Anda di halaman 1dari 20

ILMU NUZUL AL-QUR’AN

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu : Drs. M. Syakur Sf. ,M.Ag

Disusun oleh kelompok 4 :

Rina Nur Astutik (19106011146)

Aminatuz Zahra (19106011120)

Nur Hikmatus S. (19106011123)

Lailatul Fatchiyah (19106013133)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

2020
A. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang

Pengertian Nuzul secara bahasa berasal dari kata nazala-yanzilu-nuzula yang artinya
turun, sedangakan secara istilah Nuzul Al-Qur’an adalah penyampaian, penetapan turunnya Al-
Qu’ran.
Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW pada abad ke-7 M,
menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia.
Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Dalam membahas masalah agama Islam, kita tidak bisa lepas dari Al-Quran
kitab suci umat Islam, yang merupakan firman-firman Allah SWT, yang diturunkan dengan
perantara malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai peringatan, petunjuk, tuntunan,
dan hukum bagi kehidupan umat manusia.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang diterima Nabi muhammad SAW. diterima secara berangsur-


angsur selama kurang lebih sekitar 23 tahun, yakni sejak ia berusia 40 tahun sampai beliau wafat.
Oleh karena itu, perlu diadakan pembahasan lebih lanjut mengenai masa turunnya Al-Qur’an.

Melalui makalah ini, kami mencoba untuk memberikan informasi mengenai masalah
tersebut, sehingga pembaca dapat mengetahui sedikit informasi tentang masa turunnya Al-
Qur’an.
b. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan, makalah ini dibatasi pada
permasalahan tentang :

1. Apa yang dimaksud Nuzul Al-Qur’an ?


2. Bagaimana tahap-tahap turunnya Al-Qur’an?
3. Kapan wahyu pertama dan terakhir turunnya Al-Qur’an?
4. Bagaimana metode Nuzul Al-Qur’an?
5. Bagaimana kodifikasi Al-Qur’an?
6. Bagaimana masa pengembangan Al-Qur’an?
7. Bagaimana Urgensi Ulumul Qur’an terhadap Tafsir Al-Qur’an?
c. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
1) Untuk mengetahui tentang Nuzul Al-Qur’an
2) Untuk mengetahui tahap-tahap turunnya Al-Qur’an
3) Untuk mengetahui wahyu pertama dan terakhir turunnya Al-Qur’an
4) Untuk mengetahui metode Nuzul Al-Qur’an
5) Untuk mengetahui kodifikasi Al-Qur’an
6) Untuk mengetahui masa pengembangan Al-Qur’an
7) Untuk mengetahui urgensi Ulumul Qur’an terhadap Tafsir AlQur’an
2. Manfaat
1) Memahami Pengertian Nuzul Al-Qur’an
2) Memahami tahap-tahap turunnya Al-Qur’an
3) Memahami wahyu pertama dan terakhir turunnya Al-Qur’an
4) Memahami metode Nuzul Al-Qur’an
5) Memahami kodifikasi Al-Qur’an
6) Memahami masa pengembangan Al-Qur’an
7) Memahami pentingnya Ulumul Qur’an terhadap Tafsir Al-Qur’an

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Nuzul Al-Qur’an
Nuzul Qur’an terdiri dari dua kata yakni Nuzul dan Al-Quran. Kata nazala dalam bahasa
Arab berarti meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Dalam konteks ini,
misalnya bisa ditemui kalimat dalam salah satu ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
        
Artinya: “Dan katakan pula: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan
Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.” (Q.S. Al-Mukminun: 29)

Sedangkan pengertian Al-Qur’an secara etimologi berarti bacaan, kerena makna tersebut
diambil dari ‫ ﻗﺮﺃﺓ‬atau ‫ﻗﺮﺁﻥ‬. Secara teminologi Al-Qur’an sudah banyak diberikan pengertian oleh
para mufassir. Antara lain, Ali Ash-Shobani menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah
yang mu’jiz, diturunkan kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril yang ditulis dalam
Mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, menjadi ibadah bagi yang membacanya, diawali dari
Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Naas.1
Jadi, pengertian Nuzul Al-Qur’an menurut bahasa berarti turunya Al-Qur’an. Dan secara
istilah Nuzulul Qur’an adalah pemberitahuaan Allah tentang Al-Qur’an kepada sgenap penghuni
langit dan bumi dalam semua segi dan aspeknya.2

2. Tahap-tahap Turunnya Al-Qur’an


Secara kronologis, cara Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Tahapan Pertama
Tahapan pertama, penyampaian Al-Qur’an dari Allah kepada Lauh al-Mahfudh.
Maksudnya, sebelum Al-qur’an disampaikan kapada Rasulullah saw. sebagai utusan Allah
terhadap manusia, Al-Qur’an terlebih dahulu disampaikan kepada Lauh al-Mahfudh, yakni suatu
tempat lembaran yang terpelihara dimana Al-Qur’an pertama kali ditulis pada lembaran tersebut.
Tidak ada manusia yang tahu bagaimana cara penyampaian al-Qur’an dari Allah ke Lauh al-
Mahfuzh dan manusia tidak wajib mengetahuinya, tetapi wajib mempercayainya kerena begitu
yang dikatakan Allah. Sebagaimana firman Allah SWT:
        
Artinya: “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia (21)
Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh (22).” (Q.S. Al-Buruuj: 21-22)

b. Tahapan Kedua
Tahapan kedua, turunnya Al-Qur’an ke langit pertama dengan sekaligus. Dilangit
pertama itu, Al-Qur’an disimpan pada bayt al-‘izzah. Penurunan tahap kedua ini bertepatan
dengan malam Qadar. Adapun dalil tentang penurunan Al-Qur’an pada tahapan ini adalah:
         
