Anda di halaman 1dari 29

Pengertian Ulumul Qur’an

Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata,
yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti
ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian
bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an,
baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap
petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu
rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya
dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.

Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul
Qur’an diantara lain :

v Assuyuthi dalam kitab itmamu al-Dirayah mengatakan :

‫ذالكّ وغير باالحكام المتعلقة ومعانيه وادابهوالفاظه وسنده نزوله جهة من العزيز الكتاب احوال عن فيه يبحث علم‬.

“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya
makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan
dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.

v Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut:

‫ودفع ومنسوخه وناسخه واعجازه وتفسيره وقراءته وكابته وجمعه وترتيبه نزوله ناحية من الكريم بالقران تتعلق مباحث‬
‫ذالك ونحو عنه الشبه‬.

“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya,
urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya, nasikh
mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan
sebagainya”.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas
hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-
Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi
manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan
keperluan membahas al-Qur’an.

B. Ruang Lingkup Pembahasan Al-Qur’an

Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang
luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa
ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah
dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di
dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari
tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu
Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini
didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat.
Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak
terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari
sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah
:

‫ت ِم َداداّ ال َبح ُّر كَانَّ لَّوّ قُل‬ َّ ‫جئنَا َولَوّ َر ِبى ِل َمـتُّ ََك تَنفَ َّد أَن قَب‬
ِّ ‫ل ال َبح ُّر لَنَ ِف َّد َربِى ِل َك ِل َمـ‬ ِّ ‫َم َدداّ ِب ِمث ِل ِّه‬

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,


sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula).(Q.S. Al-Kahfi 109)

Turunnya Al-Qur’an dan Penulisan Al-Qur’an


Permulaan turun al-Qur’anul Karim adalah tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari
kelahiran Nabi SAW, yaitu pada saat beliau sedang bertahannuts (beribadah) di Gua
Hira. Pada saat itu turun wahyu beberapa ayat al-Qur’anul Karim yang dibawa oleh
Jibril al-Amin. Jibril mendekap nabi lalu melepaskannya, hal ini dilakukan sebanyak
tiga kali, sambil mengatakan “iqra” pada setiap kalinya, dan Rasul SAW
menjawabnya “ma ana bi qaari”. Pada dekapan yang ketiga kalinya Jibril
membacakan[4] :
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusiadari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling
Pemurah yang mengajarkan manusia dengan perantara qalam. Dia mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Al-Qur’an tidak turun sekaligus. Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama 22
tahun 2 bulan 22 hari. Hikmah Al-Qur’an itu turunnya itu berangsur-angsur ialah
supaya dapat dihafal oleh para sahabat pada waktu itu. Maksud pertama ialah
menukar akidah kepada akidah. Keluar dari penyembahan terhadap berhala kepada
yang benar, agama yang turun dari langit. Dari angan-angan dan sangkaan-sangkaan
belaka kepada suatu kepastian. Dan dari tidak beriman kepada
beriman.[5]Sedangkan hikmah lain dibalik turunnya Al-Qur’an secara berangsur-
angsur adalah:
1. Untuk menguatkan hati Nabi SAW. Firman-Nya:
“Orang-orang kafir berkata, kenapa Qur’an tidak turun kepadanya sekali turun saja?
Begitulah, supaya kami kuatkan hatimu dengannya dan kami membacanya secara
tartil (teratur dan benar)”. (QS. Al-Furqaan: 32)
1. Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari Al-Qur’an karena menurut
mereka aneh kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur.
2. Supaya mudah dihafal dan dipahami.
3. Supaya orang-orang mukmin Antusias dalam menerima Al-Qur’an dan giat
mengamalkannya.
4. 5. Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan
suatu hukum. (makalah)
C. Sejarah dan Penulisan Al-Qur’an
1. Penulisan Al-Qur’an Di Masa Nabi
Pada masa Nabi wahyu yang diturnakan oleh Allah kepadanya tidak hanya
dieksprersikan dalam betuk hafalan tapi juga dalam bentuk tulisan.
Sekretaris Pribadi Nabi yang bertugas mencatat wahyu yaitu Abu Bakar, Umar bin
Kahtab, Khalid Bin Walid dan Mua`wiyah Bin Abi Sofyan. Mereka menggunakan alat
tulis sederhana yaitu lontaran kayu, pelepah kurma, tulang-belulang, dan batu.
Faktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi yaitu:
1. Membukukan hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat.
2. Mempersentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna.
Ibn al-Nadim menulis bahwa di antara para sahabat Nabi SAW, Ali bin Abi Thalib,
Sa’id ibn Ubayd ibn al-Nu’man, Abu Darda’, Mu’adz ibn Jabal, Tsabit ibn Zayd dan
Ubayd ibn Mu’awiyah ibn Zayd menghimpun al-Qur’an semasa hidup Rasulullah
SAW.[6]
Dalam buku al-Tambid, Abu Musa al-Asy’ari dan Miqdad ibn al-Aswad disebutkan di
antara para penghimpun al-Qur’an. Hal itu menambahkan bahwa sebelum
standarisasi mushaf yang diperintakan oleh Utsman, orang Kufah membaca menurut
mushaf Abu Musa, orang Damaskus mengikuti mushaf Miqdad, sementara sisanya
orang-orang Syria membaca menurut mushaf Ubay ibn Ka’ab. Dan, sebagaimana kita
ketahui, mushaf saat ini adalah mushaf yang dibuat oleh Zayd ibn Tsabit berdasarkan
perintah Abu Bakar, khalifah pertama.
2. Penulisan Al-Qur’an Di Masa Khulafaur Rasyidin
Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Sepeningal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan
(manuskrip) Al-Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul
Quran yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Al-Quran yang susunan
surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi
tartibin nuzul).
Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah
Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis
para pemurtad dan juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah
menjadikan 70 orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan hilangnya
Al-Qur’an karena para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam medan perang.
Lalu Umar bin Khattab menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk
mengumpulkan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan
maupun tulisan.
Namun pada awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh
Umar bin Khattab. Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah
melakukannya. Tetapi Umar bin Khattab terus membujuk Abu Bakar untuk
melakukannya, dan akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar untuk
menerima usulan tersebut. Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit
untuk melakukannya. Seperti Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak
perintah Abu Bakar dengan alas an yang sama. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya
Zaid bin Sabit pun setuju.
Pengertian Makiyah dan Madaniah.
Makiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan kepada Rasulullah sebelum hijrah ke
madinah, kendatipun tidak turun di Mekkah.

Madaniah adalah ayat-ayat yang turun sesudah hijrah ke Madinah, kendatipun


tidak turun di Madinah.

Mungkin hanya itu pengertian yang saya ketahui, kalaupun ada kesalahan mohon
segera di kritik atau kalau bisa Anda carilah terlebih dahulu pembanding dari
pengertian diatas biar tidak terjadi kesalahan.

