Ulumul Qur'an terdiri atas dua kata: 'Ulum dan Al-Qur'an. 'Ulum adalah jamak
(plural) dari kata tunggal (mufrad) 'ilm , yang secara harfiah berarti ilmu. Sedangkan
Al-Qur'an adalah nama bagi kitab Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Secara istilah pengertian ‘Ulumul Qur’an lebih menekankan pada
ilmu-ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an dari
segi Qur’aniyah atau segi hidayah dan i’jaznya. Dengan demikian ‘Ulumul Qur’an
menekankan pada konteks Diniyah dan hal-hal yang terkandung dalam kitab suci
tersebut. Berdasarkan pengertian secara etimologis dan istilah yang telah dipaparkan
maka ‘Ulumul Qur’an memiliki makna ganda yaitu makna idhafi dan makna ‘alam
(nama diri), yang bisa dilihat pada paparan berikut.
Rasulullah SAW Menafsirkan Kepada Sahabat Beberapa Ayat. Dari Uqbah bin
Amir ia berkata : "aku pernah mendengar Rasulullah SAW berkata di atas mimbar,
"Dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi (Anfal : 60),
ingatlah bahwa kekuatan di sini adalah memanah" (HR Muslim).
Pada masa khalifah, tahapan perkembangan awal (embrio) ‘Ulumul quran mulai
berkembang pesat, diantaranya dengan kebijakan-kebijakan para khalifah sebagaimana
berikut :
Diantara para Mufasir yang termashur dari para sahabat adalah: 1)Empat orang
Khalifah ( Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali ) 2)Ibnu Mas’ud 3)Ibnu ‘Abbas,
4)Ubai bin Ka'ab, 5)Zaid bin Tsabit, 6)Abu Musa al-Asy'ari dan 7)‘Abdullah bin
Zubair. Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Masud dan Ubai bin Kaab, dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak
berarti merupakan sudah tafsir Qur’an yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada
makna beberapa ayat dengan penafsiran apa yang masih samar dan penjelasan apa yang
masih global.
Diantara para Mufasir yang termashur dari para Tabi’in sebagai berikut:
1)Murid Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah, Sa'id bin ubair, Mujahid, 'iKrimah
bekas sahaya ( maula ) Ibnu Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani dan 'Ata' bin abu
Rabah. 2)Murid Ubai bin Ka'ab, di Madinah: Zaid bin Aslam, abul Aliyah, dan
Muhammad bin Ka'b al-Qurazi. 3)Abdullah bin Masud di Iraq yang terkenal : 'Alqamah
bin Qais, Masruq al Aswad bin Yazid, 'Amir as Sya'bi, Hasan Al-Basyri dan Qatadah
bin Di'amah as-Sadusi. Dan yang diriwayatkan mereka itu semua meliputi ilmu tafsir,
ilmu Gharibil Qur'an, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Makki Wal madani dan ilmu Nasikh
dan Mansukh, tetapi semua ini tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
C. Penulisan Alquran.
1) Pengertian Alquran.
Alquran menurut istilah adalah firman Allah SWT. Yang disampaikan oleh
Malaikat Jibril dengan redaksi langsung dari Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad
SAW, dan yang diterima oleh umat Islam dari generasi ke generasi tanpa ada
perubahan. dengan demikian Alquran dinyatakan bahwasannya bersifat kalam nafsi
berada di Baitul Izzah (al-sama’ al-duniya), dan itu semuanya bermuatan makna
muhkamat yang menjadi rujukan atau tempat kembalinya ayat-ayat mutasyabihat,
sedangkan Alquran diturunkan ke bumi dan diterima oleh Nabi Muhammad SAW
sebagai Nabi terakhir, merupakan kalam lafdzi yang bermuatan kalam nafsi, karena
tidak mengandung ayat mutasyabihat tetapi juga ayat atau makna-maknanya bersifat
muhkamat.
Pada mulahnya mushaf para sahabat yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya mereka mencatat wahyu al-Qur’an tanpa pola penulisan standar, karena
umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan
diwariskan kepada generasi sesudahnya Di zaman Nabi saw, al-Qur’an ditulis pada
benda-benda sederhana, seperti kepingan-kepingan batu, tulang-tulang kulit unta dan
pelepah kurma. Tulisan Al-Qur’an ini masih terpencar-pencar dan belum terhimpun
dalam sebuah mushaf dan disimpan dirumah Nabi saw. Penulisan ini bertujuan
untuk membantu memelihara keutuhan dan kemurnian Al-Qur’an.
Karena itu, tujuan pokok dalam penyalinan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar
masih dalam rangka pemeliharaan agar jangan sampai ada yang terluput dari Al-
Qur’an. Di zaman khalifah Usman bin Affan, Al-Qur’an disalin lagi kedalam
beberapa naskah. Untuk melakukan pekerjaan ini, Utsman membentuk tim yang terdiri
dari Zaid bin Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Saad Ibn al-Ash, dan Abd al-Rahman
Abd al-Harits. Dalam kerja penyalinan Al-Qur’an ini mereka mengikuti ketentuan-
ketentuan yang disetujui oleh Khalifah Usman. Di antara ketentuan-ketentuan itu
adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat mutawatir, mengabaikan
ayat-ayat Mansukh dan tidak diyakini dibaca kembali dimasa hidup Nabi saw.
D. Asbabun Nuzul
1) Pengertian Asbab An-nuzul
Secara etimologi, asbabun nuzul berasal dari kata “asbab” jamak dari “sababa”
yang artinya sebab-sebab, nuzul artinya turun. Yang dimaksud asbabun nuzul disini
adalah ayat al-Qur’an. Jadi, asbabun nuzul adalah suatu peristiwa yang menyebabkan
turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung. Lalu apakah
semua ayat al-Qur’an memiliki asbab al nuzul atau tidak? Al-Ja’bari berpendapat
tentang turunnya Al Quran itu terbagi dua:
b) Macam-macam munasabah
a) Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasabah antar satu surat dengan
surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan
ungkapan pada surat sebelumnya.Sebagai contoh, dalam surat Al-Fatihah
ayat ada ungkapan alhamdulillah.
b) Munasabah antaranama surat dan tujuan turunnya
Setiap suratmempunyaitema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin
pada namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah [2], surat Yusuf
[12], surat An-Naml [27] dan Al-Jin[72]. Lihatlah firman Allah surat Al-
Baqarah [2]; 67-71.
c) Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah
memulaiPenjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al-Quran bagi
orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya
dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda-
beda,yaitu:mukmin, kafir, dan munafik.
Muhkam adalah isim maf‟ul dari fi‟il ahkama-yuhkimu yang menurut bahasa
diartikan dengan “menahan dari goncangan”. Kata al-hukm berarti memutuskan antara
dua hal atau perkara. “wa ihkam al-syai” artinya menguatkan, dan muhkam berarti yang
dikokohkan. Ihkam al-kalam berati menguatkan perkataan dengan memisahkan berita
yang benar dari berita yang salah.
F. I`jaz Alquran
1. Pengertian dan jenis-jenis mukjizat
Mukjizat menurut al-Suyuti adalah suatu hal atau peristiwa luar biasa yang
disertai tantangan, namun tantangan tersebut tidak mungkin dapat dipenuhi. Kemudian
al-Suyuti membagi dua mukjizat yang dilihat dari sudut definisinya yaitu mu’jizah
hissiyah dan mu’jizah ma’nawiyyah. Mu’jizah hissiyah berarti keluarbiasaan yang
dimiliki oleh Nabi atau Rasul yang dapat dijangkau oleh panca indera dan ditunjukkan
kepada masyarakat yang belum mampu menggunakan akal pikiran mereka, sebagai
contoh mukjizat nabi Musa yang tongkatnya bisa menjadi ular dan lain sebagainya.
Sedangkan mu’jizah ma’nawiyyah (‘aqliyyah) berarti keluarbiasaan yang dimiliki oleh
Nabi atau Rasul yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera dan ditujukan pada
masyarakkat yang tingkat kecerdasannya lebih tinggi.Seperti mukjizat al-Qur’an yang
sifatnya bukan indrawi atau material tetapi dapat dipahami oleh akal. Karena sifatnya
yang demikian, ia tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Mukjizat al- Qur’an dapat
dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya dimana dan kapan pun.
Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan bahwa pelaku yang melemahkan itu dalam
Bahasa Arab dinamai dengan (mu’jiz). Bila kemampuan pelakunya dalam melemahkan
pihak lain sangat menonjol sehingga mampu membungkam lawan-lawannya, maka ia
dinamai (mujizatun). Tambahan pada akhir kata itu mengandung makna superlative
(mubalagah). Dengan demikian, Ijaz (kemukjizatan) al-Qur’an dapat didefinisikan
sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang membuat manusia tidak mampu meniru
atau menandingi al-Qur’anbaik itu dari segi susunan kalimat, bahasa, ataupun dari segi
makna dan kandungannya.
Dari segi tujuan, antara tafsir dan takwil tidak memiliki perbedaan, yakni sama-
sama berusaha untuk menjelaskan makna ayat Alquran. Namun demikian, bila ditinjau
dari segi kerjanya atau jalan yang ditempuh, keduanya memiliki perbedaan yang jelas.
Perbedaan itu dapat ditegaskan. Tafsir sifatnya lebih umum dari takwil. Tafsir
menyangkut seluruh ayat, sedangkan takwil hanya berkenaan dengan ayat-ayat yang
mutasyabihat (samar dan perlu penjelasan).
Tafsir dengan terjemah baik terjemah ḥariyah dan terjemah tafsīriyah tidak
sama. Antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan, antara lain sebagai berikut:
A. Hadist
• Epistimologi – (Al-Jadid = Sesuatu yang baru) (Al-Khabar = berita/sesuatu
yang dibicarakan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain)
• Terminologi – segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
baik itu hadits marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi) ataupun hadits maqthu’
(yang disandarkan kepada tabi’in).
B. Sunnah
• Epistimologi - cara yang bisa ditempuh baik maupun buruk.
• Terminologi - segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup, baik setelah
diangkat ataupun sebelumnya.
C. Khabar
• Epistimologi- serupa dengan makna hadist, yakni segala berita yang
disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.
• Terminologi- antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda pendapat. Ulama
lain megatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW
di sebut hadist. Ada juga yang mengatakan bahwa hadist lebih umum dan lebih
luas dari pada khabar, sehingga tiap hadist dapat dikatakan khabar tetapi tidak
setiap khabar dikatakan hadist.
