Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

AGAMA KATOLIK
AJARAN SOSIAL GEREJA
DOSEN PENGAMPUH : PASTOR ALOYSIUS BATMYANIK, MSC.

OLEH:
KELOMPOK 2

AGNES SURYANI RESUBUN 201862201015

YOSEFITA IROK 201862201035

MARIA RELCIANA LUSI 201862201166

PETRUS BATLYEL 202162201071

YOHANIS RICHARDO RAHANGIAR 202162201088

MARIA FELISITAS MELISA MOMBE 202162201098

FLORIDA YAKOBA YAGAFO 202162201100

MARIA HUBERTHA A. SALIMUBUN 202162201104

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUSAMUS MERAUKE
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahman
dan penyertaannya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Ajaran Sosial Gereja” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada “Mata Kuliah
Agama Katolik”. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang “Ajaran Sosial Gereja” bagi para pembaca dan juga kami.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Pastor Aloysius Batmyanik, Msc.,


selaku dosen mata kuliah agama katolik yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Merauke
10 Januari 2022

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................1

C. Tujuan........................................................................................................1

D. Manfaat......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Definisi Ajaran Sosial Gereja Dan Tujuannya..........................................3

B. Bentuk-Bentuk ASG (Ensiklik-Ensiklik Magisterium Gereja).................5

1. Rerum Novarum (Paus Leo XIII, 1891).............................................5

2. Quadragesimo Anno (Paus Pius XI, 1931)........................................6

3. Mater et Magistra (Paus Yohanes XXIII, 1961)...............................7

4. Pacem in Terris (Paus Yohanes XXIII, 1963)...................................8

5. Gaudium et Spes (Konsili Vatikan II, 1965)......................................8

6. Populorum Progressio (Paus Paulus VI, 1967).................................9

7. Octogesima Adveniens (Paus Paulus VI, 1971)...............................10

8. Convenientes ex Universo atau Justicia in Mundo (Sinode Uskup,


1971)...............................................................................................10

9. Laborem Exercens (Paus Sto. Yohanes Paulus II, 1981).................11

10. Centesimus Annus (Paus Sto. Yohanes Paulus II, 1991).................11

11. Caritatis in Veritate (Paus Benediktus XVI, 2009).........................12

C. Prinsip Dasar Ajaran Sosial Gereja.........................................................13

iii
1. Kesejahteraan Umum.......................................................................13

2. Tujuan Sosial-Universal Harta Benda..............................................15

3. Subsidiaritas.....................................................................................17

4. Partisipasi.........................................................................................18

5. Solidaritas.........................................................................................19

D. Nilai-Nilai Moral Dasar Dalam ASG......................................................20

1. Cinta kasih........................................................................................20

2. Keadilan Sosial................................................................................21

3. Bebas Merdeka.................................................................................23

BAB III PENUTUP...............................................................................................25

A. Kesimpulan..............................................................................................25

B. Saran........................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Warta keselamatan Kristus melalui kehadiran Gereja menuntut terjadinya


perubahan nyata tatanan dunia sesuai dengan yang dikehendaki Kristus. Cinta
kasih Kristus, yang menjadi perintah utama dan syarat utama sebagai
murid.Tuhan (Yoh 13:35), harus diterapkan kepada sesama dalam relasi
seharihari. Perwujudan cinta kasih itu bukan sekedar menyapa orang lain,
memberi senyum, dan membantu dengan mengulurkan tangan. Perintah kasih
diwujudkan dalam konteks membuat dunia ini menjadi tempat yang sesuai dengan
kehendak Allah dan membangun KerajaanNya. Maka, membangun keadilan
sosial, menebarkan perdamaian, mengutamakan kepentingan mereka yang paling
membutuhkan, mempromosikan hormat terhadap martabat manusia merupakan
bentuk nyata dari aplikasi perintah kasih. Ajaran Sosial Gereja berkaitan langsung
dengan bagaimana hukum cinta kasih Kristus dilaksanakan oleh Gereja dalam
hidup sehari-hari di tengah masyarakat dan dunia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Ajaran Sosial Gereja (ASG) dan tujuannya?


2. Apa saja bentuk-bentuk ASG?
3. Apa saja yang termasuk dalam prinsip-prinsip ASG?
4. Apa saja yang termasuk nilai-nilai moral dasar dalam ASG

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian ajaran sosial gereja (ASG) dan tujuan


2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk ajaran sosial gereja (ASG)
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip ajaran sosial gereja (ASG)
4. Untuk mengetahui nilai-nilai moral dasar dalam ASG

1
D. Manfaat

1. Menambah wawasan pembaca tentang ASG.


2. Mengetahui perjuangan atau tanggapan-tanggapan gereja terhadap
masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Ajaran Sosial Gereja Dan Tujuannya

Ajaran Sosial Gereja atau ASG berisikan ajaran Gereja tentang permasalahan
keadilan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Secara sempit ASG
dimengerti sebagai kumpulan aneka dokumen (umumnya disebut ensiklik) yang
dikeluarkan oleh Magisterium Gereja dan berbicara tentang persoalan-persoalan
sosial. Dokumen-dokumen tersebut antara lain Rerum Novarum (tentang kondisi
buruh, dikeluarkan oleh Paus Leo XIII tahun 1891), Quadragessimo Anno
(tentang pembaharuan tatanan sosial oleh Paus Pius XI tahun 1931), Mater et
Magistra (tentang umat kristiani dan persoalanpersoalan sosial di dunia oleh Paus
Yohanes XXIII tahun 1961), hingga yang terakhir untuk sementara ini, yakni
Centesimus Annus (1991). Ensiklik terakhir ini berisi penegasan Paus Yohanes
Paulus II bahwa Ajaran Sosial Gereja termasuk dalam ajaran resmi iman dan
tergolong dalam antropologi teologis. Antropologi teologis dimengerti sebagai
teologi tentang manusia yang telah ditebus dan dirahmati oleh Kristus.

