Anda di halaman 1dari 21

Perbandingan Pembukuan Al-Qur’an Masa Abu Bakar dan Masa Utsman

Lusi
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri
(931322515)
085733683537

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci bagi orang Islam, baik ketika masih
hidup Rasullullah saw.maupun sesudah beliau wafat sampai sekarang. Baik yang
ada di kawasan timur tengah sampai di benua Eropa, Al-Qur’an yang dulu sampai
sekarang masih tetap sama. Para sejarawan dan kritikus sejarah, baik yang
orientalis maupun dari ilmuan Islam sendiri mencoba melakukan penelitan,
menulis dan mengangkat tema sentral yaitu Al-Qur’an dengan berbagai sudut
pandang. Ada yang melihat dari sudut bahasa dan sasteranya, ada yang melihat
dari sudut bentuk dan huruf yang digunakannya, ada yang melihat dari sudut
pandang apa yang dikandungnya dan ada yang melihat dari sudut pandang
krolologis turunya surah dan ayat. Kesemuanya itu memberikan gambaran bahwa
Al-Qur’an bagaikan lautan luas yang dalam dan pasti tidak akan pernah selesai
dalam memperbincangkannya.1

Secara terminologis, Al-Qur’a adalah firman Allah SWT. yang


disampaikan oleh Malaikat Jibril dengan redaksi langsung dari Allah SWT.
kepada Nabi Muhammad SAW. yang diterima oleh umat islam dari generasi ke
generasi tanpa ada perubahan.2Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan
kepada Rasul-Nya Muhammad Saw, yang keotentikan (keaslian) al-Qur’an
dijamin oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam Q. S al-Hijr
ayat 9, yaitu:

1
Nasruddin, “Sejarah Penulisan Alquran”, (Kajian Antropologi Budaya)”, Jurnal Rihlah Vol. II
No. 1 Mei 2015, hlm. 53
2
Anshori, Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), hlm. 18

1
  
  
 
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.”

Ayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa penurunan al-Qur’an dan


pemeliharaan kemurnian-Nya adalah merupakan urusan Allah SWT. Dia-lah yang
menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan
malaikat Jibril, dan Dia pulalah yang akan mempertahankan keaslian atau
orisinalitasnya sepanjang waktu. Namun demikian, tidak berarti kaum muslimin
boleh berpangku tangan begitu saja, tanpa menaruh kepedulian sedikitpun
terhadap pemeliharaan al-Qur’an. Sebaiknya kaum muslimin harus bersikap pro
aktif dalam memelihara keaslian kitab sucinya.3

B. Sejarah Pembukuan Al-Qur’an

Pemeliharaan Al-qur’an dilakukan melalui dua metode, yaitu dengan cara


menghafal dengan cara menulis/mengkodifikasinya. Dua metode ini dalam
literatur klasik ‘ulumul Qur’an biasa dikenal dengan istilah jam’u al-Qur’an yang
terjemahan bebasnya berarti pengumpulan Al-Qur’an. Karena itu, untuk
menyatukan persepsi tentang istilah jam’u al-Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an)
harus dijelaskan terlebih dahulu apa hakikat istilah tersebut. Setidaknya ada dua
pengertian yang terakomodasi di dalam istilah jam’u al-Qur’an, yaitu:

Pertama: kata pengumpulan dalam arti penghafalannya di dalam lubuk


hati, sehingga orang-orang yang hafal Al-Qur’an disebut jam’u al-Qur’an atau
huffadz Al-Qur’an.

Kedua: kata pengumpulan dalam arti penulisannya, yakni penghimpunan


seluruh Al-Qur’an dalam bentuk tulisa, yang memisahkan masing-masing ayat
dan surah, atau hanya mengatur susunan ayat-ayat Al-Qur’an saja dan mengatur

Muhammad Ichsan, Sejarah Penulisan Dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
3

Muhammad Saw Dan Sahabat, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012, hlm. 1

2
susunan semua ayat dan surah di dalam beberapa shahifah yang kemudian
disatukan sehingga menjadi suatu koleksi yang merangkum semua surah yang
sebelumnya telah disusun satu demi satu.

Terhadap kedua pengertian pengumpulan diatas dipahami dari firman


Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 17:

  


 
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya
Maka ikutilah bacaannya itu.
Dan juga firman Allah dalam surah Al-Hiijr ayat 9:

  


  
 
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.
Pengumpulan Al-Qur’an dalam arti penghafalan, sebenarnya telah
terproses pada Masa nabi Muhammad Saw., yaitu ketika Allah SWT
menyemayamkannya ke dalam lubuk hati Nabi secara mantap sebelum orang lain
menghafalnya terlebih dahulu.4

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Saw. yang ummi (tidak pandai


membaca dan menulis). Demkikian itu, memang diakui karena beliau memang
tidak pernah belajar membaca dan menulis kepada seseorang gurupun. Oleh
karena itu, perhatian Nabi hanyalah tertumpu pada cara yang lazim dilakukan oleh
orang-orang yang ummi, yaitu dengan cara mneghafal dan menghayatinya,
sehingga dengan cara demikian beliau dapat menguasai Al-Qur’an persisi
sebagaimana halnya diturunkan. Kemudian setelah itu, ia lalu membacakannya
kepada sejumlah sahabatnya, agar mereka dapat pula menghafal dan

Anshori, Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, hlm. 80


4

3
memantapkannya di dalam lubuk hati meraka. Allah SWT berfirman dalam surat
Al- Jumu’ah ayat 2:

   


  
  
 
  
    
 
