Anda di halaman 1dari 33

RINGKASAN MATERI UTS DAN UAS ULUMUL QURAN

BAB 1
ULUMUL QURAN

PENGERTIAN ULUMUL QURAN


Ulumul Qur’an berasal dari Bahasa arab yang merupakan gabungan dua kata(idhafi),yaitu
“ulum” dan ”Al-Qur’an”.Kata ‘ulum secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata
‘ilmu,berasal dari kata ‘alima-ya ‘lamu-ilman’.’Ilmu merupakan bentuk masdar / dasar yang
artinya pengetahuan dan pemahaman.
Dan alquran artinya bacaan yang diturunkan sebagai mukjizat kepada nabi muhhamad
yang didalam nya terkadung bacaan da nisi yang menarik untuk dijadikan ilmu
pengetahuan. sedangkan alquran artinya adalah bacaan jadi ulumul quran antirnya ilmu-
ilmu tentang bacaan tersebut atau bisa di katakan sebagai pemahaman-pemahaman dari
alquran itu sendiri.
SEJARAH PEERKEMBANGAN ULUMUL
1.Di mulai pada masa Nabi Muhammad hingga masa sahabat-sahabat nabi yaitu Abu Bakar (12
H–13 H) dan Umar (12 H-23H) dan zaman zaman kekhalifaan Usman(23H-35H)
2)Pada abad kedua hijriah, upaya pembukaan ulum al-Qur’an mulai dilakukan, namun pada
masa ini perhatian ulama lebih banyak terfokus pada tafsir.
3) Pada masa selanjutnya, abad ke 3 H, muncullah Muhammad ibn Jarir alTabariy (w.310 H)
yang menyusun kitab tafsir yang bermutu karena banyak memuat hadis-hadis sahih, ditulis
dengan rumusan yang baik.
4) Pada abad ke 4 H, lahir beberapa kitab ulum al-Qur’an, seperti: Aja’ib ulum al-Qur’an karya
Abu Bakar Muhammad ibn al-Qasim al-Anbary (w.328 H), dalam kitab ini dibahas tentang
kelebihan dan kemuliaan Al-Qur’an, turunnya AlQur’andalam tujuh huruf, penulisan mushaf,
jumlah surah, ayat dan kata dalam AlQur’an
5) pada pada abad ke 5 muncullah Ali bin Ibrahim ibn Sa’id al Hufiy (w.430 H) yang
menghimpun bagianbagian dari ulum al Qur’an dalam karyanya al-Burhan fiy Ulum al-Qur’an
7) (awal abad ke -10 H) sampai akhir abad ke-13 H. Setelah wafatnya al-Sayuti pada tahun 911
H, seolah-olah perkembangan ulum al-Qur’an telah mencapai puncaknya (batasanya), sehingga
tidak terlihat penulis-penulis yang memiliki kemampuan seperti beliau
8) Selanjutnya, sejak penghujung abad ke-13 H hingga saat ini, perhatian ulama terhadap ulu>m
al-Qur’an bangkit kembali
TUJUAN ULUMUL QURAN
 Menjadi perangkat yang membantu membaca lafalnya, memahami kandungan,
menghayati dan mengamalkan aturan
 Menjadi alat untuk melawan orang yang mengingkari kewahyuan Al-Qur’an
SEJARAH PEMBUKUAN ALQURAN
Pada zaman nabi awalnya alquran masih berbentuk hafalan yang bahkan berlangsung selama
23 tahun pada masa penurunan wahyu tersebut yang disampaikan nya secara lisan keapad
para sahabat tetapi nabi tidak luput dari itu terkadang nabi memanggil zaid bin tsabit untuk
menuliskan wahyu tersebut dan pada zaman ini penulisanya masih tercecer di berbagai
bentuk seperti di pelepah kurma, kulit bintang, kepingan-kepingan tulang, dll.
Namun pada tahun 12 H terjadilah perang Yamamah yang mengakibatkan wafatnya 70
penghafal al quran, bahkan ada yang menyebutkan sekitar 500 orang dan mengakibatkan
sebagian al quran musnah. Berawal dari peristiwa ini umar bin khatab mengusulkan agar di
lakukan pembukuan al-quran dan Abu bakar menyetujui dengan menunjuk Zaid bin tsabit
sebagai ketua kodifikasi alquran tersebut.
umar bin khatab : pencetus ide pembukuan
Abu bakar : pemberi izin
Zaid bin tsabit :ketua kodifikasi
Awalnya Zaid merasa ragu dan penuh pertimbangan dalam memenuhi tugas ini Dalam
menjalankan tugasnya Zaid lebih selektif dan hati-hati. Artinya tidak semua setoran dari para
sahabat diterima begitu saja dengan tangan terbuka, melainkan harus disertai sumber tertulis
dan saksi (setidaknya dua saksi).

PENGADAAN TULISAN PADA ZAMAN UTSMAN


Terbentuknya Mushaf Utsmani di latar belakangi perbedaan bacaan Al-Quran antara penduduk
Syam dan Irak, juga darisebagian orang islam di kota MadinahLalu Utsman bin Affan membuat
kebijakan dengan menyalin kembali Al-Quran dengan memakai satu dialek yaitu dialek
Quraisy.Pemilihan dialek Quraisy sebagai dialek untuk standarisasi bacaan al- Qur’an dengan
alasan, al-Qur’an pertama kali diturunkan kepada Nabi SAWdengan memakai dialek Quraisy.
Selain itu Quraisy adalah suku yang paling dihormati di kalangan orang-orang Arab. Utsman bin
Affan telah membentuk mushaf resmi sebagai standarisasi bacaan al-Qur’an. Standarisasi
mempunyai arti penyusunan bentuk (ukuran kualitas) dengan pedoman yang ditetapkan. Dalam
sejarah terbentuknya Mushaf Utsmani, standarisasi diartikan menutup semua celah-celah
perbedaan dalam bacaan al-Qur’an, adanya kesatuan secara total yang ada pada teks al-Qur’an
diseluruh dunia.
PENYEMPURNAAN AL QURAN PADA MASA ALI BIN ABI THALIB DAN AWAL
DINASTI UBAYAH
Ali bin Abi Thalib merupakan pengumpul pertama al Qur`an pada masa Nabi berdasarkan
perintah Nabi sendiri. Ia menunjuk kesepakatan atau ijma` akan kemutawatiran Al-Qur`an yang
tertulis dalam mushaf.CIRI-CIRI MUSHAF ALI BIN ABI THALIB
Mushaf Ali bin Abi Thalib memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh mushaf-mushaf yang
lain:
1. Ayat-ayat dan surah-surah tersusun rapi sesuai dengan urutan turunnya. Dalam mushaf
ini makiyah diletakkan sebelum madaniyah.
2. Dalam mushaf ini tercantum bacaan ayat-ayat, sesuai bacaan Rasulullah saw, bacaan
yang paling murni..
3. Mushaf ini mengandung tanzil dan takwil yang menjelaskan peristiwa serta kondisi yang
menyebabkan ayat-ayat dan surah Al-Qur’an diturunkan
AL QURAN MASUK KE DUNIA DIGITAL
POINT 1 Sejarah pencetakan al-Qur’an sendiri sudah berlangsung lama, bahkan sejak
abad ke-16 M, ketika mesin cetak dari tipe yang ada digerakkan mulai dipergunakan di Eropa
dan kemudian diperkenalkan ke seluruh dunia pola percetakan al-Qur’an mulai dibakukan. Pada
masa sebelumnya al-Qur’an pernah dicetak dengan blockprint, bahkan pada paruh awal abad ke-
10 al-Qur’an pernah dicetak dalam bentuk ukiran kayu dan dalam bentuk lembaran.
POINT 2 Penerbitan al-Qur’an pertama yang dicetak umat islam baru dimulai pada tahun
1787 yang disebut dengan “edisi mulaya Usman” yang dicetak, di Sain-. Petersbourg Rusia.
Kemudian diikuti yang lain seperti berasal dari Kazan 1828, Persia 1833, Istanbul 1877.119
Lima tahun kemudian yakni tahun 1833, terbitlah mushaf cetakan di Tabriz, setelah dua tahun
diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834) terbit pula mushaf cetakan Leipzig, Jerman.
POINT 3 Adapun naskah al-Qur’an yang tercetak sebagai standar masa kini dan dipergunakan
oleh umat Islam di dunia Islam adalah al-Qur’an edisi Mesir atau yang dikenal dengan edisi
Raja Fu’ad, karena dialah yang memperkenalkannya di Mesir.

