Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-
Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat
ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan
hidup baik di dunia maupun akhirat.
Bagian-bagian Al-Qur’an Al-Qur’an mempunyai 114 surat, dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat,
yaitu Al Baqarah, dan terpendek terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-’Ashr, Al-Kautsar, dan An-Nashr. Sebagian
ulama menyatakan jumlah ayat di Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan 6.666.

Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang kalimat Basmalah pada
setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang kata-kata pembuka surat yang terdiri dari
susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin, Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai
ayat, ada yang tidak mengikutsertakannya sebagai ayat. Untuk memudahkan pembacaan dan
penghafalan, para ulama membagi Al-Qur’an dalam 30 juz yang sama panjang, dan dalam 60 hizb
(biasanya ditulis di bagian pinggir Al-Qur’an). Masing-masing hizb dibagi lagi menjadi empat dengan
tanda-tanda ar-rub’ (seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat).

Selanjutnya Al-Qur’an dibagi pula dalam 554 ruku’, yaitu bagian yang terdiri atas beberapa ayat. Setiap
satu ruku’ ditandai dengan huruf ‘ain di sebelah pinggirnya. Surat yang panjang berisi beberapa ruku’,
sedang surat yang pendek hanya berisi satu ruku’.
Nisf Al-Qur’an (tanda pertengahan Al-Qur’an), terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 19 pada lafal
walyatalattaf yang artinya: “hendaklah ia berlaku lemah lembut”.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :

1. Untuk mengetahui sejarah turunnya Al-Qur’an

2. Mengetahui periodesasi penulisan Al-Qur’an

3. Dan untuk mengetahui kodifikasi Al-qur’an.

C. Manfaat Penulisan

Disamping untuk memenuhi tugas, penulis berharap makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu
pengetahuan yang kita miliki terutama dalam mata kuliah Ulumul Qur’an.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qur’an

Al-Qur’an secara bahasa (etimologi) merupakan bentuk masdhar yang dapat diartikan sebagai isim
maf’ul yaitu Maqru’ berarti “yang dibaca”. Dan ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata Qur’an
adalah kata sifat dari Alqur’ berarti “mengumpulkan” (Al-jam’), atau Musytaq dari Alqara’in atau
qarana.
Sedangkan menurut istilah (terminology) Al-Qur’an adalah “Kalam Allah yang diturunkan kepada
nabi-Nya, Muhammad, yang lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai
ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulispada mushaf, mulai dari awal surat Al-
Fatihah dan diakhiri surat An-Nas.

B. Sejarah Turunnya Al-Qur’an

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui berbagai cara, antara lain:

1. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW tanpa
memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam
hatinya.

2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan kata-kata di
hadapan Nabi SAW.

3. Wahyu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.


Menurut Nabi SAW, cara inilah yang paling berat dirasakan, sampai-sampai Nabi SAW mencucurkan
keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin.

4. Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli.

Setiap kali mendapat wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang
diterima tepat seperti apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu
dikontrol oleh Malaikat Jibril.

Al-Qur’an diturunkan dalam 2 periode, yang pertama Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di
Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu
disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat. Kedua adalah Periode
Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam
periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.Padazaman
nabi Muhammad, Al Quran tidak diperbolehkan untuk ditulis, melainkan hanya dihafalkan saja di luar
kepala baik oleh nabi Muhammad maupun sahabat-sahabatnya. Sementara itu, untuk menjaga
kemurnian Al Quran, setiap malam di bulan Ramadhan malaikat Jibril turun ke bumi dan membacakan
ayat-ayat Al Quran tersebut dan nabi Muhammad mendengarkannya dengan seksama. Nabi
Muhammad sendiri melarang penulisan Al Quran ini dalam media apapun dalam satu kesatuan.

Setelah nabi Muhammad meninggal dunia, tongkat kepemimpinan Islam diberikan kepada kalifah Abu
Bakar As syidiq. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar ini, orang-orang Islam yang tipis imannya mulai
banyak yang meninggalkan Islam. Mereka meninggalkan semua perintah-perintah Allah seperti shalat,
puasa dan zakat. Selain itu, bermunculan pula nabi-nabi palsu yaitu orang-orang yang mengaku sebagai
penerus nabi Muhammad. Dengan munculnya nabi-nabi palsu ini, maka Kalifah Abu Bakar kemudian
memerintahkan para sahabat untuk memerangi nabi-nabi palsu dan umat Islam yang tipis imannya itu.
Sayangnya, banyak sahabat nabi yang hafal Al Quran dalam rangka menegakkan agama Islam kemudian
berguguran satu demi satu.