D. Atsar
• Epistimologi- sama artinya dengan khabar, hadits, dan sunnah.
• Terminologi- segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga
disandarkan pada perkataan Nabi SAW
E. Struktur Hadis
1. Sanad (menurut bahasa artinya sandaran atau sesuatu yang dijadikan sebagai
sandaran) (Istilah- Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan sampai
kepada matan hadis)
2. Matan ( menurut bahasa- tanah yang tinggi dan keras) (menurut istilah- isi
pokok dari sebuah hadis, baik itu berupa perkataan Nabi atau perkataan seorang
sahabat tentang Nabi)
3. Mukharrij (bahasa- menampakkan, mengeluarkan dan menarik) (Istilah- orang
yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-
apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya)).
F. Dalil Hadis
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat
selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik).
G. Fungsi Hadis:
1. Bayan Tafsir (menjelaskan maksud dari Al-Qur’an)
2. Bayan Taqrir (untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an)
3. Bayan Tasyri’ (menjelaskan hukum yang tidak disinggung langsung dalam Al-
Qur’an)
4. Bayan An-Nasakh (adanya dalil syara’ yang datang kemudian)
5. Bayan at-Takhsis (penjelasan Nabi Saw. dengan cara membatasi atau
mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum (‘am), sehingga tidak
berlaku pada bagian-bagian tertentu yang mendapat perkecualian)
Hadis pada masa Nabi
proses terjadinya hadits bisa jadi timbul dari berbagai sisi, yakni ada tiga
sisi:
1. Terjadi pada Nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat dan
kemudian disampaikan kepada sahabat yang lain. misalnya, suatu ketika nabi
melewati pedagang makanan dalam karung, beliau memasukkan tangan beliau
ternyata basah, lantas beliau bersabda: “Tidak tergolong umatku (umat yang
mendapat petunjuk) manusia yang menipu.” (HR. Ahmad).
2. Terjadi pada sahabat atau kaum muslimin karena mengalami suatu masalah
kemudian bertanya kepada Rasulullah. Banyak sekali hadits yang timbul
disebabkan dari pertanyaan seorang sahabat, kemudian beliau menjawab dan
memberi penjelasan-penjelasan.
3. Segala amal perbuatan dan tindakan nabi dalam melaksanakan syari’ah
Islamiah baik menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat,
kemudian mereka sampaikan kepada para tabi’in.
H. Larangan Menulis hadis di masa Nabi Muhammad
1. para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya,
disamping alat-alat tulis masih terbatas.
2. karena adanya larangan menulis, sebagaimana hadits Nabi. Abu Sa’id Al-
Khudri, berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Janganlah menulis seuatu
dariku selain Al-Qur’an, dan barangsiapa yang menulis dariku selain Al-
Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut
disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan Al-
Qur’an, atau mereka bisa melalaikan Al-Qur’an.
I. Kodifikasi Hadis
Secara etimologi kata kodifikasi berasal dari kata codification yang berarti
penyusunan menurut aturan/sistem tertentu. kata tadwin dapat berarti
perekaman(recording),penulisan (writingdown), pembukuan (booking), pendaftara
n (listing,registration). kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan
atau pengumpulan serta penyusunan.
K. Ulumul Hadits
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits.
(Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum
dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi
berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala
sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau
sifat.” Dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian
“ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”.
Sejarah Ilmu Hadis: dimulai beriringan dengan hadis itu sendiri tetapi lebih
kompleks ketika Imam al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab al-Risalah,
sebenarnya ilmu hadits telah mengalami perkembangan lebih maju, Penulisan ilmu
hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan
bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (wafat 360 H) menulis buku Al-Muhaddits al-
Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al-Naisaburi (wafat
405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi
menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-
Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.
• Hadis Mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang
yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta
• Hadis Masyhur
• Hadis Ahad adalah Hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih,
yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur dan hadis
mutawatir.
Ditinjau dari segi kualitsanya.
• Hadis Qudsi yaitu “Sesuatu yang dipindahkan dari Nabi SAW. serta
penyandaraannya kepada Allah SWT”. Atau hadis yang disandarkan kepada
Allah SWT.
• Hadis Marfu yaitu berita yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan,
perbuatan, sifat dan persetujuan, sekalipun sanad-nya tidak bersambung atau
terputus, seperti hadis mursal, muttashil, dan munqathi’.
• Hadis Mauquf yaitu sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat atau
segolongan sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan, baik
bersambung sanad-nya atau terputus.
• Hadis Maqthu’ yaitu sifat matan yang disandarkan kepada seorang tabi’in atau
seorang generasi setelahnya, baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan.
Dari segi kualitas sanad, hadis di bagi menjadi tiga, sahih, hasan dan daif:
• Hadis sahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung (tidak putus) dan para rawi
yang meriwayatkan hadis tersebut adalah adil dan dabit, serta dalam matan
hadis tersebut tidak ada kejanggalan (syaz) dan cacat (‘illah). Hadis sahih dibagi
menjadi dua yaitu, sahih lidzatihi dan sahih li-gairihi.
• Hadis hasan yaitu hadis hasan yang kriterianya sama dengan hadis sahih hanya
saja ada salah seorang rawinya yang kurang.
• Hadis Dho’if yaitu Yang tidak terkumpul sifat-sifat shohih dan sifat-sifat hasan
atau hadis lemah dan biasa disebut hadis mardud.
N. Hadis dhoif
1. Dhoif karena terputus sanad dan macam-macamnya.
• Hadis Mu’allaq yaitu Hadist yang satu perawinya ada didalam sanad itu
gugur atau putus, walaupun yang gugur itu satu perawi atau lebih secara
terus-menerus sampe akhir sanad
• Hadis Munqoti’ yaitu hadist yang satu perawi dari sana hadist tersebut gugur
dengan syarat yang gugur perawinnya bukan dari seorang sahabat,
walaupun satu perawi atau lebih yang gugur dengan syarat putusnya tidak
secara berurutan.
• Hadis Mursal yaitu hadist yang perawinya gugur diakhir sanad. Dua hadis
Mursal: Hadis mursal shahabi (Hadist yang disandarkan langsung ke
sahabat Nabi) dan hadis mursal khofi (Hadist yang disandarkan langsung ke
tabi’in).
• Hadis Mudallas yaitu Hadist perawinya menyembunyikan aib didalam
sanadnya sekira hadist tersebut keliatah hadist shohih.
2. Dhoif yang disebabkan oleh cacatnya perawi dan macam-macamnya
• Hadis Maudhu: Hadis yang dibuat seseorang yang langsung disandarkan
kepada Nabi (hadis palsu).
• Hadis Matruk: Hadist yang ada perawinya didalam sanad hadist disangka
bedusta, seorang yang fasik, atau kebanyakan menghayal.
• Hadis Munkar: Hadist yang perawinya tidak tsiqoh didalam meriwayatkan
hadist.
• Hadis Mu’allal: Hadisnya yang dzhahirnya shohih, tetapi setelah diperiksa
terdapat ‘ilat yang dapat merusak keshohihan hadist tersebut.
• Hadis Mudraj: hadist dengan lafadz yang berasal dari sebagian rawi,
bergandengan dengan matan, tanpa ada penjelasan kepada pendengar hanya
saja lafadz itu berada di tengah hadist.
• Hadis Mubham: Hadist yang tidak disebutkan nama perawinya didalam
sanadnya maupun matanya.
• Hadis Mu’dol: Hadist yang gugur dua atau lebih dari perawinya secara
berurutan.
• Hadis Syadz: Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya yang
bertentangan dengan perawi yang lebih terpercaya.
• Hadis Maqlub: Hadist yang diganti lafadznya oleh perawi dengan kata lain
pada sanad atau matan atau lafadznya di dahulukan atau diakhirkan.
O. Perawi Hadis
rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab
apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya). Bentuk
jama’nya adalah ruwat dan perbuatannya menyampaikan hadist disebut
meriwayatkan hadist.
• Metode as-sima’ yaitu guru yang membaca hadist di depan para muridnya.
Bentuk ungkapan ada’ yang digunakan dalam metode ini adalah sami’tu dan
haddatsana.
• Metode al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadist di depan guru,
sedangkan guru mendengarkan bacaannya, baik murid itu membaca sendiri atau
mendengar murid lain yang membaca di hadapannya, baik bacaan dari
hafalannya atau dari tulisan (kitab). ungkapan ada’ yang dipakai dalam metode
ini adalah akhbarana, qara’tu’ala fulanin atau haddatsana qiraatan ‘alaihi.
• Al-Ijazah Yaitu pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan
buku hadist tanpa membaca hadist tersebut satu demi satu. Dalam hal ini ada 3
bentuk, yaitu ada kalanya Ijazah fi mu’ayyanin limu’ayyanin (izin untuk
meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang yang tertentu), Ijazah fi
ghairi mu’ayyanin limu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu kepada orang tertentu), dan Ijazah ghairu mu’ayyanin bighairi
mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang
yang tidak tertentu). Istilah yang dipakai untuk ada’ adalah an-ba-ana.
• Al-Munawalah Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadist tanpa
menyuruh untuk meriwayatkannya. Istilah yang dipakai dalam penyampaian
(ada’) adalah an-ba-ana.
• Al-Mukatabah Yaitu seorang guru menulis hadist untuk seseorang, hal ini mirip
dengan metode ijazah. Lafadz yang digunakan dalam penyampaian (ada’)
adalah “kataba ilayya fulanun” atau “haddasana kitabatan”.
• I’lam as-Syaikh Yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadist
dalam kitab tertentu adalah hasil periwayatan yang diperoleh dari seseorang
tanpa menyebut namanya dan tanpa menyuruh meriwayatkannya, karena
kemungkinan sang guru sudah mengetahui adanya cacat dalam hadist tersebut.
Lafadz penyampaiannya adalah “a’lamani Syaikhi bikadza”.
• Al-Washiyah Yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadist kepada muridnya
sebelum meninggal. Lafadz penyampaiannya adalah “Ausha ilayya fulanun
biladza” atau “haddasani fulanun washiyatan”.
• Al-Wijadah Yaitu seseorang yang menemukan catatan hadist seseorang tanpa
ada rekomendasi untuk meriwayatkannya. Lafadz penyampaiannya adalah
wajadtu bikhaththi fulanun atau qara’tu bikhaththi fulanun.