POINT 1 ada pula Madinah yang menjadi trendsenter pencetakan mushaf terbesar. Ia
dikenal dengan Mujamma’ al-Malik Fahd. Mujamma’ merupakan sebuah kompleks
percetakan mushaf terbesar di dunia yang terletak di Barat Laut kota Madinah. Luas
Mujamma’ dianggarkan 250,00 Meter persegi.
POINT 2 Mujamma’ mampu menghasilkan sekitar 10 juta mushaf setiap tahun. Bahkan awal
tahun 2009 jumlah tersebut bertambah mencapai 13 juta setahun. Bahkan untuk memberikan
kemudahan bagi umat Islam, pihak Mujamma’ telah menyediakan produk-produk tersebut dalam
bentuk digital.
FUNGSI MUJAMA SEBAGAI KOMPLEK PERCETEKAN DI MADINAH

a. Mencetak mushaf-mushaf dalam berbagai riwayat qira’ah mutawatirah.


b. Membuat rekaman bacaan qari’-qari’ al-Qur’an yang terkenal.
c. Menterjemah dan mencetak makna-makna dan tafsir al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa utama
didunia.
d. Menjalankan kajian dalam bidang al-Qur’an dan hadits.
e. Menyiarkan hasil terbitan Mujamma’ di dalam internet.

BAB II
ASBABUNUZUL
PENGERTIAN ASBABUNNUZUL
Asbaun Nuzul, yaitu ilmu yang membahas tentang sebab-sebab turunnya ayat Alquran. .
Namun ada beberapa ulama mengatakan bahwa di dalam Alquran terdapat sejumlah ayat yang
diturunkan karena suatu permasalahan (sebab).
Asbabun nuzul berasal dari 2 kata, yaitu azbabun dan nuzul. Azbabun memiliki arti sebab
atau karena, sedangkan nuzul artinya turun.
Jika kedua kata tersebut digabungkan menjadi asbabun nuzul, maka artinya sebab-sebab
turunnya ayat Alquran. Asbabun nuzul terdiri atas 2 macam, yaitu dalam bentuk peristiwa
dan dalam bentuk pertanyaan.
CONTOH DALAM BENTUK PERISTIWA
asbabun nuzul dalam bentuk peristiwa yaitu berupa pertengkaran. Peristiwa berupa pertengkaran,
seperti adanya perselisihan dari suku Aus dan segolongan dari suku Khasraj.
Adanya peristiwa tersebut menyebabkan turunnya ayat Alquran surat Ali-imran ayat 100. Ada
pun arti dari surat Ali-imran ayat 100 yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan
mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman”.(QS.Ali’Imran: 100).
CONTOH DALAM BENTUK PERTANYAAN
Pertanyaan yang berhubungan dengan masa lalu. Salah satu pertanyaannya yaitu tentang
Zulkarnain. Dari pertanyaan tersebut, maka turunlah ayat Alquran surat Al Kahfi ayat 83. Ada
pun arti dari surat Al Kahfi ayat 83 yaitu: “Mereka akan bertanya kepadamu Muhammad tentang
Zulkarnain, Katakanlah: “Aku akan bacakan cerita tentangnya”. (QS. Al Kahfi:83)
Pertanyaan selanjutnya yaitu hal yang berhubungan dengan kejadian pada saat itu. Salah satu
pertanyaannya yaitu tentang ruh. Dari pertanyaan tersebut, maka turunlah ayat Alquran surat Al
Isra’ ayat 85. Ada pun arti dari surat Al Isra’ ayat 85 yaitu: “Dan mereka bertanya kepadamu
tentang ruh, Katakanlah "Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberikan
pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-Isra’:85)

MANFAAT ASBABUNNUZUL
Terdapat berbagai arti dan contoh asbabun nuzul, di antara seperti ayat yang telah disebutkan di
atas. Asbabun nuzul tentu bisa memberikan banyak manfaat bagi umat Muslim. Salah satu
manfaat mengetahui asbabun nuzul yaitu dapat mengetahui hikmah rahasia yang
terkandung dalam pengsyari’atan hukum dalam ayat Alquran.

TUJUAN MEMPELAJARI ASBABUNNUZUL


◦ membantu kita untuk memahami ayat; karena sesungguhnya mengetahui sebab
menghasilkan pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat). Menurut Pendapat yang
dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah
◦ Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya sebuah hukum dan perhatian syariat
terhadap kepentingan umum tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama.
Misalnya, penghapusan minuman keras sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.
◦ membantu dalam mendapatkan kejelasan tentang maksud ayat. Misalnya, Urwah
ibn Zubair mengalami kesulitan untuk bisa memahami hukum fardlu sa’i antara Safa dan
Marwah.
◦ membantu seseorang untuk melakukan pengkhususan (takhshish) yaitu hukum terbatas
pada sebab-sebab tertentu, terutama pada ulama yang menganut kaidah “sebab khusus”
(khushush alsabāb).
◦ membantu seseorang lebih memahami apakah suatu ayat itu berlaku umum atau khusus,
serta dalam hal apa ayat itu harus diterapkan.
◦ Mempermudah orang untuk menghafal ayat-ayat Alquran, sebab pertalian antara sebab
dan musabab hukum, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya, dan semua itu
merupakan faktor-faktor yang akan menyebabkan mantapnya juga terlukisnya sesuatu
dalam ingatan.
◦ mempermudah memahami makna al-qur’an dan menyingkap kesamaran yang
tersembunyi dalam ayat yang tidak dapat ditafsirkan.
NASIKH DAN MANSUKH
◦ Pengertian Nasikh
Nasikh dapat diartikan sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan
memalingkan

◦ Pengertian Mansukh
Mansukh adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, diganti, dan
dipalingkan.

◦ Latar Belakang
Dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya
Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum
yang sesiuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia.
CONTOH DALIL YANG MENUJUKAN ADANYA NASIHK DAN MANSUHK

Firman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS


Al Baqarah: 106).
Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang
lain." (QS An Nahl: 101).

MACAM-MACAM NASIHK
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan,
namun lafazhnya tetap. Contohnya firman Allah: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin
itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka
mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu
kaum yang tidak mengerti." (QS Al Anfal: 65).
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap

3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan Lafazhnya


Contoh, ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata,
"Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali
penyusuan yang diketahui, mengharamkan,” kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan “Lima
kali penyusuan yang diketahui.” Kemudian Rasulullah SAW wafat dan itu termasuk yang dibaca
di antara Al-Qur’an." (HR Muslim).
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu: Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau: Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya.

Kitab-Kitab Asbabun Nuzul dan Pengarangnya:


◦ Lubāb al-nuqūl fi asbāb al-nuzūl karya Imam Al-Suyuthi.
◦ kitab „asbāb al-Nuzūl karya Imam Al-Wahidi

BAB 3
MUNASABAH
PENGERTIAN MUNASABAH
– Kata munasabah secara etimologi berarti al-muqarabah (kedekatan), al-
musyakalah (keserupaan) dan al-muwafaqoh(kecocokan)
– Sedangkan secara terminologi (istilah), munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut:
– Menurut Manna’ Al-Qathtan:

Munasabah adalah aspek yang punya keterikatan antara satu kalimat


dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara ayat satu dengan ayat lain
dalam banyak ayat, atau antara surat dengan surah yang lain (di dalam
Al-Quran).
Syeikh Izz Bin Abdul Salam
“Munasabah itu ilmu yang baik, namun disyaratkan bahwa kalimat yang baik adalah kalimat
yang berurutan mulai permulaan hingga akhir.“
Syaikh Waliyudin Al-Malawi
“Mencari hubungan antara satu surat dengan surat lainnya adalah sesuatu yang sulit dan dicari-
cari tanpa ada pedoman dan petunjuk tertib dari surat dan ayat-ayatnya.”
CONTOH-CONTOH MUNASABAH

 Keterkaitan ayat dengan ayat


Keterkaitan antara ayat dengan ayat

hal ini seperti hubungan antara ayat-ayat dalam surat Al-Ghasyiyah : 17-20

ْ َ‫َأفَاَل يَنظُرُونَ ِإلَى اِإْل بِ ِل َك ْيفَ ُخلِق‬


‫ت‬

ْ ‫وَِإلَى ال َّس َما ِء َك ْيفَ رُ فِ َع‬


‫ت‬

ِ ُ‫َوِإلَى ْال ِجبَا ِل َك ْيفَ ن‬


ْ َ‫صب‬
‫ت‬
ْ ‫ُط َح‬
‫ت‬ ِ ْ‫وَِإلَى اَأْلر‬
ِ ‫ض َك ْيفَ س‬

(17). Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?