Melihat hal ini, kemudian Umar bin Khatab menyarankan kepada Kalifah Abu Bakar untuk
mengumpulkan ayat-ayat Al Quran dan menuliskannya menjadi satu kitab saja. Awalnya, ide ini
ditentang oleh Kalifah Abu Bakar, karena menurut beliau nabi Muhammad sendiri yang melarang
penulisan ayat-ayat Al Quran tersebut, namun setelah melalui perdebatan panjang dan demi
menegakkan agama Islam, akhirnya Kalifah Abu Bakar pun mengalah. Setelah itu, dibentuklah panitia
pengumpulan dan penulisan Al Quran tersebut.
Ayat-ayat Al Quran itu kemudian dikumpulkan dan ditulis ulang oleh Zaid bin Tsabit. Pada masa Kalifah
Umar bin Khatab, kitab Al Quran hanya berjumlah lima buah dan disimpan di lima tempat yang berbeda
antara lain, Mekkah, Basrah, Madinah, dan disimpan oleh Kalifah Umar sendiri.

Pada era kepemimpinan Utsman bin Affan, beliau berhasil menaklukkan Syria yang terlebih dahulu
sudah mengenal kertas sebagai media untuk menulis. “Teknologi baru“ ini kemudian dimanfaatkan
untuk memperbanyak kitab Al Quran. Akibatnya, sekarang semua orang dapat membaca, mengkaji dan
memperdalam Al Quran dimanapun dan kapanpun juga. Bahkan, pada zaman sekarang Al Quran
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dengan tentu saja tetap menuliskan ayat-ayat asli Al Quran
yang masih berbahasa Arab, sehingga kemurnian Al Quran Insya Allah masih terjaga kemurniannya
bahkan sampai sekarang sekalipun. Terjemahan yang ada dalam Al Quran ini semata-mata han
ya untuk mempermudah umat Islam untuk mempelajari Al Quran.

Menurut Al-zarqani dalam manahil Al-Irfan berpendapat bahwa proses turunnya Al-Qur’an terdiri atas
tiga tahapan :

1. Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke Lauh Al-Mahfudz, yaitu suatu tempat yang
merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah, berdasarkan firman Allah dalam Q.S.
Al-Buruj ayat 21-22.

ٌ ‫ بَ ْل ه َُو قُ ْر‬, ٍ‫فِي لَ ْوحٍ َمحْ فُوظ‬


‫آن َم ِجي ٌد‬

Artinya :

“bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam lauh al-mahfuzh”
(QS.Al-Buruj : 21-22)

2. Al-Qur’an diturunkan dari lauh Al-Mahfuzh ke Bait Al-Izzah (tempat yang berada di langit dunia),
sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Qadar ayat 1

‫ِإنَّا أ َ ْنزَ ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ِة ْالقَد ِْر‬

Artinya :

“sesungguhnya kami telah menurunkan-nya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”.

3. Al-Qur’an diturunkan dari Bait Al-Izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai
dengan kebutuhan. Hal ini diisyaratkan dalam Q.S. Asy-Syuaro ayat 193-195

Artinya :

“Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-amin (jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah
seorang diantara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.

Dan adapun hikmah yang terkandung dalam hal diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur
adalah sebagai berikut :

1. Untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW mengingat watak keras masyarakat yang dihadapi
Nabi, maka dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur akan memperkuat Nabi.

2. Sebagai mukjizat mengingat banyaknya tantangan yang dihadapi Nabi dari kaumnya baik dari
pertanyaan yang memojokkan. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu tidak saja menjawab
pertanyaan itu bahkan menantang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an.
3. Untuk memudahkan hafalan dan pemahaman Al-Qur’an. Sekiranya Al-Qur’an turun sekaligus tentu
sulit untuk memahami dan menghafal isinya.

4. Untuk menerapkan hukum secara bertahap

5. Sebagai bukti bahwa Al-Qur’an adalah bukan rekayasa Nabi Muhammad atau manusia biasa.
Meskipun rangkaian ayatnya turun selama 23 tahun tetapi sistematika dan kandungannya tetap
konsisten.