Ajaran sosial Gereja sebenarnya adalah ajaran Gereja yang diperuntukkan


bagi kebaikan bersama (common good) dalam masyarakat, untuk mengarahkan
masyarakat kepada kebahagiaan. Banyak orang menghubungkan surat ensiklik
Bapa Paus Leo XIII, Rerum Novarum, tahun 1891, sebagai tanggapan Gereja
Katolik yang nyata terhadap keadaan krisis sosial dunia. Namun sebenarnya,
keberadaan ajaran sosial Gereja telah ada sejak lama, bahkan sejak jaman
Perjanjian Lama.

Maka sumber ajaran sosial Gereja Katolik adalah: (disarikan dari buku
karangan Arthur Hippler, Citizens of the Heavenly City, A Catechism of Catholic
Social Teaching, (Rockford Illinois: Borromeo Books, 2003) p. 1-11:

1. Kitab Suci, terutama ke-sepuluh perintah Allah yang menjadi dasar


pengajaran moral dalam Gereja Katolik (lih. KGK 264-2068). Melalui

3
hukum-hukum Musa di Perjanjian Lama, sesungguhnya kita dapat
mengetahui bahwa Allah memberikan hukum tidak hanya untuk mengatur
penyembahan kepada Allah, tapi juga untuk mengatur kehidupan yang benar
antara sesama keluarga dan masyarakat. Hukum ini yang kemudian disarikan
menjadi “Kasihilah Tuhanmu dengan segenap hatimu dan kekuatanmu… dan
kasihilah sesamamu seperti mengasihi dirimu sendiri” (lih. Mat 22:37-39).

2. Pengajaran para Bapa Gereja dan para Pujangga Gereja (Doctors of the
Church), terutama St. Agustinus (354-430) melalui bukunya The City of God,
yang mengatur pengajaran tentang manusia dan masyarakat; dan St. Thomas
Aquinas (1225-1274), dengan bukunya, Summa Theologiae, di mana bagian
yang terbesar dari Summa adalah Teologi moral/ Moral Theology.

3. Pengajaran dari Bapa Paus, yaitu dari surat-surat ensiklik dan pengajaran
lisan/ dalam homili/ sermon/ pidato. Pengajaran dari Bapa Paus ini
merangkum Kitab Suci dan pengajaran dari para Bapa Gereja dan Pujangga
Gereja. Bapa Paus yang mengajarkannya ajaran sosial ini kepada dunia
adalah merupakan tanda bahwa Kristus tak meninggalkan umat manusia
bagai yatim piatu, namun terus menyertainya dengan ajaran-Nya yang
ditujukan bagi semua orang, demi kebaikan bersama.

Memang banyak orang sukar melihat bahwa ajaran dari Bapa Paus merupakan
ajaran bagi semua orang, sebab mereka berpikir bahwa Paus hanya mengajar umat
Katolik. Namun sebagai the Vicar of Christ, wakil Kristus di dunia, sebenarnya,
Paus mempunyai tugas untuk mengajar semua orang. Otoritas Paus dalam
mengajarkan doktrin sosial Gereja sifatnya tetap, tidak terpengaruh „masa
jabatan‟. Maka artinya:

1. Paus yang sekarang ini mengajarkan sesuatu yang telah menjadi pengajaran
Gereja sepanjang sejarah, dan tidak mengajarkan hal yang baru/ „inovasi‟
yang dibuatnya sendiri.

2. Demikian pula, ajaran para Paus di masa lampau tetap berlaku. Contohnya,
surat ensiklikal Centesimus Annus dari Paus Yohanes Paulus II ditulis

4
berdasarkan Rerum Novarum dari Paus Leo XIII dan Quadragesimo anno
dari Paus Pius XII. Dan yang baru-baru ini surat ensiklik Caritatis in Veritate
dari Paus Benediktus XVI merupakan pengembangan/ kelanjutan dari surat-
surat ensiklik dari para Paus pendahulunya tersebut. Dalam surat ensikliknya,
khususnya Rerum Novarum dan Centesimus Annus, Paus mendorong
dibentuknya kegiatan dan lembaga sosial dalam masyarakat yang sifatnya
untuk mendukung masyarakat itu sendiri, namun harus dilihat dasarnya,
bahwa semua itu adalah untuk menerapkan hukum kasih dalam masyarakat.

Memang dalam hal ini Gereja tidak mengajarkan penemuan suatu sistem
bisnis/pengaturan masyarakat, namun Gereja mengajarkan prinsip-prinsip
dasarnya demi mengarahkan umat manusia kepada kekudusan, sehingga manusia
dapat mencapai tujuan akhirnya, yaitu surga. Semua perkembangan di dunia tidak
boleh menghalangi manusia untuk mencapai tujuan akhir ini.