(18). Dan kepada langit, bagaimana ia ditinggikan?
(19). Dan kepada gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan?
(20). Dan kepada bumi, bagaimana ia dihamparkan?

 Keterkaitan surat dengan surat

Misalnya permulaan surat Al-Hadid : 1 dengan penutupan surat Al-Waqi`ah : 96


memiliki relevansi yang jelas, yakni keserasian dan hubungan dengan tasbih.

‫ك ْٱل َع ِظ ِيم‬
َ ِّ‫ ِم َرب‬ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ‫بِّحْ بِٱ ْس‬ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ‫فَ َس‬

“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang maha besar”

‫ ُز ْٱل َح ِكي ُم‬ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ‫و ْٱل َع ِزي‬ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒُ


َ ِ ْ‫ت َوٱَأْلر‬
‫ض ۖ َوه‬ َّ ‫ا فِى‬ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ‫ب ََّح هَّلِل ِ َم‬ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ‫َس‬
ِ ‫ ٰ َم ٰ َو‬ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ‫ٱلس‬

“Semua yang berada dilangit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al-Hadid :1)

 Keterkaitan awalan satu surat dengan surat berikutnya

Misalnya antara surat Al-Fatihah dan surat Al-Baqarah, dimana dalam surat Al-Fatihah
berisi tema global tentang aqidah, muamalah, kisah, janji, dan ancaman. Sedangkan
dalam surat Al-Baqarah menjadikan penjelas yang lebih rinci dari isi surat Al-Fatihah.
 Hubungan antara ayat dengan ayat berikutnya

Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat.
Contoh dalam masalah ini misalnya dalam surat Al-Mu`minun : 1 , yang berbunyi “ qad
aflaha al-mu`minun” lalu dibagian akhir surat tersebut berbunyi “ innahu la yuflihu
alkafirun “ . Ayat pertama menginformasikan keberuntungan bagi orang-orang
mukmin,sedangkan ayat kedua dibagian akhir berisi tentang ketidakberuntungan orang-
orang kafir.
 Hubungan antara kandungan ayat Al-Quran dengan Fasilah
Dalam satu surat terdapat kolerasi antara awal surat dan akhirannya. Misalkan , dalam
surat al-Qasas dimulai dengan kisah Nabi Musa AS. dan Fir`aun serta pasukannya ,
sedangkan penutup surat tersebut menggambarkan pernyataan Allah SWT agar umat
Islam jangan menjadi penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah SWT lebih
mengetahui tentang hidayah.

PENEGERTIAN MUKJIZAT
– Pengertian Mukjizat secara lughawi/bahasa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), mukjizat artinya kejadian atau peristiwa ajaib yang sukar dijangkau
oleh kemampuan akal manusia.

– Kata mukjizat diambil dari bahasa Arab “a’jaza-i’jaz” yangmengandungarti


ketidakmampuan2atau yangmelemahkan musuh apabila ditantang Daryanto,Kamus
Besar Bahasa Indonesia Modern,(Surabaya: Apollo, 1994), hal.141
PERBEDAAN MUKJIZAT, KAROMAH, IHANAH, ISTIDRAJ

–  Mukjizat diberikan Allah kepada Nabi dan Rasul untuk membuktikan


kenabian dan kerasulannya, sekaligus untuk melemahkan orang-orang
kafir yang bermaksud jahat.

– Karomah adalah kejadian yang luar biasa yang diberikan Allah kepada
hambaNya yang shaleh dan taat kepadaNya. Orang shaleh yang tinggi
ketaatannya kepada Allah disebut wali (wali Allah).

– ihanah adalah penghinaan luar biasa yang ditimpakan kepada


pendurhaka sebagai balasan terhadap perbuatannya.

–  istidraj memiliki makna azab berwujud kenikmatan. Ketika seorang


muslim banyak melakukan maksiat dan jarang beribadah, namun
hidupnya terus dilimpahi kenikmatan, ini adalah tanda istidraj dari
Allah SWT.

ASPEK KEMUKJIZATAN ALQURAN

secara umum setidaknya terdapat empat aspek kemukjizatan al-Qur’an:


– Pertama, Aspek Ash-Sharfah (pemanglingan)
Abu Ishak Ibrahim An-Nazzam, ulama ahli kalam berpendapat bahwa kemukjizatan al-
Qur’an terjadi dengan cara ash-Sharfah (pemalingan). Menurut An-Nazzam maksud dari
ash-Sharfah adalah Allah memalingkan perhatian orang-orang Arab dari
menandingi Al-Qur’an. Padahal, sebenarnya mereka mampu untuk
menandinginya. Di sinilah letak kemukjizatan Al-Qur’an menurut an-Nazzam. Senada
dengan hal itu, Al-Murtadha (dari aliran Syi’ah) berpendapat bahwa Allah telah
mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi al-Qur’an agar
mereka tidak mampu membuat yang seperti al-Qur’an.

• Kedua, Aspek Balaghah (Keindahan Bahasa)


Qadi Abu Bakar Muhammad Ibnu Tayyib Al-Baqalani, dalam kitabnya Ijazul Qur’an dan
at- Taqrib wal Irsyad, berpandangan bahwa bahasa Arab yang digunakan dalam Al-
Qur’an dipandang sebagai bahasa yang istimewa, baik dari segi gaya bahasanya, susunan
kata-katanya, maupun ketelitian redaksi yang digunakannya. Keindahan bahasa al-Qur’an
jauh melebihi keindahan bahasa yang disusun oleh para sastrawan Arab.
 
• Ketiga, Aspek Kandungan Isinya
Perihal aspek kandungan isi al-Qur’an secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu berita tentang hal-hal yang ghaib dan isyarat-isyarat ilmiah.
Perihal berita ghaib, isi kandungan al-Qur’an banyak mnginformasikan tentang berita
ghaib yang terjadi sebelumnya, yaitu berita tentang orang-orang terdahulu. Juga berita
ghaib yang akan terjadi (sesudah turunnya wahyu), seperti kemenangan yang akan
diperoleh tentara Romawi dalam menghadapi bangsa Persia dalam QS. Ar-Rum : 1-6,
kemurnian Al-Qur’an yang akan tetap terpelihara dalam QS. Al-Hijr: 9
Adapun perihal isyarat-isyarat ilmiah, isi kandungan Al-Qur’an banyak
menginformasikan tentang permasalahan ilmiah yang mungkin hanya diketahui oleh para
ilmuwan. Ayat-ayat al-Qur’an yang sudah dibuktikan kebenarannya melalui penemuan di
bidang ilmu pengetahuan alam

• Keempat, Aspek Kesempurnaan Syari’atnya


 
Syari’at Islam menunjukkan bentuk yang paling sempurna jika dibandingkan dengan
bentuk perundang-undangan manapun yang pernah ada di dunia ini. Selain itu, syari’at
Islam juga diakui sebagai syari’at yang sesuai dengan kebutuhan manusia, karena berasal
dari pencipta manusia itu sendiri. Sedangkan tujuan utamanya untuk membebaskan
manusia dari dunia gelap gulita menuju dunia yang terang-benderang,
sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 257.
BAB 5
TAFSIR
PENGERTIAN TAFSIR
Bahasa ; Tafsir diambil dari kata fassara – yupassiru – tafsiran yang berarti keterangan,
penjelasan atau uraian
Menurut al-Jurjani; Tafsir adalah menjelaskan makna ayat keadaannya, kisahnya, dan
sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafadz yang menunjukkan kepadanya
dengan jelas sekali.
PENGERTIAN TA’WIL
Bahasa ; secara Bahasa adalah (ar-rujǔ’) yang berarti kembali
Istilah;, mengembalikan sesuatu kepada makna yang sebenarnya atau menerangkan apa yang
dimaksud dari suatu ayat. jika kemungkinan makna itu sesuai dengan al-kitab dan sunnah.
Menurut Wahab Khalaf ; takwil yaitu memalingkan lafazh dari zahirnya, karena adanya dalil.