Istilah yang Berkenaan dengan Periwayatan Hadist
• Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan
hadist Bukhari dan Muslim
• Akhrajahu Syaikhani Artinya hadist tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim.
• Akhrajahu Thalathah Artinya hadist tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud,
Tirmidzi, dan an-Nasa’i.
• Akhrajahu Arba’ah Berarti hadist tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud,
Tirmidzi, an-Nasa’I dan Ibn Majah.
• Akhrajahu Khamsah Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi,
An-Nasai, Ibn Majah dan Imam Ahmad.
• Akhrajahu Sittah Berarti hadist tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibn Majah.
• Akhrajahu Sab’ah Berarti hadist tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,
Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah, dan Imam Ahmad.
• Akhrajahu Jama’ah Artinya hadist tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama
Hadist
P. Takhrij Hadis
Takhrij Hadis Takhrij ialah penunjukkan terhadap tempat hadist dalam
sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan martabatnya sesuai dengan keperluan.
Takhrij al-Hadits sangat berguna untuk memperluas pengetahuan seseorang tentang
seluk beluk kitab-kitab Hadits dalam berbagai bentuk dan system penyusunannya,
mempermudah seseorang dalam mengembalikan sesuatu Hadits yang
ditemukannya kedalam sumber-sumber aslinya, sehingga dengan demikian akan
mudah pula untuk mengetahui derajat keshahihan tidaknya Hadits tersebut, Selain
itu, dengan takhrij al-Hadits secara tidak langsung seseorang akan mengetahui
hadits-hadits lain yang sebenarnya tidak dicari dan sempat membacanya dalam
kitab-kitab itu.
Cara untuk mentakhrij yaitu Dengan cara mengetahui nama sahabat yang
meriwayatkan Hadits. Metode takhrij ini dapat diterapkan selama nama shahabat
yang meriwayatkannya terdapat dalam hadits yang hendak di-takhrij.
Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua
jalan yaitu: Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka
dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Dan
Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil.
Q. Inkar Sunnah
Inkar al-Sunnah terdiri dari dua kata yaitu Inkar dan Sunnah. Inkar,
menurut bahasa, artinya "menolak atau menginkari", berasal dari kata kerja,
ankara–yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa, mempunyai beberapa arti
diantaranya adalah, "jalan yang dijalani, terpuji atau tidak," suatu tradisi yang
sudah dibiasakan dinamai sunnah meskipun tidak baik.
LUMUL HADIS 2
Definisi Al-Dakhil
Secara Bahasa al-dakhil berasal dari kata kerja yang terdiri dari huruf ( )دخلyang
memiliki arti “sesuatu yang masuk” dan memiliki makna bagian dalamnya rusak,
ditimpa oleh kerusakan atau mengandung cacat.
Ad-dakhil atau penafsiran yang tanpa asas yang kuat menurut para ulama tafsir masuk
dalam kitab-kitab tafsir melaui dua sumber.
a. Dakhil fi al-manqul (ma’tsur) melalui riwayat isra’iliyat (riwayat yang bersumber
dari ahlul kitab) dan hadits maudu`(palsu).
Pada literatur lain sebab ini juga disebut dengan factor eksternal yang berasal dari
orang-orang yang memusuhi al-Qur`an, diantaranya orang-orang Yahudi,
Nashrani, Komunis, filosof eksistensi dan lain-lain, yang ingin merusak Islam dan
mengotori ajaran Islam dengan hal-hal yang tidak layak. Mereka menyebar dan
menyelipkan khurafat dan kebatilan-kebatilan kedalam al-Qur`an agar umat Islam
merasa ragu dengan agamanya sendiri dari kitabnya.
Definisi Al-Ashil
Secata bahasa Al-Ashil berasal dari kata al Ashl yang berarti asal, valid, dasar,
pokok dan sumber. Al Ashil menurut bahasa adalah sesuatu yang memiliki asal yang
kuat dalam objek yang dimasukinya.
Sedangkan menurut istilah, al-Ashil adalah Tafsir yang berlandaskan kepada al-
Quran dan As-Sunnah, atau pendapat sahabat dan tabi'in dan atau berdasarkan ijtihad
dan ra'yun yang sesuai dengan kaidah bahasa arab dan kaidah Syari'ah
Praktik al-Dakhil tersebut telah terjadi semenjak awal kehadiran Islam di tanah
Arab ketika Nabi Muhammad dan para sahabat bersinggungan dan berinteraksi dengan
Yahudi, Nasrani, dan penganut kepercayaan lain. Waktu itu, tidak jarang orang-orang
Yahudi dan Nasrani memberikan informasi yang berasal dari kitab suci mereka kepada
umat Islam, dan sengaja atau tidak dipergunakan oleh umat Islam sebagai rujukan.
Inilah yang kemudian memunculkan kajian secara khusus yang disebut dengan
Israiliyat. Selang beberapa waktu setelah beliau wafat, hadis-hadis palsu (hadis
maudhu) bermunculan. Lahirnya hadis-hadis palsu tersebut disinyalir kuat berawal dari
perpecahan politik dan perbedaan pandangan keagamaan sebagai upaya justifikasi
masing-masing kelompok. Bahkan, hadis maudlu’ berkembang bukan hanya berkaitan
dengan payung ideologi, melainkan berhubungan juga dengan motivasi dan keutamaan-
keutamaan. Begitu seterusnya, sampai akhirnya hadis maudhu dilibatkan dalam
aktifitas penafsiran, sehingga menurut Ibrahim Khalifah termasuk al-Dakhil.
Tidak hanya di situ, menurut Ibrahim Khalifah, praktik al-Dakhil juga dilakukan
oleh sekte-sekte keagamaan yang muncul pertama kalinya pada masa awal Islam,
seperti Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah, Murj’iah dan sebagainya.
1. Contoh tafsir Al-Dakhil dengan riwayat hadis maudhu’ adalah hadis maudhu’
yang membicarakan keutamaan Ali bin Abi Thalib yang terangkum dalam surat
al-maidah ayat ke-55.
2. Salah satu contoh tafsir Al-Dakhil dengan riwayat Isra’iliyat adalah riwayat
yang menjelaskan ayat ke-12 dari surat ke-20 (Thaha):
Ayat di atas ditafsirkan dengan riwayat Isra’iliyat yang yang bersumber dari
Humaid al-A’raj, dari Abdullah Ibn al-Harits, dari Ibn Mas’ud, dari Nabi saw.,
beliau bersabda: “tatkala diajak bicara oleh Tuhan, musa mengenakan pakaian
bulu, jubah bulu, kopyah bulu, dan celana bulu, sedang kedua terompahnya
(terbuat) dari kulit Himar (keledai) yang telah mati”.
Humaid al-A’raj dalam riwayat di atas, dikatakan oleh al-Bukhari sebagai
periwayat yang Hadits-nya diingkari (munkar al-Hadits), dengan kata lain dia
sering meriwayatkan hadis munkar.
3. Sebagai contoh Al-Dakhil yang dinisbatkan kepada Tabi’in adalah Hadits yang
berkenaan dengan firman Allah dalam surat al-A’raf ayat ke-12:
َۚ
ٍ ْ ال اَ َ َ۠ن َخ ْْيٌ ِٰمْنهُ َخلَ ْقتَِِن ِم ْن مَن ٍر مو َخلَ ْقتَهٗ ِم ْن ِط
ي َ َك ق ِ
َ ُك اَمَّل تَ ْس ُج َد ا ْذ اََم ْرت
َ ال َما َمنَ َع
َ َق
ْ
Dia (Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak
bersujud ketika Aku menyuruhmu?” Ia (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik
daripada dia. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan
dari tanah.”
Hadits yang terkait dengan ayat tersebut diriwayatkan oleh Abu al-‘Abbas al-
Manshury Ahmad Ibn Muhammad Ibn Shalih33 dengan sanadnya kepada ‘Ali
ra. Secara marfu’: “yang pertama kali beranalogi adalah Iblis, karena itu
janganlah kalian beranalogi”. Hadits ini dinilai palsu, dari segi penisbatannya
kepada Rasulullah saw. al-Dhahaby juga memberikan penilaian senada.
Pengertian Israiliyat
Dalam bahasa Ibrani (Hebrew), Isrā berarti hamba, dan īl berarti Allah. Kata
isrā īli āt secara Etimologi merupakan kata jamak dari kata isrā īli āh yang dinisbahkan
kepada Banī isrā īl yang merupakan anak-anak Nabi Ya’qub AS dan keturunan
seterusnya, mulai dari zaman Nabi Musa sampai zaman Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan scara Terminologi, ada beberapa pandangan Ulama’ tentang Isrā īli āt
diantaranya dalam buku Mabahits fii Ulum Al-Qur an isrā īli āt adalah berita-berita
yang dibawa oleh Ahl Kitāb yang masuk Islam yang berhubungan dengan kisah-kisah
para Nabi dan Umat Terdahulu, yang dikemukakan secara mendetail, misalnya tentang
nama-nama negeri dan nama pribadinya. Dalam buku isrā īli āt dan Hadits Palsu dalam
Kitab-Kitab Tafsir isrā īli āt adalah semua periwayatan kisah-kisah al-Quran yang
sebagian besar diambil dari pengetahuannya orang-orang Yahudi Bani Israil dan
sebagian kecil berasal dari pengetahuannya orang-orang Nasrani.
Dalam buku Madzahibut Tafsir al-Islami, srā īli āt adalah pengetahuan tentang
al-Quran yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani yang menjadikan ajaran al-Quran
sejalan dengan apa yang ada dalam kedua kitab tersebut. Menurut HAMKA dalam
Tafsir Al-Azhar, Isrā īli āt adalah cerita-cerita yang banyak dibawakan oleh orang-
orang Yahudi yang telah masuk Islam. Sedangkan Isrā īli āt menurut adz-Dzahabi
adalah pengaruh-pengaruh kebudayaan Yahudi terhadap penafsiran al-Quran, dan yang
lebih luas dari itu, isrā īli āt merupakan pengaruh kebudayaan Yahudi dan Nasrani
terhadap tafsir.
Kesimpulannya ialah yang dimaksud dengan isrā īli āt adalah segala kisah dari
al-Quran yang penafsirannya berasal dari pengetahuan kaum Yahudi dan Nasrani yang
telah masuk Islam.
1. Asal-usul Israiliyat
Masuknya kisah isrā īli āt berkaitan erat dengan masyarakat Arab Jahiliyyah.