Ilustrasi ayat Makiyah dan Madaniah

Selanjutnya, ciri-ciri ayat Makiyah antara lain sebagai berikut :


ciri-ciri ayat Makiyah
- Dimulai dari ungkapan " ya ayyuhannas" ayat-ayat teologi.
- Pada umumnya tema berceritakan tentang Nabi dan umat-umat terdahulu.
- Bercerita tentang Nabi Adam dan iblis
- Pada umumnya ayat-ayatnya ada huruf alif (pemisah).
- Pada umumnya ayatnya pendek-pendek
- Membahas tentang thelogi (aqidah)

Sedangkan, ciri-ciri ayat Madaniah yaitu :


ciri-ciri ayat Madaniah
- Dimulai " ya ayyuhalladzina amanu"
- Berbicara tentang orang-orang munafik, masalah yang terkait dengan hukum dan
muamalah, perdebatan ahli kitab
Informasi tambahan :
Pokok-pokok bahasan ayat-ayat Makki-Madani adalah
1. Ayat yang diturunkan di Mekkah.
2. Ayat yang diturunkan di Madinah.
3. Ayat yang diperselisihkan turun di Mekkah atau Madinah.
4. Ayat-ayat Makkiyah dalam surah madaniyah.
5. Ayat-ayat Madaniyah dalam surah Makkiyah.
6. Ayat yang diturunkan di Mekkah tapi hukumya Madaniah.
7. Ayat yang diturunkan di Madinah tapi hukumnya Makkiyah.
8. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah dalam kelompok
Madaniyah.
9. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok
Makkiyah.
10. Yang dibawa dari Mekkah ke Madinah.
11. Yang dibawa dari Madinah ke Mekkah.
12pt;">
12. Yang turun diwaktu malam dan siang
13. Yang turun dimusim panas dan musim dingin.
14. Yang turun ketika menetap (mukim) dan dalam perjalanan (safar).
Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah
1. Berdarakan waktu, inilah yang paling populer dikalangan mufasirin
bahwa telah menjadi kesepakatan dikalangan mereka, bahwa surat
atau ayat yang diturunkan sebelum hijrah adalah Makkiyah,
sedangkan yang diturunkan sesudah hijrah adalah Madaniyah.
Dalam hal ini tempat bukan menjadi ukuran. Misalnya QS Al-Maidah
[5] : 3 adalah Madaniyah meskipun diturunkan di Arafah – Mekkah.
2. Berdasarkan tempat, jika diturunkan di Mekkah (meliputi Mina,
Arafah, Hudaybiyah) berarti Makkiyah. Jika diturunkan di Madinah
(meliputi Badar dan Uhud) berarti Madaniyah.
3. Berdasarkan Khitab, yaitu seruan yang disampaikan. Jika ditujukan
kepada penduduk Mekkah maka Makkiyah. Jika ditujukan kepada
penduduk Madinah maka berarti Madaniyah. Klasifikasi ini
bermasalah jika seruan tidak ditujukan kepada keduanya.

Ayat Makkiyah dan ciri-cirinya


1. Setiap surat yang mengandung sajadah.
2. Setiap surat yang mengandung lafazf “kalla”.
3. Setiap surat yang mengandung “ya ayyuhan nas”.
4. Setiap surat yang mengandung kisah para Nabi kecuali surat Al-Baqarah.
5. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis kecuali surat Al-Baqarah.
6. Setiap surat yang diawali dengan huruf muqatta’ah kecuali surat Al-Baqarah dan
Ali-Imran sedangkan surat Ra’d masih diperselisihkan.
7. Isinya mengajak kepada tauhid, celaan terhadap akidah musyrik dan budaya
jahiliyah, khabar surga dan peringatan neraka, kisah para Nabi dan umat terdahulu
yang dibinasakan, kata-katanya pendek, singkat tapi membekas dan berkesan.

Ayat Madaniyah dan ciri-cirinya :


1. Setiap surat yang berisi kewajiban atau sanksi.
2. Setiap surat yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik, kecuali
surat Al-Ankabut
3. Setiap surat yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.
4. Surah yang mengandung seruan “Ya ayuhalladzina amanu …”
5. Isinya menjelaskan ibadah, muamalah, hukum dan perundang-undangan,
seruan terhadap ahli kitab untuk masuk Islam, menyingkap perilaku
orang munafik, ayatnya panjang-panjang dan memantapkan syariat.

Faedah/Manfaat mengetahui Makkiyah – Madaniyah


 Mengetahui tempat dan waktu diturunkannya ayat Al-Qur’an, untuk
membantu memahami penafsiran yang benar serta analisa nasikh-
mansukhnya.
 Meresapi gaya bahasa Al-Qur’anّ danّ memanfaatkannyaّ dalamّ
metode dan tahapan dakwah.
 Memahami sirah nabawiyah dan periode periode dakwahnya.

Itulah sedikit informasi pengetahuan mengenai Pengertian dan Ciri-Ciri ayat


Makiyah dan Madaniahmudah-mudahan bermanfaat untuk saudara. Apabila ada
kesalahan mohon dimaafkan, sebagai manusia biasa tidak lepas dari kehilafan dan
kesalahan. Terima Kasih

Keyword populer : ayat makkiyah dan madaniyah, makiyah, pengertian ayat


makiyah, Searches related to Ayat Makkiyah dan Madaniyah perbezaan
ayat makki dan madani makkiyah dan madaniyah pdf pengertian
makkiyah dan madaniyah makalah makkiyah dan madaniyah ayat makiah
dan madaniah

Pengertian Asbabun Nuzul


Menurut bahasa Asbabun nuzul berasal dari dua kata yaitu asbabun dan nuzul. Asbabun
artinya sebab atau karena, sedangkan nuzul artinya turun. Jadi asbabun nuzul adalah sebab-
sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Adapun menurut istilah syara’ Asbabun nuzul adalah Suatu
hal yang karenanya Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan suatu hukum pada masa hal itu
terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebab turunnya suatu ayat itu berkisar
pada dua hal yaitu:
1) apabila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa tersebut,
seperti kisah turunnya surat Al-Lahab.
2) apabila Rasulullah SAW ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat al-Qur’an untuk
menerangkan hukumnya. seperti ketika khaulah binti sa’labah dikenakan zihar oleh
suaminya Aus bin tsamit, hingga Khaulah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai
hukumnya, maka turunlah surat Al-Mujadalah ayat 3.
Namun tidak semua ayat Al-Qur’an diturunkan karena adanya suatu peristiwa atau karena
suatu pertanyaan. Ada diantara ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan tanpa
sebab. Seperti kewajiban muslim, mengenai akidah dan syari’at Allah SWT dalam kehidupan
umat manusia.
Manfaat/Fungsi Mengetahui Asbabun Nuzul Yaitu:
1) Dapat membantu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, dan menghilangkan keraguan
tentangnya.
2) Dapat mengetahui hikmah rahasia yang terkandung dalam pengsyari’atan hukum dalam
suatu ayat Al-Qur’an.
3) Asbabun Nuzul sangat bermanfaat bagi orang mukmin dan yang bukan mukmin. Adapun
bagi orang mukmin akan semakin kuat keimanannya dan jelas baginya hikmah
disyari’atkannya suatu hukum oleh Allah SWT. Sedangkan bagi yang bukan mukmin dapat
mengetahui lewat Asbabun Nuzul ini, bahwa syari’at islam itu sesungguhnya mendatangkan
manfaat dan menolak kemudharatan bagi pemeluknya.
4) Menentukan hukum dengan sebab.
5) Mengetahui orang atau kelompok yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan
ketegasan apabila terdapat keragu-raguan. karena jika kita tidak mengetahui Asbabun Nuzul
bisa jadi kita mentakhsiskan ayat yang seharusnya ‘amm atau sebaliknya.
6) dapat memudahkan dalam memahami Al-Qur’an serta menguatkan ingatan terhadap
hukum dari suatu ayat, dengan karena mengetahui sebab dan akibatnya, kapan dan kepada
siapa ayat tersebut diturunkan, dan sebagainya.

Tafsir menurut pengertian istilah (terminologis) yang dikemukakan oleh para


ulama adalah sebagai berikut:
 Menurut Syaikh Thahir al-Jazairy, dalam at-Taujih:

“Tafsir pada hakekatnya ialah menerangkan (maksud) lafazh yang sukar dipahami oleh
pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan
mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan
mengemukakan (uraian) yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan
dalalah.”[2]
 Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam At-Ta’riifat:

“Pada asalnya, tafsir berarti membuka dan melahirkan. Dalam pengertian syara’, (tafsir)
ialah menjelaskan makna ayat: dari segi segala persoalannya, kisahnya, asbabun nuzulnya,
dengan menggunakan lafazh yang menunjukkan kepadanya secara terang.”[3]
 Rumusan menurut az-Zarkasyi sebagai berikut:

“Tafsir ialah ilmu (pembahasan) yang mengkaji tentang pemahaman kitabullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, menerangkan makna-maknanya, megeluarkan
hukum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu (hikmah) yang ada di dalamnya.”[4]
 Menurut Abdul Azhim az-Zarqani:

“Tafsir dalam pengertian istilah ialah ilmu yag di dalamnya dibahas tentang Al-Qur’anul
Karim, dari segi dalalahnya (yang berkenaan dengan pemahaman makna) menurut yang
dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai dengan kadar kemampuan manusia biasa.”[5]
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa tafsir adalah:
“Usaha yang bertujuan menjelaskan Al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafazh-lafazhnya,
agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit dipahami
menjadi mudah dipahami, sehingga Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia benar-benar
dapat dipahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat.”