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi, dan
Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (Q.S. Ad-Dukhan: 3) 3

1
Abu Anwar, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2009) , hlm.13.
2
Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 228.
3
Kadar M. Yusuf, Studi Alquran, (jakarta: Amzah, 2012), hlm.16-17.
c. Tahapan Ketiga
Tahapan ketiga, Al-Qur’an diturunkan dari bayt al-‘izzah kedalam hati Nabi dengan
jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Ada kalanya satu ayat, dua ayat, dan bahkan
kadang-kadang satu surah. Dalilnya Surah Asy-Syu’ara’ ayat 193-195:
           
  
Artinya: “Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (193),Ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (194), dengan
bahasa Arab yang jelas (195).” (Q.S.Asy-Syu’aro’ )

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi MuhammadSAW. melalui malaikat Jibril, tidak


secara sekaligus, melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, wahyu sering turun untuk
menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan
tindakan Nabi SAW. disamping itu, banyak pula ayat atau surat yang diturunkan tanpa melalui
latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu.4

3. Wahyu Pertama dan Terakhir Turunnya Al-Qur’an


Al-Qur’an sebagai wahyu diturunkan pertama kali pada saat Nabi Muhammad SAW.
Sedang berkhalawat di Gua Hira, pada malam tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari
kelahirannya Nabi SAW, atau tanggal 6 Agustus 610 M. Sebagai penghormatan dari Allah
kepada Al-Qur’an itu disebut sebagai Malam Ketentuan ( Lailah Al-Qadar).5
Mengenal wahyu yang turun pertama dan atau yang turun terakhir para ulama berbeda
pendapat. Diantaranya adalah :
a) Asy Syaikhan dari Aisyah ra, menerangkan bahwa yang shohih adalah surat Al-‘Alaq 1
sampai dengan 5 sebagai wahyu yang turun kali pertama, yakni:
             
          

b) Riwayat Asy Syaikhan dari Abi Salamah Ibn Abdur Rahman, menjelaskan bahwa yang
pertama kali turun dari Al-Qur’an adalah surah Al-Mudatstsir
4
Rosihoh Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 35-36.
5
M. Syakur Sf, ‘Ulumul Qur’an, (Semarang: CV Presisi Cipta Media, 2019), hlm.33.
     (

Surat ini sebenarnya menurut keterangan Jabir yang juga diterima oleh Abi Salamah
merupakan surat yang turun secara lengkap sebelum surat Al-‘Alaq turun secara
sempurna.

c) Riwayat Abi Ishaq dari Abi Maisarah menyatakan, bahwa wahyu yang kali pertama
turum adalah surah Al-Fatihah.
d) Ibnu Ishaq berpendapat bahwa wahyu yang turun kali pertama adalah awal surat Adl-
Dluha.
e) Muhammad Abduh menyatakan, wahyu yang pertama kali turunadalah surat Al-Fatihah,
karena sebab-sebab sebagai berikut:
1) Letaknya berada pada urutan pertama dalam Al-Qur’an.
2) Kandungan sisinya meliputi seluruh isi Al-Qur’an.
3) Yang demikian itu sesuai dengan riwayat Al Baihaqi dalam Dalaa’il an Nubuwwah.
Adapun tentang wahyu yang terakhir diturunkan, para ahli juga berbeda-beda dalam
memberikan pndangan, yaitu:
a) Jumhur ‘Ulama menyatakan, wahyu yang turun terakhir kali berupa ayat adalah surat Al-
Maidah ayat 3 ( ‫ اليلوم اكملت لكم دينكم‬..... ). Sedangkan wahyu yang berupa surat yang turun
kali terakhir adalah An-Nashr (…. ‫) اذاجاء نصر هللا‬.
b) An-Nasa’I melalui ikrimah dari Ibnu Abbas ra. Dan Sa’id Ibn Jubair menjelaskan, bahwa
ayat yang paling akhir diturunkan adalah ayat 281 dari surat Al-Baqarah, yakni:
.………       
Takutlah kamu akan hari dimana kamu semua dipulangkan kehadirat Allah……
Menurut keterangan yang saya himpun hingga kini, ayat tersebut turun pada 9 hari
sebelum Nabi SAW. wafat.
c) Riwayat Sa’id Ibn Al Musyayyat menyatalan, bahwa, wahyu yang terakhir diturunkan
adalah ayat tentang hutang-piutang, yakni ayat surat:
……          
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah, tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya……
d) Riwayat Ubay Ibn Ka’b ra. Menyatakan, bahwa wahyu terakhir adalah ayat 128 dari surat
At Taubah :
………     
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, ……..

e) Al Bukhari dan Ibnu Abbas ra. , Baihaqi dari Umar ra. Memberi keterangan, bahwa
wahyu yang terakhir jturun adalah ayat Riba, ( Al Baqarah ayat 278 ), yaitu:

            

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (278)
f) Ibn Jawir dari Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan ra. berpendapat, wahyu terakhir adalah ayat
110 dari surat Al-Kahfi, yaitu:
..……            
g) Anas ra. Berpendapat, bahwa wahyu terakhir adalah ayat 5 dan 11 dari surat At Taubah,
yaitu:
5 : ‫التوبة‬..………      
11 : ‫التوبة‬ ..……    
Mengenai ayat-ayat diatas kiranya esuai dengan pesan Nabi SAW. :
‫ه راض‬g‫ا وهللا عن‬g‫من فا رق الدينا على االء خال ص هلل وحده وعبا دته ال شريك و أقا م الصال ة و أ تى الز كا ة فارقه‬