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Dengan demikian, Nabi Saw., dikenal sebagai sayyid al-huffazh dan


awwalu jumma al-Qur’an (manusia pertama penghafal Al-Qur’an), yang
selanjutnya beliau berperan sebagai transformator Al-Qur’an terhadap sejumlah
Al-Qur’an terhadap sejumlah sahabat pilihan yang hidup sezamannya. Ibnu
Jazzari mengatakan bahwa penghimpunan Al-Qur’an lewat penghafalan di dada
adalah ciri termulia yang merupakan karunia Allah SWT kepada umat ini. Justru
dengan cara inilah Al-Qur’an akan tetap terbaca dalam keadaan bagaimanapun,
baik ketika tertisur maupun terjaga, yang tidak akan luntur karena air seperti
lunturnya tulisan bila kena air. Sementara itu, upaya pengumpulan Al-Qur’an
dalam arti penulisan juga sudah ada masa itu, meskipun belum dalam kondisi
yang seperti sekarang. Penulisannya masih bervariatif dan dalam lembaran-
lembaran yang terpisah atau dalam bentu ukiran pada beberapa jenis benda yang
dapat mereka jadikan sebagai alat tulis menulis ketika itu.5

Pengumpulan Al-Qur’an dalam arti penulisan dan pembukuan ada tiga


tahap, yaitu: pengumpulan pertama, pada masa Rasulullah SAW, pengumpulan
kedua pada masa khalifah Abu Bakar, dan pengumpulan ketiga pada masa
Khalifah Ustman bin Affan.
5
Anshori, Ulumul Qur’an Kaidahkaidah Memahami Firman Allah, hlm. 81

4
Pengumpulan pada masa Rasulullah SAW. adalah upaya penulisan dan
pembukuan (penyusunan surat dan ayat secara sistematis).6 Upaya pemeliharaan
Al-Qur’an pada masa Nabi mulai dilakukan, baik secara hafalan seperti yang
dilakukan oleh Nabi sendiri dan diikuti juga para sahabatnya, maupun secara
penulisan yang dilakukan oleh para sahabat pilihan atas perintah Nabi Muhammad
SAW. Dalam hal ini setiap kali Nabi selesai menerima ayat-ayat Al-Qur’an yang
diwahyukan kepadanya, Nabi lalu memerintahkan kepada para sahabat tertentu
untuk menuliskannya dipelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan
kepingan-kepingan tulang, disamping juga menghafalnya.7Mereka menuliskannya
dengan sangat hati-hati, karena Al-Qur’an adalah firman Allah yang menjadi
pedoman hidup bagi segenap umat muslim. Rasulullah memberi nama surat, juga
urutan-urutannya dan tertib ayatnya sesuai dengan petunjuk Allah. Pada masa
Rasulullah tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam satu mushaf.8

Setiap kali ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW.


beliau segera menyampaikannya kepada para sahabat ra seperti yang telah beliau
terima dari malaikat jibril, tanpa perubahan, pengurangan dan penambahan
sedikitpun. Disamping itu, Rasulullah SAW juga menganjurkan kepada para
sahabat yang telah menerimanya untuk menyampaikannya lagi kepada para
sahabat lain yang belum mendengarnya secara langsung dari beliau, terutama
kepada para anggota keluarga mereka, para tetangga dan handaitolan yang telah
memeluk agama islam. Melalui cara yang telah ditempuh oleh Nabi, maka semua
ayat-ayat Al-Qur’an dan seluruh ajaran yang terkandung didalamnya dapat
diketahui dan diamalkan oleh para sahabat secara merata meskipun tidak semua
mereka pernah mendengarnya secara langsung dari beliau. Bahkan menjelang
wafatnya Nabi semua ajaran Al-Qur’an itu telah diimani dan diamalkan oleh
semua orang yang hidup di Jazirah Arab. Semua struktur, tatanan, dan konstalasi
kehidupan mereka mengalami perubahan, sesuai dengan yang diajarkan oleh

6
Fahd bin Abdurrahman Ar Rumi, Ulumul Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Titian Ilahi Pers, 1996), hlml.143
7
Anshori, Ulumul Qur’an Kaidahkaidah Memahami Firman Allah, , hlm. 81-82
8
Abdurrahman Dudung, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern,
(Yogyakarta: Fak. Adah,2002), hlm. 57

5
AlQur’an baik yang berkenaan dengan kepercayaan maupun sikap, kekeluargaan,
pergaulan kemasyarakatan, dan sebagainya.9

Setelah Nabi wafat, Abu Bakar terpilih menjadi khalifah dari kelompok
Muhajirin meskipun beliau sudah lanjut usia.10 Sejumlah kemajuan telah dicapai
pada masa kekhalifahannya. Selain menumpas para pemberontak (kemurtadan dan
dan nabi palsu Musyailamah dan Tulaihah) dan memperluas daerah Islam, Abu
Bakar juga telah berjasa dalam gagasannya melakukan pengumpulan naskah-
naskah Al-Qur’an yang sebelumnya masih berserakan (kodifikasi Al-Qur’an).11