II. Pengertian Ta’wil


Menurut pendapat yang masyhur kata Ta’wil dari segi bahasa adalah sama dengan
arti kata tafsir, yakni menerangkan dan menjelaskan. Dengan pengertian kataTa’wil bisa
mempunyai arti:
 Kembali atau mengembalikan, ( ) yakni mengembalikan makna pada proporsi
yang sesungguhnya.
 Memalingkan, ( ) yakni memalingkan suatu lafazh tertentu yang mempunyai
sifat khusus, dari makna dhahir ke makna batin lafazh itu karena ada ketetapan dan
keserasian dengan maksud yang dituju.
 Mensiasati, ( ) yakni bahwa dalam lafazh-lafazh tertentu atau kalimat-
kalimat yang mempunyai sifat khusus memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan
maknanya yang setepat-tepatnya. Untuk memiliki kemampuan siasat itu diperlukan ilmu
yang luas.[6]
Ta’wil dalam pengertian istilah:

“Ta’wil ialah memalingkan lafazh dari maknanya yang dhahir kepada makna lain (makna
batin) yang dipunyai lafazh itu, jika makna lain yang dilihat itu sesuai dengan (ruh) al-
Qur’an dan Sunnah.”

“Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan
apa yang dimaksudkannya.”
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa ta’wil adalah:
Membelokkan atau memalingkan lafazh-lafazh atau kalimat-kalimat yang ada dalam
Al-Qur’an dari makna dhahirnya ke makna lain, sehingga dengan cara demikian pengertian
yang diperoleh lebih cocok dan sesuai dengan jiwa ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
saw.

III. Pengertian terjemah


Kata “ “ dalam tuturan bahasa Arab meliputi berbagai makna, antara
lain:
“ “ (menyampaikan pembicaraan kepada orang yang belum
pernah menerimanya).[7]
“ “ (menjelaskan kalam dengan memakai bahasa kalam itu
sendiri).[8]
“ “ (menjelaskan kalam dengan memakai bahasa selain
bahasa kalam itu). Maka, menafsirkan bahasa selain bahasa Arab, termasuk menterjemahkan
Al-Qur’an. Dalam hubungan itu, Ibnu Katsir dan Al-Bughawy menyatakan:

“Sesungguhnya kata tarjamah dalam tuturan bahasa Arab digunakan secara mutlak dengan
arti menjelaskan, baik itu masih dalam satu bahasa maupun dalam bahasa yang berbeda.”
“ “ (mengalih pembicaraan/kalam dari satu bahasa ke
bahasa lain). Singkatnya, alih bahasa. Dalam Lisanul Arabdisebutkan:
“Yang disebut Turjuman atau Tarjuman ialah yang menterjemahkan kalam, yakni
memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.”

Pengertian terjamah secara urfi,[9] dapat didefinisikan sebagai berikut:

“Tarjamah ialah merumuskan makna pembicaraan yang terkandung dalam suatu bahasa,
dengan pembicaraan lain, melainkan bahasa yang lain, lengkap semua makna dan
maksudnya.”
Terjemah dalam pengertian urfi terbagi dua, yaitu: Pertama, Terjemah Harfiah ialah
tarjamah yang dalam pengungkapan makna terlalu terikat dengan suasana kata perkata yang
ada pada bahasa pertama dan makna-makna yang terungkap hanya berupa makna kosa kata.
Dalam prakteknya penerjemah harfiah menyoroti kata perkata yang ada, lalu memahaminya
satu persatu, kemudian ia berikan makna-maknanya dalam bahasa terjemah sesuatu dengan
perimbangan kata, walaupun makna yang dikehendaki ternyata menyimpang dari “pesan”
bahasa pertama, mengingat adanya perbedaan-perbedaan dalam langgam bahasa.
Kedua, Terjemah Tafsiriyah ialah terjemah yang dalam mengungkapkan makna tidak
terikat dengan susunan kata per kata yang ada dalam bahasa pertama, tetapi yang penting
ialah bagaimana mengungkapkan makna-makna yang dikehedaki dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu terjemah ini disebut pula “Terjemah Ma’nawiyah.” Ia disebut Terjemah
Tafsiriyah, karena dalam pengambaran atau pengungkapan makna-makna yang dikehendaki
itu menjadikannya serupa dengan tafsir, walaupun sebenarnya ia bukan tafsir. Dalam
prakteknya, penerjemah tafsiriyah berusaha menangkap makna atau pengertian yang dituju
oleh ungkapan-ungkapan kalimat bahasa pertama, kemudian pengertian itu ia tuangkan ke
dalam bahasa terjemah, sesuai maksud penuturnya, tanpa memaksakan diri untuk mencari
makna kata per kata yang ada dalam bahasa pertama.
Muhammad Husen Adz-Dzihaby menulis:

“Dan tarjamah tafsiriyah, yakni menjelaskan al-Qur’an kedalam bahasa non Arab, juga
merupakan sesuatu yang diharuskan atas ummat bahkan ia sangat penting, karena ia
membawa pada kemaslahatan yang penting, seperti menyampaikan makna-makna dan
hidayah al-Qur’an kepada kaum muslimin dan non muslim yang tidak berbicara dan tidak
memahami bahasa Arab dan juga demi menjaga akidah Islamiyah dari rongrongan kaum
mulhid dan memeliharanya dari kekeliruan pemahaman, yang (mungkin) dilakukan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang sengaja melakukan penterjemahan al-
Qur’an berdasarkan akidah yang salah dan ajaran-ajaran yang fasiq, yang bertujuan
menampakkan al-Qur’an kepada mereka yang tidak mengerti bahasanya agar lari dari
padanya dan terhalang mengikuti petunjuknya. Memang tidak sedikit suara-suara lantang
dengan mengadu terjemah-terjemah yang salah itu.”

D. Persamaan dan Perbedaan Tafsir dengan Ta’wil


Dalam Manaahilul Irfan Fii Ulumil Qur’an, II, halaman: 5, diterangkan sebagai
berikut:
Ta’wil dalam istilah para mufassirin, pengertiannya diperselisihkan. Ada yang berpendapat
Ta’wil itu sinonim Tafsir, karena dilihat dari segi tujuan keduanya tidak berbeda, yaitu
menjelaskan makna-makna ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagian ulama melihat ada perbedaan-
perbedaan antara keduanya yaitu:
 Tafsir berbeda dengan Ta’wil pada ayat-ayat yang menyangkut soal umum dan khusus.
Pengertian Tafsir lebih umum dari pada Ta’wil, karena Ta’wil berkenaan dengan ayat-ayat
yang khusus, misalnya ayat-ayat mutasyabihat. Jadi menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
mutasyabihat itu termasuk tafsir, tetapi tidak setiap menafsirkan ayat disebut ta’wil.
 Bahwa Tafsir adalah penjelasan lebih lanjut bagi Ta’wil, dan dalam Tafsir, sejauh terdapat
dalil-dalil yang menguatkan penafsiran boleh dinyatakan: demikianlah yang dikehendaki oleh
Allah, sedangkan Ta’wil hanya menguatkan salah satu makna dari sejumlah kemungkinan
makna yang dipunyai ayat (lafazh) dan tidak boleh menyatakan: demikianlah yang
dikehendaki Allah SWT. Demikian antara lain pendapat Maturidi.
 Tafsir menerangkan makna lafazh (ayat) melalui pendekatan riwayat, sedangkan Ta’wil
melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu).
 Tafsir menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat (ibarat), sedangkan
Ta’wil dari yang tersirat (bil Isyarah).
 Tafsir berhubungan dengan makna-makna ayat atau lafazh yang biasa-biasa saja, sedangkan
Ta’wil berhubungan dengan makna-makna yang
kudus( ).
 Tafsir, mengenai penjelasan maknanya telah diberikan oleh Al-Qur’an sendiri, sedangkan
Tawil penjelasan maknanya diperoleh melalui istinbath (penggalian) dengan memanfaatkan
ilmu-ilmu alatnya.”[10]
Ulumu hadis

1. Pengertian Hadis Secara Etimologis dan Terminologis

Secara etimologi hadis mempunyai tiga arti; Pertama, baru (jadid) lawan dari lama
(qadim). Bentuk jamaknya adalah hidats, hudatsa, huduts. Kedua, kata hadis berarti yang
dekat (qarib) lawan kata dari jauh (ba’id) dan yang belum lama terjadi, seperti perkataan
‫( م سال ال با لعهد ا يث حد‬orang yang baru masuk Islam). Ketiga, kata hadis berarti berita
(khabar), yaitu

‫( ينقل و به ث يتحد ما‬sesuatu yang dibicarakan atau dipindahkan dari seseorang) . dari makna
inilah terambil perkataan Hadis Rasulullah SAW. Hadis yang bermakna berita ini
dihubungkan dengan kata tahdits yang berarti periwayatan atau ikhbar yang berarti
mengabarkan[2].

