Anda di halaman 1dari 103

1.

ULUMUL QURAN

A. Ulumul quran

Secara etimologi, kata Ulumul berasal dari bahasa Arab yaitu “Ulum” . Kata ulum adalah

bentuk jamak dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Sedangkan Al-Qur’an sendiri adalah

kalam Allah yang berupa mukjizat kepada Nabi Muhammad dengan perantara malaikat Jibril.

Jadi, definisi dari Ululmul Qur’an adalah pengetahuan yang membahas masalah-masalah yang

berhubungan dengan al-Qur’an dari segi asbabun nuzul, an-Nasikh wa al-Mansukh, al -Muhkam

wa al-Mutasyabih, al-Makki wa al-Madani, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan al-

Qur’an. Menurut As-Suyuthi dalam kitab Itmamu Al-Dirayah mengatakan bahwa Ulumul

Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya,

adab makna-maknanya, baik yang berhubungan dengan lafadz-lafadznya maupun hukum-

hukumnya.

B. Perkembangan Ulumul quran

Berikut beberapa fase (tahapan perkembangan ulumul quran):

1. Masa Rasulullah saw

       Embrio awal Ulumul Qur’an berasal dari Rasulullah saw sebagai penafsir utama dan

pertama. Penulisan tentang tafsir dan ilmu al-Quran belum dibutuhkan pada masa Rasulullah dan

para sahabat. Bahkan beberapa saat sepeninggal Beliau para sahabat tidak menulis apa yang

disampaikan oleh Nabi berkenaan denga Ulumul Quran. Hal ini dikarenakan oleh beberapa

penyebab diantaranya adalah para sahabat mempunyai daya hafal yang sangat kuat. Kedua,

sebagian sahabat Nabi adalah orang yang buta aksara dan ketika mereka mendapatkan problem

maka langsung bertanya pada Rasulullah. Ketiga, sarana tulis menulis yang sulit didapat.
Larangan Rasulullah saw untuk menulis selain qur'an, sebagai upaya menjaga kemurnian Al-

Quran.

2. Ulumul Qur’an Masa Khalifah

Pada masa khalifah, tahapan perkembangan awal (embrio) ulumul quran mulai

berkembang pesat, diantaranya dengan kebijakan-kebijakan para khalifah sebagaimana berikut:

a. Khalifah Abu Bakar: dengan Kebijakan Pengumpulan(Penulisan Al-Quran yg pertama

yang diprakarsai oleh Umar bin Khottob dan dipegang oleh Zaid bin Tsabit)

b. Kekhalifahan Usman ra: dengan kebijakan menyatukan kaum muslimin pada satu

mushaf, dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf Imam. Salinan-salinan

mushaf ini juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan

ar-Rosmul Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman, dan ini dianggap sebagai permulaan

dari ilmu Rasmil Qur'an.

c. Kekalifahan Ali ra: dengan kebijakan perintahnya kepada Abu 'aswad ad-Du'ali

meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku dan memberikan

ketentuan harakat pada qur'an. Ini juga disebut sebagai permulaan Ilmu I'rabil Qur'an.

3. Ulumul Qur’an Masa Sahabat & Tabi'in

Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna

al-qur'an dan penafsiran ayat-ayat yang berbeda diantara mereka, sesuai dengan kemampuan

mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya

mereka hidup bersama Rasulullah saw, hal demikian diteruskan oleh murid-murid mereka , yaitu

para tabi'in. Diantara para Mufasir yang termashur dari para sahabat adalah:

a. Empat orang Khalifah

b. Ibnu Mas’ud
c. Ibnu Abbas

d. Ubai bin Kaab

e. Zaid bin sabit

f. Abu Musa al-Asy'ari dan

g. Abdullah bin Zubair

Sementara tokoh-tokoh dari kalangan tabi’in diantaranya:

a. Mujahid

b. Atha’ bin Abu Rabah

c. Ikrimah

d. Qatadah bin Diamah

e. Al-Hasan Al-Basrhi

f. Sa’id bin Jubair

g. Zaid bin Aslam

       Mereka dianggap sebagai Peletak dasar-dasar ilmu-ilmu yang diberi nama Ilmu Tafsir,

Asbabun Nuzul, Ilmu Naskh wal Mansukh, Ilmu Gharibil Qur’an dan lain-lain dari berbagai

macam cabang Ulumul Qur’an.

4. Masa Pembukuan Tafsir Al-Qur’an

Setelah dirintis dasar-dasar ulumul qur’an seperti yang disebutkan di atas, kemudian

datanglah masa pembukuan/penulisan cabang-cabang ulumul qur’an. Pertama adalah

pelaksanaan pembukuan Tafsir Al-Qur’an sebab tafsir itu dianggap sebagai induk dari ilmu-ilmu

Al-Qur’an lainnya. Orang pertama yang mengarang tafsir ialah Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan bin

Uyainah, dan Waki’ bin Jarrah. Mereka termasuk ulama abad ke-2. Setelah mereka muncul Ibnu
Jari Ath-Thabari yang mengarang kitab Tafsir Ath-Thabari, bernama Jaami’ul Bayaan fi Tafsiiril

Qur’an.

5. Masa Pembukuan Cabang-cabang Ulumul Qur’an

       Orang yang pertama kali mengarang ialah Ali Ibnu Madini, gurunya Imam Al-Bukhari.

Beliau mengarang Ilmu Asbabin Nuzul. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam mengarang Ilmu

Nasikh wal Mansukh. Kemudian diikuti oleh M. Ayub Adh-Dhiris, beliau menulis Ilmu Makki

wal Madani, dan Muhammad bin Khallaf Al-Marzuban yang menulis Al-Hawi Fi Ulumil

Qur’an. Keempat ulama tersebut termasuk ulama abad ke-III H. Sedangkan pada ke-IV H

muncul para ulama yang giat menyusun kitab, yaitu Abu Bakar As-Sijistani ( Ilmu Gharibil

Qur’an), Abu Bakar bin Qasim A-Ambari (‘Ajaibu’ Ulumul Qur’an), Abul Hasan Al-Asy’ari

(Al-Muhtazan fi Ulumul Qur’an), Abu Muhammad bin Ali Al-Karakhi dan Muhammad bin Ali

Al-Adwafi.

       Ulumul Qur’an mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-VIII H, sebab pada abad

ini muncul pengarang-pengarang besar seperti:

a. Imam Ahmad Ibnuz Zubair, yang mengarang kitab Al-Burhan Fi Tartibi Suwaril Qur’an

b. Imam Najamuddin Ath-Thufi, yang menulis kitab Ilmu JIdaalil Qur’an

c. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang menulis kitab t-Tibyan Fi Aqsamil Qur’an

d. Badrudin Az-Zaarkasyi, yang mengaran kitab Al-Burhan Fi Ulumuil Qur’an, terdiri dari

4 jilid besar-besar yang mengupas 160 macam cabang Ulumul Qur’an

e. Abul Hasan Al-Mawardi yang menyusun kitab Ilmu Amtsaalil Qur’an

Kepesatan dan kecemerlangan Ulumul Qur’an pada abad VIII H terus berlanjut pada

abad ke-IX H,dengan munculnya pengarang-pengarang kenamaan seperti Imam Jamaluddin Al-

Bulqini, Imam Muhammad bin Sulaiman Al-Kafiji dan Imam Muhammad Al-Buqa’i.
kecemerlangan tersebut berakhir pada abad ke-X H ditangan pakar Ulumul Qur’an, Imam

Jalaluddin Abdur Rahman As-Suyuti (911 H), yang sempat mengarang 6 buah kitab:

a. Tanasuqud Durar Fi Tanaasubis Suwari

b. At-Tahbir Fi Ulumit Tafsiiri, yang didalamnya dibahas 102 cabang Ulumul Qur’an

c. Al-Iitqan Fi Ulumil Qur’an yang terdiri dari 2 juz, tetapi dibukukan menjadi satu jilid,

didalamnya dikupas 80 cabang Ulumul Qur’an.

d. Ad-Durrul Mantsur Fit Tafsiri bil Ma’tsur

e. Lubaabun Nuqul Fii Asbaabin Nuzul

f. Thaabaqatul Mufassiriin

6. Ulumul Qur’an Pada Zaman Modern

Setelah wafatnya As-Suyuthi pada tahun 911 H, maka terhentilah gerakan penulisan

Ulumul Qur’an sampai abad ke-XIV H. barulah pada abad XVI H atau abad modern, bangkit

kembali kegiatan penulisan Ulumul Qur’an dan perkembangan kitab-kitabnya baik tafsir maupun

macam-macam kitab Ulumul Qur’an. Diantara para ulama yang menulis Tafsir/Ulumul Qur’an

adalah:

a. Ad-Dahlawi: Al-Fauzul Kabir Fi Ushulit Tafsir

b. Thahir Al-Jazairi: At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an

c. Abu Daqiqah: Ulumul Qur’an

d. M. ali Salamah: Minhaajul Furqan  Fi Ulumil Qur’an

2. SEJARAH TURUNNYA ALQURAN

A. Sejarah

Al-qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi muhammad lewat perantara

malaikat jibril. Wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah pada saat
beliau berkholwat di gua hiro’. Beliau di datangi malaikat jibril dan menyuruhnya membaca,

Nabipun sangat takut dan bergemetar lalu berkata “saya tidak bisa membaca” karena Nabi adalah

ummy (buta huruf). Tapi jibril dengan sabar mengajari beliau, dan itulah wahyu yang pertama

kali turun yaitu surat al-‘alaq ayat 1-5.

Al-qur’an diturunkan pada tanggal 17 ramadhan yang sering di peringati umat muslim

sebagai hari nuzulul qur’an. Sesuai dengan firman allah surat al-baqoroh ayat 183. Adapula yang

mengemukakan bahwa al-qur’an turun pada malam-malam ganjil sepuluh hari pada bulan

ramadhan (lailatul qodar) karena berpegang pada firman Allah surat al-qodar ayat 1-2. Ada

banyak cara Allah menyampaikan wahyu pada Nabi dan Rasul-Nya. Diantaranya;

1. Wahyu turun tanpa perantara.

a. Melalui mimpi yang benar. Misalnya ketika turun wahyu surat al-Kautsar ayat 1-3.

b. Allah berbicar langsung dari balik hijab, contonya wahyu yang diterima Nabi

Muhammad saat isro’ mi’roj tentang perintah sholat lima waktu.

2. Wahyu turun melalui perantara malikat.

a. Jibril menampakkan wajahnya atau bentuknya yang asli. Seperti saat Nabi

Muhammad menerima wahyu yang pertama yaitu surat al-‘alaq ayat 1-5.

b. Jibril menyamar seperti seorang laki-laki yang berjubah putih. Misalnya ketika Nabi

menerima wahyu tentang iman, islam, ihsan, dan tanda-tanda hari kiamat.

c. Wahyu datang seperti gemerincing lonceng.

Sebagai mana dimaklumi, bahwa Allah menurunkan al-qu’an kepada Rasul-Nya melalui

“amin al-wahyi” (jibril a.s). sementar itu para ulama berbeda pendapat mengenai turunnya

wahyu tersebut sebelum disampaikan kepada Rasul pilihan-Nya itu. Pendapat-pendapat

dimaksud Ialah:
a. Pendapat pertama mengatakan bahwa al-qur’an itu diturunkan melalui tiga tahap.

Tahap pertama: al-qur’an diturumkan Allah ke lauh al-mahfuzh secara sekaligus dalam

arti, bahwa Allah menetapkan keberadaannya di sana, sebagimana halnya dia menetapkan

adanya segala sesuatu sesuai denagn kehendak-Nya, tetapi kapan saatnya serta bagaiman caranya

tidak seorangpun mengetahui kecuali allah, sesuai dengan firman-Nya,dalam Qur’an surat Al-

buruj ayat 21-22 Yang artinya:

“Bahkan (yang didustakan mereka itu ), ialah al-qur’an yang mulia yang (tersimpan) di lauh al-

mahfuzh.’’

Tahap kedua: al-qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh ke bait al-‘izzah yang berada di

langit dunia. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 185 yang artinya:

“Bulan ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-qur’an sebagi petunjuk bagi manusia,

dan memberikan penelasan-penjelasan mengenai petunjuk tersebut serta sebagai pembeda antara

yang hak dan yang batil.”

Dan dalam surat Ad-dukhan ayat 3 yang artinya:

“Sesungguhnya kami telah menurunkan al-qur’an pada suatu malam yang diberkati, dan

sesungguhnya kamilah yang memberi peringatan.”

Dan juga firman-Nya dalam surat al-qadar ayat 1 yang artinya:“sesungguhnya kami telah

turunkan al-qur’an pada malam kemuliaan (lailah al-qadar)”

Tahap ketiga: al-qu’an diturunkan dari bait al-‘izzah (langit dunia) dengan perantara jibril

as. Kepada Rasul s.a.w untuk pertama kalinya pada tanggal 17 bulan ramadhan, dan berlanjut

secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Pendapat tersebut dianut oleh para

jumhur ‘ulama. Mereka mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan turunnya al-qur’an pada

ketiga ayat diatas ialah turunnya secara keseluruhan sekaligus, bukan berangsur-angsur.
B. Hikmah diturunkannya Al Quran secara berangsur-berangsur

Al-qur’an sebagai petunjuk bagi manusia yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara

berangsur-angsur pastilah memiliki hikmah, diantaranya adalah:

1. Menetapkan (littastbit) hati Rasulullah.

Kenapa hati Rasulallah perlu dikuatkan?

Karena Nabi berdakwah pada orang banyak salah satunnya adalah orang-orang quraisy

yang mana mereka terkenal dengan orang-orang yang kasar dan bengis. Yang tidak hanya

menentang ajaran beliau tetapi mereka juga berusaha membunuh beliau. Maka dengan adanya al-

qur’an turun secara berangsu-angsur dapat memberi semangat pada Rasul untuk tetap

berdakwah, karena hal itu sama dengan yang dialami Nabi dan Rasul terdahulu.

2. Untuk melemahkan lawan-lawannya (mukjizat).

Karena sering kali mereka tidak meyakini dan meminta bukti atas kebenaran ajaran yang

dibawa Nabi.

3. Mudah dipahami dan dihafal.

Beberapa sahabat adalah buta huruf, jadi dengan adanya al-qur’an diturunkan secara

berangsu-angsur dapat mempermudah mererka untuk menghafalkan dan dipahami serta

diamalkan.

4. Sesuai dengan peristiwa atau kejadian yang dialami

Al-qur’an diturunkan untuk menjawab segal permasalahan-permasalahan yang di hadapi

kaum muslimin pada saat itu.

3. NAMA ALQURAN

A. Nama alquran

1. Al-Quran
Alqur’an artinya bacaan. Nama Al-qur’an Allah sebutkan dalam Al-qur’an surah Alisra’

ayat  9:

“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan

memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa

bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’:9)

2. Al-Kitab

Alkitab artinya Buku. Nama Al Kitab Allah sebutkan dalam Al-qur’an surah Al Baqarah

ayat 2: “Inilah Al Kitab yang tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang

bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 2)

3. Ad-Dzikru

Adzikru artinya pemberi peringatan. Nama Adzikru Allah sebutkan dalam Al-qur’an

surah Al-hijr ayat 9:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adzikru, dan sesungguhnya Kami benar-benar

memeliharanya.” (QS. Al Hijr: 9)

4. Al-Furqan

Alfurqan artinya pembeda antara yang hak dan yang batil. Nama Alfurqan Allah

sebutkan dalam Al-qur’an surah Al-furqan ayat 1:

 “Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi

pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al Furqaan: 1)

5. At-Tanzil

Attanzil artinya yang diturunakan. Nama Attanzil Allah sebutkan dalam Al-qur’an surah

Asysyuara’ ayat 192:


 “Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam” (QS.

Asysyuara’: 192)

6. Al-Huda

Alhuda artinya petunjuk. Nama Alhuda Allah sebutkan dalam Al-qur’an surah Al-jin ayat

13:

“ Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al-Qur'an), kami beriman kepadanya.

Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan

tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin:13)

7. Al-Mau'idhah

Almau’idhah artinya  pelajaran atau nasihat. Nama Al-mauidhaha Allah sebutkan dalam

Al-qur’an surah yunus ayat 57:

“ Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh

bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang

yang beriman”. (QS. Yunus 57)

8. Al-Hukm

Al hukum artinya hukum atau peraturan. Nama Al hukum Allah sebutkan dalam Al-

qur’an surah Ar-ra’du ayat 37:

“ Dan demikianlah   Kami telah menurunkan Al-Qur'an itu sebagai peraturan (yang benar)

dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang

pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap

(siksa) Allah.” (QS. Ar Ra'du:37)

9. Al-Hikmah
Alhikmah artinya kebijaksanaan. Nama Al hikmah Allah sebutkan dalam Al-qur’an surah

Al-isra’ ayat 39:

“ Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu,  Dan janganlah kamu

mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam

neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah).” (QS. Al Isra':39)

10. Asy-Syifa'

Asy syifa’ artinya oabat atau penyembuh. namaAsysyifa’ Allah sebutkan dalam Al-qur’an

surah yunus ayat 57:

“ Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh

bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang

yang beriman.” (QS. Yunus :57)

11. Al-Bayan (penerang)

Albayan artinya penerang. Nama Al bayan Allah sebutkan dalam Al-qur’an surah Ali

imran ayat 138:

  “Al-Qur'an ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi

orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imran:138)

12. An-Nur

An nur artinya cahaya. Nama An nur Allah sebutkan dalam Al-qur’an surah Annisa’ ayat

174:

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu.

(Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang

benderang (Al-Qur'an)”. (QS. An- Nisa':174)

13. Ar-Rahmah
Ar rahmah artinya karunia. Nama Arrahmah Allah sebutkan dalam Al-qur’an surah An-Namlu

ayat 77:

  “Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang

yang beriman.” (QS. An Namlu:77)

14. Al-Kalam

Al kalam artinya ucapan atau firman. Nama Al kalam Allah sebutkan dalam Al-quran surah At

taubah ayat 6:

 “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka

lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat

yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At-

Taubah:6)

15. Al-Busyra

Albusyra artinya kabar gembira. Nama Al busyra Allah sebutkan dalam Alqur’an surah An nahlu

ayat 102:

“ Katakanlah Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar,

untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar

gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. An Nahlu:102)

16. Al-Balagh

Al-balagh artinya penyampaian atau kabar. Nama Al balagh Allah sebutkan dalam Al-

qur’an surah Ibrahim ayat 52:

“(Al-Qur'an) ini adalah kabar yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi

peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang

Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS. Ibrahim:52)
17. Ar-Ruh

Ar ruh artinya Ruh. Nama Ar ruh Allah sebutkan dalam Al-qur’an surah Asy syura ayat 52:

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (Al-Qur'an) dengan perintah

Kami,   Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al-Qur'an) dan tidak pula

mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki

dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami, Dan sesungguhnya kamu

benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy Syuura:52)

18. Al-Qaul

Al qaul artinya perkataan. Nama Al qaul Allah sebutkan dalam Alqur’an surah Al qashash

ayat 51:

“Dan sesungguhnya telah Kami turunkan berturut-turut perkataan ini (Al-Qur'an) kepada

mereka agar mereka mendapat pelajaran.” (QS. Al Qashash:51)

19. Al-Basha'ir

Al bashair artinya pedoman. Nama Al bashair Allah sebutkan dalam Al-qur’an surah Al

jasiyah ayat 20:

“Al-Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.”

(QS. Al Jasiyah:20).

Itulah nama-nama Al-qur’an yang Allah sebutkan didalam Al-qur’an. Nama-nama Al-qur’an

tersebut memberikan bukti kepada kita umat muslim, betapa agungnya kitab suci umat islam

yaitu Al-qur’an . barang siapa yang berpegang teguh kepada Al-qur’an maka orang

tersebut  tidak akan tersesat selama-lamanya. Wallahu ‘Alam Bishshawab…. 

4. RASM QURAN

A. Pengertian Rasm Al-quran


               Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah

tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm

dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin

Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Istilah Rasm Ustman

lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-

harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi

enam istilah, yaitu :

a. Al-Hadz (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contoh, menghilangkan

huruf alif pada ya’nida’, dari ha tanbih, pada lafaz jalalah.

b. Al-Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang

mampunyai hukum jama’ dan menambah  huruf setelah hamzah marsumah (hamzah yang

terletak diatas tulisan wawu.

c. Al-Hazmah, salah satu kaidahnya berbunyui bahwa apabila hamzah berharakat sukun,

ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh I’dzan (    ) dan U’tumin ( ).

d. Badal (pergantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan.

e. Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diringi kata ma

ditulis dengan disambung.

Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Penulisan kata yang dapat dibaca dua bunyi

disesuaikan dengan salah satu bunyi. Didalam mushaf  Utsmani, penulisan kata semacam itu

ditulis dengan menghilangkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut buyi

harakat (yakni dibaca satu alif).

B. Perkembangan Rasm Al Qur’an


Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat

wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk

kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara

mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan  dari penjelasan Nabi, ada lagi yang

menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.

Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum mempunyai

tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi

tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (‫)ي‬  dan

ba’ (‫)ب‬. Demikian pula antara sin (‫)س‬dan syin (‫)ش‬, antara tha’ (‫ )ط‬dan zha’ (‫)ظ‬, dan seterusnya.

Kesulitan mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti

Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non Arab disebelah

barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat

gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan (661-680 M) – riwayat lain

menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad

Al-Duwali membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam

membaca Al Qur’an bagi generasi yang tidak hafal Al Qur’an.

