Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata,
yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti
ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian
bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an,
baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap
petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu
rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya
dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul
Qur’an diantara lain :
ذالكّ وغير باالحكام المتعلقة ومعانيه وادابهوالفاظه وسنده نزوله جهة من العزيز الكتاب احوال عن فيه يبحث علم.
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya
makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan
dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
ودفع ومنسوخه وناسخه واعجازه وتفسيره وقراءته وكابته وجمعه وترتيبه نزوله ناحية من الكريم بالقران تتعلق مباحث
ذالك ونحو عنه الشبه.
“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya,
urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya, nasikh
mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan
sebagainya”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas
hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-
Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi
manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan
keperluan membahas al-Qur’an.
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang
luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa
ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah
dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di
dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari
tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu
Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini
didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat.
Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak
terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari
sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah
:
ت ِم َداداّ ال َبح ُّر كَانَّ لَّوّ قُل َّ جئنَا َولَوّ َر ِبى ِل َمـتُّ ََك تَنفَ َّد أَن قَب
ِّ ل ال َبح ُّر لَنَ ِف َّد َربِى ِل َك ِل َمـ ِّ َم َدداّ ِب ِمث ِل ِّه
Mungkin hanya itu pengertian yang saya ketahui, kalaupun ada kesalahan mohon
segera di kritik atau kalau bisa Anda carilah terlebih dahulu pembanding dari
pengertian diatas biar tidak terjadi kesalahan.
“Tafsir pada hakekatnya ialah menerangkan (maksud) lafazh yang sukar dipahami oleh
pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan
mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan
mengemukakan (uraian) yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan
dalalah.”[2]
Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam At-Ta’riifat:
“Pada asalnya, tafsir berarti membuka dan melahirkan. Dalam pengertian syara’, (tafsir)
ialah menjelaskan makna ayat: dari segi segala persoalannya, kisahnya, asbabun nuzulnya,
dengan menggunakan lafazh yang menunjukkan kepadanya secara terang.”[3]
Rumusan menurut az-Zarkasyi sebagai berikut:
“Tafsir ialah ilmu (pembahasan) yang mengkaji tentang pemahaman kitabullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, menerangkan makna-maknanya, megeluarkan
hukum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu (hikmah) yang ada di dalamnya.”[4]
Menurut Abdul Azhim az-Zarqani:
“Tafsir dalam pengertian istilah ialah ilmu yag di dalamnya dibahas tentang Al-Qur’anul
Karim, dari segi dalalahnya (yang berkenaan dengan pemahaman makna) menurut yang
dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai dengan kadar kemampuan manusia biasa.”[5]
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa tafsir adalah:
“Usaha yang bertujuan menjelaskan Al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafazh-lafazhnya,
agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit dipahami
menjadi mudah dipahami, sehingga Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia benar-benar
dapat dipahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat.”
“Ta’wil ialah memalingkan lafazh dari maknanya yang dhahir kepada makna lain (makna
batin) yang dipunyai lafazh itu, jika makna lain yang dilihat itu sesuai dengan (ruh) al-
Qur’an dan Sunnah.”
“Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan
apa yang dimaksudkannya.”
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa ta’wil adalah:
Membelokkan atau memalingkan lafazh-lafazh atau kalimat-kalimat yang ada dalam
Al-Qur’an dari makna dhahirnya ke makna lain, sehingga dengan cara demikian pengertian
yang diperoleh lebih cocok dan sesuai dengan jiwa ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
saw.
“Sesungguhnya kata tarjamah dalam tuturan bahasa Arab digunakan secara mutlak dengan
arti menjelaskan, baik itu masih dalam satu bahasa maupun dalam bahasa yang berbeda.”
“ “ (mengalih pembicaraan/kalam dari satu bahasa ke
bahasa lain). Singkatnya, alih bahasa. Dalam Lisanul Arabdisebutkan:
“Yang disebut Turjuman atau Tarjuman ialah yang menterjemahkan kalam, yakni
memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.”
“Tarjamah ialah merumuskan makna pembicaraan yang terkandung dalam suatu bahasa,
dengan pembicaraan lain, melainkan bahasa yang lain, lengkap semua makna dan
maksudnya.”