Menurut ulama’ ahli hadis adalah ‫صفة أو أوتقرير فعل أو قول من وسلم عليه هللا صلى النبى لى ا ضيف أ ما‬
“ semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan,
perbuatan, persetujuan dan sifat”[3]. Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang
berhubungan dengan nabi baik sebelum maupun sesudah pengangkatan nabi itu
termasuk hadis.

Menurut Ushuliyyun & fuqaha hadis yaitu “segala perkataan, perbuatan dan takrir Nabi
yang berkaitan dengan hukum syara’”. Maksudnya adalah segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada Nabi Muhammad akan tetapi yang bukan berupa hukum maka bukan
termasuk hadis.

Menurut M. ‘Ajjaj al-Khatib, yang dimaksud dengan hadis Nabi adalah Sunnah qauliyyah,
karena menurutnya “sunnah” mempunyai pengertian lebih umum daripada “hadis”.

Dari penjabaran di atas hadis mengandung empat unsur yakni[4]: Pertama, perkataan,
yang dimaksud perkataan Nabi Muhammad SAW ialah perkataan yang pernah beliau
ucapkan dalam berbagai bidang dan dalam berbagai kesempatan, seperti bidang hukum
(syari’at), akhlak, aqidah, pendidikan dan sebagainya. Sebagai contoh perkataan beliau
yang mengandung hukum syari’at: ‫( نوى امرئما لكل وإنما بالنيات إنماالعمال‬sesungguhnya amal-
amal itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh apa yang ia niatkan
(HR Bukhory-Muslim). Kedua, perbuatan, perbuatan Nabi Muhammad SAW merupakan
penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang belum jelas tata cara
pelasanaannya. Misalnya cara sholat dan cara menghadap kiblat dalam sholat sunnat di
atas kendaraan yang sedang berjalan, telah dipraktekan oleh Nabi dengan perbuatan
beliau di hadapan para sahabatnya. Ketiga, Taqrir, arti taqrir Nabi Muhammad SAW
adalah keadaan beliau mendiamkan, tidak memberikan sanggahan atau menyetujui apa
yang telah dilakukan atau dikatakan oleh sahabat di hadapan beliau. Contoh taqrir beliau
tentang perbuatan sahabat yang dilaukan dihadapannya ialah, tindakan Khalid bin Walid,
dalam suatu jamuan makan dia menyajikan masakan daging biawak dan mempersilahkan
Nabi untuk menikmatinya bersama para undangan. Tindakan Khalid dan para sahabat
yang menikmati daging biawak tersebut disaksikan oleh Nabi, dan beliau tidak
menyanggahnya. Keengganan beliau makan daging biawak tersebut disebabkan
jijik. Keempat, sifat-sifat, keadaan, dan himmah (hasrat). Sifat-sifat beliau dilukiskan oleh
para sahabat dan ahli tarikh, seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniyah beliau yang
dilukiskan sahabat Anas “Rasulullah itu adalah sebaik-bai manusia mengenai paras
mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang yang tinggi dan bukan pula orang
yang pendek”. Silsilah-silsilah, nama-nama dan tahun elahiran yang telah ditetapkan oleh
para sahabat dan ahli tarikh. Contohnya mengenai tahun kelahiran beliau seperti yang
dikatakkan oleh Qais bin Mahramah “aku dan Rasulullah SAW dilahirkan pada tahun
gajah”. Himmah (hasrat) beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘Asyura. Hal itu tidak
terlaksana karena beliau telah wafat.

1. B. Pengertian Sunnah Secara Etimologis dan Terminologis

Sunnah menurut bahasa berarti : “tata cara dan tingah laku atau perilaku hidup, baik
perilaku itu terpuji maupun tercela[5]”. Sunnah pada mulanya berarti cara atau jalan,
yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang di
belakangnya[6].

Sunnah menurut muhadditsin ialah ‫صفة أو تقرير أو فعل أو قول من وسلم عليه هللا صلى النبى أثرعن ما‬
‫ “ بعدها ام البعثه قبل أكان سواء سيرة او خلقيه او خلقيه‬sunnah adalah apa yang datang dari Nabi
Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat (perangai atau
jasmani), tingkah laku, perjalanan hidup, baik sebelum diutus menjadi Nabi maupun
sesudahnya[7]”. Maksudnya bahwa segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Muhammad
itu dianggap sunnah baik itu terjadi sebelum beliau diangkat menjadi nabi maupun
setelah beliau diangkat menjadi nabi.

Menurut ulama’ usul fiqih “sunnah adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang bukan
bersal dari Al-Qur’an, pekerjaan atau ketetapannya[8]”. Maksudnya segala sesuatu yang
di sandarkan kepada Nabi SAW yang berhubungan dengan hukum syara’, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau adalah termasuk sunnah. Sunnah menurut
Ulama’ ushul fiqih hanya perbuatan yang dapat di jadikan dasar hokum islam. Jika suatu
perbuatan Nabi tida di jadikan dasar hokum seperti makan, minum, tidur, berjalan,
meludah, menelan ludah, buang air, dan lain-lain maka pekerjaan biasa sehari-hari
tersebut tidak dinamakan sunnah.

Menurut ulama’ fiqih, ‫“ الواجب وال الفرائض باب من يكن ولم وسلم عليه هللا صلى النبى عن ما كل‬sunnah
adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW yang tidak termasuk hal-hal yang
diwajibkan[9]”. Menurut ulama’ fiqih, sunnah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang
dari nabi tetapi hukumnya tidak wajib, di beri pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak
di siksa bagi yang ditinggalkannya. Contohnya seperti shalat sunnah, puasa sunnah dan
lain-lain.
Menurut kalangan orientalis sunnah sebagai sumber hukum pada mulanya adalah
masalah yang ideal atau norma yang dikenal dalam masyarakat, kemudian pada masa-
masa belakangan pengertian itu terbatas hanya untuk perbuatan-perbuatan Nabi
Muhammad SAW saja[10].

Menurut Ajjaj al-Khathib sunnah ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan
dianjurkan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Bila kata
Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara’, maka yang dimaksud
dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan
dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan
demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang
dimaksudkannya adalah al-Qur’an dan Hadis.

1. C. Pengertian Khabar Secara Etimologis dan Terminologis

Secara bahasa khabar berarti berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.

Menurut ahli hadis khabar berarti ‫“ اوغيره سلم و هللا صلى النبى الى ضيق ا ما‬apa yang berasal dari
Nabi Muhammad SAW atau dari yang selainnya[11]”. Jadi khabar menurut Muhadditsin
adalah warta dari Nabi , Shahabat, dan Tabi’in. oleh karena itu, hadis marfu’, maukuf, dan
maktu’ bisa dikatakan sebagai khabar.

Menurut ahli fiqih khabar bisa dimaknai sebagai hadis marfu’ bila sanadnya sampai
kepada Nabi Muhammad SAW[12]. Penggunaan khabar sebagai dasar hujjah lebih
memerlukan peninjauan yang lebih seksama.