Al-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus salah pembacaan

yang fatal, yaitu : 

  �  

 

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.

Pada suatu ketika seorang membaca ayat tersebut dengan :


  �  

 

 “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.

Al-Dawali memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf (‫ﹿ‬
),

sebuah titik di bawah huruf (        ) sebagai tana baris bawah (kasrah),k tanda dhammah ben pa

wawu kecil (       ) diantara dua huruf, dan tanpa apa-apa lagi huruf konsonan mati.

Selanjutnya rasm mengalami perkembangan. Khalifah Abdul ibn Marwan (685-705),

memerintahkan Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an

(nuqth al-Qur’an). Mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn Ashim dan Yahya ibu Ma’mur,

keduanya adalah murid al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah

huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya, misalnya

penambahan titik diatas huruf dal  (  ) maka menjadi huruf dzal (     ). Dari pola penulisan

tersebut akhirnya berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola

kufi, maghribi, naqsh, dll.

C. Sejarah penulisan alquran

Sejarah penulisan dan penyusunan dan penyebaran Al-Quran telah bermula dari zaman

Rasulullah SAW. Pada zaman ini, penyusunan telah mula dilakukan oleh para sahabat Rasulullah

SAW. Baginda menyuruh sahabat-sahabat agar menulis ayat-ayat Al-Quran pada tulang,

pelepah-pelepah, batu, kulit-kulit binatang dan sebagainya. Rasulullah SAW juga menghafal

ayat-ayat tersebut dan meminta para sahabat yang lain menghafal ayat-ayat Al-Quran.

Prektik yang biasa berlaku dikalangan para sahabat tentang penulisan Al-

qur’an,menyebabkan nabi Muhammad melarang orang-orang menulis sesuatu darinya kecuali


alqur’an, “ dan siapa yang telah menulis sesuatu dariku selain Al-qur’an maka ia harus

menghapusnya. [4]

Sahabat-sahabat yang menjadi para penulis wahyu pada masa itu ialah Umar bin Al-

Khattab, Uthman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Muawiyyah bin Abi Suffian, Zaid bin Thabit dan

sebagainya.

Rasulullah SAW melarang para sahabat menulis selain dari pada ayat Al-Quran karena

khawatir akan bercampur aduk. Walau bagaimanapun pengumpulan Al-Quran di zaman

Rasulullah bukan dalam bentuk mashaf seperti di zaman Saidina Utsman bin Affan karena jika

terjadi kekeliruan, ia dapat diatasi langsung oleh Rasulullah.SAW.

Pada masa kehidupan Beliau ( Rosulullah ) seluruh Al-qur’an sudah tersedia dalam

bentuk tulisan.[5]

Zaman Khulafa Ar-Rasyidin

1.      Masa Abu Bakar sampai Umar bin Khottob

Selepas Rasulullah SAW wafat, Saidina Abu Bakar dilantik menjadi khalifah yaitu pada

tahun ke-11 hijrah. Pada zaman ini terjadi peperangan Riddah antara tentera Islam dan golongan

yg murtad. Tidak sedikit tentera Islam yg hafaz Al-Quran telah gugur dalam perang .

Menurut sebuah Riwayat  jumlah yang wafat dari kalangan muslim yang syahid sebanyak

1.000 orang …diantara yang syahid  terdapat 70 orang Qori’ dan hafizh al-qur’an dan ada yang

berpendapat lebih dari itu. [6]  Dan ini menimbulkan kekhawatiran di hati Saidina Abu Bakar

akan hilangnya Al-Quran.


Atas saran dan desakan Saidina Umar bin Al-Khattab, Khalifah Abu Bakar mengambil

keputusan untuk mengumpulkan/menyusun Al-Quran. Beliau telah memerinthkan Zaid bin

Thabit, Ubay bin Kaab, Ali bin Abi Talib dan Uthman bin Affan untuk menjalankan tugas ini.

Khalifah Abu Bakar juga menetapkan bahawa penulisan Al-Quran harus berdasarkan

sumber tulisan Al-Quran yg terdapat pada Rasulullah dan sumber hafalan para sahabat. Ayat yg

ditulis harus disaksikan oleh dua orang saksi. Pengumpulan Al-Quran selesai dilakukan pada

tahun ke-13 hijrah dan dinamakan mushaf. Setelah kematian Khalifah Abu Bakar, Mushaf Al-

Quran disimpan oleh Khalifah Umar dan kemudian oleh Hafsah.

Di masa pemerintahan Khalifatur Rasul Abu Bakar ash-Shiddiq R.A, terjadi perang

Yamamah yang mengakibatkan  banyak sekali para qurra’/ para huffazh (penghafal al-Qur`an)

terbunuh. Akibat peristiwa peperangan tersebut, Umar bin Khaththab merasa khawatir akan

hilangnya sebagian besar ayat-ayat al-Qur`an yang ada pada hafalan para suhada’ ( akibat

wafatnya para huffazh ). Maka beliau berpikir tentang pengumpulan al-Qur`an yang masih ada di

lembaran-lembaran, batu, pelapah kurma,tulang dan pada tempat lain.

Pada dialog dibawah ini mengambarkan proses awal pembukuan Al-qur’an.

Zaid bin Tsabit berkata : Abu Bakar telah mengirim berita kepadaku  tentang korban Perang

Ahlul Yamamah. Saat itu      Umar bin Khaththab berada di sisinya.Abu Bakar ra berkata:

bahwa Umar telah datang  kepadanya lalu ia berkata: “Sesungguhnya peperangan sengit terjadi

di hari Yamamah dan menimpa para qurra’ (para huffazh). Dan aku merasa khawatir dengan

sengitnya peperangan terhadap para qurra (sehingga mereka banyak yang terbunuh) di negeri itu.

Dengan demikian akan hilanglah sebagian besar al-Qur`an.” Abu Bakar berkata kepada Umar:

“Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasul saw?”

Umar menjawab: “Demi Allah ini adalah sesuatu yang baik.” Umar selalu mengulang-ulang
kepada Abu Bakar hingga Allah memberikan kelapangan pada dada Abu Bakar tentang perkara

itu. Lalu Abu Bakar berpendapat seperti apa yang dipandang oleh Umar.Zaid bin Tsabit

melanjutkan kisahnya. Abu Bakar telah mengatakan kepadaku, “Engkau laki-laki yang masih

muda dan cerdas. Kami sekali-kali tidak pernah memberikan tuduhan atas dirimu, dan engkau

telah menulis wahyu untuk Rasulullah saw sehingga engkau selalu mengikuti al-Qur`an, maka

kumpulkanlah ia.”Demi Allah seandainya kalian membebaniku untuk memindahkan gunung dari

tempatnya, maka sungguh hal itu tidaklah lebih berat dari apa yang diperintahkan kepadaku

mengenai pengumpulan al-Qur`an. Aku bertanya: “Bagaimana kalian melakukan perbuatan yang

tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw?” Umar menjawab bahwa ini adalah sesuatu yang

baik. Umar selalu mengulang-ulang perkataaannya sampai Allah memberikan kelapangan pada

dadaku seperti yang telah diberikanNya kepada Umar dan Abu Bakar ra. Maka aku mulai

menyusun al-Qur`an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang-tulang, dari batu-batu

tipis, serta dari hafalan para sahabat, hingga aku dapatkan akhir surat at-Taubah pada diri

Khuzaimah al-Anshari yang tidak aku temukan dari yang lainnya.[7]

surat at-Taubah  ayat: 9 .

Artinya:

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa

olenya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas

kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At-Taubah [9]: 128)

Pengumpulan al-Qur`an yang dilakukan Zaid bin Tsabit ini tidak berdasarkan hafalan

para huffazh saja, melainkan dikumpulkan terlebih dahulu apa yang tertulis di hadapan

Rasulullah saw. Lembaran-lembaran Al-Qur`an tersebut tidak diterima, kecuali setelah

disaksikan dan dipaparkan di depan dua orang saksi yang menyaksikan bahwa lembaran ini
merupakan lembaran yang ditulis di hadapan Rasulullah saw. Tidak selembar pun diambil

kecuali memenuhi dua syarat:

1)      Harus diperoleh secara tertulis dari salah seorang sahabat.

2)      Harus dihafal oleh salah seorang dari kalangan sahabat.

Bukti ketelitiannya, hingga pengambilan akhir Surat at-Taubah sempat terhenti karena

tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa akhir Surat at-Taubah tsb

ditulis di hadapan Rasululllah saw, kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para sahabat tidak berani

menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada

kesaksian Khuzaimah, bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang

muslim yang adil. Barulah mereka menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah

tersebut.

Demikianlah, walaupun para sahabat telah hafal seluruh ayat al-Qur`an,  namun mereka

tidak hanya mendasarkan pada hafalan mereka saja. Akhirnya, rampung sudah tugas

pengumpulan al-Qur`an yang sangat berat namun sangat mulia ini. Perlu diketahui, bahwa

pengumpulan ini bukan pengumpulan al-Qur`an untuk ditulis dalam satu mushhaf, tetapi sekedar

mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis di hadapan Rasulullah saw ke dalam satu

tempat.

Lembaran-lembaran al-Qur`an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya.

Kemudian berada pada Umar bin al-Khaththab selama hidupnya. Kemudian bersama Ummul

Mu`minin Hafshah binti Umar ra sesuai wasiat Umar.

2.      Utsman bin Affan dan Ali Bin Abi Tolib

Setelah Umar bin khotob wafat jabatan Kholifah digantikan  Amirul Mu`minin Utsman

bin Affan ra. Di wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah
bin al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca al-Qur`an. Hudzaifah melihat

penduduk Syam membaca al-Qur`an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka membacanya

dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk

Irak membaca al-Qur`an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak

pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa

saling mengkafirkan di antara sesama muslim.  Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara

penduduk Kufah dan Bashrah.

Hudzaifah pun marah. Kedua matanya merah. Hudzaifah berkata, “Penduduk Kufah

membaca qiraat Ibnu Mas’ud, sedangkan penduduk Bashrah membaca qiraat Abu Musa. Demi

Allah jika aku bertemu dengan Amirul Mu`minin, sungguh aku akan memintanya untuk

menjadikan bacaan tersebut menjadi satu.” Sekitar tahun 25 H, datanglah Huzaifah bin al-Yaman

menghadap Amirul Mu`minin Utsman bin Affan di Madinah.

Hudzaifah berkata, “Wahai Amirul Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka

berselisih tentang al-Kitab (al-Qur`an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani.”

Utsman kemudian mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan

lembaran-lembaran al-Qur`an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke dalam beberapa

mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran

al-Qur`an itu kepada Utsman.

Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash,

dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushhaf.

Utsman bertanya : Siapa yang orang yang biasa menulis?

”Dijawab,              : Penulis Rasulullah saw adalah Zaid bin Tsabit.

Utsman bertanya   : Lalu siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?
Dijawab                 : Said bin al-‘Ash.

man berkata     : Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk  

  menuliskan al-Qur`an.

Saat proses penyalinan mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan,

yakni adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut”.

Seperti diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin al-Ash dan yang menuliskannya

adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat. Ketika Said bin al-Ash

mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit menuliskannya sebagaimana ditulis oleh

kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah

mereka menuliskannya. Tetapi anggota tim lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya

kata itu tertulis di dalam lembaran-lembaran al-Qur`an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka

memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk menyampaikan

hal itu kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin teguh. Utsman lalu

memerintahkan mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran al-

Qur`an yaitu dengan Ta` Mahtuhah. Sebab hal itu merupakan bahasa orang-orang Quraisy, lagi

pula al-Qur`an diturunkan dengan bahasa mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta`

Maftuhah.

Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkara itu, karena mereka

hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran al-Qur`an, dan

bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.

Tertib atau urutan ayat-ayat Al-qur’an  adalah Tauqifi,ketentuan dari Rosulullah,sebagian

ulama’ meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma’.[8]


Setelah mereka menyalin lembaran-lembaran tersebut  ke dalam mushhaf, Utsman segara

mengembalikannya kepada Hafshah.

Utsman kemudian mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri Islam

agar orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang al-Qur`an. Jumlah salinan yang telah

dicopy sebanyak tujuh buah.

Tujuh salinan tersebut dikirimkan masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam,

Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan

nama Mushhaf Utsmani.

Utsman kemudian memerintahkan al-Qur`an yang ditulis oleh sebagian kaum muslimin

yang bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk dibakar. Ali Bin Abi

tholib berkata :Demi Allah ,dia tidak melakukan apa-apa dengan pecahan-pecahan ( Mushaf )

kecuali dengan persetujuan kita semua”.[9]

Pada masa pemerintahan Sayidina Ali bin Abi Tolib tidak ada perubahan dan

tetapseperti zaman Usman Bin Affan.

D.    Zaman Setelah Zaman Khulafa Ar-Rasyidin

Pada masa berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari

mushhaf Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita

sekarang.

Pada masa pemerintahan Mu’awiyah ( 60 H/679 M ),dia menerima perintah untuk

melaksanakan tanda titik kedalam naskah mushaf, yang kemungkinan dapat terselesaikan pada

tahun 50 H/670 M.[10]

Adapun pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik yang

warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf yang terjadi di masa
Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan bacaan bagi para pembaca al-

Qur`an yang kurang mengerti tata bahasa Arab.

Pada masa Daulah Abbasiyah, tanda syakal ini diganti. Tanda dhamah ditandai dengan

dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah

ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf. Begitu pula pembubuhan tanda titik di bawah dan di

atas huruf di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dilakukan untuk membedakan satu

huruf dengan huruf lainnya.

Dengan demikian, al-Qur`an yang sampai kepada kita sekarang adalah sama dengan yang

telah dituliskan di hadapan Rasulullah saw. Allah SWT telah menjamin terjaganya al-Qur`an.

Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf saja dari al-Qur`an kecuali hal itu akan

terungkap.

Allah SWT berfirman:

Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan        

sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9)

Oleh karena itu, tidak perlu kita ragu-ragu terhadap orisinalitas al-Qur`an.

E.     Sekitar Tulisan Al-quran

1.      Bentuk tulisan Alquran dan para ahli di masa lalu

Awal mula belajar menulis diantara orang Arab ialah Basyir bin Abdul Malik saudara

Ukaidar daumah, ia belajar pada orang Al-Anbar, Harb dan anaknya Sufyan belajar menulis

padanya,  kemudian Harb mengajar Umar bin Khattab. Mu’awiyyah belajar pada Sufyan Bapak

kecilnya tulisan orang Al-Anbar, kemudian diperbaiki (disempurnakan)oleh Ulama Kufah.


Tulisan itu tiada berbaris dan tiada bertitik. kemudian bentuk tulisan itu diperbaiki oleh

Abu Ali Muhamad bin Ali bin Muqlah dan kemudian diperbaiki lagi oleh Ali bin Hilal Al

Bagdady yang terkenal dengan nama Ibnu Bawab.

Setelah banyak yang bukan orang arab masuk islam, mulailah ada kecederaan dalam

pembacaan Alquran, Maka timbullah kakhawatiran para ulama bahwa Alquran akan mengalami

kecederaan-kecederaan. Ketika itu Ziyad bin Abihi meminta kepada Abul Aswad Ad-Duali salah

seorang ketua tabi’in untuk membuat tanda-tanda bacaan. Lalu Abul aswad Ad-Duali memberi

baris huruf dan penghabisan dari kalimah saja dengan memakai titik di atas sebagai baris di atas,

titik di bawah sebagai tanda baris di bawah dan titik di samping sebagai tanda di depan dan dua

titik sebagai tanda baris dua.

Usaha menberi titik huruf Alquran itu dikerjakan oleh Nashar bin Ashim atas perintah

Al-Hajjaj. Urusan memberi baris dikerjakan oleh Khalil bin Ahmad. Khalil Bin ahmad memberi

sistem baris Abul Aswad Ad-Duali dengan menjadikan alif yang dibaringkan di atas huruf, tanda

baris di atas dan yang dibawah huruf tanda baris di bawah, dan wau tanda baris di depan dan

membuat tanda mad (panjang bacaan) dan tsdyd (tanda huruf ganda).

Setelah itu barulah penghafal-penghafal Alquran membuat tanda-tanda ayat, tanda tanda

wakaf (berhenti) dan ibtida (mulai) serta menerangkan di pangkal-pangkal surat, nama surat dan

tempat tempat turunnya di Mekah atau Madinah dan menyebutkan bilangan ayat nya.

Selain itu ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa yang mula mula memberi titik dan

baris  ialah Al-Hasan Al-Bishry dengan suruhan Abdul Malik bin Marwan. Abdil Malik bin

Warwan memerintahkan kepada Al-hajjaj dan Al-hajjaj  menyuruh Al-Hasan Al-Bishry dan

Yahya bin Ya’mura,murid Abul Aswad Ad- Duali

2.      Permulaan Alquran dicetak    


Menurut sejarah Al-qur’an pertama kali Al-qur’an dicetak dan diterbitkan di Vinece

sekitar tahun 1530 M, kemudian di Basel pada 1543, tetapi kemudian dimusnahkan atas perintah

penguasa gereja.  Pada tahun 1694 M atau sekita tahun 1106 H, seorang jerman yang bernama

Hinckelmann telah berhasil mencetak Alquran pertama di kota Hamburg.[11]

3.      Cara menulis Alquran di luar mushaf.

Menulis mushaf mengikuti cara yang dipakai dalam penulisan mushaf Khalifah ke-3 yaitu

pada masa khalifah Ustman, yang dilaksanakan oleh komisi yang terdiri dari sahabat-sahabat

besar, dan tulisan-tulisan itu dinamai Resam utsmani.

Dalam menulis Alquran terdapat 3 pendapat yang berbeda dari Ulama’ al-Qur’an  :

1)      Tidak di bolehkan sekali-sekali kita menyalahi khat ustmani, baik dalam menulis ‫ و‬maupun

dalam menulis  ‫ا‬, dan dalam menulis yang lain-lainnya. Pendapat ini dipegang erat oleh imam

Ahmad. Abu ‘Amer Ad Dany berkata: ”tidak ada yang menyalahi apa yang dinukilkan imam

malik, yaitu tidak boleh kita menulis Alquran selain dengan yang ditetapkan oleh para sahabat

itu”

2)      Tulisan Alquran itu bukan tauqifi : bukan demikian diterima dari syafa’ tulisan yang sudah

ditetapkan itu, tulisan yang dimupakatkan menulisnya dimasa itu. Ibnu khaldun dalam

muqaddimahnya, dan Alqadli Abu bakar dalam kitab Al intishar, Beliau berkata:  “Tuhan tidak

mewajibkan kita menulis Alquran dengan cara yang tertentu” Rasulullah SAW, hanya

memerintahkan menulis Alquran dan tidak menerangkan cara menulisnya.

3)      Pengarang Attibyan dan Al-burhan memilih pendapat yang dipahamkan dari perkataan Ibnu

‘Abdis salam, yaitu kebolehan kita menulis Alquran untuk manusia umum menurut istilah-istilah

yang dikenal oleh mereka dan tidak diharuskan kita menulis menurut tulisan lama. Karena

dikhawatirkan akan meragukan mereka.


 Dan harus ada orang yang memelihara tulisan lama sebagai barang pustaka yakni orang ‘Arifin.

Maka kami menulis ayat-ayat menurut istilah baru (istilah para ulama) sesuai dengan undang-

undang Imla’ yang mudah dibaca orang. Dan tidak ada salahnya pula orang menulis ayat-ayat

dengan tulisan latin, asal qiraatnya benar.

5. ASBABUL NUZUL

A. Pengertian

Menurut bahasa Asbabun nuzul berasal dari dua kata yaitu asbabun dan nuzul. Asbabun

artinya sebab atau karena, sedangkan nuzul artinya turun. Jadi asbabun nuzul adalah sebab-sebab

turunnya ayat Al-Qur’an. Adapun menurut istilah syara’ Asbabun nuzul adalah Suatu hal yang

karenanya Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan suatu hukum pada masa hal itu terjadi, baik

berupa peristiwa maupun pertanyaan.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebab turunnya suatu ayat itu berkisar

pada dua hal yaitu:

a. apabila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa

tersebut, seperti kisah turunnya surat Al-Lahab.

b. apabila Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat al-Qur’an untuk

menerangkan hukumnya. seperti ketika khaulah binti sa’labah dikenakan zihar oleh

suaminya Aus bin tsamit, hingga Khaulah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai

hukumnya, maka turunlah surat Al-Mujadalah ayat 3.


Namun tidak semua ayat Al-Qur’an diturunkan karena adanya suatu peristiwa atau

karena suatu pertanyaan. Ada diantara ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan

tanpa sebab. Seperti kewajiban muslim, mengenai akidah dan syari’at Allah SWT dalam

kehidupan umat manusia.