Tujuan ASG adalah menghadirkan kepada manusia rencana Allah bagi


realitas sekular dan menerangi serta membimbing manusia dalam membangun
dunia seturut rencana Tuhan.

B. Bentuk-Bentuk ASG (Ensiklik-Ensiklik Magisterium Gereja)

Secara sempit ASG dimengerti sebagai kumpulan aneka dokumen (umumnya


disebut ensiklik) yang dikeluarkan oleh Magisterium Gereja dan berbicara tentang
persoalan-persoalan sosial.

Berikut ini ulasan dokumen-dokumen Gereja Katolik yang mengajarkan


tentang ajaran sosial gereja :

1. Rerum Novarum (Paus Leo XIII, 1891)

Rerum Novarum (RN – Tentang Kondisi Pekerja) merupakan ensiklik


pertama ajaran sosial gereja. Menaruh fokus keprihatinan pada kondisi
kerja pada waktu itu, dan tentu saja juga nasib para buruhnya. Tampilnya
masyarakat terindustrialisasi mengubah pola lama hidup bersama,

5
pertanian. Tetapi, para buruh mendapat perlakuan buruk. Mereka diperas.
Jatuh dalam kemiskinan struktural yang luar biasa. Dan tidak mendapat
keadilan dalam upah dan perlakuan.

Ensiklik ini merupakan ensiklik yang menanggapi masalah sosial akhir


abad 19 yaitu masalah kaum buruh. Masalah yang dibicarakan adalah
semacam tanggapan terhadap pandangan dan gerakan sosialisme-
marxisme dari satu pihak dan lain pihak pandangan liberalisme yang
menguasai dunia ekonomi. Ensiklik ini tidak langsung dialamatkan
kepada kaum buruh, tetapi menguraikan masalah-masalah kaum buruh
kepada para pemimpin Gereja dan masyarakat. Kaum buruh dan para
pengusaha yang dimaksudkan ensiklik ini pada prinsipnya adalah orang-
orang Katolik, oleh karena itu masalah sosial menjadi masalah Gereja
juga. Ensiklik Rerum Novarum ini dibagi menjadi tiga tema pokok.
Pertama; situasi rakyat miskin dan kaum buruh, kedua; penolakan atas
pemecahan sosialis terhadap kemiskinan, ketiga; usulan Sri Paus untuk
memecahkan permasalahan terhadap kemiskinan.

2. Quadragesimo Anno (Paus Pius XI, 1931)

Quadragesimo Anno (QA) memiliki maksud “Rekonstruksi


Keteraturan Sosial.” Nama Ensiklik ini (40 tahun) dimaksudkan untuk
memperingati Ensiklik Rerum Novarum. Tetapi pada zaman ini memang
ada kebutuhan sangat hebat untuk menata kehidupan sosial bangsa
manusia. Diperkenalkan dan ditekankan terminologi yang sangat penting
dalam Ajaran Sosial Gereja, yaitu “subsidiaritas” (maksudnya, apa yang
bisa dikerjakan oleh tingkat bawah, otoritas di atasnya tidak perlu ikut
campur). Dalam banyak hal Quadragesimo Anno masih melanjutkan
Rerum Novarun mengenai soalsoal “dialog”-nya dengan perkembangan
masyarakat. Menolak solusi komunisme yang menghilangkan hak-hak
pribadi. Tetapi juga sekaligus mengkritik persaingan kapitalisme sebagai
yang akan menghancurkan dirinya sendiri. Fungsi dari penguasa Negara
adalah untuk mengawasi masyarakat dan bagian-bagiannya, tetapi dalam

6
melindungi individuindividu pribadi di hak-hak mereka, pertimbangan
utama harus diberikan kepada yang lemah dan miskin.

Quadragesimo Anno bermaksud menggugat kebijakan-kebijakan


ekonomi zaman itu; membeberkan akar-akar kekacauannya sekaligus
menawarkan solusi pembenahan tata sosial hidup bersama, sambil
mengenang Ensklik Rerum Novarum; soal hak-hak pribadi dan
kepemilikan bersama; soal modal dan kerja; prinsip-prinsip bagi hasil yang
adil; upah adil; prinsip-prinsip pemulihan ekonomi dan tatanan sosial;
pembahasan sosialisme dan tentu saja kapitalisme; langkah-langkah Gereja
dalam mengatasi kemiskinan struktural.

3. Mater et Magistra (Paus Yohanes XXIII, 1961)

Masalah-masalah sosial yang diprihatinkan oleh Ensiklik ini khas pada


zaman ini. Soal jurang kaya miskin tidak hanya disimak dari sekedar
urusan pengusaha dan pekerja, atau pemilik modal dan kaum buruh,
melainkan sudah menyentuh masalah internasional. Untuk pertama kalinya
isu “internasional” dalam hal keadilan menjadi tema ajaran sosial Gereja.
Ada jurang sangat hebat antara negara-negara kaya dan negara-negara
miskin. Kemiskinan di Asia, Afrika, dan Latin Amerika adalah produk dari
sistem tata dunia yang tidak adil. Di lain pihak, persoalan menjadi makin
rumit menyusul perlombaan senjata nuklir, persaingan eksplorasi ruang
angkasa, bangkitnya ideologi-ideologi. Dalam Ensiklik ini diajukan pula
“jalan pikiran” Ajaran Sosial Gereja: see, judge, and act. Gereja Katolik
didesak untuk berpartisipasi secara aktif dalam memajukan tata dunia yang
adil.