Adapun menurut Mahmud ath-Thahhan secara terminology yaitu: 1. Kata khabar sinonim
dengan hadis; 2. Khabar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan seseorang selain Nabi
Muhammad. Sedangkan hadis adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi
Muhammad. 3. Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari hadis. Oleh karena itu, setiap
hadis dapat disebut juga dengan khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat disebut
dengan hadis.

1. D. Pengertian Atsar Secara Etimologis dan Terminologis

Secara bahasa kata atsar berarti bekas sesuatu atau sisa-sisa sesuatu. Bisa pula berarti
nukkilan (sesuatu yang diambil). Maksudnya peninggalan atau bekas sesuatu, artinya
peninggalan atau bekas nabi karena hadist itu peninggalan beliau.

Atsar menurut jumhur ulama’ mempunyai pengertian yang sama dengan khabar dan
hadis. Sebagai contoh pada pemakaian istilah untuk sebutan, Az Zarkasyi, memakai kata
atsar untuk hadis mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul
SAW. (hadis marfu) [13]Ahli fiqih menamai perkataan-perkataan sahabat (hadis mauquf)
dengan atsar, dan menamai hadis-hadis yang berasal dari Nabi Muhammad SAW khabar.
Sanad

1. Pengertian

Sanad menurut bahasa artinya sandaran atau sesuatu yang dijadikan sebagai sandaran,
dikatakan demikian karena suatu hadis bersandar kepadanya . Sedangkan pengertian
sanad menurut istilah ilmu hadis, banyak ulama yang mengemukakannya, diantaranya
ialah:

- As Suyuti dalam bukunya Tadrib ar Rawi, hal 41 , menulis:

ِ ‫ا ْل َمتَ ِن َط ِري‬
‫ْق ع َْن ا ِال ْخبَار‬

“Berita tentang jalan matan”

- Mahmud at Tahhan, mengemukakan sanad adalah :

ِ ‫س ْل‬
‫سلَة‬ ِ ‫ِلى ا ْلم ْو ِصلَ ِة‬
ِ ‫الرجَا ِل‬ َ ‫ا ْل َمتْ ِن ا‬
“Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan sampai kepada matan hadis.”

Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih
atau dhaifnya suatu hadis. Jika para pembawa hadis tersebut orang-orang yang cakap dan
cukup persyaratan, yakni adil, taqwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan
mempunyai daya ingat yang kuat, sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada
periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama, maka hadisnya dinilai shahih.
Begitupun sebaliknya, andaikan salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang
tertuduh dusta atau setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu
langsung (muttashil), maka hadis tersebut dhaif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

2. Contoh Sanad

‫ قال أبيه عن مطعم بن جبير بن محمد عن شهاب ابن عن مالك أخبرنا ل قا يوسف بن هللا عبد حدثنا‬: ‫هللا رسول سمعت‬
‫الطور المغرب فى قرأ عليه هللا صلى‬.

(‫البخاري رواه‬

Artinya:

“memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami
Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku
mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR. Al-
Bukhori)

Dari contoh hadis di atas jika diteliti, maka yang dimaksud dengan sanad adalah dimulai
dari haddatsana Abdullah bin Yusuf hingga pada lafadz ‘An biihi qaala, yang
menyambungkan kepada Rasulullah SAW. Agar lebih jelas berikut ini diterangkan dalam
bentuk denah periwayatan hadits di atas .

B. Matan

1. Pengertian

Kata matan menurut bahasa berarti ‫ االرض من وصلب ارتفع ما‬yang berarti tanah yang tinggi
dan keras,namun ada pula yang mengartikan kata matan dengan arti kekerasan,
kekuatan, kesangatan. sedangkan arti matan menurut istilah ada banyak pendapat yang
dikemukakan para ahli dibidangnya, diantaranya:

- Menurut Muhammad At Tahhan

‫الكالم من السند اليه ينتهى ما‬

“suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”

- Menurut Ath Thibbi

‫معاني بها تتقوم التى الحديث الفاظ‬

“lafadz hadis yang dengan lafadz itu terbentuk makna”

Jadi pada dasarnya sanad itu ialah berupa isi pokok dari sebuah hadis, baik itu berupa
perkataan Nabi atau perkataan seorang sahabat tentang Nabi. Posisi matan dalam sebuah
hadis amatlah penting karna dari matan hadis tersebutlah adanya berita dari Nabi atau
berita dari sahabat tentang Nabi baik itu tentang syariat atau pun yang lainnya,

2. Contoh matan

‫ قالت عنها هللا رضى ئشة عا المؤمنين أم عن‬: ‫ هللا رسول قال‬, ‫رد فهو منه ليس ما هذا أمرنا فى أحدث من‬. (‫متفق رواه‬
‫)عليه‬

“warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda:
barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan
(agamaku), maka ia tertolak’. ” (Hr. Bukhori dan Muslim)

Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz yang dimulai
dengan ‫ أحدث من‬hingga lafadz ‫ رد فهو‬atau dengan kata lain yang dimaksud dengan bagian
matan dari contoh hadis di atas ialah lafadz ‫“ رد فهو منه ليس ما هذا أمرنا فى أحدث من‬barang siapa
yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia
tertolak’.”

C. Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj
dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik.
sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan
atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari
seseorang (gurunya) . Di dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian terakhir
nama dari orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal mukharrij terakhir yang
termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau
imam Muslim dan begitu seterusnya.

Seperti pada contoh hadis yang pertama, pada bagian paling akhir hadis tersebut
disebutkan nama Al-Bukhari (‫ )البخاري رواه‬yang menunjukkan bahwa beliaulah yang telah
mengeluarkan hadis tersebut dan termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari.
Begitu juga dengan contoh hadis kedua yang telah mengeluarkan hadis tersebut ialah
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.

D. Tabaqat al-Ruwwat

Secara bahasa kata tabaqat diartikan; kaum yang serupa atau sebaya. Sedangkan menurut
istilah tabaqat ialah ;

‫سناد اال أوفي واالسناد السن في تقاربوا قوم‬

“Kaum yang berdekatan atau sebaya dalam usia dan dalam isnad atau dalam isnad saja”

Tabaqat adalah kelompok beberapa orang yang hidup dalam satu generasi atau satu masa
dan dalam periwayatan atau isnad yang sama atau sama dalam periwayatan saja.menurut
Ibnu Hajar Al-Asaqalani, Tabaqat Al Ruwwah sejak masa sahabat sampai pada akhir
periwayatan ada 12 tabaqat yaitu sebagai berikut:

a. Sahabat dengan berbagai tingkatannya.

b. Tabi’in senior seperti Sa’id bin Al-Musayyab

c. Tabi’in pertengahan seperti Al-Hasan dan Ibnu Sirin

d. Tabi’in dekat pertengahan seperti Az-Zuhri dan Qatadah

e. Tabi’in yunior seperti Al-A’masy

f. Tabi’in yunior tetapi tidak bertemu seorang sahabat seperti Ibnu Juraij

g. Tabi’i Tabi’in senior seperti Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri

h. Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Ibnu Uyaynah dan Ibnu Ulayyah

i. Tabi’i Tabi’in yunior seperti Abu Dawud Ath-Thayalisi dan Asy-Syafi’i

j. Murid Tabi’i Tabi’in senior seperti Ahmad bin Hambal


k. Murid Tabi’i Tabi’in pertengahan seperti Adz-Dzuhali dan Al-Bukhori

l. Murid Tabi’i Tabi’in yunior seperti At-Tirmidzi

Di antara faedah mengetahui tabaqat al-ruwwah ini adalah menghindarkan kesamaan


antara dua nama atau beberapa nama yang sama atau hampir sama. Selain itu faedahnya
juga yaitu untuk mengetahui ke-muttashil-an atau ke-mursal-an suatu hadis. Sebab suatu
hadis tidak dapat ditentukan sebagai hadis muttasil atau mursal, kalau tidak mengetahui
apakah tabi’in yang meriwayatkan hadis dari seorang sahabat itu hidup segenerasi atau
tidak.