Terjemah dalam pengertian urfi terbagi dua, yaitu: Pertama, Terjemah Harfiah ialah
tarjamah yang dalam pengungkapan makna terlalu terikat dengan suasana kata perkata yang
ada pada bahasa pertama dan makna-makna yang terungkap hanya berupa makna kosa kata.
Dalam prakteknya penerjemah harfiah menyoroti kata perkata yang ada, lalu memahaminya
satu persatu, kemudian ia berikan makna-maknanya dalam bahasa terjemah sesuatu dengan
perimbangan kata, walaupun makna yang dikehendaki ternyata menyimpang dari “pesan”
bahasa pertama, mengingat adanya perbedaan-perbedaan dalam langgam bahasa.
Kedua, Terjemah Tafsiriyah ialah terjemah yang dalam mengungkapkan makna tidak
terikat dengan susunan kata per kata yang ada dalam bahasa pertama, tetapi yang penting
ialah bagaimana mengungkapkan makna-makna yang dikehedaki dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu terjemah ini disebut pula “Terjemah Ma’nawiyah.” Ia disebut Terjemah
Tafsiriyah, karena dalam pengambaran atau pengungkapan makna-makna yang dikehendaki
itu menjadikannya serupa dengan tafsir, walaupun sebenarnya ia bukan tafsir. Dalam
prakteknya, penerjemah tafsiriyah berusaha menangkap makna atau pengertian yang dituju
oleh ungkapan-ungkapan kalimat bahasa pertama, kemudian pengertian itu ia tuangkan ke
dalam bahasa terjemah, sesuai maksud penuturnya, tanpa memaksakan diri untuk mencari
makna kata per kata yang ada dalam bahasa pertama.
Muhammad Husen Adz-Dzihaby menulis:
“Dan tarjamah tafsiriyah, yakni menjelaskan al-Qur’an kedalam bahasa non Arab, juga
merupakan sesuatu yang diharuskan atas ummat bahkan ia sangat penting, karena ia
membawa pada kemaslahatan yang penting, seperti menyampaikan makna-makna dan
hidayah al-Qur’an kepada kaum muslimin dan non muslim yang tidak berbicara dan tidak
memahami bahasa Arab dan juga demi menjaga akidah Islamiyah dari rongrongan kaum
mulhid dan memeliharanya dari kekeliruan pemahaman, yang (mungkin) dilakukan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang sengaja melakukan penterjemahan al-
Qur’an berdasarkan akidah yang salah dan ajaran-ajaran yang fasiq, yang bertujuan
menampakkan al-Qur’an kepada mereka yang tidak mengerti bahasanya agar lari dari
padanya dan terhalang mengikuti petunjuknya. Memang tidak sedikit suara-suara lantang
dengan mengadu terjemah-terjemah yang salah itu.”
Secara etimologi hadis mempunyai tiga arti; Pertama, baru (jadid) lawan dari lama
(qadim). Bentuk jamaknya adalah hidats, hudatsa, huduts. Kedua, kata hadis berarti yang
dekat (qarib) lawan kata dari jauh (ba’id) dan yang belum lama terjadi, seperti perkataan
( م سال ال با لعهد ا يث حدorang yang baru masuk Islam). Ketiga, kata hadis berarti berita
(khabar), yaitu
( ينقل و به ث يتحد ماsesuatu yang dibicarakan atau dipindahkan dari seseorang) . dari makna
inilah terambil perkataan Hadis Rasulullah SAW. Hadis yang bermakna berita ini
dihubungkan dengan kata tahdits yang berarti periwayatan atau ikhbar yang berarti
mengabarkan[2].
Menurut ulama’ ahli hadis adalah صفة أو أوتقرير فعل أو قول من وسلم عليه هللا صلى النبى لى ا ضيف أ ما
“ semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan,
perbuatan, persetujuan dan sifat”[3]. Hal ini berarti bahwa segala sesuatu yang
berhubungan dengan nabi baik sebelum maupun sesudah pengangkatan nabi itu
termasuk hadis.
