PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an, sebagaimana yang disampaikan oleh as-Shabuni adalah
Kalam Allah yang bernilai Mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril dan membacanya bernilai
Ibadah diawali dengan Surat al-Fatihah dan diakhiri dengan Surat An-Nas.
Mengacu pada definisi tersebut kita akan memahami bahwa Al-Qur’an
memang berupa satuan buku yang tertulis. kendati Al-Qur’an diwahyukan
secara lisan, Al-Qur'an sendiri secara konsisten menyebut dirinya sebagai
kitab tertulis. Penulisan Wahyu memang telah dilakukan sejak Zaman
Rasulullah, bahkan Nabi sendiri yang memerintahkan hal tersebut.
Namun untuk pembukuannya bukanlah nabi yang memerintahkan, Al-
Qur’an dibukukan setelah Nabi Wafat. Terlebih jika kita membaca Al-Qur’an
yang saat ini biasa kita baca, maka kita akan dikejutkan dengan fakta bahwa
ayatyang pertama kali turun justru diletakan dibagian akhir dari Al-Qur’an,
bukan di awal.
Seharusnya itu menjadi pertanyaan tersendiri bagi kita, lantas siapa
yang menyusun Al-Qur’an hingga akhirnya bisa menjadi seperti yang kita
baca saat ini. Untuk itu maka perlu kajian yang khusus membahas hal tersebut
guna setidaknya memberikan informasi yang memadai mengenai hal
tersebut,mengingat kajian semacam itu akan berpengaruh bagi pembuktian
atas keorisinilan Al-Qur’an yang kita baca saat ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Al-Qur’an?
2. Bagaimana Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an?
2. Bagaimana Penyusunan Tertib Surah dan Ayat Al-Qur’an?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kumpulan wahyu atau firman-firman Allah SWT yang
diturunkan melalui malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi
petunjuk bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana kita ketahui Nabi Muhammad
SAW adalah Nabi terakhir. Kitab suci Al-Qur’an adalah kitab terakhir yang
merupakan penyempurnaan dari kitab-kitab terdahulu. Al-Qur’an memuat intisari
dari kitab-kitab suci terdahulu dan dilengkapi dengan tuntunan-tuntunan yang
diperlukan sampai akhir zaman nanti. Al-Qur’an artinya bacaan, karena memang
harus dibaca dan menjadi bacaan bagi setiap umat Islam. Selain dibaca Al-Qur’an
juga harus dipahami arti dan kandungan isinya serta dipedomani oleh setiap umat
islam dalam kehidupan sehari -hari.1
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam dan merupakan mukjizat terbesar
bagi Nabi Muhammad SAW, isinya berupa pedoman hidup yang benar bagi
seluruh umat manusia. Secara harfiah lafaznya tidak dapat diubah oleh siapapun
dan sampai kapanpun. Al-Qur’an mengandung perintah dan larangan yang wajib
diikuti agar manusia selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Manusia yang
beramal saleh sesuai dengan perintah Al-Qur’an akan mendapatkan balasan
pahala dan surga. Sebaliknya manusia yang berbuat tidak sesuai dengan perintah
Al-Qur’an, maka hidupnya tidak di ridhai Allah dan di akhirat mendapat siksa.
Itulah tujuan Al-Qur’an diturunkan agar manusia memperoleh petunjuk dan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.2
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diwahyukan Allah kepada
Nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk dan pedoman hidup Al-Qur’an perlu
dibaca, dipelajari dan diperoleh maknanya untuk diamalkan. Persoalannya, pada
umumnya Al-Qur’an bersifat global, hanya dalam beberapa hal yang bersifat
terperinci seperti dalam hal ibadah mahdah dan keluarga. Untuk mempelajari
1
Malik fadjar, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1999), hlm. 46.
2
Habib Fahmi, Pendidikan Agama Islam, (Semarang : Cempak Putih, 1993), hlm. 51.
