Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena dengan
berkah rahmat dan karunia-nyalah maka kami dapat menyelesaikan makalah
dengan mata kulia “study islam”.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
study Islam yang diberikan kepada kami yang sesuai dengan kemampuan dan
pengetahuan penulis yang dapat selama menempuh pendidikan pada progam study
Ekonomi Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI SUSHA SIAK)..
Untuk itu kami selaku penyusun sangat berterimakasi kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini terutama kepada dosen mata
kuliah study Islam yang telah memberikan bimbingan sehingga makalah ini dapat
kami selesaikan tepat pada waktunya.
Selaku penyusun kami sangat mengetahui bahwa makalah ini jauh dari
kesempuraan oleh karna itu, saya mohon kritikan dan saran yang membangun
agar kami dapat menyusun kembali menjadi yang lebih baikdari sebelumnya.
semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

Siak Sri Indrapura,10 october 2019

penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Agama islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum
muslimin di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagian
hidup pemeluknya di dunia dan diahirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama
yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah
berfirman, sesunggunya al quran ini memberi petunjuk menuju jalan yg sebaik-
baiknya(QS, 17:9).

Al quran memberi petujuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariat, dan akhlak,


dengan jalan meletakan dasar-dasar pringsip mengenai persoalan-persoalan
tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rosul SAW., untuk memberikan
keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: kami telah turunkan
kepadamu al-Dzikr (Al quran)untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa
yang diturkan kepada meraka agar meraka berfikir(QS 16:44)

Disamping keterangan yang diberikan oleh Rosulullah SAW ., Allah


memerintahkan pula kepada umat manusia agar memperhatikan Al quran:
Tidaklah mereka memperhatikan isi al qur an, bahkan ataukah hati mereka
tertutupQS 47:24).

B. Rumusan masalah

1.apa arti al qur an?

2.bagaimna sejarah turnya al quran?

3.apa tujuan pokok diturunnya al quran?


BAB II

PEMBAHASAN

A .CARA AL QUR’AN DITURUNKAN


Tidaklah tersembunyi bagi siapapun juga bahwa tiap-tiap sesuatu dan ada
kadarnya. Demikianlah sunnatullah didalam alam ini. Sejarah adalah saksi yang
benar menetapkan kebenaran ini. Seseorang ahli sejarah yang hendak menggali
sesuatu dari perkembangan sejarah harus mengetahui sebab-sebab kejadian dan
pendorong-pendorongnya, jika dia ingin mengetahui hakikat sejarah itu
sebenaranya, bukan sejarah saja yang memerlukan hal demikian, ilmu-ilmu
tabi’at, ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kebudayaan serta kesusastraan juga
memerlukan sebab dan musabab. Turunnya Al Qur’an merupakan suatu kejadian
yang sangat mengagetkan sekaligus menggembirakan hati Rasulullah SAW.
Sebagaimana turunnya Surat Al-‘alaq(ayat:1-5),
Nabi Muhammad SAW  dalam menerimanya sangatlah berat karena
karena diturunkan lewat perantara malaikat jibril sesosok yang membuat Nabi
SAW ketakutan. Saat malaikat jibril menyampaikan wahyu tersebut, Rasullullah
juga merasa keberatan karena tidak bisa melaksakan apa yang diperintah malaikat
jibril. Tetapi setelah berkali-kali malaikat jibril mengulang akhirnya Rasullah
SAW dapat menerimanya. Begitupun saat menerima ayat-ayat yang lain,
Rasulullah selalu merasa ketakutan dengan segala sesuatu yang mengiringi ayat-
ayat tersebut. Begitu sulitnya Rasulullah dalam menerima wahyu membuktikan
kalau peristiwa turunnya Al Qur’an merupakan suatu kejadian yang sangat luar
biasa dan juga merupakan suatu mukzizat.
Dengan turunnya Al Qur’an berarti banyak hal yang perlu dikaji lebih
mendalam lagi, baik dari segi sebab-sebab turunnya atau yang sering disebut
Asbabun Nuzul maupun proses turunnya Al Qur’an itu sendiri. Dalam Makalah
ini pembahasannya hanya terkait tentang proses turunnya Al Qur’an saja atau
yang sering disebut ilmu nuzulul Qur’an. Dengan mempelajari pembahasan
masalah tersebut akan diketahui bagaimana arti sebenarnya  nuzulul Qur’an itu
sendiri, bagaimana tahapan-tahapan turunnya ayat-ayat tersebut, serta bagaimana
bisa ayat-ayat tersebut diturunkan di Makkah maupun di Madinah.