Pada masa Khalifah Abu Bakar terjadi Yammah, yang mana dalam perang
tersebut sedikitnya 1000 pasukan Muslim gugur, 450 diantaranya dari kalangan
sahabat. Banyak korban yang berjatuhan dari kalangan ahli baca Al-Qur’an.
Kemudian informasi ini sampai ketelinga Umar bin khatab, lalu beliau
memikirkan akan nasib A-Qur’an. Beliau khawatir akan banyak lagi korban yang
ahli baca Al-qur’an berjatuhan lagi, sehingga menyebabkan banyak (ayat dan
surat) Al-Qur’an yang juga akan hilang.12Umar menyarankan kepada Abu Bakar
agar menghimpun surah-surah dan ayat-ayat yang masih berserakan ke dalam satu
mushaf. Awalnya Abu Bakar keberatan karena hal semacam itu tidak dilakukan
oleh Rasulullah. Umar meyakinkan kepada Abu bakar bahwa hal itu semata-mata
untuk melestarikan Al-Qur’an. Akhirnya Abu Bakar menyetujuinya.Zaid Ibn
Tsabit menerima tugas untuk memimpin pengumpulan itu, dengan berpegang
pada tulisan yang tersimpan dirumah Rasulullah, hafalan-hafalan dari sahabat,
naskahh-naskah yang ditulis oleh para sahabat untuk dirinya sendiri Zaid menjadi
salah seorang penulis ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan ketekunan dan kesabaran Zaid
berhasil menuliskan satu naskah Al-Qur’an lengkap diatas adim (kulit yang

9
Athaillah, Sejarah Al-Qur’an; Verifikasi tentang Otensitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 182-183
10
Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam Dari Arab SebelumIslam Hingga Dinasti-dinasti
Islam, (Yogyakarta: Teras,2012), hlm. 56
11
Ibid., hlm. 58
12
Abd. Al-Shabur Syahin, Saat Al-Qur’an Butuh Pembelajaran, (Kairo:Erlangga, 2005), hlm. 183

6
disamak) setelah selesai, mushaf tersebut diserahkan kepada Abu Bakar dan
disimpannya sampai ia wafat.13

Zaid tidak hanya sekedar menghimpun catatan-catatan tertulis yang


sebetulnya sudah ada sejak zaman Rasulullah. Zaid juga mencocokan catatan-
catatan yang ia kumpulkandengan hafalan para sahabat.14Keputusan Abu Bakar
untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf merupakan keputusan yang
paling genting yang pernah ia putuskan selama hidupnya. Keputusan ini juga
merupakan langkah terbesar yang pernah diputuskan dalam sejarah umat Islam.15

Dimasa Utsman bin Affan, timbul perbedaan cara membaca Al-Qur’an


(qira’ah) dikalangan umat islamini disebabkan karena sikap Rasul yang memberi
kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab untuk membaca dan menghafalkan Al-
Qur’an menurut lahjah (dialek) masing-masing. Seiring dengan adanya
perluasanwilayah islam dan bertambah banyaknya bangsa-bangsa yang memeluk
Islam, cara membaca Al-Qur’an pun semakin bervariasi (berbagai dialek).16Pada
masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman
dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya
perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal
ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk
membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang
ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian
dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga
saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan
standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan
proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di
antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Naskah itu kemudian disempurnakan oleh dua orang pejabat Umayyah, Ibn

13
Abdurrahman Dudung, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, hlm. 58
14
Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), hlm. 86
15
Abd. Al-Shabur Syahin, Saat Al-Qur’an Butuh Pembelajaran, hlm. 187
16
Abdurrahman Dudung, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, hlm. 58

7
Muqlah dan Ibn ‘Isa pada 933 dengan bantuan Ibn Mujahid. Ibn Mujahid
mengenali adanya tujuh corak pembacaan Al-Qur’an, yang berkembang karena
tidak adanya huruf vokal dan tanda baca. Kendatipun begitu, ada satu konsekuensi
yang harus diterima oleh umat Islam akibat kebijakan khalifah Utsman bin affan.
Kalau dirunut ulang dari awal, bahwa sebelum pembukuan Al-Qur’an, kita tidak
bisa membayangkan betapa banyak ragam bacaan pada saat itu.

Al-Qur’an begitu sangat plural, kaya akan bacaan dan maknanya. Tetapi
searah dengan kebijakan politik khalifah Utsman, AlQur’an menjadi tampil dalam
bentuk tunggal, Al-Qur’an versi mushaf Utsmani. Inilah mushaf yang dianggap
paling sah dan benar sampai sekarang. Tentunya, sah dan benar dalam pandangan
khalifah saat itu yang memiliki inisiatif dan otoritas untuk membukukannya. Dari
sudut pandang ini, tampilnya mushaf versi Utsman sebagai mushaf resmi Umat
Islam tidak lain adalah hasil dari tafsiran atas berbagai mushaf yang berkembang
pada saat itu, yang didalamnya melibatkan proses selektifitas, pembuangan dan
penambahan. 17

C. Perbedaan Pembukuan Al-Qur’an Masa Abu Bakar dan Masa Utsman.


1. Motif/ Latar Belakang Pembukuan
a. Pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq
Pada dasarnya selurh Al-Qur’an sudah ditulis pada masa Nabi. Hanya
saja, surat-surat dan ayatn-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Orang
yang pertama kali menyusunya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar As
Shiddiq. Penulisan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang baru, sebab Rasulullah
sendiri pernah memerintahkannya. Hanya saja, saat itutulisan Al-Qur’an
berpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit unta dan bantalan dari
kayu.18

17
Cahaya Khaeroni, SEJARAH AL-QUR’AN (Uraian Analitis, Kronologis, dan Naratif tentang
Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an) , Jurnal HISTORIA Volume 5, Nomor 2, Tahun 2017, hlm. 198
18
Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Quran, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm. 75

