanya.
b. Insya’ Ghairu Thalabi
1) Ta'ajjub (kekaguman)
2) Mad (pujian) ad-Dzam (celaan)
3) Qasam (sumpah)
4) Raja’ (pengharapan)
I. Kaidah Isim Ma’rifah Dan Isim Nakirah
1. Isim Ma’rifah
Isim Ma’rifah yaitu kata benda yang mengindikasikan suatu hal yang jelas
dan tertentu. Contoh dari isim ma’rifah adalah kata ‫( عمر‬si Umar) da ‫( فتمة‬si
Fatimah), yang mana dua kata ini menunjukkan pada sesuatu/seseorang yang
sudah jelas dan diketahui maksudnya secara khusus.
2. Penggunaan Isim Ma’rifah
Penggunaan isim ma’rifah (ta’rif) mempunyai beberapa fungsi di
antaranya sebagai berikut:
a. Ta’rif dengan isim damir (kata ganti) karena keadaan menghendaki baik
damir mutakallim, mukhtab ataupun ga’ib. Contoh pada surat al-Hasyr ayat
23: ‫ْل ا ِٰلهَ ا َِّْل ه َُو‬ ‫ّٰللاُ الَّذ ا‬
ٰٓ َ ‫ِي‬ ‫ه َُو ه‬.
b. Ta’rif dengan ‘alamiyah (nama). Contoh terdapat pada surat al-Fath ayat
ِ َّ ‫ ُم َح َّمدٌ َرسُو ُل‬.
29: ‫ّٰللا‬
c. Ta’rif dengan isim isyarah (kata tunjuk). Contoh terdapat pada Lukman
ayat 31: ‫ّٰللا فَأ َ ُرونِي َماذَا َخلَقَ الَّذِينَ ِم ان دُونِ ِه‬
ِ َّ ‫ َهذَا َخ ال ُق‬.
d. Ta’rif dengan isim mausul (kata ganti penghubung). Contoh seperti pada
surat al-Ankabut ayat 29: ‫ َوالَّذِينَ َجا َهدُوا فِينَا لَنَ اه ِديَنَّ ُه ام سُبُلَنَا‬.
e. Ta’rif dengan alif-lam (al) Contoh seperti pada surat al-Maidah ayat
3: ‫ا ال َي او َم أ َ اك َم التُ لَكُ ام دِينَكُ ام‬.

1. Isim Nakirah
Isim Nakirah diartikan sebagai kata benda yang mengindikasikan suatu
hal yang tidak tentu atau masih bersifat umum. contoh dari isim nakirah ‫رجل‬
(seorang laki-laki) dan ‫( قلم‬sebuah pulpen), yang mana dua kata tersebut tidak
mengindikasikan laki-laki atau sebuah pulpen yang khusus dan tertentu. Dengan
kata lain masih bersifat umum.

2. Penggunaan Isim Nakirah


Isim nakirah memiliki beberapa fungsi diantarnya sebagai berikut:
a. Menunjukkan makna tunggal. Contoh terdapat pada surat Al-Baqarah ayat
163: ٌ‫“ َوا ِٰل ُهكُ ۡم ا ِٰلهٌ َّواحِ د‬Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.”
Kata ‫( اله‬Tuhan) pada ayat mengindikasikan makna tunggal. Hal ini
dikuatkan dengan konteks ayat yang membahas tentang keesaan Allah
SWT. Hal ini dijelaskan dengan kata selanjutnya yaitu ‫ واحد‬yang berarti
esa atau tunggal.
b. Menunjukkan jenis. Contoh terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 4: ‫َما َج َع َل‬
‫ّٰللاُ ِل َر ُجل ِم ان قَ البَي ِان فِ ا‬
‫ي َج اوفِه‬ ‫“ ه‬Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati
dalam dadanya”.

Pada ayat terdapat kata ‫( رجل‬seorang laki-laki), makna ayat yaitu


tidaklah Allah SWT memberikan kepada jenis laki-laki atau seorang saja
dari mereka dua hati dalam dirinya.
c. Menunjukkan hal yang besar dan agung. Contoh terdapat dalam surat Al-
ۡ َ‫ّٰللاُ يَ ِعدُكُ ۡم َّم ۡغف َِرة ا ِم ۡنهُ َوف‬
Baqarah ayat 268: ‫ض اال‬ ‫“ َو ه‬Allah menjanjikan ampunan dan
karunia-Nya kepadamu”.

Pada ayat di atas terdapat kata ‫( مغفرة‬ampunan), yaitu menunjukkan


betapa agung ampunan yang berasal dari Allah tersebut. Karena kata
tersebut diiringi dengan penisbahan kepada Allah. Karena agungnya Allah
SWT, maka segala yang dinisbahkan kepada-Nya pun menjadi agung
d. Menunjukkan hal yang banyak. Contoh terdapat dalam surat Al-Mursalat
ayat 26: ‫“ اَحا يَ ۤا اء َّوا َ ام َوات ا ٍۙا‬Bagi yang masih hidup dan yang sudah mati”.