Manfaat/Fungsi Mengetahui Asbabun Nuzul Yaitu:

a. Dapat  membantu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, dan menghilangkan keraguan

tentangnya.

b. Dapat mengetahui hikmah rahasia yang terkandung dalam pengsyari’atan hukum dalam

suatu ayat Al-Qur’an.

c. Asbabun Nuzul sangat bermanfaat bagi orang mukmin dan yang bukan mukmin. Adapun

bagi orang mukmin akan semakin kuat keimanannya dan jelas baginya hikmah

disyari’atkannya suatu hukum oleh Allah SWT. Sedangkan bagi yang bukan mukmin

dapat mengetahui lewat Asbabun Nuzul ini, bahwa syari’at islam itu sesungguhnya

mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan bagi pemeluknya.

d. Menentukan hukum dengan sebab.

e. Mengetahui orang atau kelompok yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan

ketegasan apabila terdapat keragu-raguan. karena jika kita tidak mengetahui Asbabun

Nuzul bisa jadi kita mentakhsiskan ayat yang seharusnya ‘amm atau sebaliknya.

f. dapat memudahkan dalam memahami Al-Qur’an serta menguatkan ingatan terhadap

hukum dari suatu ayat, dengan karena mengetahui sebab dan akibatnya, kapan dan

kepada siapa ayat tersebut diturunkan, dan sebagainya.

Macam-Macam Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul ada 2 macam yaitu


1. Dalam bentuk peristiwa 

Asbabun Nuzul dalam bentuk peristiwa ada 3 yaitu:

a. Peristiwa berupa pertengkaran, seperti perselisihan antara segolongan dari suku Aus

dan segolongan dari suku Khasraj. Peristiwa itu timbul dari intik-intik yang ditiupkan

orang-orang yahudi sehingga mereka bertetiak-teriak “senjata-senjata”. Peristiwa

tersebut menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an surah Ali-imran ayat 100:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari

orang-orng yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu

menjadi orang kafir sesudah kamu beriman".(QS.Ali'Imran: 100)

b. Peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti: peristiwa seseorang yang mengimami

sholat sedang dalam keadaan mabuk sehingga salah membaca surah Al-kafirun. dari

peristiwa tersebut maka menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat

43:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlahkamu menghampiri sholat

sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu

ucapkan...." (QS.An-nisa’: 43)  

c. Peristiwa berupa cita-cita dan keinginan, seperti persesuaian-persesuaian Umar Bin

Khattab dengan ketentuan ayat Al-Qur'an. Seperti beberapa harapan umar bin khatab

yang dikemukakan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian turun ayat yang

dikandungnya sesuai dengan harapan-harapan Umar tersebut. Seperti yang

diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Umar berkata :" Aku sepakat

dengan Tuhanku dalam 3 hal: Aku katakan kepada Rasul, bagaimana sekiranya kalau

kita jadikan makam Ibrahim sebagai tempat sholat". Maka turunlah ayat Al-Qur’an
surah Al-Baqarah ayat 125:

Artinya: "Dan jadikanlah maqam Ibrahim sebagai tempat sholat".(QS.Al-

Baqarah:125)

2. Dalam Bentuk Pertanyaan

Asbabun Nuzul dalam bentuk pertanyaan ada 3 yaitu:

a. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah berlalu, seperti pertanyaan

tentang Zulkarnain, maka turunlah ayat Al-Qur’an surah Al-Kahfi ayat 82:

Artinya: "Mereka akan bertanya kepadamu Muhammad  tentang Zulkarnain,

Katakanlah :"Aku akan bacakan cerita tentangnya".(QS. Al-Kahfi:82)

b. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada saat itu,

seperti pertanyaan tentang ruh maka turunlah ayat al-Qur’an surah Al-Isra' ayat 85: 

Artinya: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, Katakanlah "Ruh itu

termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberikan pengetahuan melainkan

sedikit". (QS. Al-Isra’:85)

c. Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti pertanyaan

tentang hari kiamat maka turunlah ayat Al-Qur’an surah An-Nazi'aat ayat 42: 

Artinya: "Mereka bertanya tentang hari kiamat, bila terjadinya..."(QS. An-

Nazi’at:42).

6. NASIKH WALMANSUKH\

A. Pengertian

Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi,

kata  ini dipakai  untuk  beberapa  pengertian:
a.       Nasikh, dapat bermakna ‘izalah (menghilangkan).

b.      Nasikh dapat bermakna tabdil (mengganti/menukar).

c.       Nasikh dapat bermakna tahwil (memalingkan).

d.      Nasikh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. [1]

Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi

pengertian  terminologis.  Perbedaan  terma  yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama

mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.

 Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i yang ditetapkan kemudian,

tidak hanya untuk  ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku

sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama  yang  dinyatakan

berakhirnya  masa pemberlakuannya,  sejauh  hukum  tersebut tidak dinyatakan berlaku terus

menerus, tapi  juga  mencakup pengertian  pembatasan  bagi  suatu pengertian bebas

(muthlaq).  Juga  dapat  mencakup  pengertian  pengkhususan (makhasshish)  terhadap  suatu

pengertian umum ('am). Bahkan juga  pengertian  pengecualian  (istitsna).

Sebaliknya   ulama  mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasan

pengertian  tersebut  untuk  mempertajam  perbedaan   antara nasikh  dan makhasshish,

muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas  hanya  untuk  ketentuan

hukum  yang  datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan

berakhirnya   masa   pemberlakuan   ketentuan  hukum   yang

terdahulu,   sehingga   ketentuan  yang  diberlakukan  ialah

ketentuan  yang   ditetapkan   terakhir   dan   menggantikan ketentuan  yang mendahuluinya.

Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari  satu  pengertian,


dan  di  lain  pihak  dalam perkembangan selanjutnya naskh membatasinya hanya pada satu

pengertian[2].

B.     RUKUN DAN SYARAT NASIKH

Sesuai dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu  hukum, hubungan antara  ketentuan

hukum satu dengan yang lainnya harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi

antara satu  ayat  dengan  ayat lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa rukun dan

syarat yang harus diterapkan:

1.      Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.

2.      Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh

itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan menghapusnya.

3.      Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.

4.      Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.

Adapun syarat-syarat naskh:

1.      Yang dibatalkan adalah hukum syara’.

2.      Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.

3.      Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti

perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinasikh setelah selesai melaksanakan

puasa tersebut.

4.      Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian. [3]

C.     JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin  disoroti  dalam  bagian  ini

ialah  adanya naskh  antara  satu  syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi

sebagaimana dapat  kita  amati  antara syari'at hukum agama Islam  dengan syari'at  Nabi Isa  as

yang lebih  dahulu  ada.  Dalam  hubungan  ini,  dapat  kita katakan bilamana  kita mengikrarkan

Islam sebagai syari'at, dengan  sendirinya  kita mengaku   adanya   naskh,   karena syari'at-

syari'at  sebelumnya  tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun

tidak  akan  kita  berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad

saw. [4]

Jika   sudah   melihat  adanya  nasikh-mansukh  antar syari'at,  di dalam satu   syari'at   juga

terjadi   nasikh-mansukh  antara  hukum  yang  satu dengan hukum yang lainnya. Kembali pada

syari'at Islam sendiri, akan menemui  beberapa  kasus. Seperti  Sesudah hijrah ke Madinah, kaum

Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah

menetapkan ketentuan lain. Keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram [5]. Ini berarti terjadi

nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya

menyangkut bidang ibadat. Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut

ketentuan hokum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.

 Dari seluruh kasus-kasus tersebut berimplikasi bahwa memang  terbukti adanya nasikh-

mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan  hukum  yang  sudah

berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan

hukum lain. 

Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut  segi formalnya.  Jenis lain yang

menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat eksklusif  (sharih)  dan  inklusif  (dlimmi).

Untuk  yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya


hukum  kiblat.  Ketentuan yang  nasikh (pengganti)  ditetapkan  secara  jelas. Sedangkan contoh

lain misalnya  hukum ziarah   kubur.   Didalam  hadits  disebutkan,  pernah dilarang

dalam   melakukan   ziarah    kubur.    Selanjutnya, ayat itu ternasikh oleh ayat yang

membolehkannya seorang ziarah kubur.  Berbeda  dengan hal  tersebut diatas,

nasikh  yang  bersifat   dlimmi   tidak   memuat  penegasan

didalamnya  bahwa  ketentuan  yang  mendahuluinya  tercabut, tetapi isinya cukup jelas

bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya.[6]

D.     MACAM-MACAM NASIKH

1.      Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran

Ulama Sepakat Mengatakan ini diperbolehkan. Demikian juga mengenai jatuhnya.

Umpama menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun. Ayat iddah ini

ternasikhkan oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan sepuluh hari.

2.      Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah

Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:

Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Ahad. Menurut jumhur tidak diperbolehkan,

karena Al-Quran itu mutawatir, harus diyakini. Sedangkan hadist ahad masih diragukan.

Kedua, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Mutawatir. Hal ini diperbolehkan menurut

imam malik, abu hanifah dan ahmad bin hambal.

3.      Sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran

Ini diperbolehkan menurut jumhur. Menghadap sembahyang ke baitul mukaddis itu

ditetapkan oleh sunnah, sedangkan di dalam Al-Quran tidak ada yang menunjukkan demikian

itu. Di sini dinasikhkan oleh Al-Quran QS 2:144.


4.      Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah

Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:

1.      Mutawatir dinasihkan dengan mutawatir pula.

2.      ahad dinasihkan dengan ahad pula.

3.      ahad dinasikhkan dnegan mutawatir.

4.      mutawatir dinasikhkan dengan ahad. [7]

E.      BENTUK-BENTUK NASIKH

Nasikh di dalam Al-quran terdapat tiga bentuk, yaitu:

1.      Nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus.

Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah

berkata:

‫ص•لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي• ِه َو َس•لَّ َم‬


َ ‫ت فَتُ• ُوفِّ َي َر ُس•و ُل اللَّ ِه‬
ٍ ‫س َم ْعلُو َم••ا‬
ٍ ‫ي َُح ِّر ْمنَ ثُ َّم نُ ِس• ْخنَ بِ َخ ْم‬ ‫ت‬
ٍ ‫ت َم ْعلُو َما‬ َ ‫َكانَ فِي َما أُ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُرْ آ ِن َع ْش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬

.‫َوه َُّن فِي َما يُ ْق َرأُ ِمنَ ْالقُرْ آ ِن‬

Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali

penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima

kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu

termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]

2.      Nasikh hukum dan tetap adanya tilawah.

Contohnya firman Allah Azza wa Jalla:


َ‫ ِّم ْن ُك ْم ِمائَ•ةٌ يَ ْغلِبُ•وا أَ ْلفًا ِّمنَ الَّ ِذين‬ ‫ص•ابِرُونَ يَ ْغلِبُ••وا ِم••ائَتَ ْي ِن َوإِن يَّ ُكن‬
َ َ‫ ِّمن ُك ْم ِع ْشرُون‬ ‫ين َعلَى ْالقِتَا ِل إِن يَ ُكن‬
•َ ِ‫ض ْال ُم ْؤ ِمن‬
ِ ِّ‫يَآأَيُّهَا النَّبِ ُّي َحر‬

َ‫بِأَنَّهُ ْم قَوْ ٌم الَ يَ ْفقَهُون‬ ‫َكفَرُوا‬

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

ُ‫•ف يَ ْغلِبُ••وا أَ ْلفَي ِْن بِ•إ ِ ْذ ِن هللاِ َوهللا‬


ٌ •‫ ِّم ْن ُك ْم أَ ْل‬ ‫صابِ َرةٌ يَ ْغلِبُوا ِمائَتَ ْي ِن َوإِن يَ ُك ْن‬ َ ‫ْالئَانَ خَ فَّفَ هللاُ عَن ُك ْم َو َعلِ َم أَ َّن فِي ُك ْم‬
َ ٌ‫يَ ُكن ِّمن ُكم ِّمائَة‬ ‫ض ْعفًا فَإِن‬

َ‫الصَّابِ ِرين‬ ‫َم َع‬

3.      Menasikhkan tilawah disamping tetapnya hukum.

Contoh: lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

ِ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ إِ َذا َزنَيَا فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكاالً ِمنَ هللاِ َو هللاُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬

Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah keduanya. Pembalasan itu

pasti dari Allah. Dan Allah itu maha Gagah lagi Maha Bijaksana. [8]

F.      KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH

Masalah naskh bukanlah  sesuatu  yang  berdiri  sendiri.  Ia merupakan bagian yang berada

dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu  Ushul  Fiqh.  Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan

adanya perbedaan  pendapat tentang kedudukan naskh.  naskh berfungsi mencabut (raf) atau

menjelaskan (bayan)[9]. Dilihat  dari jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika

ditinjau dari  segi  formalnya maka  fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau

dari  segi  materinya,  maka  fungsi   penjelasannya   lebih menonjol. Meski demikian, pada

akhirnya dapat dilihat adanya suatu  fungsi  pokok bahwa  naskh  merupakan   salah   satu

interpretasi hukum.
Hikmah Keberadaan Naskh Menurut Manna Al-Oaththan terdapat empat ketentuan

naskh, yaitu:

1.      Menjaga kemaslahatan hamba.

2.      Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan

perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.

3.      Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian di hapus.

4.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat

daripada ketentuan  mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya,

jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan

bagi umat. [10]

G.     CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH

Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.

1.      Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang artinya:

Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah.mendapat izin

untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini berziarahlah kamu ke kubur. Sesungguhnya ziarah kubur

itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).

2.      Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.

3.      Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.

Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-

dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua

perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya nasakh

dan mansukh dalam Alquran. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh

mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat

asal (pokok). [11]

7. MAKIYAH DAN MADANIYAH

8. Para sarjana muslim mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminologi

makkiyah dan madaniyah. Keempat perspektif itu adalah :

9. 1.         Masa turun                  (zaman an-nuzul)

10. 2.         Tempat turun               (makan an-nuzul)

11. 3.         Objek pembicaraan     (mukhathab)

12. 4.         Tema pemmbicaraan   (maudu’)

13.

14. 1.      Dari perspektif masa turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas

sebagai berikut :

15. َ‫ َما نَ َز َل قَ ْب َل ْال ِهجْ َر ِة َواِ ْن َكانَ بِ َغي ِْر َم َكة‬: ‫اَ ْل َم ِك ُي‬.

16. •َ‫ َما نَ َز َل بَ ْع َد الِهجْ َر ِة َواِ ْن َكانَ بِ َغي ِْر َم ِد ْينَة‬: ‫ َو الم َدنِ ُي‬.

17. ‫فَ َما نَزَ َل بَ ْع َد ال ِهجْ َر ِة َولَوْ بِ َم َكةَ أَوْ َع َرفَةَ َم َدنِ ُي‬.

18. Artinya :

19. “Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum rasulullah hijrah ke madinah, kendatipun

bukan turun di mekah, sedangkan madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah

rasulullah hijrah ke madinah, kendatipun bukan turun di madinah. Ayat-ayat yang turun

setelah peristiwa hijrah disebut madaniyyah walaupun turun di mekah atau di arafah.”
20.            Dengan demikian, surat an-nisa’ [4]: 58 termasuk kategori madaniyyah kendatipun

diturunkan di mekah, yaitu pada peristiwa terbukanya kota mekah (fath makkah). Begitu

pula, surat al-maidah [5]: 3 termasuk kategori madaniyyah kendatipun tidak diturunkan di

madinah karena ayat itu diturunkan pada peristiwa haji wada’.

21.

22. 2.      Dari perspektif tempat turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi di

atas sebagai berikut :

23. َ‫ بِ َم َكةَ َو َما َجا َو َرهَا َك ِمنَى َو َع َرفَةَ َو ُح َد ْيبِيَة‬: ‫ نَزَ َل‬ ‫ َما‬.

24. ‫ َما نَ َز َل بِالم ِد ْينَ ِة َو َما َجا َو َرهَا َكأ ُ ُح ٍد َوقُبَا َء َوس ُْل َع‬: ‫ َوالم َدنِ ُي‬.

25. Artinya :

26. “Makkiyah adalah ayat-ayat yang turun di mekah dan sekitarnya seperti mina, arafah, dan

hudaibiyyah, sedangkan madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di madinah dan

sekitarnya, seperti Uhud, Quba’ dan Sul’a”

27. Terdapat celah kelemahan dari pendefnisian di atas sebab terdapat ayat-ayat tertentu,

yang tidak di turunkan di Makkah dan di Madinah dan sekitarnya.

28. Misalnya surat At-Taubah [9]: 42 diturunkan di Tabuk, surat Az-Zukhruf [43]: 45

diturunkan di tengah perjalanan antara Makkah dan Madinah. Kedua ayat tersebut, jika

melihat definisi kedua, tidak dapat dikategorikan ke dalamMakkiyyah dan Madaniyyah.

29.

30. 3.      Dari objek pembicaraan, mereka mendefinisikan kedua terminologi di atas

sebagai berikut :

31. ‫ َما َكانَ ِخطَابًا أِل َ ْه ِل الم ِد ْينَ ِة‬: ‫ َوالم َدنِ ُي‬. َ‫ َما َكانَ ِخطَابًا أِل َ ْه ِل َم َكة‬: ‫اَ ْل َم ِك ُي‬.

32. Artinya :
33. “Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Makkah.

SedangkanMadaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orangMadinah”

34. Pendefinisian diatas dirumuskan para sarjana muslim berdasarkan asumsi bahwa

kebanyakan ayat al-qur’an dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan naas” yang menjadi

kriteria Makkiyah, dan ungkapan “ya ayyuha al-ladziina” yang menjadi kriteria

Madaniyyah. Namun, tidak selamanya asumsi ini benar. Surat Al-Baqarah [2], misalnya,

termasuk kategori Madaniyyah, padahal di dalamnya terdapat salah satu ayat, yaitu ayat

21 dan ayat 168, yang dimulai dengan ungkapan “ya ayyuhan naas”. Lagi pula, banyak

ayat al-quran yang tidak dimulai dengan 2 ungkapan di atas.

35.

36. 4.      Dari tema pembicaraan, mereka akan mendefinisikan kedua terminologi  

lebih terinci.

37.

38. Kendatipun mengunggulkan pendefinisian Makkiyyah danMadaniyyah dari perspektif

masa turun, subhi shahih melihat komponen-komponen serupa dalam tiga pendefinisian.

Pada ketiga versi itu terkandung komponen masa tempat dan orang. Bukti lebih lanjut

dari tesis shahih di atas bisa dilihat dalam kasus surat Al-Mumtahanah [60]. Bila dilihat

dari perspektif tempat turun, surat ini termasukMadaniyyah karena diturunkan sesudah

peristiwa hijrah. Akan tetapi, dalam perspektif objek pembicaraan, surat itu

termasukMakkiyah karena menjadi khitab bagi orang-orang mekah. Oleh karena itu, para

sarjana muslim memasukkan surat itu kedalam “ma nuzila bi al Madinah wa hukmuhu

Makki ” (ayat-ayat yang di turunkan di Madinah, sedangkan hukumnya termasuk ayat-

ayat yang diturunkan di Mekah). [1]


39. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Makkiyyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang

diturunkan kepada Rasulullah SWT sebelum hijrah ke Madinah, walaupun ayat tersebut

turun di sekitar / bukan di kota Makkah, yang pembicaraannya lebih ditujukan untuk

penduduk Makkah.

40. Sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah dan

sekitarnya walaupun turunnya di Makkah, dan pembicaraannya lebih ditujukan untuk

penduduk Madinah.

41.

42. B.     Sejarah Perkembangan Maakkiyah dan Madaniyyah

43. Dikalangan ulama terdapat beberapa pendapat tentang dasar atau kriteria yang dipakai

untuk menentukan Makkiyyah dan Madaniyyah suatu surat atau ayat.

44. Sebagian ulama menetapkan lokasi turunnya ayat-ayat atau surat sebagai dasar penentuan

Makkiyyah dan Madaniyyah, sehingga mereka membuat definisi Makkiyyah dan

Madaniyyah sebagai berikut:

45. Yang diartikan sebagi berikut: “Makiyah ialah yang diturunkan dimakkah sekalipun

turunnya sesudah hijrah, madaniyah ialah yang diturunkan di madinah”

46. Agak sulit memang melacak dan mengidentifikasi secara pasti ayat-ayat Makkiyyah dan

Madaniyyah karena urutan tata tertib ayat tidak mengikuti kronologi waktu turunnya ayat

tetapi berdasarkan petunjuk nabi. Lagi pula pada mushaf usmani yang menjadi acuan

sejak semula disusun mengikuti petunjuk nabi.

47. Koleksi mushaf para sahabat yang diantaranya ada yang ditulis berdasarkan turunnya

ayat, semuanya sudah dibakar setelah tim penyusun al-Quran yang dibentuk Usman bin

Affan menyelesaikan tugasnya. Jadi pembakaran mushaf tersebut bisa juga berarti
sebagai kerugian intelektual, karena dengan demikian menjadi sulit melacak kronologi

ayat berdasarkan waktu turunnya. [2]

48.

49. C.    Perbedaan Makkiyah dan Madaniyyah

50.

51. 1.      Ciri-ciri khusus surat makkiyah

52. a.       Mengandung ayat sajdah (Al-A’raf : 206, A-Nahl : 149, An-Nahl : 50, Al-Isra’ :

107, Al-Isra’ : 108, Al-isra’ : 109, Maryam : 85, Al-Furqan : 60.)

53. b.      Terdapat lafal kalla sebagian besar ayatnya (Al-Humazah :4)

54. ‫كال لينبذن• فى الحطمة‬

55. c.       Terdapat seruan dengan ya ayyuhannasu contonhya dalam surat Yunus : 57,

56. •‫يايهاالناس قدجاءتكم موعظة من ربكم وشفاءلما فى الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين‬

57. d.      Mengandung kisah nabi-nabi dan umat-umat yang telah lalu, kecuali surat Al-

Baqarah (surat Al-A’raaf : kisah Nabi Adam dengan iblis, kisah Nabi Nuh dan kaumnya,

kisah Nabi Shalih dan kaumnya, kisah Nabi Syu’aib dan kaumnya, kisah Nabi Musa dan

Firaun).