Barangsiapa memisahkan dunia dengan ikhlas, khusus pada Allah dan menyembahNya
tanpa menyekutukanNya, serta telah mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka ia
berpisah darinya dalam Ridha Allah.6

4. Metode Nuzulul Qur’an


Al-Qur’an menyebutkan, ada tiga cara penyampaina misi ilahiyah kepada para Nabi dan
Rosul, yaitu melalui wahyu, pembicaraan dibalik tabir, dan atau Allah mengirim seorang
utusannya. Firman allah SWT. dalam Surah Asy-Syura ayat 51 :
6
Ibid, hlm.34-37
              
        
Artinya: ”Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia
kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Asy-Syura : 51)

Dari tiga penyampaian misi ilahiyah itu, dua diantaranya langsung dari Allah kepada
Nabi dan satu lainnya melalui perantara malaikat. Adapun yang langsung dari Allah kepada para
Nabi adalah melalui wahyu dan pembicaraan dibalik tabir.
Wahyu menurut Az-Zarqani adalah pemberitahuan Allah kepada hamba pilihannya
mengenai macam hidayah dan ilmu yang ingin disampaikan dengan cara tersembunyi dan tidak
terjadi pada manusia biasa. Sedangkan pembicaraan dibalik tabir merupakan salah satu cara allah
menyampaikan risalah-Nya kepada Nabi. Nabi tidak melihat Allah, tetapi ia dapat menerima
hidayah atau risalah tersebut, seperti yang dialami oleh Nabi Musa as.

Cara lainnya adalah melalui perantara malaikat. Hal ini meliputi empat cara, yaitu:
1. Malaikat menyampaikan kedalam hati Nabi, dimana Nabi tidak melihatnya.
2. Malaikat datang kepada Nabi seperti seorang laki-laki dan lalu menyampaikan misi ilahiah
itu kapadanya.
3. Malaikat datang kepada Nabi seperti bunyi bel. Hal ini sangat susah bagi Nabi, sehingga ia
berkeringat walaupun pada saat cuaca dengin.
4. Malaikat datang kepada Nabi dalam bentuk asli sebagai malaikat. Kemudian ia
menyampaikan misi ilahiah itu kepada Rasul sesuai dengan apa-apa yang Allah kehendaki.
Hal ini tersebut dalam Al Qur’an Surah An-Najm ayat 13 dan 14:
        
Artinya: “Dan sesungguhnya, Muhammad (juga) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang
asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.” (Q.S. An-Najm: 13-14).7

5. Kodifikasi Al-Qur’an
a. Pengertian Kodifikasi Al-Qur’an
7
Rosihoh Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 23-25
Yang dimaksud dengan kodifikasi/pengumpulan Al-Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para
ulama adalah dalam firman salah satu dari dua pengertian berikut:
Pertama: Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an
artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah
makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa menggerak-
gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al Qur’an, ketika Al Qur’an itu turun
kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya:

            
        
Artinya: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al Qur’an karena hendak cepat-
cepat menguasainya(16). Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya(17). Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu(18). Kemudian, atas tanggungan Kamilah
penjelasannya(19).” (Q.S. Al-Qiyamah: 16-19)8

Kedua: Pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al Qur’an semuanya) baik
dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan
setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan
surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah,
sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.9
b. Periode-periode Kodifikasi Al-Qur’an
1. Periode Rosulullah SAW.
Al-Quran pada zaman Nabi Muhammad saw. belum dibukukan dalam satu mushaf,
karena al-Quran itu diturunkan dengan berangsur-angsur sampai dua puluh tahun lamanya atau
lebih, dan karena sebagian ayat-ayatnya ada yang di nasakh (diganti, tidak terpakai). Walau pun
begitu, al-Quran pada zaman beliau betul-betul terpelihara dengan sempurna, karena disamping
beliau menganjurkan para sahabat untuk menghafalkan, beliau juga mempunyai beberapa juru
tulis wahyu (kuttabul wahyi) yang dihadapan beliau mereka menulis, dengan perintah dan
ikrarnya.
8
Manna Kholil al-Qottan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an.(Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa,1973), hlm.178.
9
Ibid, hlm.175.
Para kuttabul wahyi ini adalah orang-orang yang terkenal tinggi amanahnya, sempurna
agamanya, unggul akal dan ketelitiannya dan disamping itu mereka juga pandai pada bidang
tulis-menulis. Yang masyhur diantara mereka adalah 10 : Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu Sufyan, Ibn Said bin
‘Asy bin Ummihi, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Thabit, Shurohbil bin Hasanah, Abdullan ibn
Rowahah, Amr bin ‘Asy, Abdullah ibn Arqom az-Zuhri, dan Handhallah ibn Robi’ al-Asadi.11
Proses penulisan pada masa Rasulullah sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat
tulis berupa al-‘usb (pelepah kurma), al-likhaf (batu-batu yang tipis), ar-riqa’ (potongan dari
kulit kayu atau dedaunan), al-karanif (kumpulan pelepah kurma yang lebar), al-aqtab (kayu yang
diletakkan dipunggung unta sebagai alas untuk ditunggangi), aktaf (tulang kambing atau tulang
unta yang lebar).12 Kemudian disimpan di rumah Rasulullah dalam keadaan masih terpencar
ayat-ayatnya dan belum dihimpun dalam suatu mushaf atau masih menjadi suhuf al-Quran.
Pada zaman Rasulullah saw, ayat-ayat yang terpisah turunnya telah tersusun dan
terkumpulkan dalam suratnya masing-masing dengan isyarat dan petunjuk dari Rasulullah, setiap
turun sesuatu dari al-Quran Rasulullah menyuruh para sahabat menuliskannya dan meletakkan
dalam surat tertentu dan ayat tertentu. Jadi pada zaman Rasulullah al-Quran telah tersusun semua
urutannya seperti sekarang, baik dalam lafalnya ataupun tulisannya, hanya belum terkumpul
menjadi satu buku (mushaf) bahkan masih terpisah-pisah.
Suhuf al-Quran yang disimpan di rumah Rasulullah dan diperkuat dengan naskah-naskah
al-Quran yang dibuat oleh para penulis wahyu untuk pribadi masing-masing serta ditunjang oleh
hafalan para sahabat hafidz al-Quran yang tidak sedikit jumlahnya, maka semua itu dapat
menjamin al-Quran tetap terpelihara secara lengkap dan murni (original), sesuai dengan janji
Allah swt. dalam surah al-Hijr ayat 9:
       