Menurut Ushuliyyun & fuqaha hadis yaitu “segala perkataan, perbuatan dan takrir Nabi
yang berkaitan dengan hukum syara’”. Maksudnya adalah segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada Nabi Muhammad akan tetapi yang bukan berupa hukum maka bukan
termasuk hadis.
Menurut M. ‘Ajjaj al-Khatib, yang dimaksud dengan hadis Nabi adalah Sunnah qauliyyah,
karena menurutnya “sunnah” mempunyai pengertian lebih umum daripada “hadis”.
Dari penjabaran di atas hadis mengandung empat unsur yakni[4]: Pertama, perkataan,
yang dimaksud perkataan Nabi Muhammad SAW ialah perkataan yang pernah beliau
ucapkan dalam berbagai bidang dan dalam berbagai kesempatan, seperti bidang hukum
(syari’at), akhlak, aqidah, pendidikan dan sebagainya. Sebagai contoh perkataan beliau
yang mengandung hukum syari’at: ( نوى امرئما لكل وإنما بالنيات إنماالعمالsesungguhnya amal-
amal itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh apa yang ia niatkan
(HR Bukhory-Muslim). Kedua, perbuatan, perbuatan Nabi Muhammad SAW merupakan
penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’at yang belum jelas tata cara
pelasanaannya. Misalnya cara sholat dan cara menghadap kiblat dalam sholat sunnat di
atas kendaraan yang sedang berjalan, telah dipraktekan oleh Nabi dengan perbuatan
beliau di hadapan para sahabatnya. Ketiga, Taqrir, arti taqrir Nabi Muhammad SAW
adalah keadaan beliau mendiamkan, tidak memberikan sanggahan atau menyetujui apa
yang telah dilakukan atau dikatakan oleh sahabat di hadapan beliau. Contoh taqrir beliau
tentang perbuatan sahabat yang dilaukan dihadapannya ialah, tindakan Khalid bin Walid,
dalam suatu jamuan makan dia menyajikan masakan daging biawak dan mempersilahkan
Nabi untuk menikmatinya bersama para undangan. Tindakan Khalid dan para sahabat
yang menikmati daging biawak tersebut disaksikan oleh Nabi, dan beliau tidak
menyanggahnya. Keengganan beliau makan daging biawak tersebut disebabkan
jijik. Keempat, sifat-sifat, keadaan, dan himmah (hasrat). Sifat-sifat beliau dilukiskan oleh
para sahabat dan ahli tarikh, seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniyah beliau yang
dilukiskan sahabat Anas “Rasulullah itu adalah sebaik-bai manusia mengenai paras
mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang yang tinggi dan bukan pula orang
yang pendek”. Silsilah-silsilah, nama-nama dan tahun elahiran yang telah ditetapkan oleh
para sahabat dan ahli tarikh. Contohnya mengenai tahun kelahiran beliau seperti yang
dikatakkan oleh Qais bin Mahramah “aku dan Rasulullah SAW dilahirkan pada tahun
gajah”. Himmah (hasrat) beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘Asyura. Hal itu tidak
terlaksana karena beliau telah wafat.
Sunnah menurut bahasa berarti : “tata cara dan tingah laku atau perilaku hidup, baik
perilaku itu terpuji maupun tercela[5]”. Sunnah pada mulanya berarti cara atau jalan,
yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang di
belakangnya[6].
Sunnah menurut muhadditsin ialah صفة أو تقرير أو فعل أو قول من وسلم عليه هللا صلى النبى أثرعن ما
“ بعدها ام البعثه قبل أكان سواء سيرة او خلقيه او خلقيهsunnah adalah apa yang datang dari Nabi
Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat (perangai atau
jasmani), tingkah laku, perjalanan hidup, baik sebelum diutus menjadi Nabi maupun
sesudahnya[7]”. Maksudnya bahwa segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Muhammad
itu dianggap sunnah baik itu terjadi sebelum beliau diangkat menjadi nabi maupun
setelah beliau diangkat menjadi nabi.