PENGERTIAN TARJAMAH
Bahasa ; Kata terjemah berasal dari bahasa arab “tarjama” yang berarti menafsirkan dan
menerangkan dengan bahasa yang lain (fassara wa syaraha bi lisanin akhar), kemudian
kemasukan “ta’ marbutah” menjadi al-tarjamatun yang artinya pemindahan atau penyalinan dari
suatu bahasa ke bahasa lain.
Didalam buku Manahil al-Irfan, karya al-Zarqani dijelaskan bahwa menurut tinjauan bahasa kata
terjemah mengandung 4 pengertian,
1. Menyampaikan pembicaraan, kepada orang yang belum mengetahuinya
2. Menafsirkan pembicaraan, dengan bahasa aslinya
3. Menafsirkan pembicaraan, dengan bahasa lain yang bukan bahasa aslinya
4. Pemindahan pembicaraan ; dari suatu bahasa ke bahasa lain.

Tafsir Bir Rai


Yaitu penafsiran Al-Qur’an berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra’yu), dan pengetahuan empiris
(ad-dirayah). Tafsir jenis ini mengandalkan kemampuan “ijtihad” seorang mufassir, dan tidak
berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat (ar-riwayat).
Contoh surat al-Alaq ayat 2 : َ‫خلَقَاإلنَسا َن‬
Artinya : “Yang menciptakan manusia dari segumpal darah”
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal
darah yang kental.

Tafsir Bil Matsur


Adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al
Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau
menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in.
METODE TAFSIR
Bahasa; berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan.
Istilah; Metode tafsir adalah cara yang ditempuh penafsir dalam menafsirkan al-Qur‟an
berdasarkan aturan dan tatanan yang konsisten dari awal hingga akhir.
1. Metode Taḥlīliīy
Metode tafsir Taḥlīliīy juga disebut metode analisis yaitu metode penafsiran yang berusaha
menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan berbagai seginya, berdasarkan urutan ayat dan
surat dalam al-Qur‟an muṣḥaf Utsmani dengan menonjolkan pengertian dan kandungan lafadz-
lafadznya, hubungan ayat dengan ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadits-hadits Nabi Saw., yang
ada kaitannya denga ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama
lainnya.
a. Langkah-Langkah Metode Taḥlīliīy
Dalam menafsirkan al-Qur‟an, mufassir biasanya melakukan sebagai
berikut:
1) Menerangkan hubungan (munāsabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun antara
satu surah dengan surah lain.
2) Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat (asbāb al- nuzūl).
3) Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab.
4) Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
5) Menerangkan unsur-unsur fashāḥah, bayān dan i‟jāznya, bila dianggap perlu.
6) Menjelaskan hukum yang bisa ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat
aḥkām, yaitu berhubungan dengan
persoalan hukum.
7) Menerangkan makna dan maksud syara‟ yang terkandung dalam ayat bersangkutan

2. Metode Ijmālī
Metode Ijmālī dalah menafsirkan al-Qur‟an dengan cara menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan singkat dan global, yaitu penjelasannya tanpa menggunakan uraian atau penjelasan
yang panjang lebar, dan kadang menjelaskan kosa katanya saja.
a. Contoh-contoh Kitab Tafsir
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan Metode Ijmālīadalah :
1) Tafsīr al-Jalālain karya Jalal al-Din al-Suyuṭi dan Jalal al-Din alMahally
2) al-Tafsīr al-Mukhtaṣar karya Commite Ulama (Produk Majlis Tinggi Urusan Ummat Islam)
3) ṣafwah al-Bayān li Ma‟aniy al-Qur‟an karya Husnain Muhammad Makhmut
4) Tafsīr al-Qur‟an karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady.
HEREMENETIKA
Kata hermeneutika berasal dari mitos yunani tentang hermes yang merupakan utusan dewa yang
bertugas untuk menyampaikan pesan dari dewa pada manusia. Hermeneutika sendiri berasal dari
kata ”Hermeneuin” yang artinya seni menerangkan makna atau seni interpretasi
makna.
Mengacu dalam keagamaan, hermeneutika didefinisikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola
yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks keagamaan.
TAFSIR TERPUJI DAN TIDAK
Tafsir yang terpuji (mahmudah), yakni tafsir al-Qur‟an yang didasarkan dari ijtihad
yang jauh dari kebodohan dan penyimpangan serta sesuai dengan kaedah bahasa Arab.
Tafsir yang tercela (mazmumah), yakni tafsir al-Qur‟an tanpa dibarengi dengan
pengetahuan yang benar. Artinya, tafsir yang didasarkan hanya kepada keinginan
seseorang dengan mengabaikan peraturan dan persyaratan tata bahasa dan kaedah-
kaedah hukum Islam.

TAFSIR FALSAFI
Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran al-Quran dikaitkan dengan
persoalan-persoalan filsafat
TAFSIR ILMI
merupakan suatu metode penafsiran yang menerangkan istilah-istilah ilmiah yang terkandung
pada perumpamaan-perumpamaan yang terdapat dalam al-Qur’an yang kemudian melahirkan
berbagai macam pengetahuan dan teori-teori filsafat
.
TAFSIR MUNASABAH
Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat al-qur'an sehingga seolah-olah merupakan satu
ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.