Artinya : “Sesunguhnya aku telah menurunkan peringatan (al-Quran) dan sesungguhnya


aku telah memeliharanya/mengamankannya.”13

2. Periode Abu Bakar dan ‘Umar ra.


10
Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqolani, Fathul Bari, Darul Manfaah, hlm. 4.
11
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm.74.
12
Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Quran (terj.), (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press), hlm.111.
13
Muhammad Ali, Qur’an Suci, Teks Arab, Terjemah dan Tafsirnya, Jakarta: Dari Kutubul Islamiyah
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW. kepemimpinan umat islam digantikan oleh Abu
Bakar ra. Sebagai khalifah pertama. Kerika itu beliau harus berhadapan dengan keadaan yang
penuh dengan bahaya, tantangan, dan kesulitan. Diantaranya adalah berperang dengan
kemurtadan yang terjadi didalam tubuh kaum muslimin dan sebagian umat pengikut Musailama
Al Kadzdzab. Ia telah berhasil mempengaruhi Banu Hanifah dari penduduk Yamamah hingga
mereka murtad. Maka Abu Bakar menyiapkan 4.000 pengendara kuda yang dipimpin oleh
Khalid bin Walid. Perang Yamamah itu sangat menyedihkan umat islam karena dalam perang itu
banyak Qurra’ dan Huffadh yang gugur. Diantaranya adalah 70 pembesar dari Huffadh, termasuk
didalamnya adalah Zaid Ibn Al Khaththab.
Memperhatikan fenomena yang menyedihkan itu, maka ‘Umar ra. Segera datang kepada
Abu Bakar ra. Seraya mengharap agar beliau mengumpulkan Al-Qur’an. Akhirnya setelah
melalui perdebatan yang a lot, usul ‘Umar ra. Diterima oleh Abu Bakar ra. dan Zaid Ibn Sa’id Al
Anshori segera diperintahkan untuk menuliskannya. Sebenarnya pada awal usulan itu beliau
ragu, tetapi akhirnya beliau mendapat hidayah dari Allah hingga mampu memahami keadaan.
Beitu pila Zaid pun ragu untuk memulainya.
Dalam rangka pemeliharaan Al-Qur’an, Zaid Ibn Sa’id segera mengumpulkan ayat-ayat
dari batu, kayu dan sebagainya untuk ditulis secara jeli dan cermat dalam lembaran-lembaran dan
diikat dengan benang, disusun menurut tertib ayat dan surat sebagaimana yang telah diajarkan
oleh Nabi. Hasil kerja tersebut diserahkan kepada Abu Bakar untuk disimpan. Setelah beliau
wafat, untaian mushhaf ini dialih simpankan ke tangan Umar Ibn Al Khaththab ra. Dan ketika
Umar ra. wafat penyimpanan mushhaf itu dipindahkan kerumah Sayyiditina Hafshah ( Puteri
Umar ra. dan istri Nabi SAW ) hingga masa pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an dizaman
Utsman ra.14

3. Periode Utsman ra.


Penyebaran Islam bertambah luas dan para Qurra tersebar di berbagai wilayah, dan
penduduk di setiap wilayah itu mempelajari Qira’at (bacaan), dari qari yang dikirim kepada
mereka. Cara-cara pembacaan (qira’at) Al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan
dengan perbedaan “huruf” yang dengannya Al-Qur’an diturunkan. Apabila mereka berkumpul di

14
M. Syakur Sf, ‘Ulumul Qur’an, (Semarang: CV Presisi Cipta Media, 2019), hlm.48-49.
suatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebagian mereka merasa heran akan adanya
perbedaan qira’at ini. Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak,
diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat iu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia melihat
banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan
kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta
menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan.
Melihat kenyataannya demikian Huzaifah segera menghadap Utsman ra. dan melaporkan
kepadanya apa yang telah di lihatnya.
Utsman ra. kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf
Abu Bakar yang ada padanya), dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya.
Hafsah mengirimkan kepada Utsman ra., dan Utsman ra. memerintahkan Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.
Mereka pun menyalinnya menjadi beberapa mushhaf.15

4. Penulisan al-Quran Setelah Masa Khalifah


Mushhaf yang ditulis atas perintah Khalifah Utsman tidak memiliki harkat dan tanpa
titik, sehingga dapat dibaca dengan salah satu qiraat yang tujuh. Setelah banyaknya orang non-
Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca muhshaf yang tidak berharakat dan
bertitik itu. Pada masa Khalifah Abdul Malik (685-705), ketidak memadainya mushhaf ini telah
dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu. Oleh karena itu, penyempurnaan pun segera
dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad (w. 67
H) yang diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari Persia untuk meletakkan alif sebagai
pengganti dari huruf yang dibuang, dan Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqofi (w. 95 H) yang melakukan
penyempurnaan terhadap mushaf Utsmani pada sebelas tempat yang memudahkan membaca
mushhaf.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan
oleh setiap generasi sampai abad 3 H (atau akhir abad 9 M), ketika proses penyempurnaan
naskah mushhaf Utsmani selesai dilakukan. Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai
orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf Utsmani, ketiga orang itu adalah