Ensiklik ini masih berkaitan dengan peringatan RN, maka pada bagian
awal Mater et Magistra diingat sekali lagi semangat RN dan QA. Disadari
isu-isu baru dalam perkembangan terakhir di bidang sosial, politik dan
ekonomi; peranan negara dalam kemajuan ekonomi; partisipasi kaum
buruh; soal kaum petani; bagaimana ekonomi ditata seimbang; kerjasama

7
antarnegara; bantuan internasional; soal pertambahan penduduk; kerjasama
internasional; ajaran sosial Gereja dan kepentingannya.

4. Pacem in Terris (Paus Yohanes XXIII, 1963)

Pacem in Terris (Damai di Bumi) menggagas perdamaian, yang


menjadi isu sentral pada dekade enam puluhan. Perdamaian terjadi bila ada
rincian tatanan yang adil dengan mengedepankan hak-hak manusiawi dan
keluhuran martabatnya. Yang dimaksudkan dengan tatanan hidup ialah
tatanan relasi

(1) antarmasyarakat, (2) antara masyarakat dan negara, (3)


antarnegara, (4) antara masyarakat dan negara-negara dalam level
komunitas dunia. Ensiklik menyerukan dihentikannya perang dan
perlombaan senjata serta pentingnya memperkokoh hubungan
internasional lewat lembaga yang sudah dibentuk: PBB. Ensiklik ini
memiliki muatan ajaran yang ditujukan tidak hanya bagi kalangan Gereja
Katolik tetapi seluruh bangsa manusia pada umumnya. Tentang
Menegakkan Perdamaian yang Universal berdasarkan Kebenaran,
Keadilan, Kemurahan, dan Kebebasan adalah sebuah ensiklik kepausan
yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII pada 11 April 1963. Ensiklik
ini hingga kini tetap merupakan ensiklik yang paling terkenal dari abad ke-
20 dan menetapkan prinsip-prinsip yang kelak muncul dalam sejumlah
dokumen dari Konsili Vatikan II dan paus-paus yang kemudian. Ini adalah
ensiklik terakhir yang dirancang oleh Yohanes XXIII.

5. Gaudium et Spes (Konsili Vatikan II, 1965)

Konsili Vatikan II merupakan tonggak pembaharuan hidup Gereja


Katolik secara menyeluruh. Gaudium et Spes (GS – Gereja di Dunia
Modern) menaruh keprihatinan secara luas pada tema hubungan Gereja
dan Dunia modern. Ada kesadaran kokoh dalam Gereja untuk berubah
seiring dengan perubahan kehidupan manusia modern. Soal-soal yang
disentuh oleh GS dengan demikian berkisar tentang kemajuan manusia di

8
dunia modern. Di lain pihak tetap diangkat ke permukaan soal jurang yang
tetap lebar antara si kaya dan si miskin. Relasi antara Gereja dan sejarah
perkembangan manusia di dunia modern dibahas dalam suatu cara yang
lebih gamblang, menyentuh nilai perkawinan, keluarga, dan tata hidup
masyarakat pada umumnya. Judul dokumen ini mengatakan suatu
“perubahan eksternal” dari kebijakan hidup Gereja: Kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan manusia-manusia zaman ini, terutama kaum
miskin dan yang menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan para murid Kristus juga. Kardinal Joseph Suenens dari Belgia
berkata bahwa pembaharuan Konsili Vatikan II tidak hanya mencakup
bidang liturgis saja, melainkan juga hidup Gereja di dunia modern secara
kurang lebih menyeluruh. GS membuka cakrawala baru dengan
mengajukan perlunya “membaca tandatanda zaman” (signs of the times).
Kegembiraan dan harapan, dengan kesedihan dan kegelisahan laki-laki
usia ini, terutama mereka yang miskin atau dengan cara apapun menderita,
ini adalah kegembiraan dan harapan, dengan kesedihan dan kecemasan
para pengikut Kristus. Memang, tidak ada yang benar-benar manusia
gagal untuk meningkatkan gema di dalam hati mereka. Untuk mereka
adalah sebuah komunitas terdiri dari laki-laki. Bersatu dalam Kristus,
mereka dipimpin oleh Roh Kudus dalam perjalanan mereka menuju
Kerajaan Bapa mereka dan mereka menyambut kabar keselamatan yang
dimaksudkan untuk setiap orang. Itulah sebabnya mengapa komunitas ini
menyadari bahwa itu benar-benar dikaitkan dengan umat manusia dan
sejarahnya oleh terdalam obligasi.