Menurut ulama’ usul fiqih “sunnah adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang bukan
bersal dari Al-Qur’an, pekerjaan atau ketetapannya[8]”. Maksudnya segala sesuatu yang
di sandarkan kepada Nabi SAW yang berhubungan dengan hukum syara’, baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau adalah termasuk sunnah. Sunnah menurut
Ulama’ ushul fiqih hanya perbuatan yang dapat di jadikan dasar hokum islam. Jika suatu
perbuatan Nabi tida di jadikan dasar hokum seperti makan, minum, tidur, berjalan,
meludah, menelan ludah, buang air, dan lain-lain maka pekerjaan biasa sehari-hari
tersebut tidak dinamakan sunnah.
Menurut ulama’ fiqih, “ الواجب وال الفرائض باب من يكن ولم وسلم عليه هللا صلى النبى عن ما كلsunnah
adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW yang tidak termasuk hal-hal yang
diwajibkan[9]”. Menurut ulama’ fiqih, sunnah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang
dari nabi tetapi hukumnya tidak wajib, di beri pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak
di siksa bagi yang ditinggalkannya. Contohnya seperti shalat sunnah, puasa sunnah dan
lain-lain.
Menurut kalangan orientalis sunnah sebagai sumber hukum pada mulanya adalah
masalah yang ideal atau norma yang dikenal dalam masyarakat, kemudian pada masa-
masa belakangan pengertian itu terbatas hanya untuk perbuatan-perbuatan Nabi
Muhammad SAW saja[10].
Menurut Ajjaj al-Khathib sunnah ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan
dianjurkan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Bila kata
Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara’, maka yang dimaksud
dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan
dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan
demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang
dimaksudkannya adalah al-Qur’an dan Hadis.
Secara bahasa khabar berarti berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Menurut ahli hadis khabar berarti “ اوغيره سلم و هللا صلى النبى الى ضيق ا ماapa yang berasal dari
Nabi Muhammad SAW atau dari yang selainnya[11]”. Jadi khabar menurut Muhadditsin
adalah warta dari Nabi , Shahabat, dan Tabi’in. oleh karena itu, hadis marfu’, maukuf, dan
maktu’ bisa dikatakan sebagai khabar.
Menurut ahli fiqih khabar bisa dimaknai sebagai hadis marfu’ bila sanadnya sampai
kepada Nabi Muhammad SAW[12]. Penggunaan khabar sebagai dasar hujjah lebih
memerlukan peninjauan yang lebih seksama.
Adapun menurut Mahmud ath-Thahhan secara terminology yaitu: 1. Kata khabar sinonim
dengan hadis; 2. Khabar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan seseorang selain Nabi
Muhammad. Sedangkan hadis adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi
Muhammad. 3. Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari hadis. Oleh karena itu, setiap
hadis dapat disebut juga dengan khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat disebut
dengan hadis.
Secara bahasa kata atsar berarti bekas sesuatu atau sisa-sisa sesuatu. Bisa pula berarti
nukkilan (sesuatu yang diambil). Maksudnya peninggalan atau bekas sesuatu, artinya
peninggalan atau bekas nabi karena hadist itu peninggalan beliau.
Atsar menurut jumhur ulama’ mempunyai pengertian yang sama dengan khabar dan
hadis. Sebagai contoh pada pemakaian istilah untuk sebutan, Az Zarkasyi, memakai kata
atsar untuk hadis mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul
SAW. (hadis marfu) [13]Ahli fiqih menamai perkataan-perkataan sahabat (hadis mauquf)
dengan atsar, dan menamai hadis-hadis yang berasal dari Nabi Muhammad SAW khabar.
Sanad
1. Pengertian
Sanad menurut bahasa artinya sandaran atau sesuatu yang dijadikan sebagai sandaran,
dikatakan demikian karena suatu hadis bersandar kepadanya . Sedangkan pengertian
sanad menurut istilah ilmu hadis, banyak ulama yang mengemukakannya, diantaranya
ialah:
ِ ا ْل َمتَ ِن َط ِري
ْق ع َْن ا ِال ْخبَار
ِ س ْل
سلَة ِ ِلى ا ْلم ْو ِصلَ ِة
ِ الرجَا ِل َ ا ْل َمتْ ِن ا
“Mata rantai para perawi hadis yang menghubungkan sampai kepada matan hadis.”
Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih
atau dhaifnya suatu hadis. Jika para pembawa hadis tersebut orang-orang yang cakap dan
cukup persyaratan, yakni adil, taqwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan
mempunyai daya ingat yang kuat, sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada
periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama, maka hadisnya dinilai shahih.
Begitupun sebaliknya, andaikan salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang
tertuduh dusta atau setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu
langsung (muttashil), maka hadis tersebut dhaif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
2. Contoh Sanad
قال أبيه عن مطعم بن جبير بن محمد عن شهاب ابن عن مالك أخبرنا ل قا يوسف بن هللا عبد حدثنا: هللا رسول سمعت
الطور المغرب فى قرأ عليه هللا صلى.
(البخاري رواه
Artinya:
“memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami
Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku
mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR. Al-
Bukhori)
Dari contoh hadis di atas jika diteliti, maka yang dimaksud dengan sanad adalah dimulai
dari haddatsana Abdullah bin Yusuf hingga pada lafadz ‘An biihi qaala, yang
menyambungkan kepada Rasulullah SAW. Agar lebih jelas berikut ini diterangkan dalam
bentuk denah periwayatan hadits di atas .
B. Matan
1. Pengertian
Kata matan menurut bahasa berarti االرض من وصلب ارتفع ماyang berarti tanah yang tinggi
dan keras,namun ada pula yang mengartikan kata matan dengan arti kekerasan,
kekuatan, kesangatan. sedangkan arti matan menurut istilah ada banyak pendapat yang
dikemukakan para ahli dibidangnya, diantaranya:
Jadi pada dasarnya sanad itu ialah berupa isi pokok dari sebuah hadis, baik itu berupa
perkataan Nabi atau perkataan seorang sahabat tentang Nabi. Posisi matan dalam sebuah
hadis amatlah penting karna dari matan hadis tersebutlah adanya berita dari Nabi atau
berita dari sahabat tentang Nabi baik itu tentang syariat atau pun yang lainnya,
2. Contoh matan
قالت عنها هللا رضى ئشة عا المؤمنين أم عن: هللا رسول قال, رد فهو منه ليس ما هذا أمرنا فى أحدث من. (متفق رواه
)عليه
“warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda:
barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan
(agamaku), maka ia tertolak’. ” (Hr. Bukhori dan Muslim)
Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz yang dimulai
dengan أحدث منhingga lafadz رد فهوatau dengan kata lain yang dimaksud dengan bagian
matan dari contoh hadis di atas ialah lafadz “ رد فهو منه ليس ما هذا أمرنا فى أحدث منbarang siapa
yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia
tertolak’.”
C. Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj
dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik.
sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan
atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari
seseorang (gurunya) . Di dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian terakhir
nama dari orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal mukharrij terakhir yang
termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau
imam Muslim dan begitu seterusnya.
Seperti pada contoh hadis yang pertama, pada bagian paling akhir hadis tersebut
disebutkan nama Al-Bukhari ( )البخاري رواهyang menunjukkan bahwa beliaulah yang telah
mengeluarkan hadis tersebut dan termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari.
Begitu juga dengan contoh hadis kedua yang telah mengeluarkan hadis tersebut ialah
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
D. Tabaqat al-Ruwwat
Secara bahasa kata tabaqat diartikan; kaum yang serupa atau sebaya. Sedangkan menurut
istilah tabaqat ialah ;
“Kaum yang berdekatan atau sebaya dalam usia dan dalam isnad atau dalam isnad saja”
Tabaqat adalah kelompok beberapa orang yang hidup dalam satu generasi atau satu masa
dan dalam periwayatan atau isnad yang sama atau sama dalam periwayatan saja.menurut
Ibnu Hajar Al-Asaqalani, Tabaqat Al Ruwwah sejak masa sahabat sampai pada akhir
periwayatan ada 12 tabaqat yaitu sebagai berikut:
f. Tabi’in yunior tetapi tidak bertemu seorang sahabat seperti Ibnu Juraij
g. Tabi’i Tabi’in senior seperti Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri
1. Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima
segala yang datng daripada Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya
adalah :
Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi :
Artinya:
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu
sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu'min). Dan
Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi
Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah
kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala
yang besar.”(QS:Ali Imran:179)
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya.”(QS:An-Nisa:136).
Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-
orang yang munafiq, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat
iman mereka. Oleh karena itulah, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya. Sedangkan pada QS. An-Nisa, Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka
tetap beriman kepada Allah, rasul-Nya (Muhammad SAW), al-Qur’an, dan kitab yang
diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang
mengingkari seruan-Nya.
sebelumnya.
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan
rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang
sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah
serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari
12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”. (Drs. Achmad Syauki, Sulita
2. Menguraikan dan merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang mutlak dan
menjelaskan Al-Qur’an sebagaimana firman Alloh SWT dalam QS. An-Nahl ayat
44:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS.
An-Nahl : 44
dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam,
BAB II
PEMBAHASAN
3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir,ayat dengan ayat atau
sunah dengan sunah ,dan lain-lain baik dengan jalan pengomromian (Al-Jam’u’wa At-
taufiq).meguatkan salah satu (tarjih),pengguguran salah satu atau kedua dalil yang
bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain)
4. Pembahasan hukum syara’yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya,baik yang
bersifat tuntutan,larangan,pilihan atau keringanan (rukhsah).Juga di bahas tentang
hukum,hakim,mahkum alaih (orang di bebani) dan lain-lain.
5. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan di gunakan dalam mengistinbath hukum dan cara
menggunakannya. (Al-Ghazali :7,Al-Amidi, 1:9,Al-Juhaili:23)
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh adalah ialah untuk dapat menerapkan
kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-
hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul
serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung
didalamnya.Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan
ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan tersebut.
Memang dengan metode tersebut para ulama telah berhasil merumuskan hukum syara
dan telah terjabar secara rinci dalam kitab-kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh itu
bagi umat yang datang kemudian ? dalam hal ini adadua maksud mengetahui ushul fiqh itu.
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama
terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin
ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahulu,maka kita dapat mencari jawaban
hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan
ulama terdahulu itu.
Kedua, bila kita mengadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab
fiqh,tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya
perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin
merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang
menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang
memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah
ataumenetukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara
baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara
baik dalam ilmu ushul fiqh.
D. Ruang Lingkup Ushul Fiqih dan Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih
1. Ruang Lingkup Ushul Fiqih
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih ,maka
Muhammad Al-Zuhaili (seorang ahli fiqih dan ushul fiqih dari syariah) mengatakan bahwa
yang menjadi objek pembahasan ushul fiqih yang dapat membedakan dengan kajian fiqih
adalah sebagai berikut:
1. Sumber hukum islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik
yang disepakati (seperti kehujjahan AL-Quran danSunah), maupun yang diperselisihksn
(seperti kehujjahan istihsan danmaslahah al-mursalah).
2. Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zahir dianggap bertentangan, baik
melalui al-jam’u wa al-taufiq (pengompromian dalil ),tarikh (penguatan salah satu dari dalil
yang bertentangan), nash atautasaqutal-dalilain (pengguguran kedua dalil yang
bertentangan).Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau pertentangan
hadis dengan pendapat akal.
3. Pembahasan ijtihad, sayarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahit), baik
syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya , baik
yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan , memilih
antara berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab syarat, mani,’, sah,
batal/fasad, azimah, dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang
pembuat hukum (hakim), orang yang dibebani hukum (mahkum ‘alaih, ketetapan hokum dan
syarat-syaratnya serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.
5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang
digunakan dan caramenggunakannya dalam mengistinbatkan hokum dari dalil-dalil, baik
melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh
suatu nash (ayat atau hadis).
Dalil kulli ialah dalil umum yang dapat dimasukkan kedalamnya beberapa kasus tertentu
seperti amar,,nahi, ‘am, mutlaq, ijma’, dan qiyas.