15
Manna Kholil al-Qottan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa,1973), hlm.193.
Abu al-Aswad ad-Du’ali, Yahya bin Ya’mar (45-129 H) dan Nashr bin Ashim al-Laits (w. 89 H).
Adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah, tasydid adalah al-Khalil bin
Ahmad al-Farahidi al-Azdi yang diberi kun-yah Abu Abdirrahman (w. 175 H).
Upaya penulisan al-Quran yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan
generasi terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah al-Walid (memerintah dari tahun 86-96 H)
memerintahkan Khalid bin al-Khayyaj yang terkenal keindahan tulisannya untuk menulis mushaf
al-Quran.16

6. Masa Pengembangan Al-Qur’an


a. Pada Abad ke I dan II H

Pada zaman Rasulullah saw. maupun pada masa berikunya yakni zaman kekhalifahan
Abu Bakar dan Umar, ilmu-ilmu al-Qur’an masih diriwayatkan melalui lisan, belum dibukukan.
Karena waktu pada masa Nabi dan para sahabatnya tidak ada kebutuhan sama sekali untuk
menulis atau mengarang buku-buku tentang ‘Ulumul Qur’an. Para sahabat mampu mencerna
kesusasteraan bermutu tinggi, mereka dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an turun kepada Nabi.
Jika menghadapi kesukaran dalam memahami sesuatu mengenai al-Qur’an, mereka
menanyakannya langsung kepada beliau. Disamping bahasa Qur’an adalah bahasa mereka
sendiri sehingga mereka sudah memahami ayat-ayat Qur’an, juga mereka mengetahui Asbab
Nuzul Qur’an. Ketika masa khalifah Utsman ra. dimana orang Arab mulai bergaul dengan
orang-orang non Arab, pada saat itu Utsman ra. memerintahkan supaya kaum muslimin
berpegang pada mushhaf induk dan membuat reproduksi menjadi beberapa buah naskah untuk
dikirim ke daerah-daerah. Bersamaan dengan itu ia memerintahkan supaya membakar semua
mushaf lainnya yang ditulis orang menurut caranya masing-masing. Dan tindakan khalifah
tersebut merupakan perintisan bagi lahirya suatu ilmu yang kemudian dinamai “Ilmu Rasmil
Qur’an” atau “Ilmu Rasmil Utsmani” (Ilmu tentang penulisan al-Qur’an).

Pada masa khalifah Ali, makin bertambah banyak bangsa non Arab yang masuk Islam
dan mereka tidak menguasai bahasa Arab, sehingga bisa terjadi salah membaca Al-Qur’an, sebab
mereka tidak mengerti i’rabnya, padahal pada waktu tulisan Al-Qur’an belum ada harakatnya,
huruf-hurufnya belum pakai titik dan tanda lainnya. Karena itu khalifah Ali ra. memerintahkan

16
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm.81.
Abul Aswad ad-Duali (wafat tahun 69 H) supaya meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab guna
menjadi cocok keasliannya. Dengan perintahnya itu berarti pula Ali bin Abi Thalib ra. adalah
orang yang meletakkan dasar lahimya “Ilmu I’rabil Qur’an”.

Pada abad I dan II H selain Ustman dan Ali, masih terdapat banyak ulama yang diakui
sebagai perintis lahimya yang kemudian hari dinamai Ilmu Tafsir, Ilmu Asbab Al-Nuzul, Ilmu
Makky wal Madaniy, Ilmu Nasikh wal Mansukh dan Ilmu Gharibul Qur’an (soal-soal yang
memerlukan penta’wilan dan penggalian maknanya). Para pepintis ilmu tepsebut ialah

1. Empat orang Khalifah, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu
Musa Al-Asy-ari dan Abdullah bin Zubaik. Mereka itu dari kalangan para sahabat Nabi
Saw.
2. Dari kalangan Thabi’in yaitu Mujahid, ‘Atha bin Yassip, Ikrimah, Qatadah, Hasan
Bashri, dan Zaid bin Aslam. Mereka itu Thabi’in di Madinah.
3. Malik bin Anas dari kaum Thabi’ut thabi’in (generasi ketiga kaum muslimin). la
memperoleh ilmunya dari Zaid bin Aslam.

Pada masa penulisan Al-Alquran, Ilmu Tafsir berada di atas segala ilmu yang lain, karena
ia dipandang sebagai Ummu ‘Ulum Al- Qur’an. Diantara ulama yang menekuni dan menulis
buku mengenai ilmu tersebut pada abad II H ialah:

1. Syu’bah bin Al-Hajjaj


2. Sufyan bin `Uyaniah
3. Waki’ bin AI-Jappah

Kitab-kitab tafsir yang mereka tulis pada umumnya memuat pendapat-pendapat para
sahabat dan thabi’in, kemudian menyusul Ibnu Jarir at-Thabari yang wafat tahun 310 H.
Kitabnya merupakan kitab yang paling bermutu, karena banyak berisi riwayat shahib ditulis
dengan pumusan yang baik, kecuali itu juga berisi I’rab (pramasastra), pengkajian dan pendapat-
pendapat yang berharga. Di samping tafsir yang ditulis menurut apa yang dikatakan oleh orang-
orang terdahulu, mulai muncul tafsir-tafsir yang ditulis orang berdasarkan akal (ra’yu) atau
dengan kata lain muncul tafsir bil-naql dan akal. Ada yang menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an,
ada yang menafsirkan sebagian saja yakni satu juz, ada yang menafsirkan sebuah surat dan ada
pula yang menafsiran hanya satu atau beberapa ayat khusus, seperti ayat-ayat yang berkaitan
dengan hukum.

b. Pada Abad Ke III H

Pada abad ke III H selain Tafsir dan Ilmu Tafsir, para Ulama mulai menyusun pula
bebepapa ilmu A1-Qur’an yaitu .