C. Periodesasi Penulisan Al-Qur’an

1. Periode Mekah

Kendati diwahyukan secara lisan, Al-Qur’an sendiri secara konsisten menyebut sebagai kitab tertulis. Ini
memberi petunjuk bahwa wahyu tersebut tercatat dalam tulisan. Pada dasarnya ayat-ayat Al-Qur’an
tertulis sejak awal perkembangan Islam, meski masyarakat yang baru lahir itu masih menderita berbagai
permasalahan akibat kekejaman yang dilancarkan oleh pihak kafir Quraish. Al-Kattani mencatat
peristiwa ini : Sewaktu Rafi` bin Malik al-Ansari menghadiri baiah al-’Aqaba, Nabi Muhammad
menyerahkan semua ayat-ayat yang diturunkan pada dasawarsa sebelumnya. Ketika kembali ke
Madinah, Rafi` mengumpulkan semua anggota sukunya dan membacakan di depan mereka

2. Periode Madinah

a) penulis wahyu nabi Muhammad SAW.

Pada periode Madinah kita memiliki cukup banyak informasi termasuk sejumlah nama, lebih kurang
enam puluh lima sahabat yang ditugaskan oleh Nabi Muhammad bertindak sbg penulis wahyu. Mereka
adalah Abban bin Sa’id, Abu Umama, Abu Ayyub al -Ansari, Abu Bakr as-Siddiq, Abu Hudhaifa, Abu
Sufyan, Abu Salama, Abu ‘Abbas, Ubayy bin Ka’b, al-Arqam, Usaid bin al-Hudair, Aus, Buraida, Bashir,
Thabit bin Qais, Ja`far bin Abi Talib, Jahm bin Sa’d, Suhaim, Hatib, Hudhaifa, Husain, Hanzala, Huwaitib,
Khalid bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, az-Zubair bin al-`Awwam, Zubair bin Arqam, Zaid bin Thabit, Sa’d
bin ar-Rabi`, Sa’d bin `Ubada, Sa’id bin Sa`id, Shurahbil bin Hasna, Talha, `Amir bin Fuhaira, `Abbas,
`Abdullah bin al-Arqam, `Abdullah bin Abi Bakr, `Abdullah bin Rawaha, `Abdullah bin Zaid, `Abdullah bin
Sa’d, ‘Abdullah bin ‘Abdullah, ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Uthman bin ‘Affan.8] Juga : Uqba, al ‘Ala bin ‘Uqba,
‘All bin Abi Talib, ‘Umar bin al-Khattab, ‘Amr bin al-’As, Muhammad bin Maslama, Mu’adh bin Jabal,
Mu’awiya, Ma’n bin ‘Adi, Mu’aqib bin Mughira, Mundhir, Muhajir, dan Yazid bin Abi Sufyan

b) Nabi Muhammad Mendiktekan Al-Qur’an :

Saat wahyu turun, Nabi Muhammad secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar
mencatat ayat itu. Zaid bin Thabit menceritakan sebagai ganti atau mewakili peranan dalam Nabi
Muhammad, ia sering kali dipanggil diberi tugas penulisan saat wahyu turun. Sewaktu ayat al-jihad
turun, Nabi Muhammad memanggil Zaid bin Thabit membawa tinta dan alat tulis dan kemudian
mendiktekannya; ‘Amr bin Um-Maktum al-A’ma duduk menanyakan kepada Nabi Muhammad,
“Bagaimana tentang saya ? Karena saya sebagai orang yang buta.” Dan kemudian turun ayat, “ghairuli
al-darar” (bagi orang-orang yang bukan catat). Namun saat tugas penulisan selesai, Zaid membaca
ulang di depan Nabi Muhammad agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.
c) Tradisi Penulisan Al-Qur’an di Kalangan Sahabat :

Kebiasaan di kalangan para sahabat dalam penulisan Al Qur’an, menyebabkan Nabi Muhammad
melarang orang-orang menulis sesuatu darinya kecuali Al-Qur’an, “dan siapa yang telah menulis sesuatu
dariku selain Al-Qur’an, maka ia harus menghapusnya.” Beliau ingin agar Al-Qur’an dan hadith tidak
ditulis pada halaman kertas yang sama agar tidak terjadi campur aduk serta kekeliruan. Sebenarnya bagi
mereka yang tak dapat menulis selalu hadir juga di masjid memegang kertas kulit dan minta orang lain
secara suka rela mau menuliskan ayat Al-Qur’an.. Berdasarkan kebiasaan Nabi Muhammad memanggil
juru tulis ayat-ayat yang baru turun, kita dapat menarik anggapan bahwa pada masa kehidupan beliau
seluruh Al-Qur’an sudah tersedia dalam bentuk tulisan.