2
yang global tidak cukup hanya dengan mempelajari Al-Qur’an dan terjemahnya,
tapi mesti mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an dan tafsir Al-Qur’an.3
Jadi Menurut Penulis dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab
suci umat Islam yang wajib dipelajari dan diamalkan isinya karena Al-Qur’an
adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
untuk dibaca dan dipelajari maknanya.
3
Supiana, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Direktoran Jenderal Pendidikan Islam Departemen
Agama, 2002), hlm. 86.
4
Zainal Abidin, Seluk Beluk Al-Qur’an. (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 27.
5
Kamaluddin Marzuki, Ulum Al-Qur’an. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 67.
3
Adapun alat yang digunakan untuk menulis wahyu pada saat itu masih
sangat sederhana. Para sahabat menulis Al-Qur’an pada ‘usub (pelepah kurma),
likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta), dan aqtab
(bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung unta). Salah seorang
sahabat yang paling banyak terlibat dalam penulisan Al-Qur’an pada masa nabi
adalah Zaid bin Tsabit. Dan juga ia terlibat dalam pengumpulan dan pembukuan
Al-Qur’an masing-masing di masa Abu bakar dan Utsman bin Affan. Untuk
menghindari kerancuan akibat bercampur aduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan
lainnya, misalnya hadis Rasulullah, maka Beliau tidak membenarkan seseorang
sahabat menulis apapun selain Al-Qur’an. Larangan Rasulullah untuk tidak
menuliskan selain Al-Qur’an ini, oleh Dr. Adnan Muhammad, yang disebutkan
oleh Kamaluddin Marzuki dalam bukunya, dipahami sebagai suatu usaha yang
sungguh-sungguh untuk menjamin nilai akurasi (keakuratan) Al-Qur’an.
Setiap kali turun ayat Al-Qur’an, Rasulullah memanggil juru tulis wahyu
dan memerintahkan sahabatnya agar mencatat dan menempatkan serta
mengurutkannya sesuai dengan petunjuk beliau. Pada masa Rasulullah,
keseluruhan Al-Qur’an telah ditulis, namun masih belum terhimpun dalam satu
tempat artinya masih berserak-serak. Mengingat pada masa itu belum dikenal
zaman pembukuan, maka tidaklah mengherankan jika pencatatan Al-Qur’an bukan
dilakukan pada kertas-kertas seperti dikenal pada zaman sekarang, melainkan
dicatat pada benda-benda yang mungkin digunakan sebagai sarana tulis-menulis
terutama pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit hewan, tulang belulang, bebatuan dan
juga dihafal oleh para hafizh muslimin.
Sebelum wafat, Rasulullah telah mencocokkan Al-Qur’an yang
diturunkan Allah kepada Beliau dengan Al-Qur’an yang dihafal para hafizh, surat
demi surat, ayat demi ayat. Maka Al-Qur’an yang dihafal para hafizh itu
merupakan duplikat Al-Qur’an yang dihafal oleh Rasulullah Saw.6
6
Ibrahim Al lbyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an. (Jakarta: Raja Gravindo Persada, 1993),
hal. 70.
4
Dengan demikian terdapatlah di masa Rasulullah Saw tiga unsur yang
saling terkait dalam pemeliharaan Al-Qur’an yang telah diturunkan, yaitu: Hafalan
dari mereka yang hafal Al-Qur’an, Naskah-naskah yang ditulis untuk nabi, dan
naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk
mereka masing-masing. Setelah para penghafal dan menguasai dengan sempurna,
para hafizh (penghafal ayat-ayat Al-Qur’an) menyebarluaskan apa yang telah
mereka hafal, mengajarkan-nya kepada anak-anak kecil dan mereka yang tidak
menyaksikan saat wahyu turun, baik dari penduduk Makkah maupun Madinah dan
daerah sekitarnya.7
7
Abdullah al-Zanjani, Sejarah Al-Qur’an. (Jakarta: Hikmah, 2000), hal. 31.
8
Manna’ Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an. (Litera Antar Nusa, 2004), hal. 188.