B.SEJARAH PENGKODIFIKASIAN AL-QUR'AN


Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Allah swt. menjamin keotentikan Al-Qur’an sepanjang masa dari waktu
penurunannya kepada Nabi Muhammad saw. sampai akhir zaman. Allah swt.
berfirman:
“Sesungguhnya  Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula)
yang memeliharanya.” (Al-Hijr [15]:9)
Ayat ini memberikan jaminan tentang kemurnian dan kesucian Al-Qur’an selama-
lamanya. Tidak ada seorangpun yang mampu memalsukan dan menandingi Al-
Qur’an, karena di samping para ulama yang menjaganya, Allah sendiri telah
berjanji akan selalu menjaga dan memeliharanya.
Salah satu usaha umat Islam dalam menjaga kemurnian dan keotentikan Al-Quran
adalah dengan cara mengkodifikasikan Al-Qur’an. Hal ini telah dilakukan oleh
para sahabat Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Adapun usaha yang dilakukan
oleh para ulama pada zaman sekarang untuk menjaga kemurnian Al-Quran adalah
dengan melakukan pentashihan terhadap setiap Al-Qur’an yang akan beredar di
kalangan masyarakat.
Berikut ini adalah sejarah pengkodifikasian Al-Qur’an dari masa Rasulullah
sampai masa para sahabat.
1.    Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw.
Pengkodifikasian Al-Qur’an memiliki dua arti, yaitu pengumpulan dalam arti
menghafal dan pengumpulan dalam arti menulisya.
a.    Pengumpulan Al-Qur’an dalam arti menghafalnya
Rasulullah saw. sangat menyukai saat-saat wahyu turun, beliau senantiasa
menghafalnya sesaat setelah wahyu tersebut turun. Rasulullah adalah penghafal
Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh terbaik bagi para sahabat dalam
menghafal Al-Qur’an. Setiap kali ayat Al-Qur’an turun, para sahabat langsung
menghafalnya dalam hati. Kaum arab tekenal dengan hafalannya yang kuat karena
mereka pada umumnya buta huruf, sehingga cara penulisan mereka adalah dengan
menghafalnya di dalam dada dan hati mereka. Tujuh sahabat yang terkenal
sebagai penghafal Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw. adalah:
1     Abdulah bin Mas’ud
2)     Salim bin Ma’qal
3)     Muaz bin Jabal
4)     Ubay bin Ka'ab
5)     Zaid bin Tsabit
6)     Abu bakar bin Sakan
7)     Abu Darda
Inilah yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Qur’an dengan arti
menghafalnya. Al-Qur’an dikumpulkan dalam dada dan hati para sahabat, setiap
saat mereka senantiasa menyetorkan hafalan mereka di hadapan Rasulullah saw.
Hal inilah yang menjadikan hafalan mereka kuat dan terjamin kebenarannya.
b.    Pengumpulan Al-Qur’an dalam arti penulisannya
Selain menghafal Al-Qur’an dalam hati sebagai salah satu cara mengumpulkan
Al-Qur’an, para sahabat juga menulis ayat-ayatnya sesaat setelah Malaikat Jibril
menurunkannya kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. telah mengangkat
sahabat para sebagai penulis wahyu Al-Qur’an, mereka adalah:
1)      Ali bin Abu Thalib
2)      Mu’awiyah
3)      Ubay bin Ka’ab
4)      Zaid bin Tsabit
Ketika sebuah ayat turun, Rasulullah saw. memerintahkan kepada mereka
untuk menulis ayat tersebut dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah.
Di samping itu banyak sahabat lain yang ikut menuliskan ayat yang turun atas
