Anda di halaman 1dari 21

P-ISSN: 0853-8603, E-ISSN: 2685-0087; 32-49

https://journal.ptiq.ac.id/index.php/alburhan

SEJARAH PEMELIHARAAN AL-QUR’AN

Khawarij, The History and Thoughts

‫اخلوارج اترخي وافاكر‬

Abd. Ghofur Abdulloh Hanifan Nurfauzi, Inda Qurrata Aini 3

Abstrak

Pendahuluan

Al Qur'an adalah kitabullah yang merupakan dasar syari'at dan sumber dari segala
sumber hukum Islam yang merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam untuk
melaksanakannya. Kandungan Al-Qur’an terdapat penjelasan halal dan haram, perintah dan
larangan. Al Qur’an menerangkan budi pekerti dan sopan santun yang harus dipegangi pula
untuk mendapatkan kebahagiaan sebagai sumber hidayat, sehingga mendapatkan kedudukan
yang tinggi di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Al Qur'an memperkenalkan
dirinya dengan berbagai ciri dan sifatnya. Salah satu diantaranya adalah kitab yang
keotentikanya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Hal ini sesuai
dengan firman Allah swt QS.Al-Hijr ayat 9 yang berbunyi :

َ‫إِنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر َوإِنَّا لَهُ لَ َحافِظُون‬


Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Dzikr (al-Qur’an sesungguhnya
Kami (jugalah) yang benar-benar memeliharanya (Q. S al-Hijr: 9).1

Ayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa penurunan al-Qur’an dan pemeliharaan
kemurnian-Nya merupakan urusan Allah SWT. Dia-lah yang menurunkan al-Qur’an kepada
Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan malaikat Jibril, dan Dia pulalah yang akan
mempertahankan keaslian atau orisinalitasnya sepanjang waktu.2

Namun demikian, bukan berarti kaum muslimin boleh berpangku tangan begitu saja,
tanpa menaruh kepedulian sedikitpun terhadap pemeliharaan al-Qur’an. Sebaiknya kaum
muslimin harus bersikap pro aktif dalam memelihara keaslian kitab suci Al-Qur’an. Hal ini
didasari dengan upaya pemeliharaan Al-Qur’an sudah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw,
dan terus berlanjut hingga kini dan di masa-masa mendatang. Sejarah telah membuktikan
kebenaran pemeliharaan al-Qur’an dari kemungkinan ternodanya wahyu Allah SWT ini.

Metode Penelitian
1
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, (Bandung: Jumanatul Ali-ART, 2004).
2
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 1, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal. 48

32
Inda Qurrata Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah library research atau penelitian
kepustakaan. Metode ini merupakan suatu usaha untuk mendapatkan keterangan yang jelas,
kronologi, sejarah munculnya kelompok Khawarij, aliran-aliran dan pemikirannya.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Pengertian pemeliharaan Al-Qur’an


Dalam kamus besar bahasa Indonesia pemeliharaan berasal dari kata pelihara yang
berarti jaga atau rawat, yang diberi imbuhan pe- dan -an yang bermakna proses, cara, dan
perbuatan memelihara.3 Adapun pengertian Al-Qur`an secara istilah yang disepakati oleh
ulama ushul, fikih, dan bahasa, yakni :

‫ المنق ول عن ه‬,‫ المكت وب في المص احف‬,‫نزل على ال ّن بي ص لّى هللا علي ه و س لّم‬
ّ ‫الكالم المعج ز الم‬
4
.‫ المتع ّبد بتالوته‬,‫بالتواتر‬
Firman (Allah) yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi (Muhammad) Saw yang
dituliskan di dalam mushaf-mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan bernilai ibadah dengan
membacanya.

Sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “Pemeliharaan Al-Qur`an” di sini
adalah segala proses dan cara yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara kitab suci Al-
Qur`an dari segala bentuk perubahan baik berupa penambahan maupun pengurangan
sehingga tetap terjaga orisinalitas dan validitasnya.

B. Bentuk Pemeliharaan Al-Qur’an


1. Hafalan Al-Qur`an

Menghafal Al-Qur`an seringkali disebut sebagai Al-Hifdzu fii As-Shuduur yang


bermakna pemeliharaan dalam dada. Sejak awal diturunkan, Al-Qur`an sudah mulai dijaga
dalam bentuk hafalan oleh Rasulullah Saw maupun umat Islam lainnya. Rasulullah Saw
membacakan Al-Qur`an secara perlahan kepada para sahabat agar mereka bisa
menghafalnya.5

Terutama lagi bangsa Arab kala itu memiliki tradisi menghafal yang sangat kuat. Hal
ini juga terjadi dikarenakan tradisi baca tulis belum begitu populer bagi bangsa arab. Karena
itulah dalam beberapa tempat dalam Al-Qur`an mereka disebut sebagai kaum Ummiyin
(orang-orang yang buta huruf), di antaranya adalah firman Allah dalam Surat Al-Jumu`ah ayat
2.

3
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring :
Pelihara”, dalam https://kbbi.web.id/pelihara. Diakses pada 18 oktober 2021, pukul 17.41
4
Subhi As-Shalih, Mabaahits fii Uluum Al-Qur`an, (Beirut : Daar Al-‘Ilm li Al-Malaayiin, 1977),
Cet. 10, hlm. 21
5
Muhammad Abd al-‘Azhim Az-Zarqani, Manahil Al-‘Irfan fi Ulum Al-Qur`an, (Beirut: Dar al-
Kitab Al-‘Arabiyy, 1995), Cet. 1, Jilid I, hlm. 237

33| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Inda Qurrota Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

Namun walaupun zaman sekarang baca tulis telah populer, bahkan Al-Qur`an telah
dibukukan menjadi satu mushaf, umat Islam pada umumnya masih tetap berbondong-
bondong untuk menghafalkan Al-Qur`an. Salah satu hal yang mendorong umat Islam untuk
menghafalkan Al-Qur`an adalah banyaknya motivasi dalam hadits Rasulullah Saw untuk
menghafalnya, diantaranya yaitu :

‫وهو يتعاه ده وهو عليه‬ ‫يق رأ‬ ‫ ومثل الذي‬،‫مثل الذي يقرأ القرآن وهو حافظ له مع السفرة الكرام البررة‬
6
‫شديد فله أجران‬
Permisalan orang yang membaca Al-Qur`an dan dia telah menghafalnya, maka dia akan
bersama malaikat yang mulia lagi berbakti. Dan perumpamaan yang membaca (Al-Qur’an) dan
dia selalu menekuninya padahal dia merasa berat di dalam (membaca) nya, maka dia
memperoleh dua pahala. (H.R. Bukhari)

Hadits di atas menjelaskan tingginya derajat seorang penghafal Al-Qur`an, bahkan


disejajarkan dengan derajat malaikat yang selalu taat pada perintah Allah Swt. Bahkan masih
banyak hadits lainnya yang memotivasi untuk menjadi ahli dan penghafal Al-Qur`an.

2. Penulisan Al-Qur`an

Menuliskan Al-Qur`an disebut juga Al-Hifdzu fi As-Shuthuur yakni menjaga Al-Qur`an


dalam bentuk baris-baris tulisan. Selain menghafal Al-Qur`an, beberapa orang sahabat
adapula yang terbiasa menuliskan ayat Al-Qur`an pada lembaran kulit yang disamak, pelepah
kurma, tulang, ataupun sarana lain yang memungkinkan. Diantara para sahabat penulis
wahyu yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah
bin Abi Sarh, Zubair bin Awwam, Muawiyah, Khalid bin Sa`id bin Al-‘Ash bin Umayah, Aban
bin Sa’id bin Al-‘Ash bin Umayah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Syurahbil bin Hasanah,
Abdullah bin Rawahah, Amru bin Al-‘Ash, Khalid bin Walid, Arqam bin Abil Arqam, Tsabit
bin Qais, Abdullah bin Arqam, Handzalah bin Rabi’, dan Mu’aiqib bin Abi Fatimah.7

Ayat Al-Qur`an pada periode kenabian tersebut tidaklah ditulis secara menyeluruh per
surat dan berurutan, karena masing-masing sahabat mencatat hasil pendiktean Rasulullah
berdasarkan kapan wahyu itu turun kepada beliau. Salah satu kisah yang menguatkan adanya
pencatatan wahyu Al-Qur`an ini adalah kisah masuk Islamnya Umar bin Khattab karena
mendengar bacaan Al-Qur`an surat Thaha di rumah adiknya yang bernama Fatimah, bahkan
Umar sempat ingin memegang Shahifah (lembaran) Al-Qur`an tersebut namun dicegah oleh
adiknya hingga Umar mandi dan bersuci terlebih dahulu. 8 Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari
dalam kitab sahihnya dalam beberapa tempat, sebuah hadits yang menceritakan kejadian

6
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad As-Shahih Al-Mukhtashar min Umuuri
Rasulillah Sallahu ‘Alaihi Wasallam wa Sunanihi wa Ayyaamihi, (Beirut: Dar Thauq An-Najah, 1422 H),
Jilid VI, hlm. 166
7
Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal lii Dirasat Al-Qur`an Al-Karim, (Kairo: Maktabah As-
Sunnah, 2003), hlm. 335
8
Abdul Malik bin Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, (Kairo: Mathba’ah Mushtafa Al-Baabi Al-Halabi
wa Aulaaduhu, 1955), Jilid I, hlm. 345

al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx | 34
Inda Qurrata Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

tatkala diturunkannya surat An-Nisa ayat 95. Saat itu Rasulullah memerintahkan Zaid bin
Tsabit untuk mencatatnya dan beliau membacakan ayat tersebut kepadanya.9

3. Pembukuan Al-Qur`an

Bila pada masa penulisan Al-Qur`an masih terpisah-pisah dan tidak berurutan, maka
pembukuan Al-Qur`an adalah proses penulisan ulang seluruh isi Al-Qur`an yang terpisah
tersebut menjadi satu mushaf dan disusun secara berurutan mulai dari surat Al-Fatihah
sampai An-Naas sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabat.
Pembukuan Al-Qur`an ini dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagaimana
yang akan dijelaskan pada pembahasan mengenai pemeliharaan Al-Qur`an pada masa
khulafaurrasyidin. Perbedaan antara penulisan dan pembukuan Al-Qur`an terletak pada
keadaan Al-Qur`an ketika dicatatkan. Adapun penulisan hanya berupa pencatatan teks
semata, sedangkan pembukuan lebih kepada proses penyatuan catatan-catatan maupun
hafalan Al-Qur`an menjadi satu. Oleh karena itu dalam hal ini sering digunakan kata Al-Jam’u
yang bermakna pengumpulan dalam menamai proses ini.