8
Pengumpulan Al-Qur’an dilatarbelakangi oleh peristiwa setelah
19
peprangan Yamamah pada tahun kedua Hijriah. Belum setahun setelah
Rasulullah wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah telah terjadi peperangan
sengit di Yamamah antara kaum Muslimin disatu pihak dan para pengikut
Musailamah al-Kayyab (si pembohong) dipihak lain. Dalam peperangan
tersebut pasukan kaum muslim dibawah panglima perang, Khalid Ibn Walid
berjumlah 4000 orang dan ada pula yang mengatakan berjumlah 13.000
orang. Diantara mereka itu terdapat sejumlah besar qurra (para qari) dan
haffazh (para hafizh) al-Qur’an. Sebaliknya, pasukan dipihak Musailamah
berjumlah 10.000 orang. Meskipun dalam peperangan itu kaum Muslimin
dapat memperoleh kemenangan, kemengangan tersebut harus mereka bayar
dengan tewasnya sejumlah besar sahabat. Menurut sebuah riwayat, jumlah
dari kalangan Muslimin yang syahid sebanyak 1.000 orang, terdiri atas 450
orang sahabat dan sisanya kaum muallaf. Menurut riwayat yang lain, mereka
yang syahid itu sekitar 1.200 orang dan diantara mereka terdapat sekitar 360
orang dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Bahkan diantara mereka yang
syahid itu terdapat 70 orang qari dan hafizh Al-Qur’an. Disamping itu ada
pula yang mengatakan lebih daripada itu. Mengingat dari akibat peristiwa
tersebut, khususnya yang berkenaan dengan banyaknya para qari dan hafizh
Al-Qur’an yang syahid dipeperangan itu telah menimbulkan kekhawatiran
pada Umar Ibn Khatab akan banyak lagi para qari dan hafizh Al-Qur’an yang
syahid atau wafat, baik dalam peperangan maupun lainnya. Dalam pandangan
Umar, dengan banyaknya para qari dan hafizh Al-Qur’an yang wafat akan
membawa implikasi pula kepada banyaknya Al-Qur’an yang hilang. Karena
dilatarbelakangi kekhawatiran tersebut, Umar kemudian menyampaikan ide
untuk mengumpulkan Al-Qur’an kepada Khalifah Abu Bakar.
Menurut riwayat, pada mulanya Abu Bakar merasa ragu untuk dapat
merealisasikan ide Umar itu, karena menurut pandangannya, Rasulullah saw
sendiri tidak pernah melaksanakanny. Namun, karena Umar terus saja

Fahd bin Abdurrahman Ar Rumi, Ulumul Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Yogyakarta:
19

Titian Ilahi Pers, 1996), hlm.150

9
mendesaknya dengan mengingatkan kebaikan yang akan diperoleh dari
pengumpulan Al-Qur’an itu, akhirnya Abu Bakar bersedia
melaksanakannya.20
b. Pada Masa Utsman Ibn Affan

Dalam perjalanan selanjutnya, ketika jabatan khalifah dipegang


Utsman bin Affan dan Islam tersiar secara luas sampai ke Syam (Syria), Irak,
dan lainlain, ketika itu timbul pula suatu peristiwa yang tidak diinginkan
kaum muslimin. Ketika khalifah Utsman mengerahkan bala tentara Islam ke
wilayah Syam dan Irak untuk memerangi penduduk Armenia dan Azarbaijan,
tiba-tiba Hudzaifah bin al-Yaman menghadap khalifah Utsman dengan
maksud memberi tahu khalifah bahwa di kalangan kaum muslimin di
beberapa daerah terdapat perselisihan pendapat mengenai tilawah (bacaan) al-
Qur’an. Dari itu, Huzaifah mengusulkan kepada Utsman supaya perselisihan
itu segera dipadamkan dengan cara menyalin dan memperbanyak al-Qur’an
yang telah dihimpun di masa Abu Bakar untuk kemudian dikirimkan ke
beberapa daerah kekuasaan kaum muslimin. Dengan demikian diharapkan
agar perselisihan dalam hal tilawah al-Qur’an ini tidak berlarut-larut.
Perbedaan itu terlihat pada waktu pertemuan pasukan perang Islam yang
datang dari Irak dan Syria. Mereka yang datang dari Syam (Syria) mengikuti
qira’at Ubai bin Ka’ab, sementara mereka yang berasal dari Irak membaca
sesuai qira’at Ibnu Mas’ud. Tak jarang pula, di antara mereka yang mengikuti
qira’at Abu Musa al-Asy’ariy.Sangat disayangkan, masing-masing pihak
merasa bahwa qira’at yang dimilikinya lebih baik. Hal ini membuat para
sahabat prihatin, karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan
penyimpangan dan perubahan.21

Adapun tokoh-tokoh yang memang bacaanya berlainan itu ialah:

20
Athaillah, Sejarah Al-Qur’an; Verifikasi tentang Otensitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm. 214-215
21
Muhammad Ichsan, Sejarah Penulisan Dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
Muhammad Saw Dan Sahabat, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012, hlm. 5-6

10
1. Di Madinanh, Imam Nafi’ bin Abi Na’iem, ia belajar kepada 70 ahli
qiraat, bekas murid dari Abdullah bin Abbas r.a . Imam nafi’ meninggal
pada tahun196 H.
2. Di Makkah, Imam Abdullah bin Katsir, ia belajar Al-Quran kepada Zaid
bin Tsabit r.a dan lain-lainnya. Ia meninggal tahun 120 H.
3. Di Basrah, Imam Abu Amr bin Al- Alla, ia belajar kepada Sa’isd bin
Jubair dan lain-lainnya. Ia meninggal tahun 155 H.
4. Di Dimasyq (Syam), Imam Abdullah bin Amir, ia belajar kepada
Mughirah bin syu’bah yang pernah belajar kepada Utsman bin Affan. Ia
meninggal tahun 118 H.
5. Di Kuffah, Imam Abu Bakar Aashim bin Najwad, ia belajar kepada
Abdullah As-Sulami dan Zur bin Hubaisy, yang mereka itu pernah berguru
kepada Utsman bin Affan.
6. Pula di Kuffah, Imam Hamzah bin Hubaib, ia belajar pada Said Ja’far As-
Shiddiq, yang sanad qiraat beliau ini sampai kepada Ali bin Abi Thalib.
7. Masih di Kuffah, Imam Ali bin Hamzah Al- Kusai, ia berguru kepada
Imam Hamzah bin Hubaib.22