kemauan mereka sendiri. Mereka menulis ayat-ayat tersebut di berbagai tempat,
ada yang menulisnya di pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau
daun kayu, pelana kuda, potongan tulang belulang bintang dan lain sebagainya.
Jadi tulisan ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw. masih tercecer di
berbagai tempat, tidak tersusun dalam satu mushaf. Tulisan ayat yang ada pada
satu orang sahabat belum tentu ada pada sahabat yang lain.
Sebuah riwayat mengatakan bahwa Zaid bin Tsabit adalah sahabat yag terakhir
membacakan Al-Qur’an di hadapan Rasulullah saw. sebelum beliau wafat. Ketika
Rasulullah saw. wafat, Al-Qur’an telah dihafal dan ditulis seluruhnya dalam
bentuk terpisah-pisah, ayat-ayat dan surah-surah dipisahkan, atau di tertibkan
ayat-ayatnya saja. Setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan
dalam tujuh huruf, tetapi Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang
menyeluruh (lengkap). Rasulullah tidak menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf
agar Al-Qur’an tidak berubah pada setiap waktu, beliau juga senantiasa menunggu
ayat yang menasikh terhadap sebagian hukum atau bacaanya. Disamping itu, pada
saat itu belum ada tuntutan kondisi untuk membukukkannya dalam satu mushaf.
Az-Zarkasyi mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf
pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu,
penulisannya dilakukan kemudian sesudah Al-Qura selesai turun semua, yaitu
dengan wafatnya Rasulullah saw.
Dengan demikian, pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi ini dinamakan
hifzan (hafalan) dan kitabatan (pembukuan) yang pertama.
2.    Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar
Meskipun Rasulullah dan para sahabat telah menuliskan semua ayat, namun
tulisan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut belumlah dikompilasi menjadi satu buku
yang utuh. Setelah Rasulullah saw. wafat, banyak umat islam yang murtad dari
islam terutama di daereah Nejed dan Yaman. Keimanan mereka goyah atas
wafatnya Rasulullah saw. karena mereka mengira bahwa Rasulullah saw. tidak
akan meninggal dunia. Sehingga pada masa itu terjadi beberapa peperagan. Salah
satu peperangan yang terkenal pada masa itu adalah Perang Yamamah, yaitu pada
tahun dua belas hijriah. Perang ini melibatkan para penghafal Al-Qur’an dan
mengakibatkan tujuh puluh sahabat penghafal Al-Qur’an gugur dalam medan
perang.
Melihat kenyataan ini, Ummar bin Khaththab khawatir Al-Qur’an musnah
seiring wafatnya para penghafal Al-Qur’an. Dia mengusulkan kepada Abu Bakar
untuk menyusun Al-Qur’an dan mengumpulkannya menjadi satu mushaf. Pada
mulanya Abu Bakar menolak usul Umar, karena Rasulullah saw. tidak melakukan
hal tersebut, namun setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya Abu Bakar
menerima usul untuk menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf. Abu Bakar
memanggil Zaid bin Tsabit dan menceritakan maksud serta usulan Umar.
Awalnya Zaid menolak usulan itu seperti halnya dengan Abu Bakar, namun
akhirnya Zaid mengerti dan menerima tugas yang sangat berat tersebut. Pemilihan