Dalil Kehujjahan Hadits


Yang dimaksud dengan dalil kehujjahan hadis/sunnah adalah keberadaan hadis sebagai
dasar ajaran atau dasar hukum dalam Islam. Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman
hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman
terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya
bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran
Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad
hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang
kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Dalam hal ini ada beberapa dalil/
alasan mengapa hadis dapat dijadikan dasar ajaran atau dasar hukum Islam sebagaimana
disadur dari kitab ‘Ilmu Ushul al-Fiqh karya ‘Abd al-Wahhab Khallaf, Guru Besar al-Syari’ah
al-Islamiyyah di Fakultas al-Huqquq Universitas al-Kahirah:

1. Dalil Al-Qur’an

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima
segala yang datng daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya
adalah :

Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi :

‫ُطل َع ُك ْم َعلَى ْالغَيْب َولَك هن ه‬


‫َّللاَ َيجْ تَبي‬ ْ ‫َّللاُ لي‬
‫طيِّب َو َما َكانَ ه‬‫يث منَ ال ه‬ َ ‫َّللاُ ل َيذَ َر ْال ُمؤْ منينَ َعلَى َما أ َ ْنت ُ ْم َعلَيْه َحتهى َيميزَ ْالخَب‬
‫َما َكانَ ه‬
‫سله َوإ ْن تُؤْ منُوا َوتَتهقُوا فَلَ ُك ْم أَجْ ٌر َعظي ٌم‬ ‫سله َم ْن َيشَا ُء فَآمنُوا ب ه‬
ُ ‫اَّلل َو ُر‬ ُ ‫م ْن ُر‬

Artinya:

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu
sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu'min). Dan
Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi
Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah
kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala
yang besar.”(QS:Ali Imran:179)

Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:

‫سوله َو ْالكت َاب الهذي أ َ ْنزَ َل م ْن قَ ْب ُل َو َم ْن يَ ْكفُ ْر ب ه‬


‫اَّلل َو َمالئكَته‬ َ ‫سوله َو ْالكت َاب الهذي ن هَز َل‬
ُ ‫علَى َر‬ ‫يَا أَيُّ َها الهذينَ آ َمنُوا آمنُوا ب ه‬
ُ ‫اَّلل َو َر‬
‫ضالال بَعيدًا‬َ ‫ض هل‬ َ ْ‫سله َو ْاليَ ْوم اآلخر فَقَد‬ ُ ‫َو ُكتُبه َو ُر‬

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya.”(QS:An-Nisa:136).

Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-
orang yang munafiq, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat
iman mereka. Oleh karena itulah, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Sedangkan pada QS. An-Nisa, Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka
tetap beriman kepada Allah, rasul-Nya (Muhammad SAW), al-Qur’an, dan kitab yang
diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang
mengingkari seruan-Nya.

Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an


Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan Alloh. Kitab Al-Qur’an

adalah sebagai penyempurna dari kita-kitab Alloh yang pernah diturunkan

sebelumnya.

Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan

rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang

sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah

tentang Al-Qur’an mengatan bahwa : “Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis

serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari

12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”. (Drs. Achmad Syauki, Sulita

Bandung, 1985 : 33).


Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an meliputi tiga fungsi pokok, yaitu :

1. Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.

2. Menguraikan dan merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang mutlak dan

mentakhsiskan yang umum(‘am), Tafsil, Takyid, dan Takhsis berfungsi

menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Rasululloh mempunyai tugas

menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Alloh SWT dalam QS. An-Nahl ayat

44:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS.
An-Nahl : 44

3. Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.

Hukum yang terjadi adalah merupakan produk Hadits/Sunnah yang tidak

ditunjukan oleh Al-Qur’an. Contohnya seperti larangan memadu perempuan

dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam,

haram memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ushul Fiqih


Ushul fiqih terdiri atas dua kata yang masing-masing mempunyai arti cukup luas, yaitu
ushul dan fiqih. Dalam bahasa arab kata ushul merupakan jama’ dari Ashal yang artinya
fondasi sesuatu.Sedangkan fiqih berarti pemahaman secara mendalam yang membutuhkan
pergerakan potensi akal atau ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyah yang
berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang
diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath dalil-dalil syariat Islam .
Secara termonologi, kata Ashl mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Dalil (landasan hukum) seperti ungkapan para ulama ushul fiqih: “ Ashl dari wajibnya shalat
adalah firman Allah dan Sunnah Rasul.” Maksudnya. Yang menjadi dalil kewajiban shalat
adalah ayat Al-qur’an dan Sunnah.
2. Qaidah (dasar fondasi) seperti sabda Rasul saw.
Artinya :
“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
3. Rajah (yang terkuat) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih :
Artinya :
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu ungkapan adalah arti hakikatnya.”
Maksudnya setiap perkataan yang didengar/dibaca yang menjadi patokan adalah makna
hakikat dari perkataan itu.
4. Far’un (cabang) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih:
Artinya :
“Anak adalah cabang dari ayah.”
5. Kaidah lainnya :
Artinya :
“Larangan itu mengandung keharaman.”

Definisi ushul fiqih :


Menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul fiqih adalah dalil-
dalil yang bersifat ijmali (global) seperti kehujjahan ijma’ dan qiyas. ushul fiqh adalah
pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum
fiqih”. Ushul fiqih juga membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dali,
seperti kaidah mendahulukan hadits mutawatir dari hadits ahad dan mendahulukan nash dari
zhahir.

B. Objek Kajian Ushul Fiqih


Dari definisi di atas,terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih secara garis
besarnya ada tiga:
1. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.
2. Metode pendaya gunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
3. Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya.
Sementara itu,Muhammad Al-Juhaili merinci objek kajian ushul fiqih sebagai berikut:
1. Sumber-sumber hukum syara’baik yang di sepakati seperti Al-Qur’an dan sunah,maupun
yang di perselisihkan,seperti istihsan dan maslahah mursalah.
2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.

3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir,ayat dengan ayat atau
sunah dengan sunah ,dan lain-lain baik dengan jalan pengomromian (Al-Jam’u’wa At-
taufiq).meguatkan salah satu (tarjih),pengguguran salah satu atau kedua dalil yang
bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain)
4. Pembahasan hukum syara’yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya,baik yang
bersifat tuntutan,larangan,pilihan atau keringanan (rukhsah).Juga di bahas tentang
hukum,hakim,mahkum alaih (orang di bebani) dan lain-lain.
5. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan di gunakan dalam mengistinbath hukum dan cara
menggunakannya. (Al-Ghazali :7,Al-Amidi, 1:9,Al-Juhaili:23)

C. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh

Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh adalah ialah untuk dapat menerapkan
kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-
hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul
serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung
didalamnya.Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan
ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan tersebut.
Memang dengan metode tersebut para ulama telah berhasil merumuskan hukum syara
dan telah terjabar secara rinci dalam kitab-kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh itu
bagi umat yang datang kemudian ? dalam hal ini adadua maksud mengetahui ushul fiqh itu.
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama
terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin
ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahulu,maka kita dapat mencari jawaban
hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan
ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita mengadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab
fiqh,tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya
perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin
merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang
menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang
memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah
ataumenetukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara
baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara
baik dalam ilmu ushul fiqh.