58. e.       Terdapat kisah adam dan iblis.[3]

59. Contohnya dalam surat Al-A’raf : 11 yang artinya : “sesungguhnya kami telah

menciptakan kamu (adam), lalu kami bentuk tubuhmu, kemudian kami katakana kepada

malaikat : bersujudlah kamu kepada adam. Maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia

tidak termasuk mereka yang bersujud.”

60. f.       Setiap suratnya terdapat Sujud Tilawah, sebagian ayat-ayatnya.


61. g.      Semua atau sebagian suratnya diawali huruf tahajji seperti Qaf (‫ق‬ (, Nun ( ‫ن‬ ), Kha

Mim (‫حم‬ ) contonya (‫ )ص‬dalam surat Shaad : 1

62. h.      Ayat-ayatnya dimulai dengan huruf terpotong-potong (al-ahraf al-

muqatha’ah ataufawaatihussuwar), seperti “‫(الم‬surat Ar-Rum :1), ‫الر‬  (surat Hud :1),

‫هم‬ “, kecuali Q.S Al-Baqoroh dan Ali ‘Imron.[4]

63.

64. 2.      Ciri-ciri surat makkiyah yang aghlaniyah (umum)

65. a.       Ayat-ayatnya pendek, surat-suratnya pendek (An-Nass 6 ayat, Al-Ikhlas 4 ayat, Al-

Falaq 5 ayat, Al-Lahab 5 ayat), nada perkataannya keras dan agak bersajak (surat Al-

Ashr).

66. ‫والعصر‬.

67. ‫ان االنسن لفى خسر‬.

68. ‫اال الذين ءامنوا وعملواالصلحت وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر‬.

69. b.      Mengandung seruan pokok-pokok iman kepada Allah, hari akhir dan

menggambarkan keadaan surga dan neraka.

70. c.       Menyeru manusia berperagai mulia dan berjalan lempang di atas jalan

kebajikan (An-Nahl, = akhlak-akhlak baik)

71. d.      Mendebat orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan pendirian

mereka (surat Al-Kahfi ayat 102-108)

72. e.       Banyak terdapat lafadz sumpah.[5] (surat Al-Anbiyaa’ : 57)

73. ‫وتا هللا الكيدن• اصتمكم بعد ان تولوا مدبرين‬

74.

75. 3.      Ciri-ciri khusus surat madaniyyah


76. a.       Di dalamnya ada izin berperang atau ada penerangan tentang hal perang dan

penjelasan tentang hukum-hukumnya. (QS. Al-Ahzab = tentang perang ahzab / khandaq).

77. b.      Di dalamnya terdapat penjelasan bagi hukuman-hukuman tindak pidana, fara’id,

hak-hak perdata, peraturan-peraturan yang bersangkut paut dengan bidang keperdataan,

kemasyarakatan dan kenegaraan. (QS. An-Nur = tentang hukum-hukum sekitar masalah

zina, li’an, adab-adab pergaulan di luar dan di dalam rumah tangga. QS. Al-Ahzab =

tentang hukum zihar, faraid)

78. c.       Di dalamnya tersebut tentang orang-orang munafik (surat An-Nur ayat 47-53

tentang perbedaan sikap orang-orang munafik dengan sikap orang-orang muslim dalam

bertakhim kepada Rasul)

79. d.      Di dalamnya didebat para ahli kitab dan mereka diajak tidak berlebih-lebihan dalam

beragama, seperti terdapat dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa’, Ali Imran, At-Taubah dan

lain-lain.[6]

80.

81. 4.      Ciri-ciri surat madaniyyah yang aghlaniyah (umum)

82. a.       Suratnya panjang-panjang, sebagian ayatnya pun panjang serta jelas menerangkan

hukum (QS. Al-Baqarah surat dan ayatnya panjang, dan didalamnya terdapat hukum haji

dan umrah, hukum qishas, hukum merubah kitab-kitab Allah, hukum haid, iddah, hukum

bersumpah, hukum arak dan judi)

83. b.      Menjelaskan keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang menunjukkan kepada

hakikat-hakikat keagamaan.

84.

85. D.    Beberapa Contoh Ayat Makkiyah dan Madaniyah


86. 1.      Makkiyah[7]

87. Diantaranya :

88.

1 Al-‘Alaq 47 An-Naml
2 Al-Qolam 48 Al-Qoshash
3 Al-Muzzammil 49 Al-Isro’
4 Al-Muddatstsir 50 Yunus
5 Al-Fatihah 51 Hud
6 Al-Lahab 52 Yusuf
7 At-Takwir 53 Al-Hir
8 Al-A’la 54 Al-An’am
9 Al-Lail 55 Ash-Shaffat
10 Al-Fajr 56 Luqman
11 Ad-Dhuha 57 Saba’
12 Al-Insyiroh 58 Az-Zumar
13 Al-Ashr 59 Ghofir
14 Al-Adiyat 60 Fushshilat
15 Al-Kautsar 61 Asy-Syura
16 At-takatsur 62 Az-Zukhruf
17 Al-Ma’un 63 Ad-Dukhan
18 Al-Kafirun 64 Al-Jatsiah
19 Al-Fiil 65 Al-Ahqof
20 Al-Falaq 66 Al-Adzariyat
21 An-Nas 67 Al-Ghosiyah
22 Al-Ikhlas 68 Al-Kahfi
23 An-Najm 69 An-Nahl
24 ‘Abasa 70 Nuh
25 Al-Qodar 71 Ibrahim
26 Asy-Syams 72 Al-Anbiya’
27 Al-Buruj 73 Al-Mu’minun
28 At-Tiin 74 As-Sajadah
29 Al-Quroisy 75 At-Thur
30 Al-Qori’ah 76 Al-Mulk
31 Al-Qiyamah 77 Al-Haqqoh
32 Al-Humazah 78 Al-Ma’arij
33 Al-Mursalat 79 An-Naba’
34 Qaf 80 An-Nazi’at
35 At-Thoriq 81 Al-Balad
36 Al-Qomar 82 Al-Infithor
37 Shad 83 Al-Insyiqoq
38 Al-A’rof 84 Ar-Rum
39 Jinn 85 Al-Ankabut
40 Yasin 86 Al-Muthoffifin
41 Al-Furqon 87 Al-Zalzalah
42 Fathir 88 Ar-Rod
43 Maryam 89 Ar-Rohman
44 Thoha 90 Al-Insan
45 Al-Waqiah 91 Al-Bayyinah
46 Asy-Syu’ara
89.

90. 2.      Madaniyah[8]

91. Diantaranya :

92.

1 Al-Baqoroh 13 Ali-Imron
2 Al-Anfal 14 Al-Ahzab
3 Al-Mumtahanah 15 Al-Hujurat
4 An-Nisa’ 16 At-Tahrim
5 Al-Hadid 17 At-Taghabun
6 Al-Qital 18 As-Shaf
7 At-Tholaq 19 Al-Jumuah
8 Al-Hasr 20 Al-Fath
9 An-Nur 21 Al-Maidah
10 Al-Hajj 22 At-Taubah
11 Al-Munafiqun 23 An-Nashr
12 Al-Mujadilah
93.

94.

95. E.     Fungsi Memahami Ilmu Makkiyah dan Madaniyah

96. An-Naisaburi dalam kitabnya At-Tanbih ‘ala Fadhl Ulum Al-Quran, memandang subjek

makkiyah dan madaniyyah sebagai ilmu Al-Quran yang paling utama. Sementara itu ,

Manna’ Al-Qaththan mencoba lebih jauh lagi dalam mendeskripsikan urgensi

mengetahui makkiyah dan madaniyyah sebagai berikut.

97.

98. 1.      Membantu dalam menafsirkan Al-qur’an


99. Pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di seputar turunnya Al-Qur’an tentu sangat

membantu dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, kendatipun ada teori

yang mengatakan bahwa yang harus menjadi patokan adalah keumuman redaksi ayat dan

bukan kehususan sebabin. Dengan mengetahui kronologis Al-Quran pula, seorang

mufassir dapat memecahkan makna kontradiktif dalam dua ayat yang berbeda, yaitu

dengan pemecahan konsepnasikh-mansukh yang hanya bisa diketahui melalui kronologi

Al-Quran.

100.

101. 2.      Pedoman bagi langkah-langkah dakwah

102. Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapan-ungkapan yang relevan.

Ungkapan-ungkapan dan intonasi berbeda yang digunakan ayat-ayat makkiyah dan ayat-

ayat madaniyyah memberikan informasi metodologi bagi cara-cara menyampaikan

dakwah agar relevan dengan orang yang diserunya. Oleh karena itu, dakwah Islam

berhasil mengetuk hati dan menyembuhkan segala penyakit rohani orang-orang yang

diserunya. Di samping itu, setiap langkah-langkah dakwah memiliki objek kajian dan

metode-metode tertentu, seiring dengan perbedaan kondisi sosio-kultural manusia.

Periodisasi makkiyah dan madaniyyah telah memberikan contoh untuk itu.

103.

104. 3.      Memberi informasi tentang sirah kenabian

105. Penahapan turunnya wahyu seiring dengan perjalanan dakwah nabi, baik di

mekah atau di madinah, dimulai sejak diturunkannya wahyu pertama sampai

diturunkannya wahyu terakhir. Al-Quran adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah

nabi itu. Informasinya tidak bisa diragukan lagi.


106. Mengetahui sejarah hidup nabi melalui ayat-ayat Al-Quran, sebab turunnya

wahyu kepada Rasulullah sejalan dengan sejarah dakwah dan segala peristiwa yang

menyertainya, baik pada periode makkah maupun periode madinah, sejak turun iqra’

sampai ayat yang terakhir diturunkan. Al-Quran adalah sumber pokok bagi hidup

Rasulullah. Pola hidup beliau harus sesuai dengan Al-Quran dan Al-Quran pun

memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan. [9]

107. Selain itu juga pengetahuan tentang makkiyah dan madaniyah banyak membawa

hikmah dan faedah serta kagunaan yang bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:

108. 1.      Mudah diketahui mana ayat-ayat yang turun lebih dahulu dan mana ayat

yang turun belakangan dari kitab suci Al-Quran

109. 2.      Mudah diketahui mana ayat-ayat Al-Quran yang hukum bacaannya telah

dinaskh (dihapus dan diganti) dan mana ayat-ayat yang menasakhkannya, khususnya bila

ada dua ayat yang menerangkan hukum sesuatu masalah, tetapi ketetapan hukumnya

bertentangan yang satu dari yang lain.

110. 3.      Mengetahui dan mengerti sejarah pensyariatan hukum-hukum Islam

(Taarikhut Tasyri’) yang amat bijaksana dalam menetapkan peraturan-peraturan.

111. 4.      Mengetahui hikmah disyariatkannya suatu hukum.

112. 5.      Mengetahui perbedaan dan tahap-tahap dakwah Islamiah.

113. 6.      Mengetahui perbedaan ushlub-ushlub (bentuk-bentuk bahasa) Al-Quran

yang dalam surat-surat makkiyah berbeda dengan yang ada dalam surat madaniyah.[10]

114.

115. F.     Ayat-ayat Al-qur’an Diturunkan Di Luar Kota Makkah dan Madinah

116.
117. 1.      Ayat yang di bawa dari makkah ke madinah

118.       Contohnya ialah surat Al-A’la. HR. Al-Bukhari dari Al-Bara’ bin Azib yang

mengatakan, “orang yang pertama kali datang kepada kami di kalangan sahabat Nabi

adalah Mush’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum keduanya membacakan Al-Quran

kepada kami. Sesudah itu datanglah Ammar, Bilal dan Sa’ad. Kemudian datang pula

Umar Bin Khattab sebagai orang yang kedua puluh. Baru setelah itu datanglah Nabi. Aku

melihat penduduk Madinah bergembira setelah aku membacasabbihismarabbikal

a’la dari antara surat yang semisal dengannya.”

119. Pengertian ini cocok dengan Al-quran yang dibawa oleh golongan muhajirin, lalu

mereka ajarkan kepada kaum anshar.

120.

121. 2.      Ayat yang di bawa dari madinah ke makkah

122.       Contohnya dari awal surat Baqarah, yaitu ketika Rasulullah SAW

memerintahkan kepada Abu Bakar untuk pergi haji pada tahun ke Sembilan. Ketika awal

surat Baqarah turun, Rasulullah memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk

membawa surat tersebut kepada Abu Bakar, agar ia sampaikan kepada kaum musyrikin,

maka Abu Bakar pun membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa tahun

ini tidak ada oseorang musyrik pun yang boleh berhaji.

123.

124. 3.      Ayat yang turun di waktu dalam perjalanan

125.       Mayoritas ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran turun pada saat Nabi dalam

keadaan menetap. Akan tetapi, karena kehidupan Rasulullah tidak pernah lepas dari jihad

dan peperangan di jalan Allah, maka wahyu pun turun juga dalam perjalanan tersebut.
Imam As-Suyuthi menyebutkan awal surat Al-Anfal yang turun di Badar setelah selesai

perang, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Sa’ad bin Abi Waqqash.

126. Sedangkan ayatnya adalah sebagai berikut

127. ‫والذين يكنزون الذهب والفضة وال ينفقونها فى سبيل هللا‬

128. Diriwayatkan Ahmad dari Tsauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah

dalam salah satu perjalanan.

129. Juga awal surat Al-Hajj. At-Tirmidzi dan Al-Haakim meriwayatkan dari Imran

bin Hushain yang menyatakan “ketika turun kepada Nabi ayat ‘wahai manusia,

bertakwalah kepada tuhanmu, sesungguhnya goncangan Hari Kiamat itu adalah suatu

kejadian yang sangat besar …sampai dengan .. tetapi adzab Allah sangat

kerasnya’ beliau sedang berada dalam perjalanan.”

130.    Begitu juga surat Al-Fath. Al-Hakim dan yang lain meriwayatkan, dari Al-

Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, keduanya berkata “surat Al-Fath

dari awal sampai akhir turun di antara kota makkah dan madinah berkaitan dengan

masalah perdamaian Hudaibiyah.”

131.     Sebagian dari ayat Al-Quran tidak hanya turun di kota makkah dan sekitarnya

dan tidak pula di madinah dan sekitarnya, seperti firman Allah dalam surat At-Taubah

ayat 42 dan pada surat Az-Zukhruf ayat 45. Yang kedua ayat tersebut tidak turun di kota

makkah dan sekitarnya dan tidak pula di kota madinah dan sekitarnya.

132.     Menurut Ibnu Katsir bahwa surat At-Taubah ayat 42 turun di tabuk, dan surat

Az-Zukhruf ayat 45 diturunkan di abitul maqdis pada malam Isra’.[11]

133.

134. 4.      Ayat yang turun di Kota Arofah pada haji wada’[12]


135. Surat Al-Baqarah ayat : 281

ْ ‫ت َوهُ ْم اَل ي‬
َ‫ُظلَ ُموْ ن‬ ٍ ‫َواتَقُوا يَوْ ًما تُرْ َجعُوْ نَ فِ ْي ِه اِلَى هللاِ ثُم تُ َوفى َ ُك ُل نَ ْف‬
ْ َ‫س َما َك َسب‬ .136

137. “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu

kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan

yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak

dianiaya (dirugikan).”[13]

138.

139. 5.      Ayat yang turun di Kota Mina pada haji wada’

140. Surat Al-Maidah ayat : 3[14]

141. ‫حرمت عليكم الميتة والدم و لحم الخنزير وما أهل لغير هللا به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما‬

‫ اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فال‬ ‫أ كل السبع إالماذكيتم وماذبح على النصب وأن تستقسموا باألزلم ذالكم فسق‬

‫تخشوهم واشون اليم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم اإلسلم دينا فمن اضطر فى مخمصة غير‬

‫متجانف إلثم فإن هللا غفوررحيم‬

142. “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)

yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang

ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan

(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi

nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.

pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab

itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah

Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,

dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.”[15]

8. MUNASABAH ALQURAN

Munasabah secara bahasa berasal dari kata  ً‫ ُمنَا َسبَة‬- ُ‫يُنَا ِسب‬-‫ب‬
َ ‫نا َ َس‬  yang berarti dekat, serupa, mirip,

ْ
dan rapat. ‫ال ُمنَا َسبَة‬ sama artinya dengan ‫ال ُمقَا َربَة‬ yakni mendekatkannya dan

menyesuaikannya. ANNASIB juga berarti AR-RABITH, yakni ikatan, pertalian, hubungan.

Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al-

Qur’an. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh imam As-Sayuti, mendefiisikan munasabah itu

kepada keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga

ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapid an sistematis. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa munasabah adalah suatu ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau keserasian ayat-

ayat Al-Qur’an antar satu dengan yang lain.

 Menurut az-zarkasyi:munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala

dihadapkan pada akal, pasti akal itu akan menerimannya.

 Menurut Manna’al-Qaththan:”munasabah adalah sisi keterkaitan antara beberapa

ungkapan dalam satu ayat atau antarayat pada beberapa ayat, antar surat (di dalam al-qur’an).

 Menurut al-Biqa’i: munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-

alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-qur’an, baik ayat dengan ayat atau surat

dengan surat

 Cara Mengetahui Munasabah

1. Harus diperhatikan tujuan suatu pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.

2. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.

3. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau tidak.


4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan

bahasannya dengan benar dan tidak berlebihan.

Macam Macam Munasabah

Ditinjau dari sifatnya, munasabah terbagi menjadi dua yaitu: ZHAHIR

IRTIBATH (penyesuaian yang nyata) danKHAFY IRTIBATH (persesuaian yang tidak nyata)

ZHAHIR IRTIBATH : Munasabah yang terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan

yang lain nampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain.

KHAFY IRTIBATH : Munasabah yang terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak

ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan di antara keduanya, misalnya hubungan

antar ayat 189 dan ayat 190 surat Al-Baqarah:

‫ْس ْالبِرُّ بِأ َ ْن تَأْتُوا ْالبُيُوتَ ِم ْن ظُهُوْ ِرهَا َولَ ِك َّن ْالبِ َّر َم ِن اتَّقَى َو ْأتُوْ ا ْالبُيُوْ تَ ِم ْن‬
َ ‫اس َو ْال َح ِّج َولَي‬ ُ ‫ك ع َِن ْاألَ ِهلَّ ِة قُلْ ِه َي َم َواقِي‬
ِ َّ‫ْت لِلن‬ َ َ‫يَسْأَلُوْ ن‬

189  َ‫أَ ْب َوابِهَا َواتَّقُوا هللاَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ن‬

190 َ‫َوقَاتِلُوْ ا فِ ْي َسبِ ْي ِل هللاِ الَّ ِذ ْينَ يُقَاتِلُوْ نَ ُك ْم َوالَ تَ ْعتَ ُدوْ ا إِ َّن هللاَ الَ يُ ِحبُّ ْال ُم ْعتَ ِد ْين‬

MEREKA BERTANYA KEPADAMU TENTANG BULAN SABIT. KATAKANLAH:

“BULAN SABIT ITU ADALAH TANDA-TANDA WAKTU BAGI MANUSIA DAN

(BAGI IBADAH) HAJI; DAN BUKANLAH KEBAJIKAN MEMASUKI RUMAH-

RUMAH DARI BELAKANGNYA, AKAN TETAPI KEBAJIKAN ITU IALAH

KEBAJIKAN ORANG YANG BERTAKWA. DAN MASUKLAH KE RUMAH-RUMAH

ITU DARI PINTUNYA; DAN BERTAKWALAH KEPADA ALLAH AGAR KAMU

BERUNTUNG. (189)

DAN PERANGILAH DI JALAN ALLAH ORANG-ORANG YANG MEMERANGI

KAMU, (TETAPI) JANGANLAH KAMU MELAMPAUI BATAS, KARENA


SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK MENYUKAI ORANG-ORANG YANG

MELAMPAUI BATAS. (190).

Ayat 189 di atas   bulan sabit (hilal), tanggal untuk tanda waktu dan untuk jadwal ibadah haji.

Sedangkan ayat 190 menjelaskan perintah menyerang kepada orang-orang yang menyerang umat

islam. Padahal kalaulah dicermati dapat diketahui munasabahnya, yaitu pada waktu haji umat

islam dilarang berperang. Kecuali kalau diserang musuh, maka dalam kondisi demikian mereka

boleh bahkan perlu melakukan balasan.

Adapun munasabah ditinjau dari segi materinya, terbagi menjadi dua bagian yaitu: munasabah

(hubungan) antar ayat dengan ayat dan munasabah (hubungan) antar surat dengan surat.

Dua pokok hubungan itu terperinci sebagai berikut:

Hubungan ayat dengan ayat meliputi:

HUBUNGAN KALIMAT DENGAN KALIMAT DALAM AYAT.

Hubungan antara ayat dengan ayat itu tidak selalu ada pada semua ayat Al-Qur’an. Ayat yang

satu dengan ayat yang lain adakalnya muncul secara jelas menunjukkan hubungan kalimat satu

dengan yang lainnya. Hubungan itu memberikan kejelasan satu sama lain tentang maksud

keseluruhan ayat.

Namun ada juga hubungan yang tidak jelas. Kandungan makna suatu ayat menjadi kabur karena

kaitan kalimat satu denagan kalimat lain tidak dipahamkan secara utuh.