6. Populorum Progressio (Paus Paulus VI, 1967)

Populorum progressio adalah sebuah ensiklik yang ditulis oleh Paus


Paulus VI tentang "perkembangan bangsa-bangsa" dan bahwa ekonomi
dunia seharusnya melayani semua umat manusia dan tidak hanya sebagian
kecil saja. Ensiklik ini dikeluarkan pada tanggal 26 Maret 1967. Dokumen
ini menyinggung berbagai prinsip "Ajaran Sosial Katolik": hak akan upah

9
yang adil; hak akan keamanan pekerjaan; hak akan kondisi kerja yang
cukup baik dan wajar; hak akan bergabung dengan serikat pekerja dan
melakukan unjuk rasa sebagai jalan terakhir; dan tujuan universal dari
kekayaan dan harta benda.

7. Octogesima Adveniens (Paus Paulus VI, 1971)

Arti “Octogesima” adalah yang ke-80; maksudnya: surat apostolik ini


dimaksudkan untuk manandai usia Rerum Novarum yang ke-80 tahun.
Paus Paulus VI menyerukan kepada segenap anggota Gereja dan bangsa
manusia untuk bertindak memerangi kemiskinan. Soal-soal yang berkaitan
dengan urbanisasi dipandang menjadi salah satu sebab lahirnya
“kemiskinan baru”, seperti orang tua, cacat, kelompok masyarakat yang
tinggal di pinggiran kota, dst. Diajukan ke permukaan pula masalah-
masalah diskriminasi warna kulit, asal usul, budaya, sex, agama. Gereja
mendorong umatnya untuk bertindak ambil bagian secara aktif dalam
masalah-masalah politik dan mendesak untuk memperjuangkan nilai-nilai
atau semangat injili dan memperjuangkan keadilan sosial.

8. Convenientes ex Universo atau Justicia in Mundo (Sinode Uskup,


1971)

Dokumen ini banyak diinspirasikan oleh seruan keadilan dari


GerejaGereja di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Secara khusus pengaruh
pembahasan tema “Liberation” oleh para uskup Amerika Latin di Medellin
(Kolumbia). Keadilan merupakan dimensi konstitutif pewartaan Injil.
Dalam menghadapi situasi sekarang, seperti yang ditandai oleh dosa besar
ketidakadilan, kita menyadari baik tanggung jawab kita dan
ketidakmampuan kita untuk mengatasinya dengan kekuatan kita sendiri.
Situasi seperti ini mendorong kita untuk mendengarkan dengan hati yang
rendah hati dan terbuka untuk Firman Allah, karena Ia menunjukkan kita
jalan baru terhadap tindakan di jalan keadilan di dunia.

10
Para anggota Gereja, sebagai anggota masyarakat, memiliki hak yang
sama dan tugas untuk mempromosikan baik seperti warga umum lainnya.
Seorang Kristen harus memenuhi kewajiban duniawi mereka dengan
kesetiaan dan kompetensi. Mereka harus bertindak sebagai ragi di dunia,
dalam, kehidupan keluarga mereka profesional, sosial, budaya dan politik.
Mereka harus menerima tanggung jawab mereka di wilayah ini di bawah
pengaruh Injil dan ajaran Gereja. Dengan cara ini mereka bersaksi kepada
kuasa Roh Kudus melalui tindakan mereka dalam pelayanan orang dalam
hal-hal yang menentukan bagi eksistensi dan masa depan kemanusiaan.
Sementara di kegiatan seperti mereka umumnya bertindak atas inisiatif
sendiri tanpa melibatkan tanggung jawab hirarki gerejawi, dalam arti
mereka lakukan melibatkan tanggung jawab Gereja yang anggotanya
mereka.

9. Laborem Exercens (Paus Sto. Yohanes Paulus II, 1981)

Laborem Exercens adalah sebuah ensiklik yang ditulis oleh Paus


Yohanes Paulus II di tahun 1981 mengenai pekerjaan manusiawi. Ensiklik
ini merupakan bagian dari sebuah kumpulan tulisan yang dikenal dengan
nama "Ajaran Sosial Katolik", yang asal-usulnya bisa ditelusuri pada
dokumen Rerum Novarum yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII di tahun
1891.

Di dalamnya ia mengembangkan konsep martabat manusia dalam


pekerjaan, penataan dalam empat poin: subordinasi bekerja untuk manusia;
keunggulan pekerja atas seluruh instrumen dan pengkondisian yang secara
historis merupakan dunia kerja, hak-hak manusia orang sebagai faktor
penentu dari semua proses sosial-ekonomi, teknologi dan produktif, yang
harus diakui, dan beberapa elemen yang dapat membantu semua orang
mengidentifikasi dengan Kristus melalui pekerjaan mereka sendiri.

11
10. Centesimus Annus (Paus Sto. Yohanes Paulus II, 1991)

Centesimus Annus (bahasa Latin yang berarti "seratus tahun") adalah


sebuah ensiklik yang ditulis Paus Yohanes Paulus II pada 1991, pada saat
perayaan ke-100 dari Rerum Novarum. Ensiklik ini merupakan bagian dari
tulisan mengenai Ajaran sosial Katolik, yang bermula dari Rerum
Novarum, yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII pada 1891, dan terutama
Perjanjian Baru.