Zaid sebagai penulis Al-Qur’an ini tidak sembarangan, pemilihan ini didasarkan
kepada beberapa kualifikasi, diantaranya adalah sebagai berikut ini:
1)      Zaid adalah seorang yang sangat besar gairah keagamaannya. Memiliki akhlak
terpuji, seprti yang secara khusus diapresiasi oleh Abu Bakar dengan menyatakan
“Kami tidak pernah melihat hal yang buruk pada diri kamu”
2)      Zaid adalah seorang sahabat yang memiliki kecerdasan. Hal ini berarti
menyangkut masalah kompetensi
3)      Zaid memiliki pengalaman di masa lampau tentang penulisan wahyu
4)      Azami mengatakan bahwa Zaid termasuk sahabat yang bernasab mujur karena
sempat mendengar bacaan Al-Qur’an malikat Jibril bersama Nabi Muhammad di
bulan Ramadhan
Zaid memulai tugasnya untuk menulis dan membukukan Al-Qur’an dengan
bersandar pada hafalan yang ada di dalam hati para penghafal Al-Qur’an dan
catatan potongan-potongan ayat yang ada pada penulis. Zaid bin Tsabit bertindak
dengan sangat teliti dan hati-hati. Metode pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an
yang digunakan Zaid dapat dipertanggung jawabkan.
Menurut Prof. Dr. MM. Al-A’zami metode yang digunakan lima belas abad
lalu ini sama dengan metode yang digunakan para ahli saat ini. Pertama-tama Zaid
membatasi pengumpulan dengan ayat-ayat yang disalin di bawah pengawasan
Rasulullah saw. Dengan pembatasan ini, Zaid meyakinkan bahwa semua materi
yang ia teliti memiliki tingkatan yang sama.
Di dorong oleh semangat yang meluap dari para pelaku pengumpul Al-Qur’an,
proyek tersebut berkembang menjadi upaya masif yang mengikutsertakan
partisipasi semua sahabat. Langkah-langkah partisapasi para sahabat digambarkan
sebagai berikut.
1)      Khalifah Abu Bakar mengeluarkan undangan umum memberi peluang kepada
setiap orang yang mampu untuk ikut berpartisipasi
2)      Proyek pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an tersebut dilakukan di dalam
Masjid Nabawi sebagai pusat berkumpulnya kaum muslim
3)      Dalam memberi respon terhadap instruksi seorang khalifah, Umar berdiri di
depan pintu gerbang masjid dan mengumumkan kepada setiap orang yang
memiliki tulisan Al-Qur’an yang dibacakan oleh Rasulullah saw. agar
membawanya ke masjid. Bilal juga mengumumkan hal yang sama ke seluruh
sudut-sudut kota Madinah.
Upaya yang dilakukan Zaid sebagai ketua pengumpul Al-Qur’an adalah
penyusunan semua surah dan ayat secara tepat. Sebagai seorang putra Madinah
kemungkinan besar ia menggunakan script dan ejaan Madinah yang umum atau
konvensional. Akan tetapi ukuran kepingan-kepingan kertas yang digunakan
untuk menulis Al-Qur’an tidak sama sehingga menjadikan tumpukan kertas itu
tidak tersusun rapi, karena itu dinamakan suhuf, tidak dinamakan mushaf
sebagaimana yang kita kenal saat ini.
Para ulama berpendapat bahwa penamaan Al-Qur’an dengan mushaf baru
muncul sejak saat itu, yaitu ketika Abu Bakar mengumpulkan Al-Quran. Ali bin
Abu Thalib mengatakan bahwa orang yang paling besar pahalanya berkenaan
dengan mushaf adalah Abu Bakar. Pengumpulan Al-Qur’an pada periode Abu
Bakar ini dinamakan dengan jam’ul Qur’an as-sani (pengumpulan Al-Qur’an
kedua).
Setelah semua terkumpul, kompilasi Al-Qur’an disimpan dalam arsip
