Anda di halaman 1dari 69

BIDANG ILMU PENDIDIKAN SEJARAH

LAPORAN PENELITIAN AKHIR


FKIP-UNIVERSITAS CENDERAWASIH

“TRANSMIGRASI DI KAMPUNG KARYA BUMI DISTRIK


NAMBLONG KABUPATEN JAYAPURA, 1976 –2014”

Oleh :
Nama : Albert Rumbekwan, S.Pd. M.Hum (Ketua)
NIP. 198110122008121002
Nama: Dra. Magdalena Sitepu, MM
NIP. 19560320 198703 2 001

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS CENDERAWASIH
2016

i
LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul : “Transmigrasi di Kampung Karya Bumi Distrik Namblong


Kabupaten Jayapura, 1976 –2014”
2. Bidang Penelitian : Sejarah
3. Ketua Peneliti :
a. Nama Lengkap : Albert Rumbekwan, S.Pd. M.Hum
b. Jenis Kelamin : Laki-Laki
c. NIP : 198110122008121002
d. Disiplin Ilmu : Pendidikan Sejarah
e. Pangkat/Golongan : Asisten Ahli/IIIA
f. Jabatan : Dosen
g. Fak/Jurusan : Keguruan dan Ilmu Pendidikan/Ilmu
Pengetahuan Sosial
h. Alamat : Jalan Pendidikan Abepura
i. Telepon/Fax/Email : 081281513616/rumbekwanalbert@yahoo.com
j. Alamat Rumah : Jalan Pendidikan Abepura
4.Anggota
Nama I : Dra. Magdalena Sitepu, MM
NIP : 19560320 198703 2 001

5. Lokasi Penelitian : Kampung Besum, Kabupaten Jayapura


6. Lama Penelitian : 2 Bulan
7. Jumlah Biaya : 15.000.000,- (Lima Belas Juta Rupiah)
8. Sumber Dana : FKIP-UNCEN Tahun Anggaran 2016

Mengetahui :
Ketua Jurusan IPS Ketua Peneliti
FKIP-Universitas Cenderawasih

Drs. Handono Kusumo, M.Hum Albert Rumbekwan, S.Pd.M.Hum


NIP: 196305171990031001 NIP: 198110122008121002

Menyetujui
Pembantu Dekan II Fkip - Universitas Cenderawasih

Ester Yambeyabdi, S.Pd. M.Hum


NIP: 196908091996102001

ii
SISTIMATIKA PENULISAN

Sampul Depan……………………………………………………… i
Lembar Pengesahan……………………………………………….. ii
Abstrak…………………………………………………………....... vi

BAB I: PENDAHULUAN…………………………………………. 1
A. Latar Belakang………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………. 4
C. Tujuan & Manfaat Penelitian…………………………………. 4
D. Tinjauan Pustaka……………………………………………… 4
E. Metode Penelitian…………………………………………….. 6

BAB II KEADAAN SPASIAL KAMPUNG KARYA BUMI……. 10


A. Keadaan Umum Kampung Karya Bumi……………………....... 10
1. Letak Geografis dan Topografi……………………………… 10
2. Penduduk……………………………………………………. 13
3. Hubungan Kekerabatan……………………………………… 14
4. Sistem Kepercayaan…………………………………………. 16
5. Perkembangan Pendidikan…………………………………. .. 19
B. Keadaan Sosial-Ekonomi Kampung Karya Bumi………………. 22
1. Pola Permukiman……………………………………………. 22
2. Mata Pencarihan…………………………………………….. 24
C. Pemerintahan Tradisional dan Formal…………………………. 29
1. Pemerintahan Tradisional…………………………………… 29
2. Sistem Pemerintahan Formal Kampung Karya Bumi............. 34

BAB III: KEHADIRAN TRANSMIGRASI DI KAMPUNG KARYA


BUMI……………………………………………………… 37
1. Sejarah Transmigrasi …………………………………………… 37
1.1. Transmigrasi di Indonesia…………………………………... 37
1.2. Trasnmigrasi di Papua………………………………………. 40
1.3. Transmigrasi di Kampung Karya Bumi……………………... 42
2. Pandangan Terhadap Kehadiran Transmigrasi…………………… 48
3. Terbentuknya Kampung Karya Bumi…………………………….. 52

iii
BAB IV : DAMPAK TRANSMIGRASI BAGI MASYARAKAT
KAMPUNG KARYA BUMI …………………………… 54
A. Dampak di Bidang Pertanian & Perkebunan……………………. 54
B. Dampak Ekonomi……………………………………………….. 55
C. Dampak Sosial………………………………………………… .. 56

BAB V : PENUTUP………………………………………………. . 57
A. Kesimpulan……………………………………………………... 57
B. Saran-saran……………………………………………………... 59
Daftar Pustaka……………………………………………………… . 61

iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Peta Sketsa Kampung Karya Bumi................................... 11
Gambar 2 : Area Pesawaan dan Pemukiman Kampung Karya Bumi. 12

DAFTAR BAGAN
Bagan 1 : Struktur Kepemimpinan Adat/Lokal Kampung Karya Bumi… 30
Bagan 2 : Struktur Badan Musyawarah Kampung……………….. 35
Bagan 3 : Struktur Pemerintah Kampung Karya Bumi…………… 36

DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Data Penduduk Kampung Karya Bumi Berdasarkan Kelompok
Umur Tahun 2005............................................................. 14
Tabel 2 : Data Penduduk Kampung Karya Bumi Berdasarkan
Pembagian Rukun Warga 2015........................................ 14
Tabel 3 : Tabel Data Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 2015.. 18
Tabel 4 : Tabel Data Rasio Guru dan Murid…………………… … 20
Tabel 5 : Tabel Data Ruang Kelas, Kelas dan Guru……………… 20
Tabel 6 : Data Penduduk Usia 15 Tahun Berdasarkan Pendidikan.. 21
Tabel 7 : Data Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun Berdasarkan
Pekerjaan……………………………………………....... 29
Tabel 8 : Kronologis Sejarah Kampung Karya Bumi……………... 53

DAFTAR LAMPIRAN
Daftar Narasumber……………………………………………………. 62

v
ABSTRAK

Judul : “Transmigrasi di Kampung Karya Bumi Distrik Namblong Kabupaten


Jayapura, 1976 –2014”

Penelitian mendeskripsikan tentang sejarah transmigrasi di Papua. Sejak program


transmigrasi menjadi primadona pembangunan lima tahun (pelita), pada masa
pemeritahan orde baru dibawah kepemimpin Presiden Soeharto. Beberapa daerah di
Indonesia menjadi daerah tujuan transmigrasi, daerah-daerah tersebut antara lain;
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Transmigrasi di Papua dahulu dikenal
dengan nama “Pelopor” ; Pembangunan Serbaguna atau Pelopor Pembangunan Irian
Barat”, yang mulai bergulir pada tahun 1970-an. Transmigrasi di Kampung Karya Bumi
(dulu Kampung Besum), dimulai secara bergelombang/bertahap; kelompok pertama tiba
di kampung Besum, pada 4 April 1976 dari Jawa Tengah, berjumlah 100 KK. Kemudian
kelompok kedua tiba tahun 1977, dari Jawa Timur, berjumlah 50 kepala keluarga. Daerah
Kampung Besum, saat itu merupakan arel pertanian dan penyemaian pada masa
pemerintahan Belanda yang disebut ”Hiderland”. Kehadiran para transmigrasi di daerah
tersebut pada umumnya tidak terima oleh masyarakat lokal, namun program ini
merupakan program pemerintah pusat yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah,
maka melalui desakan pemerintah dibawah pengawalan ketat TNI-ABRI, maka
masyarakat harus menyerahkan tanah mereka untuk para transmigrasi. Kehadiran para
transmigran di Kampung Karya Bumi, dalam perkembangannya mengalami kemajuan
dan dampak bagi kehidupan kelompok transmigran maupun penduduk lokal. Penelitian
ini menggunakan metode penelita sejarah dengan menggunakan empat cara yaitu:
heuristic, Interpertasi, Kritik Sumber dan Historiografi.

Kata Kunci: Sejarah Transmigrasi, Kampung Karya Bumi, Namblong, Jayapura-Papua.

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah Transmigrasi dimulai Tahun 1905, ketika Pemerintah Kolonial
Belanda melaksanakan Pemindahan 155 keluarga petani dari Kedut ke desa
baru di dekat Gedong Tataan sebelah Selatan dari Way Sekampung Lampung
Selatan. Setelah kemerdekaan, program Kolonisasi diteruskan oleh Pemerintah
Indonesia tetapi namanya diganti menjadi Transmigrasi. Ketika dimulainya
Repelita I (pertama) tahun 1969 pendekatan yang lebih realistis dilakukan
terhadap program Transmigrasi, hal tersebut dilihat sebagai usaha
pengembangan sumber daya alam di daerah yang kurang padat penduduk di
luar Pulau Jawa dan Bali. Proyek-proyek yang didirikan sesudah 1969
dilengkapi dengan prasarana yang jauh lebih memadai sehingga permukiman-
permukiman baru mempunyai landasan ekonomi yang lebih kuat1.
Proyek transmigrasi ini juga dilaksanakan oleh Dapertemen
HANKAM, dengan memindahkan para pensiunan anggota ABRI (terutama
yang bertugas di Papua), ke tanah Papua. Sebenarnya Papua bukanlah daerah
tujuan utama proyek transmigrasi bila dipandang dari sudut nasional. Wilayah
Papua memiliki banyak kendala alamiah dan membutuhkan teknologi yang
memadai untuk membukanya sebagai daerah pertanian yang ekstensif, karena
jaringan infrastruktur di Propinsi itu masih sangat terbatas. Tujuan utama
proyek-proyek transmigrasi ketika itu adalah di Pulau Sumatera, Kalimantan,
dan Sulawesi2.
Program transmigrasi di Papua dahulu disebut dengan nama “Pelopor
Pembangunan Serba Guna atau Pelopor Pembangunan Irian Barat”
(PPSG/PPIB). Program transmigrasi ke daerah Papua didasarkan pada

1
M. Amral ,Sjamsudin, Transmigrasi Dari Kolonisasi sampai Swakarsa. Dalam Joan Hardjono
(penyunting). Jakarta: PT. Gramedia, 1982, Hal. 1-3. Lihat juga Surat Keputusan Presiden No.7 /
1978, Istilah Kolonisasi Diganti Dengan Istilah Transmigrasi.
2
Koentjaraningrat, et. al. Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1994, Hal. 408-409.

1
kebijakan Presiden Soeharto, tentang penentuan Provinsi Irian Jaya sebagai
daerah penerima Transmigrasi baru yang dilakukan sejak 1978. Para
transmigrasi yang ditempatkan di Papua tersebar keberapa kabupaten yaitu
Manokwari (Oransbari, Warmare, dan Prafi), Kabuapaten Jayapura (Dosai dan
Arso), Kabupaten Merauke (Kumbe, Kurik, Kuprik, Salor, Semangga,
Jagebab)3.
Selain itu ada pula transmigrasi spontan yang tiba pada tahun 1970
sekitar 5.000 orang Bugis dari Pulau Sulawesi tiba di Papua, dan pada tahun
berikutnya meningkat menjadi 10.000 orang4. Kehadiran para pendatang baru
ini pada tahap permulaan diterima dengan segala kecanggungan (clumsinnes)
oleh masyarkat Papua, akan tetapi secara berangsur-angsur berubah menjadi
hubungan sosial yang harmonis, bahkan pemerintah mencatat perkawinan
antara pendatang dan putera daerah sudah menjadi umum.5
Walaupun namanya diganti dari Kolonisasi menjadi program
Transmigrasi, tetap saja objek dan subjeknya sama yaitu memindahkan
manusia dari daerah Pulau Jawa yang padat penduduknya ke daerah lain yang
jarang penduduknya. Transmigrasi di Indonesia biasanya diatur dan didanai
oleh pemerintah khususnya warga masyarakat bergolongan menengah ke
bawah. Para Transmigran ini sesampainya di daerah transmigrasi yang telah
ditentukan, mereka diberikan sebidang tanah, rumah sederhana, dan perangkat
lain untuk menunjang hidup di lokasi tempat tinggal yang baru.
Demikan halnya perlakukan yang sama dialami para transmigran di
Kampung Karya Bumi, Distrik Namblong, (dulu Distrik Nimboran) dijadikan
sebagai salah satu tempat permukiman transmigrasi, yang didatangkan dari
Jawa Tengah, tanggal 4 April 1976, berjumlah 100 Kepala Keluarga yang
berasal dari Desa Bayalak 25 Kepala Keluarga, dari Desa Purwodadi 40 Kepala

3
A.E, Dumatubun, et. al. Hiyake Jurnal Sejarah dan Budaya. Jayapura: Penerbit Balai
Pelestarian Budaya Jayapura, Desember 2013, Vol.03, 1, Hal. 34.
4
Koentjaraningrat, et. al. Op. Cit, hal. 410.
5
Siti Anisa. Kebijakan Transmigrasi dan Dampaknya Bagi Masyarakat di Dsitrik Nimbokrang
Kabupaten Jayapura ()1980 – 2008). Skripsi Sarjana (tidak diterbitkan). Jayapura: Program Studi
Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih 2010, Hal.4.

2
Keluarga, dari Desa Kebumen, 31 Kepala Keluarga dan dari Desa Purorejo 4
Kepala Keluarga. Tahun 1977 datang lagi Transmigrasi dari Jawa Timur
sebanyak 50 Kepala Keluarga tepatnya dari Desa Trenggalek, 48 Kepala
Keluarga dan dari Jogjakarta, 2 Kepala Keluarga, sehingga warga Transmigrasi
yang ditempatkan saat itu seluruhnya berjumlah 150 Kepala Keluarga. Selain
itu terdapat pula beberapa warga pendatang dari Ujung Padang6.
Masuknya program transmigrasi di wilayah Papua pada umumnya
membawa dampak positif maupun negatif. Dampak negatif seperti
mengalokasikan tanah secara paksa kepada transmigran yang menurut hukum
adat setempat merupakan hak ulayat klen atau golongan kekerabatan penduduk
asli Papua. Sedangkan dampak positif yang terjadi pasca kehadiran para
Transmigran adalah adanya kesempatan bagi penduduk asli untuk belajar
bercocok tanam seperti pembukaan pesawaan untuk penanaman padi dan
pengelolaan lahan secara menetap untuk jenis tanaman lain yang dapat dijual
di pasar, serta belajar keterampilan-keterampilan lain sebagai modal
pembangunan masyarakat Papua. Hal lain yang terlihat adalah adanya
perubahan sosial, budaya, ekonomi antara masyarakat transmigrasi dan
masyarkat penduduk pribumi di sekitar daerah permukiman. Mengacuh pada
latarbelakang tersebut di atas, maka penelitan ini akan mengangkat judul
tentang; “Sejarah Transmigrasi Di Kampung Karya Bumi Distrik Namblong
Kabupaten Jayapura (1976 – 2014).

6
Rasino.,Kepala Kampung Karya Bumi, Wawancara (Interview), Kampung Karya Bumi, 21
Mei 2015.

3
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian yang mengkaji “Sejarah
Transmigrasi di Kampung Karya Bumi Distrik Namblong Kabupaten Jayapura
(1976-2014) adalah sebagai berikut:
1. Bagimana kehadiran Transmigrasi Kampung Besum?
2. Bagaimana dampak kehadiran para Transmigrasi terhadap masyarakat
lokal?

C. Tujuan & Manfaat Penelitian


Sesuai dengan rumusan masalah penelitian, maka tujuan yang akan
dicapai adalah untuk; Mendokumentasi dan mendeskripsikan sejarah
masuknya transmigrasi di Distrik Namblong. Dan untuk mendokumenkan
kajian sejarah lokal di Papua. Sebagai laporan penelitian, penggunaan dana
hibah PNBP Fakultas Keguruan Universitas Cenderawasih.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Untuk memperkaya khasanah penulisan sejarah Lokal di Papua. Sebagai
sumber referensi bagi kajian ilmiah dan sumber pengetahuan bagi masyarakat,
akademisi dan pemerintah.

D. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang “Sejarah Transmigrasi di Kampung Karya Bumi
Distrik Namblong Kabupaten Jayapura (1976-2014), merupakan kajian
sejarah sosial yang merujuk pada beberapa penelitian dan penulisan terdahulu
yang menjadi sumber referensi, antara lain: Karya M. Amral Sjamsudin yang
disunting oleh Joan Hardjono, mengulas Sejarah perkembangan transmigrasi
di Indonesia, penggunaan tanah di daerah permukiman baru, pengalaman-
pengalaman di daerah transmigrasi dan masa depan transmigrasi, dalam tulisan
tersebut mengulas secara singkat masuknya transmigrasi ke Papua.
Jan Breman, dalam karyanya yang berjudul; Keuntungan Kolonial
Dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720 –
1870, memperlihatkan lembaran hitam sejarah Belanda serta bagaimana VOC

4
dan pemerintah yang berkuasa telah meninggalkan guratan dalam sistem
pertanian di Jawa.
Dalam buku; Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, kumpulan
tulisan yang diedit oleh Koendjaraningrat, dkk, menjelaskan tentang proses
masuknya transmigrasi di Papua, yang berlangsung secara terprogram dan
ditetapkan dalam rencana pembangunan Repelita masa Orde Baru dan
transmigrasi spontan yang masuk ke Irian Jaya, sebagai agenda percepatan
pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia guna meningkatkan
kualitas sumber daya manusia yang ada di Tanah Papua. Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, secara konseptual menjelaskan pengertian
Antropologi sebagai “ilmu tentang manusia” dan merupakan suatu istilah yang
sangat tua serta beberapa wawasan tentang kebudayaan asing.
Alexander Griapon, dalam bukunya; Jauh, Dekat, Hulu Sungai Grime,
yang mengulas tentang Babakan awal perubahan pola pikir orang Asli Papua,
menjelaskan beberapa aspek budaya Nimboran, yang berkaitan penamaan
lokasi, kampung-kampung, kehidupan subsitem, perdagangan, keluarga,
pembayaran maskawin, tang (marga), dan system pemerintahan trandisional
otoritas tang dan eram be-kabi,perang, persekutuan masyarakat Nimboran, dan
beberapa aspek pemilikan tanah. Karya berlikut yang juga memberikan
penjelasan aspek sosial budaya yaitu tulisan dari Agusta Giary dkk, Hukum
Adat Suku Namblong. Dalam tulisan ini Giary dkk, menjelaskan beberapa
aspek Hukum Adat Suku Numbluong, Gambaran umum wilayah Numbluong,
Konsep Hukum Adat, Hukum Ketatanegaraan Adat Nambluong, Hukum
Kekerabatan Adat, Hukum Perkawinan Adat, Hukum Waris Adat, Hukum
Tanah Adat, Hukum tanah Adat, dan beberapa aspek Hukum Perang Adat.
Sebuah buku yang disunting oleh Sri Edi Swasono dan Masri
Singarimbu, tentang Transmigrasi di Indonesia 1905-1985. Secara lengkap
membahas dan menggambarakan proses perkembangan kolonisasi, tujuan
dilaksanakan transmigrasi, persoalahan yang dihadapi selama dilaksanakan
transmigrasi di Indonesia. Satu bagian khusus dalam buku ini menyoroti peran

5
Transmigrasi dalam stabilitas sosial politik daerah perbatasan dan
problematikanya di daerah Papua secara khusus.
Selain beberapa referensi yang telah disebutkan di atas, ada sumber-
sumber buku pendukung lainya yang dipakai dalam penulisan ini, yaitu dengan
menggunakan sumber lisan, hasil wawancara dari beberapa tokoh dan
observasi lapangan. Dan ada pula beberapa skripsi sarjana dan jurnal dipakai
sebagai sumber penulisan ini.

E. Metode Penelitian
Metode sejarah dibedakan menjadi dua pengertian yang pertama
metode sejarah adalah sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis yang
dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif dalam usaha dalam
mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah, menilai secara kritis dan kemudian
menyajikan suatu sintesa dari hasil-hasilnya dalam penulisan sejarah.
Sedangkan yang kedua metode sejarah adalah cara untuk mengerjakan sesuatu
dalam suatu sistem yang terencana dan teratur.7
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sejarah yang lazim
disebut metode penelitian sejarah. Adapun langkah-langkah metode sejarah
dalam kegiatan penelitian sejarah melalui empat tahap sebagai berikut :
Heuristik, Kritik, Interpretasi dan Historiografi.
Heuristik adalah proses mencari untuk menemukan sumber-sumber
sejarah. Proses ini dilakukan oleh seorang peneliti sejarah atau sejarawan untuk
mencari dan menemukan sumber data berupa sumber primer dan sekunder.
Sumber primer berasal dari data lapangan (observasi dan wawancara)
sedangkan sumber sekunder berasal dari data pustaka. Heuristik ini berasal
dari bahasa Yunani heurikein artinya : to find. To find berarti tidak hanya

7
Ester Yambeyapdi, Metode Penelitian Sejarah, Materi kuliah bagi Mahasiswa Prodi
Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Cenderawasih, Jayapura, 2012.

6
“mencari”, tetapi mencari dahulu baru menemukan”. Jadi, Heuristik ialah
proses mencari dan menemukan sumber-sumber.8
Dalam tahap ini peneliti berupaya mencari dan menemukan sumber-
sumber atau informasi yang berkaitan dengan objek penelitian yang dikaji baik
melalui studi pustaka maupun studi lapangan. Proses pencarian data yang
diperlukan dilakukan di Perpustakaan Daerah Propinsi Papua, Perpustakaan
Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Cenderawasih, Perpustakaan
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Kota Jayapura, dari internet
serta buku-buku pribadi dari Dosen dan Teman-teman Mahasiswa.
Penelitian dalam rangka mengumpulkan data ini kemudian dilanjutkan
dengan proses observasi langsung ke daerah transmigrasi yang menjadi objek
penulisan. Selama proses ini peneliti menggunakan metode wawancara. Hal
dilakukan dengan maksud untuk menggali peristiwa masa lalu dari beberapa
tokoh, yang dikenal dengan sejarah lisan (oral histori). Cara untuk memperoleh
sumber lisan ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa informan
kunci yaitu Bapak Rasino selaku Kepala Kampung, Bapak Supriono, Bapak
Marsidik selaku ketua Paguyuban Tranggalek, Ibu Regina Bano, Bapak
Abraham Demetou selaku ondoafi di Kampung Karya Bumi.
Proses obvarsi langsung ke lapangan dilanjutkan dengan pengamatan
langsung terhadap sasaran pengamatan terutama dalam kehidupan keseharian
Masyarakat Kampung Karya Bumi yang berada di Distrik Namblong dan data
Visual (dokumentasi) yang termasuk di dalam penelitian ini seperti gambar
foto sebagai bukti, dengan menampilkan foto tersebut diharapkan dapat
diketahui orang-orang yang penulis jadikan sebagai nara sumber.
Tahapan selanjutnya setelah pengumpulan data primer dan sekunder
ditemukan, maka sumber-sumber itu diuji dengan kritik. Tujuan kritik
seluruhnya ialah untuk menyeleksi data dengan fakta. Fakta ialah semua bahan
yang sudah lulus diuji dengan kritik. Jadi fakta itu sudah terkoreksi. Setelah

8
Ester Yambeyapdi, Ibid.

7
diperoleh sejumlah fakta yang cukup, maka kita harus melakukan usaha
merangkaikan fakta-fakta itu menjadi sesuatu keseluruhan yang masuk akal.9
Berdasarkan data yang terhimpun, dilakukan kritik interen dan
eksteren. Kritik interen berguna menilai kredibilitas data dalam sumber, apakah
itu layak atau tidak. Kritik interen mulai bekerja setelah kritik eskteren selesai
menentukan, bahwa dokumen yang dihadapi memang dokumen yang dicari.
Kritik interen harus membuktikan, bahwa kesaksian yang diberikan oleh
sesuatu sumber itu memang dapat dipercaya dan membanding-bandingkan
kesaksian berbagai sumber, dilakukan dengan menjejerkan kesaksian, dan
saksi-saksi yang tidak berhubungan satu sama lain,10 sedangkan kritik eksteren
berguna untuk menilai keakuratan sumber data apakah asli atau tidak. Aspek
eksteren bersangkutan dengan persoalan apakah sumber itu memang
merupakan sumber; artinya sumber sejati yang kita butuhkan. Tujuan kritik
adalah menyeleksi dan mencari data menjadi fakta.
Tahapan selanjutnya dilakukan sebelum penggunaan sumber data
tertulisa dan data lisan yang diperoleh dalam tulisan, penulis perlu melakukan
interpertasi kembali atau penafsiran terhadap semua sumber data untuk mencari
keterhubungan makna fakta dan hubungan antara satu fakta dengan fakta lain
sesuai dengan pokok yang menjadi pembahasan di dalam penulisan ini.
Berdasarkan segala keterangan itu dapat disusun fakta-fakta sejarah yang dapat
kita buktikan kebenarannya.11 Dalam melakukan analisa, disamping dengan
pendekatan historis dan arkeologi, juga digunakan pendekatan teoritis ilmu-
ilmu sosial lainnya. Daftar fakta sejarah yang disusun secara kronologis barulah
merupakan kronik dan belum merupakan sejarah.
Proses menafsirkan fakta-fakta sejarah serta proses penyusunannya
menjadi suatu kisah sejarah yang integral menyangkut proses seleksi sejarah,
sudah tentu tidak semua fakta dapat dimasukkan. Peneliti sejarah harus

9
Ester Yambeyapdi, Ibid., Hal. 2.
10
Ibid., Hal. 5.
11
Ibid.

8
memilih mana yang relevan dan mana yang tidak. Pemilihan itu tergantung
kepada anggapan-anggapan peneliti. Itu ada hubungannya dengan subyektivitas
sejarah.12 Dengan demikian baru masuk pada proses yang terakhir dari metode
sejarah yaitu; Historiografi, yakni proses penulisan kembali atau
merekonstruksi ulang sebuah peristiwa sejarah sebagai klimaks dari penelitian
sejarah yang kita lakukan. Tujuan kegiatan dari historiografi ini ialah untuk
merangkaikan fakta-fakta menjadi kisah sejarah. Sebab bagaimanapun juga
sejarah itu merupakan suatu kisah yang kita baca. Kita telah mulai dengan
menentukan apa yang hendak kita teliti, telah kita cari sumber-sumbernya, dan
memberi penilaian atas sumber-sumber itu dan menafsirkan informasi yang
terkandung di dalamnya. Kini tiba saatnya hasil penafsiran atau interpretasi atas
fakta-fakta itu kita tuliskan menjadi suatu kisah yang selaras.13
Di sinilah kita tiba pada persoalan kemahiran mengarang yang
diperlukan oleh seorang sejarawan/peneliti Sejarah. Dengan ini penulis
menguraikan fakta-fakta dari semua sumber; Sejarah Transmigrasi Di
Kampung Karya Bumi Distrik Namblong Kabupaten Jayapura (Tinjaun
Kehidupan Sosial-Ekonomi) mulai dari sumber tertulis maupun sumber lisan
sehingga dapat menjadi fakta sejarah yang akurat.

12
Ester Yambeyapdi, Op.Cit, Hal. 6.
13
Ibid.

9
BAB II
KEADAAN SPASIAL KAMPUNG KARYA BUMI

A. Keadaan Umum Kampung Karya Bumi


1. Letak Geografis dan Topografi
Kampung Karya Bumi merupakan salah satu kampung dari 7 (tujuh)
kampung di Distrik Namblong Kabupaten Kabupaten Jayapura, Provinsi
Papua, Luas wilayahnya adalah 465 Ha. Kedudukan geografisnya terletak
antara 0,2° - 36° Lintang Selatan (LS) dan 140°-10° Bujur Timur (BT).
Kampung Karya Bumi terletak di sebelah Timur Kota Sentani dengan jarak
sekitar 48 KM yang dapat di tempuh ± 120 menit atau sekitar 2 jam
perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda 2 (dua) maupun kendaraan
roda 4 (empat). Dengan letak batas administratif sebagai berikut:
 Sebelah utara berbatasan dengan Kampung Hamunggrang
 Sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Besum
 Sebelah timur berbatasan dengan Kampung Kwansu
 Sebelah barat berbatasan Kampung Ibub14
Gambaran letak geografis wilayah Kampung Karya Bumi dan pembagian
lahan dapat dilihat pada sketsa berikut ;

14
Dokumen, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung Karya Bumi. Tahun 2013-
2018, Hal. 10.

10
Gambar 1.
Peta Sketsa Kampung Karya Bumi

Sumber : Laporan RPJM Kampung Karya Bumi 2014

11
Topografi Kampung Karya Bumi merupakan area yang luas dan datar
serta subur untuk lahan pertanian dan perkebunan serta peternakan. Iklim di
daerah ini tidak berbedah dengan iklim yang ada di Kabupaten Jayapura,
secara klimatologis dikategorikan dalam tipe agak basah dengan periode
kering agak lama, sedangkan curah hujan rata-rata 1500 mm tiap tahun atau
125 mm tiap bulan. Suhu udara berkisar antara 240C sampai 320C dengan
perbandingan suhu antara siang hari dan malam 20C sampai 50C. Kelembapan
udara di daerah ini cukup tinggi yaitu rata-rata 60%. Dengan curah hujan dan
kelembahan udara seperti diatas ditambah dengan jenis tanah lempung
berpasir, tidak mengherankan kalau daerah Kampung Karya Bumi tergolong
subur. Dengan demikian member peluang bagi penduduk untuk menanam
berbagai jenis tumbuhan, khususnya padi sawah dan sayuran15.
Gambar 1 :
Area Pesawaan dan Pemukiman Kampung Karya Bumi.

Sumber Foto : Albert, Agustus 2015

Keadaan geografis dan topografis yang demikian, maka wilayah ini


dikelolah atau penggunaan lahan ditata sebagai sebagai berikut; sebagian
lahan diperuntukan sebagai pemukiman warga trans dan sebagian lahan
adalah untuk pesawaan, pertanian, perkebunan dan perternakan. Sedangkan
area lainnya adalah rawa-rawa. Di area pemukiman telah dibangun sarana dan

15
Laporan PRJM, Kampung Karya Bumi, 2014, Ibid, Hal. 11

12
prasarana umum/publik (luas ±465HA/4650000m2) seperti; jalan kampung,
sekolah dasar, kantor kepala kampung (luas ± 1/4ha50x50m/m2), sarana
olahraga (luas ±1,1/2ha 1500/m); lapangan sepak bola dan bola voli, tempat
ibadah Gereja Kristen Injili (luas ±1/4ha/50x50 m2), Gereja Pentakosta di
Papua, Gereja Betel Indonesia, dan Masjid (luas ±1/4ha/50x100m2). Para
area pertanian terbagi atas lahan kebun tradisional. Tanah hutan, tanah alang-
alang, dusun sagu, lahan perkebunan, hutan lindung, kebun kakao, lahan
pesawaan (luas ±250,ha). Selain itu, sebagian lahan dipakai untuk peternakan,
jenis-jenis hewan ternak yang dipelihara; sapi berjumlah 1070 ekor, kambing
berjumlah120 ekor, babi berjumlah 30 ekor, ayam buras berjumlah 370 ekor.
Dalam area di Kampung Karya Bumi, terdapat pula daerah rawa-rawa
produktif yang dapat dikelolah sebagai lahan pesawaan dan rawa-rawa tidak
produktif16.

2. Penduduk
Kampung Karya Bumi memiliki penduduk yang cukup heterogen,
yang terdiri kelompok penduduk asli/pribumi dan kelompok pendatang dari
Pulau Jawa dan bugis-makasar. Kelompok pendatang di Kampung Karya
Bumi merupakan masyarakat transmigrasi (khususnya dari Jawa), yang pada
tahun 1976 ditempatkan secara bertahap. Gelombang transmigran pertama
berjumlah 100 orang dan gelombang kedua berjumlah 50 orang didatangkan
dari Jawa Timur dan Tengah.
Penduduk Kampung Karya Bumi saat ini berjumlah 26 Kepala
Keluarga (KK) dengan jenis kelamin laki-laki 642 jiwa dan perempuan 602
jiwa, dengan total keseluruhan 1244 jiwa17. Pada table berikut akan
menjelaskan perkembangan penduduk Kampung Karya Bumi berdasarkan
kelompok usia/umur tahun 2005 dan pertumbuhan penduduk berdasarkan

16
Laporan PRJM, Kampung Karya Bumi, 2014, Ibid, Hal. 13
17
Ibid, hal. 12

13
jenis kelamin pada masing-masing dusun/RW 1-Dusun/RW4 di pada tahun
2005 sebagai berikut:
Tabel : 1
Data Penduduk Kampung Karya Bumi Berdasarkan Kelompok Umur
Tahun 2005
Penduduk
Usia
Laki-laki Perempuan Jumlah
0–5 51 41 92
6 – 11 27 24 51
12 – 17 67 55 122
18 – 25 98 85 183
26 – 45 154 135 289
46 – 70 38 18 56
71+ 21 10 31
Jumlah 456 368 824
Sumber : Kantor Desa Kampung Karya Bumi, 2015
Tabel 2.
Data Penduduk Kampung Karya Bumi Berdasarkan
Pembagian Rukun Warga 2015
Penduduk
No Dusun /RW
Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 DUSUN/RW I 134 119 253
2 DUSUN/RW II 161 159 320
3 DUSUN/RW III 262 226 488
4 DUSUN/RW IV 85 98 183
JUMLAH 642 602 1244
Sumber : Kantor Desa Kampung Karya Bumi, 2015
Berdasarkan dari Tabel 1 dan 2 di atas, jumlah penduduk Kampung
Karya Bumi pada tahun 2005 sebanyak 824 jiwa dan sampai tahun 2015
sebanyak 1244. Berarti terjadi peningkatan sebanyak 420 jiwa. Peningkatan
penduduk yang terjadi 10 (sepuluh) tahun terakhir tidak begitu banyak.