Menandai ulang tahun Rerum Novarum yang ke-100. Dokumen ini


memiliki jalan pikiran yang kurang lebih sama, paradigma yang
ditampilkan dalam Rerum Novarum untuk menyimak dunia saat ini.
Perkembangan baru berupa jatuhnya komunisme dan sosialisme-marxisme
di wilayah Timur (Eropa Timur) menandai suatu periode baru yang harus
disimak secara lebih teliti. Jatuhnya sosialisme-marxisme tidak berarti
kapitalisme dan liberalisme menemukan pembenarannya. Kesalahan
fundamental dari sosialisme ialah tiadanya dasar yang lebih manusiawi
atas perkembangan. Martabat dan tanggung jawab pribadi manusia seakan-
akan disepelekan. Di lain pihak, kapitalisme bukanlah pilihan yang tepat
pula. Perkembangan yang mengedepankan eksplorasi kebebasan akan
memicu ketidakadilan yang sangat besar. Centesimus Annus mengurus
pula soal-soal lingkungan hidup yang menjadi permasalahan menyolok
pada zaman ini.

11. Caritatis in Veritate (Paus Benediktus XVI, 2009)

Caritas in Veritate adalah sebuah ensiklik sosial, seperti banyak


ensiklikensiklik sosial yang lain sebelumnya, mulai dari Rerum Novarum
dari Paus Leo XIII (1891) [2]. Di dalamnya, pandangan teologi, filsafat,
ekonomi, ekologi dan politik dikemas secara serempak dan kompak guna
mengartikulasikan suatu ajaran sosial yang menempatkan pribadi manusia
pengembangan dirinya secara utuh dan dengan demikian juga
kesehatannya yang konkret pada pusat segala sistem dunia yang

12
membahas pemikiran dan kegiatan manusia. Penyelamatan setiap manusia
itu juga yang menjadi pusat dari perutusan dan pelayanan Yesus Kristus,
yakni sebagai pewahyuan cinta-kasih Bapa (Yoh. 3:16) dan kebenaran dari
penciptaan manusia sebagai gambaran citra Allah serta panggilannya yang
transenden kepada kekudusan dan kebahagiaan bersama Allah. Inilah
tatanan terpadu dari kedua gagasan kasih dan kebenaran [3], yang menjadi
ilham dari ensiklik ini. Kasih dan kebenaran bukan saja menjadi dasar dari
jantung perutusan dan pelayanan Yesus; tetapi juga berpadanan dengan
sifat hakiki dan kegiatan hidup manusia di dunia ini. Pribadi manusia
adalah suatu “anugerah dan kasih dari Allah” yang dipanggil oleh Allah
juga, untuk “menjadi suatu anugerah dan kasih” sendiri pula. Dinamika
kasih yang diterima sebagai anugerah inilah yang telah melahirkan Ajaran
Sosial Gereja, yang adalah juga Kasih dalam Kebenaran dalam masalah-
masalah sosial”.

C. Prinsip Dasar Ajaran Sosial Gereja

Yang dimaksudkan dengan prinsip-prinsip dasar ASG adalah sejumlah


konsep atau gagasan pokok yang menjadi dasar dan acuan bagi upaya penataan
system dan struktur serta pola-laku sosial manusia dalam suatu masyarakat
sehingga yang dihasilkannya adalah suatu system, struktur dan pola-laku yang
menyokong serta memudahkan terwujudnya kesejahteraan umum.

Prinsip-prinsip ini menegaskan kebenaran tentang suatu masyarakat yang


menantang setiap pribadi, setiap suara hati, untuk peduli dan terlibat dalam
tanggungjawab yang menyangkut kesejahteraan dan kebaikan semua orang.
Manusia sebenarnya tidak dapat menghindar dari hal itu mengingat manusia
adlaah makhluk moral dan makhluk sosial. Sehingga tuntutan moral dari prinsip-
prinsip itu sungguh mengena pada perilaku pribadi dan perilaku sosial manusia.

1. Kesejahteraan Umum

a. Makna dan Implikasi

13
GS 26 : kesejahteraan umum adalah “keseluruhan kondisi
masyarakat yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun
anggota-anggota perorangan untuk secara lebih penuh dan pebih
lancer mencapai kesempurnaan mereka sendiri”.

Implikasi : kesejahteraan umum bukan jumlah dari keksejahteraan


setiap pribadi atau kelompok-kelompok. Tetapi kesejahteraan baik
pribadi maupun masayrakat secara keseluruhan yang diperoleh,
ditingkatkan dan dilestarikan secara bersama-sama. Kesejahteraan
umum adalah dimensi sosial dan komunal dari kebaikan moral.

b. Tanggungjawab demi kesejahteraan umum.


Perwujudan keksejahteraan umum erat kaitannya dengan
komitmen pada perdamaian, manajemen kekuasaan Negara, system
peradilan dan hukum, leingkungan hidup, sarana dan infrastruktur
public, sandang-panganpapan, kesehatan, pendidikan, kebudayaan dan
kebebasan (beragama) (GS

26). Selain itu amat penting juga kerja sama dan solidaritas antar
angsa (MM 421). Kesejahteraan umum harus mengena pada semua
anggota masyarakat tanpa kecuali baik dalam partisipasi sesuai
dengan kemampuan dan talentanya maupun dalam menikmati buah-
buah usaha pembangunan dan kemajuan bersama (MM 417, OA 46,
KGK, 1913). Setiap orang berhak menikmati kondisi-kondisi
kehidupan sosial yang dihasilkan oleh pencarian akan kesejahteraan
umum, sebagaimana dikatakan Pius XI:

“Pemertaan harta benda tercipta yang, seperti setiap orang


bernalar tahu, dewasa ini mengalami situasi yang buruk sekali akibat
perbedaan amat besar antara kelompok kecil yang kaya raya dan
mereka yang serba tak punya dan tak terbilang jumlahnya, harus
dikembalikan kepada kesesuaian dengan norma-norma kesejahteraan
umum, yakni keadilan sosial” (QA 197).