Hukum kulli ialah hukum umum yang masuk kedalamnya beberapa macam,
seperti wajib, haram, sah, batal, dan sebagainya Wajib dinamakan hukum kulli karena
kedalamnya dapat dimasukkan berbagai perbuatan yang wajib,umpamanya,wajib
memenuhi janji, wajib mengadakan saksi dalam perkawinan. Haram adalah
hukum kulliyang masuk kedalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan, seperti
haram berbuat zina, haram menuduh berbuat zina,haram mencuri, haram membunuh, dan
sebagainya.
Ahli ushul tidak membahas dalil juz’i ,namun yang mereka bahas adalah dalil dan
hukum kulli yang diletakkan dalam kaidah umum yang dapat diterapkan oleh para fuqaha
pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqaha tidak membahas dalil dan hukum kulli, namun
yang mereka bahas adalah dalil dan hukum juz’i .
Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam
memahami hukum-hukumّsyar’i,ّsemuaّpermasalahanّdapatّlangsungّmerujukّkepadaّ
Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an,ّatauّmelaluiّsunnahّbeliauّ
saw.
Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al-Qur’anّdanّ
mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka adalah para ahli
bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga
sepeninggal Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk
dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada
mereka yang dapat mereka gunakan di saat memerlukannya.
Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-
bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini menyebabkan
melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di
sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru
yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka
dalam berijtihad:
Madrasah ahlir-ra’yiّdi Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah.
Madarasah ahlil-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau qiyas dalam
berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yiّlebihّbanyakّmenggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad,
hal ini disebabkan oleh:
Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang
mereka lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan
mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses
seleksi yang ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad
begitu banyak, maka mau tidak mau mereka mengandalkan qiyas (analogi) dalam
menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan kehidupan
masyarakat Irak yang sangat kompleks.
MerekaّmencontohّguruّmerekaّAbdullahّbinّMas’udّraّyangّbanyakّmenggunakanّqiyasّ
dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.
Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan qiyas, karena
situasi yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah:
Banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang
memerlukan ijtihad.
Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah
binّ‘Amrّbinّ‘Ash,ّyangّsangatّberhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, sehingga membuat para
ulama merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan sebagai undang-
undang bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai
perhatian terhadap hal ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198
H). Beliau meminta kepada Al Imam Asy-Syafi’iّrahimahullahّ(150-204 H) untuk menulis
sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka
lahirlah kitab Ar-RisalahّkaryaّImamّSyafi’iّsebagaiّkitabّpertamaّdalamّushulّfiqh.
Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab Ar-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak
ada sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa sahabat ra dan ulama-ulama sebelum
Syafi’i,ّakanّtetapiّkaidah-kaidah itu belum disusun dalam sebuah buku atau disiplin ilmu
tersendiri dan masih berserakan pada kitab-kitabّfiqhّparaّ‘ulama.ّImamّSyafi’iّlahّorangّ
pertama yang menulis buku ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi rujukan bagi para
ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iّraّmemangّpantasّuntuk memperoleh
kemuliaan ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang madrasah ahlil-hadits dan
madrasah ahlir-ra’yi.ّBeliauّlahirّdiّGhaza,ّpadaّusiaّ2ّtahunّbersamaّibunyaّpergiّkeّ
Mekkah untuk belajar dan menghafal Al-Qur’anّsertaّilmuّfiqhّdariّulama Mekkah. Sejak
kecil beliau sudah mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu
kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah
diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy – salah seorang ulama Mekkah – untuk memberi
fatwa.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah, Imam
Malik bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun – meskipun tidak berturut-turut –
beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu
hadits dan fiqh Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu Hanifah An-
Nu’manّbinّTsabitّraّ(80-150 H).
Dari latar belakangnya, kita melihatّbahwaّImamّSyafi’iّmemilikiّpengetahuanّtentangّ
kedua madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau memang orang yang tepat untuk
menjadi orang pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul. Selain Ar-Risalah,ّImamّSyafi’iّ
juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul,ّseperti:ّkitabّJima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan
Ikhtilaful-hadits.
Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu
ushul fiqh:
Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz.
Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi
dengan bangsa lain terutama Persia.
Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan
kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.
Setelah Ar-Risalah, muncullah berbagai karya para ulama dalam ilmu ushul fiqh, di
antaranya:
1. Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y,ّketiganyaّkaryaّIsaّbinّAbanّbinّ
Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H).