Pihak yang sangat berperan besar dalam hal ini adalah para Ahl Kitāb yang sebagian
besar terdiri dari kaum Yahudi yang bermigrasi ke Jazirah Arab pada tahun 70 M.
Kedua adanya keinginan dari kaum muslim pada waktu itu untuk mengetahui
sepenuhnya tentang seluk beluk bangsa Yahudi yang berperadaban tinggi, dimana
al-Qurân hanya mengungkapkan secara sepintas saja. Dengan ini maka muncullah
kelompok mufassir yang berusaha meraih kesempatan itu dengan memasukkan
kisah-kisah yang bersumber dari orang-orang Yahudi tersebut. Akibatnya tafsîr itu
penuh dengan kesimpang siuran, bahkan terkadang mendekatai khurafat dan
tahayyul.
Kertiga adanya ulama Yahudi yang masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam,
Ka’ab bin Akhbar, Wahab bin Manabbih. Mereka dipandang mempunyai andil
besar terhadap tersebarnya kisah Israiliyyat pada kalangan Muslim. Hal ini
dipandang sebagai indikasi bahwa kisah Israilyyat masuk di dalam Islam sejak masa
sahabat dan membawa pengaruh besar terhadap kegiatan penafsiran al-Quran pada
masa sesudahnya.
2. Macam-macam Israiliyat
Menurut Ibn Kaṡīr, kisah-kisah Isrā īli āt dalam al-Quran dapat dibagi menjadi tiga
macam
A. Isrā īli āt Yang Dianggap Benar
Isrā īli āt yang dianggap benar adalah kisah-kisah isrā īli āt yang tidak bertentangan
dengan ajaran agama Islam dan kisah-kisah tersebut dibenarkan dalam al-Quran.
Contohnya pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir yang juga diceritakan oleh Taurat.
Isrā īli āt yang dianggap salah adalah kisah-kisah srā īli āt yang tidak dibenarkan oleh
syariat agama dan bahkan tidak bisa diterima oleh akal. Salah satu contoh Isrā īli āt
yang dianggap salah pada Tafsir Al Qur’anil Adzim adalah kisah tentang diturunkannya
Malaikat Harut-Marut ke bumi untuk menjalankan ujian ketaatan terhadap Allah. Di
dalam tafsir ini mereka diceritakan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan sifat
kemalaikatan yang selama ini dianggap sebagai makhluk Allah yang paling taat. Kisah
ini ada pada surat al-Baqarah ayat 101-103.
Isrā īli āt yang didiamkan adalah kisah-kisah oleh syariat agama tidak terdapat dalil
yang memperbolehkan maupun yang melarang. Misalnya penjelasan tentang nama dan
warna anjing, serta tempat dimana Aṣḥab alKahf bersembunyi yang diceritakan pada
surat al-Kahfi ayat 9-26. Para Ulama’ mendiamkan penafsiran tersebut dikarenakan,
penjabaran tersebut tidak berpengaruh terhadap kemaslahatan agama Islam
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf ibn Salam al-Haris al-Israily alAnshari,
namun setelah memeluk agama Islam, Nabi Muhammad mengganti namanya dengan
Abdullah. Abdullah ibn Sallam ini dianggap sebagai salah seorang yang keadilannya
disetujui oleh Ulama’ Tafsir dan Ulama’ Hadits, baik sebelum maupun sesudah dia
memeluk agama Islam.
B. Ka’ab al-Ahbar
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’bu ibn Mani’al-Himyari, namun
dikemudian hari dia dikenal dengan nama Ka’ab al-Ahbar dikarenakan keilmuan yang
dimilikinya bahkan setelah masa keislamannya pun dia masih mempelajari kitab
Taurat. Hal inilah yang kemudian menyebabkannya keadilannya masuk kategori
diragukan, bahkan banyak Ulama’ yang juga meragukan keislamannya.
Tentang pandangan Ulama’ terkait dengan adanya Isrā īli āt dalam penafsiran al-
Quran, berikut penulis paparkan beberapa pandangan, diantaranya:
2. Muhammad Abduh Tentang Isrā īli āt, menurut Abduh sebagaimana telah dikutip
oleh Usman, beliau menolak validitas Ulama’ tafsir yang menghubungkan alQuran
dengan srā īli āt. Menurutnya hal tersebut telah mendistorsikan pemahaman ajaran
Islam.
Sedangkan arti dilalah secara umum adalah “memahami sesuatu atas sesuatu”.
Kata sesuatu yang pertama disebut dengan “madhul” (yang ditunjuk). Dalam
hubungannya dengan hukum yang disebut dengan madhul itu adalah “hukum” itu
sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dengan dalil (yang menjadi
petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut “dalil hukum”.
Ayat ini jelas sekali mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal
dan riba itu hukumnya haram, karena makna inilah yang mudah dan cepat ditangkap
oleh akal seseorang tanpa memerlukan adanya penjelasan.
Selain itu, dhahir ini juga ada yang sifatnya ta’wil (perlu penjelasan). Atau
secara bahasa dapat dikatakan menjelaskan sesuatu yang kembali kepadanya suatu hal.
Ta’wil dapat diterima apabila ditunjukkan dengan dalil yang shohih, dan dapat pula
ditolak karena tidak ada dalil yang shohih yang dapat menunjukkan makna tersebut.
Contoh:
Lafadz ayat al-Qur’an surah adz-Dzariyat ayat 47 yang dita’wilkan dengan
surah Asy-Syura ayat 11,
ِ سماء ب نَ ْي هنَ َها ِِبَيي ٍد وإِ مَن لَم
وسعُو َن ُ َ ْ َ َ َ َوٱل م
Artinya: “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya
Kami benar-benar berkuasa.”
Lafadz yad pada ayat tersebut, makna dhahir-nya adalah tangan, tetapi para
ulama mena’wilkan lafadz tersebut dengan arti kekuasaan, sebab jika diartikan secara
dzahir, maka sama dengan mempersamakan Allah dengan mahluk yang mempunyai
tangan. Sedangkan pada surah Asy-Syura ayat 11 dijelaskan bahwa Allah tidak bisa
dipersamakan dengan mahluk ciptaan-Nya sendiri.
b. An-Nash
Nash adalah lafal yang mudah dipahami maknanya semata melihat bentuk dari
lafadznya dan juga berpeluang untuk di ta’wil dan di naskh. Hanya saja nash berbeda
dengan lafal dhahir, makna Nash adalah makna asli, sementara dhahir merupakan
makna sisipan atau makna kedua.
Definisi tentang nash dari beberapa ulama sebagai berikut:
• Menurut Ad-Dabusi: Sesuatu lafadz yang maknanya lebih jelas dari pada dhahir
bila ia dibandingkan dengan lafadz dhahir.
• Menurut Al-Bazdawi: Lafadz yang lebih jelas maknanya dari pada makna
lafadz dhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu
sendiri.
Dalam hal bentuknya, nash itu terdiri dari 2 bentuk, yaitu bentuk lafdzhiyyah
(bahasa) merupakan hukum yang ditetapkan dengan cara melihat tesk dalilnya dan
bentuk maknawiyah yaitu makna yang ada pada kasus pokok dan kasus cabang.
Contoh lafadz nash dalam firman Allah surat Al-Baqarah: 275
Pertama, Mufassar bi Nafsihi: Yaitu ayat yang sudah jelas maknanya dengan
sendirinya tanpa dijelaskan oleh ayat atau dalil yang lain . Karena secara bahasa makna
kata yang ada di dalamnya sangat terang dan jelas. Contoh :
ِ س ذَائَِقةُ الْمو
...ۚت ٍ ُكلُّ نَ ْف
َْ
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati,...”
Kedua, Mufassar bi Ghairihi: Yaitu ayat yang menjadi jelas maksudnya karena
dijelaskan oleh ayat atau dalil yang lain . Pada awalnya maksud ayat tersebut masih
samar, atau mujmal, tetapi setelah ada penjelasan dari ayat atau dalil lainnya maka
maksud nya menjadi terang dan jelas. Contohnya
Kalimat larangan ini disertai dengan lafadz أَبَ ًدا, hal ini menunjukkan dalil
muhkam yang tidak dapat di-naskh.
B. Mubham Al-Dalalah
1. Pengertian Mubham Al-Dalalah
Mubham secara bahasa artinya adalah “samar-samar”. Secara istilah adalah lafadz
yang dari segi lafadz itu sendiri tidak dapat diketahui maknanya, lafadz ini baru dapat
dipahami maknanya bila ada penjelasan atau penafsiran dari luar lafadz tersebut.
Mubham ini juga dapat diartikan sebagai lafadz yang maknanya tersamar dan
ketersamarannya kadangkala karena redaksinya sendiri namun bisa juga karena faktor
eksternal.
Tingkatan Mubham ada empat, yaitu Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih:
a. Khafi
Khafi secara bahasa yaitu “tidak jelas”. Adapun secara istilah adalah suatu lafaz
yang samar artinya dalam sebagian penunjukan (dilalah)-nya yang disebabkan oleh
faktor luar, bukan dari segi sighat (bentuk) lafadz.
ُ سا ِر
Contoh pada lafal pencuri (ق )ال مpada surat al-Maidah ayat 38:
ِ ِسا ِرقَةُ فَاقْطَعوا أَي ِدي هما جزاء ِِبَا َكسبا نَ َك ًاَّل ِمن م
سا ِر ُق َوال م
ٌ اّللُ َع ِز ٌيز َحك
يم اّلل َو م َ ََ ً ََ َ َُ ْ ُ َوال م
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah [5]: 38)
Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Yusuf keduanya tergolong
pencuri, maka harus dipotong tangannya. Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah
pencopet digolongkan kepada pencuri, sehingga hukumannya potong tangan, tapi
pencuri barang-barang di dalam kuburan tidak digolongkan kepada pencuri, sehingga
hukumannya cukup dengan ta’zir.
b. Musykil
Musykil secara bahasa adalah sukar, sulit, dan pelik. Dalam bahasa Arab musykil
bermakna sesuatu yang musytarak (mempunyai lebih dari satu makna) dan
menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan. Menurut Syeikh Wahbah al-Zuhaili
musykil adalah sebuah lafadz yang tidak jelas maknanya yang dimaksud disebabkan
karena faktor internal lafadz itu sendiri, yang mana tidak dapat diketahui maksudnya
melainkan dengan cara menelitinya dan adanya qarinah (faktor luar dari lafadz itu) yang
menjelaskan maksudnya.