14
c. Tugas mewujudkan kesejahteraan umum
Selain tugas masing-masing pribadi, perwujudan kesejahteraan
umum adalah tugas Negara, karena Negara ada untuk mewujudkan
kesejahteraan umum (KGK 1910). Negara berkewajiban menjamin
sinerji, kesatuan dan penataan masyarakat sipil karena masyarakat
warga terlibat wujud nyatanya dalam Negara sehingga setiap pribadi
dapat lebih mudah berpartisipasi mewujudkan kesejahteraan umum
itu (GS 74; RH 17). Dalam mewujudkan kesejahteraan umum maka
pemerintah harus menyelaraskan kepentingan setiap sektor yang
berbeda-beda demi trcapainya keadilan (KGK 1908). Dalam suatu
Negara demokrasi panduan penyelerasan itu tidak boleh hanya
berdasarkan keinginan mayoritas, tetapi kesejahteraan efektif setiap
pribadi termasuk kelompok minoritas.

2. Tujuan Sosial-Universal Harta Benda

a. Makna
GS 69 : “Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya
digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta
benda yang tercipta dengan cara yang wajar ahrus mencapai semua
orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih” – bdk.
Kej. 1:2829. Bumi adalah karunia Allah yang pertama untuk menjadi
sumber hidup bagi semua manusia (CA 31). Manusia tak dapat hidup
tanpa sumbersumber hidup yang diperolehnya dari bumi.Inilah yang
dimaksud dengan “tujuan universal” harta benda. Setiap orang
memiliki akses yang sama pada sumber-sumber hidup dari bumi
untuk kesejahteraan hidupnya (pribadi dan bersama). Inilah prinsip
utama etika sosial: bahwa semua orang berhak atas harta benda yang
bersumber dari dumi (LE 19); hal ini juga merupakan asas yang khas
dalam ajaran sosial Kristen (SRS 42). Ciri universal harta benda ini
tidak berarti bahwa semua orang harus mempunyai hal yang sama dan
bahwa segala sesuatu harus tersedia bagi semua. Perlu pengaturan dan

15
intervensi dasar dari institusi yang legitim dan sah secara public, serta
diatur secara yuridis sehingga perwujudan hak dasar itu tidak saling
meniadakan hak satu sama lain. Pada level tatanan ekonomi, ciri
universal harta milik sebenarnya merupakan prinsip moral agar
pengelolaan dan penataan ekonomi harus bermuara pada kebaikan
dan kesejahteraan untuk semua, sehingga tercipta dunia yang adil dan
solider. Prinsip ini juga seklaigus merupakan suatu imperative untuk
suatu partisipasi bagi semua pengembangan dan pembangunan
ekonomi berkeadilan di mana setiap orang memiiliki andil bagi
kesejahteraan bersama. “Di mana setiap individu bisa member dan
menerima, dan di mana kemajuan dari beberapa kalangan tidak akan
lagi menjadi kendala bagi perkembangan kalangan lain, bukan pula
sebuah dalih bagi perbidakan mereka” (Liberatatis Conscientia, 90).
Prinsip ini mengajarkan kita untuk mengatasi godaan-godaan
sebagaimana ditemumukan dalam Injil (Mt.1:12-13; 4:1-11:Lk 4:1-
13).

b. Milik Pribadi
CA 33 : “Begitulah manusia menjadikan miliknya sebagian bumi
yang diperolehnya dengan bekerja. Itulah asal mula milik
perorangan”. Milik pribadi, “member setiap orang ruang yg perlu
untuk mengembangkan otonomi pribadi maupun keluarganya, dan
harus dipandang bagaikan perluasan kebebasan manusiawi … ikut
mendorong pelaksanaan tugas kewajiban yang merupakan suatu syarat
bagi kebebasan warga masyarakat” (GS 71). ASG (CA 6)
mengajarkan bahwa harta milik harus bisa dijangkau secara merata
bagi semua orang. Tetapi Gereja mengajarkan bahwa hak milik
pribadi itu tidak mutlak. RN mengajarkan bahwa hak milik pribadi itu
sekunder terhadap hak atas penggunaan bersama (RN 11). Hal itu
didasarkan pada KS yang menegaskan bahwa segala sesuatu adalah
milik Allah diciptakan dan disediakan untuk semua manusia agar

16
mereka hidup baik. Milik pribadi bahkan merupakan prasyarat bagi
terpenuhinya tujuan universal harta benda (PP 22-23).