Pada ayat ini terdapat dua kata, yaitu ‫ ( ا َ احيَ ۤا اء‬yang hidup) dan ‫ا َ ام َوات ا ٍۙا‬
(yang mati), kedua kata ini merupakan isim nakirah yang berfungsi
menunjukkan jumlah banyak. Maka makna ayat yaitu bumi menghimpun
banyak sekali baik orang-orang yang hidup maupun yang sudah mati.
e. Menunjukkan hal yang remeh dan rendah. Contoh terdapat pada surat Ar-
ٰ ‫“ َو َما ا ال َح ٰيوة ُ الدُّ ان َيا فِى ا‬padahal kehidupan dunia
Ra’ad ayat 26: ٌ‫اْلخِ َر ِة ا َِّْل َمت َاع‬
hanyalah kesenangan (yang sedikit)”.

Pada ayat ini terdapat kata ٌ‫( َمت َاع‬kesenangan), maksudnya yaitu
kesenangan yang semu dan rendah karena kesenangan tersebut hanya
sementara saja. Ini menunjukkan bahwa kata tersebut mengandung makna
perendahan (at-tahqir).
f. Menunjukkan hal yang sedikit. Contoh terdapat dalam surat Al-Hijr ayat
48: َ‫صبٌ َّو َما هُ ام ِم ان َها بِ ُم اخ َر ِجيان‬ ُّ ‫“ َْل يَ َم‬Mereka tidak merasa lelah di
َ َ‫س ُه ام فِ اي َها ن‬
dalamnya dan mereka tidak akan dikeluarkan darinya”.

Makna ayat di atas yaitu di Surga nanti setiap orang akan


mendapatkan kenikmatan tanpa harus bersusah payah sedikitpun dalam
memperolehnya. Kata ٌ‫صب‬
َ َ‫( ن‬kelelahan), di sini mengindikasikan makna
yang sedikit (at-taqlil) yaitu tidaklah mereka mendapat kelelahan
sedikitpun di dalamnya.
J. Kaidah Isim Mufrad Dan Isim Jama’
1. Isim Mufrad
Isim mufrad adalah kata benda yang menunjukkan makna tunggal atau satu,
bukan dua ataupun jamak. Jadi, setiap kata benda dalam bahasa Arab yang
memiliki jumlah satu seperti seekor, seorang, maupun sebuah, maka itu adalah
yang disebut dengan isim mufrad. Adapun jika maknanya lebih dari satu maka
itu adalah jamak.

2. Ciri-ciri Isim Mufrad


Ciri-ciri isim mufrad yang membedakannya dengan isim yang lainnya bisa
dilihat dari harakat dan huruf yang menyertainya. Berikut merupakan ciri-ciri
isim mufrad yang bisa ditemukan dalam lafaz-lafaznya.
a. Tanda yang Dimiliki adalah Tanwin atau Alif Lam. Contoh: ‫غنَم‬
َ (seekor
kambing), ‫( ا َ ْلغَنَام‬seekor kambing itu).
b. Tidak Punya Tanda Tatsniyah atau Jamak. Tanda yang dimiliki isim
tatsniyah adalah adanya alif tatsniyah ketika rofa’ dan ya’ tatsniyah ketika
nashob dan jer. Sedangkan tanda yang dimiliki isim jamak adalah wau
jamak untuk jamak mudzakkar salim dan alif ta ta’nits untuk jamak
muannas salim. Contoh isim mufrad: ‫( ُمؤا مِ ٌن‬satu mukmin laki-laki) atau
ٌ‫( ُمؤا ِمنَة‬satu mukmin perempuan). Contoh isim tatsniyah: ‫ َمؤا ِمنَي ِان‬/‫َان‬
ِ ‫( ُمؤا ِمن‬dua
mukmin laki-laki) atau ‫َان‬
ِ ‫( ُمؤا ِمنَت‬dua mukmin perempuan. Contoh isim
jamak: َ‫ ُمؤا مِ نِيان‬/ َ‫( ُمؤا ِمنُ اون‬banyak mukmin laki-laki) atau ٌ‫( ُمؤا ِمنَات‬banyak
mukmin perempuan).

1. Isim Jama’
Istilah jama’ sebenarnya sudah diserap dalam bahasa Indonesia (jamak)
yang artinya kata yang mengandung makna jumlah lebih dari dua. Istilah jamak
bahasa Indonesia dengan jama’ dalam bahasa Arab terdapat perbedaan yaitu
jamak dalam bahasa Indonesia berarti lebih dari satu, sedangkan dalam bahasa
Arab mengandung pengertian jumlah lebih dari dua. Begitu pula dalam
perubahannya, isim dalam bahasa Arab dapat berubah jumlah komposisinya
melalui penambahan huruf maupun perubahan harakat. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia dengan menambahkan kata tertentu yang menunjukkan arti banyak
seperti menggunakan tambahan kata “para” maupun pengulangan kata “siswa-
siswa”.