BAB 6
ULUMUL HADIST

LARANGAN DAN PERINTAH MENULIS HADIST


• Pada masa Rasulullah masih hidup hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian
sepenuhnya seperti Al-Qur'an. Untuk itu Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis
al hadits. Larangan tersebut dilatarbelakangi karena untuk menghinrdarkan
adanya kemungkinan para sahabat menulis wahyu (Al Qur’an) dan memasukkan
aI hadits kedalam Iembaran AI Qur’an. Untuk itu Rasulullah mengkhawatirkan
akan bercampur aduk antara Al Qur’an dan Hadits. Hal ini dapat difahami bahwa
hadits yang memperbolehkan menulis hadits itu terjadi pertentangan pendapat untuk itu
sangat perlu mengkaji hadits hadits yang bersumber dari Abu Sa’id aI Khudry tentang
larangan menulis hadits serta dampak hadits dalam sejarah penulisan hadits.
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana nilai atau kualitas hadits Abu Sa’ id Al
Khudry tentang larangan menulis hadits dan bagaimana kehujahan hadits dalam sejarah
penulisan hadits. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas hadits
Abu Sa’id Al Khudry tentang larangan menulis hadits serta kehujahan hadits dalam
sejarah penulisannya.
• Tehnik Pengumpulan Data dalam penelitian ini bersifat library research (studi Iiterer atau
studi kepustakaan). Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode
muqarranah (membahas kualitas hadits yang ada), metode muqabalah, dan muaradlah
(menilai hadits dengan cara membandingkan) serta metode I’tibar (menyertakan sanad
yang lain untuk hadits tertentu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai hadits Abu
Sa’id Al Khudry tentang larangan menulis hadits adalah bernilai shahih dan dapat
dijadikan sebagai hujjah. Hadits tentang larangan menulis hadits tersebut punya maksud
agar hadits tidak tercampur baur dengan Al-Qur’an dan juga agar tidak bercampur baur
dengan qaul sahabat, yang akhirnya muncul hadits palsu dan nilai hadits yang berfariasi.
Diperbolehkannya menulis hadits karena sudah tidak ada wahyu (AI-Qur’an) yang turun
dan para sahabat juga banyak yang meninggal (wafat).
APAKAH HADIST DI TULIS DI ZAMAN NABI?
TIDAK, NAMUN
• Pertama, pada mulanya mereka memang dilarang untuk melakukan penulisan hadits.
Karena adanya kekhawatiran tercampurnya sebagian hadis dengan Alquran ,
sebagaimana diinformasikan secara valid oleh Imam Muslim dalam Sahih-nya."
• "Kedua, karena kekuatan hafalan dan kecerdasan akal mereka. Selain itu juga
karena mayoritas mereka memang tidak mengenal dunia tulis menulis. Baru pada
penghujung masa tabi'in muncullah untuk pertama kalinya kodifikasi
dan sistematisasi atsar dan akhbar (hadits). Lahirnya hal demikian dipicu oleh
semakin luasnya penyebaran ulama, banyaknya bidahkhawarij, rafidhah, dan para
pengingkar takdir.“
• "Dan yang pertama kali melakukan penulisan buku adalah Rabi' ibn Shabih, Saed ibn
Abi 'Urubah dan selain mereka." (Ibnu Hajar, Fathul Bari).
PELIHARAAN HADITS PADA MASA KHALIFAH
 Abu Bakar
Abu Bakar bersikap sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadis meskipun
periwayatan hadis tersebut disampaikan oleh sahabat. Abu Bakar tidak langsung
gegabah menerima periwayatan hadis kecuali disertai dengan saksi .
Bagi Abu Bakar keberadaan saksi menguatkan atas kebenaran bahwa hadis tersebut
disampaikan oleh Rasulullah, sehingga AbuBakar tidak akan menerima periwayatan
hadis tanpa ada saksi.
 Umar bin Khatab
Tindakan yang demikian juga dilakukan oleh Umar bin Khatab dengan tidak
memperbanyak periwayatan hadis sehingga perhatian umat Islam terhadap al-Qur’an
tidak terbagi karena umat Islam lebih membutuhkan al-Qur’an untuk dipelajari,
dihafalkan dan diamalkan kandungannya. Para sahabat pada masa ini lebih
mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan
penyebaran al Qur’an. Akibatnya periwayatan hadis pun kurang mendapat
perhatian, bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati-hati dan membatasi diri dalam
meriwayatkan hadis
 Usman bin Affan
Uthman bersikap agak longgar dalam periwayatan hadis sehingga pada zaman ini
periwayatan hadis banyak terjadi dibandingkan dengan zaman
sebelumnya. Meskipun dalam khutbahnya Usman pernah menyerukan kepada umat
Islam agar lebih berhati-hati dalam melakukan periwayatan, dengan cara tidak
meriwayatkan hadis yang tidak didengar pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, akan tetapi
seruan itu terlihat tidak begitu besar pengaruhnya sebab pribadi Usman memang tidak
sekeras pribadi ‘Umar.‘ Usman juga tidak mengharuskan keberadaan saksi sebagai syarat
utama dalam penerimaan hadis. Selain itu karena wilayah Islam telah makin meluas, -dan
luasnya wilayah Islam menyebabkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan
periwayatan hadis.
 Ali bin Abi Thalib
Sikap khalifah Ali pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para khalifah pendahulunya
dalam periwayatan hadis. Secara umum, Ali bin abi thalib barulah bersedia
menerima periwayatan hadis setelah periwayat hadis yang
bersangkutan mengucapkan sumpah bahwa hadis yang
disampaikannya itu benarbenar berasal dari Rasulullah. Hanyalah terhadap
periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta periwayat hadis untuk
bersumpah, seperti ketika menerima riwayat hadis dari Abu bakar. Dengan demikian,
dapat dinyatakan bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadis bagi Ali bukanlah
sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadis. Sumpah dianggap tidak diperlukan
apabila orang yang bersangkutan adalah benar-benar diyakini sebagai periwayat yang
dapat dipercaya.
PEMBUKUAN HADIST PADA ABAD 2
• Pada periode ini hadis-hadis Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi.
Umar Ibn Abd Al-aziz, salah seorang khalifah dari dinasti umayyah yang mulai
memerintah di penghujung abad pertama hijriah, merasa perlu untuk mengambil langkah-
langkah bagi penghimpunan dan penulisan Hadis Nabi secara resmi, yang selama ini
berserakan di dalam catatan dan hafalan para sahabat dan tabiin. Hal tersebut
dirasakannya begitu mendesak, karena pada masa itu wilayah kekuasaan islam telah
meluas sampai ke daerah-daerah di luar jazirah arabia, di samping para Sahabat sendiri,
yang hafalan dan catatan catatan pribadi mereka mengenai Hadis Nabi merupakan
sumber rujukan bagi ahli hadis ketika itu, sebagian besar telah meninggal dunia karena
faktor usia dan akibat banyaknya terjadi peperangan.
PENULISAN HADIST PADA ABAD KE 3

• Pada abad ke-3 H atau periode ke 3 yang dikenal dengan masa


keemasan dalam sejarah perkembangan hadist, Hal itu diwujudkan
para ulama dengan memunculkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
hadis (lebih dari 100 ilmu) hingga menghasilkan ribuan buku mengenai
hadis. Salah satu penyusun hadis yang berasal dari periode ini adalah
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H). Ia menyusun kitab Musnad
Ahmad yang berisi 30 ribu hadis dalam 24 juz.mulailah ketentuan-ketentuan
dan rumusan kaidah-kaidah hadist ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial.
Yahya bin Ma’in (w. 234 H/848 M) menulis tentang tarikh al-Rijal, (sejarah dan riwayat
para perawi hadist), Muhammad bin Sa’ad (w. 230 H/844 M) menulis al-Thabaqat
(tingkatan para perawi hadist ), Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M) menulis al-An’Ilal
(beberapa ketentuan tentang cacat atau kelemahan suatu hadist atau perawinya), dan lain-
lain.

ULUMUL HADIST PADA MASA KHULAFA RASYIDIN

Masa ini disebut masa periwayatan hadits secara terbatas (12-40 H). Para
sahabat menyampaikan amanat sedikit demi sedikit menyampikan hadits
kepada orang lain setelah nabi saw wafat. Hal tersebut dilakukan mereka
dengan penuh kehati-hatian karena takut berbuat salah. Sabda nabi saw:
“ Ketahuilah ! Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang ghaib (tidak
hadir) diantaramu. (diriwayatkan ibnu Abdil bari dari abu bakrah)Sampaikanlah daripadaku
walaupun hanya satu ayat (maksudnya satu hadist). Riwayat bukhari dari Abdullah bin Amr bin
Ash.’’
Periwayatan yang dilakukan para sahabat yang pergi kekota-kota lain, dilakukan mereka dengan
menyampaikan hadits kepada para sahabat lain dan tabi’in dengan sangat dibatasi dan sekedar
keperluan, tidak bersifat pelajaran. Terutama pada masa Abu bakar dan Umar lebih sangat
berhati-hati karena ingin menjaga jangan sampai terjadi pendustaan dalam mentabligkannya
yang diancam dosa besar. Sabda nabi saw :Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka tempatnya disediakan di neraka. (riwayat jama’ah perawi hadist)Para sahabat disamping
terbatas dalam meriwayatkan hadist, juga sangat berhati-hati dalam menerima sesama sahabat
dengan memperhatikan rawi/periwayat dan marwi (hadits yang diriwayatkan), tidak
memperbanyak menerima hadits atau meriwayatkannya.Baru pada masa khalifah Ustman dan
Ali bin abi thalib dimulai pengembangan hadits dan periwayatannya, mereka meriwayatkan
hadits dengan dua cara, yaitu:
a.  Dengan lafazd asli seperti diterima dari nabi.
b. Dengan maknanya, walupun lafzdnya lain, karena yang penting adalah menyampaikan
maksud isinya. 
BAB 7
TAHAMUL

PENGERTIAN TAHAMUL WAL ADA AL HADIS


Dalam istilah ilmu hadis, terdapat istilah yang disebut dengan At-tahamul dan Al-ada’. At-
tahamul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari
seorang guru dengan menggunakan beberapa metode tertentu.
Sedangkan yang dimaksud dengan Al-ada’ adalah menyampaikan atau
meriwayatkan suatu hadis kepada orang lain. Dan sedangkan Ada’ al-Hadits
adalah kegiatan menyampaikan Hadits dengan cara-cara tertentu.

SYARAT-SYARAT TAHAMUL
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain
adalah:
 · Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).

 · Berakal sempurna.

 · Tamyis.

Ulama’ hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal
seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadistpun masih berbeda pendapat. Ada
yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada
ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa ulama’ hadist masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist,
mayoritas ulama’ hadist menganggap mereka boleh menerima riwayat hadits, sementara yang
lain berpendapat bahwa hadits yang diterima mereka tidak sah.
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang
menyampaikan sebuah hadits harus Mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit),
serta memilik integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat
kredibilitas (Tsiqahi).