Contoh:
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'..."(QS. Al-Baqarah [2]: 228)
ٍ قُرyang di dalam bahasa arab dapat berarti masa suci dan bisa juga masa
Kata وء
ُ
haid, yang berarti para wanita yang ditalak disuruh untuk menahan diri selama 3 bulan.
c. Mujmal
Secara bahasa Mujmal berarti samar, atau majmu’, (kumpulan), dan tidak
terperinci. Sedangkan dalam istilah ushul fiqh Mujmal berarti lafadz yang maknanya
tidak bisa ditangkap oleh nalar karena merupakan kata-kata yang secara kebahasaan
bersifat tidak pasti atau pinjaman dari bahasa lain (bukan arab).
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19)
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20) dan apabila ia mendapat kebaikan
ia amat kikir (21).”
Seperti lafadz shalat, zakat, puasa dan lafadz lainnya yang Allah palingkan dari
makna lughâwî dan digunakan di dalam makna syariat yang tidak diketahui melalui
aspek bahasa melainkan dijelaskan lewat hadits-hadits Nabi Muhammad SAW.
d. Mutasyabih
Qur’an seperti امل, كهيعص, dan lain sebagainya. Sebagian ulama mengatakan bahwa
kedudukan lafal mutasyabih mencakup apa yang diutarakan oleh Ibnu Hazm (yang
mengatakan bahwa ayat mutasyabih adalah pada potongan huruf di awal-awal surat
dan qasam (sumpah) Allah di dalam Al-Qur’an) dan mencakup ayat-ayat yang di
dalamnya terdapat penyerupaan Allah dengan ciptaan-Nya.
Contoh:
ِاّلل ي ُد م
...ۚاّلل فَ ْو َق أَيْ ِدي ِه ْم ِ
َ َك إِ مَّنَا يُبَايِعُو َن م َ إِ من المذ
َ َين يُبَايِعُون
Artinya: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka,...” (QS. Al-
Fath [48]: 10)
Pada ayat tersebut kata “Tangan Allah di atas tangan mereka” ta’wil-nya adalah
Iqtidha
Lafadz dalalah secara bahasa merupakan sighat mashdar dari lafadz “dalla
yadullu” yang memiliki arti menunjukkan. Sedangkan secara istilah dalalah memiliki
arti memahami sesuatu dari sesuatu. Yang disebutkan pertama disebut madlul (yang
ditunjuk) sighatnya maf’ul. Sedangkan yang disebutkan kedua disebut dal (yang
menjadi petunjuk) sighatnya fa’il. Madlul dan dal dihubungan kedalam masalah hukum
berarti madlul adalah hukum (wajib, sunnah dll) dan dal adalah dalil hukum. Adapun
perbedaan antara dalil dan dalalah yaitu dalil adalah yang memberi petunjuk dan
dilalah/dalalah ialah sesuatu yang ditunjukkan.
Jadi, pengertian Dalalah al-Alfadz ala al-Ahkam ialah petunjuk pada lafadz-
lafadz atas suatu hukum. Maksudnya suatu hukum diambil dari lafadz-lafadz pada suatu
dalil yang mana lafadz-lafadz tersebut memiliki petunjuk untuk diambil hukum.
Contoh
Pada ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah memerintahkan umat Islam untuk
mendirikan sholat dan laksanakan zakat maka wajib dilaksanakan jika syarat-syaratnya
terpenuhi. Pada ayat tersebut sudah ada petunjuk pada suatu perintah mendirikan sholat
dan laksanakan zakat yang bermakna wajib dilakukan bagi umat Islam yang memenuhi
syaratnya.
2. Al-Ibaratun Nash
Pada dasarnya ibarat al-nash merupakan upaya memahami makna dari lafadz.
Dikarenakan berbagai macam pendapat dari para ulama ushul fiqh, ibarat al-nash
mempunyai kriteria-kriteria sebagai berikut:
• Mengandung lafadz yang tersusun dari dua makna maksud hukum; maksud
hukum asli (hukum yang mula-mula dipakai) dan maksud hukum bukan asli
(taba’iy = ikutan)
• Mengandung makna yang segera dapat dipahami dari susunan lafadznya.
• Diantara lafadznya mengandung lafadz al-Zhahir, lafadz al-nash, lafadz-
muhkam atau lafadz ghayr al-muhkam.
Contoh:
Ayat ini menunjukkan kepada dua arti: yakni arti asli dan bukan asli (taba’iy).
Arti asli yang dapat dipahami dari Ibarat al-nash ayat ini ialah bahwa jual beli
tidak sama dengan riba. Arti ini dikatakan sebagai arti asli karena mula ayat-ayat ini
dimaksudkan untuk membantah anggapan orang yang mengatakan bahwa jual beli itu
sama dengan riba.
Sedangkan arti bukan asli yang dapat dipahami dan ibarat al-nash ayat ini ialah
bahwa hukum jual-beli adalah halal dan hukum riba adalah haram. Arti ini dikatakan
sebagai arti bukan asli karena merupakan arti lain; yakni meniadakan persamaan antara
jual-beli dengan riba, serta menjelaskan hukum masing-masing.
3. Al-Isyaratun Nash
Al-Isyaratun Nash adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan
untuk arti menurut asalnya. Tegasnya, isyarat al-nash itu ialah dilalah lafadz yang
didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat.
Contoh:
ِ فَِإ ْن ِخ ْفتم أ مََّل تَع ِدلُوا فَ و...
...ًاح َدة َ ْ ُْ
Artinya: “...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja,...” (QS. An-Nisa [4]: 3)
Ibarat al-nash dalam ayat ini dapat dipahami bahwa tidak halal bagi seorang
laki-laki baik menurut agama maupun peradilan, untuk menikahi isteri lebih dari satu
apabila ia meyakini tidak dapat berbuat adil di antara isteri-isterinya. Sedangkan dari
Isyarat al-nash-nya dapat dipahami bahwa berbuat adil itu wajib selamanya, baik itu
laki-laki ketika beristeri satu atau ketika berbilang isteri, karena berbuat aniaya terhadap
isteri adalah haram hukumnya.
4. Dalalatun Nash
Menurut Romli, Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu
ketentuan hukum yang juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena
terdapatnya persamaan ‘illat antara keduanya.
Contoh:
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang”
mengucapkan kata-kata “ah” dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah
melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah
“menyakitkan” perasaan kedua orang tua.
5. Al-Iqtidha’un Nash
Menurut Romli, Iqtida’ al-Nash adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang
tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu
harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya.
Contoh:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,...” (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Pengertian ayat ini belum jelas. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan
menambah unsur kata dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya ialah
“diharamkan untuk memakan atau memanfaatkan bangkai, darah dan daging babi”.
Lafadz Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi
arti umum. Menurut istilah, definisi Al-khash adalah lafadz yang diciptakan untuk
menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad, atau menunjukkan satu
jenis, seperti lelaki, atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas,
seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan
bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan tersebut.
Para ulama Bahasa telah membuat suatu kaidah berkaitan dengan al-khithab
dengan menggunakan ism (kata benda) dan al-khithab dengan menggunakan fi’il (kata
kerja). Masing-masing dari keduanya mempunyai tempat tersendiri yang tidak
ditempati oleh yang lainnya.
Khithab dengan menggunakan kata benda berbeda konotasinya jika
menggunakan kata kerja. Hal itu disebabkan oleh perbedaan dalalah antara kata benda
dan kata kerja tersebut. Di mana kata benda mengandung makna tetap dan terus
menerus tanpa terputus, sebaliknya kata kerja tidak mengandung makan serupa itu,
melainkan menunjuk kepada suatu peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, masa
lampau, sekarang, dan akan datang.
ِ يت لِلن
...ۚماس َوا َْلَ ِٰج ُ ِك َع ِن ْاْل َِهلم ِة ۖ قُ ْل ِه َي َم َواق
َ َيَ ْسأَلُون
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji,...” (QS. Al-Baqarah
[2]: 189)
ِ ْاْل
Pada ayat di atas memuat pertanyaan dan jawaban, kalimat َهلم ِة ك َع ِن
َ َيَ ْسأَلُون
merupakan kalimat pertanyaan dan kalimat setelahnya اَلَ ِٰج ِ يت لِلن
ْ ماس َو ُ ِقُ ْل ِه َي َم َواق
adalah jawabannya.
Adapun di dalam Al-Qur’an kata muradif salah satu contohnya adalah kata al-
Khauf dan al-Khasyah yang memiliki arti yang sama yaitu “takut”. Kedua kata ini
memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata al-
Khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya daripada kata al-
Khauf.
2. Pengertian Al-Musytarak
Musytarak adalah kebalikan dari muradif yaitu satu lafadz (kata) yang
menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama
menurut orang ahli dalam bahasa tersebut.
Contoh pada lafadz الصَلة yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu
Lafadz الصَلة pada ayat tersebut bukan bermakna “sholat” dalam ibadah
tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena الصَلة
dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat
dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.
3. Pengertian Al-Wujuh
Secara bahasa al wujuh merupakan lafal jama’ dari bentuk mufrod wajhun yang
berarti bermacam-macam/beragam. Menurut M. Quraish Shihab al wujuh adalah kata
yang sama sepenuhnya, dalam huruf dan bentuknya yang ditemukan dalam berbagai
redaksi (ayat), tetapi beraneka ragam makna yang dikandungnya. Misalnya, kata
“ummat” dalam al-Qur’an terulang sebanyak 52 kali, al-Husain bin Muhammad ad-
Dhamighani menyebutkan bahwa ada 9 arti untuk kata tersebut, yaitu: kelompok,
agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam,
orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya. Selanjutnya M. Quraish Shihab
melanjutkan bahwa titik temu yang menjadi benang merah dari gabungan makna-
makna tersebut adalah “himpunan”.
4. Pengertian Nazhair
An-Nazhair adalah bentuk jamak dari nazhirah yang menurut Ibnu Al-Manzhur
maknanya adalah kesamaan dan keserupan dalam bentuk, perilaku, perbuatan dan
perkataan. Secara istilah istilah adalah makna bagi satu kata dalam satu ayat sama
dengan makna tersebut pada ayat yang lain, meskipun menggunakan kata yang berbeda.