4. Kodifikasi Al-Qur`an

Kodifikasi bermakna menghimpun, menggolongkan, mencatat, atau memberi nomor


atau lambang.10 Sehingga kodifikasi Al-Qur`an dapat dimaknai sebagai usaha atau upaya
menghimpun, menggolongkan, mencatat, dan atau memberi kode dalam penulisan teks Al-
Qur`an. Kodifikasi sering dimaknai dengan kata Al-Jam’u yang bermakna pengumpulan.
Begitupun proses pemeliharaan Al-Qur`an sejak masa Rasulullah Saw hingga
Khulafaurrasyidin sering disebut dengan satu istilah yakni Al-Jam’u. Menurut Dr. ‘Ali al-‘Ubaid
bahwa dalam Ulumul Qur`an sendiri kata Al-Jam’u sendiri memiliki dua makna, yakni
menghafalnya dan menulisnya.11 Oleh karena itu kadang terjadi kerancuan dalam
membedakan proses pemeliharaan Al-Qur`an sejak masa Rasulullah Saw hingga Khalifah
Utsman bin Affan. Oleh karena itulah penyusun kemudian memisahkan istilah kodifikasi
untuk proses penulisan ulang Al-Qur`an yang terjadi pada masa Utsman bin Affan berupa
penetapan satu macam tulisan untuk berbagai macam bacaan atau qira`at Al-Qur`an. Dan ada
juga ulama yang menyebutnya sebagai proses Naskhul Qur`an atau penggandaan teks Al-
Qur`an.12 Tujuan dari kodifikasi Al-Qur`an yang dilakukan pada masa Utsman bin Affan
adalah untuk mencegah terjadinya konflik antar umat Islam yang disebabkan karena
perbedaan bacaan (qiraat) Al-Qur`an.13 Juga untuk mencegah terjadinya penyelewengan
bacaan yang disebabkan berbagai faktor semisal a’jamiyah (non-Arab) atau ketidakfasihan

9
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad As-Shahih... hlm.184.
10
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring:
Kodifikasi”, dalam https://kbbi.web.id/kodifikasi. Diakses pada 13 Oktober 2020 pukul 20.19
11
Ali bin Sulaiman Al-‘Ubaid, Jam’u Al-Qur’an Al-Karim Hifdzan wa Kitaabatan, (Madinah:
Majma’ Al-Malik Fahd, t.th), hlm. 5
12
Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fii ‘Ulum Al-Qur`an, (Kairo: Dar Ihya Al-
Kutub Al-‘Arabiyyah, 1957), Jilid I, hlm. 235
13
Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fii ‘Ulum Al-Qur`an... hlm, 236.

35| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Inda Qurrota Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

bahasa karena bukan berasal dari arab. Adapun penejelasan lebih lanjut akan disebutkan
dalam pembahasan pemeliharaan Al-Qur`an pada masa Utsman bin Affan.

5. Penyempurnaan Tulisan Al-Qur`an dan Kaidah Tajwid


Penyempurnaan tulisan Al-Qur`an yang dimaksud disini ialah penambahan titik,
harakat, dan tanda baca dalam Al-Qur`an yang bertujuan untuk menjaga kefasihan bacaan
terhadap Al-Qur`an. Juga mencegah terjadinya kesalahan dalam mempelajari atau menghafal
Al-Qur`an karena faktor a’jamiyah. Adapun pada periode awal, Al-Qur`an dituliskan tanpa
ada tanda baca seperti titik huruf dan juga harakat. Namun umat Islam saat itu masih mampu
untuk membaca Al-Qur`an yang notabene berbahasa Arab dikarenakan bahasa arab adalah
bahasa yang mereka gunakan sehari-hari, disamping itu banyak dari mereka menyandarkan
bacaan Al-Qur`an pada hafalannya. Namun ketika Islam semakin menyebar hingga memasuki
negeri non-Arab (‘ajam), disinilah muncul kesalahan dialek atau pengucapan dalam bahasa
Arab. Oleh karena itu, kemudian muncul tanda baca untuk mencegah terjadinya kesalahan
tersebut.14 Selain itu kemudian disusunlah kaidah tajwid dengan konsep yang lebih sederhana
berdasarkan qira`at yang digunakan dalam rangka menjadi patokan-patokan dasar dalam
membaca Al-Qur`an. Karena pada awalnya ilmu tajwid hanyalah konsumsi para Qari` yang
mutqin hafalannya dan juga mereka yang memiliki sanad Qira`ah Al-Qur`an. 15

6. Pembelaan Terhadap Otentisitas Al-Qur`an

Pembelaan terhadap otentisitas Al-Qur`an yakni berupa penelitian ataupun


pembahasan mengenai argumentasi yang menguatkan Al-Qur`an, dengan membantah
argumentasi yang melemahkannya. Penyusun memasukan pembahasan ini karena hal ini
termasuk dalam kategori menjaga dan memelihara Al-Qur`an, yakni menjaga status
keabsahan Al-Qur`an bagi Umat Islam. Hal ini berbeda dari bentuk-bentuk pemeliharaan Al-
Qur`an sebelum ini yang lebih bersifat konkrit berupa tulisan ataupun bacaan Al-Qur`an.
Kebanyakan argumentasi kritis yang melemahkan Al-Qur`an datang dari kalangan orientalis
dan sekuler dengan berbagai motif dan latar belakangnya masing-masing. 16 Sehingga upaya
menjawab pertanyaan serta argumentasi tersebut merupakan salah satu wujud penjagaan
terhadap Al-Qur`an.

C. Pemeliharaan terhadap Al-Qur’an pada masa Nabi hingga sekarang

1. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Nabi saw


Nabi Muhammad Saw adalah Rasul Allah dan Rasul bagi ummatnya. Dalam
melaksanakan tugas kerasulannya beliau diberikan mukjizat berupa Al_Qur’an, yang tetap
terjaga keotentikan (keasliannya) oleh Allah Swt. Sebagaimana dalam firman-Nya Q.S al-Hijr
ayat 9, yaitu :
َ‫اِنَّا ن َۡحنُ نَ َّز ۡلنَا ال ِّذ ۡك َر َواِنَّا لَهٗ لَ ٰحـفِظُ ۡون‬
14
Muhammad Tahir Al-Kurdi, Taarikh Al-Qur`an Al-Karim, (Jeddah: Mathba’ah Al-Fath, 1946),
hlm. 179
15
Muhammad Sayyidi Al-Amin, Al-Wajiz fii Hukmi Tajwiidi Al-Kitab Al-‘Aziiz, (Madinah:
Maktabat Al-‘Uluum wa Al-Hikam, 2002), hlm. 19
16
Abdul Muhsin Al-Muthairi, Da’awa At-Tha’iniin fii Al-Qur’an Al-Kariim fii Al-Qarn Ar-Raabi’
‘Asyar Al-Hijri wa Ar-Radd ‘alaiha. (Beirut: Dar Al-Basyaair Al-Islamiyah, 2006), hlm. 32

al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx | 36
Inda Qurrata Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Dzikr (al-Qur’an) sesungguhnya


Kami (jugalah) yang benar-benar memeliharanya”.17
Allah Swt telah menyatakan secara jelas dan tegas bahwa penurunan dan
pemeliharaan kemurniaan al-Qur’an merupakan urusan sang Kholiq Allah Swt. Dia-lah
yang menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan malaikat
Jibril, dan Dia pulalah yang akan mempertahankan keaslian atau orisinalitasnya sepanjang
waktu.18
Kaum muslimin tidaklah cukup hanya berpangku tangan walau penjaminan Allah
seperti demikian. tanpa menaruh kepedulian sedikitpun terhadap pemeliharaan al-Qur’an.
Sebaiknya kaum muslimin harus bersikap pro aktif dalam memelihara keaslian kitab sucinya.
Dalam firman Allah yang disebutkan di atas, tepatnya pada kata nahnu dan nazzalna
serta wa-inna yang menggunakan redaksi jamak (mutakallim ma’a al-ghar) bukan mutakallim
wahdah yang menunjukkan kemahatunggalan Allah Yang Maha Esa, mengindikasikan
keharusan keterlibatan kaum muslimin dalam mempertahankan kemurnian kitab suci al-
Qur’an.
Upaya tersebut memang telah berjalan sepanjang sejarah kaum muslimin sejak Nabi
Muhammad Saw, dan terus berlanjut hingga kini dan masa yang akan datang. Sejarah telah
membuktikan kebenaran pemeliharaan al-Qur’an dari kemungkinan ternodanya wahyu Allah
SWT ini.
Adapun sejarah pemeliharaan al-Qur’an itu sendiri secara umum sudah berproses
dan berjalan dengan beberapa tahapan, yaitu : Penulisan al-Qur’an pada Masa Nabi
Muhammad Saw, pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar al-Shiddiq, pembukuan al-
Qur’an pada masa Utsman bin Affan, dan percetakan al-Qur’an pada abad ke-17 Masehi.

Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad Saw


Dalam catatan sejarah bisa kita jumpai bahwa pada masa-masa awal kedatangan
agama Islam, Al-Qur’an diturunkan di wilayah Arab dan penduduk Arab terkenal dengan
bangsa yang buta huruf, sangat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca.1 9
Mereka belum mengenal kertas, sebagaimana kertas yang dikenal sekarang.
Bahkan, Nabi Muhammad Saw sendiri dinyatakan sebagai nabi yang ummi, yang
berarti tidak pandai membaca dan menulis. Ke-ummi-an Nabi Muhammad Saw, dengan
tegas disebutkan dalam al-Qur’an pada surat al-Jumu’ah ayat 2, yang artinya adalah :

Artinya: Dialah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf, seorang rasul dari
kalangan mereka sendiri yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan kepada mereka al- Kitab (al-Qur’an) dan hikmah; dan

17
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, (Bandung: Jumanatul Ali-ART, 2004)
18
Manna Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir (Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa, 2013), hlm.157.
19
Zainal Abidin S, Seluk Beluk Al-Qur’an, Cet. I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 27.

37| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Inda Qurrota Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

sesungguhnya mereka itu sebelumnya benar-benar (berada) dalam kesesatan yang nyata
(Q. S al-Jumu’ah: 2).
Walaupun pada saat itu bangsa Arab masih tergolong buta huruf pada awal
penurunan al-Qur’an, akan tetapi mereka dikenal memilki daya ingat (hafal) yang sangat
kuat. Ketajaman daya hafal mereka sudah terlatih disaat menghafal berbagai sya’ir Arab
dalam jumlah yang tidak sedikit atau bahkan sangat banyak dikalangan bangsa Arab saat itu.
Menurut kebiasaan, kekuatan hafalan dan ingatan merupakan andalan orang yang
ummī. Hafalan serta daya pikirnya mereka sangat dalam dan begitu terbuka. Upaya-upaya
sederhana yang dilakukan pada saat itu adalah Nabi Menghafal Ayat- ayat itu dan
menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian sahabat menghafalnya juga sesuai
dengan apa yang disampaikan Nabi. Setelah upaya pertama maka upaya kedua yang
dilakukan dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya
dengan persetujuan dan tuntunan Nabi.20
Pada masa Nabi, terdapat banyak penghafal Al-Qur’an dari kalangan sahabat. Banyak
pula pendapat dan riwayat yang menyebutkan tentang jumlah penghafalnya dengan berbagai
versi. Pendapat yang mengatakan 70 orang, berdasarkan kitab Ash-Shahih tentang
peperangan Sumur ma’unah disebutkan bahwa para sahabat yang terbunuh pada
peperangan itu mendapatkan gelar Al-Qurrā (para pembaca dan penghafal Al-Qur’an)
mereka semua berjumlah 70 orang. Menurut Ibnu Atsir Al- Jazary dalam kitab An-Nasyr,
beliau menyebutkan bahwa para penghafal al-Qur’an berjumlah 35 orang. 21 Pada masa
Rasulullah masih hidup, Al-Quran dipelihara sedimikian rupa, sehingga cara yang paling
terkenal untuk memelihara Al-Qur’an adalah dengan menghafal dan menulisnya.
Maka dari itulah pada saat diturunkannya al-Qur’an, berbagai saran dan perintah dari
Rasulullah agar al-Qur’an itu dihafal, dibaca selalu, dan diwajibkannya membacanya dalam
shalat.22 Sedangkan untuk penulisan al-Qur’an maka beberapa orang sahabat Rasulullah
Saw diangkat dengan tugas khusus tersebut, sedangkan yang bertugas menulisan wahyu
yang diturunkan kepada Rasulullah Saw diantara mereka ialah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar

bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab,23 dan
beberapa sahabat lainnya.
Dalam proses penulisan wahyu pada saat itu hanya menggunakan alat yang masih
sangat sederhana. penulisan al-Qur’an yang dilakukan para sahabat sangat beragam ada yang
metulis pada ‘usub (pelepah kurma), likhaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf
(tulang unta), dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipasang di atas punggung unta). 24
selanjutnya Zaid bin Tsabit adalah salah seorang sahabat yang paling banyak terlibat dalam
penulisan al-Qur’an pada masa nabi. Bahkan Ia juga terlibat dalam pengumpulan dan
pembukuan al-Qur’an masing-masing di masa Abu bakar dan Utsman bin Affan.

20
M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an(Makassar : Alauddin Universiti Press,
2011), hlm. 55.
21
Al- Qatthan, Studi Ilmu, hlm. 152.
22
Ibid, hal. 29
23
Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, Cet. II, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal.
24
Ibid.

al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx | 38
Inda Qurrata Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

Upaya untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat al-


Qur’an dengan lainnya seperti hadis Rasulullah, maka Beliau tidak membenarkan seseorang
sahabat menulis apapun selain al-Qur’an sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh
untuk menjamin nilai akurasi (keakuratan) al-Qur’an.25 Pada masa ini Rasulullah
memerintahkan umatnya hanya al-Qur’an saja yang boleh ditulis selain itu tidak boleh
ditulis.
Selanjutnya Rasulullah memanggil juru tulis wahyu dan memerintahkan sahabatnya
agar mencatat dan menempatkan serta mengurutkannya sesuai dengan petunjuk beliau
disetiap kali turun ayat al-Qur’an, keseluruhan al-Qur’an telah ditulis pada masa Rasulullah,
namun masih belum terhimpun dalam satu tempat artinya masih berserak-serak. Mengingat
pada masa itu belum dikenal zaman pembukuan, maka tidaklah mengherankan jika
pencatatan al-Qur’an bukan dilakukan pada kertas-kertas seperti dikenal pada zaman
sekarang, melainkan dicatat pada benda-benda yang mungkin digunakan sebagai sarana
tulis-menulis terutama pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit hewan, tulang belulang, bebatuan
dan juga dihafal oleh para hafizh muslimin.
Rasulullah Saw. Sebelum wafatnya telah melakukan konfrontir data atau
mencocokkan al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada beliau dengan al-Qur’an yang dihafal

para hafizh, surat demi surat, ayat demi ayat.26 Maka al-Qur’an yang dihafal para hafizh itu
merupakan duplikat al-Qur’an yang dihafal oleh Rasulullah Saw.
Maka setelah menelusuri usaha yang dilakukan dimasa Nabi Muhammad Saw dapat
diketahui pemeliharaan al-Qur’an pada masa nabi adalah hafalan dari mereka yang hafal al-
Qur’an dan naskah-naskah yang ditulis oleh sahabat atas perintah Nabi saw. Selanjutnya
setelah para hafizh menguasai dengan sempurna, para hafizh (penghafal ayat-ayat al-Qur’an)
menyebarluaskan apa yang telah mereka hafal, mengajarkannya kepada anak-anak kecil
dan mereka yang tidak menyaksikan saat wahyu turun,27 baik dari penduduk Makkah
maupun Madinah.
2. Pemeliharaan pada masa Abu Bakar
Karena para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur di medan perang maka timbul
kecemasan dihati ummar bin khatab akan hilangnya Al-Qur’an dengan guur para
penghafalnya.28 Oleh karena itu umar mendatangi Abu Bakar dan memintannya supaya
mengumpulkan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis pada masa Rasulullah saw dan
menulisnya di satu tempat. Karena akalu tidak segera dikumpulkan umar khawatir akan
hilangnya Al-qur’an dengan gugur para sahabat penghafal Al-Qur’an. Berdasarkan saran
ummar bin khattab tersebut, Abu bakar mendatangi Zaid bin Tsabit dan memimtannya untuk
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis pada masa Rasululllah di batu-batu, pelepah
kurma dan lainnya kemudian menulisnya di satu tempat. Hal inilah yang melatarbelakangi

25
Ibid., hal. 68.
26
Ibrahim Al lbyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, Penerj. Saad Abdul Wahid, Cet. II,
(Jakarta: Raja Gravindo Persada, 1993), hlm. 70
27
Abdullah al-Zanjani, Sejarah Al-Qur’an, Penerj. Kamaluddin Marzuki, A. Qurtubi Hasan, Cet. I,
(Jakarta: Hikmah, 2000), hlm.31
28
Hisyami bin Yazid, Ilmu Rasm : Pedoman Mentashih Al-Qur’an, (Banda Aceh : ArRijal Publisher,
2012) hlm.53

39| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Inda Qurrota Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

pengumpulan dan penyalinan ayat-ayat yang masih berserakan pada masa Abu Bakar sehingga
tersimpan dalam suhuf dan terkumpul di satu tempat.

Ada empat alas an Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat
yang masih berserakan dan menulisnya. Pertama, Zaid bin Tsabit seotang anak muda dia akan
lebih giat untuk melaksanakan tugasnya. Kedua, Zaid bin Tsabit orang yang cerdas ingatannya
lebih kuat dari yang lain. Ketiga, para sahabat umumnya tidak berburuk sagka kepadannya
maka dia akan disenangi dan di dukung oleh para sahabat dan keempat Dzait bib Tsabit
penulis wahyu dan kepercayaan Rasulullah, tentu dia akan mahir dan lebih hati-hati
melakukan penulisan Al-Qur’an. Itulah sebabnya Abu Bakar memilih Dzait bin Tsabit untuk
melaksanakan pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an.