Munasabah ayat dengan ayat dalam setiap surat menambah keyakinan para mufasir bahwa ikatan

antara suatu ayat dengan ayat lain memang erat. Oleh karena itu, hubungan tersebut juga

mendukung keyakinan tentang adanya kaitan ayat dengan sebab turunnya.

Hubungan antara ayat dengan ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, PERTAMA, hubungan

yang sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat
dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu dengan masalah yang dibahah

kemudian.

HUBUNGAN YANG BELUM JELAS ANTARA AYAT DENGAN AYAT ATAU

KALIMAT DENGAN KALIMAT.

Hal tersebut terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:

HUBUNGAN YANG DITANDAI DENGAN HURUF ‘ATHAF

Munasabah dengan menggunakan waw ‘athaf ini biasanya menghubungkan dua hal yang

berlawanan, seperti masuk dan keluar, turun dan naik, langit dan bumi, rahmat dan azab dan lain

sebagainya.

Seperti yang terlihat dalam Surah Saba’ayat 2:

‫َّح ْي ُم ْال َغفُوْ ُر‬ ِ ْ‫يَ ْعلَ ُم َما يَلِ ُج فِ ْي اأْل َر‬
ِ ‫ض َو َما يَ ْخ ُر ُج ِم ْنهَا َو َما يَ ْن ِز ُل ِمنَ ال َّس َما ِء َو َما يَ ْع ُر ُج فِ ْيهَا َوه َُو الر‬

DIA MENGETAHUI APA YANG MASUK KE DALAM BUMI, APA YANG KE LUAR

DARIPADANYA, APA YANG TURUN DARI LANGIT DAN APA YANG NAIK

KEPADANYA. DAN DIA-LAH YANG MAHA PENYAYANG LAGI MAHA

PENGAMPUN.

ِ ْ‫ َما يَلِ ُج فِ ْي اأْل َر‬ seolah-olah tidak berhubungan dengan ungkapan


Ungkapan ُ‫ض َو َما يَ ْخ ُرج‬

‫ َو َما يَ ْن ِز ُل ِمنَ ال َّس َما ِء َو َما يَ ْع ُر ُج فِ ْيهَا‬ sebab yang pertama berbicara tentang sesuatu yang masuk

dan keluar dari bumi sedangkan yang terakhir berbicara tentang sesuatu yang turun dari langit.

Akan tetapi, kedua ungkapan itu masih berhubungan dan saling terkait antara satu dengan yang

lainnya. Sebab focus pembicaraannya masalah ilmu tuhan. Dia mengetahui apa saja yang terjadi

di langit dan di bumi, kedua ungkapan itu membicarakan topic yang sama yaitu ilmu Allah.

Contoh yang lain, yaitu terdapat pada surah Al-Ghasyiyah, ayat 17-20

ْ ‫ُط َح‬
‫ت‬ ِ ْ‫ َوإِلَى اأْل َر‬ ‫ت‬
ِ ‫ض َك ْيفَ س‬ ِ ُ‫ َوإِلَى ال َّس َما ِء َك ْيفَ ُرفِ َعت َوإِلَى ْال ِجبَا ِل َك ْيفَ ن‬ ‫ت‬
ْ َ‫صب‬ ْ َ‫أَفَاَل يَ ْنظُرُونَ إِلَى اإْل ِ بِ ِل َك ْيفَ ُخلِق‬
MAKA APAKAH MEREKA TIDAK MEMPERHATIKAN UNTA BAGAIMANA

DICIPTAKAN. DAN LANGIT, BAGAIMANA DITINGGIKAN. DAN GUNUNG-

GUNUNG, BAGAIMANA DITEGAKKAN. DAN BUMI, BAGAIMANA

DIHAMPARKAN.

Jika diperhatikan, ayat-ayat tersebut sepertinya tidak terkait satu dengan yang lain, padahal

hakekatnya saling berkaitan erat. Penyebutan dan penggunaan kata unta, langit, gunung, dan

bumi pada ayat-ayat tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan

bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka sangat tergantung pada ternak

(unta), namun keadaan tersebut tak kan bisa berlangsung kecuali dengan adanya air yang

diturunkan dari langit untuk menumbuhkan rumput-rumput di mana mereka mengembala, dan

mereka memerlukan gunung-gunung dan bukit-bukit untuk berlindung dan berteduh, serta

mencari rerumputan dan air dengan cara berpindah-pindah di atas hamparan bumi yang luas.

HUBUNGAN YANG TIDAK MEMAKAI HURUF ‘ATHAF

Munasabah yang tidak memakai huruf ‘athaf sandarannya adalah QORINAH MA’NAWIYAH.

sehingga membutuhkan penyokong sebagai bukti keterkaitan ayat-ayat, berupa pertalian secara

maknawai. Dalam hal ini terdapat beberapa bentuk yaitu:

1. At-Tanzhir (‫)التنظير‬, yaitu hubungan yang mencerminkan perbandingan,atau

membandingkan dua hal yang sebanding.

Misalnya ayat 4 dan 5 surat Al-anfal:

ِّ ‫) َك َما أَ ْخ َر َجكَ َربُّكَ ِم ْن بَ ْيتِكَ ْال ُم ْؤ ِمنُونَ بِ ْال َح‬٤( ‫ق َك ِري ٌم‬
َ‫ق َوإِ َّن فَ ِريقًا ِمن‬ ٌ ‫•ًّا لَهُ ْم َد َر َج‬Å‫ك هُ ُم َحًق‬
ٌ ‫ات ِع ْن َد َربِّ ِه ْم َو َم ْغفِ َرةٌ َو ِر ْز‬ َ ِ‫أُولَئ‬

ِ ‫) ْال ُم ْؤ ِمنِينَ لَ َك‬


) ٥( َ‫ارهُون‬

Huruf al-kaf (‫ك‬


َ ) pada ayat lima berfungsi sebagai pengingat dan sifat bagi fi’il yang tersembunyi

(‫مضمر فعل‬ ).Hubungan itu tampak dari jiwa itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk
mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang kalian lakukan pada perang badar meskipun

kaummu membenci cara demikian itu. Allah SWT menurunkan ayat ini agar kaum Nabi

Muhammad SAW mengingat nikmat yang telah diberikan Allah dengan diutusnya Rasul dari

kalangan mereka (surat Al-Baqarah(2):151) : ‫ َك َما أَرْ َس ْلنَا فِي ُك ْم َرسُوال ِم ْن ُك ْم‬, sebagai mana juga kaummu

membencimu (Rasul) ketika engkau mengajak mereka keluar dari rumah untuk berjihad.

Hubungan ini terjadi dengan ayat yang jauh sebelumnya.

2. Al-Istithrad (‫)اإلسطراد‬, artinya peralihan kepada penjelasan lain.

Misalnya, pada surat Al-A’raf ayat 26:

َ‫ك ِم ْن آيَات ِهللاِ لَ َعلَّهُ ْم يَ َّذ َّكرُوْ ن‬ ِ ‫يا َ بَنِ ْي آدَم َقَ ْد أَ ْن َز ْلنَا َعلَ ْي ُك ْم لِبَاسًا يُ َو‬
َ ِ‫اريْ َسوْ ءاَتِ ُكم ْ َو ِر ْي ًشا َولِباَسُ التَّ ْق َوى َذل‬
َ ِ‫ك َخيْر ذل‬

HAI ANAK ADAM, SESUNGGUHNYA KAMI TELAH MENURUNKAN KEPADAMU

PAKAIAN UNTUK MENUTUPI AURATMU DAN PAKAIAN INDAH UNTUK

PERHIASAN. DAN PAKAIAN TAKWA ITULAH YANG PALING BAIK. YANG

DEMIKIAN ITU ADALAH SEBAHAGIAN DARI TANDA-TANDA KEKUASAAN

ALLAH, MUDAH-MUDAHAN MEREKA SELALU INGAT.

Pada ayat tersebut membahas tentang pakaian takwa lebih baik. Allah menyebutkan pakaian itu

untuk menginagatkan manusia bahwa pakaian penutup aurat itu lebih baik. Pakaian berfungsi

sebagai alat untuk memperbagus apa yang Allah ciptakan. Pakaian merupakan penutup aurat dan

kebejatan karena membuka aurat adalah hal yang jelek dan bejat. Sedangkan penutup aurat

adalah pintu takwa.

3. Al-Mudhodah (‫ )المضادة‬artinya berlawanan, misalnya:

َ‫إِ َّن الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا َس َوا ٌء َعلَ ْي ِه ْم أَأَ ْن َذرْ تَهُ ْم أَ ْم لَ ْم تُ ْن ِذرْ هُ ْم الَ ي ُْؤ ِمنُوْ ن‬
SESUNGGUHNYA ORANG-ORANG KAFIR, SAMA SAJA BAGI MEREKA, KAMU

BERI PERINGATAN ATAU TIDAK KAMU BERI PERINGATAN, MEREKA TIDAK

AKAN BERIMAN.

Ayat ini menerangkan watak orang kafir yang pembangkang, keras kepala tidak percaya kepada

kitab-kitab Allah. Sedangkan pada ayat sebelumnya Allah menerangkan watak orang mukmin

sangat berlawanan dengan watak orang kafir. Watak orang-orang mukmin adalah memiliki

kepercayaan yang kuat. Dia percaya adanya yang ghaib, melaksanakan shalat, memiliki sifat

kebersamaan yaitu tidak senang jika melihat saudaranya kesulitan, baik dalam bidang materi

maupun yang lainnya, lalu diambilkan sebagian dari apa yang dimiliki dan diinfakkan kepada

yang memerlukan, dan percaya akan adanya kitab-kitab Allah sebelum Al-Qur’an, apalagi Al-

Qur’an. Mukmin yakin adanya (kehidupan ) akhirat.

Ayat tersebut berbunyi:

)3( َ‫صاَل ةَ َو ِم َّما َر َز ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِقُوْ ن‬ ِ ‫الَّ ِذ ْينَ ي ُْؤ ِمنُوْ نَ بِ ْال َغ ْي‬
َّ ‫ب َويُقِ ْي ُموْ نَ ال‬

ِ ِ‫ك َو َما أُ ْنز ِل ِم ْن قَ ْبلِك َوب‬


)4( َ‫اآلخ َرة ِهُ ْم يُوْ قِنُوْ ن‬ َ ‫َوالَّ ِذ ْينَ ي ُْؤ ِمنُوْ نَ بِ َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي‬

(YAITU) MEREKA YANG BERIMAN KEPADA YANG GAIB, YANG MENDIRIKAN

SHALAT DAN MENAFKAHKAN SEBAHAGIAN REZKI YANG KAMI

ANUGERAHKAN KEPADA MEREKA,

DAN MEREKA YANG BERIMAN KEPADA KITAB (AL QUR’AN) YANG TELAH

DITURUNKAN KEPADAMU DAN KITAB-KITAB YANG TELAH DITURUNKAN

SEBELUMMU, SERTA MEREKA YAKIN AKAN ADANYA (KEHIDUPAN) AKHIRAT.

Hubungan Ayat dengan Ayat dalam Satu Surat

Munasabah dalam bentuk ini secara jelas dapat dilihat dalam surah-surah pendek. Misalnya

surah Al-Ikhlas yang berbunyi:


)4( ‫)ولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ُكفُ ًوا أَ َحد‬ َّ ‫) هللاُ ال‬1( ‫قُلْ هُ َو هللاُ أَ َحد‬
َ 3( ‫) لَ ْم يَلِ ْد َولَ ْم يُوْ لَد‬2(ُ‫ص َمد‬

Masing-masing ayat dalam surat tersebut saling menguatkan, thema pokoknya, yaitu tentang

keesaan tuhan.

Contoh lain dari model ini dapat dilihat dalam Surah Al-Baqarah ayat 255 dan ayat 256 yang

berbunyi:

‫ض َم ْن َذا الَّ ِذيْ يَ ْشفَ ُع ِع ْن َدهُ إِاَّل بِإ ِ ْذنِ ِه يَ ْعلَ ُم َما‬ ِ ‫هللاُ اَل إِلهَ إِاَّل ه َُو ْال َح ُّي ْالقَيُّوْ ُم اَل تَأْ ُخ ُذهُ ِسنَةٌ َواَل نَوْ م لَهُ َما فِي ال َّس َما َوا‬
ِ ْ‫ت َو َما فِي اأْل َر‬

‫ض َواَل يَ ُؤوْ ُدهُ ِح ْفظُهُ َما َوه َُو ْال َعلِ ُّي‬
ِ ْ‫ت َو ْاألَر‬ َ ‫بَ ْينَ أَ ْي ِد ْي ِهم َو َما خ َْلفَهُ ْم َواَل يُ ِح ْيطُوْ نَ بِ َش ْي ٍء ِم ْن ِع ْل ِم ِه إِاّل َ بِ َما َشاء َو ِس َع ُكرْ ِسيُهُ ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬

)255(‫ْال َع ِظيم‬

ALLAH, TIDAK ADA TUHAN (YANG BERHAK DISEMBAH) MELAINKAN DIA

YANG HIDUP KEKAL LAGI TERUS MENERUS MENGURUS (MAKHLUK-NYA);

TIDAK MENGANTUK DAN TIDAK TIDUR. KEPUNYAAN-NYA APA YANG DI

LANGIT DAN DI BUMI. TIADA YANG DAPAT MEMBERI SYAFAAT DI SISI ALLAH

TANPA IZIN-NYA. ALLAH MENGETAHUI APA-APA YANG DI HADAPAN MEREKA

DAN DI BELAKANG MEREKA, DAN MEREKA TIDAK MENGETAHUI APA-APA

DARI ILMU ALLAH MELAINKAN APA YANG DIKEHENDAKI-NYA. KURSI ALLAH

MELIPUTI LANGIT DAN BUMI. DAN ALLAH TIDAK MERASA BERAT

MEMELIHARA KEDUANYA, DAN ALLAH MAHA TINGGI LAGI MAHA BESAR.

 Ayat berikutnya berbunyi:

‫………الَ إِ ْك َراهَ فِ ْي ال ِّدي ِْن قَ ْد تَبَيّنَ الرُّ ْش ِد ِمنَ ْالغَي‬..

TIDAK ADA PAKSAAN UNTUK (MEMASUKI) AGAMA (ISLAM); SESUNGGUHNYA

TELAH JELAS JALAN YANG BENAR DARIPADA JALAN YANG SESAT…..


 Dengan disebutkannya keesaan Allah secara sempurna (dalam ayat 255), maka selanjutnya

dalam ayat 156 ditegaskan bahwa tidak perlu adanya paksaan dalam memeluk agama untuk

memepercayai adanya Allah.

Hubungan Penutup (‫فواصل‬-‫ )فاصلة‬Ayat dengan Isi Kandungan Ayat

 Munasabah ini dapat bertujuan sebagai:

Tamkin

Tamkin artinya memperkokoh atau mempertegas pertanyaan. FASHILAH dalam suatu ayat

memperkokoh pertanyaan yang tersebut dalam kandungan ayat itu. Arti FASHILAH di sini

berkaitan langsung dengan apa yang dimaksud ayat itu bila tidak ada hubugan ini kandungan

ayat itu tidak akan memberi arti yang lengkap boleh jadi mengelirukan.

 Contoh pada surat Al-Ahzab ayat 25:

َ ‫َو َر َّد هَّللا ُ الَّ ِذينَ َكفَرُوا بِ َغ ْي ِظ ِه ْم لَ ْم يَنَالُوا خَ ْيرًا َو َكفَى هَّللا ُ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ْالقِت‬
ِ ‫•ًّا ع‬Å‫َال َو َكانَ هَّللا ُ قَ ِوًي‬
‫َزي ًزا‬

DAN ALLAH MENGHALAU ORANG-ORANG YANG KAFIR ITU YANG KEADAAN

MEREKA PENUH KEJENGKELAN, (LAGI) MEREKA TIDAK MEMPEROLEH

KEUNTUNGAN APAPUN. DAN ALLAH MENGHINDARKAN ORANG-ORANG

MUKMIN DARI PEPERANGAN. DAN ADALAH ALLAH MAHA KUAT LAGI MAHA

PERKASA.

Dari ayat ini dipahami bahwa Tuhan menghindarkan orang mukmin dari perang disebabkan

kelemahan mereka (orang-orang kafir), karena angin kencang atau malaikat yang dikirim Allah.

Pemahaman yang kurang lurus ini diluruskan dengan FHASILAH artinya Allah berkuasa

memisahkan antara dua golongan dalam perang tersebut (dalam perang badar). Kejadian ini

menguatkan orang-orang beriman agar mereka merasa bahwa orang-orang mukmin lah yang

menang.
2. Al- Ighal

Al-Ighal adalah tambahan keterangan terhadap kandungan ayat yang sudah ada

sebelumFASHILAH (akhir ayat Al-Qur’an). Sekalipun tidak ada FASHILAHtersebut, maksud

ayat sudah lengkap.

Misalnya pada surat Al-Maidah ayat 50

)50( َ‫أَفَ ُح ْك َم ْال َجا ِهلِيَّ ِة يَ ْب ُغونَ َو َم ْن أَحْ َسنُ ِمنَ هَّللا ِ ُح ْك ًما لِقَوْ ٍم يُوقِنُون‬

kalimat ‫ َو َم ْن أَحْ َسنُ ِمنَ هَّللا ِ ُح ْك ًما‬ sudah merupakan kalimat sempurna. Akan tetapi, ada persesuaian

fashilah-nya dengan kalimat sebelumnya lalu ditambah dengan  َ‫لِقَوْ ٍم يُوقِنُون‬. QS. An-Naml: 80

)80( َ‫ك ال تُ ْس ِم ُع ْال َموْ تَى َوال تُ ْس ِم ُع الصُّ َّم ال ُّدعَا َء إِ َذا َولَّوْ ا ُم ْدبِ ِرين‬
َ َّ‫إِن‬

Makna kalimat ini telah lengkap sampai ke ‫ال ُّدعَاء‬, lalu ditambahkan seterusnya

َ‫ ُم ْدبِ ِرين‬ ‫إِ َذا َولَّوْ ا‬ untuk menyempurnakan hubungan dengan FASHILAH ayat sebelumnya.

HUBUNGAN SURAT DENGAN SURAT MELIPUTI:

Hubungan antara nama-nama surat

Misalnya surat al-Mu’minun, dilanjutkan dengan surat an-Nur, lalu diteruskan dengan surat al-

Furqon. Adapun korelasi nama surat tersebut adalah orang-orang mu’min berada di bawah

cahaya (NUR) yang menerangi mereka, sehingga mereka mampu membedakan yangHAQ dan

yang BATHIL.

Hubungan antara permulaan surat dan penutupan surat sebelumnya

Misalnya permulaan surat al-Hadid dan penutupan surat al-waqi’ah memiliki relevansi yang

jelas, yakni keserasian dan hubungan dengan tasbih.

dan) 96 :‫فَ َسبِّحْ بِاسْم ِ َربِّكَ ْال َع ِظيْم (الواقعة‬

)1 :‫ض َو هُ َو ْال َع ِز ْي ُز ْال َح ِكيْم (الحديد‬


ِ ْ‫ت َو اأْل َر‬
ِ ‫َسبَّ َح هللِ َما فِي ال َّس َما َوا‬

Hubungan antara awal surat dan akhir surat


Misalnya munasabah antar permulaan surat Shad dan penutupannya yang menceritakan kisah

orang kafir. Demikian halnya dengan surat Al-Qashash, dimulai dengan kisah Nabi Musa dan

Fir’aun serta kaum kafir, sedang ayat yang terakhir menggambartkan pernyataan Allah agar umat

islam jangan menjadi penolong bagi orang-orang kafir, sebab Allah lebih mengerti tentang

hidayah.

Hubungan antara dua surat dalam perihal materinya

Yaitu materi surat yang satu sama dengan materi surat yang lain. Misalnya munasabah antara isi

kandungan surat al-baqarah sama-sama menjelaskan tentang aqidah, ibadah, mua’malah, kisah,

janji, dan ancaman. Bedanya kandungan tersebut dalam surat al-fatihah dijelaskan secara global

sedangkan dalam surat al-baqarah dijelaskan secara perinci.

9. FAWATIH AL SURAH

PengetianFawatih Al- Suwar

            Fawatih merupakan bentuk jama’ dari kata faith yang berarti pembuka. Sedangkan

fawatihalsuwar berarti pembukaan pembukaan pada surat-surat.

Fawatihal-suwar adalah ilmu yang membahas tentang kalimat- kalimat pada pembukan –

pembukaan surat dalam Al-qu’an.[1]

B. Macam –Macam Fawatih Al- Suwar

Menurut Al-Qasthalani, fawatihal-suwar dibagi  menjadi 10 macam, yaitu :

1.    Pembukaan dengan pujian kepada Allah(al-tsana’)

a.    Pembukaan dengan sifat- sifat terpuji bagi Allah dengan menggunakan lafadz sebagai berikut:

      Menggunakan lafadz hamdalah, yakni dibuka dengan (‫)الحمد هللا‬, yang terdapat dalam 5 surat,

yaitu: 1) Al-Fatihah, 2) Al-an’am, 3) Al-Kahfi, 4) Saba’, 5) Fathir.