D. Kodifikasi Al-Qur’an

Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-
Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya di hadapan para sahabat
karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka.

Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi SAW juga
memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-
lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang.

Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup satu surat, Nabi SAW memberi nama surat tsb untuk
membedakannya dari yang lain. Nabi SAW juga memberi petunjuk tentang penempatan surat di dalam
Al-Qur’an. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al-Qur’an juga dilakukan
berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan di masa Nabi SAW tsb
berlangsung sampai Al-Qur’an sempurna diturunkan dalam masa kurang lebih 22 tahun 2 bulan 22 hari.

Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, setiap tahun Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa
bacaannya. Malaikat Jibril mengontrol bacaan Nabi SAW dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan
ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama dengan
mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian terpeliharalah Al-Qur’an dari kesalahan dan
kekeliruan.

Proses pengumpulan Al-Qur’an terdiri dari beberapa tahapan atau masa. Yaitu pada masa Nabi
Muhammad SAW, masa khulafa’ur rasyidin, dan pada masa setelah khulafa’ur rasyidin.

1. Pada Masa Nabi Muhammad SAW

Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat dirindukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga
kerinduan Nabi Muhammad SAW terhadap kedatangan wahyu tidak sengaja diekspresikan dalam
bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi
Muhammad ditempuh dengan dua cara :

a) Pertama, al Jam’u fis Sudur.

Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu
menghafal dan memahaminya. Persis seperti dijanjikan Allah SWT dalam surat Al-Qiyamah ayat 17,
sebagai berikut :

“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah:17).
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW adalah hafiz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan merupakan
contoh paling baik bagi para sahabat dala menghafalnya, sebagai ralisasi kecintaan mereka kepada
pokok agama dan sumber risalah. Setiap kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, para sahabt
langsung menghafalnya diluar kepala.

a) Kedua, al Jam’u fis Suthur.

Selain di hafal, Rasulullah juga mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat
terkemuka seperti Ali, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, beliau
memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga
penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati.

Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka
menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang dan
berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga
melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.

2. Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin

a) Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq

Sepeningal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al Quran,
dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskahnaskah
atau manuskrip Al Quran yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada
turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).

Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada
tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad dan juga para pengikut
Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 70 orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid.
Khawatir akan hilangnya Al-Qur’an karena para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam medan
perang. Lalu Umar bin Khattab menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-
Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan.

Namun pada awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh Umar bin Khattab.
Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah melakukannya. Tetapi Umar bin Khattab
terus membujuk Abu Bakar untuk melakukannya, dan akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar
untuk menerima usulan tersebut. Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit untuk
melakukannya. Seperti Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak perintah Abu Bakar dengan
alas an yang sama. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Zaid bin Sabit pun setuju.

b) Pada Masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.

Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga
menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (’Ajamy). Kondisi ini tentunya
memiliki dampak positif dan negatif.

Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan
bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang
juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman.

Inisiatif ‘Utsman bin ‘Affan untuk menyatukan penulisan Al-Qur’an tampaknya sangat beralasan. Betapa
tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada
titik yang menyebabkan umat Islamsaling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan diantara
mereka.

‘Utsman bin ‘Affan memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi
persyaratan berikut:

1) Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,

2) Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca
kmbalidihadapan Nabi Muhmmad SAW pada saat-saat terakhir,

3) Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar
yang susunan mushafnya berbeda dengan mushaf ‘Utsman bin ‘Affan.

4) Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan
lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun,

5) Semua yang bukan mushaf Al-Qur’an dihilangkan.Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap
penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki
harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak
orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan
bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah
dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai
segera dilakukan.

Dan adapun perbedaan penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan pada masa Utsman adalah
sebagai berikut :

a. Pada masa Abu Bakar

1. Motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Qur’an dengan syahidnya beberapa penghafal
Al-Qur’an pada perang Yamamah.