5
mengajukan usul kepadanya agar pengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an
dalam satu mushaf karena dikhawatirkan akan musnah, karena dalam peperangan
Yamamah telah banyak penghafal Al-Qur’an yang gugur.9
Di sisi lain, Umar juga merasa khawatir kalau peperangan di tempat-
tempat lain akan terbunuh banyak penghafal Al-Qur’an sehingga Al-Qur’an akan
hilang dan musnah. Pada awalnya Abu Bakar menolak usul Umar untuk
mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an, karena hal ini tidak dilakukan oleh
Rasulullah SAW Walapun demikian Umar tetap membujuk Abu Bakar, hingga
akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan dari
Umar bin Khattab untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an.
Kemudian Abu Bakar meminta kepada Zaid bin Tsabit, mengingat
kedudukannya dalam qiraat, penulisan, pemahaman, dan kecerdasannya serta
kehadirannya pada pembacaan Al-Qur’an terakhir kali oleh Rasulullah Saw. Abu
Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran Umar dan usulan Umar. Pada
mulanya, Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu, bahkan ia
mengungkapkan bahwa pekerjaan itu sangat berat dengan mengatakan seandainya
aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidak lebih berat
bagiku dari pada mengumpulkan Al-Qur’an yang engkau perintahkan. Keduanya
kemudian bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid bin Tsabit dapat menerima
dengan lapang dada permintaan penulisan Al-Qur’an itu.
Selanjutnya untuk kegiatan pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an,
Abu Bakar mengangkat semacam panitia yang terdiri dari empat orang dengan
komposisi kepanitiaan sebagai berikut: Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dan tiga
orang lainnya yaitu Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Ubay bin Ka’ab,
masing-masing sebagai anggota. Panitia penghimpun yang semuanya penghafal
dan penulis Al-Qur’an termasyur, itu dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu
kurang dari satu tahun, yakni sesudah peristiwa peperangan Yamamah (12 H/633
M) dan sebelum wafat Abu Bakar ash Shiddiq.
9
Montgommery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an. (Jakarta: Rajawali, 1991), hal. 61.
6
Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an, Zaid bin Tsabit
bekerja sangat teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur’an seluruhnya, tapi untuk
kepentingan pengumpulan Al-Qur’an yang sangat penting bagi umat Islam, masih
memandang perlu mencocokkan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain
dengan menghadirkan beberapa orang saksi. Dengan selesainya pengumpulan
ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan urutan-urutan yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah Saw, Zaid bin Tsabit kemudian menyerahkannya
kepada Abu Bakar sebagai khalifah pada saat itu. Muzhaf ini tetap dipegang
khalifah Abu Bakar hingga akhir hayatnya. Kemudian dipindahkan ke rumah
Umar bin Khatab selama pemerintahannya.
Sesudah beliau wafat, Mushaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah, putri
Umar, dan juga sebagai istri Rasulullah Saw sampai masa pembukuan di masa
khalifah Utsman bin Affan. Mushaf itu tidak diserahkan kepada khalifah sesudah
Umar, alasannya adalah sebelum wafat, Umar memberikan kesempatan kepada
enam orang sahabat diantaranya Ali bin Abi Thalib untuk bermusyawarah memilih
seorang di antara mereka menjadi khalifah. Kalau umar memberikan mushaf yang
ada padanya kepada salah seorang di antara enam sahabat itu, Ia khawatir
dipahami sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal
Umar ingin memberkan kebebasan kepada para sahabat untuk memilih salah
seorang dari mereka menjadi khalifah.
3. Pembukuan Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Dalam perjalanan selanjutnya, ketika jabatan khalifah dipegang Utsman
bin Affan dan Islam tersiar secara luas sampai ke Syam (Syria), Irak, dan lain-lain.
ketika itu timbul pula suatu peristiwa yang tidak diinginkan kaum muslimin.
Ketika khalifah Utsman mengerahkan bala tentara Islam ke wilayah Syam dan Irak
untuk memerangi penduduk Armenia dan Azarbaijan, tiba-tiba Hudzaifah bin al-
Yaman menghadap khalifah Utsman dengan maksud memberi tahu khalifah
bahwa di kalangan kaum muslimin di beberapa daerah terdapat perselisihan
pendapat mengenai tilawah (bacaan) Al-Qur’an.