3. Hubungan Kekerabatan
Dalam masyarakat di mana pengaruh industrialisasi sudah maasuk
mendalam, tampak bahwa fungsi kesatuan kekrabatan yang sebelumnya
penting dalam banyak sector kehidupan sesorang, biasanya mulai berkurang
dan bersamaan dengan itu adat istiadat yang mengatur kehidupan

14
kekerabatan sebagai kesatuan mulai mengendor. Sejak masa pertengahan
abad ke-19, para ahli para ahli antropologi seperti J.J. Bachofen, L.H.
Morgan dan E.B. Taylor telah banyak membuat analisis mengenai beragam
sitem kekerabatan yang ada di dunia. Dengan demikian telah timbul
kesadaran angtara para ahli ilmu sosial bahwa bentuk masyarakat keluarga
inti berdasarkan monogamy sperti lazimnya dalam masyarakat Eropa Barat,
bukan satun-satunya kemungkinan bentuk sistem kekerabatan dunia. Di
samping prinsip keturunan bilateral seperti yang lazim dalam hubungan
kekerabatan di masyarakat Eropa Barat, ada prinsip keturunan Patrilineal dan
matrineal18.
Kampung Karya Bumi menganut sistem kekerabatan yang
menekankan pada wujud pentingnya yang “tertua”. Namun, itu ada
kencenderungan-kecenderungan dari dua pihak dalam istilah kekerabatan
ditasfirkan sebagai suatu penekanan pada hubungan dari keluarga inti. Pada
suatu basis uang mudah dan sangat bebas. Disan ada indikasi yang sangat
menonjol dari ketegangan-ketegangan diantara saudar tua dan saudara muda
(kakak-adik) yang sering terjadi meyangkut harta benda. Sampai kini belum
ada informasi yang cukup tentang hal ini19.
Dengan masuknya transmigrasi di Kampung Karya Bumi dimana
tampak bahwa fungsi kesatuan kekarabatan yang sebelumnya penting dalam
banyak sector kehidupan seseorang, biasanya mulai berkurang dan
bersamaan dengan itu adat-istiadat yang mengatur kehidupan kekarabatan
sebagai kesastuan mulai mengendor. Namun, masih banyak masyarakat di
Kampung Karya Bumi yang hidup berdasarkan pertanian dengan suatu
kebudayaan agraris.

18
Prinsip keturunan patrilineal yaitu prinsip menghitung hubungan keturunan hanya melalui
para kerabat pria dan matrilineal prinsip menghitung hubungan keturunan hanya melalui kerabat
wanita. Lihat Koentjaraningrat., Pengantar Ilmu Antropologi (edisi revisi). Jakarta : Penerbit
Rineka Cipta, 2009, Hal, 286.
19
Alexander Griapon. Log.It, Hal, 36.

15
Hubungan kekerabatan dalam kehidupan masyarakat yang ada di
Kampung Karya Bumi, antara transmigrasi dan lokal terjalin sangat baik.
Hubungan ini biasanya sangat terlihat pada saat acara besar, misalnya pada
acara Idhul fitri masyrakat lokal datang berkunjung dan bersalaman guna
memperat tali silaturahi dan sebaliknya juga begitu. Pada saat acara Natal,
masyarakat transmigarsi juga datang bersalaman dengan masyarakat asli20.
Bukan hanya pada saat acara besar saja, acara-acara kecil juga hubungan
kekerabatan terjalin harmonis, yaitu pada saat pementasan kudang lumping
pada acara pernikahan di kampung. Banyak masyarakat asli yang datang
menonton dan mereka sangat terhibur dengan pementasan kudang lumping.
Hal ini membuktikan bahwa walapun memiliki budaya yang berbeda, tidak
bisa membatasi untuk membangun hubungan , hubungan kekerabatan di
Kampung Karya Bumi saat ini tetap terpelihara dengan baik dan harmonis
sampai sekarang.
Akulturasi adalah sebuah proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan
unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga
unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaan itu sendiri21. Kehadiran para transmigrasi membawa
warna baru dalam kehidupan sosial terutama dalam menjalin relasi dalam
kehidupan sehari-hari.

4. Sistem Kepercayaan
Agama yang masuk ke Indonesia tentu mempunyai pengaruh. Agama
mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Agama sebagai
sistem kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa mengajarkan norma-
norma kehidupan yang baik untuk mengubah karakter dan cara hidup bangsa
kita,. Agama-agama yang diakui Indonesia adalah; Islam, Hindu, Budha,
Kristen Protestan, Kristen Khatolik dan Konghucu.

20
Rasino, Log. Cit.
21
Koentjaraningrat. Log.Cit, Hal, 202

16
Sistem kepercayaan secara khusus mengandung empat aspek yaitu:
aspek pertama: berhubungan dengan tempat-tempat keramat, makam, candi,
pura, kuil, gereja, langgar, surau, dan masjid. Aspek kedua adalah menegani
saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebaginya. Aspek ketiga
adalah benda-benda yang dipakai dalam ritual kepercayaan, termasuk patung-
patung yang melambangkan dewa-dewa, alat bunyi-bunyian seperti lonceng
suci, seruling suci, gendering suci dan sebagainya. Aspek keempat adalah
uang sebagai persembahan menggantikan sesajen dalam upacara keagamaan,
para pemimpin kepercayaan atau keagamaan adalah pendeta, biksu, syaman,
ulama dukun dan lain-lain22.
Dahulu orang-orang Lembah Grime percaya kepada arwah-arwah
nenek moyang yang tinggal di semen atau dunia roh. Masyarakat asli/orang
Grime di Kampung Karya Bumi beranggapan bahwa dusunya yang berada
di wilayah Grime, wilayah Besum percaya kepda roh nenek moyang yang
disebut wairam, mereka juga percaya injo yaitu roh jahat yang berjenis
kelamin wanita yang mempunyai kekuatan gaib dan dapat membawa bencana
maupun kekuasan23.
Kini agama yang dianut oleh mayoritas penduduk asli Kampung Karya
Bumi (Kampung-kampung di Distrik Namblong), adalah Kristen Protestan.
Agama Kristen Protestan masuk ke daerah Nimboran pada tahun 1924, dua
orang Zendeling protestan dari utrechtse zending vereening (perkumpulan
perkabaran injil Utrecht dari Belanda) yakni Jacob Bijkrek dan G. Schneider
didampingi oleh kolega dari Sarmi de Neef tiba di Lembah Grime untuk
memilih lokasi yang tepat untuk membuka pangkalan zending prostetstan di
wilayah tersebut. Sentuhan pertama dengan penduduk melalui anak-anak
yang datang dengan sukarela setelah diijinkan oleh orang tua mereka untuk
membantu mengerjakan segala sesuatu yang dibutuhkan. Melalui anak-anak
itulah orang tua dapat didekati oleh para Zending dan membangun

22
Koendjaraningrat. Pengantar Ilmu Atropologi (edisi revisi). Jakarta : Penerbit Rineka Cipta,
2009 .hal, 296
23
Siti Anisa. Loc. Id, Hal, 17. Kebijakan Transmigrai Dan Dampaknya……..

17
komunikasi dengan penduduk lain di seluruh kampung. Pelayanan gereja
dimulai dari beranda rumah zending, berlangsung pula pengobatan bagi
orang-orang sakit dan luka-luka24. Agama Kristen prostestan dianggap
masyarakat dapat mencegah suatu masalah besar dalam alam pikiran
masyarakat yaitu kematian. Anggapan ini timbul karena agama Kristen
dianggap agama orang kulit putih, di mana baptis ditafsir sebagai pengganti
inisiasi, perjamuan suci sebagai cara untuk memperoleh kehidupan abadi,
sedangkan roti dan anggur dianggap sebagai jimat25.
Namun, masuknya transmigrasi asal Jawa tahun 1976 dan 1977
masyarkat asli Kampung Karya Bumi dihadapkan pada suatu situasi
kehidupan keagamaan di Kampung Karya Bumi menjadi lebih ramai. Dengan
bertambahnya jumlah penduduk, maka jumlah pemeluk agama pun
bertambah, yaitu hadirnya agama Islam dan Katolik. Komposisi jumlah
pemeluk agama di Kampung Karya Bumi setelah ditempatkan warga
transmigrasi sampai keadaan tahun 2015 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.
Tabel Data Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 2015
No RT / RW Kristen Protestan Khatolik Islam
1 RW 1 - 251
2 RW 2 104 8 308
3 RW 3 29 - 410
4 RW 4 14 214
Jumlah 133 22 1183
Sumber : RPJM Kampung Karya Bumi , 2014

Dari tabel di atas menunjukan bahwa sampai tahun 2015 jumlah


penduduk agama Islam lebih besar dibandingkan dengan pemeluk agama
Kristen Protestan dan Katholik. Besarnya prosentase pemeluk agama Islam
tersebut karena ditempatkannya warga transmigrasi di Kampung Karya Bumi
mayoritas beragama Islam. Sedangkan pemeluk agama Kristen Protestan dan

24
Alexander Griapon. Jauh Dekat Hulu Sungai Grime :Babakan Awal Perubahan Pola Piker
Orang Ali Papua, jayapura :tabura, 2008, Hal, 92
25
Siti Anisa. Loc. It, Hal, 19. Kebijakan Transmigrai Dan Dampaknya……..

18
Katholik sangat sedikit bila dilihat dari prosentase yang ada pada tabel di atas.
Meningkatnya jumlah pemeluk agama islam di wilayah Lembah Grime,
khususnya di Kampung Karya Bumi, disebabkan karena terus bertambahnya
kaum pendatang di wilayah tersebut.

5. Perkembangan Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu indikator26 terpenting dalam
meningkatkan Sumber Daya Manusia. Semakin tinggi tingkat pendidikan
maka semakin berkembang pula tingkat pengetahuan. Sebaliknya semakin
rendah tingkat pendidikan akan menghambat perkembangan pengetahuan
kita akan pendidikan. Untuk meningkatkan pembangunan maka perlu adanya
pendidikan yang memadai untuk memingkatkan kesejahteraan masyarakat
yang lebih baik.27 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28C ayat
1 dan 2 yang mengamanatkan bahwa :“Setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan
dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia”. “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa, dan negaranya”.28
Pendidikan adalah suatu cara dalam peningkatan hidup manusia.
Semua keluarga dan semua negara mengharapkan anak-anak dan warga
negaranya mendapat pendidikan yang wajar dalam meningkatkan kehidupan
keluarga dan negara tersebut. Pendidikan akan memberikan tenaga-tenaga
yang terampil serta keahlian yang baik pada pemuda-pemudi untuk menuju
di kehidupan yang lebih baik.

26
Indikator adalah sesuatu yang dapat memberikan (menjadi) petunjuk atau keterangan.
27
La Juli., Komuntias Orang Buton di Pulau Kosong (1964-2011). Skripsi Sarjana (tidak
diterbitkan). Universitas Cenderawasih Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Jayapura, tahun
2012, hal.
28
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Tanggerang: Penerbit Interaksara, 2002, Hal. 44.

19
Keberadaan sebuah lembaga pendidikan formal sudah pasti
memiliki segenap instrumen29 dalam menunjang pelaksanaan program
pendidikan misalnya kurikulum sebagai pedoman perencanaan. Dari segi
pendidikan yang ada di masyarakat Kampung Karya Bumi, yang menjadi
masalah adalah bahwa mutu Pendidikan sangat rendah, hal ini disebabkan
karena kurang adanya perhatian dari orang tua dan pendidikan anak-anak usia
dini tidak melalui TK (Play Group), juga karena fasilitas Pendidikan di
Kampung Karya Bumi kurang memadai seperti beberpa ruang kelas dalam
keadaan rusak dan kurangnya tenaga pendidik dikarenakan tidak tersedianya
rumah guru. Kondisi tersebut dapat dilihat pada tabel-tabel dibawah ini:
Tabel 4.
Tabel Data Rasio Guru dan Murid
Jumlah Rasio
No Sekolah Murid Guru Murid /
Ket.
L P Jmh PN PTT Jml Guru
S
1 TK 20 23 43 2 2 4 4:43 Baik
2 SD Yapis 80 62 142 7 2 9 9: 142 Baik
3 SD Impres 87 73 160 12 12 12: 60 Baik
4 SMP N 2 95 96 191 10 3 13 13: 91 Baik
Jumlah 282 254 536 31 7 38 38: 36
Sumber : RPJM Kampung Karya Bumi , 2014

Tabel 5.
Tabel Data Ruang Kelas, Kelas dan Guru
Jumlah
No Sekolah Ruang
Kelas Guru
Kelas
1. TK Yapis 2 2 4
2. SD Yapis 6 6 9
3. SD Impres 9 9 12
4. SMP Negeri 2 8 6 14
Jumlah 25 23 39
Sumber : RPJM Kampung Karya Bumi , 2014

29
Instrumen adalah alat yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu yakni sarana penelitian untuk
mengumpulkan data sebagai bahan pengolahan.

20
Berdasarkan data pada Tabel 3 dan Tabel 4, memperlihatkan
rendahnya mutu pendidikan di Kampung Karya Bumi, rasio antara murid dan
guru pada setiap jenjang pendidikan (TK,SD,SMP dan SMA) tidak seimbang,
dimana prosentasi jumlah murid lebih banyak daripada guru, dengan standar
ruang kelas yang terbatas, menyebabkan efektivitas pengajaran menjadi rendah
dan akan berdampak kepada hasil belajar siswa.
Kampung Karya Bumi secara geografis dapat dengan muda dijangkau
oleh siapa saja karena terletak sebelah utara jalur utama ke Nimboran. Maka
memudahkan pemantauan pemerintah melalui Dinas Pendidikan terhadap
perkembangan pendidikan dan peningkatan sarana-prasarana pendidikan, serta
membangun kerjasama dengan aparat kampung membangun kesadaran
masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak bangsa,
sehingga masyarakat memiliki kepedulian terhadap jalannya pendidikan di
Kampung Karya Bumi. Akibat dari rendahnya mutu pendidikan tersebut dapat
terlihat pada tabel 5, menggambarkan rendahnya index perkembangan sumber
daya manusia di Kampung Karya Bumi masih sangat rendah.
Tabel 6.
Data Penduduk Usia 15 Tahun Berdasarkan Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Tidak Sekolah -
2 Tidak Tamat SD 16
3 SD / Sederajat 270
4 SLTP 228
5 SLTA / SMU 38
6 SMK -
7 D I / D II -
8 D III -
9 S1 25
Jumlah 557
Sumber : RPJM Kampung Karya Bumi , 2014

21
B. Keadaan Sosial-Ekonomi Kampung Karya Bumi
1. Pola Permukiman
Orang-orang Gresi, Nimborang dan Kemtuk selaku warga pribumi di
lembah Grime memiliki sitem permukiman pada zaman sebelum persentuhan
dengan budaya modern, penduduknya hidup terpencar di dusun-dusun yang
terletak di atas tanah adat mereka. Rumah yang dibangun sebagai tempat
tinggal sangat sederhana yaitu dalam bentuk rumah dengan kontruksi bangunan
umumnya terbuat dari kayu bulat sebagai bahan utama kerangka fisik dan
bahan penutup atap dibuat dari sagu. Rumah yang dibangun dalam dua model
yaitu model panggung berlantai kulit pohon palem hutan (nibun) dan berlantai
timbunan tanah yang diratakan berukuran kecil dengan perkiraan cukup untuk
ibu dan anak-anak yang masih kecil bisa berteduh di dalam, dan pondok-
pondok ini mempunyai dinding yang ditutupi dengan bahan dari daun sagu
yang antero dibelah dengan tangkainya dari sisi tengah kemudian dilapisi dua
dan dipakai menutup dinding-dinding pondok-pondok tersebut, terkadang
dindingnya juga dituttpi dengan gaba-gaba supaya awet dan tahan lama30
Masuknya program transmigrasi pada umumnya di Indonesia, maka
pembangunan permukiman oleh pemerintah selalu mempertemukan dua
kelompok masyarakat, yaitu masyarakat transmigrasi umum yang berasal dari
Jawa dan transmigrasi lokal yang berasal dari komunitas lokal dan orang luar
yang sudah lama menetap di Papua. Hal tersebut dilakukan pemerintah tetntu
dengan maksud agar mereka yang berasal dari berbagai etnik (suku bangsa)
dapat berbaur, sehingga dapat saling berinteraksi dan dapat terjadi intergrasi
budaya di antara mereka31.
Perkampungan dan atau permukiman masyarakat Kampung Karya
Bumi sebelum daerah ini terbuka dari ekisolasiannya, masyarakat mendirikan
tempat-tempat permukimannya diatas wilayah adatnya masing- masing.