Setelah permintaan Abu Bakar untuk mengumpulkan ayat-ayat disepakati oleh Zaid
bin Tsabit. Lalu ia melaksanakan pengumpulan ayat-ayat yang masih berserakan yang ditulis
di pelepah kurma, batu, tulang dan yang tersimpan di dalam dada para sahabat lainnya.
Selanjutnya Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit dan umar bin Khattab duduk
menunggu di depan pintu masjid dan mencatat setiap ayat yang disampaikan oleh para
sahabat Rasulullah lainnya kepada Zaid bin Tsabit dan dibantu oleh Umar bin Kattab.

Setelah terkumpul semua ayat-ayat yang ditulis pada masa Rasulullah tersebut di
kepingan batu, tulang , pelepah kurma, kertas dan lainnya, kemudia di salin oleh Dzait bin
Tsabit dalam suhuf (lembaran-lembaran dari kertas) yang dibantu oleh Umar bin Khattab.
Kumpulan suhuf itu, atas kesepakatan musyawarah para sahabat lalu dinamakan dengan
mushaf, sejak itulah kumpulan dari suhuf itu resmi dinamakan dengan mushaf. Pengumpulan
dan penulisan itu rampung dalam jangka waktu hamper satu tahun. Setelah selesai
pengumpulan seluruh ayat dan telah tersimpan semuannya didalam suhuf (mushaf Abu
Bakar) kemudian Abu Bakar wafat. Antara kejadian perang yamamah dan wafat Abu Bakar
hamper satu satun dan waktu itulah masa pengumpulan mushaf. 29

Setelah Abu Bakar wafat, Umar bin Khatab terpilih sebagai khalifah kedua untuk
memimpin umat. Pada masa kepemimpinan Ummar bin Khattab Al-Qur’an yang ditulis pada
masa Abu Bakar tersebut disimpan dirumah Ummar bin Khattab sampai beliau wafat. Setelah
Ummar bin Khattab wafad mushaf Abu Bakar disimpan di rumah Hafsah ummul mukminin.

3. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan


Masa kekhalifahan Usman bin Affan adalah masa penting dalam catatan sejarah
Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, karena pada masa inilah Al Qur’an dibukukan setelah
sebelumnya dikumpulkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar Shiddiq dan mendapat
pemeliharaan pada masa Umar Bin Khathab. Dipandang penting karena sebagai kelanjutan
dari pemeliharaan terhadap Al-Qur’an yang sudah dirintis oleh orang-orang sebelumnya.
Umat Islam setelah masa ini berpedoman kepada hasil jasa yang telah dilakukan oleh orang-
orang yang diberi tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan yang monumental ini di
bawah kepe-mimpinan Usman bin Affan. Pekerjaan yang besar ini sangat pantas untuk
dihargai. Kalaulah pembukuan ini tidak dilakukan pada masa Utsman tentunya sejarah Al-
Qur’an akan berbeda.

29
Ibid,,, hlm.56

al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx | 40
Inda Qurrata Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

Keberhasilan orang-orang yang bertanggung jawab dalam hal ini bukanlah dengan
cara yang mudah dan sederhana. Berbagai tanggapan dan anggapan muncul mengenai
kebijakan Usman Ini. Ketika itu ada juga sahabat yang merasa keberatan dengan ketetapan
Usman bin Affan ketika ia memerintahkan kaum muslimin untuk membakar mushaf mushaf
selain mushaf yang dibuat oleh tim yang ditunjuk. Keengganan ini tercatat dalam sejarah
berasal dari sahabat yang diakui oleh umat Islam tentang keahliannya dalam menguasai hal-
hal yang terkait dengan Al-Qur’an yaitu Ibn Mas’ud yang dipandang sebagai salah seorang
imam sekaligus guru Al-Qur’an dari kaum muslimin ketika itu yang pendapatnya juga sering
dikutip dalam buku-buku tafsir yang bercorak atsar (riwayat). Di samping itu ditambah lagi
dengan persoalan tekhnik penulisan yang hanya diarahkan kepada satu huruf dan juga
disinyalir adanya lahn atau kesalahan i’rab/bahasa. Kesalahan ini kalau benar adanya itu
artinya menunjukkan adanya kemung-kinan kesalahan dalam penulisan Al-Qur’an yang kita
terima sekarang ini sebagai pedoman.
Demikianlah beberapa persoalan penting terkait pembukuan Al-Qur’an pada masa
Usman bin Affan yang perlu diberikan analisa secara cermat dengan terlebih dahulu
mengumpulkan data tertulis sebanyak mungkin, agar persoalan-persoalan ini bisa
dianalisis secara objektif. Namun dalam kesempatan ini penulis memfokuskan kepada
persoalan-persoalan yang melatarbelakangi pembukuan Al-Qur’an pada masa Usman bin
Affan.
Banyak kajian seputar masalah pembukuan Al-Qur’an pada masa usman ini baik
klasik maupun kekinian, namun penulis belum melihat kajian khusus mengenai motif Usman
dalam membukukan Al-Qur’an.
1. Informatika terkait pembukuan mushaf
Setidaknya ada beberapa informasi yang disampaikan dalam be- berapa riwayat
mengenai latar belakang pembukuan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan yang dicatat
oleh umat Islam.Informasi ini bisa ditemukan dalam kitab hadis dan buku-buku yang
memuat tentang sejarah Al-Qur’an atau buku- buku Ulumul Qur’an.
Pada tahun 30 H Huzaifah bin al- Yaman dan Sa;id bin al-Ash pulang ke Madinah dari
Azerbeijan. Dalam perjalan menuju Madinah Huzaifah mengatakan, “Dalam beberapa
perjalanan yang aku lakukan , aku melihat ada masalah besar yang tengah menimpa umat
Islam. Bila hal ini tidak ditanggapi, maka akan terjadi perselisihan di kalangan umat Islam
tentang Al-Qur’an”. Sa’id bin Ash bertanya,”Apa masalahnya?Aku melihat penduduk Himsh
mengklaim bahwa qira’atnya lebih bagus dari qira’at yang lain.Mereka mempelajari Qira’at
dari al- Miqdad.Demikian juga penduduk Damaskus juga melihat bahwa qira’at mereka
lebih bagus dari yang lain- nya.penduduk Kufah yang belajar qira’at dari Abu Musa dan
menamai Mushaf Abu Musa dengan Lubab al-Qulub juga mengklaim qira’at mereka lebih
bagus”. Setelah mereka berdua sampai di Kufah , mereka menyampaikan kepada penduduk
Kufah tentang kekhawatirannya.30
Mayoritas para sahabat dan para tabi’in menyetujui pendapat Huzaifah tersebut,
Namun kalangan pengikut qira’at Ibnu Mas’ud mempertanyakan kepada Huzaifah’ qira’at
mana yang kiranya anda inkari dari qira’at kami ? Mendengar jawaban dari pengikut Ibnu
30
Abdushabur Syahin, Sejarah Alqur’an , ( Jakarta : Rehal Publika, 2008), h. 18- 19, cet. Ke-1
,Judul asli Tarikh Alqur’an , penerjemah Prof. Dr. Ahmad Bachmid, Lc.

41| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Inda Qurrota Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

Mas’ud ini, Huzaifah merasa marah sambil mengatakan “ Kalian adalah penduduk yang
nomaden, oleh sebab itu diamlah ! Sungguh kalianlah yang salah. Demi Allah , bila aku
masih hidup, maka aku akan melaporkan hal ini kepada amirul mukminin dan aku akan
meminta kepada beliau untuk menyelesaikan masalah ini.
Dengan rasa kekhawatirannya yang tinggi , Huzaifah ketika sampai ke Madinah
melaporkan tentang apa yang diamatinya dan diperhatikannya selama perjalananya dari
Azerbeijan kepada khalifah Usaman bin Affan. Ini sebagai sinyal bahwa dia sebagai salah
seorang dari kalangan pimpinan umat Islam pada waktu itu memiliki tanggung jawab
moral yang sangat besar terhadap Al- Qur’an dan juga kesatuan umat.
Salah satu inforrmasi yang meng- gambarkan laporan Huzaifah dan se- kaligus
termasuk salah satu hal yang melatarbelakangi pembukuan Al-Qur’an pada masa Usman bin
Affan terlihat dalam sebuah riwayat Bukhari sebagai berikut :
“…., Huaifah ibn al-Yaman pernah datang kepada Utsman (melaporkan tentang
peristiwa) dimana Penduduk Syam dengan Penduduk Irak berpe- rang dalam penaklukan
Armenia dan Azerbeijan. Ketika itu Huzaifah merasa terkejut melihat perbedaan qira’at di
kalangan mereka, sehingga Huzaifah berkata kepada Usman ,” Anda Satukanlah umat Islam
ini sebelum mereka berselisih seperti kaum Yahudi dan Nashrani.Setelah itu Usman mengirim
utusan kepada Hafsah ( dan meminta kepadanya ) ,” Anda kirimkanlah kepada kami Suhuf
(lembaran-lembaran naskah Al-Qur’an) karena Kami akan membuat naskah menjadi
beberapa mushaf. Setelah itu Kami akan kembalikan kepadamu. Hafsah mengirimkan nas-kah
tersebut kepada Usman. Kemu-dian Usman menginstruksikan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin ‘Ash dan Abdurrahman bin al-harits bin Hisyam untuk menuliskannya
kembali dalam beberapa mushaf. Usman berpesan kepada tiga orang di antara mereka yang
berasal dari suku Quraisy,” Apabila kamu berselisih pendapat tentang Al-Qur’an, maka
tulislah dengan bahasa Quraisy ! Karena Al- Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka”.
Mereka menyalin suhuf ke dalam beberapa mushaf. Setelah itu Usman mengembalikan Suhuf
terse-but kepada Hafsah serta mengirim-kan beberapa naskah mushaf ke beberapa daerah
Islam dan dia memerintahkan pembakaran terhadap suhuf dan mushaf yang lain selain
mushaf (resmi)”.
Dari riwayat di atas tergambar latar belakang mendasar pembukuan Al- Qur’an pada
periode pemerintahan Usman bin Affan.Perbedaan qira’a31t menjadi titik tolak pekerjaan
besar yang dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan.Dari riwayat di atas terlihat
kekhawatiran Huzaifah bin al-Yaman akan semkin meluasnya perbedaan yang bisa saja
mengantarkan umat Islam kepada konflik. Hal ini tentu membahayakan persatuan umat
Islam di satu sisi dan pemeliharaan Al-Qur’an di sisi lain serta pertimbangan keutuhan
wilayah.
Persoalan-persoalan umat Islam pada masa Usman semakin beragam, seiring
perluasan daerah melalui wilayah-wilayah penaklukan Islam pada enam tahun pertama
peme-rintahannya mulai tahun 24 Hijrah pengangkatannya. Pengajaran Al-Qur’an pada