1. `All bin al-Madani (w.234 H) menyusun Ilmu Asbab al-Nuzul.


2. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salah (w.224 H) menyusun ilmu Nasikh wal Mansukh dan
Ilmu Qiraat, dan Fadha’ilul Qur’an
3. Muhammad bin Ayyub adh-Dharris (w.294 H) menyusun ilmu Makkiy wal Madaniy.
4. Muhammad bin Khalaf bin Murzaban (w.309 H) menulis kitab Al-Hawi fi `Ulumul
Qur’an.

3. KEADAAN `ULUMUL QUR’AN PADA ABAD IV H

Pada abad ini telah disusun Ilmu Gharibul Qur’an dan bebepapa kita Ulumul Qur’an dengan
istilah Ulumul Qur’an. Diantaranya:

1. Abubakar bin Qasim al-Anbari (w.328 H) menulis buku `Aja’ibul ‘Ulumul Qur’an.
Dalam kitab ini menjelaskan tentang keutamaan dan keistimewaan Al Qur’an, tentang
tupunnya Al-Qur’an dalam “tujuh huruf’, penulisan mushaf, jumlah surah, ayat dan
lafaznya.
2. Abul Hasan al-`Asy’ari menulis kitab al-Mukhtazan fi Ulumil Qup’ an.
3. Abubakar as-Sajistani menulis buku Ilmu Gharibul Qur’an. Dan dia wafat pada 330 H.
4. Abu Muhammad al-Qashshab Muhammad ‘All al-Kurkhi (W. sekitap tahun 360 H)
menulis kitab yang bepjudul Nukatul Qur’an ad-Dallah `Alai Bayan fi `Anwaa’i1 Ulumi
Qal-Ahkam al Munabbi’ah `An Ikhtilafil Anam.
5. Muhammad bin `All al-Afdawi (w. 388 H) menulis buku yang berjudul A1-Istighna fi
Ulumil Qur’an.

4. PENULISAN ULUMUL QUR’AN PADA ABAD V H


Pada V H mulai disusun Ilmu I’rabil Qur’an dalam satu kitab. Di samping itu penulisan kitab-
kitab dalam Ulumil Qur’an masih terus dilanjutkan oleh para ulama pada masa ini. Di antara
ulama yang berjasa dalam pengembangan Ulumul Quran ialah:

a. ‘Ali bin Ibrahim bin Sa’id al-Huf (w. 430 H) menulis kitab yang berjudul

Al-Burhan fi Ulumil Alquran dan I’rabul Alquran.

b. Abu `Amp ad-Dani (w. 444 H) menulis kitab yang berjudul At-Taisip Fil Qira’atis Sab’i dan
Al-Muhkam fin Nuqath.

Khusus kitab al-Burhan di atas adalah berisi 30 jilid tetapi masih ada dan tersimpan di Darul
Kutub al-Misriyah tinggal 15 jilid dan tidak unit jilidnya. Kitab ini selain menafsipkan Alquran
seluruhnya, juga menepangkan ilmu-ilmu al-Alquran yang ada hubungannya dengan ayat-ayat
Alquran yang ditafsirkan. Karena itu ilmu-ilmu Alquran tidak tersusun secara sistematis dalam
kitab ini, sebab ilmu-ilmu al-Alquran diuraikan secara terpencar-pencar, tidak terkumpul dalam
bab-bab menurut judulnya. Namun demikian, kitab ini mepupakan karya ilmiah yang besar.

5. KEADAAN ULUMUL QUR’AN PADA ABAD VI H

Pada abad ini di samping tepdapat ulama yang menepuskan pengembangan Ulum Alquran, juga
tepdapat ulama yang mulai menyusun Ilmu Mubhamatil Alquran. Mepeka antara lain:

1. Abul Qasim Abdurrahman ysng tepkenal dengan nama as-Suhaili (w. 581 H) yang
menulis kitab Mubhamatul Alquran. Isinya bepkisap tentang penjelasan maksud kata-kata
dalam al-Alquran yang tidak jelas atau samap.
2. Ibnul Jauzi (w. 597 H) menyusun kitab Fununul Afnan 11 `Ajaib Alquran dan AI-Mujtab
fi Ulumin Yata’allaqu bil Alquran.

6. KEADAAN ULUMUL QUR’AN PADA ABAD VII H

Pada abad VII H ini, ilmu-ilum al-Alquran terus berkembang dengan mulai tersusunnya Ilmu
Majazul Alquran dan tersusun pula Ilmu Qiraat. Diantaranya:

1. Ibnu Abdus Salam, yang nama lengkapnya Syaikhul Islam Imam Abu Muhammad Abdul
Aziz bin Abdus Salam, terkenal dengan nama Al-`izz (w 660 H) menyusun kitab yang
bepjudul Majazul Alquran.
2. ‘Alamuddin al-Sakhawi (w. 643 H) yang terkenal dengan nama asSakhawi, yang
menyusun kitab Ilmu Qiraat dalam kitabnya Jamalul Quppa wa Kamalul Iqra’. Kitab ini
bepisi tentang berbagi ilmu qiraat, seperti tajwid, waqaf, dan ibtida (letak bacaan
dimulai), nasikh dan mansukh.
3. Abu Syamah (w. 665 H) menulis kitab AI-Mupsyidul Wajiz fi ma Yata’allaqu bil
Alquranil ‘Aziz.
 