      Menggunakan lafadz (‫)تبارك‬, yang terdapat dalam 2 surat, yaitu: 1) Al-Furqan, dan 2) Al-

Mulk.

b.    Mensucikan Allah dengan sifat- sifat negatif dengan menggunakan lafadz tasbih, ( \ ْ‫يُ َسبِّ ُح\ َسبِّح‬

َ‫) َسب ََّح\ ُس ْبحن‬, yang terdapat dalam 7 surat, yaitu: 1) Al-isra’, 2) Al-A’la, 3) Al-Hadid, 4) Al-Hasyr,

5) Al-Shaff, 6) Al-Jumu’ah, dan 7) Al-Taghabun.

2.    Pembukaan dengan huruf muqaththa’at

Ada lima bentuk awalan dengan huruf muqaththa’at

yang dapat dilihat Al-Qur’an.

a.    Awalan surah yang terdiri dari satu huruf, ini terdapat pada tiga surah.

QS. Shad, QS. Qaaf    ,QS. Al Qalam           

b.    Awalan surah yang terdiri dari dua huruf, terdapat pada sepuluh surah.

1)   QS. Al Mukmin                 (‫) حم‬

2)   QS. Fushsilat    (‫) حم‬           

3)   QS.Asy Syura                        (‫) ح ّم‬

4)   QS. Az Zukhruf      (‫) ح ّم‬

5)   QS. Ad Dukhan    (‫) ح ّم‬

6)   QS. Al Jatsyiyah       (‫) ح ّم‬

7)   QS. Al Ahqaf(‫) ح ّم‬           

8)   QS. Thaha(‫) طه‬                

9)   QS. An Naml (‫)طس‬           

10)    QS. Yasin( ‫)يس‬                


c.    Awalan surah yang terdiri dari tiga huruf, ini terdapt pada 13 surah.

1.) Enam surah diawali Alif Lam Mim (‫)الم‬

  QS. Al- Baqarah, QS. Ali Imran, QS. Al Ankabut, QS. Ar Rum, QS.   

   Al Lukman, QS. As Sajadah

              2.) Lima surah diawali dengan Alif Lam Ra( ‫)الر‬

   QS. Yunus, QS. Hud, QS. Yusuf, QS. Ibrahim, QS. Al Hijr  

3.) Dua surah yang diawali dengan Tha Sin Mim( ‫) طسم‬

    QS. As Syu’araa dan QS. Al Qashash

d.   Awalan yang terdiri dari empat huruf

QS. Al A’raaf‫المص‬  dan QS. Ar Ro’du‫المر‬

e.    Awalan yang terdiri dari lima huruf

QS. Maryam ]2[  ‫كهيعص‬

3.    Pembukaan dengan panggilan(al-nida’)

Pembukaan surat dengan nida’ ini terdapat dalam 10 surat, yang dibagi menjadi 3 macam,

yaitu:

a.    Nida untuk Nabi, yang terdapat dalam 5 surat, yaitu:

Al-Ahzab, Al-Tahrim, Al-Thalaq, Al-Muzzammil, Al-Muddats’-tsir.

b.  Nida untuk kaum mukmin, yang terdapat dalam 3 surat, yaitu:


Al-Maidah, Al-Hujurat dan Al-Mumtahanah.

c. Nida untuk umat manusia, yang terdapat dalam 2 surat, yaitu:

             Al-Nisa’dan Al-Hajj.

4.    Pembukaan dengan jumlah khabariyah

a. Jumlah ismiyah. Jumlah ismiyah yang menjadi pembuka surat terdapat dalam 11 surat, yaitu:

1)   (‫)بر اءة من هللا ورسوله‬ dalam (QS. Al-Taubah).

2)   (‫)سورة انز لن ها وفر ضنا ها‬ dalam (QS. Al-Nur).

3)   (‫)تنزيل الكت ب من هللا العز يز الحكيم‬dalam (QS. Al-Zumar).

4)   (‫ )الذين كفروا وصدوا عن سبيل هللا‬dalam (QS. Muhammad).

5)   (‫)انا فتحنا لك فتحا مبينا‬ dalam (QS. Al-Fath).

6)   (‫)الر حمن علم القر ان‬ dalam (QS. Al-Rahman).

7)   (‫ )الحاقة ماا لحاقة‬dalam (QS. Al-Haqah).

8)   (‫انا ارسلنانوحاالي قو مه‬...) dalam (QS. Nuh).

9)   (‫)انا انزلنه في ليلة اللقدر‬ dalam (QS. Al-Qadr).

10)    (‫)القار اعة ما القارعةة‬ dalam (QS. Al-Qari’ah).

11)    (‫)انا اعطيناك الكوثر‬ dalam (QS. Al-Kautsar).

b. Jumlah fi’liyah yang menjadi pembuka surat terdapat dalam 12 surat, yaitu:

1)   (‫)بسشاونك عن االنفال‬ dalam QS. Al-Anfal.

2)   (‫)اني امر هللا فاال تستعخلوه‬ dalam QS. Al-Nahl.

3)   (‫ )اقتر ب للناس حساهم‬dalam QS. Al-Anbiya’.

4)   (‫)قد افلح المو منون‬ dalam QS. AL-Mukminun.


5)   (‫)اقتر بت الساعة‬ dalam QS.Al-Qamar.

6)   (‫)قد سمع هللا قول التي تخادلك‬ dalam QS. Al-Mujadilah.

7)   (‫)سال ساءل بعذاب واقع‬ dalam QS. Al-Ma’arij.

8)   (‫)ال اقسم بيو م القيامة‬ dalam QS. Al-Qiyamah.

9)   (‫)ال اقسم هذا البالد‬ dalam QS. Balad

10)    (‫)عبس وتولى‬ dalam QS. ‘Abasa.

11)    (‫لم يكن الدذين كفروا من اهل الكتاب‬...)dalam QS. Al-Bayyinah.

12)    (‫ )الهاكم التكاثر‬dalam QS. Al-Takatsur.

5.    Pembukaan dengan sumpah(al-qasam)

Sumpah yang digunakan dalam pembukaan surat dibagi menjadi 3 macam, yang terdapat

dalam 15 surat:

a. Sumpah dengan benda- benda angkasa, yang terdapat  dalam 8 surat:

(‫)والصفات‬ dalam QS. Al-Shaffat,(‫)والنخم‬ dalam QS. Al-Najm,(‫)والمر سالت‬ dalam QS. Al-Mursalat,(

‫)والنازعا ت غرقا‬ dalam QS. Al-Nazi’at, (‫)والس‘‘‘ما ء ذات ال‘‘‘بروخ‬ dalam QS. Al-Buruj.(‫والس‘‘‘ماء و‬

‫)الطارق‬ dalam QS. Al-Thariq. ( ‫)والفخر وليال عشر‬ dalam QS. Al-Fajr,(‫)والشمس وضحيها‬ dalam QS. Al-

Syams.

b. Sumpah dengan benda- benda bumi, yang terdapat pada 4 surat:

(‫)والذاريات ذروا‬ dalam QS. Al-.Dzariyat,(‫)والطور‬ dalam QS. Al-Thur.(‫)والتين‬ dalam QS. Al-Thin,(

‫)واالعاذيت‬ dalam QS. Al-‘Adiyat.

C. Sumpah dengan waktu, yang terdapat pada 3 surat:

(‫)والييل‬ dalam QS. Al-Lail, (‫)والضحىى‬dalam QS. Al-Dhuha,(‫)والععصر‬dalam QS. Al-Ashr.


6.    Pembukaan dengan syarat(al-syarth)

     Syarat yang digunakan dalam Pembukaan surat Al-Qur’an ada 2w macam, yaitu terdapat

dalam 7 surat, yaitu:

a. Syarat yang masuk pada jumlah ismiyah, yang terdapa dalam  surat:

(‫)اذالش‘‘‘مس ك‘‘ورت‬ dalam QS. Al-Takwir, (‫)اذالس‘‘مء اانفط‘‘ررت‬ dalam QS. Al-Infithar, (‫اذا الس ‘‘ماء‬

‫)اننشقت‬ dalam QS. Al-Insyiqaq.

b. Syarat yang masuk pada jumlah fi’liyah, yang terdapat pada 4 surat:

(‫)اذاوقععت الواقعة‬ dalam QS. Al-Waqi’ah, (‫)اذاج‘‘اءك المن‘‘افقون‬ dalam QS. Al-Munafiqun, (‫اذازل‘‘زلت‬

‫)االرض زلز الها‬ dalam QS. Al-Zalzalah, (‫)اذااجاء نصراهللا والفتح‬ dalam QS. Al-Nashr.

7.    Pembukaan dengan perintah(al-amr)

Fi’ilamr yang digunakan dalam pembukaan surat ada 2 macam, yang terdapat dalam 6 surat:

a. Dengan (‫ )اقررا‬bacalah, yang terdapat dalam 1 surat dalam QS. Al-Alaq.

b. Dengan (‫ )قل‬katakanlah, yang terdapat dalam 5 surat:

( َّ‫ستَ َم َع نَفَ ٌز ِمنَ ا ْل ِجن‬ َ ِ ‫)قُ ْل آُوحا‬dalam QS. Al-Jin, ( َ‫)قُ ْل يَا آيُّ َها ا ْل َكا فِرُون‬dalam QS. Al-Kafirun, (‫قُل ه َُو‬
ْ ‫يي إِلَ َّي آنَّهُ ا‬

َ ُ‫)اهللا‬ dalam QS. Al-Ikhlash, (‫قُل أَعُو ُذ بِ َر ِّب‬ ‫)ا ْلفَلَق‬ dalam QS. Al-Falaq, (‫س‬
‫أح ٌد‬ َ ‘ِ‫)قُل أَعُو ُذ ب‬ dalam
ِ ‫‘ر ِّب النَّا‬

QS. An-Nas.

8.    Pembukaan dengan pertanyaan(al-istifham)

a.    Pertanyaan positif; pertanyaan dengan menggunakan kalimat positif, yang terdapat dalam 4

surat:

(‫)هل اتى علي االنسان حين من الدهر‬ dalam QS. Al-Dahr, (‫)عم يتساءلون‬ dalam QS. An-Naba, (‫هل اتاك حديث‬

‫)الغاشية‬ dalam QS. Al-Ghasyiyah, (‫)ارايت الذي يكذب بالدين‬ dalam QS. Al-Ma’un.      


b. Pertanyaan negatif; pertanyaan dengan menggunakan kalimat negatif, yang terdapat dalam 2

surat:

(‫)الم نشر ح لك صذرك‬ dalam QS. Al-Insyirah.

(‫ )الم تر كيف فعل ربك بأصاحب الفيل‬dalam QS. Al-Fil.

9.    Pembukaan dengan do’a (bial-du’a)

a. Pembukaan surat dengan do’a atau harapan yang berbentuk isim (kata benda), ada 2 surat, yaitu:

1. (‫)ويل للمطففين‬ dalam QS. Al-Muthaffifin.

2. (‫)ويل لكل همز ة لمز ة‬ dalam QS. Al-Lumazah.

b. Pembukaan surat dengan do’a atau harapan yang berbentuk fi’il (kata kerja), ada 1 surat:

     (‫)تبت يدا اني لهب وتب‬ dalam QS. Al-Lahab.

10.Pembukaan dengan alasan(al-ta’lil)

Pembukaan dengan alasan terdapat dalam 1 surat, yaitu:

 (‫)اليلف قريش‬ dalam QS. Al-Quraisy.[3]

C. Menafsirkan Huruf-huruf Muqaththa’at

Sebagian ulama memandang bahwa huruf-huruf muqath-tha’at yang terdapat pada

pembukaan surat sebagai huruf-huruf yang mengandung pengertian dan dapat dipahami oleh

manusia. Pendapat ini disandarkan pada penafsiran Ibnu Abbas, diantaranya adalah;

)‫ (أخر جه ابن أني حا تم‬.‫ أنا اهللا أرى‬:‫ وفي قو له الر‬،‫ قال أنا هللا أفصل‬:‫ وفي قوله المص‬،‫ قال أنا اهللا أعلم‬: ‫الم‬

Ibn Abbas berkata: “ (‫)الم‬ Aku Allah lebih mengetahui, (‫)المص‬: Aku akan memperinci, (

‫)الر‬:  Aku Allah melihat.”

‫ والصاد من صادق‬،‫ والعين من عليم‬،‫ والياء من حكيم‬،‫ والهاء من هاد‬،‫ قا ل الكا ف من كر يم‬:‫في كهييعص‬.

(‫)أخر جه الحاكم‬
Ibn Abbas berkata: “ (‫)كهيعص‬ kaf: ‫ك‘‘‘‘ر يم‬ (pemurah), Ha: ‫ه‘‘‘‘اد‬ (Pemberi Petunjuk),

Ya: ‫حكيم‬ (bijaksana), ‘Ain: ‫عليم‬ (Maha Mengetahui), dan Shad: ‫صدق‬ (Yang Benar).”

Walaupun tidak ada larangan menafsirkan huruf- huruf muqath-tha’at yang ada pada

permulaan surat dalam Al-Qur’an, akan tetapi tidak boleh mengartikan huruf- huruf  tersebut

menurut kehendaknnya saja tanpa didasari oleh ilmu.[4]

D. Hikmah Fawatihal-Suwar

1, Untuk memberi perhatian, peringatan atau menjadi pedoman kehidupan, baik bagi Rasulullah

maupun umatnya.

2. Pembukaan surat yang diawali dengan menetapkan sifat- sifat terpuji kepada Allah, yakni dengan

mashdar dan selanjutnya diikuti dengan fi’ilmadhi, mudhari’ dan amr. Ini dimaksudkan agar

mencakup seluruh tasbih, sekaligus menunjukkan betapa ajaibnya Al-Qur’an.

3. Hikmah dari Fawatihal-suwar dengan sumpah, yaitu: agar manusia meneladani sikap

bertanggung jawab; berbicara harus benar dan jujur; dan Allah menggunakan beberapa benda

sebagai sumpah-Nya, dimaksudkan agar manusia memperhatikan kebesaran Allah melalui

ciptaan-Nnya. Dengan begitu manusia merasa rendah dihadaan Allah.[5]

10. IJAZ ALQURAN

. Pengertian I jaz Al-Qur’an

Dari segi bahasa kata I’jaz berasal dari kata a’jaz-yujizu-I’jaz yang berarti melemahkan atau

memperlemah, juga dapat berarti menetapkan kelemahan atau memperlemah[[1]]. Secara umum

I’jaz adalah ketidakmampuan seseorang melakukan sesuatu yang merupakan lawan dari ketidak

berdayaan[[2]]. Oleh karena itu apabila kemukjizatan itu telah terbukti, maka nampaklah
kemampuan mukjizat. Sedang yang dimaksud dengan Ijaz secara terminology ilmu Al-Qur’an

adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh beberpa ahli sebagai berikut :

Menurut Manna Khalil Al Qaththan

I’jaz adalah menampakkan kebenaran Nabi SAW dalam pengakuaan orang lain sebagai rasul

utusan Allah SWT dengan menampakan kelemahan orang-orang Arab untuk menandinginya atau

menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu Al-Qur’an dan kelemahan-kelemahan generasi sesudah

mereka.[[3]]

Sedangkan menurut Ali al Shabuniy mengemukakan

I’jaz ialah menetapkan kelemahan manusia baik secara kelompok maupun bersama-sama untuk

menandingi hal yang serupa dengannya, maka mukjizat merupakan bukti yang datangnya dari

Allah swt yang diberikan kepada hamba-Nya untuk memperkuat kebenaran misi kerasulan dan

kenabianya.

Sedangkan mukjizat adalah perkara yang luar biasa yang disertai dengan tantangan yang tidak

mungkin dapat ditandingi oleh siapapun dan kapanpun.

Muhammad Bakar Ismail menegaskan:

Mukjizat adalah perkara luar biasa yang disertai dan diikuti tantangan yang diberikan oleh Allah

swt kepada nabi-nabiNya sebagai hujjah dan bukti yang kuat atas misi dan kebenaran terhadap

apa yang diembannya yang bersumber dari Allah swt.


Dari ketiga definisi di atas dapat di fahami antara I’jaz dan mukjizat itu dapat dikatakan

melemahkan. Hanya saja pengertian I’jaz di atas mengesankan batasan yang lebih spesifik, yaitu

Al-Qur’an. Sedangkan pengertian mukjizat, menegaskan batasan yang lebih luas, yakni bukan

hanya berupa Al-Qur’an, tetapi juga perkara-perkara lain yang tidak mampu dijangkau manusia

secara keseluruhan. Dengan demikian dalam konteks ini antara pengertian I’jaz dan mukjizat itu

saling melengkapi, sehingga nampak jelas keistimewaan dari ketetapan-ketetapan Allah yang

khusus diberikan kepada Rasul-rasul pilihan-Nya sebagai salah satu bukti kebenaran misi

kerasulan yang dibawahnya.[[4]]

Ditampilkan I’jaz atau mukjizat itu bukanlah semata-mata bertujuan untuk menampakkan

kelemahan manusia untuk menandinginya tetapi untuk menyakinkan mereka bahwa Muhammad

SAW adalah benar-benar utusan Allah Al-Qur’an dan itu benar-benar diturunkan disisi Allah

swt. Kepada Muhammad yang mana Al-Qur’an itu sama sekali bukanlah perkataan manusia atau

perkataan lainnya.

Al-Quran digunakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menantang orang-orang pada masa

beliau dan generasi sesudahnya yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an sebagai firman

Allah (bukan ciptaan Muhammad) dan tidak percaya akan risalah Nabi saw dan ajaran yang di

bawanya. Terhadap mereka sesungguhnya mereka memiliki tingkat fashahah dan balaghah

sedemikian tinggi dibidang bahasa Arab. Nabi meminta mereka untuk menandingi Al-Qur’an

dalam tiga tahapan.[[5]]

Diajak bertanding dengan Al-Qur’an seluruhnya.


‫قل لئن اجتمعت اإلنس والجن على أن يأتوا بمثل هذا القرآن ال يأتون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا‬

“Katakanlah, sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-

Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya sekalipun

sebagian mereka menjadi pembantu bagi yang sebagian lagi”(QS 17 : 88).

Diajak lagi mereka bertanding dengan sepuluh surat dari Al-Qur’an itu.

‫أم يقولون افتراه قل فأتوا بعشر سور مثله مفتريات وادعوا من استطعتم من دون هللا إن كنتم صادقين‬

‫فإن لم يستجيبوا لكم فاعلموا أنما أنزل بعلم هللا وأن ال إله إال هو فهل أنتم مسلمون‬

“Bahkan mereka mengatakan, – Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu. Katakanlah

(kalau demikian) maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya.

Dan panggilah orang-orang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang

orang-orang yang benar. Jika mereka yang kamu panggil itun tidak menerima seruanmu

(ajakanmu) itu, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Al-Qur’an itu diturunkan dengan

ilmu Allah (Q.S 11 : 13-14)”

Sudah itu diajak lagi bertanding dengan satu surat saja.

‫أم يقولون افتراه قل فأتوا بسورة مثله وادعوا من استطعتم من دون هللا إن كنتم‬

‫صادقين‬
“Atau (patutkah) mereka mengatakan Muhammad membuatnya. Katakanlah (kalau benar yang

kamu katakan itu) maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya (Q.S 10 : 38)”

Kelahiran ilmu kalam di dalam Islam mempunyai implikasi lebih tepat untuk di katakan sebagai

kalam. Di dalam kalam, dimana tokoh-tokoh ilmu kalam ini mulai tampak ketika membicarakan

kemakhlukan Qur’an maka pendapat dan pandangan mereka berbeda-beda dan beraneka ragam.

[[6]]

Abu Ishaq Ibrahim an-Nizam dan pengikutnya dari kaum syi’ah berpendapat, kemukjizatan

Qur’an adalah dengan cara sirfah (pemalingan). Arti sirfah dalam pandangan an-Nizam ialah

bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menentang Qur’an, padahal sebenarnya

mereka mampu menghadapinya. Pendapat tentang sirfah ini batil dan di tolak oleh Qur’an

sendiri. Dalam fimanNya :

‫قل لئن اجتمعت اإلنس والجن على أن يأتوا بمثل هذا القرآن ال‬

‫يأتون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا‬

“ Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Qur’an ini, niscaya

mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi

pembantu bagi sebagian yang lain”. (al-Isra’ (17):88)

Satu golongan ulama berpendapat Qur’an itu mukjizat dengan balaghah-Nya yang mencapai

tingkat tinggi dan tidak ada bandingannya.


Sebagian yang lain berpendapat segi kemukjizatan Al Qur’an itu ialah karena mengandung badi’

yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang dikenal dalam perkataan orang Arab.

Golongan yang lain berpendapat bahwa Al Qur’an itu terletak pada pemberitaannya tentang hal-

hal ghaib yang akan datang yang tidak dapat diketahui kecuali dengan wahyu

Satu golongan berpendapat Al Qur’an itu mukjizat karena ia mengandung bermacam-macam

ilmu hikmah yang sangat dalam.

B. Segi-segi Kemukjizatan Al-Qur’an

1. Segi Kebahasaan .

Kendatipun Al Qur’an, hadis qudsi dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut Nabi tetapi

uslub atau susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Al Qur’an muncul dengan uslub yang begitu

indah. Uslub bahasa Al Qura’an jauh lebih tinggi kualitasnya bila di bandingkan dengan

lainnya[[7]].