2. Pembagian Isim Jama’


a. Jamak Muzakkar Salim (‫)جمع مذكرسالم‬
Isim Jamak Muzakkar Salim adalah jamak yang dibentuk dari isim
mufradnya yang digunakan untuk menunjukkan jenis laki-laki. Cara
membuat pola jamak muzakkar salim = Isim Mufrod + َ‫ يان‬/ َ‫ون‬.
‫ا‬

Perhatikan contoh berikut ini: ‫ اونَ = ُمؤا مِ نُ اون‬+ ‫ ُمؤا ِم ٌن‬, َ‫ اونَ = ُم اس ِل ُم اون‬+ ‫ ُم اس ِل ٌم‬.

Perhatikan kalimat berikut: ‫س ا ال ُم اس ِل ُم اونَ فِي ا ال َمس ِاج ِد‬


َ َ‫ َجل‬, ‫ِس َم َع ال ُمؤا ِمنِيان‬
‫إِجا ل ا‬

Ingat ya:

- َ‫ اون‬digunakan saat isim mufrod berposisi sebagai pelaku / subjek.


- َ‫ يان‬digunakan saat isim mufrod berposisi sebagai objek.
- Apabila kamu menemui sebuah isim dengan pola ,ٌ‫ ُم افت َ ِعل‬,ٌ‫ ُم اف ِعل‬,ٌ‫فَا ِعل‬
‫ َم افعُ او ٌل‬,ٌ‫ ُمفَا ِعل‬maka dapat dipastikan bahwa isim itu bisa dijadikan
jamak muzakkar salim.
b. Jamak Muannats Salim (‫)جمع مؤنث سالم‬
Isim jamak muannats salim adalah jamak yang dibentuk dari isim
mufradnya yang digunakan untuk menunjukkan jenis perempuan. Cara
membuat pola jamak muannats salim = Isim Mufrad + ‫ ات‬/ ُ‫ات‬.
Perhatikan contoh berikut ini: ‫ اتُ = ُم اس ِل َمات‬+ ٌ‫ُم اس ِل َمة‬ ٌ‫ اتُ = ُمؤا مِ نَات‬+ ٌ‫ ُمؤا مِ نَة‬.

Perhatikan kalimat berikut: ‫ت ُمؤا ِمنَاتُ في البيت‬ َ َ‫َجل‬


‫س ا‬ َ َ‫ن‬.
ِ ‫ظ ارتُ المسل َما‬
‫ت‬

Ingat ya:

- ُ‫( ات‬ta' berposisi dhommah) digunakan saat isim mufrad berposisi


sebagai pelaku / subjek.
- ‫ت‬
ِ ‫( ا‬ta' berposisi kasrah) digunakan saat isim mufrad berposisi sebagai
objek.
- Apabila kamu menemui sebuah isim dengan pola ,ٌ‫ ُم افت َ ِعل‬,ٌ‫ ُم اف ِعل‬,ٌ‫فَا ِعل‬
‫ َم افعُ او ٌل‬,ٌ‫ ُمفَا ِعل‬maka dapat dipastikan bahwa isim itu bisa dijadikan
jamak muannats salim.

c. Jamak Taksir )‫( َج امع الت َ اك ِسيار‬


Jamak taksir merupakan jamak yang berubah dari bentuk mufradnya
secara tidak beraturan. Berbeda dengan jamak muzakkar salim dan
muannats salim, jamak taksir tidak memiliki pola baku, sehingga bentuk
jamak taksir tidak dapat dikarang secara bebas. Cara efektif guna
mengetahui jamak taksir dari suatu kata adalah dengan mencarinya di
dalam kamus.
Isim yang menunjukkan makna jumlah lebih dari dua dengan cara
merubah bentuk mufradnya. Contoh perubahan isim mufrad ke jamak
taksirnya:

‫( = َرسُ او ٌل‬seorang rasul), menjadi ‫( = ُرسُ ٌل‬rasul-rasul)

َ = (seorang alim), menjadi ‫( = عُلَ َما ُء‬orang-orang alim)


‫عا ِل ٌم‬

‫( = َر ُج ٌل‬seorang laki-laki), menjadi ‫( = ِر َجا ٌل‬para laki-laki)

K. Kaidah Dhamir
1. Dhamir
Secara etimologis, dhamir berasal dari kata dasar adh-dhumur yang berarti
kurus kering, sebab, dilihat dari segi bentuknya memang terlihat ringkas dan
kecil. Kata dhamîr juga bisa diambil dari kata al-idhmâr, yang berarti
tersembunyi, sebab banyak yang tidak tampak bentuk nyatanya. Sedangkan,
secara terminologis, dhamîr adalah lafaz yang digunakan sebagai pengganti, baik
kata ganti orang pertama (dhamîr mutakallim), orang kedua (dhamîr mukhattab),
maupun orang ketiga (dhamîr ghâîb).