Pada awalnya, perbedaan bacaan dikalangan sahabat tidak


dipermasalahkan, bahkan pada masa Rasulullah Saw perbedaan bacaan
tersebut diakui, seperti kata imdhi= sir= pergilah, ‘ajjil= asri’= bersegeralah;
akhkhir=amhil= tundalah. Akan tetapi setelah Rasulullah wafat, perbedaan ini
semakin meruncing, yakni pada masa khalifah Utsman bin Affan, sampai-
sampai terjadi percekcokan antara murid dan gurunya. Setelah mendengar
laporan dari Huzaifah dan melihat langsung fenomena yang tejadi di kalangan
umat Islam, Utsman bin Affan kemudian mengutus orang meminjam mushaf
yang ada pada Hafsah istri Rasulullah Saw untuk diperbanyak.23

2. Panitia/ Pelaksana
a. Panitia pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq

M.Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 31
22

Muhammad Ichsan, Sejarah Penulisan Dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
23

Muhammad Saw Dan Sahabat, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012, hlm. 6

11
Dalam tahap penghimpunan Al-Qur’an, Abu Bakar mengangkat
semacam panitia atau rajnan penghimpunan Al-Qur’an yang terdiri ats empat
orang dengan komposisi kepanitiaan sebagai berikut: Zaid Ibn Tsabit sebagai
ketua, dan tiga orang lainnya yakni Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib,
dan Ubay Ibn ka’ab, masing-masing bertindak sebagai anggota. Panitia
penghimpunan yang semuanya hafal dan penulis Al-Qur’an termasyur
itudapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu kurang dari satu tahun, yakni
sesudah peristiwa peperangan Yamamah (12 H/633 M) dan sebelum wafat
Abu Bakar (13 H/ 634 M) tanpa mengalami hambatan yang berarti. 24Perlu
diketahui juga bahwa metode yang ditempuh Zaid ibn Tsabit dalam
pengumpulan Al-Qur’an terdiri dari empat prinsip: Pertama, apa yang ditulis
dihadapan Rasul. Kedua, apa yang dihafalkan oleh para sahabat. Ketiga, tidak
menerima sesuatu dari yang ditulis sebelum disaksikan (disetujui) oleh dua
orang saksi, bahwa ia pernah ditulis dihadapan Rasul. Keempat, hendaknya
tidak menerima dari hafalan para sahabat kecuali apa yang telah mereka
terima dari Rasulullah saw. 25
Pengumpumpulan AL-Qur’an yang dilakukan oleh Zaid pada periode
ini dengan berpijak pada tiga hal, yaitu:
1) Ayat Al-Qur’an yang ditulis Nabi dan yang disimpan dirumah
beliau.
2) Ayat-ayat yang ditulis adalah yang dihafal para sahabat yang hafal
(haffizh) Al-Qur’an.
3) Penulisan dipersaksikan kepada dua orang sahabat bahwa ayat-ayat
tersebut benar-benar ditulis dihadapan Nabi pada saat masa
hidupnya.26
Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an, Zaid bin Tsabit
bekerja sangat teliti. Sekalipun beliau hafal al-Qur’an seluruhnya, tapi untuk

24
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Grafindo Persada, 2013), hlm. 50-51
25
Cahaya Khaeroni, Sejarah Al-Qur’an (Uraian Analitis, Kronologis, dan Naratif tentang Sejarah
Kodifikasi Al-Qur’an), Jurnal HISTORIA Volume 5, Nomor 2, Tahun 2017, ISSN 2337-4713 (e-
ISSN 2442-8728), hlm. 198
26
Anshori, Ulumul Qur’an Kaidahkaidah Memahami Firman Allah, , hlm. 90-91

12
kepentingan pengumpulan al-Qur’an yang sangat penting bagi umat Islam,
masih memandang perlu mencocokkan hafalan atau catatan sahabat-sahabat
yang lain dengan menghadirkan beberapa orang saksi. Dengan selesainya
pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu mushaf dengan urutan-urutan
yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw, Zaid bin Tsabit kemudian
menyerahkannya kepada Abu Bakar sebagai khalifah pada saat itu. Muzhaf
ini tetap dipegang khalifah Abu Bakar hingga akhir hayatnya. Kemudian
dipindahkan ke rumah Umar bin Khatab selama pemerintahannya. Sesudah
beliau wafat, Mushaf itu ipindahkan ke rumah Hafsah, putri Umar, dan juga
sebagai istri Rasulullah Saw sampai masa pembukuan di masa khalifah
Utsman bin Affan. Mushaf itu tidak diserahkan kepada khalifah sesudah
Umar, alasannya adalah sebelum wafat, Umar memberikan kesempatan
kepada enam orang sahabat diantaranya Ali bin Abi Thalib untuk
bermusyawarah memilih seorang di antara mereka menjadi khalifah. Kalau
Umar memberikan mushaf yang ada padanya kepada salah seorang di antara
enam sahabat itu, Ia khawatir dipahami sebagai dukungan kepada sahabat
yang memegang mushaf.15 Padahal Umar ingin memberkan kebebasan
kepada para sahabat untuk memilih salah seorang dari mereka menjadi
khalifah.27
b. Pada Masa Utsman Ibn Affan
Utsman bin Affan memilih empat orang untuk menyalin mushaf-
mushaf diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit dengan tiga orang anggotanya
masing-masing Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash, Abdul al-Rahman bin
alHarits bin Hisyam. Diantara ketiganya tersebut berasal dari suku Quraisy.
‘Utsman menanyakan kepada para sahabat: “siapakah yang paling pantas
menulis?” Mereka menjawab: “Penulis Rasul adalah Zaid bin Tsabit.”
‘Utsman bertanya lagi: “Siapa yang “paling Arab?” (dalam riwayat lain