Dalam Al Qur’an, banyak ayat yang mengandung tasybih (penyerupaan) yang disusun dalam

bentuk bahasa yang sangat indah lagi mempesona, jauh lebih indah daripada apa yang dibuat

oleh penyair dan sastrawan. Contoh dalam surat Al-Qori’ah (101) ayat 5, Allah berfirman :

ِ ْ‫َوتَ ُكوْ نُ ال ِجبَا ُل َك ْال ِعه ِْن ْال َم ْنفُو‬


‫ش‬

(5 :‫)القارعه‬

Artinya
“Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang di hambur-hamburkan”. (Q.S. Al-Qoriah ,101:5)

kemukjizatan al- quran dari segi bahasanya bisa kita lihat dari tiga hal yaitu :

1. Nada dan langgamnya .

Ayat- ayat alqur’an bukanlah syair atau puisi tetapi kalau kita dengar akan nampak keunikan

dalam irama dan ritmenya. Hal ini disebabkan oleh huruf dari kata – kata yang dipilih

melahirkan keserasian bunyi dan kemudian kumpulan kata – kata itu melahirkan pula keserasian

irama dalam rangkaian kalimat ayat- ayatnya .

2. Singkat dan padat .

Dalam al-qur an banyak kita jumpai ayat- ayat nya singkat tetapi padat artinya , sehingga

menyababkan berbagai macam pemahaman dari setiap mereka yang membacanya .

3. Memuaskan para pemikir kebanyakan orang .

Bagi orang awam, ayat Al-Qur an mungkin terasa biasa, tetapi bagi para filosof dengan ayat

yang sama akan melahirkan pemahaman yang luar biasa .


2. Hukum illahi yang sempurna

Al Qur’an menjelaskan pokok akidah, norma-norma keutamaan, sopan-santun, undang-undang,

ekonomi, politik, sosial dan kemasyarakatan, serta hukum-hukum ibadah. Apabila kita

memperhatikan pokok-pokok ibadah, kita akan memperoleh kenyataan bahwa Islam telah

memperluasnya dan menganekaragamkan serta meramunya menjadi ibadah amaliyah, seperti

zakat dan sedekah. Ada juga yang berupa ibadah amaliyah sekaligus ibadah badaniyah, seperti

berjuang di jalan Allah.

Tentang akidah Al Qur’an mengajak umat manusia pada akidah yang suci dan tinggi, yakni

beriman kepada Allah Yang Maha Agung, menyatakan adanya nabi dan rasul serta mempercayai

kitab samawi.

Dalam bidang undang-undang, Al Qur’an telah menetapkan kaidah-kaidah mengenai perdata,

pidana, politik, dan ekonomi. Adapun mengenai hubungan internasional, Al-Qur’an telah

menetapkan dasar-dasar yang paling sempurna dan adil, baik dalam keadaan damai maupun

perang.

Al Qur’an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hukum.[[8]]

a. Secara global
Persoalan ibadah umumya diterangkan secara global, sedangkan perinciannya diserahkan kepada

para ulama melalui ijtihad.

b. Hukum yang dijelaskan secara terperinci adalah yang berkaitan dengan utang-piutang,

makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan.

3. Gaya bahasa

Gaya bahasa Al Qur’an membuat orang Arab pada saat itu merasa kagum dan terpesona. Al

Qur’an secara tegas menentang semua sastrawan para orator Arab untuk menandingi ketinggian

Al Qur’an baik bahasa maupun susunannya. Setiap kali mereka mencoba menandingi, mereka

mengalami kesulitan dan kegagalan dan bahkan mencapat cemoohan dari masyarakat.

Diantara pendusta dan musyrik Arab pada saat itu yang berusaha untuk menandingi ialah

Musailimah Kadzdzab dan tokoh-tokoh masyarakat Arab lain pada waktu itu yang ingin

menandingi kalam Allah itu, namun selalu mengalami kegagalan.

4. Berita tentang hal-hal yang ghaib

Sebagian ulama mengatakan bahwa mukjizat Al Qur’an itu adalah berita-berita ghaib. Firaun,

yang mengejar-ngejar Musa, diceritakan dalam surat Yunus (10) ayat 92 Allah berfirman:

ِ َّ‫ك لِتَ ُكونَ لِ َم ْن خَ ْلفَكَ ايَةً َواِ َّن َكثِيرًا ِمنَ الن‬
َ‫اس ع َْن ايتِنَا لَغَافِلُون‬ َ ‫فَ ْليَوْ َم نُنَجِّي‬
َ ِ‫ك بِبَ َدن‬
“Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi

orang-orang yang datang sesudahnya dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari

tanda-tanda kekuatan kami.”

Cerita peperangan Romawi dengan Persia yang dijelaskan dalam surat Ar-rum (30) ayat 1-5

merupakan satu berita ghaib lainnya yang disampaikan Al Qur’an, Allah berfirman:

‫الم‬

‫غلبت الروم‬

‫في أدنى األرض وهم من بعد غلبهم سيغلبون‬

‫في بضع سنين هلل األمر من قبل ومن بعد ويومئذ يفرح المؤمنون‬

‫بنصر هللا ينصر من يشاء وهو العزيز الرحيم‬

“Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka

sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah lah urusan sebelum

dan sesudah mereka menang. Dan di hari kemenangan bangsa Romawi itu bergembiralah orang-

orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa saja yang dikehendaki-Nya.


5. Isyarat-isyarat ilmiah

Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al Qur’an misalnya:

Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan sebagaimana

yang dijelaskan firman Allah berikut:

‫هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد‬

‫السنين والحساب ما خلق هللا ذلك إال بالحق يفصل اآليات لقوم يعلمون‬

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya munzilah-

munzilah (tempat-tempat) bagi perjalan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan

perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu, melainkan dengan hak. Dia

menjelaskan tanda-tanda (kebesaran Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Yunus

(10): 5).

Perbedaan sidik jari manusia, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah berikut:

“Bukan demikian, sebenarnya kami kuasa menyusun kembali jari-jemarinya dengan sempurna.”

Aroma/bau manusia berbeda-beda, sebagaimana diisyaratkan firman Allah berikut:

‫وإن كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله وادعوا شهداءكم من دون هللا إن كنتم صادقين‬
“Tatkala kafiah itu keluar (Dari negeri Mesir), ayah mereka berkata “Sesungguhnya aku

mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan

aku).” (Q.S. Al-Baqarah (2): 23)

Adanya nurani (super ego) dan bawah sadar manusia, sebagaimana diisyaratkan firman Allah

berikut:

“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri meskipun dia mengemukakan alasan-

alasannya. (Q.S. Al-Qiyamah (75): 14)

Masa penyusuan yang tepat dan masa kehamilan minimal sebagai wara diisyaratkan firman

Allah berikut:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin

menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para

ibu dengan cara yang makruf.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 233)

Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan napas, hal ini diisyaratkan oleh firman

Allah berikut:

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia

melapangkan dadanya untuk (memeluk agama Islam) dan barang siapa yang dikehendaki Allah

kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang

mendekati langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada ;orang-orang yang beriman. (Q.S.

Al-An’am (6): 25)


6. Ketelitian redaksinya

Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberapa contoh,diantaranya:

1). Al-hayah (hidup) dan al-maut (mati),masing-masing sebanyak 145 kali;

2). An-naf (manfaat) dan Al-madharah (mudarat),masing-masing sebanyak 50 kali;

3). Al-har (panas) al-bard (dingin) masing-masing 4 kali;

4). Ash-shalihat (kebajikan) dan as-sayyiat (keburukan),masing-masing167 kali;

5). Ath-thuma’ninah (kelapangan/ketenangan) dan adh-dhiq (kesempitan/ kekesalan),masing-

masing13 kali;

6). Ar-rabah (cemas/takut) dan ar-raghbah (harap/ingin),masing-masing 8 kali;

7). Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;

8). Ash-shayf (musim panas) dan asy-syita (musim dingin), masing-masing 1 kali
b. Keseimbangan jumlah bilangan kata engan sinonimnya/makna yang dikandungnya.

1). Al-harts dan az-zira’ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;

2). Al-‘usb dan adh-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing sebanyak 27 kali;

3). Adh-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati jiwanya),masing-masing 17 kali;

4). Al-quran, al-wahyu dan al-islam (Al-quran, wahyu, dan islam), masing-masing sebanyak 70

kali;

5). Al-‘aql dan an-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;

6). Al-jahr dan al-‘alaniyah (nyata),masing-masing 16 kali; Ketelitian redaksi Alqur an

bergantung pada hal berikut.

c. keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukkan

akibatnya.

1). Al-infaq (infaq) dngan ar-ridha (kerelaan),masing-masing 73 kali;

2). Al-bukhl (kekikiran) dengan al- hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali,


3). Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan an-nar/al-ahraq (neraka/pembakaran), masing-

masing 32 kali;

4). As-salam (kedamaian) dernagan Ath-thayybat (kebajikan), masing-masing 60 kali

Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.

1). Al-israf (pemborosan) , dengan as-sur’ah (ketergesaan), masing-masing 23 kali.

2). Al- maw’izhah (nasehat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali.

3). Al- asra (tawanan) dengan al- harb (perang) masing- masing 6 kali.

4). As-salam (kedamaian) dengan ath-thayyibat (kebajikan) masing-masing 60 kali.

e. As-salam (kedamaian) dengan ath-thayyibat (kebajikan) masing-masing 60 kali.

Disamping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.

1). Kata yawn; (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam

setahun, sedangkan kata hari yang menunjukkan bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni),

berjumlah tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Di sisi lain, kata yang berarti

bulan (syahr) hanya terdapat du belas kali sama dengan jumlah dalam setahun.
2). Al-quran menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh macam. Penjelasan ini diulangi sebanyak

tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 29, surat Al-isra’ (17) ayat 44, surat Al-

Mu’minun (23) ayat 86, surat Fushilat (41) ayat 12, surat Ath-Thalaq (65) ayat12, surat Al-mulk

(67) ayat 3, dan surat Nuh (71) aya 15. Selain itu, penjelasan tentang terciptanya langit dan bumi

dalam enam hari dinyatakan pula dalam 7 ayat.

3). Kata-kata yang menunjukan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir

(pembawa berita gembira) atau nadzir (pemberi nada peringatan), semuanya berjumlah 518 kali.

Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul, dan pembawa berita

tersebut, yakni 518

C. Faedah I’jaz Al-Quran

I’jaz al-Quran dapat memberikan manfaat bagi orang yang mempelajari dan mengkaji

Baik itu orang awam ataupun para ilmuan, cendikiawan, dan semua kalangan manusia

yang senantiasa mempergunakan akal sehatnya. Adapun manfaat yang dapat dipetik dari I’jaz al-

Quran akan disebutkan dibawah ini.

Kelembutan, keindahan, keserasian kalimat dan redaksial-Quran dapat memberikan kesegaran

kepada akal dan hati, baik orang awam ataupun kaum cendikiawan.

Gaya bahasa yang indah dapat dijadikan sebagai media dakwah untuk menarik hati orang.
Dengan adanya berita-berita ghaib, itu dapat dijadikan ibrah guna memperkokoh iman kepada

Allah dan membimbing perbuatan ke arah yang benar.

Dapat dijadikan hujjah dalam menyampaikan kebenaran al-Qur’an bagi orang-orang yang ragu.

Dapat mengokohkan keyakinan akan kebenaran Risalah Muhammad Saw.

Dapat mengetahui keagungan Allah dengan mengenal isyarat ilmiah yang ada di alam dunia.

Dapat menjadi motivasi untuk selalu bereksperimen, berinovasi, dan berkarya dalam ilmu

pengetahuan.

Mengetahui kelemahan dan kekurangan manusia.

Aturan-aturan hukumnya dapat dijadikan sebagai landasan dalam beribadah, baik ibadah secara

vertikal ataupun horizontal.

Dapat menjaga kehormatan, harta, jiwa, akal, dan keturunan dengan menganut dan

mengindahkan tasyri-Nya

11. ALMUHKAM WAL MUTASABIHAT

Pengertian Ayat Muhkam dan Mutasyabbih Dalam Al-Qur'an

Blog Tafsir, Fikih Sunnah, Adab, Konsultasi Waris Syariah, Pengetahuan Umum & Tutorial

AYO MENGHAFAL AL-QUR'AN: Mari bergabung menjadi penghafal Al-Qur'an dalam grup

whatsapp dengan metode MANDIRI: 1.Sistematis, 2. Informatif 3. Simpel; Info & Pendaftaran

Ikhwan klik MUSHAF1 dan Akhawat klik MUSHAFAH 1KONSULTASI WARIS ISLAM.

Butuh solusi masalah waris keluarga online dan cepat ? klik KONSULTASI

Pengertian Ayat Muhkam dan Mutasyabbih Dalam Al-Qur'an

ِ ‫ْــــــــــــــــم اﷲِالرَّحْ َم ِن اار‬


‫َّحيم‬ ِ ‫بِس‬

Mengenai masalah ayat-ayat muhkam dan mutasyabih ini terdapat tiga pendapat:
Pertama: Bahwa al-Qur'an seluruhnya adalah muhkam, mengingat firman Allah: ُ‫ِكتَ ٰـبٌ أُ ۡح ِك َم ۡت َءايَ ٰـتُه‬

"Inilah kitab yang dijelaskan (uhkimat) ayat-ayatnya" (Q.S. Hud: 1).

Kedua: Bahwa al-Qur'an seluruhnya adalah mutasyabih, mengingat firman Allah:‫ِكتَ ٰـ ۬بًا ُّمتَ َش ٰـبِ ۬هًا َّمثَانِ َى‬

"(yaitu) al-Qur'an yang mutasyabih dan berulang-ulang..." (Q.S. Az-Zumar: 23).

Ketiga dan yang paling kuat: Ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih, dengan beralasan

kepada kedua ayat tersebut di atas. Sebab, maksud uhkimat ayatuhu dalam ayat di bawah

menjelaskan tentang kesempurnaan al-Qur'an dan tidak adanya pertentangan antar ayat-ayatnya.

Sedangkan maksud mutasyabih dalam kebenaran, kebaikan dan kemu'jizatan.

•َ ‫تۖ‌ فَأ َ َّما ٱلَّ ِذينَ فِى قُلُوبِ ِهمۡ ز َۡي ۬ ٌغ فَيَتَّبِع‬
ُ‫ُون َما تَ َش ٰـبَهَ ِم ۡنه‬ ٌ ۬ ‫ب َوأُ َخ ُر ُمتَ َش ٰـبِهَ ٰـ‬
ِ ‫ت ه َُّن أُ ُّم ۡٱل ِكتَ ٰـ‬ ٌ ۬ ‫ب ِم ۡنهُ َءايَ ٰـ‬
ٌ ‫ت ُّم ۡح َك َم ٰـ‬ َ ‫ك ۡٱل ِكتَ ٰـ‬
َ ‫ى أَن َز َل َعلَ ۡي‬
ٓ ‫ه َُو ٱلَّ ِذ‬

ْ ُ‫َّٲس ُخونَ فِى ۡٱل ِع ۡل ِم يَقُولُونَ َءا َمنَّا بِِۦه ُك ۬ ٌّل ِّم ۡن ِعن ِد َربِّنَاۗ‌ َو َما يَ َّذ َّك ُر إِٓاَّل أُوْ ل‬
‫وا‬ ِ ‫ۡٱبتِغَٓا َء ۡٱلفِ ۡتنَ ِة َو ۡٱبتِغَٓا َء ت َۡأ ِويلِِۦهۗ‌ َو َما يَ ۡعلَ ُم ت َۡأ ِويلَهُ ۥۤ إِاَّل ٱهَّلل ُۗ‌ َوٱلر‬

ِ ‫ٱأۡل َ ۡلبَ ٰـ‬


‫ب‬

Dia-lah yang menurunkan Al Kitab [Al Qur’an] kepada kamu. Di antara [isi]nya ada ayat-ayat

yang muhkamaat. itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain [ayat-ayat] mutasyaabihaat.

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti

sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari

ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang

mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu

dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran [daripadanya] melainkan orang-

orang yang berakal. (7).(Q.S. Ali-Imran: 7).

1. Definisinya

Para ulama, masih belum satu kalimat dalam mendefinisikan muhkam dan mutasyabih ini.

Diantara beberapa pendapatnya adalah sebagai berikut:


Muhkam ialah ayat yang maksudnya dapat diketahui, baik secara nyata maupun melalui ta'wil.

Sedang Mutasyabih ialah ayat yang hanya diketahui oleh Allah seperti masalah Kiamat,

munculnya Dajjal dan potongan huruf-huruf hija' di awal surat.

Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya, dan mutasyabih ialah ayat yang tidak jelas maknanya.

Muhkam ialah ayat yang hanya mengandung satu pena'wilan dan mutasyabih ialah ayat yang

mengandung beberapa kemungkinan penakwilan.

Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan mutasyabih ialah ayat yang tidak sempurna

pemahamannya kecuali dengan merujuk kepada ayat lainnya.

Muhkam ialah ayat yang tidak dihapuskan dan mutasyabih ialah ayat yang sudah dihapuskan.

2. Contah-Contoh Ayat Muhkam dan Mutasyabih

Para ulama memberiikan contoh ayat-ayat Muhkam dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh,

ayat-ayat tentang halal, haram, hudud (hukuman), kewajiban, janji dan ancaman. Sementara

untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh dan ayat-ayat

tentang Asma Allah dan sifat-sifat-Nya, antara lain:

1. Contoh ayat muhkam

‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوأُ ْنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َعا َرفُوا إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا ِ أَ ْتقَا ُك ْم إِ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬

Artinya: “ hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki dan

seorang perempuan dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku agar kamu saling mengenal”. (Al-Hujarat: 13).

‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ ا ْعبُدُوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْم َوالَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬

Artinya: “hai manusia, sembahlah tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum

kamu, agar kamu bertakwa”. (Al-Baqarah: 21).


‫َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ بَا‬

Artinya: “ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah: 275).

2. Contoh ayat Mutasyabih

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْست ََوى‬

Artinya: “ yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Arsy”. (Thaha: 5).

ُ‫ك إِاَّل َوجْ هَه‬


ٌ ِ‫ُكلُّ َش ْي ٍء هَال‬

Artinya: “ tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah Allah”. (Al-qashash: 88)

‫ق أَ ْي ِدي ِه ْم‬
َ ْ‫يَ ُد هَّللا ِ فَو‬

Artinya: “tangan-tangan Allah diatas tangan mereka”. (Al-Fath: 10).

3. Jenis-Jenis Mutasyabih

1. Mutasyabih dari segi Lafadz

a. Yang dikembalikan kepada lafadz yang tunggal yang sulit pemaknaannya

b. Lafadz yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya, yang seperti ini ada tiga

macam :

1. Mutasyabih karena ringkasan kalimat,

2. Mutasyabih karena luasnya kalimat,

3. Mutasyabih karena susunan kalimat

2. Mutasyabih dari segi maknanya

Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan

terjadinya.semua sifat yang demikian tidak dapat di gambarkan secara konkret karena

kejadiannya belum pernah dipahami oleh siapapunn.


3. Mutasyabih dari segi lafadz dan makna

Mutasyabih da;lam segi ini menurut As-suyuthi, ada lima macam

-Mutasyabih dari segi kadarnya, seperti lafaz umum dan khhusus

-Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunnah

-Mutasyabih dari segi waktu

-Mutasyabih dari segi tempat dan suasana ayat itu diturunkan

-Mutasyabih dari segi syarat-syarat sehingga suatu amalan itu tergantung dengan ada atau

tidaknya syarat yang dibutuhkan, misalnya ibadah shalat dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika

tidak cukup syaratnya.

-Pembagian ayat-ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an.

4. Bisakah Ayat Mutasayabih Diketahui Maknanya ?

Al-Zarqani membagi ayat-ayat mutasyabihat menjadi tiga macam :

Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan

tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaib

ِ ‫ َو ِع ْندَه َمفَـاتِ ُح ْال َغ ْي‬.... Artinya : Dan


lainnya. Allah berfirman Q.S. al-An’am [6]: 59: ‫ب الَ يَ ْعلَ ُمـهُا اِالَّ هُ َو‬

pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia

sendiri....

Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian,

seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan

َ َ‫َواِ ْن ِخ ْفـتُ ْم اَالَّ تُ ْق ِسطُوْ ا فِى ْاليَتمى فَا ْن ِكحُوْ ا َماط‬


seumpamanya. Allah berfirman Q.S. an-Nisa’[4]: 3: َ‫اب لَ ُك ْم ِمن‬

‫النِّ َسا ِء‬.... Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.... Maksud
ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal

berbunyi : ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء‬َ ‫ َواِ ْن َخ ْفـتُ ْم اَ ْن الَ تُ ْق ِسطُوْ ا فِى اليَتمى اِ َذا تَـ َز َّوجْ ـتُ ْم بِ ِه َّن فَا ْن ِكحُوْ ا َما‬.... Artinya: Dan jika
َ ‫ط‬

kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim sekiranya

kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.

Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan

semua ulama. Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas: ‫اَللَّهُ َّم فَقِّهْـهُ فِى ال ِّد ْي ِن‬

‫ َو َعلِّ ْمهُ التَّأْ ِوي َْل‬Artinya: "Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan

ajarkanlah kepadanya takwil."

5. Ayat-Ayat Mutasyabbih dan keterangan Tasyabuhnya

Pada bagian ini, dapat kami berikan beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih beserta sedikit

keterangan terhadap tasyabuh (kesamarannya).

‫الرحمن على العرش استوى‬

“(Allah) Yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS Thaha [20]: 5).