2. Pembagian Dhamir
Dhamîr secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian:
a. Dhamîr barîz, yaitu dhamîr yang bentuknya berwujud lafaz. Dhamîr barîz
ini dapat dibagi lagi menjadi dua bagian:
1) Dhamîr muttashil, yaitu dhamîr yang tidak dapat digunakan sebagai
mubtada’ dan tidak dapat pula jatuh setelah illa (istitsna), kecuali
dalam keadaan terpaksa.
2) Dhamîr munfashil, yang merupakan kebalikan dari yang pertama,
yaitu dhamîr yang dapat digunakan sebagai mubtada’ dan dapat jatuh
setelah illa dalam keadaan apapun. Dhamîr jenis ini dibagi 24
macam. 12 dalam keadaan marfu’, yaitu: anâ, nahnu, anta, anti,
antumâ, antum, antunna, huwa, hiya, humâ, hunna, dan hum. Dan 12
lagi dalam keadaan manshûb, yaitu: iyyâya; iyyânâ; iyyâka; iyyâki;
iyyâkumâ; iyyakum; iyyâkunna; iyyâhu; iyyâhâ; iyyâhumâ; iyyahum;
dan iyyaâhunna.
b. Dhamir mustatîr, yaitu dhamîr yang tersembunyi. Dhamîr mustatîr ini juga
dapat dibagi menjadi dua bagian:
1) Dhamîr mustatîr wujûb, yaitu dhamîr yang harus disimpan. Dhamîr
jenis ini berada dalam enam tempat, di antaranya:
a) Fi’il mudhâri’ yang disandarkan kepada mutakallim, baik
mufrad maupun jamak.
b) Fi’il amr dan mudhâri’ yang disandarkan kepada dhamîr
mufrad mudzakkar mukhattab.
c) Isim fi’il yang disandarkan kepada dhamîr mutakallim atau
mukhattab.
d) Fi’il ta’ajjub yang mengikuti wazan mâ af’ala.
e) Fi’il yang dipakai untuk mengecualikan (fi’il istitsna’).
f) Mashdar yang berfungsi sebagai pengganti fi’l.

2) Dhamîr mustatîr jawâz, yaitu dhamîr yang pada tempat dhamîr


tersebut dapat ditempati oleh isim zhâhir. Dhamîr jenis ini bertempat
pada fi’il yang disandarkan kepada mufrad mudzakkar ghâib dan
mufrad muannats ghâibah.

Untuk jenis dhamîr yang disebutkan pertama (dhamîr mutakallim) meliputi


anâ (saya) dan nahnu (kami). Kata ganti untuk orang pertama dalam bahasa Arab
tidak mempunyai identitas gender. Artinya bahwa kata anâ merupakan kata ganti
orang pertama tunggal yang dapat digunakan untuk laki-laki dan perempuan.
Demikian pula kata nahnu, dijadikan untuk kata ganti orang pertama, tetapi untuk
menyebutkan lebih dari satu orang, baik laki-laki ataupun perempuan. Contohnya
adalah seperti terdapat dalam Q.S. Al-Hijr/15: 9.

Sedangkan untuk jenis yang disebutkan kedua (dhamîr mukhattab) dapat


dibagi menjadi tiga macam: (1) kata ganti untuk orang kedua tunggal, baik laki-
laki (mufrad mudzakkar mukhattab), meliputi anta dan ka, seperti terdapat dalam
Q.S. Al-Mâidah/5: 24 dan Q.S. Al-Baqarah/2: 129, serta perempuan (mufrad
muannats mukhattab), meliputi anti dan ki, seperti terdapat dalam Q.S. An-
Naml/27: 42. (2) kata ganti orang kedua untuk dua orang (mutsanna mukhattab),
baik keduanya laki-laki, keduanya perempuan, atau satu laki-laki dan satunya
perempuan, meliputi antumâ dan kumâ, baik yang tampak (zhahîr) maupun yang
tersembunyi (mustatîr), seperti terdapat dalam Q.S. Al-A’râf/7: 19. Dan (3) Kata
ganti orang kedua jamak, baik untuk laki-laki (jama’ mudzakkar mukhattab)
maupun untuk perempuan (jama’ muannats mukhattab), meliputi antum dan kum,
serta antunna dan kunna, seperti terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 187.

Sementara itu, untuk jenis yang disebutkan terakhir (dhamîr ghâib) juga
dapat dibagi menjadi tiga macam: (1) kata ganti untuk orang ketiga tunggal, baik
untuk laki-laki (mufrad mudzakkar ghâib) yang biasa disimbolkan dengan kata
hu atau hi pada akhir kata seperti terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 29, atau
untuk perempuan (mufrad muannats ghâib) yang biasa disimbolkan dengan kata
hiya, atau menambahkan huruf hâ pada akhir kata, seperti dalam Q.S. Al-
Baqarah/2: 271. (2) kata ganti orang ketiga yang menunjukkan dua orang
(mutsanna ghâib), baik keduanya laki-laki, perempuan, atau seorang laki-laki dan
seorang perempuan, biasa disimbolkan dengan humâ, seperti terdapat dalam Q.S.
At-Taubah/9: 40. Dan (3) kata ganti orang ketiga jamak, baik laki-laki (jama’
mudzakkar ghâib) yang disimbolkan dengan kata hum, seperti dalam Q.S. Al-
Baqarah/2: 8, ataupun perempuan (jama’ muannats ghâibah) yang biasa
disimbolkan dengan hunna, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 187.