30
Jonathan Tabisu. Op. Cit, Hal, 3.
31
Siti Anita. Kebijakan Transmigrasi Dan Dampaknya Bagi Masyarakat di Distrik
Nimbokrang Kabupaten Jayapura (1980-2008). Skripsi (Tidak Diterbitkan). Jayapura : 28 Januari
2010, Hal, 17.

22
Perkampungan tersebut dibangun didekat dengan sumber-sumber makanan,
seperti dusun sagu, dan pinggiran sungai. Semua ini dengan suatu perhitungan
bahwa dapat menjalini hidup. Pola permukiman di Kampung Karya Bumi pada
dasarnya sama dengan perkampungan yang berada di lembah Grime.
Namun kini dengan diberlakunya, Undang-Undang No. 5 Tahun 1975
Tentang Sistem Pemerintah Desa. Kampung Karya Bumi merupakan
perkampungan yang semi modern, karena mempunyai jalan setapak/gang dan
antara satu rumah dengan lain cukup baik dan memenuhi syarat
hunian/kesehatan. Di kampung Karya Bumi terdapat 4 (empat jalur) dengan 9
(gang). Setiap jalur dihuni lebih 70 KK yang penghuninya berasal dari berbagai
daerah, yang meliputi daerah Jawa Tengah (kab. Bayalak, kab. Purwodadi,
dari Kab. Kebumen Kab. Purorejo 4 KK. ) serta dari Jawa Timur (Kab.
Trenggalek) dan disekitarnya ada beberapa warga pendatang dari Ujung
Padang32. Selain itu juga terdapat suku lokal antara lain; suku Kwansu, suku
Kwano, Bemei, Waru, Amonggrang, Sanggrang Wai dan Sanggrang Bano33
dan beberapa penduduk lokal yang datang dari Wamena dan Biak. Mereka
hidup saling berdampingan dan saling berinteraksi sehingga dan berbaur dalam
kehidupan bersama sebagai suatu komunitas di Kampung Karya Bumi.
Pada umumnya untuk pola rumah di Kampung Karya Bumi dengan
tipe rumah panggung dan langsung berlantaikan permukan tanah. Adapula
yang sudah berdinding tembok dan berlantaikan keramik. Hal ini tidak terlepas
dari usaha dan kerja keras masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam
Kampung Karya Bumi yang begitu subur. Hal ini menunjukan bahwa pola
permukiman yang demikian merupakan wadah yang kuat sehingga terjadi
proses pembauran antara warga masyarakat yang di dalam lokasi transmigrasi
terdapat orang-orang yang berlatar etnis berbeda, tetapi mereka larut dalam
kebersamaan dengan tidak melihat perbedaan di antara mereka. Hal ini tampak

32
RPJM Kampung Karya Bumi, Op.Cit
33
Ketujuh suku di atas adalah pemilik hak ulayat tanah di Kampung Karya Bumi.

23
bahwa masyatrakat di Kampung Karya Bumi dalam kesehariannya mereka
mau menghargai adanya perbedaan.

2. Mata Pencarihan
Pada zaman dahulu komunitas Lembah Grime, mereka selalu hidup
dalam kesederhanaan yang dicirikan dengan usaha perekonomian. Orang
Lembah Grime menegembangkan usaha kebun biasanya dengan syarat lokasi
tersebut bagus dan terletak di atas tanah adat yang menjadi bagian mereka.
Pada dasarnya cara membuka lahan masih menggunakan sistem tradisional,
sama halnya dengan masyarakat tradisonal di daerah Indonesia lainnya. Bapak-
bapak menebang pohon dengan menggunakan kapak batu dan ibu-ibu bertugas
untuk membersihkan semak-semak berduri dan hutan belukar dibawah pohon
besar. Setelah itu lahan dibiarkan untuk beberapa hari agar kering dan mudah
untuk dibakar. Aktivitas selanjutnya setelah kebun dibakar dan dibersihkan
adalah menanam segala macam bibit tanaman pangan dan tanaman keras34,
selain berkebun masyarakat Grime juga suka berburu, aktivitas ini dilakukan
secara berkelompok maupun individual, serta kegiatan meramu yaitu
memengut hasil alam yang tersedia sebagai bahan makanan berupa sayaur-
sayuran daun melinjo (genimu), telur ayam hutan,telur burung meleo, ulat
pohon kayu, menangkap kus-kus pohon,kanguru pohon dan kanguru tanah,
biawak,menangkap udang serta ikan air tawar35.
Masuknya transmigrasi tahun 1976 dan tahun 1977 membawa dampak
yang sangat besar bagi penduduk Lembah Grime terlebih khusus masyarakat
asli yang ada di Kampung Karya Bumi. Masyarkat dihadapi dengan sistem pola
pertanian menetap yang bagi mereka itu sangat asing dan berbeda dengan
budaya dengan masyarakat yang hidupnya berladang berpindah-pindah
(nomaden). Peralihan dari pertanian berpindah ke pertanian tetap bersamaan

34
Masyarakat Grime pada umunya menanam tanaman pangan berupa keladi,pisang,bête,ubi
manis,naming,tebu dan tembakau tertmasuk sayur-sayuran berupa gedi.lilin, bayam asli dan
jagung. Adapun tanaman pangan keras berupa kelapa, pinang, matoa, sukun, gomo, mangga, sagu,
buah merah.
35
Jonathan Tabisu,Op. Cit, Hal, 8

24
dengan perubahan besar pada pola permukiman.. Transformasi baik pada cara
kerja maupun pola hidup tentu memakan waktu lama dan mencakup sebagian
besar penduduk asli. Bukan perubahan seketika, tetapi melalui proses yang
berjalan berangsur-angsur, yang terkadang disertai langkah mundur kembali ke
pola hidup lama36.
Pada kurun waktu 10 tahun pertama sejak ditempatkannya warga
transmigrasi dari Jawa tengah dan Timur antara perode tahun 1976 dan 1977
di Kampung Karya Bumi, kegiatan sehari-hari yang dikerjakan pada warga
transmigrasi masih pada tataran membuka lahan pertanian dan perkebunan.
Tidak mudah memang bagi warga transmigrasi dalam membuka dan
menyaipkan lahan pertanian Karena minimnya peralatan yang mereka miliki.
Oleh karena itu mereka membuka lahan pertanian secra bertahap dan terkadang
secara bergotong royong, bergiliran.
Perberdayaan lahan sekaligus penambahan luas areal pertanian sebagai
lahan usaha seluas 2 ha/KK yang diberikan kepada transmigrasi untuk diolah
dan ditanami dengan berbagai komoditi pertanian dan perkebunan seperti :
padi, jagung, kedelai, buah-buahan, serta jeruk turut mendukung upaya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. aspek yang turut menentuakan
ekonomi penduduk adalah tingkatan pengetahuan masyarakat yang
bersangkutan terhadap lingkungan alamnya, yang sekaligus menentukan pula
cara mereka menanggapi berbagai gejala alam yang dihadapinya.
Adapun fasilitas yang diberikan pemerintah kepada para transmigrasi
setiap Kepala Keluarga di Kampung Karya Bumi adalah tanah yang terdiri 2
hektar. Pemerintah pun menyediakan peralatan kerja, yaitu sekop, cangkul,
parang dan bantuan pangan selama 1 (satu) tahun berupa beras, ikan asin dan
peralatan masak pun diberikan. Warga transmigrasi yang di beri tanah 2 hektar
dari pemerintah dengan pembagian ¼ hektar untuk pekarangan rumah, 1 ¾
hektar untuk lahan sawah. Itupun 1 hektar saja yang ditebang oleh pemerintah

36
Jan Breman. Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa “ Sistem Priangan Dari Tanaman
Paksa Kopi di Jawa 1720-1870”. Jakarta : Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Maret 2014,
Hal, 34

25
, sisanya ¾ saling bergotong royong membersihkan. Awal pengolahan sawah
masyarakat menggunakan tenaga sapi, kemampuan sapi hanya sebatas ½
hektar dan sisanya tidak terolah. Dengan kondisi seperti ini lalu Dinas
pertanian medatangkan alat hentraktor. Cuma kendalanya pada waktu itu lahan
sawah masih dipenuhi tunggak-tunggak kayu (kayu besi). Pengolahan hasil
panen dulu menggunakan cara manual, pertama-tama terpal digelar, drum yang
digunakan sebagai pemukul taruh diatas terpal, padi telah disiapkan lalu
dipukul-pukul diatas drum.
Pekerjaan manual ini sangat membutuhkan tenaga yang cukup banyak,
sehingga para petani beralih menggunakan mesin perontok. Mesin perontok ini
sangat ideal dapat menyelesaikan 1 hektar hanya dalam waktu setengah hari.
Sebelum adanya mesin perontok petani membayar masyarakat lokal untuk
memanen padi, namun cara manual ini terlalu lama dan memakan biaya besar.
Untuk sekali panen dibayar Rp 150.000 /orang/hari. Dan biaya 1 hektar petani
harus mengeluarakan dana sebesar Rp 6.000.000. Mesin perontok yang pada
awalnya di anggap ideal ternyata membutuhkan biaya yang cukup tinggi
karena Padi harus, dijemur, di kumpul dalam satu hamparan setelah itu
dirontokan. Dari perhitungan biaya tenaga panen Rp 150.000/0rg ditambah
ongkos perontoknya Rp 8.000/karung (karung 50 kilo). Petani kemudian
beralih menggunakan mesin pombain dianggap sangat efesien dari segi
biayanya dan tidak membutuhkan tenaga yang banyak. Mesin ini digunakan
bersama dengan ongkos biaya Rp 2.600.000/hektar. Tahun 2002 mendapat
bantuan 3 (tiga) unit perontok berkapsitas kecil dan dipakai sampai tahun 2006.
Masuk tahun 2015 beralih menggunakan pombain dengan kapasitas besar,
petani hanya menerima kabah serta langsung dijemur. Mesin ini dibeli secara
swadaya oleh para petani sebanyak 4 unit dari Jawa. Hasil produksi tahun-
tahun pertama hanya untuk dikomsumsi sendiri dikarenakan hasilnya masih
minim. Waktu itu pun air masih susah, para petani hanya mengandalkan air
hujan serta belum ada air irigasi, dari segi hama kurang. Irigasi baru dibangun
tahun 1984 serta mulai efektif digunakan pada tahun 1980. Hasil padi waktu
itu di angkut menggunakan sepeda, jalanya pun mengunakan alas papan

26
dikarenakan lumpur yang sangat tebal. Hasil padi juga sering di barter dengan
hasil masyarakat lokal.37
Pengolahan usaha tani yang dilakukan masyarakat petani di Kampung
Karya Bumi Distrik Namblong, pada awalnya menggunakan sistem
penanaman tunggal. Tapi hasilnya jauh lebih baik karena tanahnya masih
sangat subur. Untuk penanaman dengaan sistem irigasi masyarkat biasanya
dapat menanam 2 (dua) kali dalam setahun. Hasilnya untuk perhektanya 5,8
ton kering panen lalu menyusut setelah kering giling 4,5 ton persekali panen (6
bulan). Hitung-hitung dengan biaya pupuk, pengolahan serta dengan patokan
harga beras 10.000 /kilo maka masyarakat masih mendapat keuntungan, apa
lagi kedepannya akan ada alusintansi canggih38.
Untuk pemasaran hasil pertanian maupun perkebunan, khusunya untuk
hasil sawah. Masyarakat bisanya hanya menunggu ditempat karena akan ada
pedagang (dari kota) yang langsung menuju ke areal sawah dan langsung
membelinya ditempat. Kadang-kadang juga masyarkat sendiri langsung mejual
ke tengkulak (pengumpul) yang ada di Kampung Karya Bumi. Masyarakat juga
juga menjual hasil sawah di pasar trasdisional yang ada di Kampung Karya
Bumi. Pasar di kampung karya bumi merupakan pasar yang di bangun dari
tahun 2002 yang pada saat itu penjulan hanya sekitar 20 orang. Masyarakat
transmigrasi dulunya mereka menjual hasil mereka di pasar kampung sebelah
yang berrnama pasar Pemde yang terletak di kampung tetangga. Pasar
Kampung Karya Bumi di dirikan oleh seorang pelopor ibu Paulina Usmani
masyarakat setempat yang bekerja sama dengan ibu-ibu massyarakat
transmigrasi yang ingin membuka sarana yang menunjung hasil produksi
mereka.

37
Supriono,Ibid
38
Ibid

27
Kadaan pasar pada awal belum berjalan baik, dalam perkembangannya
pasar mengalami peningkatan dan penjualnya mencapai 200 orang sampai saat
ini. Pasar ini hanya beroprasi di hari selasa, jumat dan minggu, waktu
beraktivitas dari jam 5 (lima) pagi sampai jam 8 (delapan) pagi/hanya tiga jam.
Mayoritas penjual adalah orang Jawa (kelompok transmigrasi) dan masyarakat
pribumi dari kampung tetangga di sebelah Kampung Karya Bumi. Mereka
menjual hasil perkebunan (bête,petas, sayur-sayuran dan sagu) dan menjual
kebutuhan lainnya yang saling melengkapi sistem keadaan pasar tradisional39.
Dari hasil pengamatan lapangan, penduduk yang sudah maju berbeda
dalam memilih jenis mata pencarihan, ini dilatar belakangi oleh tingkat
pendidikan penduduk setempat. Dengan datangnya transmigrasi telah merubah
cara bercocok tanam masyarakat lokal. Masyarakat lokal melihat serta belajar
lansung kepada para transmigrasi dan ikut dalam Penyuluhan Pertanian
Lapangan (PPL) yang dilakukan oleh Pemerintah40. Sehingga tidak sedikit dari
penduduk sekitar yang beralih mata pencaharian dengan bercocok tanam
menatap. Interaksi ekonomi diwujudkan dalam bentuk transaksi dagang antar
petani dan pedagang non lokal.
Jenis-jenis mata pencaharian masyarakat Kampung Karya Bumi
adalah sebagai Petani, TNI/POLRI, Pedagang, PNS, Sopir, Tukang Bangunan,
serta Pensiunan. Pada Tabel berikut di bawah ini akan memperelihatkan jumlah
data pekerjaan atau mata pencaharian di kampung Karya Bumi Distrik
Namblong sebagai berikut :

39
Paulina Usmani, Mandor Pasar Dan Pelopor Pendiriannya. Wawancara (interview).
Kampung Karya Bumi, 25 Agustus 2015
40
Jamludin. Petugas Penyuluhan Pertanian Kampung Karya Bumi. Wawancara (interview).
Kampung Karya Bumi, 25 Agustus 2015.

28
Tabel 7.
Data Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun Berdasarkan Pekerjaan

No Jenis Lapangan Pekerjaan Jumlah Persen %


1. Petani 397 32,2
2. TNI/POLRI 16 1,3
3. Pegawai Negeri Sipil ( PNS ) 84 6,8
4. Sopir 64 5,2
5. Pedagang 12 0,9
6. Buru Bangunan 15 1,2
7. Pensiunan 4 0,3
Jumlah 592 59,6

Sumber : RPJM Kampung Karya Bumi , 2014

C. Pemerintahan Tradisional dan Formal


1. Pemerintahan Tradisional
Kampung adalah pembagian wilayah administrasi di Propinsi Papua,
di bawah distrik. Istilah kampung menggantikan Desa yang sebelumnya
digunakan di Proponsi Papua, seperti halnya propinsi-propinsi lainya di
Indonesia. Kampung merupakan kesatuan hukum masyarakat yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Kesatuan
Republik Indonesia41.
Berbagai komunitas sub suku bangsa di Lembah Grime memiliki
leluhur yang berbeda-beda dalam keyakinan religi mereka, yakni : ada yang
berasal dari turunan buaya, ada yang berasal dari langit, ada pula yang berasal
dari berbagai satwa yang dianggap sebagai leluhur. Dari berbagai macam
keyakinan di atas mereka kemudian membuat kesepakatan tatanan budaya dan
adat istiadat sampai menetapkan peraturan hidup serta membentuk organisasi

41
Purhadi.Menelusuri Potensi Dan Prospek Pariwisata Danau Sentani di Kabupaten
Jayapura. Jayapura: 14 januari, hal, 86.

29
adat dengan formulasi kebijakan tradisional dalam rangka mewadahi dan
mengorganisir seluruh komunitas adat dalam setiap marga atau klen42.
Struktrur masyarakat hukum adat di Kampung Karya Bumi terdiri dari
beberapa tingkatan, yaitu berhubungan dengan pola kepemimipinan adat dan
status pelapisan masyarakat hukum adat, yang didasarkan pada ikatan
genelogis, dengan keturunan patrilineal yang telah dimiliki sejak zaman
prasejarah. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur adat ini dapat di lihat pada
bagan dibawah ini:
Bagan 1 :
Struktur Kepemimpinan Adat/Lokal Kampung Karya Bumi
DUMTRUE/DEMOTRU

TRANG (PIMPINAN DUGENO/ERAM/DUGUEN


MATAHARI) A/ONDOAFI

TGAY BEMEY SROM

BLUNG ATAU MASYARAKAT ADAT PENDUKUNG

 Keterangan:
A. Hak dan Wewenang
1. Trang
Trang adalah anak sulung (Du Tang) yang diposisikan sebagai
pimpinan matahari.
 Hak dan wewenang :
1) Mengontrol dan mengawasi jalannya penyelengaraan tugas, fungsi dan
tanggung jawab dari pada Ondoafi beserta perangkatnya.