Muhammad Ichsan, Sejarah Penulisan Dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
27

Muhammad Saw Dan Sahabat, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012, hlm. 5

13
“paling fasih?”) Mereka menjawab: Sa’id mendiktekan, sedangkan Zaid yang
menulis.28
Tugas panitia ini ialah membukukan al-Qur’an, yakni menyalin
lembaranlembaran yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar menjadi
beberapa mushaf. Dalam pelaksanaan tugas ini, Utsman menasehatkan
supaya: a. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur’an.
b. Kalau ada pertikaian antara mereka mengenai bahasa (bacaan), maka
haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab al-Qur’an itu
diturunkan menurut dialek mereka. Maka dikerjakanlah oleh panitia kepada
mereka, dan setelah tugas itu selesai, maka lembaran-lembaran yang dipinjam
dari Hafsah itu dikembalikan kepadanya. Kemudian Utsman bin Affan
memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan
al-Qur’an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Mushaf yang ditulis
oleh panitia adalah lima buah, empat di antaranya dikirim ke Makkah, Syiria,
Basrah dan Kufah, dan satu mushaf lagi ditinggalkan di Madinah, untuk
Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan Muzhaf al-Imam.29
Untuk merealisasikan keputusan tersebut, maka khalifah Utsman
mengirim sepucuk surat kepada Hafsah, berisi permintaan agar Hafsah
mengirimkan mushaf (yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar) yang
disimpannya untuk disalin menjadi beberapa naskah. Selanjutnya khalifah
Utsman menugaskan kepada komisi berempat yang terdiri dari shahabat
pilihan yang bacaan dan hafalannya dapat dihandalkan, yaitu Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubeir, Said bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits untuk
bekerjasama menyempurnakan bacaan Al-Quran yang tertulis dalam mushaf
Abu Bakar serta menyalinnya menjadi beberapa naskah. Mereka itu
semuanya berasal dari suku Quraisy Muhajjirin kecuali Zaid bin Tsabit. Ia
berasal dari kaum Anshar Madinah.

28
Ar-Rumi, Fahd Bin Abdurrahman, Ulumul Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996), hlm. 158-159
29
Muhammad Ichsan, Sejarah Penulisan Dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
Muhammad Saw Dan Sahabat, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012, hlm. 6

14
Pelaksanaan gagasan yang mulia ini dilakukan pada tahun ke-25
hijrah. Namun sebelum komisi bekerja, khalifah Utsman terlebih dahulu
memberikan pengarahan antara lain katanya :
“Bila anda sekalian (bertiga, kaum Quraisy) ada perselisihan pendapat
tentang bacaan dengan Zaid bin Tsbait, maka tulislah berdasarkan bacaan
(dialek) Quraisy, karena Al-Quran (pada pokoknya) diturunkan dengan
bahasa Quraisy”.
Setelah pekerjaan berat team ini selesai, lalu khalifah Utsman
menyerahkan kembali mushaf yang asli itu kepada Hafsah. Dan selanjutnya
beberapa naskah salinannya dikirim ke berbagai kawasan Islam. Di samping
memerintahkan supaya catatan tentang ayat-ayat Al-Quran atau mushaf-
mushaf lainnya yang bertebaran dikalangan kaum muslimin, segera dibakar.
Sebab, jika semua mushaf dengan bermacam-macam cara penulisannya itu
dipertahankan, maka sudah barang tentu akan menambah tajamnya
pertengkaran dan permusuhan. Apalagi kehidupan kaum muslimin ketika itu
sudah agak jauh dari kehidupan semasa Rasulullah masih hidup.30
3. Penulisan/ Rasm
a. Pada pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq
Adapun karakteristik penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar ini adalah:
1. Seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf
berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
2. Meniadakan ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh.
3. Seluruh ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya.
4. Dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qira’at)
sebagaimana yang ditulis pada kulit unta pada masa Rasulullah.31

Mushaf yang dihimpun pada zaman Khalifah Abu Bakar terdapat beberapa
keistimewaan:

1. Penyelidikan yang mendetail dan konfirmasi yang sempurna.

30
Ali Akbar, Membalik Sejarah Pengumpulan Dan Penulisan Al-Quran
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki , (Jakarta:
31