3. Fungsi Dhamir
Sebagaimana telah disinggung pada awal pembahasan ini bahwa fungsi
dhamîr adalah untuk mempersingkat (li al-ikhtishâr) suatu kalimat. Atau dengan
kata lain bahwa dhamîr dibutuhkan untuk menggantikan penyebutan kata-kata
yang banyak dan menempatinya tanpa harus mengubah makna yang dimaksud.
َ َ‫ا‬
‫عدَّ ه‬
Hal ini seperti ditunjukkan oleh firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzâb/33: 35: ُ‫ّٰللا‬
َ ‫“ لَ ُه ام َّم اغف َِرة ا َّواَج اارا‬Untuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala
‫عظِ اي اما‬
yang besar”.
َ ‫عد للا لَه ْم م ْغف َِرة َوأَجْرا‬
Dhamîr (‫ )ه ْم‬yang terdapat pada ayat ‫عظِ يْما‬ َ َ‫أ‬
menggantikan 20 kata7 yang disebutkan sebelumnya. Seandainya dhamîr tersebut
tidak ada, maka secara kuantitas, kalimat yang terdapat pada ayat tersebut akan
semakin panjang dan dapat dikatakan kurang efisien.

L. Kaidah Isim Dan Fi’il


1. Isim
Isim (kata benda) adalah kata yang menunjukkan benda, nama, sifat, tempat
atau kata kerja yang dibendakan. Contohnya, kata samaawaat, al-ardh, ar-
rahmah, yaum al-qiyamah, dan alladzina pada surah al-An’am ayat 12 berikut:

َ ‫الرحا َمةَ ٍّۗ لَيَجا َمعَنَّكُ ام ا ِٰلى يَ او ِم ا ال ِق ٰي َم ِة َْل َري‬


‫اب فِ اي ٍّۗ ِه‬ َّ ‫ع ٰلى نَ اف ِس ِه‬ ِ ‫ض قُ ال ِ ه‬
َ ‫ّلِل ٍّۗ َكت‬
َ ‫َب‬ َ ‫ت َو ا‬
ٍّۗ ِ ‫اْل ار‬ ِ ‫قُ ال ِل َم ان َّما فِى السَّمٰ ٰو‬
١٢ َ‫س ُه ام فَ ُه ام َْل يُؤا مِ نُ اون‬َ ُ‫اَلَّ ِذيانَ َخس ُِر آٰوا ا َ انف‬

Terjemah: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Milik siapakah apa yang di


langit dan di bumi?” Katakanlah, “Milik Allah.” Dia telah menetapkan
(sifat) kasih sayang pada diri-Nya.8 Sungguh, Dia pasti akan
mengumpulkan kamu pada hari Kiamat yang tidak ada keraguan padanya.
Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman”. (Q.S. al-
Anʻam/6: 12)

ِ ‫اْل ِٰش ٰع‬ ِ ِ ِ ٰ ‫الصِِِبين و‬ ِ ِ ٰ ‫الص ِدقِْي و‬ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِِ ِ


‫ت‬ ْ ‫ْي َو‬ َ ْ ‫الصِ ِٰبت َوا ْْلٰشع‬ َ َ ْ ٰ ‫الصد ٰقت َو‬ َ َ ْ ٰ ‫ْي َوالْقٰنتٰت َو‬
َ ْ ‫ْي َوال ُْم ْؤمنٰت َوالْقٰنت‬ َ ْ ‫ا َّن ال ُْم ْسلم‬
َ ْ ‫ْي َوال ُْم ْسل ٰمت َوال ُْم ْؤمن‬
7

ۤ
.‫ت اَعَ َّد ٰاّللُ ََلُْم َّمغْ ِفَرةً َّواَ ْج ًرا عَ ِظْي ًما‬ ٰ ‫الذكِ ِرين ٰاّلل َكثِْيا َّو‬
ِ ‫الذكِ ٰر‬ ٰ ِ ِ ِ ِ ِ ٰ ‫الص ۤا ِٕى ِمْي و‬ ِ ِ َ‫والْمتَص ِدقِْي والْمت‬
ًْ َ َ ْ ‫ْي فُ ُرْو َج ُه ْم َوا ْْلٰفظٰت َو‬
َ ْ ‫الص ِٕى ٰمت َوا ْْلٰفظ‬ َ َ ْ َّ ‫صد ٰقت َو‬ َ ُ َ َْ َ ُ َ