42
Jonathan Tabisu. Komunitas Ekonomi Sumber Daya Hutan “Yang Terlintas Gelombang
Peradaban Di Hulu Sungai Grime” Suatu Kondisi Kultur Dan Religius. Yogyakarta: Penerbit
bima sakti, 2011, hal, 24.

30
2) Memberhentikan Ondoafi yang tidak bertanggung jawab menjalankan
tugas dan fungsinya dengan baik dan menunjuk ondoafi yang baru didalam
garis mata rumah yang sama yaitu : kepada saudara sekandung atau anak
kandungnya apabila telah menjadi dewasa dan berkeluarga.
3) Memberikan persetujuan kepada ondoafi atas pelaksanaan program
pembangunan kesejahteraan masyarakat yang di pimpin / sebagai pengikut
, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam (tanah
hak ulayat dan hutan adat).
4) Mengajukan usul pembatalan terhadap rencana pembangunan yang tidak
memberikan manfaat secara ekonomis bagi warganya dan manfaat social
bagi masyarakat luas.
5) Memberikan jasa kepanuta (tata krama,sopan santun, kebenaran,
keadilan,kejujuran, dan kesetiaan) yang bernilai kesejahteraan di tengah-
tengah kehidupan dari suku bangsa yang bersangkutan.

B. Ondoafi (Dugeno/Iram/ Duguena)


1) Mengusulkan pemberhentian Tgay,Bemey,dan Srom apabila tidak setia
menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
2) Memberhentikan perang suku yang sedang berlangsung sampai
melampaui batas-batas keadilan dan kemanusiaan.
3) Mengatur pelaksanaa program terkait pemanfaatan sumber daya alam
berupa tanah ,dusun sagu, tanaman tumbuh dan tanaman warisan untuk
kepentingan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
 Tugas, Fungsi, Dan Tanggung Jawab
a. Trang
1) Mempunyai tugas mengatur seluruh pembagian tanah adat kepada setiap
mata rumah berdasarkan garis kepimpinan adat, yakni trang
sendiri,dugeno/eram/duguena,Tgay, Bemey, dan Srom mereka semua
masing-masing bertindak sebagai Tang.
2) Menjaga dan melindungi kenyamanan seluruh sumber daya alam yang
di miliki suku (marga/klen) yang bersangkutan berupa tanah hak ulayat,

31
hutan adat, hewan, satwa liar termasuk yang langka dan berbagai
kekayaan yang lain yang terdapat di dalam perut bumi maupun di atas
permukaan bumi
3) Menjaga persatuan dan kesatuan suku dalam menciptakan suasana
kehidupan yang harmonis antara warga dan dengan pihak lain di pihak
suku yang bersangkutan.

b. Ondoafi (Duguno/Iram/ Duguena )


1) Mempunyai tugas menjaga keharmonisan kehidupan suku yang
bersangkutan agar masyarakat pendukung tetap eksis mempertahankan
persatuan dan kesatuan yang di dasari rasa kekeluargaan yang kokoh
dan kuat.
2) Memerintahkan Tgay/Takay/Bemey dan Srom untuk mengatur
pelaksanaan teknis semua program peningkatan kesejahteraan
masyarakat pendukung kepemimpinannya.
3) Mengembangkan berbagai program yang berkaitan dengan
pemanfaatan sumber daya alam bagi kesejahteraan masyarakat
pendukungnya.
4) Menjaga pertumbuhan jiwa di dalam sukunya agar dari waktu ke waktu
jumlah harus terus bertambah sebagai generasi pewaris berbagai
sumber daya alam sepanjang proses perjalanan hidup warganya.
5) Kepemimpinan tidak kelihatan, tetapi secara diam-diam semua perintah
di sampaikan kepada wakilnya dalam hal ini Tgay/Takai dan dia inilah
yang dapat melaksanakan tugas-tugas Ondoafi di tengah kehidupan
masyarakat pendukung/pengikut ataupun di sebut blung yang di
pimpinnya.

32
c. Tgay/Takay
Sebagai wakil Ondoafi,ia mempunyai tugas melaksanakan semua program
kesejahteraan masyarakat pengikut/marga pendukung/yang di pimpin di
dalam kampung atas nama Ondoafi secara kolektif bersama Bemey dan
Srom.
d. Bemey
1) Mengurus Maskawin
2) Mengadakan persiapan ritual (pesta/upacara adat.
3) Menerima,menyimpan dan mengeluarkan semua harta budaya berupa
kapak batu,manic-manik dan keuangan milik adat.
e. Srom
Mempunyai fungsi,pelayanan kesejateraan rohani terhadap warga
masyarakat adat di dalam suku bangsa yang bersangkutan.
 Tanggung Jawab
a. Trang
Mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menjamin terciptanya rasa
kesatuan yang harmonis berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran, kejujuran
dan kesetiaan secara kesinambungan tanpa mengenal batas ruang dan waktu
di dalam suku bangsa yang bersangkutan.
b. Ondoafi (Dugeno/Eram/Duguena
Mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengembangkan visi dan
misi adat melalui konsep kebijakan strategis yang mengarah kepada
peningkatan kesejateraan warga masyarakat adat pengikut yang mendukung
kepemimpinana dalam suku bangsa yang bersangkutan.
c. Tgay/Takay (wakil ondoafi) :
Mempunyai tanggung jawab,menterjemakan kebijakan strategis Ondoafi
secara praktis ke dalam bentuk program dan kegiatan pelayanan
kesejateraan yang nyata.

33
d. Bemey (Pembantu Umum)
1) Mempunyai tanggung jawab,mengatur semua rencana pelaksanaan
program dan kegiatan pelayanan kesejateraan warga masyarakat adat di
dalam suku bangsa yang bersangkutan secara teknis operasional.
2) Pemenuhan kesejateraan warga masyarakat adat tersebut dengan
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada bidang social, budaya,
ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum,dll.
e. Srom (Pembantu khusus Bidang Spritual)
Mempunyai tanggung jawab,menjalankan pelayanan kesejahteraan rohani
warga masyarakat adat sebagai tugas khusus serta membantu Tgay/Takay
dan Bemey dalam pelayanan kesejateraan jasmani di bidang
social,budaya,keamanan,partisipasi politik masyarakat.

2. Sistem Pemerintahan Formal Kampung Karya Bumi


Kampung Karya Bumi secara administrative berada dalam wilayah
Distrik Namblong Kabupaten Jayapura. Penyusunan, Pembentukkan, dan
Perencanaan Pembangunan Kampung Karya Bumi didasarkan pada
peraturan Perundang-undangan antara lain: UU No. 25 Tahun 2004
Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintah Daerah, dan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
serta Permendagri No. 66 Tahun 2007 Tentang Perencanaan Pembangunan
Desa43
Kampung Karya Bumi juga memiliki pola kepemimpian Formal.
Pola kepemimpinan formal (kampung) berbeda dengan kepemimpinan
informal (adat). Sebagaimana dikemukan oleh Hofsteede, bahwa pemimpin
formal di desa adalah pemimpin-pemimpin yang memegang suatu jabatan
resmi dalam pemerintahan kampung.
Dalam peyelenggaran pemerintahan Kampung, dipimpin oleh
seorang Kepala Kampung yang dibantu oleh aparat atau perangkat
kampungan dengan pembagian tugas dan kewajiban yang disesuaikan

43
Ibid, hal. 11

34
dengan aturan yang berlaku. Ada pun Struktur Pemeritah Kampung Karya
Bumi terdiri dari: 1 orang Kepala Kampung, 1 Orang seketaris Kampung,
4 Orang Aparat Kampung, 4 Rukun Warga, 19 Rukun Tetangga dan
BAMUSKAM yakni sebagai berikut:

Bagan 2:
Struktur Badan Musyawarah Kampung

KETUA
Kamari. S,Pd

WAKIL KETUA
BUDIONO HASYM

SEKERTARIS
WARINO

ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA


SUKINEM SUTARNO SUPARMI

Sumber : Kantor Desa Kampung Karya Bumi

35
Bagan 3:
Struktur Pemerintah Kampung Karya Bumi

BAMUSKAM KEPALA KAMPUNG


KAMARIS. S,Pd RASINO

SEKRTARIS
MURYANI

URUSAN KAMPUNG & URUSAN PEMERINTAHAN URUSAN URUSAN


PEMBANGUNAN & ADAT PEMBERDAYAAN & KETENTRAMAN &
WASIMIN AMIR SAIFUDIN KESEJATERAHAN KETERTIBAN
DIAN FEBRIYANTI MARTHEN WALLY

KETUA RW I KETUA RW II KETUA RW III KETUA RW IV


DASIKIN DARSO HASANUN NOYO STD

Sumber : Kantor Desa Kampung Karya Bumi KETUA RT . 01. S/D. RT. 19.

36
BAB III
KEHADIRAN TRANSMIGRASI DI KAMPUNG KARYA BUMI

3. Sejarah Transmigrasi
1.1. Transmigrasi di Indonesia
Berbicara tentang transmigrasi di Indonesia, tentu tidak lepas dari apa
yang dinamakan “kolonisasi” yang pernah dilaksanakan pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Dan jika berbicara soal kolonisasi tentu tidak lepas dari Politik
Etis. Lahirnya gagasan Politik Etis di Hindia Belanda (kini Indonesia) akibat
kuatnya tekanan kaum humaniter yang berhaluan etis, C. Th. Van Deventer
melancarkan kritikan tajam melalui tulisannya yang berjudul Een Eereschuld
(Suatu Hutang Budi) yang diterbitkan pada tahun 1899 di Amsterdam oleh
majalah De Gids. Inti tulisan Van Deventer tersebut adalah himbuan kepada
pemerintah Belanda untuk membuat perhitungan keuangan bagi tanah jajahan
yang berkekurangan sebagai bagian ganti rugi dari keutungan yang sudah
dikeruk dari Hindia Belanda (Jawa) melaui Sistem Tanam Paksa. Kritikan-
kritikan kaum humaniter terhadap pemerintah akhirnya membuahkan hasil
sebagaimana tercermin dalam pidato tahunan Ratu Belanda (Ratu
Wilhelmenia) pada September 1901 yang mengatakan “suatu tanggung jawab
yang luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat di Hindia Belanda”.
Dengan dilaksanakannya program kolonisasi, diyakini sebagai salah satu jalan
pemecahan untuk mengurangi besarnya tekanan jumlah penduduk di Jawa.
Dengan kolonisasi pula khususnya kolonisasi pertanian, diharapkan akan
membawa dampak positif baik terhadap daerah yang ditingggalkan maupun
pada daerah yang didatangi. Hal ini sesuai dengan pandangan pemerintah
bahwa kolonisasi selain bertujuan untuk memperbaiki nasib pendatang, juga
bertujuan untuk mendorong pembukaan dan perkembangan daerah-daerah luar
Jawa, di tempat mana kolonisasi diadakan yang masih sedikit penduduknya 44.

44
Laporan Mahasiswa KKL Prodi Pendidikan Sejarah Angkatan 2010, Oransbari : Distrik
Swasembada Pangan Di Kabupaten Manokwari Selatan 1968-2012. Jayapura : Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih, 2013, hal. 38.

37
Pemerintah kolonial Belanda merintis kebijakan ini pada awal abad ke-
19 untuk mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa dan memasok tenaga
kerja perkebunan di pulau Sumatera. Program ini perlahan memudar pada
tahun-tahun terakhir masa penjajahan Belanda (1940-an), lalu dijalankan
kembali setelah Indonesia merdeka untuk menangkal kelangkaan pangan dan
bobroknya ekonomi pada masa pemerintahan Soekarno dua puluh tahun
setelah Perang Dunia II. Puncaknya, pada tahun 1929, lebih dari 260.000
pekerja kontrak Cultuurstelsel dibawah ke pesisir timur Sumatera, 235. 000
orang diantaranya berasal dari pulau Jawa. Para pendatang bekerja sebagai
kuli; apabila seorang pekerja meminta kontraknya diputus oleh perusahaan
(desersi), ia akan dihukum kerja paksa. Tingkat kematian dan penyiksaan di
kalangan kuli saat itu sangat tinggi45.
Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia (1945-1949), program
transmigrasi masih di atas kertas. Selain karena kondisi Indonesia saat itu
masih berada dalam situasi revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan dari
agresi Belanda, juga karena belum stabilnya lembaga pemerintah yang
bertanggung jawab terhadap penyelenggaran transmigrasi. Setiap kali
pergantian kabinet/kementerian, berubah pula penaggung jawab
penyelenggaran transmigrasi. Hal ini menyebabkan berubahnnya strategi,
kebijaksanaan, teknik operasionalnya, dan pada gilirannya akan berdampak
kurang lancarnya pelaksanaan transmigrasi. Akibatnya, para calon
transmigrasilah yang dirugikan46.
Paska kemerdekaan, transmigrasi digiatkan kembali sejak tahun 1950
dan berlangsung sampai sekarang. Program ini dilaksanakan secara besar-
besaran pada era baru, yaitu dalam UU No. 3 tahun 1972 yang menyebutkan
bahwa tujuan transmigrasi adalah peningkatan taraf hidup, pembangunan
daerah, keseimbangan penyebaran penduduk, pembangunan yang merata di
seluruh Indonesia, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia,

45
Sutarsono. Transmigrasi. https://id.m.wikipedia.org/wiki/transmigrasi. Diakses pada
tanggal 07 September 2015.
46
Ibid, hal. 41.

38
kesatuan dan persatuan bangsa dan memperkuat pertahanan dan keamananan
nasional47.
Transmigrasi bagi bangsa Indonesia adalah persoalan yang sangat
penting. Begitu pentingnya sehingga dua orang mantan Presiden Republik
Indonesia mengemukakan pandangan masing-masing. Presiden Soekarno
mengatakan bahwa: ’’Soal transmigrasi adalah soal hidup-mati bangsa
Indonesia. Seluruh bangsa Indonesia adalah keturunan transmigrasi. Tak usah
malu disebut sebagai keturunan transmigrasi. Kalau masih mau merasa malu
juga, maka aku malu mengingat negeriku tercinta ini pernah berabad-abab
dijajah Belanda’’. Sementara itu, mantan Presiden Soeharto pada Seminar
Transmigrasi tanggal 20 Maret 1985 mengatakan bahwa: ’’Program
transmigrasi sungguh tidak ada bandingannya dan yang tersebar dari jenisnya
dewasa ini di dunia. Sungguh, transmigrasi adalah yang terbesar dari jenisnya
dalam sejarah modern yang melibatkan suatu bangsa dalam perpindahan
sukarela karena alasan-alasan perdamaian, ekonomi dan kemanusian’’.
Program trasnmigrasi di Indonesia dilaksanakan secara berkelanjutan sejak
dilaksanakannya pengiriman pertama transmigran sesudah Indonesia merdeka
ke Lampung. Program ini dilaksankan secara besar-besaran pada masa Orde
Baru, dan daerah penempatannya pun makin luas, bukan hanya Sumatera,
tetapi juga ke pulau-pulau besar lainnya seperti Kalimantan, Sulawesi, dan
Irian Jaya (kini Papua). Warga transmigrasi yang dimukimkan juga makin
meluas, bukan hanya dari Jawa, tetapi juga dari Madura, Bali, Lombok (NTB)
dan Kupang (NTT)48.
Penempatan transmigrasi di Papua oleh Pemerintah melalui
Dapertemen Transmigrasi bukan tanpa alasan, karena Papua memiliki lahan
yang memadai, kesuburan tanah, iklim yang baik, dan ketersedian sumber
pengairan. Dilihat dari aspek ini maka Papua memiliki semuanya, Papua

47
Siti Anisa, Kebijakan Transmigrasi Dan Dampaknya Bagi Masyarakat Di Distrik
Nimbokrang Kabupaten Jayapura 1980-2008. Skripsi Sarjana. Jayapura: Program Studi Sejarah
Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih, 2010, Hal. 37.
48
Laporan Mahasiswa KKL Prodi Sejarah Angkatan 2010. Op., Cit., Hal. 42.