 Sementara itu, untuk mencapai tingkat keagamaan‘adalah seseorang harus


memenuhi empat syarat yaitu:
 · Islam
 · balig
 · berakal
 · takwa
METODE DAN BENTUK TAHAMUL
 1. As-sima’i (Mendengarlafazh guru)

Yaitu murid mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara
mengimlakkan maupun bukan, baik dari hafalannya maupun membaca tulisannya.
 Al-Qiro’ah (Membacadarisyeikh)

Gambarannya: seorang perawi membaca hadits kepada seorang syeikh, dan syeikh
mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain
yang membaca sedang syeikh mendengarkan.
 Al-Ijazah

Artinya seorang syeikh mengizinkan muridnya meriwayatkan hadits, baik dengan ucapan
ataupun tulisan. Gambarannya: seorang syeikh mengatakan kepada salah seorang
muridnya: “aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dari kudemikian”
 Al-Munawalah(Menyerahkan)

Al-Munawalah ada 2 macam :


a) Munawalah yang disertai dengan ijazah. Munawalah yang disertai ijazah ketika
menyampaikan riwayat itu
b) Munawalah yang tidak disertai dengan ijazah. Munawalah yang tidak dengan ijazah
 Al-Kitabah

Yaitu seorang syeikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya
kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.
Mukatabah ini ada yang disertakan dengan ijazah, dan ada yang tidak pakai ijazah, tetapi
kedua-dua macam itu boleh dipakai.
 Al-I’lam(Memberitahu)

Yaitu seorang syeikh memberitahu seorang murid nya bahwa hadits ini atau kitab ini
adalah riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan dari
padanya.
 Al-Wahsiyyah(Mewasiati)

Yaitu seorang syeikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya a atau dalam perjalanan,
sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang diterima
dengan jalan wasiat ini boeh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah
tidak boleh dipakai.
 Al-Wijadah(Mendapat)

Yaitu seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang syeikh dan ia
mengenal syeikh itu, sedangkan hadits-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun
ditulis oleh si perawi. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan
wijadah ini, sirawi berkata.Dari uraian di atas kelompok kami menyimpulkan bahwa
dalam menerima dan menyampaikan (meriwayatkan) hadits ada 8 (delapan) metode
yaitu: As-Sama’ (mendengar lafadz guru), Al-Qiro’ah (membaca dari syeikh), Al-Ijazah,
Al-Munawalah (menyerahkan), Al-Kitabah, Al-I’lam (memberitahu), Al-Wahsiyah
(mewasiati), Al-Wijadah (mendapat).

1. Sanad
Secara bahasa sanad berarti sandaran, sedangkan menurut istilah adalah sebagai berikut :
‫ص ُل اِلَى ا ْل َم ْت ِن‬ ُ ‫سنَ ُد ُه َو الطَّ ِر ْي‬
ِّ ‫ق ا ْل َم َو‬ َّ ‫ال‬
"Sanad adalah jalan yang menghubungkan pada matan hadits".

Untuk lebih memudahkan pemahaman, sanad bisa kita artikan sebagai rantai yang
di dalamnya berisi para periwayat hadits (para rawi) yang
menghubungkan pada matan hadits (isi hadits), yang sambung dari
Nabi Muhammad SAW.
Atau bisa juga didefinisikan :
‫َر َواةُ ْال َح ِديْث الِّ ِذ ْينَ نَقَلُوْ هُ ِإلَ ْينَا‬
Para periwayat hadits yang menukilkan (menyampaikan) hadits kepada kita.[2]
Dengan kata lain sanad adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits dari tingkatan
sahabat hingga hadits itu sampai kepada kita.

MATAN

Sebuah kalimat yang akhirnya menuju pada intinya atau penjelasanya


 Sedangkan menurut peristilahan Ilmu Hadits, al-Badr bin Jama’ahmemberikan batasan
pengertian matan yakni:
Matan adalah redaksi (kalam) yang berada pada ujung sanad.
Matan adalah kata-kata (redaksi) hadits yang dapat dipahami maknanya.
 Matan hadits juga disebut dengan pembicaraan atau materi berita yang diover oleh sanad
yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rasulullah SAW, sahabat ataupun tabi’in.
Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi atau perbuatan sahabat yang tidak
disanggah oleh Nabi SAW.
 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matan adalah redaksi atau teks bagi hadist. Dari
contoh sebelumnya makamatan hadits bersangkutan ialah:
 "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa
yang ia cinta untuk dirinya sendiri"

MUKHARIJ

 Makna harfiah kata mukharrij yang berasal dari kata kharraja adalah orang yang
mengeluarkan. Makna tersebut juga bisa didatangkan dari kata akhraja dengan isin
fa’ilnya mukhrij. Menurut para ahli hadits, yang dimaksud dengan mukharrij adalah
sebagai berikut: (Mukhrij atau mukharrij: orang yang berperan dalam pengumpulan
hadits). Dapat juga didefinisikan Mukharrijul Hadits adalah orang yang
menyebutkan perawi hadits. Istilah ini berbeda dengan al-muhdits/al-muhaddits yang
memiliki keahlian tentang proses perjalanan hadits serta banyak mengetahui nama-nama
perawi, matann-matan dengan jalur-jalur periwayatannya, dan kelemahan hadits.
 Pengertian rawi di sini bisa bermakna 2 macam :

Makna Pertama, misalnya di dalam sanad biasanya terkutib kalimat :


 ‫َن ا ْب ِن ُع َم َر‬ َ ‫ ُر ِو‬،َ‫شة‬
ِ ‫يع‬ َ ‫ي عَنْ عَاِئ‬
َ ‫ ُر ِو‬،‫س ُع ْو ٍد‬
ْ ‫ي َع ِن ا ْب ِن َم‬
َ ‫ُر ِو‬
 Diriwayatkan dari Sahabat Ibnu Mas'ud, diriwayatkan dari Siti Aisyah, diriwayatkan dari
Sahabat Ibnu Umar, dan lain-lainnya, maka rawi atau perawi di sini bermakna
setiap orang yang membawa matan hadits yang ada di dalam sanad.
 Begitu juga halnya jika disandarkan pada maqolah yang bukan merupakan hadits, baik
berupa maqolah para waliyullah dan para ulama', misalnya dengan kalimat :
‫ي عَنْ اِ ْب َرا ِه ْي َم ا ْب ِن اَ ْد َه َم‬ ْ َ‫س ِن ا ْلب‬
َ ‫ ُر ِو‬،‫ص ِرى‬ َ ‫ي عَنْ َح‬
َ ‫ ُر ِو‬،‫ض‬ َ ُ‫ي َع ِن ف‬
ٍ ‫ض ْي ِل ا ْب ِن َعيَا‬ َ ‫ُر ِو‬
Diriwayatkan dari Fudlail bin Iyadl, diriwayatkan adri Syekh Hasan Al-Bashri,
diriwayatkan dari Ibrahim bin Adham, dan lain sebagainya, maka rawi tersebut juga
bermakna orang yang membawa kalimat maqolah.
BAB 8
ILMU RIJAUL HADIS DAN JARH
 Hadis adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasul saw. Hadis merupakan
sumber syariat islam kedua setelah al Qur’an.
 Ulumul Hadis merupakan ilmu mulia yang merupakan kunci pokok untuk
mempelajari hadis-hadis Nabi.
ILMU RIJAUL HADIS

Ilmu Rijalul Hadits adalah ilmu yang berkaitan dengan para perawi
yang meriwayatkan hadits-hadist nabi.
Ilmu Rijalul hadis terbagi atas dua ilmu yang besar:
1. Ilmu Tarikhir Ruwah : Ilmu sejarah perawi-perawi hadits.
2. Ilmu jahri wat Ta’dil : Ilmu yang menerangkan adil tidaknya perawi hadits.
*Objek kajiannya adalah seluruh para perawi

 Fungsi Rijalul Hadist adalah untuk mengetahui kualitas suatu


hadits
 Metode pembukuan Rijalul hadist:
 Membahas rawi dalam kitab tertentu, seperti kitab Rijaluhu Shahih Muslim karya Abu
Bakr Ibn ‘Ali al-Ashfahani membahas rawi-rawi tsiqah, seperti kitab al-Tsiqaat karya
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Hibban al-Bustimembahas rawi yang diragukan kualitasnya,
seperti kitab Mizaan al-I’tidaal karya al-Dzahabi.
 Dalam ilmu sejarah kritik terbagi menjadi dua yaitu : kritik yang ditujukan pada sanad
(perawi) atau kritik eksternal dan kritik pada matan disebut juga kritik internal.
 Rijalul Hadits termasuk kritik eksternal

Rijalul hadits sangat penting karena:


1. menguak data-data para perawi
2. mengetahui pandangan para kritikus terhadap perawi
3. mengetahui keotentikan suatu hadits
TANTANGAN YANG DI HADAPI
1) Subjektifitas
2) Banyaknya rawi yang diteliti
3) Perbedaan metode penilaian

Hal-hal yang dirangkum dalam Ilmu Rijalul Hadits


1) Biografi dan penjelasan akan keadaan seorang perawi,
2) Lahir dan wafatnya,
3) Negeri asal mereka,
4) Tarikh permulaan mendengar hadits,
5) Perjalanan ilmiyah untuk mencari hadits,
6) Guru-guru mereka,
7) Perawi lain yang menerima hadits daripadanya, dan lain-lain.