2. Abu Bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang terpencar-pencar


pada pelepah kurma, tulang, dan sebagainya.

b. Pada masa Utsman bin Affan

1. Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca Al-Qur’an
(qira’at)).

2. Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dan tujuh huruf
yang dengannya Al-Quran turun.

3. Pada Masa Setelah Khulafa’ur Rasyidin.

Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis
pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan
salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan
membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705),
ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada
karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap
generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M.).
http://mugnisulaeman.blogspot.com

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara berangsur-
angsur. Ketika wahyu turun, Nabi selalu menyuruh para sekretarisnya untuk menulisnya baik di daun-
daun, pelepah kurma, tulang-tulang dan lain sebagainya. Setelah Nabi wafat, Abu Bakar memerintahkan
Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya agar mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur’an untuk dijadikan
sebuah mushaf. Dan pada masa Usman bin Affan mushaf itu disalin atau diperbanyak dan diletakkan di
beberapa pusat kota kekuasaan Islam untuk mempersatukan lahjah (logat) umat islam dalam membaca
Al-Qur’an.

B. Saran

Kita sebagai umat Islam seharusnnya lebih giat untuk membaca dan mengamalkan isi ajaran yang
terkandung didalam Al-Qur’an. Sebagaimana para sahabat nabi yang telah berupaya mengumpulkan,
menuliskan, serta merapihkan susunan isi Al-Qur’an namun tidak merubah satu kata pun isi ketika awal
turun kepada Nabi Muhammad SAW.

Apalagi sampai kita belajar lebih dalam lagi untuk mempelajarinya. Karena sekarang sudah ada studi
yang khusus mempelajari Al-Qur’an yaitu Ulumul Qur’an (Ilmu Al-Qur’an).

Pengertian Al-Qur’an Menurut Bahasa (Etimologi)

Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau “sesuatu
yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja ( – ‫قرأ‬
‫ )يقرأ – قرأة – قرأنا‬yang artinya membaca.[1] Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah
satu surat Al-Qur’an sendiri yakni:

“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada
lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu
ikuti {amalkan} bacaannya”.(QS. Al-Qiyamah: 17-18)

Pengertian Al-Qur’an Menurut Istilah (Terminologi)

Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut:

“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis
di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.

Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut:

“Al-Qur’an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf
yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya
merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas“
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan
kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap
sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.

Nama-nama lain Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk
merujuk kepada Al-Qur’an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang
mencantumkannya:

Al-Kitab: QS. (2:2), QS. (44:2)[2]

Al-Furqan (pembeda benar salah): QS. (25:1)

Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS. (15:9)[3]

Al-Mau’idhah (pelajaran/nasihat): QS. (10:57)

Al-Hukm (peraturan/hukum): QS. (13:37)

Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS. (17:39)

Asy-Syifa’ (obat/penyembuh): QS. (10:57), QS. (17:82)

Al-Huda (petunjuk): QS. (72:13), QS. (9:33)

At-Tanzil (yang diturunkan): QS. (26:192)

Ar-Rahmat (karunia): QS. (27:77)

Ar-Ruh (ruh): QS. (42:52)

Al-Bayan (penerang): QS. (3:138)

Al-Kalam (ucapan/firman): QS. (9:6)

Al-Busyra (kabar gembira): QS. (16:102)

An-Nur (cahaya): QS. (4:174)

Al-Basha’ir (pedoman): QS. (45:20)

Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS. (14:52)

Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS. (28:51) (makalah)

B. Turunnya Al-Qur’an dan Penulisan Al-Qur’an

Permulaan turun al-Qur’anul Karim adalah tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari kelahiran Nabi SAW,
yaitu pada saat beliau sedang bertahannuts (beribadah) di Gua Hira. Pada saat itu turun wahyu
beberapa ayat al-Qur’anul Karim yang dibawa oleh Jibril al-Amin. Jibril mendekap nabi lalu
melepaskannya, hal ini dilakukan sebanyak tiga kali, sambil mengatakan “iqra” pada setiap kalinya, dan
Rasul SAW menjawabnya “ma ana bi qaari”. Pada dekapan yang ketiga kalinya Jibril membacakan[4] :