31
Qira’at adalah Suatu cara membaca Alqur’an al-Karim dari seorang imam ahli qira’at yang
berbeda dengan cara membaca imam lainnya, sekalipun riwayat dan jalur periwayatannya sama, baik
perbedaan itu dalam pengucapan huruf ataupun bentuknya.Lihat Prof. Dr. Yunahar Ilyas dalam buku
Kuliah “ulumul Qur’an, h. 155-156

al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx | 42
Inda Qurrata Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

penduduk daerah taklukan diserahkan kepada para ahli Al-Qur’an sesuai dengan
kemampuan hafalan dan keahlian yang dimiliki. Namun perbedaan bacaan sedikit demi
sedikit semakin bertambah walaupun bukan disengaja.Hal ini berlangsung sampai tahun ke
30 Hijrah.32
Seiring dengan perluasan wilayah Islam, para sahabat ter-sebar ke berbagai daerah.
Mereka menjadi guru bagi masing-masing daerah yang mereka tempati dan membawa
qira’at masing-masing yang mereka terima dari Rasulullah SAW.Umat Islam di Syam
mengikuti qira’at Ubay bin Ka’ab. Wilayah Kufah mengikuti Qira’at Abdullah bin mas’ud dan
wilayah lain mengikuti qira’at Abu Musa al-Asy’ari. Perbedaan tersebut menjadi masalah
bagi sebagian umat Islam apalagi bagi yang tidak tahu bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam
berbagai versi qira’at.33
Dengan meluasnya daerah Islam tentu secara otomatis meluas dan beragam pula
masyarakatnya yang mereka bukan berasal dari Jazirah Arab dari berbagai suku dan bangsa.
Bahkan tentunya banyak yang baru masuk Islam dan mereka tidak mengikuti proses
turunnya Al-Qur’an. Di tambah lagi mereka belajar dari guru tertentu dan tidak
mengetahui informasi berbeda yang mungkin saja didapati dari guru lain yang
mengajarkan Al-Qur’an di wilayah mereka masing-masing.
Imam al-Thabari menjelaskan dalam tafsir nya kondisi umat Islam yang
mencemaskan yaitu per-bedaan yang tidak hanya sebagai perbedaan saja,akan tetapi sudah
sampai kepada tingkat yang memba-hayakan yaitu pada tingkat kafir mengkafirkan .Seorang
khalifah dalam hal ini Usman bin Affan melihat sinyal- sinyal perpecahan te-ngah berproses
dan tersebar di tengah-tengah masyarakat yang bera-da di bawah wilayah kepemimpinan
dan tanggung jawabnya. Kekhawa-tirannya yang besar akan terjadinya konflik, perpecahan
bahkan partum-pahan darah di kalangan umat Islam sendiri telah mendorongnya untuk
menginstruksikan agar bekerja bersa- ma-sama membuat sebuah mushaf yang bisa dijadikan
pedoman bagi umat Islam.34
Musthafa Shadiq al-Rafi’i memberikan komentar bahwa suatu kenyataan bahwa Al-
Qur’an mempunyai bentuk qira’at yang berbeda-beda seiring dengan berbeda huruf yang
dengannya Al-Qur’an diturunkan. Ketika penduduk suatu daerah mendenganrkan qira’at
yang berbeda dengan daerah lainnya pada suatu tempat atau dalam momen peperangan,
mereka saling merasa heran dengan qira’at yang lain. Tapi idealnya adalah jika diketahui
bahwa semua qira’at itu berasal dari Nabi, maka tentunya tidak ada alasan untuk meragukan
satu sama lain. Akan tetapi kenyataannya sebagian merasa bahwa qira’atnya lebih fasih dan
lebih baik dari yang lainnya dengan mengatakan bahwa “Qira’at Al-Qur’an yang kupelajari
lebih baik”. Sementara yang lain sebaliknya juga mengatakan justru qira’at yang kupelajarilah
yang lebih baik., bahkan menginkari dan sampai pada tingkat mngkafirkan”. Selan-jutnya

32
Abdussabur Syahin, Sejarah Alqur’an, ( Jakarta : PT Rehal Publika, 2008), cet ke 1,penerjemah
Prof. Dr. Bachmid, Lc.,judul asli Tarikh Alqur’an,
33
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an,(Yogjakarta ; Itqan Publishing,2013 ) Cet. Ke- 2, h. 88
34
Shubhi Shalih, Mabahits Fi Ulumil Qur’an, (Beirut : Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1988), cet. Ke 17, h.
80-81

43| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Inda Qurrota Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

dijelaskan oleh Abdushabur yahin sambil menambahkan bahwa para sahabat menyaksikan
perbedaan yang terjadi bukan lagi perbedaan dalam ruang lingkup dispensasi tujuh huruf,
sebagaimana yang dipelajari dari Nabi. Akan tetapi sudah sampai pada tingkat kesalahan
dalam periwayatan atau tata cara baca. Yang jelas ini bukan faktor kesengajaan.
Perbedaan ini menjadi sema-kin jelas pada waktu itu dengan keberadaan mushaf-
mushaf yang lain selain mushaf yang berada di tangan Hafsah binti Umar setelah wafatnya
Rasulullah SAW dalam jangka waktu yang lama sampai masa kekhalifahan Usman bin Affan.
Mushaf yang paling populer pada waktu itu adalah Mushaf Ubay bin Ka’ab dan Mushaf Ibnu
Mas’ud.9 Kedua tokoh ini terkenal sebagai guru yang mengajar Al- Qur’an pada wilayah
yang berbeda.
Informasi lain berkenaan dengan latar belakang ini adalah riwayat dari Suwaid bin
Ghaflah : Ali bin Abi Thalib berkata “ Janganlah kamu mengatakan tentang Usman bin Affan
kecuali yang baik-baik. Demi Allah tidaklah kebijakan Usman tentang mushaf tersebut
kecuali (atas persetujuan ) para pemimpin di kalangan kami.
Selanjutnya Usman bertanya “Apa yang kalian katakan tentang qira’at ini ? Telah
sampai informasi kepadaku bahwa sebagian dari kalian mengatakan bahwa qira’atku lebih
baik dari qira’atmu dan ini hampir sampai pada ( kafir mengkafirkan). Kami bertanya (pada
Usman) “Apa pendapatmu tentang hal ini ?. Beliau menjawab” Menurut pendapat saya umat
Islam harus berpegang pada satu mushaf sehingga tidak ada kelompok dan tidak ada
perbedaan. Kami menjawab, ? Betul pendapat yang anda kemukakan itu”.35
Dialog di atas menunjukkan bahwa Usman sebagai khalifah juga sudah
memperhatikan fenomena tentang adanya problem sangat serius mengenai perbedaan
qira’at yang tengah berkembang di tengah-tengah masyarakat. Perhatian yang sama juga
diberikan oleh para sahabat lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh dialog yang disampaikan oleh
Ali bin Abi Thalib dengan penggunaan kata “kami” dan kata “ mala’in” yang bisa
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “ para pemimpin”. Artinya pengamatan
yang dilakukan ini dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW secara umum, bukan
pengamatan pribadi Usman bin Affan saja sebagai khalifah.Para sahabat sudah
mengidentifikasi persoalan mendasar dan akibat yang bisa ditimbulkan dari persoalan
tersebut serta solusi yang harus diambil. Ini menunjukkan secara tidak langsung sudah
terjadi kesepakatan di kalangan para sahabat untuk menyatukan umat Islam dalam hal
naskah mushaf yang akan dijadikan pedoman seperti juga halnya yang tertangkap oleh
Huzaifah bin al- Yaman.
2. Komisi prlaksanaan khusus
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa jumlah yang terlibat dalam menyalin
mushaf- mushaf adalah 12 orang..Tidak tertutup kemungkinan jumlah mereka adalah 12
orang , akan tetapi kuat dugaan empat orang pertamalah yang bertugas menyalin mushaf-
mushaf yang awal sementara yang lain bertugas menyalin mushaf- mushaf yang lain
yang dikirim ke berbagai daerah.36 Informasi ini berbeda dengan riwayat yang disampaikan
oleh Imam Bukhari sebelumnya, dimana disebutkan nama-nama para sahabat yang ditunjuk