Adapun ruang lingkup ilmu Rijal al-Hadis adalah sejarah kehidupan para
tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, di
negeri mana saja tokoh-tokoh tersebut mengembara dan dalam jangka
berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadis dan kepada siapa
saja mereka menyampaikan Hadis.
Dalam menyusun kitab Ath-Thabaqat, ia menggunakan dua macam sumber, yaitu:
1. Sumber musyafahah (dari mulut ke mulut) dan mendengar sendiri melalui wawancara dengan
para perawi.
2. Sumber tulisan.

Tokoh perintis ilmu rijal al-hadis ini adalah Sufyan ats-Tsauri (wafat 161 H), Al Bukhari
(wafat 256 H), Muhammad Ibnu Sa’ad (wafat 230 H), As Suyuti (wafat 911 H), ‘Aisyah(isteri
Rasul saw), dll.

Ilmu Jarh wa at-ta’dil


Kata jarh berasal dari kata ْ‫جرح‬-ُ
َ ‫يَجْ َرح‬-‫ َج َر َح‬artinya melukai badan dan menyebabkan mengalirnya
darah.
Menurut Ibn Manzur dalam kamusnya Lisanul Arab Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad
Nurudin, M.Ag apabila dikatakan: “Hakim menjarahkan saksi” artinya hakim menolak
kesaksiannya.Selain mengandung makna melukai, jarh juga berarti mencacat secara fisik.

Kemudian para ulama’ mendefinisikan jarh “Nampaknya suatu sifat pada


perowi yang merusakkan keadilannya atau mencederaikan hafalannya,
sehingga gugurlah riwayatnya, atau dipandang lemah bahkan akan
ditolaknya”.Dengan demikan yang dimaksud jarh adalah Suatu sifat yang muncul atau
nampak pada seorang perowi akan kejelekan-kejelekan baik berkaitan dengan daya hafal,
kecerdasan, maupun kredibilitas moral. Sehingga perowi yang memiliki sifat tersebut riwayatnya
akan tertolak.
Ta’dil secara bahasa berarti at-taswiyah (menyamakan),
menurut istilah berarti: ( ٌ‫ابِط‬ƒƒƒ‫ ْد ٌل أو ض‬ƒƒƒَ‫ه بِأنَّهُ ع‬ƒƒƒ‫رَّاوي وال ُح ْك ُم علي‬ƒƒƒ‫ةُ ال‬ƒƒƒَ‫و ت َْز ِكي‬ƒƒƒ‫هُ ه‬ƒƒƒ‫) َع ْك ُس‬
“Lawan dari al-Jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan , bahwa ia adil atau
dhobit”.

Ada juga yang berpendapat bahwa ta’dil adalah menunjukkan atau membayangkan
kebaikan atau kelurusan seorang rawi. Perawi harus dapat dipercaya, handal, adil, dan
tegar.

Musthafa Al-Siba’i berpendapat bahwa Jarh wat ta’dil adalah cabang ilmu hadis yang secara
khusus membicarakan tentang sisi negatif dan positif perawi hadis.

Sebagian ulama’ hadis mendefinisikan bahwa jarh wat Ta’dil


adalah:
Ilmu yang membahas mengenai para perawi, sekitar masalah yang membuat
mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafadz-lafadz tertentu.
Ilmu yang menerangkan catatan-catatan tentang keterangan memandang adil
periwayat atau mencatat (menerangkan keadaan yang tidak baik) periwayat.
Ilmu yang menerangkan kecacatan-kecacatan yang dihadapkan pada para
perawi dan penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai
lafadz-lafadz yang khusus dan tentang kedudukan lafadz-lafadz itu.

Sebab-Sebab Perawi Dikenakan Jarh Dan Ta’dil


Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab- sebab yang
menjadikan aibnya seorang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam
saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha.

Tokoh-tokoh Jarh wat Ta’dil antara lain:


 Ibnu Sirin (wafat 110 H)
 Syu’bah bin al-Hajjaj (wafat 160 H)
 Abdullah Ibnu Al Mubarok (wafat 181 H)
 Ibnu Main (158-233 H) yang merupakan orang pertama kali menulis kitab Jarh wat
Ta’dil. Kitabnya diberi nama Ma’rifatul Rijal (Pengetahuan tentang Perawi-
perawi Hadits)
Kitab-kitab besar yang berkaitan dengan al-Jarh Wa at-Ta’dil:
 Tahzib al-Kamal oleh al-Mizzi
 Tahzib at-Tahzib oleh al-Hafiz Ibn Hajar
 Tazhib Tahzib al-Kamal oleh az-Zahabi
 Mizan al-I’tidal Fi Naqd ar-Rijal oleh az-Zahabi

BAB 9
HADIS SAHIH

 Hadis dari satu segi dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara kuantitas dan
kualitas. Yang dimaksud segi kuantitasnya adalah penggolongan hadis
ditinjau dari banyaknya rawi yang meriwayatkan hadis. Sedangkan
hadis berdasarkan kualitasnya adalah penggolongan hadis dilihat dari
aspek diterima atau ditolaknya.
 . Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitas.

 Dalam mentransmisikan hadis, Nabi Muhammad Saw. terkadang berhadapan langsung


dengan sahabat yang jumlahnya sangat banyak karena pada saat itu nabi sedang
memberikan khutbah di hadapan kaum Muslimin, kadang hanya beberapa sahabat,
bahkan juga bisa terjadi hanya satu atau dua orang sahabat saja. Demikian itu terus terjadi
dari sahabat ke tabi’in sampai pada generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai
kitab. Dan sudah barang tentu informasi yang dibawa oleh banyak rawi lebih meyakinkan
apabila dibandingkan dengan informasi yang dibawa oleh satu atau dua orang rawi saja.
Dari sinilah, para ahli hadis membagi hadis menurut jumlah rawinya.

HADIS DARI SEGI KUANTITAS

MUTAWATIR
 Arti Mutawatir
 Mutawatir dalam segi bahasa memiliki arti yang sama dengan kata “mutataabi’,artinya:”
beruntun atau beriring-iringan”, maksudnya beriring-iringan antara satu dengan yang
lain tanpa ada jaraknya”.

 Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi


yang mustahil mereka sepakat untuk berdusta, mulai awal sampai
akhir mata rantai sanad,pada setiap tabaqat atau generasi.
Ada ulama yang menerangkan hadis mutawatir dengan jelas dan terperinci yaitu Ibnu
Hajar al-Asqalani. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis mutawatir yaitu hadis
yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil melakukan
kesepakatan untuk berdusta. Mereka itulah yang meriwayatkan hadis
dari awal hingga akhir sanad.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang ketentuan batas minimal
berapa jumlah rawi pada hadis mutawatir. Menurut Abu Gayyib adalah
sekurang-kurangnya ada 4 orang pada tiap tabaqah (tingkatan)
rawinya. Imam Syafi’i mengemukakan paling sedikit (minimal) 5 orang
pada tiap habaqah. Ada juga ulama lain yang menentukan paling
sedikit 20 orang pada tiap habaqah. Ada juga pendapat yang keras dari
sebagian ulama’ bahwa mereka menentukan hadis mutawatir harus
memenuhi syarat 40 rawi pada tiap-tiap habaqah (tingkatan)
Perbedaan pendapat di atas akan berpengaruh pada kedudukan suatu hadis.
karena, pasti setiap ahli hadis berbeda pula dalam melihat sebuah hadis, apakah
mutawatir atau tidak. Contohnya Ibnu Hibban dan al-Hazimi berpendapat bahwa
hadis mutawatir mungkin jadi tidak ada, jika hadis mutawatir syarat-syaratnya
sangat ketat. Namun menurut Ibnu alah, hadis mutawatir tetap ada namun
jumlahnya tidak banyak.