7. KEADAAN ULUMUL QUR’AN PADA ABAD VIII H

Pada abad ini muncullah bebepapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu bapu tentang al-Alquran,
sedang penulisan tentang kitab-kitab Ulumul Quran masih tetap beplanjut. Yaitu:

1. Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H). ia termasuk  ulama ahli tafsir dan ahli ilmu
ushuluddin, lahip 745 H. menyusun kitab dalam empat jilid: al-Burhan fi Ulumil
Alquran. Professor Muhammad Abul Fadhl telah bepjasa dalam usahanya tepsebut.
2. Ibnu Abil Isba menyusun kitab Ilmu Badai’ul Alquran (suatu ilmu yang membahas
macam-macam badi’ (keindahan) bahasa dan kandungan Alquran dalam Alquran.
3. Ibnul Qayyim (w. 752 H) menusun Ilmu Aqsamil Alquran (suatu ilmu yang membahas
tentang sumpah-sumpah yang tepdapat dalam al-Alquran).
4. Najmuddin al-Thufi (w. 716 H) menyusun Ilmu Hujajil Alquran atau Ilmu Jadadil
Alquran.
5. Abul Hasan al-Mawardi menyusun Ilmu Amtsalil Alquran.

7. KEADAAN ULUMUL QUR’AN PADA ABAD IX H

Pada abad ini lebih banyak lagi penulis di antara para ulama sehingga pada abad ini boleh
dikatakan perkembangan Ulumul quran mencapai kesempurnaannya. Di antara ulama itu ialah:

a. Jalaluddin al-Bulqaini (w. 824 H). Dia seorang ulama yang cepdas ahli di bidang ilmu fiqih,
ushuluddin, bahasa Apab, tafsir, ma’ani dan bayan. Ia menulis kitab Mawaqi’ul Ulum min
Mawaqi’in Nujum. Menurut al-Suyuti memandangnya sebagai pelopor menyusun kitab Ulumul
quran yang lengkap. Sebab di dalamnya telah dapat disusun sejumlah 50 macam Ilmu Alquran.

b. Muahammad bin Sulaiman al-Kafiaji (w. 879 H) menyusun kitab Al-Taisir fi Qawaidit Tafsir.

c. As-Suyuti (w.911 H) menyusun kitab At-Tahbir fi Ulumit Tafsir. Penyusunan kitab ini pada
tahun 872 H dan merupakan kitab Ulumul quran yang paling lengkap karena memuat 102
macam ilmu-ilmu Alquran. Namun Imam as-Suyuti belum puas atas karya ilmiahnya yang hebat
ini, kemudian menyusun kitab yang berjudul Al-Itqan fi Ulumil Qur’an (2 juz) yang membahas
sejumlah 80 macam ilmu-ilmu Alquran secara sistematis. Kitab ini belum ada yang menandingi
mutunya dan kitab ini diakui sebagai kitab standar dalam mata pelajaran Ulumul quran.

Setelah as-Suyuti wafat pada tahun 911 H, perkembangan ilmu-ilum al-Alquran seolah-olah
telah mencapai puncaknya dan bephenti dengan berhentinya kegiatan ulama dalam
mengembangkan Ulumul Alquran, dan keadaan semacam itu berjalan sejak wafatnya Imam as-
Sayuti sampai akhir abad XIII H.

8. KEADAAN ULUMUL QUR’AN PADA ABAD XIV H


Setelah memasuki abad XIV H ini, maka bangkit kembali pephatian ulama menyusun kitab-kitab
yang membahas al-Alquran dari berbagai segi dan macam Ilmu al-Alquran, di antara mereka itu
ialah:

1. Thahir al-Jazairi menyusun kitab Al-Tibyan fi Ulumil Quran yang selesai tahun 1335 H.
2. Jamaluddin al-Qasimi (w. 1332 H) menyusun kitab Mahasinut Ta’wil.
3. Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani menyusun kitab Manahilul Irfan fi Ulumil quran (2
jilid).
4. Muhammad Ali Salamah mengarang kitab Manhajul Furqan fi Ulumil quran.
5. Thanthawi Jauhari mengarang kitab al-Jawahir fi Tafsir al-Alquran dan Alquran wal
Ulumul Ashriyah.
6. Muhmmad Shadiq al-Rafi’i menyusun I’jazul Quran.
7. Mustafa al-Maraghi menyusun kitab “Boleh Menterjemahkan al-Alquran”, dan risalah ini
mendapat tanggapan dari para ulama yang pada umumnya menyetujuinya tetapi ada juga
yang menolaknya sepepti Musthafa Shabri seorang ulama besar dari Turki yang
mengarang kitab Risalah Tarjamatil Alquran.
8. Said Qutub mengarang kitab al-Tashwitul Fanni fil Alquran dan kitab Fi Dzilalil quran.
9. Sayyid Muhammad Rasid Ridha mengarang kitab Tafsir al-Alquranul Hakim. Kitab ini
selain menafsipkan al-Alquran secara ilmiyah, juga membahas Ulum Alquran.
10. DR. Muhammad Abdullah Darraz, seorang Gupu Besar al-Azhar univepsity yang
diperbantukan di Perancis mengarang kitab al-Naba’al `Adzim, Nadzarratun Jadidah fil
Alquran.
11. Malik bin Nabiy mengarang kitab al-Dzahiratul Alquraniyyah. Kitab in] membicapakan
masalah wahyu dengan pembahasan yang sangat bephapga.
12. Muhammad al-Ghazali mengarang kitab Nadzapatun fil Alquran.
13. Dr. Shubhi al-Salih, Guru Besar Islamic Studies dan Fiqhul Lughah pada Fakultas Adab
Universitas Libanon mengarang kitab Mahabits fi Ulumil Alquran. Kitab ini selain
membahas Ulumul Alquran, juga menanggapi dan membantah secara ilmiyah pendapat-
pendapat opientalis yang dipandang salah mengenai berbagai masalah yang bephubungan
dengan al-Alquran
14. Muhammad al-Mubarak, Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Syria, mengarang kitab al-
Manhalul Khalid.