Dengan demikian an-nazhair bisa diartikan lafadz-lafadz yang berbeda dengan makna
yang sama.
سانَ لَ ِف ا
٢ ي ُخس ٍۙار ِ اِ َّن ا
َ اْل ان
2. Lafaz–Lafaz ‘Amm
Menurut Manna’ Khalil Al-Qattan, sedikitnya ada 6 sighat ‘Amm (bentuk
kata umum) di antaranya:
a. ِ ( كُ ُّل نَ افس ذَائِقَةُ ا ال َم اوali ‘Imran: 185).
Kull, seperti firman Allah: ت
b. Lafaz-lafaz yang di-ma’rifah-kan dengan al yang bukan al-‘ahdiyah.
سانَ لَ ِف ا
Misalnya :ي ُخسار ( َو اال َع اal-‘Asr: 1-2).
َ ص ِر اِ َّن اا ِْل ان
c. ث َوْلَفُ ا
Isim Nakirah dalam konteks Nafi dan Nahi, seperti: سوقَ َوْلَ ِجدَا َل َ َفَالَ َرف
ِ ( فِي اال َحal-Baqarah : 197).
ج
d. Al-Lati dan Al-Lazi serta cabang-cabangnya. Misalnya: ي قَا َل ل َِوا ِلدَ اي ِه أُف
َوالَّ ِذ ا
( لَكُ َماal-Ahqaf: 17).
e. Semua isim syarat. Misalnya : ف ِب ِه َما َّ علَ اي ِه ا َ ان َي
َ ط َو َ فَ َم ان َح َّج اال َبياتَ ا َ ِوا اعت َ َم َرفَالَ ُجنَا َح
(al-Baqarah: 158) ini untuk menunjukkan umum bagi semua yang berakal.
( َو َما ت َ افعَلُ او اal-Baqarah: 197) ini untuk menunjukkan bagi
Dan مِن َخيار يَ اعلَ امهُ هللا
yang tidak berakal.
f. Ismul-Jins (kata jenis) yang di-idafat-kan kepada isim ma’rifah.
Misalnya ع ان أ َ ام ِر ِه
َ َ( فَ اليَحا ذَ ِر الَّ ِذيانَ يُخَا ِلفُ اونan-Nur: 63) maksudnya segala
perintah Allah.
3. Macam-macam ‘Amm
Abdul Wahab Khalaf menyimpulkan bahwa menurut hasil penelitiannya
terhadap beberapa nash, telah ditetapkan bahwa al-‘Amm itu ada tiga bagian :
a. ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (Al-‘amm al-baqi ala umumih).
Seperti ‘Amm dalam firman Allah SWT:
ّٰللا ِر ازقُ َها
ِ علَى ه ِ ۞ َو َما مِ ان دَ ۤابَّة فِى ااْلَ ار
َ ض ا َِّْل
Terjemah: “Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi
melainkan dijamin rezekinya oleh Allah.” (Q.S. Hud/11: 6)
1. Khash
2. Pembagian Khash
1
Kriteria mampu adalah sanggup mendapatkan perbekalan, alat transportasi, sehat jasmani,
perjalanan aman, dan keluarga yang ditinggalkan terjamin kehidupannya.
1) Istitsna (pengecualian). Contohnya sebagai berikut:
ٰۤ ُ
. . . ا َِّْل الَّ ِذيانَ ت َاب اُوا٤ ٍۙ َولىِٕكَ هُ ُم ا ال ٰف ِس ُق اون َوا. . .
2
Yang dimaksud dengan ibu pada awal ayat ini adalah ibu, nenek, dan seterusnya ke atas,
sedangkan anak perempuan adalah anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah. Yang
dimaksud dengan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut sebagian besar ulama,
mencakup anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.3 (Q.S. Al-
Baqarah/2: 180)
Kalimat in taraka khairan (sedang dia meninggalkan kebaikan
(harta yang banyak)) adalah merupakan syarat dalam wasiat yang
dimaksud.
3
Menurut mayoritas ulama, ayat ini dinasakh dengan ayat waris dan hadis “lā waṣiyyata li
wāriṡin” (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).
4
Hadyu adalah hewan ternak yang disembelih di tanah haram Makkah pada Iduladha dan hari-
hari tasyrik karena menjalankan haji tamattu’ atau qiran, meninggalkan salah satu manasik haji atau
umrah, mengerjakan salah satu larangan manasik, atau murni ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt.
sebagai ibadah sunah.
ayat 228: طلَّ ٰقتُ َيت ََربَّصانَ ِبا َ انفُ ِس ِه َّن ث َ ٰلثَةَ قُ ُر ۤ او ٍّۗء
َ “ َوا ال ُمPara istri yang diceraikan
(wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’ (suci atau
haid).” Ayat ini di-takhshish oleh ayat:
َ طلَّ اقت ُ ُم اوهُ َّن ِم ان قَ اب ِل ا َ ان ت َ َمس اُّوه َُّن فَ َما لَكُ ام
علَ اي ِه َّن ِم ان ِ ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيانَ ٰا َمنُ آٰوا اِذَا نَ َك احت ُ ُم ا ال ُمؤا ِم ٰن
َ ت ث ُ َّم
. . . ِعدَّة ت َ اعتَد اُّونَ َه ِۚا
٢٣ عظِ اي ٌم
َ ش َ يء َّولَ َها
ٌ ع ار ش ا ي َو َجداتُّ ا ام َراَة ا ت َ ام ِلكُ ُه ام َوا ُ اوتِ َي ا
َ ت ِم ان كُ ِل اِنِ ا
5
Yang dimaksud dengan perempuan dalam ayat ini adalah Ratu Balqis yang memerintah
kerajaan Saba’ pada zaman Nabi Sulaiman a.s.
mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya. Contohnya
pada firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 163:
. . . اض َرة َ ا البَح ِۘ ِار ع ِن ا القَ اريَ ِة الَّتِ ا
ي كَان ا
ِ َت َح َ َوساـَٔ ال ُه ام
3. Mekanisme Ke-khushush-an
Jika mekanisme keumuman didasarkan pada beberapa perangkat
kebahasaan, maka masih terdapat beberapa perangkat kebahasaan lain yang dapat
mengalihkan yang umum menjadi yang khusus, makna umum teks menjadi
khusus. “ke-khushush-an” secara bahasa terangkum dalam salah satu dari dua hal,
seperti yang dikatakan oleh ahli fiqh: pertama, kata dengan format umum, namun
maknanya tidak mencakup semua bagian yang ditunjukkan kata tersebut, tetapi
maknanya khusus. Kedua, kata yang menurut bentuk dan maknanya ‘amm, tetapi
hukum (pesan) yang ada dalam teks tidak tepat diterapkan pada acuannya (kata
tersebut).
Bentuk-bentuk lafaz khusus terbagi menjadi empat, yaitu:
1. Isim ‘alam, baik manusia seperti, Muhammad, Nuh, atau nama bagi benda
seperti tuffahah, misymisy, nama bagi buah yang terkenal, seperti buah
zaitun, buah tin, dan lain sebagainya.
2. Isim yang di ma’rifatkan dengan al-Lil ‘ahdi, seperti perkataan jā’a ar-
Rajuulu, dan kita maksudkan terhadap seorang lelaki tertentu yang
diketahui antara kita dan di antara orang yang diajak bicara.
3. Menentukan isim dengan menunjuknya, seperti perkataan dzalika, al-
qadim, atau hadza al-jalisu.
4. Bilangan yang dibatasi, meskipun lebih banyak dari dua, seperti tsalatsun
atau khamsun.
6
Negeri dekat laut di sini adalah kota Eilah yang terletak di pantai Laut Merah, antara kota
Madyan dan Gunung Sinai.
1. Al-Khabar
Al-Khabar ialah pembicaraan yang mengandung kemungkinan benar atau
bohong, semata-mata dilihat dari pembicaraannya itu sendiri jika seseorang
mengucapkan suatu kalimat yang mempunyai pengertian yang sempurna, setelah
itu kita bisa menilai bahwa kalimat tersebut benar atau salah. Maka, kita bisa
menetapkan bahwa kalimat merupakan kalam khabar dikatakan benar jika
maknanya sesuai dengan realitas, dan dikatakan dusta (kadzab) jika maknanya
bertentangan dengan realitas.
Khabar ada kalanya berjumlah fi’liyah dan kadang ada yang berjumlah
ismiyah, yaitu:
a. Berjumlah fi’liyah. Ketika disusun untuk menyatakan kejadian yang
berlangsung pada waktu tertentu dan terbatas.
b. Berjumlah ismiyah. Ketika disusun semata-mata untuk menyatakan
tetapnya musnad atau khabar bagi musnad ilaih atau mubtadanya.
2. Pembagian Khabar
a. Khabar Ibtidai. Apabila mukhatab tidak mengetahui tentang berita tersebut
dan berita yang disampaikan tidak perlu menggunakan taukid (penguat).
ٌ أَب اُوكَ َم ِريArtinya: Ayahmu sakit.
Contoh: اض
b. Khabar Thalabi. Apabila mukhathab ragu-ragu atau bingung mengenai
kebenaran suatu berita dan diharapkan mukhathab menjadi yakin akan
kebenaran berita tersebut. Berita yang disampaikan lebih baik menggunakan
ٌ ِإ َّن أَبَاكَ َم ِريArtinya: sesungguhnya ayahmu sakit.
taukid (penguat). Contoh: اض
c. Khabar Inkari. Apabila mukhathab mengingkari kebenaran suatu pernyataan
yang disampaikan. Dalam khabar inkari harus menggunakan taukid
(penguat) lebih dari satu, tergantung tingkat keingkaran mukhathab. Contoh:
ٌ إِ َّن أَبَاكَ لَ َم ِريArtinya: sesungguhnya ayahmu sakit,اض
اض ٌ َوهللاِ إِ َّن أَبَاكَ لَ َم ِريDemi
Allah, sesungguhnya ayahmu sakit.
1. Al-Insya’
Kata Insya’i, secara bahasa bermakna membangun, memulai, kreasi, asli,
menulis dan Menyusun. Merupakan bentuk Masdar dari insya’an. Menurut
pendapat lain, Al-Hasyimi mengatakan insya’ secara bahasa adalah mengadakan.
Dan pengertiannya secara istilah merupakan kebalikan dari pengertian khabar.