8
Allah Swt. telah berjanji, sebagai tanda kemurahan-Nya, bahwa Dia akan melimpahkan rahmat
kepada makhluk-Nya.
2. Ciri-ciri Isim
a. Kalimat yang berharakat tanwin. Contohnya, kata ٌ‫َار َحا ِم َية‬
ٌ ‫( ن‬Al Qaari'ah/101:
11).
b. Kalimat yang dimasuki alif dan lam (‫)ال‬. Contohnya, ٣ ٍّۗ ُ‫عة‬ ِ َ‫َو َما ٰٓ اَد ٰارىكَ َما ا الق‬
َ ‫ار‬
٥‫ش‬ ِ ٍۙ ‫اش ا ال َم ابث ُ او‬
ٍّۗ ِ ‫ َوتَكُ او ُن ا ال ِجبَا ُل َكا ال ِع اه ِن ا ال َم انفُ او‬٤ ‫ث‬ ِ ‫اس َكا الف ََر‬
ُ َّ‫يَ او َم يَكُ او ُن الن‬.
c. Kalimat yang dimasuki atau didahului oleh huruf jarr (khafad) atau huruf
qosam. Contohnya, kata rabbihi yang didahului illa pada (An Nabaa'/78:
39) dan kata al-naʻim yang didahului ʻan (At-Takaatsur/102: 8) dan kata
Al-‘Ashr didahului huruf qosam (waw) (Al-‘Ashr/103: 1).

3. Penggunaan Isim
Di dalam kaidah bahasa Arab, kata isim bukan hanya merujuk pada kata
benda, melainkan juga mencakup kata sifat, keadaan, kata ganti, kata tunjuk,
nama, dan mashdar (kata dasar). Secara umum, pola-pola penggunaan kata isim
di dalam Alquran dapat diklasifikasikan menjadi tujuh macam, yaitu:
a. Mudzakkar (laki-laki) dan muʼannats (perempuan). Contohnya, kata Isa
(mudzakkar) dan Maryam (muʼannats) dalam (Maryam 19:34), kata
dzarrah (muʼannats) (Az-Zalzalah 99:7), kata al-nafs, al-anf, al- udzun, dan
al-sinn, (semuanya muʼannats) dalam (Al-Ma'idah 5:45).

b. Mufrad, mutsanna dan jamak (tunggal, dua, dan banyak). Contohnya, kata
ahad (mufrad) dalam (Al Ikhlash/112: 1), kata jannatān (mutsanna) dalam
(Ar Rahmaan/55: 46), dan kata arbab (jamak taksir) juga muʼminun (jamak
mudzakkar salim) dalam (Ali Imran/3: 64).

c. Nakirah (umum) dan Maʻrifat (khusus). Contohnya, isim nakiroh kata


rajulun pada (Al-Qashash/28: 20), dan kata dzikrun pada (Shaad/38: 49).

d. Munsharif (bertanwin) dan Ghair munsharif (tidak bertanwin). Contohnya,


kata waliyyan dan nashiran (tanwin) dalam (An-Nisa’/4: 75) dan kata
shafraʼu (tidak bertanwin) dalam (Al-Baqarah/2: 69).

e. Maqshur (diakhiri alif maqshurah) Dan Manqush (diakhiri ya’). Harakat


akhir isim ini tidak berubah, meskipun kedudukan isim itu berubah, baik
rafaʻ, nashab, atau jarr. Contoh isim maqshur ialah kata shafā (Al-
Baqarah/2: 158), serta kata Musa dan ‘Isa dalam (Ali ‘Imran/3: 84) .
f. Jamid (Baku) dan Musytaqq (Turunan). Jamid ialah isim yang baku, tidak
diturunkan dari kata dasar. Contoh isim jamid (baku) ialah kata hijarah dan
sijjil dalam (Al-Fiil/105: 4).

g. Muʻrab (menerima iʻrab) dan Mabni (tidak menerima iʻrab). Muʻrab ialah
isim yang menerima perubahan harakat akhir, sedangkan mabni ialah yang
tidak menerima perubahan harakat/bunyi di akhir kata. Contoh isim muʻrab
ialah kata khairun, khairan dan khairin dalam (Ad-Duha/93: 4), (Al-
Baqarah/2: 158), dan (Al-Baqarah/2: 272).