D. Ruang Lingkup Ushul Fiqih dan Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih
1. Ruang Lingkup Ushul Fiqih
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih ,maka
Muhammad Al-Zuhaili (seorang ahli fiqih dan ushul fiqih dari syariah) mengatakan bahwa
yang menjadi objek pembahasan ushul fiqih yang dapat membedakan dengan kajian fiqih
adalah sebagai berikut:
1. Sumber hukum islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik
yang disepakati (seperti kehujjahan AL-Quran danSunah), maupun yang diperselisihksn
(seperti kehujjahan istihsan danmaslahah al-mursalah).
2. Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zahir dianggap bertentangan, baik
melalui al-jam’u wa al-taufiq (pengompromian dalil ),tarikh (penguatan salah satu dari dalil
yang bertentangan), nash atautasaqutal-dalilain (pengguguran kedua dalil yang
bertentangan).Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau pertentangan
hadis dengan pendapat akal.
3. Pembahasan ijtihad, sayarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahit), baik
syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya , baik
yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan , memilih
antara berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab syarat, mani,’, sah,
batal/fasad, azimah, dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang
pembuat hukum (hakim), orang yang dibebani hukum (mahkum ‘alaih, ketetapan hokum dan
syarat-syaratnya serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.
5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang
digunakan dan caramenggunakannya dalam mengistinbatkan hokum dari dalil-dalil, baik
melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh
suatu nash (ayat atau hadis).
Dalil kulli ialah dalil umum yang dapat dimasukkan kedalamnya beberapa kasus tertentu
seperti amar,,nahi, ‘am, mutlaq, ijma’, dan qiyas.
Hukum kulli ialah hukum umum yang masuk kedalamnya beberapa macam,
seperti wajib, haram, sah, batal, dan sebagainya Wajib dinamakan hukum kulli karena
kedalamnya dapat dimasukkan berbagai perbuatan yang wajib,umpamanya,wajib
memenuhi janji, wajib mengadakan saksi dalam perkawinan. Haram adalah
hukum kulliyang masuk kedalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan, seperti
haram berbuat zina, haram menuduh berbuat zina,haram mencuri, haram membunuh, dan
sebagainya.
Ahli ushul tidak membahas dalil juz’i ,namun yang mereka bahas adalah dalil dan
hukum kulli yang diletakkan dalam kaidah umum yang dapat diterapkan oleh para fuqaha
pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqaha tidak membahas dalil dan hukum kulli, namun
yang mereka bahas adalah dalil dan hukum juz’i .
Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam
memahami hukum-hukumّsyar’i,ّsemuaّpermasalahanّdapatّlangsungّmerujukّkepadaّ
Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an,ّatauّmelaluiّsunnahّbeliauّ
saw.
Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al-Qur’anّdanّ
mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka adalah para ahli
bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga
sepeninggal Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk
dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada
mereka yang dapat mereka gunakan di saat memerlukannya.
Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-
bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini menyebabkan
melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di
sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru
yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka
dalam berijtihad:
 Madrasah ahlir-ra’yiّdi Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah.
 Madarasah ahlil-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau qiyas dalam
berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yiّlebihّbanyakّmenggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad,
hal ini disebabkan oleh:
 Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang
mereka lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan
mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses
seleksi yang ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad
begitu banyak, maka mau tidak mau mereka mengandalkan qiyas (analogi) dalam
menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan kehidupan
masyarakat Irak yang sangat kompleks.
 MerekaّmencontohّguruّmerekaّAbdullahّbinّMas’udّraّyangّbanyakّmenggunakanّqiyasّ
dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.
Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan qiyas, karena
situasi yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah:
 Banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang
memerlukan ijtihad.
 Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah
binّ‘Amrّbinّ‘Ash,ّyangّsangatّberhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, sehingga membuat para
ulama merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan sebagai undang-
undang bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai
perhatian terhadap hal ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198
H). Beliau meminta kepada Al Imam Asy-Syafi’iّrahimahullahّ(150-204 H) untuk menulis
sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka
lahirlah kitab Ar-RisalahّkaryaّImamّSyafi’iّsebagaiّkitabّpertamaّdalamّushulّfiqh.
Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab Ar-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak
ada sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa sahabat ra dan ulama-ulama sebelum
Syafi’i,ّakanّtetapiّkaidah-kaidah itu belum disusun dalam sebuah buku atau disiplin ilmu
tersendiri dan masih berserakan pada kitab-kitabّfiqhّparaّ‘ulama.ّImamّSyafi’iّlahّorangّ
pertama yang menulis buku ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi rujukan bagi para
ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iّraّmemangّpantasّuntuk memperoleh
kemuliaan ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang madrasah ahlil-hadits dan
madrasah ahlir-ra’yi.ّBeliauّlahirّdiّGhaza,ّpadaّusiaّ2ّtahunّbersamaّibunyaّpergiّkeّ
Mekkah untuk belajar dan menghafal Al-Qur’anّsertaّilmuّfiqhّdariّulama Mekkah. Sejak
kecil beliau sudah mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu
kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah
diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy – salah seorang ulama Mekkah – untuk memberi
fatwa.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah, Imam
Malik bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun – meskipun tidak berturut-turut –
beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu
hadits dan fiqh Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu Hanifah An-
Nu’manّbinّTsabitّraّ(80-150 H).
Dari latar belakangnya, kita melihatّbahwaّImamّSyafi’iّmemilikiّpengetahuanّtentangّ
kedua madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau memang orang yang tepat untuk
menjadi orang pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul. Selain Ar-Risalah,ّImamّSyafi’iّ
juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul,ّseperti:ّkitabّJima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan
Ikhtilaful-hadits.
Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu
ushul fiqh:
 Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz.
 Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi
dengan bangsa lain terutama Persia.
 Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan
kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.
Setelah Ar-Risalah, muncullah berbagai karya para ulama dalam ilmu ushul fiqh, di
antaranya:
1. Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y,ّketiganyaّkaryaّIsaّbinّAbanّbinّ
Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H).
2. An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
3. Al-Ijma’,ّIbthalّAt-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri (200-
270 H).
4. Al-Mu’tamadّkaryaّAbul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliyّAsy-Syafi’iّ(wafatّ
th 436H).
5. Al-BurhanّkaryaّAbulّMa’aliّAbdulّMalikّbin Abdullah Al-Juwaini/Imamul-haramain (410-478
H).
6. Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505 H).
7. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H).
8. Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi (wafat 631 H).
9. Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340 H).
10. Ushul Al-jashash karya Abu Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).
11. Ushul as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H).
12. Kanz Al-WushulّIlaّma’rifatّAl-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi (wafat 482 H).
13. Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’atiّAl-hanafi (wafat 694 H).
14. At-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan Ibnul
Hammam (wafat 861 H).
15. Jam’ul-jawami’ّkarya Abdul Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H).
16. Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-gharnathi yang dikenal dengan nama
Asy-Syathibi (wafat 790 H).
17. Irsyadul-fuhulّIlaّTahqiqّ‘IlmّAl-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-
Syaukani (wafat 1255 H).

SUMBER HUKUM ISLAM


AHLUSSUNAH WALJAMAAH
1. AL-QUR’AN
Pengertian Al-Qur’an menurut bahasa
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (‫ )قرأ‬yang bermakna Talaa (‫)تال‬
[keduanya bererti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi).
Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan (‫ )قرأ قرءا وقرآنا‬sama seperti
anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan (‫)غفر غفرا وغفرانا‬. Berdasarkan
makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna
dengan Ism Maf’uul, ertinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna
kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, ertinya Jaami’
(Pengumpul, Pengoleksi) kerana ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-
hukum.*
Secara Syari’at :
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya,
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat an-Naas
Al Quran menurut arti istilah (terminologi) yaitu
1. Alquran adalah firman Allah SWT, yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada
Nabi dan Rasul terakhir dengan perantaraan Malaikat Jibril yang tertulis di dalam
mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir yang diperintahkan
membacanya, yang dimulai dengan surat Al fatihah dan ditutup dengan Surat Annas.
2. Alquran adalah lafal berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang diperintahkan membacanya yang
menantang setiap orang (untuk menyusun walaupun) dengan (membuat) surat yang
terpendek dari pada surat-surat yang ada di dalamnya.
3. Alquran diperintahkan untuk dibaca (selain dipelajari dan diamalkan) karena
4. Alquran ditulis di dalam mushaf, bahwa Alquran ini ditulis sejak masa turun (Nabi
Muhammad SAW). Karena selalu ditulis inilah Alquran juga disebut “Alkitab”. Dewasa ini
mushaf Alquran disebut “Mushaf Usmani” karena penulisannya mengikuti metode
usman Bin Affan