Lahirnya istilah Ulumul Alquran sebagai salah satu ilmu yang lengkap dan menyeluruh tentang
Alquran, menurut para penulis Sejarah Ulumul Alquran pada umumnya berpendapat lahir
sebagai suatu ilmu abad VII H. sedang menurut alZarqani istilah itu lahir pada abad V H oleh al-
Hufi dalam kitabnya al-Burhan fi Ulumil Alquran. Kemudian pendapat tersebut dikoreksi oleh
Shubhi al-Shalih, bahwa istilah Ulum Alquran sebagai suatu ilmu sudah ada pada abad III H oleh
Ibnu Marzuban (w. 309 H) dalam kitabnya al-Hawi fi Ulumil Qur’an. Dari berbagai pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah Ulumul Alquran sebagai suatu ilmu telah dirintis oleh
Ibnu Marzuban (w. 309 H) pada abad III H. Kemudian diikuti oleh al-Huff (w. 430 H) pada abad
V H. Kemudian dikembangkan oleh Ibnul Jauzi (w. 597 H) pada abad VI H. Kemudian
ditepuskan oleh al-Sakhawi (w. 643 H) pada abad VII H. Kemudian disempurnakan oleh al-
Zarkasyi (w.794 H) pada abad VIII H. Kemudian ditingkatkan lagi oleh al-Bulqini (w.824 H)
dan al-Kafyaji (w.879 H) pada abad IX H. Dan akhirnya disempumakan lagi oleh al-Suyuti pada
akhir abad IX dan awal abad X H. Pada pepiode tepakhir inilah sebagai puncak karya ilmiyah
seopang ulama dalam bidang Ulum Alquran, sebab setelah al-Suyuti maka berhentilah kemajuan
Ulumul Quran sampai akhir abad XIII H.

Namun pada abad XIV H sampai sekarang ini mulai bangkit kembali aktifitas para ulama dan
sarjana Islam untuk menyusun kitab-kitab tentang Alquran, baik yang membahas ulumul Quran
maupun yang membahas salah satu cabang dari Ulum Quran.

7. Urgensi Ulumul Qur’an terhadap Tafsir Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber pokok dari ajara-ajaran islam yang masih bersifat global. Bagi
orang yang hidup pada masa belakangan ini tentu mengalami kesulitan dalam memahaminya.
Agar setiap kita mampu memahami isi Al-Qur’an, maka kita harus mempunyai alat untuk
membongkarnya. Dan alat yang paling tepat untuk keperluan tersebut adalah ‘Ulumul Qur’an.
Ilmu ini membahas berbagai ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Termasuk didalamnya
adalah ilmu Tafsir Al-Qur’an. Seperti yang telah kita ketahui didepan, ‘Ulumul Qur’an memiliki
cakupan yang sangat luas. Oleh karena itu, ilmu-ilmu itu sangat bermanfaat bagi yang hrendak
mengetahui Al-Qur’an lebih detail.
Dengan mempunyai ilmu-ilmu itu berarti kita mempunyai pengetahuan tentang Al-
Qur’an, sehingga memungkinkan kita mampu memahami Al-Qur’an dengan sebaik-baiknya dan
sanggup menafsirkannya dengan sedalam-dalamnya. Ilmu ini juga dapat dijadikan penangkal
yang sakti untuk membantah serangan-serangan atau celaan-celaan terhadap Al-Qur’an yang
sering dilancarkan oleh kaum Orientalis dan Atheist dengan tujuan menyudutkan dan menodai
kitab suci Al-Qur’an dan menimbulkan keragu-raguan Aqidah bagi umat islam terhadap
kesucian dan kebenaran Al-Qur’an, way of life bagi umat islam. Ilmu Tafsir juga sangat penting
untuk dipelajari oleh umat islam karena ia merupakan alat pembantu dalam memahami Al-
Qur’an dan menafsirkannya.
‘Ulum Al-qur’an mempunyai hubungan yang erat demgan gTafsir al-Qur’an. Orang yang
hendak memahami Al-Qur’an secara sempurna, termasuk menterjemahkannya, maka perlu
baginya mempelajari ‘Ulum Al-Qur’an. Tafsir Al-Qur’an berarti penjabaran atau pemahaman
Al-Qur’an. Pengertian selengkapnya ada pada bab lain. Untuk melakukan Tafsir terhadap Al-
Qur’an dengan baik, kita butuh Ilmu Tafsir. Sedangkan ilmu tafsir tersebut merupakan salah satu
bahasan dalam ‘Ulum Al-Qur’an. Maka seseorang akan dapat menafsirkan Al-Qur’an dengan
baik bila memahami ‘Ulum Al-Qur;an . Demikian pula sebaliknya.
Telah diketahui, ‘Ulum Al-Qur’an disebut pula sebagai “ Ilmu Ushul at Tafsir, yakni
ilmu yang membahas dasar-dasar dan pokok penjelasan Al-Qur’an secara umum.17

17
M. Syakur Sf, ‘Ulumul Qur’an, (Semarang: CV Presisi Cipta Media, 2019), hlm.21-22.

Anda mungkin juga menyukai