1. Fi’il
Fiʻil (kata kerja) adalah kata yang menunjukkan perbuatan yang terikat
oleh waktu tertentu. Ditinjau dari waktu peristiwa perbuatan, fiʻil dibagi
menjadi 3 (tiga), yaitu: fiʻil madhi (perbuatan di kala lampau), fiʻil mudhari
(perbuatan di kala sedang/akan), fiʻil amr (perintah berbuat sesuatu).
2. Ciri-ciri Fi’il
Ciri-ciri fi’il adalah didahului oleh Qad, huruf sin, saufa, dan huruf ta’ yang
di-sukun dan menunjukkan perempuan sebagai pelakunya. Adapun perinciannya
sebagai berikut:
a. Qad (‫)قَدا‬
Qod digunakan pada dua jenis fi’il, yaitu pada fi’il madhi dan fi’il
mudhari’, Jika masuk pada fi’il madhi, maka makna yang ditunjukkan
olehnya adalah at-tahqiq (penegasan). Contoh pada surah Al-
Mu’minun/23: 1 berikut: ٍۙ َ‫“ قَدا ا َ افلَ َح ا ال ُمؤا ِمنُ اون‬Sungguh, beruntunglah orang-
orang mukmin”.
Adapun apabila Qod masuk pada fi’il mudhari, maka makna yang
ditunjukkan adalah at-taqlil (menunjukkan sedikit/jarang atau kadang-
kadang). Contoh pada surah Al-Ahzab/33: 18 berikut:‫ّٰللاُ اال ُمعَ ِوقِيانَ ِم انكُ ام‬
‫قَدا يَ اعلَ ُم ه‬
“Sungguh, Allah mengetahui para penghalang (untuk berperang) dari
(golongan)-mu”.
b. Sin (‫ )س‬dan Saufa (‫ف‬
َ ‫س او‬
َ )
Sin dan saufa hanya masuk pada fi’il mudhari’. Kedua huruf ini
menunjukkan makna tanfis, yang berarti di-istiqbal (makna: masa yang
akan datang). Ada perbedaan di antara kedua huruf itu. Kata Sin (‫)س‬
dipakai untuk masa akan datang yang sudah dekat, sedangkan Saufa
(‫ف‬
َ ‫س او‬
َ ) masa akan datang yang masih jauh.
Contoh Sin (‫ )س‬pada surah Al-Baqarah/2: 142 berikut: ‫سفَ َه ۤا ُء‬
ُّ ‫سيَقُ او ُل ال‬
َ
ِ َّ‫“ ِمنَ الن‬Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan
‫اس‬
berkata”. Adapun contoh Saufa (‫ف‬ َ ) pada surah Al-An’am ayat 67: ‫ِل ُك ِل‬
َ ‫س او‬
َ‫ف ت َ اع َل ُم اون‬ َ ‫“ نَبَا ُّم استَقَ ٌّر َّو‬Setiap berita (yang dibawa oleh rasul) ada (waktu)
َ ‫س او‬
terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui”.
c. Ta’ ta’nist sakinah (‫)تاء التأنيث السكينة‬
Ta’ ta’nits sakinah (huruf ta’ yang di-sukun dan menunjukkan
perempuan sebagai pelakunya. Huruf ini hanya masuk pada fi’il madhi.
Tujuan diletakkan huruf ini pada fi’il madhi untuk menunjukkan bahwa
pihak yang melakukan pekerjaan itu adalah jenis perempuan, baik dia
berkedudukan sebagai fa’il atau na’ibul fail. Contoh kalimat dengan ta’
ta’nits sebagai fail pada surah At-Tahrim/66: 11 berikut: ‫ي‬
‫ب اب ِان ِل ا‬ ‫اِذا قَالَ ا‬
ِ ‫ت َر‬
‫“ ِع اندَكَ بَ ايتاا فِى ا ال َجنَّ ِة‬ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku
di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga”.
3. Penggunaan Fi’il
Pola-pola penggunaan fiʻil (kata kerja) di dalam Alquran terdiri dari tiga
kelompok berikut:
a. Kata kerja yang menunjukkan pekerjaan yang telah lalu atau yang disebut
Fiʻil Madhi. Contoh pada surah Al-‘Alaq/96: 2 berikut:‫علَ ِۚق‬ ِ ‫َخلَقَ ا‬
َ ‫اْل ان‬
َ ‫سانَ م اِن‬
“Dia menciptakan manusia dari segumpal darah”.
b. Kata kerja yang menunjukkan pekerjaan yang sedang berlangsung atau
yang akan datang, disebut fiʻil mudhariʻ. Contohnya pada surah An-
ۤ
Nahl/16: 49 berikut: ‫ض ِم ان دَ ۤابَّة َّوا ال َم ٰل ِٕى َكةُ َوهُ ام َْل‬
ِ ‫ت َو َما فِى ااْلَ ار‬ ِ ‫َو ِ ه‬
ِ ‫ّلِل يَ اس ُجدُ َما فِى السَّمٰ ٰو‬
َ‫“ يَ است َ اكبِ ُر اون‬Hanya kepada Allah bersujud segala apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi, yaitu semua makhluk yang bergerak (bernyawa).
Para malaikat (juga bersujud) dan mereka tidak menyombongkan diri”.
c. Kata kerja yang menunjukkan perintah melakukan sesuatu atau disebut fiʻil
amr. Contohnya pada surah An-Nashr/110: 3 berikut: ُ‫س ِب اح ِب َح ام ِد َر ِبكَ َوا است َ اغف اِر ٍّۗه‬
َ َ‫ف‬
ࣖ ‫“ اِنَّه َكانَ ت ََّواباا‬bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat”.
M. Kaidah Al-Ta’nits Dan Al-Tadzkir
1. Al-Ta’nits
Mu'annats ada dua macam, yaitu hakiki dan tidak. Pada mu'annats hakiki
maka ta' ta'nits yang terdapat pada fi'il umumnya tidak dibuang, kecuali jika ada
pemisah antara mu'annats itu dengan fi'ilnya. Adapun pada mu'annats yang bukan
hakiki maka membuang ta’ nya jika ada pemisah adalah lebih baik seperti pada surah
َ ‫“ فَ َم ان َج ۤا َءه َم او ِع‬Siapa pun yang telah sampai
Al-Baqarah/2: 275 berikut: ‫ظةٌ ِم ان َّر ِبه‬
kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba)”. Dan pada surah Ali
‘Imran/3: 13 berikut: ٌ‫“ قَدا َكانَ لَكُ ام ٰايَة‬Sungguh, telah ada tanda (bukti)”. Jika
pemisahnya semakin panjang maka membuangnya menjadi semakin lebih baik,
seperti pada surah Hud/11: 67 berikut: ُ‫ص اي َحة‬ َ َ‫“وا َ َخذَ الَّ ِذيان‬Suara
َّ ‫ظلَ ُموا ال‬ َ yang
menggelegar juga menimpa orang-orang zalim itu, sehingga mereka mati
bergelimpangan di rumah-rumah mereka”.