39
merupakan pulau terbesar di Indonesia, sedangkan penduduknya paling
sedikit bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, luas
seluruh daratan Papua sekitar 410.660 Km2 (21.6%) dengan aspek tersebut
maka pemerintah menempatkan Papua sebagai salah satu tujuan utama
transmigrasi49.

1.2. Trasnmigrasi di Papua


Transmigrasi di tanah Papua sebenarnya tak lepas pula dari sejarah
penjajahan Belanda di Indonesia atau Hindia Belanda. Pemerintah Belanda
memulai program tersebut dengan nama kolonisasi, kelompok-kelompok
koloni pertama yang dikirim itu berasal dari Kedut kota bekas Keresidenan
Jawa Tengah. Karena waktu saat itu masih menjadi wilayah kekuasaan
Belanda, sehingga tanggal 21 Febuari 1902 pemerintah Belanda Nederlans
Niuew Guinea mendatangkan orang-orang Jawa ke Merauke. Kemudian tahun
1908 didatangkan lagi dari Jawa yang bermukim di Kuprik bersamaan dengan
itu hadir pulau masyarakat Timor dari Rote yang ditempatkan ke Merauke di
lokasi Kampung Timor Merauke. Tahun 1910 Pemerintah Belanda
mendatangakn lagi masyarakat dari Jawa dan dimukimkan di lokasi Spadem
dan Mopah Lama. Pemerintah Belanda bermaksud melaksanakan kolonisasi
ini adalah untuk menempatkan petani dari daerah padat penduduk ke daerah-
daerah kosong di luar Pulau Jawa sebagai salah satu jalan memecahkan
masalah kemiskinan dan kepadatan penduduk. Walaupun setelah pemerintah
Belanda angkat kaki dari tanah-tanah jajahan mereka, program ini tetap
dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia namun namanya diganti menjadi
transmigrasi. Saat itu transmigrasi yang masuk ke Papua disebut dengan nama
Pelopor Pembangunan Serba Guna atau Pelopor Pembangunan Irian Barat
(TPPSG/PPIB) di kabupaten Manokwari ditempatkan 12 KK/30 jiwa, Kumbe

49
Irene Mamoribo. Transmigrasi: Arti Dan Dampaknya Dalam Kehidupan Sosial- Ekonomi
Masyarakat Marind – Anim di Distrik Semangga Kabupaten Merauke 1967- 2012. Skripi Sarjana.
Prodi Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih, Jayapura, 2014,
Hal. 50.

40
(kab. Merauke) sebanyak 27 KK dan di Dosai (kabupaten Jayapura) sejumlah
9 KK. Namun, untuk program transmigrasi di tanah Papua baru ditetapkan
dengan Kebijakan Presiden Soeharto tentang penentuan provinsi Irian Jaya
sebagai daerah penerima transmigrasi baru diberlakukan tahun 1978.
Keputusan Presiden No.7/1978 menyebutkan bahwa Provinsi Aceh,
Sumatera, Sulawesi Utara dan Provinsi Irian Jaya sebagai penerima
transmigrasi paling tinggi50.
Pada dasarnya penempatan transmigrasi di Papua memiliki fungsi
yang bermacam-macam. Diantaranya salah satu fungsi dari transmigrasi di
Papua adalah sebagai sarana peningkatan baik taraf kehidupan, cara hidup
maupun keterampilan penduduk setempat, khususnya dalam bidang pertanian.
Untuk mencapai tujuan ini strategi yang dipakai oleh Pemerintah adalah
dengan cara membaur para transmigrasi dan penduduk asli melalui program
yang dikenal dengan APPDT (Alokasi Permukiman Penduduk Daerah
Transmigrasi). Berdasarkan peraturan yang berlaku bagi program itu
Departemen Transmigrasi, tahun 1979 memberikan kesempatan bagi
Pemerintah Daerah untuk menerima dan membawa penduduk setempat
sebanyak 10% sebagai transmigrasi lokal. Data 2012 menyebutkan di Papua
presentase penduduk asli ikut dalam program ADPT yaitu sebesar 25%51.
Ikut program APPDT memang telah memberikan penduduk desa di
Papua sebidang tanah, rumah dan segalah jenis jamina sosial. Tetapi hal ini
tidak menjamin mereka untuk menetap di tempat perkampungan baru selama
mereka bebas memmelihara babi. Dalam desa transmigrasi yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, keinginan masyarakat lokal itu tidak dapat
terpenuhi. Hal ini membuat para transmigrasi lokal merasa bosan dan tidak
mau mengusahkan lahan mereka. Salah satunya jalan yang mereka tempuh

50
Transmigrasi Dilema Di Papua. Transmigrasi blogspot.com/2009/03/dari-kolonisasi-
sampai-transmigrasi-di.html?m=1. Diakses pada tanggal 07 September 2015.
51
Irene Mamoribo. Op. Cit, Hal. 45.

41
untuk memecahkan kebosanan itu adalah mereka kembali ke desa asli mereka.
Dimana mereka bebas mengerjakan apapun termasuk berternak babi52.
Dengan keluarnya Keputusan Presiden di atas maka sejak saat itu
membuat banyak orang Indonesia dari luar Papua bebas masuk Papua untuk
berusaha dan mencari pekerjaan baik di sektor swasta maupun pemerintah.
Terutama pada sektor swasta dan informasi, banyak di dominasi oleh orang
orang non Papua mulai dari pedagang kaki lima hingga kios dan toko.
Daerah yang menjadi sasaran transmigrasi di Papua meliputi:
Kabupaten Jayapura, Manokwari, Sorong, Nabire dan Merauke. Untuk
Kabupaten Jayapura daerah yang menjadi tujuan transmigrasi salah satunya
adalah Kampung Karya Bumi. Warga transmigrasi berharap dengan
mengikuti transmigrasi, mereka bisa mencapai kesuksesan dan kebahagiaan.
Untuk mencapai pengharapan itu tentu tidaklah mudah, diperlukan ketekunan,
kerja keras, dan kerjasama antara sesama warga transmigrasi. Sebab
kesuksesan bukanlah sebuah pemberian dari pemerintah maupun lembaga-
lembaga lainnya, melainkan karena usaha dan kerja keras bersama, individu
maupun kolektif.

1.3. Transmigrasi di Kampung Karya Bumi


Berdasarkan keterangan masyarakat setempat maupun masyarakat
warga transmigrasi yang kini bermukim di Kampung Karya Bumi, bahwa
Kampung Karya Bumi sebelum ditempati warga transmigrasi dari Jawa pada
awalnya adalah lahan perkebunan Interland seluas 500 hektar. Disamping itu
daerah ini juga dijadikan lahan berburu warga setempat53. Menurut, Rasino,
Kepala Kampung penempatan transmigrasi dari Jawa ke Papua khususnya di
Kampung Karya Bumi yang dulunya dikenal dengan nama Kampung Karya
Bumi Besum. Namun setelah ada pemekaran kampung maka Kampung Karya
Bumi berdiri sendiri dan Kampung Besum berdiri sendiri, yang ketika itu

52
Ibid, Hal. 49.
53
Rasino (Kepala Kampung) dan Supriono (Ketua RT), Wawancara (Interview), Kampung
Karya Bumi, 24 Agustus 2015., Abraham Demetouw (Pensiunan PNS Kehutanan), dan Ismail
Bano (Ondoafi), Wawancara (Interview), Kampung Karya Bumi , 26 Agustus 2015.

42
masih menjadi bagian dari Distrik Nimboran. Penempatan warga transmigrasi
pada waktu itu masih masa pemerintahan Gubernur Sutran. Gubernur lalu
menyurati Bupati Jayapura Toni Messet untuk menyiapkan lahan guna
kepentingan transmigrasi. Lahan milik Interland yang seluas 500 hektar
kemudian diambilah 465 hektar untuk kepentingan transmigrasi dari Jawa54.
Pelepasan tanah tersebut pada umumnya tidak disetujui oleh
masyarakat asli setempat, namun secara politis pemerintah memberikan ijin
karena perintah pemerintah pusat kepada gubernur untuk menyukseskan
program transmigrasi. Menurut beberapa narasumber,55 lahan tersebut hingga
saat ini masih bermasalah, dan belum ada solusi penyelesaiannya, pemerintah
belum menyelesaikan ganti rugi yang sepantasnya kepada penduduk ulayat56.
Awal masuknya transmigrasi di Kampung Karya Bumi/kampong
Besum di mulai pada tanggal 4 April 1976. Daerah ini dipilih sebagai salah
satu lokasi transmigrasi karena memiliki lahan yang subur untuk bidang
pertanian serta baik untuk didiami para transmigrasi dalam kaitannya dengan
kemakmuran. Adapun penempatan transmigrasi di Kampung Karya Bumi
berlangsung dalam dua tahap: Tahap Pertama tahun 1976 dan tahap kedua
tahun 1977.
Warga transmigrasi pertama yang ditempatkan di Kampung Besum
tiba pada tanggal 04 April 1976, sebanyak 100 kepala keluarga yang berasal
dari Jawa Tengah. Setelah menempuh perjalanan laut yang menegangkan dan
melelahkan selama 17-18 hari menggunakan kapal barang Tolando para
transmigrasi yang didatangkan dari Jawa Tengah tiba di Kampung Besum.
Mereka ditempatkan di Balai Pertanian selama 2 malam, sambil menunggu
rumah yang disediakan oleh pemerintah selesai dibangun. Pada awal
keberadaan mereka di Kampung Besum, para trans merasa khawatir, kurang
nyaman, terasing dan terbuang, disebabkan karena kondisi daerah yang masih
hutan belantara. Hal yang tidak diduga oleh masyarakat transmigrasi pada

54
Rasino, Ibid.
55
Para Narasumber tidak mengijinkan untuk menyebutkan namanya.
56
Data Observasi dan wawancara lapangan tahun 2015

43
awal kedatangan, banyak dari mereka terkena penyakit malaria. Namun,
karena adanya tekat dan semangat yang kuat, dan pada dasarnya mereka
sangat memegang kuat budaya-budaya dari tempat asalnya (kebudayaan
masyarakat Jawa), maka kerap sekali muncul prinsip “cengkir” (kecangkanya
pikir, kecangkannya kita punya pikiran, kita sudah dibuang kesana, mau dan
tidak mau, hidup dan mati lahan yang ada harus dikelola).
Disisi lain juga, adanya niat untuk mendapat hidup yang lebih baik
hingga dapat menyekolahkan anak-anaknya, mereka pun bisa menyakinkan
dirinya agar bisa bertahan dan maju di tanah orang. Untuk memenuhi
kebutuhan hidup, masyarakat transmigrasi menggarap lahan seluas 2 hektar
yang telah diberikan pemerintah sebagai lahan pertanian dengan menanam
jeruk, padi, kedelai dan sayur-sayuran, dan sebagian lahan dibangun tempat
kediaman. Hasil panen tahun pertama hanya untuk dikomsumsi sendiri
dikarenakan masih minim. Waktu itu air pun masih sangat susah, para petani
hanya mengandalkan air hujan dan belum irigasi. Proses produksi hasil panen
padi waktu itu di angkut menggunakan sepeda, jalannya pun mengunakan alas
papan dikarenakan lumpur yang sangat tebal. Dengan hasil padi yang belum
begitu banyak, untuk memenuhi hidupnya, para transmigran melakukan
aktivitas barter dengan masyarakat lokal, misalnya barter ikan asin yang di
dengan hasil kebun masyarakat lokal seperti keladi, petatas dan cabe57.
Transmigrasi tahap kedua datang pada tahun 1977 ke Kampung Karya
Bumi, berjumlah 50 kepala keluarga, semuanya berasal dari Trenggalek Jawa
Timur. Awal keberangkatan dari Trenggalek Jawa Timur, para transmigran
dikumpulkan di asrama Kediri, lalu menumpang kereta api menuju ke
Surabaya kemudian menunggu kapal sambil diberikan arahan-arahan. Arahan
yang disampaikan adalah jangan terlalu banyak membawa barang-barang
karena kita menggunakan kapal bukan pesawat. Ketika mau diberangkatkan
para trans sama sekali tidak diberitahu tentang bagaimana keadaan dan kondisi
di Papua, serta berbagai tantangan yang akan dihadapi nanti, setelah tiba di

57
Supriono, Ibid.

44
Papua. Semua yang mereka bayangkan dan pikirkan yaitu mungkin kita akan
ditempatkan di tengah hutan dan rumahnya berbaris serta memakai nomor-
nomor. Setelah menempuh perjalanan laut yang menegangkan dan melelahkan
selama 27 hari menggunakan kapal menuju Jayapura dan melalui perjalanan
darat ke Kampung Karya Bumi, akhirnya warga transmigrasi tiba pada malam
hari tepatnya jam 21.00 WIT (jam Sembilan), dan diturunkan di Kali Oku,
disebabkan kendaraan yang mengangkut mereka tidak bisa masuk sampai
Kampung Karya Bumi. Merekapun dijemput oleh saudara-saudaranya dari
Jawa Tengah yang lebih awal datang tahun 1976 di Kampung Karya Bumi.
Sebagai penerangan di malam hari mereka menggunakan lampu petromax
yang dipinjamkan oleh saudara-saudaranya dari Jawa Tengah. Sebelumnya
dalam perjalanaan menuju Kampung Karya Bumi, mereka merasa bingung,
disebakan orang-orang yang mereka jumpai mulai dari Sorong, Monokwari
sampai Nabire bahkan sampai di Besum semuanya berambut keriting58.
Perasaan seperti itu bisa saja muncul dan dapat dipahami, sebab orang-
orang di Papua berbeda, yaitu bertubuh hitam dan berambut keriting. Serta
alam Papua saat itu masih berupa hutan belantara, sangat berbeda dengan
kehidupan di desa asalnya di Jawa. Keinginan untuk mengikuti transmigrasi
ke Papua pada dasarnya, mereka ingin membangun kehidupan yang lebih baik,
menyekolahkan anak-anaknya, terlepas dari kemelaratan dan kemiskinan,
sebagaimana dialami di tempat asalnya di Jawa.
Adapun fasilitas yang diberikan pemerintah kepada para transmigrasi
setiap Kepala Keluarga di Kampung Karya Bumi adalah tanah dengan luas 2
hektar. Pemerintah pun menyediakan peralatan kerja, seperti sekop, cangkul,
parang dan bantuan pangan selama 1 (satu) tahun, berupa beras, ikan asin dan
peralatan masak. Warga Transmigrasi yang di beri tanah 2 hektar dari
pemerintah dengan pembagian ¼ hektar untuk pekarangan rumah, 1 ¾ hektar
untuk lahan sawah. Itupun 1 hektar saja yang ditebang oleh pemerintah sisanya
¾ saling bergotong royong membersihkannya. Awal pengolahan sawah