Yakni setelah kalimat itu dituturkan, maka tidak bisa dinilai/bernilai benar dan
salah (dusta). Misalnya jika ada seseorang yang mengatakan isma’ (dengarlah),
maka kalimat ini tidak sama sekali mengandung nilai benar dan salah.
1. Isim Nakirah
Isim Nakirah diartikan sebagai kata benda yang mengindikasikan suatu
hal yang tidak tentu atau masih bersifat umum. contoh dari isim nakirah رجل
(seorang laki-laki) dan ( قلمsebuah pulpen), yang mana dua kata tersebut tidak
mengindikasikan laki-laki atau sebuah pulpen yang khusus dan tertentu. Dengan
kata lain masih bersifat umum.
Pada ayat ini terdapat dua kata, yaitu ( ا َ احيَ ۤا اءyang hidup) dan ا َ ام َوات ا ٍۙا
(yang mati), kedua kata ini merupakan isim nakirah yang berfungsi
menunjukkan jumlah banyak. Maka makna ayat yaitu bumi menghimpun
banyak sekali baik orang-orang yang hidup maupun yang sudah mati.
e. Menunjukkan hal yang remeh dan rendah. Contoh terdapat pada surat Ar-
ٰ “ َو َما ا ال َح ٰيوة ُ الدُّ ان َيا فِى اpadahal kehidupan dunia
Ra’ad ayat 26: ٌاْلخِ َر ِة ا َِّْل َمت َاع
hanyalah kesenangan (yang sedikit)”.
Pada ayat ini terdapat kata ٌ( َمت َاعkesenangan), maksudnya yaitu
kesenangan yang semu dan rendah karena kesenangan tersebut hanya
sementara saja. Ini menunjukkan bahwa kata tersebut mengandung makna
perendahan (at-tahqir).
f. Menunjukkan hal yang sedikit. Contoh terdapat dalam surat Al-Hijr ayat
48: َصبٌ َّو َما هُ ام ِم ان َها بِ ُم اخ َر ِجيان ُّ “ َْل يَ َمMereka tidak merasa lelah di
َ َس ُه ام فِ اي َها ن
dalamnya dan mereka tidak akan dikeluarkan darinya”.
1. Isim Jama’
Istilah jama’ sebenarnya sudah diserap dalam bahasa Indonesia (jamak)
yang artinya kata yang mengandung makna jumlah lebih dari dua. Istilah jamak
bahasa Indonesia dengan jama’ dalam bahasa Arab terdapat perbedaan yaitu
jamak dalam bahasa Indonesia berarti lebih dari satu, sedangkan dalam bahasa
Arab mengandung pengertian jumlah lebih dari dua. Begitu pula dalam
perubahannya, isim dalam bahasa Arab dapat berubah jumlah komposisinya
melalui penambahan huruf maupun perubahan harakat. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia dengan menambahkan kata tertentu yang menunjukkan arti banyak
seperti menggunakan tambahan kata “para” maupun pengulangan kata “siswa-
siswa”.
Perhatikan contoh berikut ini: اونَ = ُمؤا مِ نُ اون+ ُمؤا ِم ٌن, َ اونَ = ُم اس ِل ُم اون+ ُم اس ِل ٌم.
Ingat ya:
Ingat ya:
K. Kaidah Dhamir
1. Dhamir
Secara etimologis, dhamir berasal dari kata dasar adh-dhumur yang berarti
kurus kering, sebab, dilihat dari segi bentuknya memang terlihat ringkas dan
kecil. Kata dhamîr juga bisa diambil dari kata al-idhmâr, yang berarti
tersembunyi, sebab banyak yang tidak tampak bentuk nyatanya. Sedangkan,
secara terminologis, dhamîr adalah lafaz yang digunakan sebagai pengganti, baik
kata ganti orang pertama (dhamîr mutakallim), orang kedua (dhamîr mukhattab),
maupun orang ketiga (dhamîr ghâîb).
2. Pembagian Dhamir
Dhamîr secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian:
a. Dhamîr barîz, yaitu dhamîr yang bentuknya berwujud lafaz. Dhamîr barîz
ini dapat dibagi lagi menjadi dua bagian:
1) Dhamîr muttashil, yaitu dhamîr yang tidak dapat digunakan sebagai
mubtada’ dan tidak dapat pula jatuh setelah illa (istitsna), kecuali
dalam keadaan terpaksa.
2) Dhamîr munfashil, yang merupakan kebalikan dari yang pertama,
yaitu dhamîr yang dapat digunakan sebagai mubtada’ dan dapat jatuh
setelah illa dalam keadaan apapun. Dhamîr jenis ini dibagi 24
macam. 12 dalam keadaan marfu’, yaitu: anâ, nahnu, anta, anti,
antumâ, antum, antunna, huwa, hiya, humâ, hunna, dan hum. Dan 12
lagi dalam keadaan manshûb, yaitu: iyyâya; iyyânâ; iyyâka; iyyâki;
iyyâkumâ; iyyakum; iyyâkunna; iyyâhu; iyyâhâ; iyyâhumâ; iyyahum;
dan iyyaâhunna.
b. Dhamir mustatîr, yaitu dhamîr yang tersembunyi. Dhamîr mustatîr ini juga
dapat dibagi menjadi dua bagian:
1) Dhamîr mustatîr wujûb, yaitu dhamîr yang harus disimpan. Dhamîr
jenis ini berada dalam enam tempat, di antaranya:
a) Fi’il mudhâri’ yang disandarkan kepada mutakallim, baik
mufrad maupun jamak.
b) Fi’il amr dan mudhâri’ yang disandarkan kepada dhamîr
mufrad mudzakkar mukhattab.
c) Isim fi’il yang disandarkan kepada dhamîr mutakallim atau
mukhattab.
d) Fi’il ta’ajjub yang mengikuti wazan mâ af’ala.
e) Fi’il yang dipakai untuk mengecualikan (fi’il istitsna’).
f) Mashdar yang berfungsi sebagai pengganti fi’l.
Sementara itu, untuk jenis yang disebutkan terakhir (dhamîr ghâib) juga
dapat dibagi menjadi tiga macam: (1) kata ganti untuk orang ketiga tunggal, baik
untuk laki-laki (mufrad mudzakkar ghâib) yang biasa disimbolkan dengan kata
hu atau hi pada akhir kata seperti terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 29, atau
untuk perempuan (mufrad muannats ghâib) yang biasa disimbolkan dengan kata
hiya, atau menambahkan huruf hâ pada akhir kata, seperti dalam Q.S. Al-
Baqarah/2: 271. (2) kata ganti orang ketiga yang menunjukkan dua orang
(mutsanna ghâib), baik keduanya laki-laki, perempuan, atau seorang laki-laki dan
seorang perempuan, biasa disimbolkan dengan humâ, seperti terdapat dalam Q.S.
At-Taubah/9: 40. Dan (3) kata ganti orang ketiga jamak, baik laki-laki (jama’
mudzakkar ghâib) yang disimbolkan dengan kata hum, seperti dalam Q.S. Al-
Baqarah/2: 8, ataupun perempuan (jama’ muannats ghâibah) yang biasa
disimbolkan dengan hunna, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 187.
3. Fungsi Dhamir
Sebagaimana telah disinggung pada awal pembahasan ini bahwa fungsi
dhamîr adalah untuk mempersingkat (li al-ikhtishâr) suatu kalimat. Atau dengan
kata lain bahwa dhamîr dibutuhkan untuk menggantikan penyebutan kata-kata
yang banyak dan menempatinya tanpa harus mengubah makna yang dimaksud.
َ َا
عدَّ ه
Hal ini seperti ditunjukkan oleh firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzâb/33: 35: ُّٰللا
َ “ لَ ُه ام َّم اغف َِرة ا َّواَج ااراUntuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala
عظِ اي اما
yang besar”.
َ عد للا لَه ْم م ْغف َِرة َوأَجْرا
Dhamîr ( )ه ْمyang terdapat pada ayat عظِ يْما َ َأ
menggantikan 20 kata7 yang disebutkan sebelumnya. Seandainya dhamîr tersebut
tidak ada, maka secara kuantitas, kalimat yang terdapat pada ayat tersebut akan
semakin panjang dan dapat dikatakan kurang efisien.
ۤ
.ت اَعَ َّد ٰاّللُ ََلُْم َّمغْ ِفَرةً َّواَ ْج ًرا عَ ِظْي ًما ٰ الذكِ ِرين ٰاّلل َكثِْيا َّو
ِ الذكِ ٰر ٰ ِ ِ ِ ِ ِ ٰ الص ۤا ِٕى ِمْي و ِ ِ َوالْمتَص ِدقِْي والْمت
ًْ َ َ ْ ْي فُ ُرْو َج ُه ْم َوا ْْلٰفظٰت َو
َ ْ الص ِٕى ٰمت َوا ْْلٰفظ َ َ ْ َّ صد ٰقت َو َ ُ َ َْ َ ُ َ
8
Allah Swt. telah berjanji, sebagai tanda kemurahan-Nya, bahwa Dia akan melimpahkan rahmat
kepada makhluk-Nya.
2. Ciri-ciri Isim
a. Kalimat yang berharakat tanwin. Contohnya, kata ٌَار َحا ِم َية
ٌ ( نAl Qaari'ah/101:
11).
b. Kalimat yang dimasuki alif dan lam ()ال. Contohnya, ٣ ٍّۗ ُعة ِ ََو َما ٰٓ اَد ٰارىكَ َما ا الق
َ ار
٥ش ِ ٍۙ اش ا ال َم ابث ُ او
ٍّۗ ِ َوتَكُ او ُن ا ال ِجبَا ُل َكا ال ِع اه ِن ا ال َم انفُ او٤ ث ِ اس َكا الف ََر
ُ َّيَ او َم يَكُ او ُن الن.
c. Kalimat yang dimasuki atau didahului oleh huruf jarr (khafad) atau huruf
qosam. Contohnya, kata rabbihi yang didahului illa pada (An Nabaa'/78:
39) dan kata al-naʻim yang didahului ʻan (At-Takaatsur/102: 8) dan kata
Al-‘Ashr didahului huruf qosam (waw) (Al-‘Ashr/103: 1).