35
Muhammad Abdul Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulimil Qur’an, (Beirut : Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2010 ), Cet ke- 1, jil 1, h. 143
36
Abdushshabbur Syahin,opcit, h. 24

al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx | 44
Inda Qurrata Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

oleh Khalifah Usman bin Affan sebagai tim pelaksana pekerjaan besar untuk menaskah ulang
Al-Qur’an yang akan dijadikan sebagai standar Al-Qur’an yang dipedomani umat Islam.
Nama-nama tersebut adalah Zaid bin Tsabit (sebagai ketua tim), Abdullah bin Zubair, Sa’ad
bin al-Ash dan nama terakhir adalah Abdurrahman bin al-Harits. Yang jelas nama-nama ini
ditunjuk langsung oleh Usman bin Affan.
Komisi yang terdiri dari Zaid bin Tsabit adalah berasal dari Madinah atau kalangan
Anshar, sedangkan tiga orang lainnya Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin al-Ash dan
Abdurrahman bin al-Harits adalah kalangan muhajirin yang berasal dari Makkah.Mereka
termasuk orang- orang pilihan dan orang-orang kepercayaan.Dalam tim ini memang terlihat
jumlah muhajirin ( sahabat yang berhijah dari Mekkah ke Medinah) lebih banyak dari
kalangan Anshar (penduduk Madinah yang menolong masyarakat Mekkah yang berhijrah ke
Medinah), sehingga Blachere salah seorang orientalis berkesimpulan bahwa lebih banyaknya
jumlah kaum muhajirin ini disebabkan oleh keinginan para pemimpin pada waktu itu yang
mengedepankan nepotisme dan menonjolnya rasa kesukuan yang dalam hal ini adalah
muhajirin.37 Tapi kalau dilihat dari teks Bukhari tersebut bahwa alasan pemilihan Usman bin
Affan adalah karena mereka yang bertiga dipandang lebih mengetahui dengan bahasa Quraisy
dan dengan bahasa Quraisylah Al-Qur’an diturunkan. Jadi alasannya adalah alasan
pengetahuan terhadap bahasa Arab dan Al-Qur’an, bukan karena alasan karena pertimbangan
kesukuan.Kalau seandainya ini benar tentunya tim ini tidak akan dipercayai dipimpin oleh
Zaid yang berasal dari kalangan Anshar bukan dari kalangan muhajirin.
Di samping itu, tatkala Zaid ditunjuk sebagai ketua tim pelaksana pengumpulan
naskah Al-Qur’an pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Setidak- tidaknya ada beberapa
pertimbangan pengangkatan Zaid. Bahwa pemilihan terhadap zaid didasarkan atas alasan
kompetensi pada kepriba-dian, keilmuan, dan pengalaman serta kesanggupannya serta
keistimewaan-nya dari berbagai segi untuk melaksanaan pekerjan ini. Zaid bin Tsabit
sebelumnya dalam pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar juga ditunjuk
bertanggung jawab, demikian juga pada masa Nabi termasuk sebagai salah seorang kuttab al-
wahyi ( penulis wahyu ) yang menjadi kepercayaaan Nabi Muhammad SAW.

3. Teknik penulisan ulang naskah Al-Qur’an


Dari riwayat Bukhari sebelumnya terlihat instruksi dari Usman bin Affan tentang
teknik penulisan yang harus diikuti dan dilakukan oleh tim pelaksana yaitu “yang pertama
adalah jika kamu berbeda pendapat tentang Al- Qur’an,maka kembalikan kepada bahasa
Quraisy, karena dengan Bahasa Quraisy Al-Qur’an diturunkan”.Kedua Mushaf yang dijadikan
landasan adalah mushaf yang sudah dikumpulkan pada masa Abu Bakar dan tetap dipelihara
Umar ketika mereka masih hidup , namun setelah mereka wafat naskah ini disimpan oleh
Hafsah.
Satu prinsip yang harus dipenuhi dalam menjalankan tugasa adalah bahwa ketika
terjadi kasus kesulitan , maka bacaan Quraisy – suku asal Nabi- harus dijadikan sebagai
pilihan. Keseluruhan Al-Qur’an meru-juk dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf

37
Shubhi al-Shalih, loc.cit

45| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Inda Qurrota Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

yang berada di tangan Hafsah serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Qur’an sudah
selesai dilakukan. Dengan demikian lahirlah naskah otoritatif (absah) yang belakangan
disebut Mushaf Usmani. Kemudian sejumlah salinan yang dibuat dibagikan ke pusat-pusat
daerah Islam.38 Pelaksanaan pekerjaan ini pada tahun 25 Hijriyah.39
Setelah pekerjaan penaskahan ulang diselesaikan oleh tim yang ditunjuk oleh Usman.
Mushaf-mushaf yang sudah ditulis tersebut dikirim ke berbagai daerah Islam sebagai
pedoman penulisan dan pengajaran oleh para shabat dan umat Islam secara keseluruhan
.Mushaf-mushaf ini oto-matis menjadi mushaf resmi yang digunakan mulai masa Usman bin
Affan.
Selanjutnya setelah selesai penulisan, terjadi perdebatan mengenai jumlah naskah
yang ditulis oleh Tim yang empat ini. Usman bin Sa’id al-daniy salah seorang ahli Qira’at
dalam bukunya al-Taisir fi al-Qira’at al-Sab’i yang dikutip Manna’al-Qaththan,
menyebutkan bahwa jumlahnya adalah tujuh naskah. Naskah-naskah ini dikirim ke kota -
kota besar daerah Islam yaitu Makkah, Syam ,Bashrah, Kufah Yaman ,Bahrain dan Madinah..
Ada lagi pendapat lain jumlah keseluruhan empat naskah, daerah yang mendapatkan naskah
tersebut adalah Iraq, Syam, Mesir, dan berada pada tangan Usman satu mushaf.. Sedangkan
menurut al-Suyuthi adalah lima naskah .Namun, Pada akhirnya mushaf-mushaf ini
menyatukan umat Islam kembali dan memutus sebab perselisihan yang menjadi problem
mendasar di tengah-tengah umat Islam.40
Selanjutnya mushaf yang sudah dijadikan standar penulisan ini yaitu mushaf yang
dipinjam kepada Hafsah dikembalikan lagi oleh Usman ke tangan Hafsah binti Umar dan
tetap berada di tangan beliau sampai wafatnya.Pada tahun 65 H Marwan bin al-Hakam
mencoba meminta kepada Hafsah untuk dibakar tapi dia enggan memberikannya. Namun
setelah beliau wafat, Marwan mengambil dan membakarnya dengan alasan, “Saya melakukan
ini karena melihat apa yang ada pada shuhuf ini sudah ada pada mushaf al-Imam. Saya
khawatir jika shuhuf ini tetap berada di tengah-tengah umat, maka suatu saat masyarakat
akan meragukan shuhuf ini.19
4. Pembakaran Mushaf selain mushaf Utsmani
Kebijakan Usman bin Affan ini bisa diterima dan dipandang baik oleh masyarakat
pada waktu itu,kecuali pada awalnya Ibnu Mas’ud yang beliau mempunyai mushaf
sendiri.Pada awalnya dia merasa enggan untuk membakar mushaf tersebut. Namun pada
akhirnya dia berusaha memahami kebijakan Usman bahwa pada hakikatnya adalah demi
kepentingan persatuan umat Islam dan meng-hilangkan sebab yang mengantarkan
41
kepada perpecahan dan konflik di kalangan umat Islam sendiri. Sepanjang sejarah Islam
peristiwa pembakaran terhadap mushaf-mushaf Ini secara resmi hanya terjadi pada masa
Usman bin Affan.
Walau bagaimanapun kebijakan Usman untuk membuat naskah ulang dan

38
Rosihon Anwar, Samudera Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), Cet ke-1 , h.79
39
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi “ulumil Qur’an, ( T.tp : Dar al-Fikri, t.th. ) Jil ke- 1, h.
61
40
Shubhi al-Shalih, op.cit., h. 84
41
Shubhi Shalih op.cit., h. 82-83

al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx | 46
Inda Qurrata Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

menjadikan mushaf yang belakangan disebut dengan Mushaf Usmani sebagai mushaf resmi
serta membakar selain mushaf resmi sangat beralasan dan merupakan jasa besar bagi
persatuan umat Islam dan bagi eksistensi Al-Qur’an itu sendiri, karena kondisi umat Islam
pada waktu itu berada pada posisi yang meng- khawatirkan yaitu yaitu perbedaan,
perpecahan bahkan sampai pada kondisi kafir mengkafirkan. Jika hal ini dibiarkan oleh
pemerintah pada waktu itu tentu kerugian besar akan menimpa umat Islam.Pekerjaan ini
dilakukan bukan tanpa kritikan dari kalangan umat Islam sendiri bahkan belakangan
menjadi perdebatan.

4. Pemeliharaan Al-Qur’an pasca sahabat sampai sekarang


Penulisan Al-Qur`an secara lengkap dari awal hingga akhir dengan urutan surat
sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Saw telah selesai dilakukan pada masa
Khulafaurrasyidin. Termasuk mengakhiri perbedaan penulisan mushaf yang dapat berakibat
pada perpecahan di antara kaum muslimin. Maka hal selanjutnya yang banyak dilakukan oleh
umat Islam adalah menyempurnakan penulisan mushaf dan meneruskan periwayatan Al-
Qur`an dari generasi sebelumnya kepada generasi setelahnya.