7
Dari itu, Huzaifah mengusulkan kepada Utsman supaya perselisihan itu
segera dipadamkan dengan cara menyalin dan memperbanyak Al-Qur’an yang
telah dihimpun di masa Abu Bakar untuk kemudian dikirimkan ke beberapa
daerah kekuasaan kaum muslimin. Dengan demikian diharapkan agar perselisihan
dalam hal tilawah Al-Qur’an ini tidak berlarut-larut. Perbedaan itu terlihat pada
waktu pertemuan pasukan perang Islam yang datang dari Irak dan Syria. Mereka
yang datang dari Syam (Syria) mengikuti qira’at Ubai bin Ka’ab, sementara
mereka yang berasal dari Irak membaca sesuai qira’at Ibnu Mas’ud. Tak jarang
pula, di antara mereka yang mengikuti qira’at Abu Musa al-Asy’ariy. Sangat
disayangkan, masing-masing pihak merasa bahwa qira’at yang dimilikinya lebih
baik. Hal ini membuat para sahabat prihatin, karena takut kalau-kalau perbedaan
itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan.
Pada awalnya, perbedaan bacaan dikalangan sahabat tidak
dipermasalahkan, bahkan pada masa Rasulullah Saw perbedaan bacaan tersebut
diakui, akan tetapi setelah Rasulullah wafat, perbedaan ini semakin meruncing,
yakni pada masa khalifah Utsman bin Affan, sampai-sampai terjadi percekcokan
antara murid dan gurunya. Setelah mendengar laporan dari Huzaifah dan melihat
langsung fenomena yang tejadi di kalangan umat Islam, Utsman bin Affan
kemudian mengutus orang meminjam mushaf yang ada pada Hafsah istri
Rasulullah Saw untuk diperbanyak. Untuk kepentingan itu, Utsman bin Affan
membentuk panitia penyalin Al-Qur’an yang diketuai Zaid bin Tsabit dengan tiga
orang anggotanya masing-masing Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash, Abdul
al-Rahman bin al Harits bin Hisyam.10
Tugas panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yakni menyalin lembaran-
lembaran yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar menjadi beberapa
mushaf. Dalam pelaksanaan tugas ini, Utsman menasehatkan supaya:
a. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an.
10
Ibrahim al-Abyadi, Sejarah Al-Qur’an. (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 57.
8
b. Kalau ada pertikaian antara mereka mengenai bahasa (bacaan), maka haruslah
dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an itu diturunkan
menurut dialek mereka.
Maka dikerjakanlah oleh panitia kepada mereka, dan setelah tugas itu
selesai, maka lembaran-lembaran yang dipinjam dari Hafsah itu dikembalikan
kepadanya. Kemudian Utsman bin Affan memerintahkan mengumpulkan semua
lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur’an yang ditulis sebelum itu dan
membakarnya. Mushaf yang ditulis oleh panitia adalah lima buah, empat di
antaranya dikirim ke Makkah, Syiria, Basrah dan Kufah, dan satu mushaf lagi
ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan
Muzhaf al-Imam.
Ada beberapa manfaat dari pembukuan Al-Qur’an menjadi beberapa
mushaf yaitu:
1. Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan
tulisannya
2. Menyatukan bacaan kaum muslimin
3. Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut sebagai yang
kelihatan pada mushaf-mushaf sekarang.
9
seperti surah Baqarah, Ali imran dan Annisa’. Juga hadis sahih mengatakan
bahwa Rasulullah membaca surah A’raf dalam salat maghrib dan dalam salat
subuh hari jum’at membaca surah Alif Lam Mim, Tanzilul Kitabi La
Raibafihi” (as-Sajdah) dan Hal Ata Alal Insani (ad-Dahr) juga membaca surah
Qaf pada waktu Kutbah. Surah Jumu’ah dan surah Munafikun dalam salat
jum’at. Jibril selalu mengulangi dan memeriksa Qur’an yang telah
disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan ramadhan
dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali.