2. An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
3. Al-Ijma’,ّIbthalّAt-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri (200-
270 H).
4. Al-Mu’tamadّkaryaّAbul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliyّAsy-Syafi’iّ(wafatّ
th 436H).
5. Al-BurhanّkaryaّAbulّMa’aliّAbdulّMalikّbin Abdullah Al-Juwaini/Imamul-haramain (410-478
H).
6. Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505 H).
7. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H).
8. Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi (wafat 631 H).
9. Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340 H).
10. Ushul Al-jashash karya Abu Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).
11. Ushul as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H).
12. Kanz Al-WushulّIlaّma’rifatّAl-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi (wafat 482 H).
13. Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’atiّAl-hanafi (wafat 694 H).
14. At-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan Ibnul
Hammam (wafat 861 H).
15. Jam’ul-jawami’ّkarya Abdul Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H).
16. Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-gharnathi yang dikenal dengan nama
Asy-Syathibi (wafat 790 H).
17. Irsyadul-fuhulّIlaّTahqiqّ‘IlmّAl-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-
Syaukani (wafat 1255 H).
3. IJMA’
PENGERTIAN IJMA'
ْ )اإلadalah mashdar (bentuk) dari ajma'a ( )أ َ ْج َم َعyang memiliki dua makna:
Ijma' (ُج َماع
ال ُم َؤ ه
1) Tekad yang kuat (ُ كد )العَ ْز ُمseperti: سفَر َ أ َ َج َم َع فُ َال ٌن
َ علَى (sifulan bertekad kuat untuk
melakukan perjalanan).
2) ُ َ )االت ِّفseperti: (َكذَا
Kesepakatan (اق َ َ )أ َ ْج َم َع ال ُمسْل ُم ْونkaum muslimin bersepakat tentang
علَى
sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
علَى
َ ص ْور
ُ ُصر منَ الع َ سله َم بَ ْعدَ َوفَاته ف ْي
ْ ع َ ي أ ُ همة ُم َح همد
َ ُصلهى هللا
َ علَيْه َو ْ اق ُم ْجتَهد ُ َات ِّف
أ َ ْمر منَ األ ُ ُم ْور
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa
tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).
Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:
1) ُ َ )االت ِّفartinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan
Kesepakatan (اق
sikap.
2) Para Mujtahid ( َجتَهد ُْون
ْ )ال ُم. Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim
(berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya.
Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara
maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum.
3) Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima seruan
dakwah Nabi saw).
4) Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak
disebut ijma'.
5) Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.
6) Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan
syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).
Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.[13]
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki
pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang
mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak
dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus
mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki
kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya
atas maqasid al-Syariah.[14]
4. QIYASS
A.Pengertian
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan sesuatu, sedangkan menurut ahli ushul fiqh
adalah menpersamakan huhum suatau peristiwa yang tidak ada nash hukumnya ’
dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena persamaan keduanya itu
dalam illat hukumnya.
B. Rukun qiyas
1. Al-Asl, adalah malasalah yang telah ada hukumnya, bedasarkan nas, ia disebut al
Maqis ’alaih ( yang diqiyaskan kepadanya ), Mahmul ’alaih( yang dijadikan
pertangungan ) musyabbah bih ( yang diserupakan denganya).
2. Al Far’u, adalah masalah baru yang tidak ada nashnya atau tidak ada hukumnya, ia
disebut Maqis ( yang diqiyaskan), AlMahmul) ( yang dipertanguhngkan) dan al
musyabbah ( yang diserupakan ).
3. Hukum Asl yaitu hukum yang telah ada pad asl (pokok) yang berdasarkan atas nash
atau ijma’, ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pad al far’u( cabang).
4. Al Illat adalah suatu sifat yangada pada asl yaang padanya lah dijadikan sebagai dasr
untuk menentuan hukum pokok, dan berdasarkan ada nya keberadaanya sifat itu pada
cabang (far), maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukum.
Syarat-syarat i’llat
a. Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra.
b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya
pada furu’ dan tidak mudah berubah.
c. Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya.
d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya , tapi bisa juaga berwujud pad
beberapa satuan hukum yang bukan asl.