3. Penggunaan Isim
Di dalam kaidah bahasa Arab, kata isim bukan hanya merujuk pada kata
benda, melainkan juga mencakup kata sifat, keadaan, kata ganti, kata tunjuk,
nama, dan mashdar (kata dasar). Secara umum, pola-pola penggunaan kata isim
di dalam Alquran dapat diklasifikasikan menjadi tujuh macam, yaitu:
a. Mudzakkar (laki-laki) dan muʼannats (perempuan). Contohnya, kata Isa
(mudzakkar) dan Maryam (muʼannats) dalam (Maryam 19:34), kata
dzarrah (muʼannats) (Az-Zalzalah 99:7), kata al-nafs, al-anf, al- udzun, dan
al-sinn, (semuanya muʼannats) dalam (Al-Ma'idah 5:45).
b. Mufrad, mutsanna dan jamak (tunggal, dua, dan banyak). Contohnya, kata
ahad (mufrad) dalam (Al Ikhlash/112: 1), kata jannatān (mutsanna) dalam
(Ar Rahmaan/55: 46), dan kata arbab (jamak taksir) juga muʼminun (jamak
mudzakkar salim) dalam (Ali Imran/3: 64).
g. Muʻrab (menerima iʻrab) dan Mabni (tidak menerima iʻrab). Muʻrab ialah
isim yang menerima perubahan harakat akhir, sedangkan mabni ialah yang
tidak menerima perubahan harakat/bunyi di akhir kata. Contoh isim muʻrab
ialah kata khairun, khairan dan khairin dalam (Ad-Duha/93: 4), (Al-
Baqarah/2: 158), dan (Al-Baqarah/2: 272).
1. Fi’il
Fiʻil (kata kerja) adalah kata yang menunjukkan perbuatan yang terikat
oleh waktu tertentu. Ditinjau dari waktu peristiwa perbuatan, fiʻil dibagi
menjadi 3 (tiga), yaitu: fiʻil madhi (perbuatan di kala lampau), fiʻil mudhari
(perbuatan di kala sedang/akan), fiʻil amr (perintah berbuat sesuatu).
2. Ciri-ciri Fi’il
Ciri-ciri fi’il adalah didahului oleh Qad, huruf sin, saufa, dan huruf ta’ yang
di-sukun dan menunjukkan perempuan sebagai pelakunya. Adapun perinciannya
sebagai berikut:
a. Qad ()قَدا
Qod digunakan pada dua jenis fi’il, yaitu pada fi’il madhi dan fi’il
mudhari’, Jika masuk pada fi’il madhi, maka makna yang ditunjukkan
olehnya adalah at-tahqiq (penegasan). Contoh pada surah Al-
Mu’minun/23: 1 berikut: ٍۙ َ“ قَدا ا َ افلَ َح ا ال ُمؤا ِمنُ اونSungguh, beruntunglah orang-
orang mukmin”.
Adapun apabila Qod masuk pada fi’il mudhari, maka makna yang
ditunjukkan adalah at-taqlil (menunjukkan sedikit/jarang atau kadang-
kadang). Contoh pada surah Al-Ahzab/33: 18 berikut:ّٰللاُ اال ُمعَ ِوقِيانَ ِم انكُ ام
قَدا يَ اعلَ ُم ه
“Sungguh, Allah mengetahui para penghalang (untuk berperang) dari
(golongan)-mu”.
b. Sin ( )سdan Saufa (ف
َ س او
َ )
Sin dan saufa hanya masuk pada fi’il mudhari’. Kedua huruf ini
menunjukkan makna tanfis, yang berarti di-istiqbal (makna: masa yang
akan datang). Ada perbedaan di antara kedua huruf itu. Kata Sin ()س
dipakai untuk masa akan datang yang sudah dekat, sedangkan Saufa
(ف
َ س او
َ ) masa akan datang yang masih jauh.
Contoh Sin ( )سpada surah Al-Baqarah/2: 142 berikut: سفَ َه ۤا ُء
ُّ سيَقُ او ُل ال
َ
ِ َّ“ ِمنَ النOrang-orang yang kurang akal di antara manusia akan
اس
berkata”. Adapun contoh Saufa (ف َ ) pada surah Al-An’am ayat 67: ِل ُك ِل
َ س او
َف ت َ اع َل ُم اون َ “ نَبَا ُّم استَقَ ٌّر َّوSetiap berita (yang dibawa oleh rasul) ada (waktu)
َ س او
terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui”.
c. Ta’ ta’nist sakinah ()تاء التأنيث السكينة
Ta’ ta’nits sakinah (huruf ta’ yang di-sukun dan menunjukkan
perempuan sebagai pelakunya. Huruf ini hanya masuk pada fi’il madhi.
Tujuan diletakkan huruf ini pada fi’il madhi untuk menunjukkan bahwa
pihak yang melakukan pekerjaan itu adalah jenis perempuan, baik dia
berkedudukan sebagai fa’il atau na’ibul fail. Contoh kalimat dengan ta’
ta’nits sebagai fail pada surah At-Tahrim/66: 11 berikut: ي
ب اب ِان ِل ا اِذا قَالَ ا
ِ ت َر
“ ِع اندَكَ بَ ايتاا فِى ا ال َجنَّ ِةketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku
di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga”.
3. Penggunaan Fi’il
Pola-pola penggunaan fiʻil (kata kerja) di dalam Alquran terdiri dari tiga
kelompok berikut:
a. Kata kerja yang menunjukkan pekerjaan yang telah lalu atau yang disebut
Fiʻil Madhi. Contoh pada surah Al-‘Alaq/96: 2 berikut:علَ ِۚق ِ َخلَقَ ا
َ اْل ان
َ سانَ م اِن
“Dia menciptakan manusia dari segumpal darah”.
b. Kata kerja yang menunjukkan pekerjaan yang sedang berlangsung atau
yang akan datang, disebut fiʻil mudhariʻ. Contohnya pada surah An-
ۤ
Nahl/16: 49 berikut: ض ِم ان دَ ۤابَّة َّوا ال َم ٰل ِٕى َكةُ َوهُ ام َْل
ِ ت َو َما فِى ااْلَ ار ِ َو ِ ه
ِ ّلِل يَ اس ُجدُ َما فِى السَّمٰ ٰو
َ“ يَ است َ اكبِ ُر اونHanya kepada Allah bersujud segala apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi, yaitu semua makhluk yang bergerak (bernyawa).
Para malaikat (juga bersujud) dan mereka tidak menyombongkan diri”.
c. Kata kerja yang menunjukkan perintah melakukan sesuatu atau disebut fiʻil
amr. Contohnya pada surah An-Nashr/110: 3 berikut: ُس ِب اح ِب َح ام ِد َر ِبكَ َوا است َ اغف اِر ٍّۗه
َ َف
ࣖ “ اِنَّه َكانَ ت ََّوابااbertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat”.
M. Kaidah Al-Ta’nits Dan Al-Tadzkir
1. Al-Ta’nits
Mu'annats ada dua macam, yaitu hakiki dan tidak. Pada mu'annats hakiki
maka ta' ta'nits yang terdapat pada fi'il umumnya tidak dibuang, kecuali jika ada
pemisah antara mu'annats itu dengan fi'ilnya. Adapun pada mu'annats yang bukan
hakiki maka membuang ta’ nya jika ada pemisah adalah lebih baik seperti pada surah
َ “ فَ َم ان َج ۤا َءه َم او ِعSiapa pun yang telah sampai
Al-Baqarah/2: 275 berikut: ظةٌ ِم ان َّر ِبه
kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba)”. Dan pada surah Ali
‘Imran/3: 13 berikut: ٌ“ قَدا َكانَ لَكُ ام ٰايَةSungguh, telah ada tanda (bukti)”. Jika
pemisahnya semakin panjang maka membuangnya menjadi semakin lebih baik,
seperti pada surah Hud/11: 67 berikut: ُص اي َحة َ َ“وا َ َخذَ الَّ ِذيانSuara
َّ ظلَ ُموا ال َ yang
menggelegar juga menimpa orang-orang zalim itu, sehingga mereka mati
bergelimpangan di rumah-rumah mereka”.
Jika terdapat dhomir atau isyarat antara mubtada’ dan khabar, yang salah
satunya adalah mudzakkar dan yang lain mu'annats, maka dhomir dan isyaratnya
boleh mudzakkar dan boleh mu'annats, seperti pada surah Al-Kahfi/18: 98 berikit:
“ قَا َل ٰهذَا َرحا َمةٌ ِم ان َّربِ اDia (Zulqarnain) berkata, “(Tembok) ini adalah rahmat dari
ي
Tuhanku”. Isim isyarah yang digunakan adalah mudzakkar sedangkan khabarnya
adalah mu'annats, karena benda yang ditunjuk adalah as-saddu.
Dalam gramatika Arab dibedakan antara kata untuk menyebutkan perempuan
(mu'annats) dan kata untuk menyebutkan laki-laki (mudzakkar). Hal ini berfungsi
untuk mengidentifikasi khitab atau yang dituju oleh sebuah pernyataan.
Azizah Fawal menyebutkan beberapa tanda mu'annats, antara lain sebagai
berikut:
1. Ta' marbuthah ( )ةdi akhir kata benda. Contoh: mar'ah ()مرأة.
2. Alif maqshurah ( )ىpada akhir kata benda. Contoh: mushalla ()مصلى.
3. Alif mamdudah sesudahnya hamzah. Contoh: shahra’ ()صحراء.
4. Ta' sakinah di akhir kata kerja. Contoh: qara'at ()قرأت.
2. Al-Tadzkir
Dalam tata bahasa Arab, dikenal adanya penggolongan Isim ke dalam
Mudzakkar/tadzkir (laki-laki) atau Muannats/ta’nits (perempuan). Penggolongan ini
ada yang memang sesuai dengan jenis kelaminnya (untuk manusia dan hewan) dan
ada pula yang merupakan penggolongan secara bahasa saja (untuk benda dan lain-
lain).
Namun ada pula beberapa Isim Mudzakkar yang menggunakan Ta’ Marbuthah
( )ةContoh: = َح امزَ ةHamzah, ط ال َحة
َ = Thalhah, = ُم َعا ِو َيةMuawiyah.
Isim mudzakkar terbagi dua pula sama seperti isim muannas
1. Mudzakkar haqiqi ( )حقيقي مذكرyakni mudzakkar yang menunjukkan
manusia dan hewan. Contoh : ٌ = أَبbapak, ٌسد
َ َ = أsinga.
Mudzakkar majazi ( )مجازي مذكرyakni mudzakkar yang tidak menunjukkan manusia dan
hewan. Contoh : ٌ = َبياتrumah, = ِإنَا ٌءbejana.