Adapun dalam hal periwayatan Al-Qur`an kemudian muncul banyak sekali qira`at
bacaan Al-Qur`an, karena Rasulullah sendiri mengajarkan qira`at yang berbeda-beda kepada
para sahabat. Qiraat tersebut mulai dari yang paling lemah hingga paling kuat riwayatnya,
yakni maudhu’, syadz, ahad, masyhur, dan mutawatir. Dan dalam ilmu qira`at yang boleh
dibaca hanyalah qiraat mutawatir dan masyhur.42

Adapun qira`at yang mutawatir riwayatnya dan bisa dipastikan berasal dari Rasulullah
Saw karena banyaknya periwayat sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Mujahid ada tujuh
riwayat, yakni riwayat Ibnu Katsir, Ibnu ‘Amir, Ashim, Abu ‘Amru, Hamzah, Nafi`, dan Al-
Kisa`i. Dr. Nuruddin ‘Itr menyebutkan tambahan terhadap jumlah qira`at mutawatir ini
sejumlah tiga riwayat sehingga seluruhnya menjadi sepuluh riwayat, yakni qira`at Abu Ja`far,
Ya`qub bin Ishaq, dan Khalaf bin Hisyam.43

Lalu kemudian munculah Imam Qira`at pada generasi setelahnya, diantara yang
terkenal yakni Al-Bizzi dan Qunbul yang berasal dari riwayat Ibnu Katsir, Hisyam bin ‘Ammar
dan Ibnu Dzakwan dari riwayat Ibnu ‘Amir, Syu`bah dan Hafsh dari riwayat ‘Ashim, Ad-Duuri
dan As-Suusi dari Abu ‘Amru, Khalaf dan Khalad dari riwayat Hamzah, Qalun dan Warsy dari
riwayat Nafi’, Abul Harits dan Ad-Duuri dari[ riwayat Al-Kisa`i, Ibnu Wardan dan Ibnu Jamaz
dari riwayat Abu Ja`far, Ruwais dan Ruuhemporer sekarang ini. Diantara periwayat yang
masyhur pada era kontemporer yakni Al-‘Allamah Abdul Fattah Al-Qadhi (1403 H), Asy-
Syaikh ‘Amir As-Sayyid ‘Utsman (1408 H), dan Al-‘Allamah Hussein Khitab (1408 H). 44

Kemudian Dalam penulisan teks al-Qur’an dirumuskanlah tanda baca yang lebih
sistematis untuk menjaga bacaan al-Qur’an tetap terjaga keorisinilitasannya meski dibaca oleh
42
Nuruddin Muhammad ‘Ithr Al-Halabi, ‘Ulum Al-Qur`an Al-Karim... hlm. 148
43
Nuruddin Muhammad ‘Ithr Al-Halabi, ‘Ulum Al-Qur`an Al-Karim... hlm. 150
44
Nabil bin Muhammad Alu Ismail, Al-‘Inayah bi Al-Qur`an Al-Karim wa ‘Uluumihi min Bidayat Al-Qarn
Ar-Raabi’ al-Hijri ila ‘Ashrina Al-Haadhir, (Madinah: Majma’ Al-Malik Fahd, t.th.), hlm. 43-46.

47| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Inda Qurrota Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

orang ‘ajam sekalipun. Setelah perumusan titik harokat yang di gagas oleh Abul Aswad Ad-
Duali, kemudian di sempurnakan oleh Khalid Al-Farahidi dengan menjadikan tanda harakat
berupa ‫( و‬wawu) kecil di atas huruf sebagai tanda dhummah, ‫( ي‬yaa) kecil di bawah hurus
sebagai tanda kasrah, ‫( ا‬alif) kecil di atas huruf sebagai tanda fathah. Namun konsep ini
banyak yang menolak dengan alasan kekhawatiran terjadi penambahan huruf pada teks al-
Qur’an.45 Namu dari konsep inilah yang menjadi dasar pengembangangan harakat yang
digunakan dalam penulisan al-Qur’an yang di gunakan hingga saat ini.46

Yang tidak kalah pentingnya dalam penulisan al-Qur’an adalah tanda titik pada huruf
yang disebut juga Nuqoth Al-I’jam. Yaitu tanda titik yang terdapat pada huruf yang berbentuk
sama agar dapat dibedakan antara satu dengan yang lain. Semisal huruf ‫ح‬,‫ خ‬,‫( ج‬jim, kho, ha).
Hal ini dikarenakan pada awal mulanya huruf-huruf dalam mushaf al-Qur’an tidak memiliki
tanda apapun (mujarradan).47

Menurut Dr. Ahmad Abu Bilal yang pertama kali merumuskan Nuqoth Al-I’jam adalah
Abu Aswad Ad-Duali dan murid-muridnya, yaitu Nasr Bin ‘Ashim, Abdurrahman Bin Hurmuz,
Yahya Bin Ya’mar, ‘Anbasah Al-Fiil, dan Maimun Al-Arqan. 48 Pada abad 15 M di temukan alat
percetakan oleh bangsa eropa. Pertamakali al-Qur’an di cetak pada abad ke 16 M di Italia.
Kemudian di susul pencetakan al-Qur’an yang dilakukan oleh Hinkelmann di Jerman dan
Maracci di Italia pada abad ke 17 M. Namun dalam cetakan tersebut terdapat banyak
kekeliruan yang fatal.49

Di dunia islam, awal mula pencetakan al-Qur’an dilakukan Maulaya Utsman di Santo
Petersbrug, Rusia pada abad ke 18 M. di susul pencetakan al-Qur’an di Teheran dan Tibriz
pada abad ke 19 M. kemudian di awal abad 20 M Raja Mesir Fuad I meminta para Syaikh Al-
Azhar membentuk komite pencetakan mushaf al-Qur’an. Setelah melalui proses penelitian
dan tahqiq, pada tahun 1923 mushaf al-Qur’an yang lebih sempurna berhasil di cetak. Mushaf
ini menggunakan penulisan rasm ustmani dengan menambahkan jumlah ayat dalam setiap
surat, penomoran pada setiap ayat, keterangan makiyyah dan madaniyah, tanda-tanda waqaf,
juz, hizb, rubu’, dan ayat sajadah. 50

Setelah munculnya percetakan Majma’ Al-Malik Fahd di Madinah yang di pelopori


oleh kerajaan Arab Saudi, maka pada tahun 1983 dibentuklah panitia yang terdiri dari para
ulama yang ahli di bidang al-Qur’an dan tulisannya. Dengan penerapan standar penulisan
serta pengecekan yang ketat dari panitia dan evaluasi yang berjalan secara berkesinambungan
membuat kualitas mushaf yang dicetak menjadi sangat baik. Yang kemudian di sebut dengan
Mushaf Madinah.51

45
Ibid., hal. 344
46
Ahmad Muhammad Abu Bilal, ‘Inayat Al-Muslimiin bi Al-Lughoh Al-‘Arabiyyah Khidmatan li
Al-Qur’an Al-Karim, Madinah: Majma Al-Malik Fadh, t.th., hal. 54-55
47
Abu Amru Ad-Dani, An-Niqat, Kairo : Maktabat Al-Kulliyat Al-Azhariyah, t.th., 2007 hal. 129
48
Ahmad Muhammad Abu Bilal, Op.Cit
49
Fahd Abdurrahman Ar-Rumi, Diraasat fii ‘Ulum Al-Qur’an Al-Karim, Riyadh: Maktabat Al-
Malik Fahd Al-Wathaniyya, 2005, cet. 4, hal. 501-502
50
Fahd Abdurrahman Ar-Rumi, Op. Cit., hal. 504
51
Fahd Abdurrahman Ar-Rumi, Op. Cit., hal. 505

al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx | 48
Inda Qurrata Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

Selain menyempurnakan penulisan al-Qur’an, dilakukan juga penyederhanaan


terhadap konsep Tajwid al-Qur’an yang mulanya dipelajari melalui jalur hafalan menjadi
tertulis dan lebih konkrit serta tersusun secara sistematis. Dari sisi praktek tajwid sudah
diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat ketika mengajarkan baca al-Qur’an,
begitu juga para sahabat ketika mengajarkan al-Qur’an kepada murid-muridnya. Namun dari
segi susunan teoritis ilmu tajwid baru dimulai setelah priode sahabat.

Terdapat perselisihan tetang peletak dasar ilmu tajwid. Ada yang mengatakan peletak
awal adalah Khalil bin Ahmad Al-Farahidi. 52 Abul Aswad Ad-Duali, abu Ubaid Al-Qosim bin
Salam, dan ada juga yang menyebutkan beberapa imam qiraat lainnya.53 Al Khaqani juga
disebut-sebut sebagai peletak dasar ilmu tajwid karena dialah yang mula-mula menyusun
kitab dalam ilmu tajwid.54

Setelah khaqani kemudian banyak bermunculan kitab-kitab yang membahas ilmi


tajwid semisal kitab At-Tahdid fi Al-Itqan wa At-Tajwiid karya Ad-Daani (444 H) dan At-
Tahmiid fii Ilmi At-Tajwid Karya Ibnul Al-Jazari (833 H). Bahkan setelahnya ilmu tajwid
tersebut di nadzhamkan dalam bentuk syair semisal Matan Jazari dan Tuhfatul Athfal.

F. Upaya Ummat Islam dalam Menjaga Orisinilitas dan Validitas Al-Qur`an


Sebelum ini telah dibahas pemeliharaan Al-Qur`an dari segi penjagaan teks dan
bacaannya, dan pada pembahasan ini akan terkonsentrasi pada penjagaan status Hujjiyat Al-
Qur`an (kehujjahan Al-Qur`an). Yang dimaksud dengan Hujjiyat Al-Qur`an di sini yakni
validitas dan otentisitas Al-Qur`an. Sudah sejak lama muncul tuduhan-tuduhan yang dapat
berimplikasi pada validitas dan otentisitas Al-Qur`an yang bersumber dari berbagai kalangan,
semisal tuduhan yang berkaitan dengan i`rab Al-Qur`an (gramatikal Al-Qur`an). Maka
kemudian munculah bantahan semisal yang disusun oleh Dr. Yusuf Khalaf Al-‘Isawi dalam
bukunya Radd Al-Buhtan ‘an I`raabi Aayaati min Al-Qur`an Al-Karim.