Hadis mutawatir terbagi menjadi dua macam; pertama, mutawatir


lafdzi, kedua, mutawatir ma’na
. Mutawatir lafdzi yaitu hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh rawi
yang banyak dan mencapai syarat-syarat mutawatir dengan redaksi
dan makna hadis yang sama antara riwayat satu dan riwayat yang lain.
Sedangkan mutawatir ma’na yaitu hadis yang mempunyai tingkat
derajat mutawatir namun susunan redaksinya berbeda antara yang
diriwayatkan satu rawi dengan rawi yang lain, namun isi kandungan
maknanya sama.
Menurut pendapat para ulama ahli hadis, bahwa tidak boleh ada
keraguan sedikit pun dalam memakai hadis mutawatir. Hadis
mutawatir harus diyakini dan dipercayai dengan sepenuh hati.
Hal ini sama halnya dengan pengetahuan kita tentang adanya udara, angin, panas, dingin,
air, api dan jiwa, yang tanpa membutuhkan penelitian ulang kita sudah percaya akan
keberadaannya. Jadi, dengan kata lain nahwa hukum hadis mutawatir adalah bersifat qat’i
(pasti).

 Ciri-ciri Hadis mutawatir


Setelah anda mengkaji pengertian hadis mutawatir di atas, maka akan menemukan ciri-
cirinya, yaitu :

 1) Jumlah perawinya banyak yang tidak mungkin berdusta


Menurut Abu Thayyib, minimal 4 orang, mengkiaskan saksi dalam persidangan.
Kelompok Asy-Syafi’i berpendapat, minimal 5 orang mengkiyaskan Nabi-nabi Ulul
Azmi. Sebagian ulama lain menentukan minimal 20 orang berdasar QS. Al-Anfal 65,
yang menjelaskan tentang 20 orang yang tahan uji sehingga dapat mengalahkan 200
orang kafir. Ada pula yang menentukan minimal rawinya berjumlah 40 orang, berdasar
QS. Al-Anfal 64, yaitu jumlah orang mukmin ketika itu.

 2) Jumlah rawinya seimbang dalam semua tingkatan

Dengan demikian jika misalnya suatu hadis diriwayatkan oleh 10 sahabat, kemudian
diterima oleh 5 orang tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh 2 orang tabi’it
tabi’in, maka tidak termasuk hadis mutawatir.

 3). Berdasarkan Tanggapan Panca Indra

Maksudnya warta yang disampaikan itu benar-benar hasil pendengaran atau


penglihatannya sendiri bukan hasil pemikiran atau teori yang mereka temukan

AHAD
 Hadits Ahad 
hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir,tidak
memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada
derajat mutawatir.  Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat,
yakni hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir, hadis selain
hadis mutawatir, atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada
sumber- nya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhannidan tidak sampai
kepada qath’i dan yaqin.
Di kalangan para ulama’ ahli hadis terjadi perbedaan pendapat mengenai kedudukan hadis
ahad untuk digunakan sebagai landasan hukum. Sebagian ulama’ ahli hadis berkeyakinan
bahwa hadis ahad tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk masalah akidah. Sebab,
menurut mereka, hadis ahad bukanlah qat’i as-Subut (pasti ketetapannya). Namun menurut
para ahli hadis yang lain dan mayoritas ulama, bahwa hadis ahad wajib diamalkan jika telah
memenuhi syarat kesahihan hadis yang telah disepakati.

HADIS MANSYUR

Definisi hadist Masyhur “ Hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, namun
belum mencapai derajat mutawatir.”
Dari definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis masyhur adalah hadis yang
diriwayatkan dari Nabi saw. oleh beberapa orang sahabat namun tidak mencapai tingkat
mutawatir. bisa jadi, pada thabaqah (tingkatan) tabiin atau setelahnya hadis itu
diriwayatkan secara mutawatir. Tetapi, ini tidak terjadi pada setiap thabaqah.
Dari segi tingkatannya, hadis masyhur adalah termasuk paling tinggi, sebab rawi hadis masyhur
ini yang paling dekat untuk mencapai derajat mutawatir. Hanya saja, ada pada salah satu
tingkatan rawinya tidak mencapai derajat mutawatir.
HADIS AZIZ

Definisi hadis aziz : “Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang pada satu habaqah.
Kemudian pada habaqah selanjutnya banyak rawi yang meriwayatkannya.”
Dari definisi tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan hadis aziz yaitu hadis yang
pada salah satu atau setiap thabaqah (tingkatan) rawinya hanya dijumpai dua rawi saja.
Suatu hadis yang dikatagorikan sebagai hadis aziz yaitu:
• Pada tiap-tiap thabaqah (tingkatan) hanya terdapat dua rawi saja.
• Pada salah satu thabaqah (tingkatan) hanya terdapat dua rawi, meskipun thabaqah yang lainnya
lebih dari tiga rawi.
HADIS GARIB
“Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi, di manapun tempat sanad itu terjadi.”
Dari definisi tersebut di atas, dapat katakan bahwa yang dimaksud dengan hadis garib yaitu hadis
yang diriwayatkan oleh hanya seorang rawi saja, baik dalam seluruh tingkatan sanad atau pada
salah satu tingkatan sanadnya. Adapun yang dimaksud dengan sanad menyendiri pada suatu
hadis yaitu rawi yang meriwayatkan hadis secara sendirian tanpa ada rawi yang lain.
Hadis garib juga biasa disebut hadis fardun yang artinya sendirian. Ibnu Hajar menganggap
bahwa antara garib dan fardun adalah sinonim, baik secara bahasa maupun secara istilah. Akan
tetapi, kebanyakan para ahli hadis membedakan antara garib dan fardun, yakni istilah fardun
merujuk kepada garib mutlak, sedangkan istilah garib dipakai pada garib nisbi. Hal ini sesuai
dengan pengklasifisian hadis garib yang memang dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a) Hadis Garib Mutlak (fardun).
b) Hadis Garib Nisbi.

Hadist ditinjau dari segi kualitasnya


1.Hadist sahih
Hadis sahih adalah hadis musnad (hadis yang mempunyai sanad)
yang bersambung sanadnya, dan dinukil oleh seorang yang adil dan dabit dari
orang yang adil dan dlabit, hingga akhir sanadnya, tanpa ada kejanggalan dan
cacat
Syarat syarat hadist shahih
1. Hadistnya musnad
2. Sanadnya bersambung
3. seluruh rawinya adil dan dlabih
4. Tidak ada syadz
5. tidak ada illah
Hadis sahih diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
1. sahih li katihi
2. sahih li gairihi.
Hukum memakai hadis sahih adalah wajib, sebagaimana kesepakatan para ahli
hadis dan para fuqaha.

2.Hadis Hasan
Kata hasan berasal dari kata al-husnu yang berarti al-jamalu, yang

artinya kecantikan dan keindahan.Hadis hasan adalah Hadis

yang dalam sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh bohong,


hadisnya tidak janggal, serta diriwayatkan tidak hanya dalam satu
jalur rawianHukum memakai hadis hasan sama dengan hadis sahih,
walaupun dari sisi kekuatannya hadis hasan berada di bawah level
hadis sahih.

3.Hadis Da’if.
hadis daif adalah Hadis yang tidak memenuhi syarat
diterimanya suatu hadis dikarenakan hilangnya salah satu syarat dari
beberapa syarat yang ada.
Ada perbedaan pendapat mengenai masalah hukum
menggunakan hadis da’if. Mayoritas ulama membolehkan
mengambil hadis iaif sebagai hujjah, apabila terbatas pada masalah
fadal’ilul 'amal.

BAB 10
FUNGSI HADIS
PENGERTIAN HADIS
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan,
dan perkataan.
MACAM-MACAM HADIS
1) Hadits Qauliyah (ucapan)
2) Hadits Fi’liyah (perbuatan)
3) Hadits Taqririyah (perkataan)

KEDUDUKAN HADIS

Dalam kedudukannya sebagai penjelas, Hadits kadang-kadang memperluas hukum


dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan
Allah dalam Al-Quran.
Kedudukan Hadits sebagai Bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan
hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak,
karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan
Hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi
bahan perbincangan dikalangkan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan
Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh
karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.

PENJELASAN FUNGSI HADIS


Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat
hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah
belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi
hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai
dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64, yang artinya: Dan Kami
tidak menurunkan kepadamu Al Quran ini, melainkan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits
disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani  dan dalam hubungannya dengan
Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut :

FUNGSI HADIS
1) Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an
atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir.
2) Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an.
3) Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an.
4) Merinci apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar.
5) Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum.
6) Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an.

HUBUNGAN HADIS DENGAN ALQURAN


Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena
pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala
bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an
adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi
pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya
hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh
umat.

Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa


sebagian besar ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis
besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari
hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang utama
adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-Qur’an
disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani.

Anda mungkin juga menyukai