58
Marsidik, Ketua Paguyuban Trenggalek Kampung Karya Bumi, Wawancara (Interview), 26
Agustus 2015.

45
masyarakat menggunakan tenaga sapi, kemampuan sapi hanya sebatas ½
hektar dan sisanya tidak terolah. Dengan kondisi seperti ini, Dinas Pertanian
mendatangkan alat hentraktor. Cuma kendalanya pada waktu itu lahan sawah
masih dipenuhi tunggak-tunggak kayu (kayu besi). Pengolahan hasil panen
dulu menggunakan cara manual, pertama-tama terpal digelar, drum yang
digunakan sebagai pemukul taruh di atas terpal, padi telah disiapkan lalu
dipukul-pukul di atas drum.
Pekerjaan manual ini sangat membutuhkan tenaga yang cukup banyak,
sehingga para petani beralih menggunakan mesin perontok. Mesin perontok
ini sangat ideal dapat menyelesaikan 1 hektar hanya dalam waktu setengah
hari. Sebelum adanya mesin perontok petani membayar masyarakat lokal
untuk memanen padi, namun cara manual ini terlalu lama dan memakan biaya
besar. Untuk sekali panen dibayar Rp 150.000 /orang/hari. Dan biaya 1 hektar
petani harus mengeluarakan dana sebesar Rp 6.000.000. Mesin perontok yang
pada awalnya di anggap ideal ternyata membutuhkan biaya yang cukup tinggi
karena Padi harus dijemur, dikumpulkan dalam satu hamparan setelah itu
dirontokan. Dari perhitungan biaya tenaga panen Rp 150.000/0rg ditambah
ongkos perontoknya Rp 8.000/karung (karung 50 kilo)59.
Setiap Kepala Keluarga juga mendapatkan 2 ekor sapi. Sapi ini tidak
diberikan secara gratis namun harus diganti oleh warga sebesar 3 ekor setelah
berkembangbiak. Setelah diganti baru sapi ini bisa menjadi milik pribadi
warga untuk di pelihara guna menunjang kehidupan mereka sehari-hari. Selain
itu, pemerintah juga memberikan fasilitas berupa tempat ibadah 1 gedung
masjid, dikarenakan mayoritas transmigrasi waktu itu beragama muslim,
namun pada waktu itu tempat ibadahnya masih sangat kecil. Seiring
berkembang dan bertambahnya penduduk maka dilakukan rehab dengan
biaya swadaya umat muslim sendiri. Adapun bantuan dari pemerintah pada
saat kunjungan safari ramadhan berupa bingkisan untuk masjid. Proses

59
Supriono, Ibid.

46
pengerjaan masjid dilakukan oleh umat muslim itu sendiri. Kalau untuk
penyedian bahannya dibeli dari masyarakat lokal seperti kayu dan batu60.
Masyarakat transmigrasi walapun merasa asing di tempat yang baru,
mereka pun tetap dapat meneruskan dan mengembangkan budaya-budaya
yang berasal dari tempat asalnya di Jawa, misalnya kesenian wayang kulit,
kuda lumping dan lucruk. Untuk budaya kuda lumping, wayang kulit masih
tetap dipertahankan sampai sekarang. Sedangkan ludruk dari Jawa Timur
mulai hilang dikarenakan pemain-pemainnya sudah semakin tua dan anak
muda sebagai penerusnya tidak tertarik, karena dianggap sudah ketinggalan
jaman. Aktivitas pemetasan kesenian ini dilaksanakan pada hari-hari besar
nasional, misalnya tanggal 17 Agustus memperingati Hari Ulang Tahun
Republik Indonesia dan juga pada tanggal 4 April yang dijadikan hari ulang
tahunnya warga transmigrasi di Kampung Karya Bumi. Pementasan kesenian
tersebut biasanya juga dilakukan pada acara hajatan keluarga seperti pesta
perkawinan dan acara sunatan61.
Penempatan permukiman transmigrasi di Kampung Karya Bumi sejak
tahun 1976 dan tahun 1977, sebanyak 150 Kepala Keluarga yang dimukimkan.
Apa bila setiap kepala keluarga masing-masing mendapatkan jatah lahan dari
pemerintah seluas dua hektar, maka areal hutan Kampung Karya Bumi yang
dibuka mencapai 350 hektar untuk memenuhi kebutuhan lahan perumahan,
pekarangan, pertanian, serta sarana dan prasarana lainnya. Belum lagi areal
hutan yang dibuka di luar jatah dua hektar tersebut untuk lahan perkebunan,
khususnya perkebunan jeruk seluas 60 hektar. Namun, untuk perkebunan
jeruk tersebut dipalang karena masih dalam sengketa, akibatnya lahan ini
berubah menjadi hutan belantara. Tahun 1990 pernah diselesaikan oleh
pemerintah dengan membayar kepada pemilik hak ulayat sebesar Rp 800 juta.
Masyarakat lokal menganggap jumlah uang ini sebagai bentuk sewa tanah

60
Ibid.
61
Ibid.

47
bukan sebagai ganti rugi. Bahkan beberapa kali pergantian Gubernur dan
Bupati persoalan tanah transmigrasi ini masih belum dapat diselesaikan62.
Pembabatan hutan Kampung Karya Bumi untuk dijadikan areal
pertanian, perkebunan dan permukiman transmigrasi, sepenuhnya
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat melalui Dapertemen Transmigrasi
berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat sebagai penerima
transmigrasi. Mulai dari penyiapan lahan, perumahan, sarana dan prasarana
lainnya. Namun, untuk lahan persawahan pemerintah hanya membersihkan
secara sambraut yang penting kelihatan hamparan, kayu-kayu besar masih
berserakan ditengah lahan sawah, petakan belum dibentuk dan hanya diberi
patokan pembatas sesuai ukuran yang telah ditentukan. Para transmigrasi
sendirilah yang harus membersihkan lahan itu dengan peralatan yang masih
sangat sederhana, seperti sekop, cangkul, parang. Dengan peralatan yang
seadanya seperti itu, sudah pasti warga transmigrasi mengalami berbagai
kesulitan. Untuk menyiasati berbagai kesulitan tersebut, mereka kemudian
melaksanakan pembersihan lahan dengan cara gotong royong63.
Berkat tekad yang kuat, kesabaran, kegigihan, ketekunan dan
keyakinan penuh dalam diri masing-masing warga transmigrasi bahwa mereka
pada suatu saat akan sukses. Akhirnya hutan belantara Kampung Karya Bumi
terbukti berhasil mereka taklukan, dan merubah wajah Kampung Karya Bumi
dari hutan rimba menjadi salah satu daerah penghasil padi untuk Kabupaten
Jayapura.

4. Pandangan Terhadap Kehadiran Transmigrasi


Penilaian atau pandangan warga transmigrasi terhadap masyarakat asli
Kampung Karya Bumi pada dasarnya positif. Mereka menilai bahwasanya
masyarakat asli bersifat terbuka dan mau bekerja sama dengan warga
transmigrasi. Hal itu terlihat sejak awal kedatangannya, masyarakat asli sudah

62
Ibid.
63
Rasino, Ibid.

48
menerima warga transmigrasi dengan sangat baik. Hubungan masyarakat
transmigrasi dengan masyarakat lokal sangatlah harmonis, rasa kebersamaan
dan kekeluargaan yang ditunjukan masyarakat asli terutama terlihat pada hari-
hari raya keagamaan, mereka menunjukan toleransi yang tinggi. Masyarakat
asli juga sering ikut menonton pertunjukan kesenian yang dipentaskan oleh
warga transmigrasi64.
Sifat keterbukan masyarakat asli juga ditunjukkan dengan mau
mengikuti penatarann dan diajarkan cara menanam, mengolah dan memanem
padi. Pada tahun 1980-an masyarakat lokal diajarkan menanam padi dan
sampai saat ini banyak masyarakat lokal yang sudah pintar mengolah lahan,
cara menggarap tanah dan memanen padi65. Peluang bagi masyarakat lokal
untuk berusaha di sektor pertanian sangat terbuka lebar, sebab lahan milik
masyarakat adat masih sangat luas. Apa lagi jika sarana irigasi faktor
pendukung utama dalam pertanian sudah tersedia. Tinggal diperlukan kemauan
dan kerja keras sebab tenaga kerja tersedia, lahan tersedia, sarana irigasi dan
teknis pun sudah ada, yang diharapakan sudah bisa difungsikan kembali pada
tahun 2015 ini. Dengan begitu diharapkan masyarakat lokal pada awalnya yang
hidup bergantungan pada alam, berkebun berpindah-pindah secara perlahan-
lahan bisa beralih menjadi petani sawah. Bagi masyarakat lokal yang mau
berusaha bisa dilihat dari keberhasilan anak mereka yang ada sudah menjadi
tentara, polisi serta sudah bisa membeli mobil dan motor.
Hubungan yang baik antar masyarakat lokal dan warga transmigrasi
ini diharapakan dapat dipertahankan dengan baik. Terlepas dari persoalan
sosial yaitu kecemburuan sosial masyarakat lokal atas kehadiran warga
transmigrasi.Namun perbedaan atau kesenjangan ekonomi tidak lagi ada antara
warga transmigrasi sebagai pendatang, dengan masyarakat lokal disis lainnya.
Kedua-duannya menikmati keberhasilan ekonomi khususnya di bidang

64
Rasino, Ibid.
65
Marsidik, Op. Cit.

49
pertanian tanaman pangan dari alam Kampung Karya Bumi Distrik Namblong
Kabupaten Jayapura.
Sejak awal kedatangan masyarakat transmigrasi yang berasal dari
berbagai daerah di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) persoalan ditolaknya
atau diterimanya transmigrasi oleh masyarakat penduduk asli, selalu
dihubungkan dengan ada tidaknya pembauran antara kedua suku bangsa.
Karena orang selalu mengukur keberhasilan transmigrasi dengan indikator ada
atau tidaknya perkawinan campuran antara penduduk asli dengan transmigrasi.
Walapun problematika pembauran sering mewarnai hubungan antara penduduk
asli dan transmigrasi, tetapi di lapangan diterima atau tidaknya transmigrasi
oleh masyarakat asli tergantung pada alasan bagaimana penduduk melihat
masyarakt transmigrasi dalam kaitan dengan kepentingan ekonomi mereka66.
Daerah di mana penduduk asli telah memiliki kedudukan ekonomi
yang cukup baik sebelum kedatangan transmigrasi. Sebaliknya apabila
penduduk asli mempunyai kedudukan ekonomi yang rendah maka rasa untuk
menolak terhadap kedatangan transmigrasi akan sangat terasa. Rasa tidak
senang penduduk asli terhadap transmigrasi sering dinyatakan dalam bentuk
tindakan pengusiran transmigrasi dari lokasi transmigrasi, karena mereka tahu
tindakan semacam ini akan menyebabkan mereka berhadapan dengan aparat
pemerintah. Bentuk pengusiran biasanya tidak secara langsung tetapi lebih
kepada penuntutan ganti rugi tanah yang tinggi yang akan disediakan untuk
tempat permukiman dan lahan pertanian para transmigrasi67.
Hubungan antara penduduk asli dan transmigrasi yang belum serasi
sering berkembang menjadi isu politik di daerah. Satu hal yang sering menjadi
kecemburuan dan ketimpangan sosial adalah kerena masyarakat asli
beranggapan bahwa para transmigarasi di istimewakan dan masyarakat lokal
tidak diperhatikan. Namun apabila kita kaji secara mendalam, isu politik
tentang transigrasi ini berkembang di kalangan intektual daerah, maka akan

66
Sri Edi Swasono dan Masri Singarimba., Transmigrasi Di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1985, Hal. 177.
67
Ibid.

50
terlihat bahwa hal itu erat hubungannya dengan rasa kecewa karena tidak
mendapat kedudukan dalam pemerintah daerah sampai pemerintahan kampung
yang ada di daerah68.
Sebagai contoh yang terjadi di Kampung Karya Bumi dimana selama
empat periode pergantian Kepala Kampung belum ada putra-putri asli dari
Lembah Grimen yang menduduki jabatan tersebut. Situasi seperti ini yang
menimbulkan rasa kecewa di kalangan para masyarakat asli, karena merasa diri
mereka sebagai warga Negara kelas dua di daerah sendiri. Bahkan yang lebih
ekstrim lagi mereka pernah berpikir untuk memisahkan diri dari Kampung
Karya Bumi dan mau membangung kampung sendiri69.
Terlepas dari persoalan diterima atau tidaknya masyarakat
transmigrasi yang datang ke Kampung Karya Bumi. Menurut bapak Abraham
Demetou, dengan kedatangan masyarakat transmigrasi membuat masyarakat
asli setempat mengalami perkembangan sosial, budaya dan ekonomi yang
relatif jauh berbeda dengan masyarakat asli dahulu. Warga transmigrasi juga
mengajarkan dan mentransfer ilmunya kepada masyarakat lokal Kampung
Karya Bumi, terutam dalam hal menggolah pertanian padi sawah. Untuk itu
tradisi berpindah-pindah ladang, berburu dan meramu bukan lagi menjadi
pekerjaan pokok. Masyarakat lokal yang dahulu tidak mengenal cara bercocok
tanam padi kini semuanya sudah tau dan menjadi petani. Dahulu masyarakat
lokal membeli beras kini mereka sudah bisa mengambil langsung dari ladang
mereka. Perekonomian masyarakat lokal juga semakin maju70.
Meskipun demikian, gap (jurang perbedaan) dari segi ekonomi masih
terlihat antara warga transmigrasi dengan masyrakat asli setempat. Oleh karena
itu seharusnya pemerintah bersama elemen masyarakat lainnya (tokoh adat,
tokoh agama, Lembaga Swadaya Masyarakat) harus lebih pro aktif mendorong
masyarakat asli agar bisa mencontohi warga transmigrasi dalam berusaha di

68
Ibid
69
Regina Bano.Wawancara (Interview), Kampung Karya Bumi, 26 Agustus 2015.
70
Abraham Demetou, Op. Cit.

51
bidang tanaman pangan, terutama tanaman padi di sawah. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa persoalan diterima atau tidaknya transmigrasi oleh
masyarakat setempat bukanlah merupakan hal sederhana. Banyak faktor yang
menyebabkan karena itu membutuhkan penangan yang khusus pula.

5. Terbentuknya Kampung Karya Bumi


Terbentuknya Kampug Karya Bumi berawal dari kedatangan
masyarakat transmigrasi dari Jawa guna mensukseskan program pemerintah
melalui Program Pelita yang di laksanakan selama 6 (enam) periode pada masa
Presiden Soeharto. Program transmigrasi ini di mulai sejak tahun 1950an dan
pelaksanaanya mencakup pembangunan dalam berbagai bidang antara lain
bidang ekonomi, sosial, politik dan pertahanan.
Kampung Karya Bumi sejak tahun 1976 tepatnya pada tanggal 4 April,
warga Transmigrasi dari Kabupaten Jawa Tengah sebanyak 100 KK yang
terdiri dari Kabupaten Bayalak 25 KK, dari Kabupaten Purwodadi 40 KK, dari
Kab. Kebumen 31 KK dan dari Kab. Purorejo 4 KK. Tahun 1977 datang lagi
Transmigrasi dari Jawa Timur sebanyak 50 KK tepatnya dari Kab. Trenggalek
48 KK dari Jogjakarta 2 KK, sehingga warga Transmigrasi yang ditempatkan
saat itu seluruhnya berjumlah 150 KK di tempatkan di daerah Besum dan
berada dalam wilah administrasi Distrik Nimboran. Selain itu terdapat pula
beberapa warga pendatang dari Ujung Padang, yang membuka usaha kios
panjang sampai saat ini. Tahun 1978, Gubernur pada waktu itu SUTRAN
datang ke lokasi Transmigrasi untuk bertemu dengan warga dan sekaligus
memberi nama kampung Karya Bumi, yang artinya Karya itu Kaya dan Bumi
adalah tanah jadi bekerja mengolah tanah (petani)71. Proses terbentuknya
Kampung Karya Bumi bisa dilihat pada table kronologis dibawah ini:

71
File Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung Karya Bumi Tahun 2013 – 2018,
hal. 12.

52
Tabel 8.
Kronologis Sejarah Kampung Karya Bumi
Tahun Rekaman Kejadian
1974 Di datangkan warga transmigrasi dari Jawa tengah sebanyak 10
KK
1977 Datang lagi transmigrasi dari jawa Timur sebanyak 50 KK.
Dibentuk koperasi seba usaha yang sekarang berubah menjadi
KUD Subur.
1978 Gubernur IrianJaya SUTRAN datang ke daerah Trans sekaligus
meresmikan nama kampung Karya Bumi.
1980 KUD dapat bantuan dari Pemerintah berupa gedung baru dan
Toko
1984 Listrik pedesaan masuk kampung hanya malam hari saja
menyalanya
1988 Diserakan sertifikat tanah oleh pemerintah kepada warga
transmigrasi
Transmigrasi diserakan kepad Pemda pembinaanya.Kantor,
gudang diserakan kepada Desa.
1989 Diadakan pemilihan kepala Desa yang pertama
1994 Irigasi dibuat untuk pengairan sawah warga namun hanya
berjalan sebentar dan macet sampai sekarang.
1996 Pemilihan kepala Desa yang kedua sampai sekarang.
2005 Mendapat bantuan pasar Desa dari pemerintah, tetapi belum ada
penyerahan resmi kepada kampung.
2007 Pemilihan Kepala Kampung yang ke III
Sumber : RPJM Kampung Karya Bumi, 2014