Ciputat Press. Cet. II), 19

15
2. Tidak ditulis kecuali telah nyata bebas dari nasakh bacaanya secara
konfirmatif.
3. Semua ayat-ayat tersebut telah nyata mutawatir dan berdasarkan pada
kata sepakat umat.
4. Mushafnya meliputi semua qira’at yang tujuh, yang dinukil secara
konfirmatif dan sah.
b. Pada Masa Utsman Ibn Affan
Tulisan yang dipakai oleh panitia dalam mushaf imam dan
menggandakannya adalah juga tulisan yang telah dipakai dalam menulis Al-
Qur’an pada zaman Rasulullah SAW yaitu tulisan Kuffi, yang tidak
menggunakan titik dan baris. Disamping itu, para sahabat dalam menulis Al-
Qur’an pada masa Rasulullah SAW belum memiliki standar penulisan yang
sudah baku. Begitu pula dengan penulisan Al-Quran dalam mushaf Utsmani.
Karena itu tidaklah mengherankan jika di dalam mushaf itu banyak dijumpai
bentuk penulisan kata dengan huruf yang tidak persis sama dengan
pengucapannya dan berbeda dengan penulisan huruf Arab sistem imlai yang
sesuai dengan bunyi kata yang diucapkan, tanpa ada tambahan, pengurangan,
penggantian dan perubahan. Bentuk yang dipakai oleh para sahabat dalam
menulis ayat-ayat Al-Qur’an di dalam mushaf Utsmani itulah yang dinamai
Rasm Utsmani . bentuk tulisan yang membedakannya dari tulisan imlai
tersebut, antara lain berupa hayf, ziyadah, badal, fashl, dan washal.32

Beberapa karakteristik mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa Utsman ibn
‘Affan antara lain:

1. Ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang


mutawatir.
2. Tidak memuat ayat-ayat yang mansukh.
3. Surat-surat maupun ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib
sebagaimana al-Qur’an yang kita kenal sekarang. Tidak seperti
mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa Abu Bakar yang hanya

32
Athaillah, Sejarah Al-Qur’an; Verifikasi tentang Otensitas al-Qur’an , hlm.255-256

16
disusun menurut tertib ayat, sementara surat-suratnya disusun menurut
urutan turun wahyu.
4. Tidak memuat sesuatu yang tidak tergolong al-Qur’an, seperti yang
ditulis sebagian sahabat Nabi dalam masing-masing mushafnya,
sebagai penjelasan atau keterangan terhadap makna ayat-ayat tertentu.
5. Dialek yang dipakai dalam mushaf ini hanya dialek Quraisyi
sekalipun pada mulanya diizinkan membacanya dengan menggunakan
dialek lain.
4. Penyebaran Al-Qur’an Hasil Kodifikasi
a. Pada pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq

Dengan selesainya pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an dalam satu


mushaf dengan urutan-urutan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw,
Zaid bin Tsabit kemudian menyerahkannya kepada Abu Bakar sebagai
khalifah pada saat itu. Muzhaf ini tetap dipegang khalifah Abu Bakar hingga
akhir hayatnya. Kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khatab selama
pemerintahannya. Sesudah beliau wafat, Mushaf itu ipindahkan ke rumah
Hafsah, putri Umar, dan juga sebagai istri Rasulullah Saw sampai masa
pembukuan di masa khalifah Utsman bin Affan. Mushaf itu tidak diserahkan
kepada khalifah sesudah Umar, alasannya adalah sebelum wafat, Umar
memberikan kesempatan kepada enam orang sahabat diantaranya Ali bin Abi
Thalib untuk bermusyawarah memilih seorang di antara mereka menjadi
khalifah. Kalau Umar memberikan mushaf yang ada padanya kepada salah
seorang di antara enam sahabat itu, Ia khawatir dipahami sebagai dukungan
kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal Umar ingin memberkan
kebebasan kepada para sahabat untuk memilih salah seorang dari mereka
menjadi khalifah.33

Dengan sangat teliti dan penuh kehati-hatian, akhirnya Zaid berhasil


menghimpun catatan-catatan yang berserakan itu ke dalam satu naskah yang

Muhammad Ichsan, Sejarah Penulisan Dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
33

Muhammad Saw Dan Sahabat, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jurnal Substantia, Vol. 14,
No. 1, April 2012, hlm. 5

17
kemudian disebut dengan “Mushaf Al-Quran”. Setelah selesai mngerjakan
pekerjaan berat itu, Zaid menyerahkan mushaf itu kepada khalifah Abu
Bakar, yang kemudian mushaf itu di pegang oleh khalifah sendiri hingga
wafatnya. Setelah ia wafat pada tahun 13 hijrah, mushaf Al-Quran yang satu
itu selanjutnya dipegang oleh khalifah Umar bin Khattab, dan sepeninggal
khalifah Umar mushaf Al-Quran itu disimpan di rumah salah seorang
putrinya yang bernama Siti Hafsah r.a, isteri Nabi Muhammad Saw.
Kemudian pada permulaan pemerintahan khalifah Utsman, mushaf itu
dimintanya dari tangan Hafasah r.a.34

setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-Qur’an itu disimpan


khalifah Umar. Setalah Umar wafat, mushaf itu disimpan Hafsah, bukan oleh
Utsman Bin Affan sebagai khalifah yang menggantikan Umar. Timbulnya
pertanyaan, mengapa mushaf itutidak diserahkan kepada khalifah setelah
Umar? Pertanyaan itu logis. Menurut Zurzur, umar mempunyai pertimbangan
lain. Sebelum wafat Umar memberikan kesempatan kepada enam sahabat
untuk bermusyawah memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi
khalifah. Kalau Umar memberikan Mushaf kepada salah seorang diantara
enam sahabat itu, ia khawatir hal itu diinterprestasikan sebagai dukungan
kepada sahabatyang memegang mushaf. Padahal Umar ingin memberikan
kebebasan seenuhnya kepada enam sahabat untuk memilih mereka yang layak
menjadi khalifah. Maka ia menyerahkan mushaf itu kepda Hafsah yang
sesungguhnya lebih dari layak memeganng mushaf yang sangat bernilai.
Terlebih ia adalah istri Nabi dan sudah menghafal Al-Qur’an secara
keseluruhannya.35

b. Pada Masa Utsman Ibn Affan

34
Ali Akbar, Membalik Sejarah Pengumpulan Dan Penulisan Al-Quran, hlm.11 (skripsi)
35
Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Quran, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), hlm. 78