Sebagian ulama mengisyaratkan bahwa membuangnya lebih baik, dalilnya


adalah Allah lebih mendahulukannya daripada menetapkannya, ketika
menggabungkan antara keduanya. Boleh juga membuangnya tanpa pemisah jika
penyandarannya pada dzohirnya. Tetapi jika penyandarannya pada dhomirnya, tidak
diperbolehkan.

Jika terdapat dhomir atau isyarat antara mubtada’ dan khabar, yang salah
satunya adalah mudzakkar dan yang lain mu'annats, maka dhomir dan isyaratnya
boleh mudzakkar dan boleh mu'annats, seperti pada surah Al-Kahfi/18: 98 berikit:
‫“ قَا َل ٰهذَا َرحا َمةٌ ِم ان َّربِ ا‬Dia (Zulqarnain) berkata, “(Tembok) ini adalah rahmat dari
‫ي‬
Tuhanku”. Isim isyarah yang digunakan adalah mudzakkar sedangkan khabarnya
adalah mu'annats, karena benda yang ditunjuk adalah as-saddu.
Dalam gramatika Arab dibedakan antara kata untuk menyebutkan perempuan
(mu'annats) dan kata untuk menyebutkan laki-laki (mudzakkar). Hal ini berfungsi
untuk mengidentifikasi khitab atau yang dituju oleh sebuah pernyataan.
Azizah Fawal menyebutkan beberapa tanda mu'annats, antara lain sebagai
berikut:
1. Ta' marbuthah (‫ )ة‬di akhir kata benda. Contoh: mar'ah (‫)مرأة‬.
2. Alif maqshurah (‫ )ى‬pada akhir kata benda. Contoh: mushalla (‫)مصلى‬.
3. Alif mamdudah sesudahnya hamzah. Contoh: shahra’ (‫)صحراء‬.
4. Ta' sakinah di akhir kata kerja. Contoh: qara'at (‫)قرأت‬.
2. Al-Tadzkir
Dalam tata bahasa Arab, dikenal adanya penggolongan Isim ke dalam
Mudzakkar/tadzkir (laki-laki) atau Muannats/ta’nits (perempuan). Penggolongan ini
ada yang memang sesuai dengan jenis kelaminnya (untuk manusia dan hewan) dan
ada pula yang merupakan penggolongan secara bahasa saja (untuk benda dan lain-
lain).

Apabila pembaca telah memahami kaidah ta’nits atau muannas yang


dijelaskan di atas maka akan mudah untuk memahami kaidah mudzakar atau tadzkir
karena ini hanya diibaratkan sebagai kebalikannya saja. Contoh tadzkir atau
َ ‫‘ = ِع اي‬Isa, ‫ = اِ اب ٌن‬putra, ‫ = بَقَ ٌر‬sapi jantan, dan ‫ = بَح ٌار‬laut.
mudzakkar: ‫سى‬

Namun ada pula beberapa Isim Mudzakkar yang menggunakan Ta’ Marbuthah
(‫ )ة‬Contoh: ‫ = َح امزَ ة‬Hamzah, ‫ط ال َحة‬
َ = Thalhah, ‫ = ُم َعا ِو َية‬Muawiyah.
Isim mudzakkar terbagi dua pula sama seperti isim muannas
1. Mudzakkar haqiqi (‫ )حقيقي مذكر‬yakni mudzakkar yang menunjukkan
manusia dan hewan. Contoh : ٌ‫ = أَب‬bapak, ٌ‫سد‬
َ َ ‫ = أ‬singa.
Mudzakkar majazi (‫ )مجازي مذكر‬yakni mudzakkar yang tidak menunjukkan manusia dan
hewan. Contoh : ٌ‫ = َبيات‬rumah, ‫ = ِإنَا ٌء‬bejana.

Anda mungkin juga menyukai