Dan pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal
sekarang ini. Dengan demikian tertib ayat-ayat Al-Qur’an seperti yang ada
dalam mushaf yang beredar diantara kita adalah tauqifi. Tanpa diragukan lagi.
Imam As-Sayuti berkata: ijma’ dan nash banyak sekali yang
menetapkan bahwa tertib ayat adalah tauqifi, yaitu berdasarkan petunjuk dari
Nabi Muhammad SAW.dari riwayat Huzairah bin al-Yamani mengatakan
bahwa Rasulullah membaca surah al-A’raf dalam shalat magrib, Nasai
meriwayatkan bahwa Rasulullah membaca surat Al-Mukminun pada shalat
subuh dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah membaca surat Qaf
ketika Khutbah, riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bahwa penyusunan
ayat-ayat Al-Qur’an adalah tauqifi.11
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Al-Qur’an seperti yang ada
dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi.
Al-Suyuti, setelah menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surah-surah
tertentu mengemukakan: “Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi di
hadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-
ayatnya tauqifi. Sebab, para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib
yang berbeda dengan yang mereka dengar dari bacaan Nabi. Maka sampailah
tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.
Contoh Urutan ayat seperti dalam Q.S Al- ‘Alaq ayat 1-5:
10
.[٥ـ١ : ( ]سورت العلق٥)ۙ) الَّ ِذ ْي َعلَّ َم بِالْ َقلَ ِم٤( َعلَّ َم ااْلِ نْ َسا َن َما مَلْ َي ْعلَ ْ ۗم
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.
[Q.S Al- ‘Alaq ayat 1-5].12
12
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Surabaya: Mega
Jaya Abadi, 2007), hlm. 477
13
Athaillah. Sejarah Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 206-207.
11
dimiliki oleh para sahabat pada masa Rasulullah Saw. Misalnya : mushaf
Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian
Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzammil, dst hingga akhir surah
Makki dan madani. Dalam mushaf Ibn Masu’d yang pertama ditulis adalah
surah Baqarah, Nisa’ dan Ali-‘Imran. Dalam mushaf Ubai yang pertama
ditulis ialah Fatihah, Baqarah, Nisa’ dan Ali-Imran.14
Namun demikian, menurut penulis jika susunan surat dikatakan
ijtihad oleh Abdurrahman hanya didasarkan kepada adanya perbedaan
susunan surah yang dimiliki oleh sahabat pada masa Rasulullah hal itu
kurang tepat karena mushaf yang dimiliki oleh para sahabat pada waktu itu
bukanlah sebagai acuan atau untuk konsumsi umum yang dijadikan
pedoman semua umat Islam, akan tetapi para sahabat menulis mushaf
tersebut untuk konsumsi pribadi agar mempermudah ketika ingin
membaca, mempelajari ataupun mengkaji Al-Qur’an. Dengan demikian
sangat wajar jika pada waktu itu terjadi perbedaan antara sahabat yang satu
dengan yang lainnya mengenai penulisan surah dalam mushaf yang
dimilikinya
c. Dikatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya
berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang
menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi.
Manna Khalil al-Qatthan menyatakan: Apa bila membicarakan
ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang
menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak
bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat
mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ihtiyar mereka
sebelum Al-Qur’an dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Usman
Qur’an dikumpulkan , ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada suatu
huruf ( logat) dan umatpun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang
14
Hafidz Abdurrahman. Ulumul Qur’an. (Bogor: Idea Pustaka Utama, 2003),hlm. 98.
12
ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil
ijtihad , tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.15
Sementara itu, pendapat ketiga yang menyatakan sebagian surah itu
tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi, dalil-dalilnya hanya
berpusat pada nash-nash yang menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian
yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi.
Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti bahwa
selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping itu pula yang bersifat demikian
hanya sedikit sekali.