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusiadari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah yang mengajarkan manusia dengan
perantara qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Al-Qur’an tidak turun sekaligus. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22
hari. Hikmah Al-Qur’an itu turunnya itu berangsur-angsur ialah supaya dapat dihafal oleh para sahabat
pada waktu itu. Maksud pertama ialah menukar akidah kepada akidah. Keluar dari penyembahan
terhadap berhala kepada yang benar, agama yang turun dari langit. Dari angan-angan dan sangkaan-
sangkaan belaka kepada suatu kepastian. Dan dari tidak beriman kepada beriman.[5] Sedangkan
hikmah lain dibalik turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah:

Untuk menguatkan hati Nabi SAW. Firman-Nya:

“Orang-orang kafir berkata, kenapa Qur’an tidak turun kepadanya sekali turun saja? Begitulah, supaya
kami kuatkan hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar)”. (QS. Al-
Furqaan: 32)

Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari Al-Qur’an karena menurut mereka aneh kalau
kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur.

Supaya mudah dihafal dan dipahami.

Supaya orang-orang mukmin Antusias dalam menerima Al-Qur’an dan giat mengamalkannya.

5. Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu


hukum. (makalah)

C. Sejarah dan Penulisan Al-Qur’an

Penulisan Al-Qur’an Di Masa Nabi

Pada masa Nabi wahyu yang diturnakan oleh Allah kepadanya tidak hanya dieksprersikan dalam betuk
hafalan tapi juga dalam bentuk tulisan.

Sekretaris Pribadi Nabi yang bertugas mencatat wahyu yaitu Abu Bakar, Umar bin Kahtab, Khalid Bin
Walid dan Mua`wiyah Bin Abi Sofyan. Mereka menggunakan alat tulis sederhana yaitu lontaran kayu,
pelepah kurma, tulang-belulang, dan batu.

Faktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi yaitu:

Membukukan hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat.

Mempersentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna.

Ibn al-Nadim menulis bahwa di antara para sahabat Nabi SAW, Ali bin Abi Thalib, Sa’id ibn Ubayd ibn al-
Nu’man, Abu Darda’, Mu’adz ibn Jabal, Tsabit ibn Zayd dan Ubayd ibn Mu’awiyah ibn Zayd menghimpun
al-Qur’an semasa hidup Rasulullah SAW.[6]

Dalam buku al-Tambid, Abu Musa al-Asy’ari dan Miqdad ibn al-Aswad disebutkan di antara para
penghimpun al-Qur’an. Hal itu menambahkan bahwa sebelum standarisasi mushaf yang diperintakan
oleh Utsman, orang Kufah membaca menurut mushaf Abu Musa, orang Damaskus mengikuti mushaf
Miqdad, sementara sisanya orang-orang Syria membaca menurut mushaf Ubay ibn Ka’ab. Dan,
sebagaimana kita ketahui, mushaf saat ini adalah mushaf yang dibuat oleh Zayd ibn Tsabit berdasarkan
perintah Abu Bakar, khalifah pertama.

2. Penulisan Al-Qur’an Di Masa Khulafaur Rasyidin

Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq

Sepeningal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al-
Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskah-
naskah atau manuskrip Al-Quran yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan
pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).

Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada
tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad dan juga para pengikut
Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 70 orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid.
Khawatir akan hilangnya Al-Qur’an karena para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam medan
perang. Lalu Umar bin Khattab menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-
Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan.

Namun pada awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh Umar bin Khattab.
Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah melakukannya. Tetapi Umar bin Khattab
terus membujuk Abu Bakar untuk melakukannya, dan akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar
untuk menerima usulan tersebut. Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit untuk
melakukannya. Seperti Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak perintah Abu Bakar dengan
alas an yang sama. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Zaid bin Sabit pun setuju.

Penulisan Al-Qur’an pada Masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.

Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara
pembacaan Al-Qur’an (qira’at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang
berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil
kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis
dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara
penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh
mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar).
Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam
di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur’an.

D. Sejarah dan Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Setelah Khalifah

Mushaf yang ditulis pada masa khalifah Usman tidak memiliki harakat dan tanda titik, sehingga orang
non arab yang memeluk islam merasa kesulitan membaca mushaf tersebut.

Oleh karena itu pada masa khalifah Abd Al-Malik ( 685-705 ) dilakukan penyempurnaan oleh dua tokoh
berikut;

Ubaidilllah bin Ziyad melebihkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang.