Kaum Salaf menanggapi ayat di atas dengan mengemukakan sebuah riwayat. Pada suatu hari

Imam Malik ditanya tentang makna istawa (bersemayam). la menjawab: “Lafadh istawa dapat

dimengerti, tentang bagaimananya tidak dapat diketahui. Pertanyaan mengenai itu adalah bid’ah.

Aku kira ia (orang yang bertanya itu) berniat buruk.” Kemudian ia memerintahkan sahabatnya,

“Singkirkan dia dariku.”

Ad-Darimi mengemukakan sebuah riwayat, berasal dari Sulaiman ibn Yassar. Bahwa seorang

terkenal dengan nama Ibn Shubaigh datang ke Madinah untuk menanyakan ayat-ayat Alquran

yang mutasyabihat. Khalifah Umar ibn Khaththab kemudian memanggilnya dan sambil
menunggu kedatangannya ia menyiapkan sebatang tangkai mayang kurma. Setelah tiba, Khalifah

Umar bertanya, “Engkau siapa?”. Orang itu menjawab, “Aku Abdullah ibn Shubaigh.” tanpa

berkata lebih jauh, Khalifah Umar memukul Abdullah dengan tangkai mayang yang sudah

disiapkan hingga kepala Abdullah berdarah. Menurut versi lain, setelah itu Khalifah Umar

menulis surat kepada Abu Musa al-’Asy’ary (yang ketika itu menjabat selaku kepala daerah

Basrah) memerintahkan agar kaum muslimin jangan boleh bergaul dengan Abdullah ibn

Shubaigh.

Dari kedua riwayat di atas, tampak jelas bahwa kaum Salaf tidak menghendaki adanya

pemberian makna yang dikira-kira terhadap ayat mutasyabih. Sementara kaum Khalaf sendiri

memberikan interpretasi terhadap istawaa (bersemayam) dengan maha berkuasa menciptakan

segala sesuatu tanpa susah payah.

Mereka kaum Khalaf mengartikan kedatangan Allah dengan kedatangan perintahNya.

‫وجاء ربك والملك صفا صفا‬

Artinya: ”dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris”. (QS Al-Fajr [89]: 22).

Kata fauqa (di atas) mereka artikan ketinggian yang bukan arah dan jurusan.

‫وهو القاهر فوق عباده ويرسل عليكم حفظة حتى إذا جاء أحدكم الموت توفته رسلنا وهم ال يفرطون‬

Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya

kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di

antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak

melalaikan kewajibannya. (QS Al-An’am [6]: 61).

Kata di sisiNya mereka artikan kewajiban terhadapNya.

‫أن تقول نفس يا حسرتى على ما فرطت في جنب هللا وإن كنت لمن الساخرين‬
Supaya jangan ada orang yang mengatakan: “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam

(menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang

memperolok-olokkan (agama Allah) (az-Zumar (39): 56.

Wajah Allah diartikan Dzat Allah

‫ويبقى وجه ربك ذو الجالل واإلكرام‬

Artinya:”dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS Ar-

Rahman [55]: 27).

MataKu diartiakan inayahKu (pertolonganKu).

‫أن اقذفيه في التابوت فاقذفيه في اليم فليلقه اليم بالساحل يأخذه عدو لي وعدو له وألقيت عليك محبة مني ولتصنع على عيني‬

Yaitu: ‘Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka

pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir`aun) musuh-Ku dan musuhnya’.

Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu

diasuh di atas mataku (QS Thaha [20]: 39).

Tangan Allah diartikan kekuatan.

‫ث َعلَ ٰى ن َۡف ِسِۦهۖ‌ َو َم ۡن أَ ۡوفَ ٰى بِ َما َع ٰـهَ َد َعلَ ۡيهُ ٱهَّلل َ فَ َسي ُۡؤتِي ِه أَ ۡجرًا‬
ُ ‫ث فَإِنَّ َما يَن ُك‬ ِ ‫ق أَ ۡي ِد‬
َ ‫يہمۡۚ‌ فَ َمن نَّ َك‬ َ ‫ك إِنَّ َما يُبَايِعُونَ ٱهَّلل َ يَ ُد ٱهَّلل ِ فَ ۡو‬
َ َ‫إِ َّن ٱلَّ ِذينَ يُبَايِعُون‬

‫َظي ۬ ًما‬
ِ ‫ع‬

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia

kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya

niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati

janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (QS Al-Fath [48]: 10).

Diri-Nya diartikan hukumanNya.

ُ ‫وا ِم ۡنهُمۡ تُقَ ٰٮ ۬ةًۗ‌ َوي َُح ِّذ ُر‬


ُ ‫ڪ ُم ٱهَّلل‬ ْ ُ‫س ِمنَ ٱهَّلل ِ فِى َش ۡى ٍء إِٓاَّل أَن تَتَّق‬
َ ‫ك فَلَ ۡي‬ •َ ِ‫اَّل يَتَّ ِخ ِذ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ ۡٱل َك ٰـفِ ِرينَ أَ ۡولِيَٓا َء ِمن دُو ِن ۡٱل ُم ۡؤ ِمن‬
َ ِ‫ينۖ‌ َو َمن يَ ۡف َع ۡل َذٲل‬

ِ ‫ن َۡف َسهُۗ‌ۥ َوإِلَى ٱهَّلل ِ ۡٱل َم‬


‫صي ُر‬
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan

meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari

pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.

Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali

(mu). Artinya:”dan Allah memperingatkan kamu terhadap diriNya.” (QS Ali Imran: 28).

6. Hikmah Diturunkannya Ayat-Ayat Mutasyabih

Merangsang Penelitian. Mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya;

sehingga dengan demikian akan manambah pahalanya.

Tidak kaku satu penafsiran. Seandaianya al-Qur'an seluruhnya muhkam niscaya hanya ada satu

madzhab, sebab kejelasannya itu akan membatalkan semua madzhab yang lainnya. Hal ini akan

mengakibatkan para penganut madzhab tidak mau menerima dan memanfaatkannya.

Melahirkan aneka disiplin ilmu untuk dapat memahaminya, seperti ilmu bahasa, gramatika,

ma'any, bayan, ushul fiqih dll.

Merangsang kreatifitas Mubaligh. Al-Qur'an berisi da'wah kepada orang-orang tertentu dan

umum. Orang awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang abstrak. Karena itu jika mereka

mendengar sesuatu yang ada tetapi tidak berwujud fisik dan berbentuk, maka ia akan menyangka

hal itu tidak benar. Ini menjadi tantangan bagi para penda'wah untuk berfikir lebih dalam

mencari cara untuk dapat meyakinkannya.

Semoga bermanfaat.

‫ﻙ ﺃَ ْﺷﻬَ ُﺪ ﺃَ ْﻥ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَ ْﻧﺖَ ﺃَ ْﺳﺘَ ْﻐﻔِﺮُﻙَ َﻭﺃَﺗُﻮْ ﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ‬


َ ‫ﻚ ﺍﻟﻠَّﻬُ َّﻢ َﻭﺑِ َﺤ ْﻤ ِﺪ‬
َ َ‫ُﺳ ْﺒ َﺤﺎﻧ‬

12. QIRAATUL QURAN

Pengertian Qira’at Al-Qur’an


Qira’at berasal dari bahasa Arab yaitu ‫ قِ َرا َءات‬jamak dari ‫ قِ َرا َءة‬, secara etimologis merupakan

akar kata dari َ‫ قَ َرأ‬yang berarti membaca. Jadi, lafal ‫ قَ َرا َءات‬secara lughawi berarti beberapa

pembacaan. Di bawah ini adalah beberapa pengertian qira’at secara istilah:

1. Menurut Az-Zarqani, qira’at adalah suatu aliran yang dianut oleh seorang imam dalam

membaca al-Qur’an yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta

disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf maupun dalam

pengucapan lafalnya.

2. Menurut Ibnu Al-Jazari, qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan ayat-ayat

al-Qur’an dengan menyandarkan pada penukilannya.

3. Menurut Al-Qastalani, qira’at adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati

atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan

washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.

4. Menurut Az-Zarkasyi, qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh al-

Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut secara

takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.

5. Menurut Ash-Shabuni, qira’at adalah suatu madzab cara pelafalan al-Qur’an yang

dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah.

6. Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan al-Qur’an yang

dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dalam madzhab

lainnya.

Jadi, Qira’at Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari cara mengucapkan lafadz-lafadz al-

Qur’an sebagaimana yang diucapkan Nabi Muhammad atau sebagaimana yang diucapkan oleh
para sahabat didepan Nabi lalu beliau menyetujuinya dan perbedaannya cara pengucapan lafadz-

lafadz al-Qur’an yang disandarkan kepada orang masing-masing imam qurra’.

B. Sejarah Munculnya Qira’at Al-Qur’an

Qira’at sebenarnya sudah dikenal pada masa Nabi Muhammad namun pada masa itu qira’at

belum dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu. Pada permulaan abad pertama hijriah pada masa

tabi’in, muncullah seorang ulama yang konsen terhadap masalah qira’at secara sempurna karena

keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri

sehinggga mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam

dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya.[3]

Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at, dimulai pada masa tabi’in, yaitu

pada awal abad 2 H. Saat itu para qari’ sudah tersebar di berbagai pelosok negeri, mereka lebih

suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lain. Qira’at

tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada para imam

qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.

Kebijakan Abu bakar As-Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushab-mushab lain selain

yang telah disusun Zaid bin tsabit seperti mushab yang dimiliki Ibnu mas’ud, Abu al-asy’ary,

Miqdad bin Amr, Ubai bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam

kemunculan qira’at yang beragam.

Adanya mushab-mushab itu disertai dengan penyebaran qari’ ke berbagai penjuru ini

menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan yakni munculnya qira’at yang semakin beragam.

Apalagi setelah terjadinya trasformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-
bangsa bukan arab sehingga perbedaan qira’at itu semakin terlihat jelas dan menimbulkan

berbagai penyimpangan.

Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah Al-

Qasim bin Salam yang mengumpulkan qira’at kurang lebih sebanyak 25 macam kemudian

barulah imam-imam lainnya mulai menyusun qira’at. Persoalan qira’at terus berkembang hingga

masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid yang dikenal dengan nama Ibnu Mujahid

dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at (qira’ah sab’ah) yang disesuaikan

dengan tujuh imam qari’.[4]

Inisiatif Ibnu Mujahid itu sempat memancing lahirnya kecaman dari sebagian ulama. Ibnu

Amr mencela keras Ibnu Mujahid dan mengatakannya telah berbuat sesuatu yang tidak layak. Ia

dituduh telah mengaburkan persoalan dengan mengatakan bahwa qira’at yang tujuh itu adalah

ٍ ‫ت أَحْ ر‬
yang disebut dalam hadist nabi yang berbunyi ( ‫ُف فَا ْقل َر ُؤوْ ا‬ ِ ‫) اِنِّ هَ َذا ْالقُرْ آنَ اُ ْن ِز َل َعلَى َس ْب َع‬. Namun

berkat jasa Ibnu Mujahid, kita dapat mengetahui mana qira’at yang dapat diterima dan yang

ditolak. Ibnu Mujahid memilih ketujuh tokoh qira’at tersebut karena menurut pertimbangan,

merekalah yang paling terkemuka, mashur, paling bagus bacaanya, dan memiliki kedalaman

ilmu dan usia panjang dan mereka dijadikan imam qira’at oleh masyarakat mereka masing-

masing.

Dengan demikian, seseorang tidak harus terpaku pada ketujuh imam qira’at (seperti Abu

Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, Al-Kisai’, Ibnu Amir, dan Ibnu Katsir), tapi ia pun harus menerima

setiap qira’at yang sudah memenuhi tiga persyaratan yaitu sesuai dengan salah satu Rasm

Utsmani, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dan sanadnya shahih.

C. Macam-Macam Qira’at Al-Qur’an


Dilihat dari segi kuantitas qira’at terbagi menjadi tiga macam yaitu:

1. Qira’at sab’ah (qir’at tujuh) adalah imam-imam qira’at yang tujuh yakni Abdullah bin

Katsir Ad-Dari, Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Na’im, Abdullah Al-Yahshibi, Abu ‘Amar,

Ya’qub (nama lengkapnya Ibn Ishak Al-Hadhrami), Hamzah, dan Ashim.

2. Qira’at ‘Asyarah (qira’at sepuluh) adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan di atas

ditambah lagi dengan tiga imam qira’at berikut yakni Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin

‘Abdullah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Basri, dan Khallaf bin Hisam.

3. Qira’at Arba’at Asyarah (qira’at empat belas) adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan

diatas di tambah dengan empat imam qira’at berikut yakni Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin

‘Abdirrahman (dikenal dengan Ibn Mahishan), Yahya’ bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi

Al-Baghdadi, dan Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz.

Dilihat dari segi kualitasnya, qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu:

1. Qira’ah Mutawatir yakni qiraa’at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang tidak

mungkin sepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisan yakni sampai

kepada Rasululllah saw. inilah yang umum dalam hal qira’at.

2. Qira’ah Masyhur yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi tidak sampai pada

kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Utsmani, masyhur

dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak

termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at macam

ini termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya.

3. Qira’ah Ahad yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi menyalahi tulisan mushaf

Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak masyhur dikalangan qurra’ sebagaimana qira’at
mutawatir dan qira’at masyhur. Qira’at macam ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib

meyakininya.

4. Qira’ah Syadz (menyimpang) yakni qira’at yang sanadnya tidak shohih. Diantara macam

َ َ‫ َمل‬sedangkan qira’at mushaf utsmani ialah:


qira’at ini adalah: ‫ك يَوْ َم ال ِّد ْي ِن‬

5. Qira’at Maudhu’ (palsu atau dibuat-buat) yakni qira’at yang tidak ada asalnya.

6. Qira’at Mudraj (sisipan) yakni qira’at yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qira’at

yang sah.

Menurut jumhur ulama, qira’at yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti

masyhur tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat.

Menurut An-Nawawi qira’at syadz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar sholat

karena ia bukan al-Qur’an. Al-qur’an hanya ditetapkan dengan sanad mutawatir, sedangkan

qira’at syadz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah. Apabila seseorang

menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qira’at yang syadz, maka tidak boleh dibenarkan

baik di dalam maupun diluar sholat. Para fuqaha Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca

al-qur’an dengan qira’at yang syadz harus disuruh bertaubat. Ibnu Abdil Barr menukilkan ijma’

kaum muslimin tentang al-Qur’an yang tidak boleh dibaca dengan qira’at yang syadz, tidak sah

shalat dibelakang orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at-qira’at yang syadz itu.[5]

Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’at shohih adalah

sebagai berikut:

a. Sesuai dengan kaidah bahasa arab, baik yang fasih atau paling fasih.

b. Sesuai dengan salah satu kaidah penulisan mushaf utsmani walaupun hanya kemungkinan.

c. Memiliki sanad yang shahih.


D. Al-Qur’an Diturunkan dengan Tujuh Huruf

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini dengan perbedaan

yang bermacam-macam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang

artinya sebagai berikut Rrasulullah bersabda : sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam

tujuh huruf (tujuh macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-

Qur’an.”

Dalam hadits yang yang dikemukakan diatas tampak dengan jelas bahwa dispensasi yang

diberikan rasulullah dalam membaca al-qur’an lebih dari satu huruf (bacaan) dimaksudkan untuk

memudahkan umat islam dalam membaca al-qur’an sehingga mereka tidak merasa dibebani

oleh bacaan-bacaan yang sulit untuk dilafalkan, sebab sebagaimana dinyatakan Rasulullah dan

memang cocok dengan mereka yang ummi (buta aksara) di kalangan mereka. Dengan

kemudahan yang diberikan Rasulullah dalam membaca al-qur’an mereka makin tertarik kepada

Islam, sehingga mereka merasakan Islam itu benar-benar diturunkan untuk mereka demi

membimbing kehidupan mereka di muka bumi ini agar memperoleh kebahagiaan dunia akhirat.

Dari uraian diatas, yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah tujuh

macam bacaan yang diajarkan Rasulullah terjadi dimasa kenabian tersebut karena al-qur’an

memang diturunkan dalam tujuh bacaan. Tetapi tidak berarti bahwa setiap kata dalam al-qur’an

dapat dibaca sebanyak tujuh bacaan yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan al-qur’an

diturunkan dengan tujuh huruf ialah memberi isyarat kepada ummat bahwa mereka diberi

kelonggaran untuk membaca al-qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka.[6]

Sebagian ulama ada yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf disini

adalah tujuh segi yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu; amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d
(ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahy,

haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.

Segolongan ulama juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ini adalah

tujuh hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yakni:

1. Ikhtilaf asma’ (perbedaan kata benda) dalam bentuk mufrad, mudzakkar, jamak, dan lain

sebagainya.

2. Perbedaan tashrif (perubahan) kata kerja dari masa lampau menjadi masa sekarang dan

masa yang akan datang.

3. Perbedaan jabatan kata.

4. Perbedaan taqdim (mendahului) dan ta’khir (mengakhirkan) dalam penempatan suatu kata.

5. Perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan.

6. Perbedaan dalam segi ibdal (pergantian), baik pergantian huruf dengan huruf.

7. Perbedaan dialek dalam pembacaan tafkhim (tebal), dan tarqiq (tipis), fathah dan imalah,

izhar dan idgham, hamzah dan tas-hil, dan lain-lain.

Ada juga ulama yang berpendapat, yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qira’at

sab’ah. Pendapat yang paling kuat ialah pendapat yang menyatakan bahwa tujuh huruf yang

dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan satu

makna yang sama. Ketujuh bahasa tersebut yaitu Quraysy, Huzayl, Saqif, Hawazin, Kinanat,

Tamim, dan Yaman.

Pendapat yang kedua, bahwasannya yang dimaksud tujuh huruf itu adalah tujuh macam

bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang dengannya al-Qur’an diturunkan. Artinya kalimat-kalimat

al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi.


Pendapat yang ketiga menyatakan bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh aspek

hukum/ajaran, yaitu amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal.

Pendapat yang keempat, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal

yang di dalamnya terjadi ikhtilaf.

E. Fungsi Qira’at dalam Penetapan Hukum Islam

Meskipun qira’at bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan

hukum), namun tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qira’at berpengaruh besar dalam

penetapan hukum Islam. Berikut ini beberapa contoh perbedaan qira’at yang ditafsirkan oleh

imam qira’at:

a. Surah Al-Baqarah [2]: 222

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu

kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan

janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, maka

campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Berkaitan dengan ayat diatas, diantara tujuh imam qira’at yaitu Abu Bakar Syu’bah,

Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan

ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama

fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca

“yathhuma” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan

istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara

yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan

hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih.


Sehubungan dengan hal tersebut, batas keharaman seorang suami untuk mencampuri istrinya

yang haid adalah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti darah haidnya, dan telah

mandi dari hadas besarnya.[7]

Contoh lainnya yaitu pada surah Al-Ma’idah ayat 6 yang berbunyi:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka

basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu

sampai dengan kedua mata kaki, ...”

Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan

“arjulakum”, sementara imam-imam yang lainnya membacanya dengan “arjulikum”. Dengan

membaca “arjulikum”, mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak

membedakan dengan menyapunya. Qira’at dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan

ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki. Sementara qira’at

versi lainnya dipahami oleh sebagian ulama dengan mengahasilkan ketentuan hukum, bahwa

dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan

mengusapnya (dengan air).

BAB III

KESIMPULAN

1. Qira’at Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari cara mengucapkan lafadz-lafadz al-

Qur’an sebagaimana yang diucapkan Nabi Muhammad atau sebagaimana yang diucapkan oleh

para sahabat didepan Nabi lalu beliau menyetujuinya dan perbedaannya cara pengucapan lafadz-

lafadz al-Qur’an yang disandarkan kepada orang masing-masing imam qurra’.


2. Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah Al-

Qasim bin Salam kemudian imam-imam lainnya mulai menyusun qira’at. Persoalan qira’at terus

berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid yang dikenal dengan nama

Ibnu Mujahid dialah imam yang pertama yag menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu

kitab. Ia juga membatasi hanya pada ketujuh imam qira’at saja karena menurut pertimbangan,

merekalah yang paling terkemuka, mashur, paling bagus bacaanya, dan memiliki kedalaman

ilmu dan usia panjang dan mereka dijadikan imam qira’at oleh masyarakat mereka masing-

masing.

3. Dari segi kuantitasnya qira’at terbagi menjadi tiga yaitu Qira’ah Sab’ah (Qira’at Tujuh),

Qira’at ‘Asyarah (Qira’at Sepuluh), dan Qira’at ‘Arba’at Asyarah (Qira’at Empat Belas). Dan

dari segi kualitasnya Qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu Qira’ah Mutawatir, Qira’ah

Masyhur, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz (menyimpang), Qira’ah Maudhu (palsu) dan Qira’at

Mudraj.

4. Yang dimaksud dengan al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah memberi

kelonggaran kepada umat manusia dalam membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah

bagi mereka. Namun, bacaan ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh dibaca sesuka hati si pembacanya

karena sudah ada aturan yang sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah.

5. Dalam penetapan hukum, qira’at dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang

telah disepakati para ulama; dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama; dapat

menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda; dapat menunjukkan dua ketentuan hukum

yang berbeda dalam kondisi berbeda pula; dan dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata

di dalam al-Qur’an yang sulit dipahami maknanya.

Anda mungkin juga menyukai