Bahasa Tempat
No Nama Surah Arti Nama Ayat
Arab Turun
Jamuan (hidangan
5 Surah Al-Ma'idah المائدة 120 Madinah
makanan)
15
Manna Khalil al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Lintera Antar Nusa, 2006),
hlm. 208
13
9 Surah At-Taubah التوبة Pengampunan 129 Madinah
Madinah
22 Surah Al-Hajj الحج
ّ Haji 78
& Makkah
Surah Al-
23 المؤمنون Orang-orang mukmin 118 Mekkah
Mu’minun
14
Surah Asy-
26 الشعراء Penyair 227 Mekkah
Syu'ara'
Surah
29 العنكبوت Laba-laba 69 Mekkah
Al-'Ankabut
Golongan-Golongan
33 Surah Al-Ahzab اأْل حزاب 73 Madinah
yang bersekutu
15
42 Surah Asy-Syura الشورى Musyawarah 53 Mekkah
Angin yang
51 Surah Az-Zariyat الذاريات 60 Mekkah
menerbangkan
Madinah
55 Surah Ar-Rahman الرحمن Yang Maha Pemurah 78
& Mekkah
16
Mujadilah mengajukan gugatan
Surah Al-
60 الممتحنة Wanita yang diuji 13 Madinah
Mumtahanah
Hari dinampakkan
64 Surah At-Tagabun التغابن 18 Madinah
kesalahan-kesalahan
17
Muzzammil
Surah Al-
74 المدثر Orang yang berkemul 56 Mekkah
Muddassir
Surah Al-
75 القيامة Kiamat 40 Mekkah
Qiyamah
Malaikat-Malaikat
79 Surah An-Nazi’at النازعات 46 Mekkah
Yang Mencabut
18
Surah Al-
88 الغاشية Hari Pembalasan 26 Mekkah
Gasyiyah
Waktu matahari
93 Surah Ad-Duha الضحى sepenggalahan naik 11 Mekkah
(Dhuha)
Surah Al-
98 البينة Pembuktian 8 Madinah
Bayyinah
19
102 Surah At-Takasur التكاثر Bermegah-megahan 8 Mekkah
Surah Al-
104 الهمزة Pengumpat 9 Mekkah
Humazah
Barang-barang yang
107 Surah Al-Ma’un الماعون 7 Mekkah
berguna
BAB
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang telah diturunkan kepada
Rasul-Nya Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umat telah dijamin
langsung oleh Allah akan keotentikannya.
Pembukuan Al-Qur’an telah dimulai sejak masa Rasulullah Saw masih
hidup, yang kemudian dilanjutkan pengumpulannya pada masa khalifah Abu
Bakar dan selanjutnya dibukukan pada masa khalifah Utsman bin Affan.
21
Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw lebih banyak
mengandalkan kemampuan hafalan, hal ini karena pada masa tersebut belum
dikenal kertas seperti sekarang ini, disamping juga karena banyaknya umat
Islam yang buta huruf.
Susunan surat dalam Al-Qur’an tauqifi. Namun demikian, ada tiga
pendapat ulama tentang susunan surat dalam Al-Qur’an yaitu tauqifi, ijtihad
sahabat dan pendapat yang ketiga sebagian besar tauqifi dan sebagian kecil
ijtihad sahabat.
B. Saran
Adapun saran yang bisa penulis berikan :
1. Kepada semua pembaca bila mendapat kekeliruan dalam makalah ini
harap bisa meluruskannya.
2. Untuk supaya bisa membaca kembali literatur-literatur yang berkenaan
dengan pembahasan ini sehingga diharapkan akan bisa lebih
menyempurnakan kembali pembahasan materi dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abyadi, Ibrahim. 1996. Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta.
Abdurrahman, Hafidz. 2003. Ulumul Qur’an. Bogor: Idea Pustaka Utama.
Abidin, Zainal. 1992. Seluk Beluk Al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta.
Al Ibyariy, Ibrahim. 1993. Pengenalan Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: Raja Gravindo
Persada.
Amin Suma, Muhammad, 2000. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Qathan, Manna’ Khalil. 2004. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Penerj. Mudzakir AS, Cet.
VIII, Litera Antar Nusa.
22
Al-Qur’an dan Terjemahannya. 2004. Departemen Agama RI, Bandung: Jumanatul
‘Ali ART.
23