18
Mengenai jumlah pasti naskah standar yang dibuat dan tempat-tempat
pengirimannya, hhadits memberikan penjelasan yang berbeda-beda, tetapi
kemungkinannya , satu salinan disimpan di Madinah, sedangkan salinan lain
dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus, serta mungkin juga ke Makah.
Salinan-salinan Al-Qur’an yang ada sebelumnya, yakni sebelum adanya
resensi Utsmani, diberitakan telah dimusnahkan sehingga teks seluruh salinan
Al-Qur’an yang akan dibaut pada masa-masa selanjutnya harus didasarkan
pada naskah-naskah standart tersebut.36
Adapun mengenai jumlah salinan naskah yang dikirim ke berbagai
daerah Islam itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Abu
‘Amr ad-Dani mengatakan bahwa khalifah Utsman mereproduksi mushaf
Hafsah menjadi empat naskah. Satu naskah dikirm ke Kaufah, Basyrah dan
Syam, satu naskah lagi disimpan Utsman sendiri. Sementara ada pula
sebahagian ulama mengatakan bahwa naskah salinan berjumlah tujuh buah.
Selain dikirim ke tiga daerah disebut diatas, tiga naskah lainnya dikirim ke
Mekkah, Yaman dan Bahrein. Lain halnya as-Suyuti, ia berpendapat bahwa
menurut riwayat yang masyhur naskah itu berjumlah sebanyak lima naskah.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai jumlah mushaf yang disalin,
yang jelas dan pasti adalah setiap naskah itu mencakup seluruh Al-Quran. Ia
memuat 114 surat yang ditulis tanpa titik dan syakl, tanpa nama surat dan
tanpa pemisah persis sama dengan penulisan mushaf pada masa khalifah Abu
Bakar r.a. Di samping itu, ia juga bersih dari tambahan catatan tafsir, atau
rincian catatan umum, atau tulisan lain yang berfungsi untuk melestarikan
makna yang dimaksud. Dan juga mushaf Utsman tersebut, tidak terpengaruh
oleh catatan yang dibuat orang-seorang, dan susuan surat serta ayat-ayatnya
sama seperti mushaf-mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini.
D. Kesimpulan
Pengertian “pengumpulan” secara lahir adalah pada pengumpulan Al-
Qur’an pada masa Abu Bakar yang pada saat itu tulisan Al-Qur’an masih terpisah
pisah, lalu beliau memerintahkan untuk mengumpulkannya. Utsman tidak

36
Ibid., hlm. 80

19
mempunyai tujuan seperti Abu Bakar dalam pengumpulan Abu Bakar dalam
pengumpulan Al-Qur’an. Diantara kepingan-kepinganya, Utsman bermaksud
mengumpulkannya/ menyatakan bacaan-bacaan yang telah kuat dan dikenl dari
Nabi SAW dan mengesampingkan hal-hal lain. Dapat disimpulkan perbedaan
keduanya yaitu:
1. Yang mendorong pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah
adanya kekhawatiran akan hilangnya Al-Qur’an bersamaan dengan
hilangnya para penghafalnya. Hal semacam itu terjadi pada saat
berkecamuknya perang yang banyak mengorbankan para ahli baca Al-
Qur’an, yakni penumpasan kaum murtad. sedangkan pengumpulan Al-
Qur’an pada masa Utsman, hanya disebabkan oleh banyaknya perbedaan
pada cara membaca Al-Qur’an.
2. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar yang berlaku adalah tujuh
dialek (yang berarti keragaman tulisan/bacaan), sedang pada Utsman
berlaku satu dialek saja (yang berarti keseragaman tulisan/bacaan).
3. Pengupulan masa Abu Bakar hanya berdasar pada urutan ayat, sedang
pada masa Utsman, berdasar pada urutan ayat dan surat.37

Daftar Pustaka

Anshori.Ulumul Qur’an Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan. Jakarta:


Rajawali Pers. 2016.
Ar Rumi, Fahd bin Abdurrahman. Ulumul Qur’an: Studi Kompleksitas Al-
Qur’an. Yogyakarta: Titian Ilahi Pers. 1996.
Athaillah. Sejarah Al-Qur’an; Verifikasi tentang Otensitas Al-Qur’an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
Dudung, Abdurrahman. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga
Modern. Yogyakarta: Fak. Adah. 2002.

Fahd bin Abdurrahman Ar Rumi, Ulumul Qur’an: Studi Kompleksitas Al-Qur’an, hlm.165
37

20
Ichsan, Muhammad. Sejarah Penulisan Dan Pemeliharaan Al-Qur’an Pada
Masa Nabi Muhammad Saw Dan Sahabat. Jurnal Substantia. Vol. 14,
No. 1, April 2012.
Khaeroni, Cahaya. Sejarah Al-Qur’an (Uraian Analitis, Kronologis, dan Naratif
tentang Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an). Jurnal HISTORIA Volume 5.
Nomor 2. Tahun 2017. ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728.
Khoiriyah. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam Dari Arab SebelumIslam Hingga
Dinasti-dinasti Islam. Yogyakarta: Teras. 2012.
Nasruddin. Sejarah Penulisan Alquran . Kajian Antropologi Budaya. Jurnal
Rihlah Vol. II No. 1 Mei 2015.
Rosihon, Anwar. Pengantar Ulumul Quran. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2012.
Syahin, Abd. Al-Shabur. Saat Al-Qur’an Butuh Pembelajaran. Kairo:Erlangga.
2005.
Shihab, M.Quraish. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: Grafindo Persada. 2013.

21

Anda mungkin juga menyukai