kenegaraan di bawah pengawasan ketat khalifah Abu Bakar. Ketika Abu Bakar
wafat, tampuk kekhalifahan dipegang oleh Umar bin Khathab, himpunan Al-
Qur’an pun beralih ke tangan Umar bin Khathab.
3.    Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Umar bin Khathab
Pada masa khalifah Umar bin Khathab, terjadi penyebaran Al-Qur’an ke
wilayah-wilayah yang sudah menerima Islam. Penyebaran ini bukan sekedar
mengirimkan lembaran mushaf-mushaf, tetapi disertai pulan dengan
pengajarannya. Khalifah Umar mengirimkan sekurangnya sepuluh sahabat ke
Basrah untuk mengajarkan Al-Qur’an. Umar juga mengirim Mas’ud ke Kufah
untuk mengajarkan Al-Qur’an. Umar sangat menekankan pentingnya
mengajarkan Al-Qur'an dengan suhuf yang telah dibuat sebelumnya. Suatu ketika
ada sahabat yang mengabarkan seseorang mendiktekan Al-Qur’an kepada
masyarakat melalui hafalan di Kufah. Mendengar hal itu Umar marah besar.
Namun setelah mengetahui bahwa orang yang mendiktekan Al-Qur’an adalah
Ibnu Mas’ud, Umar menjadi tenang, karena ia teringat akan kemampuan dan
kepandaian Ibnu Mas’ud.
Selain mengirim utusan kedua tempat teresbut, Umar juga mengirim tiga
utusan ke Palestina, mereka adalah Muaz, Ubadah, dan Abu Darda’. Setelah
berdakwah dan mengajarkan Al-Qur’an di Homs salah satu dari mereka diutus
meneruskan perjalanan menuju ke Damaskus dan tempat lain di Palasetina. Umar
juga mengirimkan beberapa utusan ke negara dan wilayah-wilayah lain untuk
mengajarkan Al-Qur’an.
Ketika Umar menginggal dunia, kekhalifahan di pegang oleh Utsman bin
Affan, dan untuk sementara waktu himpunan Al-Qur’an dirawat oleh Hafsah binti
Umar. Hal ini dikarenakan dua alasan, pertama, Hafsah adalah seorang penghafal
Al-Qur’an dan kedua, dia adalah salah satu istri Rasulullah saw. di samping juga
sebagai anak Umar bin Khaththab.
4.    Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Setelah wilayah kekuasaan islam semakin luas dan para pengajar Al-Qur’an
tersebar di pelbagai daerah, penduduk daerah tersebut biasanya mempelajari
qiraah (bacaan) ayat dan pengajar yang dikirim ke mereka. Pembacaan Al-Qur’an
yang mereka bawakan berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan huruf-huruf Al-
Quran. Dan juga karena kabilah dan provinsi mereka beragam, sejak awal mereka
memiliki dialek yang berlainan. Hal ini memaksa mereka membaca Al-Qur’an
dengan dialeknya secara spontan. Adanya perbedaan dalam melafalkan Al-Qur’an
mulai menampakkan keracuan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam.
Terkadang sebagian mereka merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-
perbedaan itu semuanya bersandar kepada Rasulullah saw., namun itu tidak
mampu membendung keraguan dalam benak generasi muda yang tidak sempat
berjumpa dengan Rasulullah saw. Sehingga terjadilah perselishan tentang bacaan
mana yang lebih benar.
Ketika penyerbuan Armenia dan Azerbeijan dari penduduk Irak, Hudzaifah bin
al-Yaman melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an,
sebagian bacaan itu bercampur dengan ketidakfasihan. Masing-masing mereka
mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang
yang menyalahi bacaannya, dan pada puncaknya mereka saling mengafirkan satu
sama lain. Melihat kenyataan itu Hudzaifah segera menghadap Utsman bin Affan
dan menceritakan keadaan yang terjadi di tengah masyarakat muslim di berbagai
daerah. Hudzaifah mengusulkan dan menyarankan agar Utsman segera
mengambil tindakan untuk mencegah keadaan menjadi semakin kacau.
Menanggapi usulan tersebut, Utsman bin Affan segera mengeluarkan kebijakan
untuk melakukan kodifikasi (pembukuan) Al-Qur’an lagi. Setidaknya ada dua
teori mengenai metode kodifikasi yang dilakukan Utsman, yaitu sebagai berikut.
Pertama, Utsman bin Affan menyalin suhuf yang berada di tangan Hafshah
Pada saat itu ia memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Abdurrahman bin Harits, dan Said bin Ash. untuk melakukan proses penyalinan
catatan Al-Qur’an hasil pengumpulan tahap pertama, yang mushafnya disimpan
oleh Hafshah. Kemudian salinan itu dikirim ke Kufah, Basrah, Damaskus, dan
Madinah. Sedangkan naskah yang asli disimpan oleh Utsman bin Affan sendiri,
yang kemudian dinamakan mushaful Imam, sedangkan catatan-catatan Al-Qur’an
yang lain dimusnahkan.
Kedua, Utsman membuat mushaf tersendiri kemudian dibandingkan dengan
suhuf yang ada di tangan Hafshah. Untuk mewujudakan hal itu, Utsman
membentuk tim pengumpul naskah Al-Qur’an yang terdiri dari dua belas sahabat,
yaitu Said bin al-Ash, Nafi’ bin Zubair bin Amr bin Naufal, Zaid bin Tsabit, Ubay
bin Ka’ab, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Hisyam, Kathir bin Aflah,
Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abu Amir, Abdullah bin Umar,
dan Abdullah bin Amru bin Ash. Metode penyusunan Al-Qur’an ini tidak ada
yang berbeda dengan metode yang dilakukan pada masa Abu Bakar.
Setelah semua naskah terkumpul, suhuf-suhuf itu disusun menjadi sebuah
mushaf (buku), kemudian naskah tersbut diverifikasi dan dibandingkan dengan
suhuf yang ada di tangan Hafshah. Lalu semuanya dibacakan di hadapan Utsman
dan para sahabat. Setelah tidak ada yang protes, Utsman mengirimkan duplikat
naskah mushaf untuk disebarluaskan ke seluruh wilayah negara Islam. Menurut
sebuah riwayat ada empat daerah yang dikirim salinan mushaf, yaitu Kuffah,
Basrah, dan Damaskus. Sedangkan yang satu lagi disimpan di Madinah. Riwayat
yang lain menambahkan di Mekkah, Yaman, dan Bahrain.
Setelah naskah disepakati dan dikirimkan ke barbagai belahan Arab, Utsman
memerintahkan para sahabat untuk memusnahkan suhuf-suhuf yang ada ada di
tangan masing-masing. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesatuan dan keragaman
dalam bacaan Al-Qur’an.
Arti penting kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan adalah sebagai
berikut:
a)      Menyatukan kaum muslim pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan
tulisannya
b)      Menyatukan bacaan, meskipun pada kenyataannya masih ada perbedaan cara
membaca, akan tetapi hal tersebut tidak berlawanan dengan ejaan mushaf
Utsmani. Bacaan yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani tidak diperbolehkan
lagi
c)      Menyatukan tata tertib susunan surah-surah, menurut tata tertib urut
sebagaimana  yang kita lihat pada mushaf-mushaf sekarang ini.