2. HADIST (AS SUNNAH)

Sebagaimana telah diketahui bahwa diantara nama-nama Ahlus Sunnah


wal Jama’ah adalah "Salafiyyun", sangatlah sesuai bila dijelaskan apa
pengertian As Sunnah menurut bahasa dan istilah, kemudian kita uraikan
pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta sebab-sebab munculnya
istilah tersebut.
As Sunnah menurut bahasa adalah thariq (jalan) dan sirah (sejarah
hidup). Para Ulama bahasa berselisih pendapat; apakah menurut bahasa pengertian As
Sunnah itu hanya terbatas jalan yang baik (thariq hasanah) ataukah mencakup jalan
yang baik maupun yang buruk? Yang benar ialah bahwa menurut bahasa, As Sunnah
adalah thariq (jalan) yang baik maupun yang buruk. Di antara hal-hal yang menunjukan
pengertian ini adalah hadits Nabi Shalallahu’alaihi wa salam.
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah Radhiallahu’anhu,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda:

َ ‫سنَةً فَلَهُ أ َ ْج ُر َها َوأَ ْج ُر َم ْن‬


‫عم َل ب َها‬ َ ‫سنهةً َح‬
ُ ‫س هن في اْإل ْسالَم‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫ و َم ْن‬.‫ش ْي ٌء‬
‫س هن في‬ َ ‫ص م ْن أ ُ ُج ْوره ْم‬ َ ُ‫غيْر أَ ْن يَ ْنق‬
َ ‫ م ْن‬،ُ‫بَ ْعدَه‬
َ َ‫سيِّئَةً َكان‬
َ ‫علَيْه و ْز ُر َها َوو ْز ُر َم ْن‬
‫عم َل ب َها م ْن‬ َ ً‫سنهة‬
ُ ‫اْإل ْسالَم‬
ْ ‫ص م ْن أَ ْوزَ اره ْم ش‬
‫َي ٌء‬ َ ُ‫غيْر أَ ْن يَ ْنق‬
َ ‫بَ ْعده م ْن‬
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya
tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu
sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang
yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun.” (HR; Imam Muslim, Nasa’i, At Tarmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
(Yakni), ketika Nabi shalallahu’alaihi wa salam membagi sunnah itu menjadi dua, yang
baik (sunnah hasanah) dan yang buruk (sunnah sayyi-ah).
-Adapun pengertian As Sunnah menurut istilah, ada istilah menurut ahli hadits
(muhaddits), sebagaimana halnya ada istilah menurut ahli ushul fiqih dan ahli fiqih.
Menurut para muhadditsin, As Sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi
shalallahu’alaihi wa salam, baik ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir) dan sifat (budi
pekerti maupun perawakan) beliau, serta sejarah hidup beliau, baik sebelum maupun
sesudah beliau diutus [Lihat Qawaidut Tahdits Al Qasimi (hal 64)].
-Sedangkan menurut ahli ushu fiqihl, As Sunnah dimutlakkan kepada semua yang
dinukil dari Nabi shalallahu’alaihi wa salam, dari hal-hal yang tidak dinashkan dari Beliau
shalallahu’alaihi wa salam, baik sebagai keterangan terhadap apa yang ada dalam Al
Kitab atau tidak [Lihat Ushul Ahkam Al Amidi (1/169)].
-As Sunnah dalam istilah ahli fiqih, dimutlakalan kepada semua hal yang bukan wajib.
Maka jika dikatakan bahwa perkara ini sunnah, artinya (perkara tersebut) bukan fardlu
dan bukan pula wajib, tidak haram serta tidak pula makruh [Lihat Syarhul Kawkabul
Munir (2/160)].
-Akan tetapi As Sunnah menurut kebanyakan salaf lebih luas dari pada itu. Karena yang
mereka maksud dengan As Sunnah adalah ma’na yang lebih luas daripada yang
dipaparkan para muhaddits, ahli ushul dan ahli fiqih. Sebab As Sunnah yang dimaksud
adalah kesesuaian dengan Al Kitab (Al Qur’an). Sedang sunnah Rasulullah
shallallahu’alaihi wa salam serta para sahabatnya adalah sama dalam masalah ‘aqidah
maupun ibadah. Lawannya adalah bid’ah.
Sehingga bila dikatakan si Fulan di atas As Sunnah, jika amalannya sesuai dengan
Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam. Lalu bila dikatakan si
Fulan di atas bid’ah, jika amalannya menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah atau salah
satunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ”Adapun lafaz As Sunnah
dalam perkataan salaf, mencakup sunnah dalam masalah ibadah dan I’tiqad, meskipun
kebanyakan yang menyusun tulisan tentang As Sunnah mengkhususkan
pembahasannya dalam bidang I’tiqad" [Lihat Al Amr bin Ma’ruf wan Nahyu ‘Anil Munkar
(hal 77)]

3. IJMA’
PENGERTIAN IJMA'
ْ ‫ )اإل‬adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (‫ )أ َ ْج َم َع‬yang memiliki dua makna:
Ijma' (ُ‫ج َماع‬
‫ال ُم َؤ ه‬
1) Tekad yang kuat (ُ ‫كد‬ ‫ )العَ ْز ُم‬seperti: ‫سفَر‬ َ ‫أ َ َج َم َع فُ َال ٌن‬
َ ‫علَى‬ (sifulan bertekad kuat untuk
melakukan perjalanan).
2) ُ َ‫ )االت ِّف‬seperti: (‫َكذَا‬
Kesepakatan (‫اق‬ َ َ‫ )أ َ ْج َم َع ال ُمسْل ُم ْون‬kaum muslimin bersepakat tentang
‫علَى‬
sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
‫علَى‬
َ ‫ص ْور‬
ُ ُ‫صر منَ الع‬ َ ‫سله َم بَ ْعدَ َوفَاته ف ْي‬
ْ ‫ع‬ َ ‫ي أ ُ همة ُم َح همد‬
َ ُ‫صلهى هللا‬
َ ‫علَيْه َو‬ ْ ‫اق ُم ْجتَهد‬ ُ َ‫ات ِّف‬
‫أ َ ْمر منَ األ ُ ُم ْور‬
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa
tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).
Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:
1) ُ َ‫ )االت ِّف‬artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan
Kesepakatan (‫اق‬
sikap.
2) Para Mujtahid ( َ‫جتَهد ُْون‬
ْ ‫)ال ُم‬. Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim
(berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya.
Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara
maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum.
3) Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima seruan
dakwah Nabi saw).
4) Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak
disebut ijma'.
5) Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.
6) Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan
syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).

Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.[13]
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki
pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang
mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak
dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus
mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki
kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya
atas maqasid al-Syariah.[14]

4. QIYASS

A.Pengertian
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut ahli ushul fiqh
adalah menpersamakan huhum suatau peristiwa yang tidak ada nash hukumnya ’
dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena persamaan keduanya itu
dalam illat hukumnya.

B. Rukun qiyas
1. Al-Asl, adalah malasalah yang telah ada hukumnya, bedasarkan nas, ia disebut al
Maqis ’alaih ( yang diqiyaskan kepadanya ), Mahmul ’alaih( yang dijadikan
pertangungan ) musyabbah bih ( yang diserupakan denganya).
2. Al Far’u, adalah masalah baru yang tidak ada nashnya atau tidak ada hukumnya, ia
disebut Maqis ( yang diqiyaskan), AlMahmul) ( yang dipertanguhngkan) dan al
musyabbah ( yang diserupakan ).
3. Hukum Asl yaitu hukum yang telah ada pad asl (pokok) yang berdasarkan atas nash
atau ijma’, ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pad al far’u( cabang).
4. Al Illat adalah suatu sifat yangada pada asl yaang padanya lah dijadikan sebagai dasr
untuk menentuan hukum pokok, dan berdasarkan ada nya keberadaanya sifat itu pada
cabang (far), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.
Syarat-syarat i’llat
a. Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra.
b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya
pada furu’ dan tidak mudah berubah.
c. Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya.
d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya , tapi bisa juaga berwujud pad
beberapa satuan hukum yang bukan asl.

Anda mungkin juga menyukai