Kemudian adapula tuduhan yang berkaitan dengan validitas al-Qur’an sebagai wahyu
Ilahi yang pada intinya menuduh Rasulillah SAW mengarang isi dari al-Qur’an tersebut. Maka
muncul bantahan sebagaimana yang di susun oleh Dr. Muhammad Sa’id Jamaludin dalam
bukunya Asy-Syubuhaat Al-Maz’uumat Haula Al_Qur’an Al-Karim fii Ad-Daairat Al-Ma’aarif
Al-Islamiyyah wa Al-Bariithaniyyah. Adapula Syaikh Su’ud bin Abdul ‘Aziz Khalaf dengan
karyanya Dahdhu Da’wa Al-Musytasyriqiin anna Al-Qur’an min ‘Indi An-Nabiy Shalallahu
‘alaihi wasallam.

Dr. Abdul Muhsin Al-Muthiri menyusun disertasi untuk membantah tuduhan


keorisinilan al-Qur’an yang muncul pada zaman kontenporer dalam bukunya Da’awa At-
Thaainiin fii Al-Qur’an Al-Karim fi Al-Qorn Ar-Raabi’ ‘Asyar Al-Hijri wa Ar-Radd ‘alaiha.
Selain itu ada juga Dr. Abdul Fattah Syalbi pengarang kitab Rasm Al Mushaf Al-Ustmani wa
52
Muhammad Ali Al-Mishri, Al-Amiid fii Ilmi At-Tajwiid, Iskandariyah: Daar Al-Aqidah, 6440,
cet. 1, hal. 7
53
Abdul Fattah Al-Mishri, Hidaayat Al-Qaari ilaa Tajwiid Kalaam Al-Baari, Madinah: Maktabat
Thayyibah, t.th., cet. 2, vol. 1, hal. 46
54
Ghanim Qaduri, Abhats fii Uluum At-Tajwiid, Oman: Daar „Ammaar, 2002, cet. 1, hal. 10.

49| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Inda Qurrota Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

Auhaam Al-Musytasyriqiin fi Qiraat Al-Qur’an Al-Karim yang membahas mengenai tuduhan


yang diarahkan kepada rasm al-Qur’an dan qiraatnya

Dalam menjawab tuduhan misionaris dan kesalahan dalam menginterpretasikan al-


Qur’an, Dr. Abdur Radhi menyusun Al-Gharat At-Tashiriyah ‘ala Ashalat Al-Qur’an Al-Karim
dan Dr. Shalah Abdul Fattah dengan karyanya Al-Qur’an wa Naqdhu Mathaa ‘in Ar-Rubhan.
Dr. Muhammad Maher Ali kemudian menyusun Mazaa’im Al-Musytasyriqiin Haula Al-Qur’an
Al-Karim yang membahas secara khusu tuduhan orientalis terhadap al-Qur’an.

Kesemua karya di atas merupakan hasil penelitian para cendikiawan muslim yang
dapat digolongkan juga sebagai salah satu upaya pemeliharaan terhadap al-Qur’an dengan
menjaganya dari tuduhan-tuduhan yang dapat mengakibatkan jatuhnya validitas dan
keotentisitasanya.

Berikut ini kami cantumkan beberapa contoh argumentasi dan jawaban ringkas terkait
upaya-upaya yang dilakukan oleh kaum misionari untuk melemahkan al-Qur’an

1. Terkait gramatika yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 196

ۗ ٌ‫ش َرةٌ كَا ِملَة‬ َ ‫صيَا ُم ثَ ٰلثَ ِة اَيَّ ٍام فِى ا ْل َح ِّج َو‬
َ ‫س ْب َع ٍة ِا َذا َر َج ْعتُ ْم ۗ تِ ْلكَ َع‬ ِ َ‫فَ َمنْ لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬
Barang siapa yang tidak mendapatkan (hadyu) maka dia wajib berpuasa tiga hari di
musim haji dan tujuh hari setelah kalian kembali. Itulah jumlah sepuluh hari yang
sempurna

Kemudian muncul tuduhan gramatika ayat tersebut salah, tepatnya pada kata ‫ش َرة‬َ ‫َع‬
yang secara gramatikal yang merupakan kata bilangan. Karena kata bilangan (‘adad)
selalu menyelisihi kata yang terbilang olehnya (ma’dud) dalam hal mudzakkar dan
muannas. Contoh dalam kata: empat masjid. Kata bilangannya adalah empat, dan kata
yang terbilang olehnya yaitu masjid. Masjid dalam Bahasa arab berjenis mudzakkar,
maka kata empat harus muannas dan menggunakan ta’marbuthah (‫ )ة‬menjadi ‫اربعة‬
‫مساجد‬

Mereka beranggapan bahwa kata ‫ش َرة‬َ ‫‘( َع‬Asyaratun) seharusnya ‫‘( عشر‬Asyrun) tampa
ha’tamarbuthoh (‫ )ة‬karena kata setelahnya adalah ‫( كاملة‬Kaamilatun) yang berjenis
mu’annats, sehingga menjadi (‘Asyarun Kaamilatun).

Maka jawabannya adalah kata ma’dudnya bukan ‫( كاملة‬Kaamilatun) Melainkan ‫ام‬QQ‫اي‬


(Ayyamun). Hanya saja ma’dudnya dihapus karena telah dipahami dalam makna
tersirat. Dan ini biasa digunakan dalam penggunaan Bahasa arab. Jadi ada kesalah
pahaman penuduh dikarenakan ilmu Bahasa atau gramatikanya yang masih sangat
awam.55

2. Tuduhan bahwa Rasulullah SAW tidak melakukan penulisan teks al-Qur’an pada
priode Makkah, dan penulisan al-Qur’an juga belum sempurna pada masa beliau. Yang
mana pada intinya tuduhan ini menimbulkan keraguan apakah benar seluruh firman

55
Yusuf Khalaf Al-Isawi, Radd Al-Buhtaan ‘an I‟rabi Aayaati min Al-Qur‟an Al- Kariim,
Dammam: Daar Ibn Al-Jauzi, 2010, cet. 1, hal. 64

al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx | 50
Inda Qurrata Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

Allah telah dicatat secara sempurna dan tidak ada yang tertinggal? Jika ada yang
tertinggal kemungkinan besar ada yang ditambah atau dirubah.

Dr. Muhammad Sa’id Jamaluddin menyebutkan bahwa tuduhan tersebut tidak


memiliki dasar logila atau sumber teks yang menguatkannya. Kemudian beliau
mengutip ucapan Dr. Ibrahim ‘Iwadh mustahil bahwa al-Qur’an yang dipandang
penting oleh umat islam, bahkan mereka rela mengorbankan diri mereka untuknya,
namun mereka tidak perjatikan dan mereka tuliskan.56

Kesimpulan

Pemeliharaan Al-Qur`an adalah segala proses dan cara yang dilakukan untuk menjaga
dan memelihara kitab suci Al-Qur`an dari segala bentuk perubahan baik berupa penambahan
maupun pengurangan sehingga tetap terjaga orisinalitas dan validitasnya. Adapun bentuk-
bentuk pemeliharaan al-Quran berupa; Al-Hifdzu fii As-Shuduur yakni menjaga Al-Qur`an
dalam bentuk hafalan, Al-Hifdzu fi As-Shuthuur yakni menjaga Al-Qur`an dalam bentuk baris-
baris tulisan, pembukuan Al-Qur`an, kodifikasi Al-Qur`an, penyempurnaan tulisan Al-Qur`an
dan kaidah tajwid, dan pembelaan terhadap orisinilitas dan validitas Al-Qur`an.

Pemeliharaan Al-Qur`an pada masa Rasulullah Saw dimulai dengan dihafalkan dan
ditulis oleh para sahabat, dan tulisan tersebut masih terpencar-pencar dan terpisah-pisah.
Pada masa Abu Bakar, al-Qur`an dibukukan menjadi satu mushaf. Hal ini dilakukan karena
usul dari Umar yang disebabkan oleh gugurnya sekitar 30 atau 50 penghafal Al-Qur`an saat
terjadinya perang yamamah yang mengakibatkan terancamnya eksintensi al-Qur`an.
Kemudian pada masa Khalifah Utsman bin Affan, terjadilah konflik antara sesama muslim
dalam perbedaan riwayat bacaan al-Qur`an saat perang pembebasan wilayah Armenia. Oleh
karena itu Al-Qur`an ditulis ulang untuk mengakomodir perbedaan riwayat bacaan dalam
satu tulisan, yakni tulisan Quraisy serta digandakan menjadi 7 salinan mushaf yang kemudian
disebut dengan mushaf ‘Utsmani untuk disebarkan ke enam wilayah dan satu salinan
dipegang oleh Khalifah ‘Utsman sendiri.

Hal selanjutnya yang banyak dilakukan oleh umat Islam dalam memelihara eksistensi
Al-Qur`an adalah menyempurnakan penulisan mushaf dan meneruskan periwayatan Al-
Qur`an dari generasi sebelumnya kepada generasi setelahnya dan menjaga validitas Al-Qur`an
dari orang-orang yang ingin menghancurkan eksistensi Al-Qur`an. Hal ini dapat diketahui
dengan lahirnya karya-karya dari cendikiawan muslim dalam membantah pemikiran-
pemikiran yang ingin merusak orisinilitas dan validitas Al-Qur`an.

56
Muhammad Sa‟id Jamaluddin, Asy-Syubuhaat Al-Maz‟uumah Haula Al-Qur‟an Al- Kariim fii
Daairat Al-Ma‟aarif Al-Islamiyyah wa Al-Barithuniyyah, Madinah: Majma‟ Al-Malik Fahd, t.th., hal. 47

51| al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx.
Inda Qurrota Aini, Gina Raodatuljannah , Aeres Mesty Sofida

DAFTAR PUSTAKA

al-Burhan: Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an, Vol. xx, No. xx, Bulan 20xx: xx-xx | 52

Anda mungkin juga menyukai