Al-Hajjad bin yusuf Ats- Tsaqafi penyempurnaan mushaf Usmani pada sebelas tempat yang
memudahkan pembaca mushaf.

Orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf Usmani ; Abu Al-Aswad Ad- Du`Ali , Yahya
Bin Ya`Mar, Nashr Bin Asyim Al-Laits
Orang yang pertama kali meletakkan hamzah , tasdid, arrum dan Al-Isyamah adalah: al-Khalid bin
Ahmad Al- Farahidi Al-Azdi.

Proses pencetakan Al-Quran:

Pertama kali di cetak di Bundukiyyah pada 1530 M.

Hinkalman pada masa 1694 M di Hamburg ( jerman ).

Meracci pada 1698 M di paduoe.

Maulaya Usman di sain Peter buorgh, Uni Sovyet ( Label Islami ).


Terbit cetakan di Kazan .

Iran pada 1248 H / 1828 kota Taheran.

Ta`di Tabriz pada 1833.

Ta`di leipez, Jerman pada 1834

E. Rasm Al-Qur’an setelah masa Penulisan Al-Qur’an

Rasm Al-Qur’an atau adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang
dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang
digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan sebutan Rasm Al-UtsmaniPara ulama menetapkan Rasm
Al-Quran terbagi atas enam yaitu :

Al-Hadzf (Membuang atau menghilangkan atau menjadikan huruf)

Al-Jiyadah (Penambahan)

Al-Hamzah

Badal atau Pergantian

Washal dan fashl ( Penyambungan dan pemisahan)

Kata yang dapat dibaca dua bunyi, penulisan kata tersebut disunatkan dengan salah satu bunyinya

Pendapat Para Ulama:

Rasm Usmani bersifat tauqifi atau bukan merupakan Produk budaya manusia yang wajib di ikuti siapa
saja ketika menulis Al-Quran.

Menurut Al-Quran: Tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang dapat di jadikan alasan untuk menjadikan
Rasm Usmani sebagai Tauqifi.

Subhi shalih: Ia mengatakan ketika logisan Rasm Usmani apabila disebut tauqifi karena rasm Usmani
baru lahir pada masa Usman.

Rasm Usmani adalah kesepakatan cara baca penulisab yang disetujui Usman dan diterima umat,
sehinmgga wajib di ikuti dan di taati siapa pun ketika menulis Al-Quran.

Tidak ada halangan untuk menyalahkan nya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu
untuk menulis Al-Quran.

Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at adalah keberadaan Rasm Usmani yang telah berharakat dan
bentuk itu ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai Qiraat terbukti
dengan keragaman cara membacan Al-Quran seperti qiraat tujuh, sepuluh dan qiraat empat belas.

Demikian ulasan singkat seputar sejarah turun dan Penulisan Al-Qur’an , semoga bermanfaat

situs: www.rangkumanmakalah.com

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2004. Ulumul Al- Qur’an . Bandung : Pustaka Setia Al- Shalih Subhi. 1990

Haryono, M. Yudhie. 2002. Nalar Al-Qur’an. Jakarta Timur: Penerbit Nalar

Saad, Abdul Wahid. 1995. Pengenalan Sejarah Al-Qur’an. Jakarta Utara: PT RajaGrafindo Persada
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Studi Al-Qur’an. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press

Umar, Chudlori dan Moh. Matsna. 1992. Terjemahan At-Tibyan (Pengantar Studi Al-Qur’an). Bandung:
PT Al-Ma’arif

Halimuddin. 1992. Sejarah Al-Qur’an (Terjemahan Tarikh Al-Qur’an). Jakarta: PT Rineka Cipta

[1] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Al-Qur’an, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press), 2011,
hal. 1

[2] Saad Abdul Wahid, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta Utara: PT RajaGrafindo Persada), 1995,
hal. 68

[3] Ibid

[4] Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna, Terjemahan At-Tibyan (Pengantar Studi Al-Qur’an),
(Bandung: PT Al-Ma’arif), 1996, hal. 26

[5] Halimuddin, Sejarah Al-Qur’an (Terjemahan Tarikh Al-Qur’an), (Jakarta: PT Rineka Cipta), 1992, hal.
52

[6] M. Yudhie Haryono, Nalar Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Penerbit Nalar), 2002, hal. 14

Anda mungkin juga menyukai