Mushaf Utsmani Sepeninggal Utsman bin Affan


Dalam perjalanannya, naskah Al-Qur’an berpindah-pindah tangan di antara
raja-raja Dinasti Umayyah. Ketika kerajaan mereka pindah ke Andalusia, naskah
ini pun dibawa ke sana.
Ibnu Bathutah, pengembala asal Maghribi pada abad ke delapan mengatakan
bahwa mushaful Imam itu berada di Bashrah. Seorang ulama mengatakan bahwa
menurut Tarikh Al-Qur’an dari Abu Abdillah Zanjani, pada tahun 1904 orang-
orang Islam dari Rusia mendirikan satu gedung kitab-kitab, dan setengah kitab
yang berada di sana berasal dari Bukhara. Salah satu dari kitab itu konon adalah
mushaful Imam.
Sampai sekarang setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah
salinan mushaf hasil pengumpulan Al-Quran yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit
pada masa Utsman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand
(Tasken, Ibukota Usbekistan) yang tertulis dengan khat kufy. Mushaf kedua
terdapat di museum Al-Husaini kairo Mesir. Sedangkan Mushaf ketiga dan
keempat terdapat di Istanbul Turki. Sampai sekarang umat Islam tetap
mempertahanka keberadaan mushaf yang asli apa adanya dan menjaganya sebagai
peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya.

C.PERBEDAAN MAKKI DAN MADANI


Ketentuan makki dan madani
1. Setiap surat yang mengandung ayat sajdah.
2. Setiap surat yang didalamnya terdapat lafaz Kalla. Lafaz tersebut dalam
Al-Qur’an disebutkan 33 kali dalam 15 surat.
3. Setiap surat yang terdapat seruan ‫ ياايهاالناس‬kecuali surat Al-Hajj:77
4. Setiap surat yang terdapat kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu
kecuali surat Al-Baqarah.
5. Setiap surat yang terdapat kisah nabi Adam dan Iblis kecuali surat Al-
Baqarah.
6. Setiap surat yang dimulai denga huruf Tahaji (huruf Hijaiyah) kecuali
surat Al-Baqarah dan Ali Imran.
Sedangkan dari segi ciri utama dan gaya bahasa yaitu:
1. Ajakan Tauhid kepada Allah dan beribadah pembuktian mengenai risalah
kebangkitan dan hari pembalasan, tentang kiamat, surga dan nikmatnya.
Neraka dan siksanya.argumentasi terhadap orang-orang musyrik dengan
menggunakan bukti-bukti rasional atau ayat kauniyah.
2. Penetapan dasar-dasar ibadah dan muamallah dan ketentuan umum
lainnya.
3. Menyebutkan kisah Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran.
4. Suku katanya pendek-pendek dan disertai dengan makna yang
mengesankan, pertanyaannya singkat menggetarkan hati dan maknanya
pun menyakinkan.

Ketentuan madani dan ciri khas:


1. Setiap surat yang mengandung Faridhah (kewajiban) dan Had(sanksi).
2. Setiap surat yang menyebutkan tentang hal ihwal orang munafik kecuali
surat Al-Ankabut.
3. Setiap surat yang membicarakan Mujadalah Ahl Kitab.
Sedangkan dari segi ciri khas tema dan gaya bahasa yaitu:
1. Penjelasan tentang ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad,
hubungan sosial, hubungan internasional, masalah perang dan masalah
Tasyri’.
2. Seruan terhadap Ahl Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, ajakan
mereka untuk masuk islam dan lain sebagainya.
3. Membicarakan tentang orang-orang munafik sifat-sifat orang munafik dan
membahas tentang rahasia mereka.
4. Pada umumya ayat-ayat dan suratnya panjang-panjang dan
menggambarkan luasnya akidah dan hukum islam.
BAB III
PENUTUP

Al quran menurut bahasa, di ambil dari kata kerja(quran ) yang bwerarti “bacaan”
sedangkan Al quran menurut istilah adalah Firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi muhamamad SAW yang mempunyai nilai ibadahbagi orang yang
membacanya.
Para ulama Al quran membagi sejarah turunya AL qur an dalam dua priode:
1.periode sebelum hijrah; dan 2. Periode sebelum hijrah. Ayat-ayat yang turun
pada periode pertama dinami ayat –ayat makkiyyah, dan ayat-ayat yang kedua
dinamai ayat-ayat madaniyyah.

Anda mungkin juga menyukai