53
BAB IV
DAMPAK TRANSMIGRASI BAGI MASYARAKAT
KAMPUNG KARYA BUMI

A. Dampak di Bidang Pertanian & Perkebunan


Berdasarkan keterangan dari masyarakat Kampung Karya Bumi baik
dari masyarakat asli maupun masyarakat transmigrasi yang kini bermukim di
Kampung Karya Bumi, mengatakan bahwa lingkungan alam Karya Bumi
sebelum ditempatkannya warga transmigrasi dari Jawa masih berupa hutan
belantara72. Masyarkat asli yang menghuni Karya Bumi saat itu umumnya
berkebun berpindah-pindah. Namun setelah ditempatkan masyarakat
transmigrasi dari Jawa pada tahun 1976 dan 1977, masyarakat asli pun
dikenalkan dengan sistem pengolahan lahan tetap. Banyak masyarakat asli
sudah mengolah dan menanam padi, serta terjadi perubahan lingkungan alam
Karya Bumi dengan cepat. Areal hutan yang ada berubah menjadi lahan
pertanian dan perkebunan seluas ratusan hektar bahkan kini sudah mencapai
ribuan hektar serta dilakukannnya perluasan areal persawahan.
Dari dua tahap penempatan transmigrasi di Kampung Karya Bumi
sejak tahun 1976 hingga tahun 1977, sebanyak 150 kepala keluarga yang
dimukimkan. Apa bila setiap kepala keluarga masing-masing mendapatkan
jatah lahan dari pemerintah seluas dua hektar, maka areal hutan Karya Bumi
yang dibuka mencapai 300 hektar untuk memenuhi kebutuhan lahan
perumahan, perkarangan, pertanian, serta sarana dan prasarana lainnya. Belum
lagi areal hutan yang dibuka di luar jatah dua hektar tersebut untuk lahan
perkebunan, khusunya perkebunan jeruk.
Transmigrasi yang ditempatkan di Kampung Karya Bumi yang pada
awal kedatangan, mereka hanya disediakan lahan oleh pemerintah yang masih
penuh dengan berondolan kayu yang berserakan di tengah lahan. Para
transmigrasi sendirilah yang harus membersihkan lahan itu dengan peralatan

72
Abraham Dematou. Ondoafi Kampung Karya Bumi.wawancara (niterview).Kampung Karya
Bumi, 26 Agustus 2015.

54
yang masih sangat sederhana, seperti gergaji tangan, parang dan cangkul73.
Dengan peralatan yang sederhana seperti itu, sudah pasti warga transmigrasi
mengalami berbagai kesulitan. Untuk menyiasati berbagai kesulitan tersebut,
mereka kemudian melaksanakan pembukaan dan pembersihan lahan secara
gotong royong.
Berkat tekad yang kuat, kesabaran, kegigihan, ketekunan dan keyakinan
penuh dalam diri masing-masing warga transmigrasi bahwa mereka pada
suatu saatnya akan sukses di Karya Bumi. Akhirnya hutan belantara Karya
Bumi terbukti berhasil mereka taklukan, dan merubah wajah Karya Bumi dari
hutan rimba menjadi daerah penghasil pangan (padi) di Kabupaten Jayapura
hingga kini.

B. Dampak Ekonomi
Pemberdayaan lahan pertanian sebagai lahan usaha seluas 2 ha/KK
yang diberikan kepada transmigrasi untuk diolah dan ditanami dengan
berbagai komoditi pertanian dan perkebunan seperti : padi, jagung, kedelai,
buah-buahan dan sayur-sayuran serta tanaman perkebunan coklat, serta jeruk
turut pula mendukung peningkatan taraf hidup masyarakat. Aspek yang turut
menentukan keadaan ekonomi penduduk adalah tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap lingkungan alamnya, sehingga dapat menentukan cara
menanggapi berbagai gejala alam yang dihadapinya.
Pengolahan usaha tani yang dilakukan petani di Kampung Karya
Bumi paling banyak bersifat usaha tani campuran, yaitu usaha tani dengan
berbagai jenis komoditi yang diusahakan dalam sebidang lahan. Berdirinya
kelompok tani, memberikan transformasi kebudayaan khusunya teknologi
pertanian secara luas. Sehingga pengolahan lahan bisa semakin intensif, yang
nantinya menambah produktifitas warga, dan semakin beragamnya tanaman
di pekarangan.

73
Rasino. Loc.it.

55
Dari hasil pengamatan lapangan, penduduk yang sudah maju berbeda
dalam memilih jenis-jenis mata pencarihan, ini dilatar-belakangi oleh tingkat
pendidikan penduduk setempat. Dengan datangnya transmigarsi telah
merubah pola bercocok tanam masyarakat lokal. Ini dilakukan para
transmigrasi lokal dengan melihat serta belajar langsung kepada para
transmigrasi ataupun ikut dalam Penyuluhan Pertanian74. Sehingga tidak
sedikit dari penduduk sekitar yang beralih mata pencarihan bercocok tanam
menetap. Interaksi ekonomi diwujudkan dalam bentuk transaksi dagang antara
petani dan pedagang lokal maupun pedagang non lokal. Hal ini, menunjukan
adanya suatu hubungan dagang yang saling menguntungkan. Oleh karena itu
apabila hutan-hutan sagu ditebang karena transmigrasi, maka rakyat Papua
terlebih khusus warga lokal Karya Bumi akan tidak hanya kehilangan salah
satu sumber makanan pokok mereka, tetapi juga sumber keuangan yang dapat
menunjang perkembangan kehidupan ekonomi mereka. Apabila hutan sagu
sudah tidak ada maka terpaksa warga lokal harus menerima dan
mengkomsumsi beras, yang bagi mereka bukanlah makanan pokok sehari-hari
mereka.

C. Dampak Sosial
Masuknya program transmigrasi telah memiskinkan masyarakat lokal.
Masyarakat lokal mengalami kehilangan banyak lahan mereka, yang menjadi
kekayaan dan penghidupan, dimana area tersebut merupakan tempat
perburuan dan dusun mereka.. Saat ini mereka tidak dapat menggunakan
lahan-lahan itu karena telah diperuntukkan bagi warga transmigrasi. Kemana
mereka harus pergi setelah dipaksa meyerahkan lahan mereka untuk
transmigrasi. Selain hilangnya peluang ekonomi, populasi penduduk asli juga
mengalami hilangnya kepercayaan diri dan harga diri75.

74
Jamludin. Loc.It
75
Mamoribo. Transmigrasi :Arti dan Dampaknya Dalam Kehidupan Sosial – Ekonomi
Masyarakat Marind – Anim Di Distrik Semangga Kabupaten Merauke 1967 – 2012. Skripsi (tidak
diterbitkan). Jayapura : Pendidkan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan Universitas
Cenderawasih Tahun 2014, hal, 59.

56
Program transmigrasi di Papua jauh dari kondisi demokratis.
Pengetahuan tradisional setempat sama sekali diabaikan. Semua orang harus
beradaptasi dengan “kebudayaan aneh” dan menyesuaikan diri dengan
kebudayaan asing yang jauh dari kebudayaan daerahnya. Semua harus
dilakukan dengan cara “Indonesia”. Tradisi lokal dipandang “tidak berlaku
lagi” atau hanya menarik bagi turis. Ini secara tidak langsung bahwa
masyarakat Papua diberi label bahwa mereka tidak memiliki tradisi-tradisi
sendiri begitu juga kebudayaan yang bernilai tinggi dan sebagai warga asli
seakan tidak memiliki hak ulayat mereka. Pemerintahan masa Orde Baru
yang memimpin dengan tangan besi, merampas dan memaksa penduduk
lokal menyerahkan lahannya kepada kaum transmingran. Sedangkan para
transmigran yang dikirim ke Papua khususnya di daerah Besum, merupakan
kaum tani yang taraf hidupnya rendah dan tidak dibekali akan nilai-nilai
sosial budaya masyarakat di Papua.

57
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Transmigrasi di Kampung Karya Bumi, dulunya bernama kampung
Karya Besum Distrik Nimboran dijadikan sebagai tempat permukiman
transmigrasi, yang didatangkan dari Jawa Tengah, sejak tanggal 4 April 1976,
dengan jumlah 100 Kepala Keluarga yang berasal dari Desa Bayalak 25
Kepala Keluarga, dari Desa Purwodadi 40 Kepala Keluarga, dari Desa
Kebumen, 31 Kepala Keluarga dan dari Desa Purorejo 4 Kepala Keluarga.
Tahun 1977 datang lagi Transmigrasi dari Jawa Timur sebanyak 50 Kepala
Keluarga tepatnya dari Desa Trenggalek, 48 Kepala Keluarga dan dari
Jogjakarta sebanyak 2 Kepala Keluarga, sehingga warga Transmigrasi yang
ditempatkan saat itu seluruhnya berjumlah 150 Kepala Keluarga. Selain itu
terdapat pula beberapa warga pendatang dari Ujung Padang
Lingkungan alam Kampung Karya Bumi pada awal kedatangan warga
transmigrasi saat itu masih terisolasi karena merupakan hutan belantara dan
dusun bagi penduduk asli. Satu-satunya akses (jalan) dari Jayapura ke Karya
Bumi hanyalah melalui jalur darat. Kedatangan warga transmigrasi dengan
peralatan seadanya berusaha, ditempatkan pada lahan pertanian yang sudah
diberikan untuk menaklukan hutan Karya Bumi kemudian merubahnya
menjadi areal permukiman, persawahan, dan perkebunan. Upaya mereka
untuk membuka hutan belantara Karya Bumi kebanyakan melalui sistem
gotong royong.
Setelah warga transmigrasi berhasil berhasil membuka hutan Karya
Bumi secara bertahap menjadi areal permukiman, pertanian dan perkebunan,
mulai mengolah lahan-lahan mereka. Pada saat itu untuk memenuhi
kehidupan ke depan, masyarakat transmigrasi bermata pencaharian bertani
dengan menanam jeruk, padi, kedelai dan sayur-sayuran. Hasil produksi
tahun-tahun pertama hanya untuk dikomsumsi sendiri dikarenakan hasilnya
masih minim. Waktu itu air pun masih sangat susah, para petani hanya

58
mengandalkan air hujan serta belum ada air irigasi. Hasil padi waktu itu di
angkut menggunakan sepeda, jalanya pun mengunakan alas papan
dikarenakan lumpur yang sangat tebal. Dengan hasil padi yang belum begitu
banyak, untuk memenuhi hidupnya mereka melakukan aktivitas barter
dengan masyarakat lokal, seperti ikan asin yang di dapat dari pemerintah di
tukar dengan hasil kebun masyarakat lokal seperti keladi,petatas dan cabe.
Bahwa suasana kehidupan bermasyarakat antara warga transmigrasi
sebagai pendatang dengan masyarakat asli Karya Bumi sejak awal
kedatangan mereka hingga sekarang terjalin dengan baik. Suasana kehidupan
bermasyarakat yang kondustif itu sedikit agak terusik ketika konstelasi
politik di Indonesia berubah dengan cepat pasca reformasi. Pengaruh yang
terjadi di atas berupa pengaruh baik maupun pengaruh buruk bagi masyarakat
asli dan pendatang. Benturan budaya antara masyarakt asli dan pendatang
dalam bidang pertanian dan konflik yang terjdi atas kepemilikan lahan.
Nampaknya fenomena ini dialami oleh masyarakat transmigrasi,
bukan hanya di Papua namun juga diberbagai daerah lainnya di Indonesia.
Tentu hal ini akan berdampak negatif terhadap persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika.

B. Saran-saran
Sebagai akhir dari penulisan laporan ini, maka pada kesempatan ini
penulis dapat memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Perdagangan kedepannya agar
membatasi masuknya beras dari luar daerah Provinsi Papua supaya beras
lokal produksi Karya Bumi sendiri dapat bersaing dalam hal penjualan di
pasaran Papua khusunya Kabupaten Jayapura.
2. Realisasi perluasan areal persawahan perlu dilakukan untuk lebih
meningkatkan produksi beras lokal di Karya Bumi. Apalagi Kampung
Karya Bumi masuk salah satu daerah yang dipersiapkan menuju daerah
Swasembada pangan tahun 2018.

59
3. Perlu adanya perhatian khusus dari Pemerintah Papua, khusunya
Kabupaten Jayapura terhadap masyarakat asli Karya Bumi, dengan
memberikan pelatihan khusus di bidang pertanian, khusunya padi sawah.
Apalagi bagi masyarakat asli padi sawah merupakan hal baru bagi mereka.
4. Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten, harus segera menyelesaikan
sengketa tanah/lahan masyarakat lokal yang diambil oleh Pemerintah dan
diberikan sebagai area transmigrasi di Lembah Grime, maupun daerah-
daerah transmigrasi di Papua.

60
DAFTAR PUSTAKA
 Daftar Buku

Anisa, Siti . Kebijakan Transmigrasi dan Dampaknya Bagi Masyarakat di Dsitrik


Nimbokrang Kabupaten Jayapura (1980 – 2008). Skripsi Sarjana (tidak
diterbitkan). Jayapura: Program Studi Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Cenderawasih 2010.
Breman, Jan. Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa “ Sistem Priangan Dari
Tanaman Paksa Kopi di Jawa 1720-1870”, Jakarta: Penerbit Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2014.
Dumatubun, A.E, , et. al. Hiyake Jurnal Sejarah dan Budaya. Jayapura: Penerbit
Balai Pelestarian Budaya Jayapura, Desember 2013.
Griapon, Alexander Jauh Dekat Hulu Sungai Grime: Babakan Awal Perubahan
Pola Pikir Orang Ali Papua, Jayapura: Tabura, 2008.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Atropologi (edisi revisi), Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta, 2009.
______________ Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1994.
M. Amral, Sjamsu. Transmigrasi Dari Kolonisasi sampai Swakarsa. Dalam Joan
Hardjono (penyunting). Jakarta: PT. Gramedia, 1982. Lihat juga Surat
Keputusan Presiden No.7 / 1978, Istilah Kolonisasi Diganti Dengan Istilah
Transmigrasi.
Purhadi. Menelusuri Potensi Dan Prospek Pariwisata Danau Sentani di
Kabupaten Jayapura. Jayapura: Prodik Sejarah, 2010.
Sutarsono. Transmigrasi. https://id.m.wikipedia.org/wiki/transmigrasi. Diakses
pada tanggal 07 September 2015.
Swasono, Sri Edi dan Masri Singarimba., Transmigrasi Di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1985.
Tabisu, Jonathan. Komunitas Ekonomi Sumber Daya Hutan “Yang Terlintas
Gelombang Peradaban Di Hulu Sungai Grime” Suatu Kondisi Kultur Dan
Religius, Yogyakarta: Penerbit bima sakti, 2011.
Transmigrasi Dilema Di Papua. Transmigrasi https://blogspot.com /2009/03/
dari-kolonisasi-sampai-transmigrasi-di.html?m=1. Diakses pada tanggal 07
September 2015.

61
 Dokumen Dan Laporan
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Tanggerang: Penerbit Interaksara,
2002.
Irene Mamoribo. Transmigrasi: Arti Dan Dampaknya Dalam Kehidupan Sosial –
Ekonomi Masyarakat Marind – Anim di Distrik Semangga Kabupaten
Merauke 1967-2012, Skripi Sarjana, Jayapura: Prodi Sejarah Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih, 2014.
Laporan Mahasiswa KKL Prodi Pendidikan Sejarah Angkatan 2010, Oransbari :
Distrik Swasembada Pangan Di Kabupaten Manokwari Selatan 1968-2012.
Jayapura: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Cenderawasih, 2013.
Laporan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung Karya
Bumi). Kabupaten Jayapura: Dinas Transmigrasi dan kependuddukan Tahun
2013 – 2018.
Yambeyapdi, Ester. Metodologi Sejarah. Bahan Ajar Prodiksjar FKIP Uncen,
Jayapura: Prodik Sejarah, 2008.

62
 Lampiran 1 :
DAFTAR NARASUMBER

1. Rasino umur 50th. (Kepala Kampung) dan Supriono (Ketua RT), Wawancara
(Interview), Kampung Karya Bumi, 24 Agustus 2015.
2. Abraham Demetou, umur 70th (Pensiunan PNS Kehutanan), dan Ismail Bano
(Ondoafi), Wawancara (Interview), Kampung Karya Bumi , 26 Agustus 2015.
3. Marsidik. umur 65th (Ketua Paguyuban Trenggalek Kampung Karya Bumi),
Wawancara (Interview), Kampung Karya Bumi, 26 Agustus 2015.
4. Regina Bano. (istri ondoafi bapak Abraham Demetouw, umur 58th),
Wawancara (Interview), Kampung Karya Bumi, 26 Agustus 2015.
5. Jamaludin. Umur 45th (Petugas Penyuluhan Pertanian Kampung Karya Bumi),
Wawancara (interview), Kampung Karya Bumi, 25 Agustus 2015.
6. Paulina, Usmani, umur 45th. (Mandor Pasar Dan Pelopor Pendirianya),
Wawancara (interview), Kampung Karya Bumi, 25 Agustus 2015.

63

Anda mungkin juga menyukai