Setiap milik pribadi memiliki fungsi sosial yang terarah kepada


pemenuhan kesejahteraan umum. GS 69 mengingatkan bahwa setiap
orang harus memandang bahwa harta yg dimilikinya tidak saja mesti
erguna bagi dirinya tetapi juga bagi sesamanya. Setiap orang tidak
boleh mendewakan harta miliknya (Mt 6:24; 19:21; Lk.16:13).

c. Harta Milik dan pilihan mengutamakan orang miskin


Prinsip tentang tujuan universal harta milik menuntut bahwa
mereka yang miskin dan tak beruntung harus mendapatkan atau diberi
perhatian khusus. Pilihan mengutamakan orang miskin adalah bagian
utuh dari tanggungjawab sosial kita berkaitan dengan harta miliki kita
(SRS 42).

Kondisi kemiskinan dan kelaparan memperlihatkan kondisi


kerapuhan kodrati manusia serta kebutuhannya akan keselamatan
(KGK 2448). Kepedulian pada orang miskin adalah mandat atau
kepercayaan yang diberikan Kristus kepada kita, karena jika kita tidak
peduli maka kita akan agal sebagai pengikut Kristus. Kepedulian kita
pada orang miskin diilahmi oleh Sabda Bahagia (Mt.5:1-11);
perhatian Yesus sendiri kepada orang miskin. Mesti dipahami bahwa
kemiskinan juga mencakup kemiskinan baik material maupun spiritual
(religious dan budaya). Apa yg kita terima adalah anugerah karena itu
kita pun harus memberikannya dengan CumaCuma (Mt.10:8). KGK
mengingatkan juga bahwa dengan member kepada orang miskin,
sesungguhnya kita mengembalikan apa yang menjadi hak mereka dan
bukan hak kita, yang harus kita kembalikan demi keadilan dan dalam
kasih (AA 8). Perbuatan baik kepada orang miskin adalah bagian utuh
ibadat kita dan buah iman (Yak 127: 5:1-6).

17
3. Subsidiaritas

Prinsip subsidiaritas merupakan prinsip yg klasik dalam ASG.


Dimaksudkan untuk melindungi orang dari penyalahgunaan kekuasaan
oleh kekuasaan atau otoritas yg lebih tinggi; sebaiknya harus membantu
individu dan kelompok agar mereka dapat melaksanakan kewajiban
mereka. Prinsip ini bertentangan dengan sentralisasi dan birokratisasasi.

Prinsip subsidiaritas berarti bahwa suatu lembaga dalam tatanan yang


lebih tinggi harus memberikan pertolongan “subsidium”, untuk
mendukung, memajukan dan mengembangkan apa yang dilakukan dan
diprakarsai kelompok yang lebih rendah.

Konrketnya, prinsip subsidiaritas, dipahami sebagai bantuan


ekonomi, kelembagaan atau hukum yang ditawarkan kepada kesatuan-
kesatuan sosial yang lebih rendah, sehingga bantuan itu menignkatkan
dan memajukan apa yang sudah dimulai, dikerjakan atau diprakarsai
kelompok lebih rendah, tanpa mengambil-alihnya.

Tentang subsidiaritas QA menuliskan: “kelirulah merebut dari orang


perorangan dan mempercayakan kepada masyarakat apa yang dapat
dilaksanakan daya upaya dan usaha swasta, begitu pula tidak adillah,
suatu yang berat dan gangguan tata tertib yang wajar, bisa suatu
perserikatan yang lebih luas dan lebih tinggi mengakukan dirinya bagi
fungsi-fungsi yang dapat dijalankan secara efisien organisasi-organisasi
yang tidak sebesar itu dan bersifat bawahan. Sebab setiap kegiatan sosial
pada hakikatnya harus menyelenggarakan bantuan bagi pera anggota
lembaga sosial, dan jangan pernah menghancurkan dan menyerap
mereka” (QA; CA 48).

4. Partisipasi

Pada level antar bangsa, partisipasi bangsa-bangsa tetap merupakan


sesuatu yang niscaya bagi perwujudan kesejahteraan umum atau keadilan
atas dasar solidaritas. Partisipasi warga bukan saja merupakan hal

18
penting demi tanggungjawab bersama untuk kesejahteraan umum,
partisipasi adalah juga basis bagi suatu tatanan masyarakat demokratis
dan penjamin kelestarian demokrasi. Demokrasi mesti bercorak
partisipatif (CA 46) di mana masyarakat sipil dilibatkan dan diberitahu
tentang pelbagai macam kebijaksanaan yang menyangkut kehidupan
mereka secara keseluruhan.

Partisipasi menjamin baik pribadi maupun masyarakat untuk


bersama-sama peduli dan terlibat memberikan kontribusinya yang
beragam bagi pemenuhan kesejahteraan umum. Partisipasi
memperlihatkan keberadaan manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial.
Dalam partisipasi pribadi tidak hilang dalam kebersamaan; dan
kebersamaan tidak tunduk pada individu. Partisipasi adalah sintesa antara
invidualisme dan sosialisme. Partisipasi merupakan basis masyarakat
komunitarian.

5. Solidaritas

Solidaritas menegaskan sejumlah cirri dasar manusia sebagai


makhluk sosial, setara dalam hak dan martabat. Solidaritas membawa
pribadi, masyarakat atau Negara kepada kesatuan yg teguh. Dunia masa
kini ditandai ketergantungan yang membuahkan ketidakadilan,
ketimpangan, eksploitasi, penindasan dan pelbagai macam penyakit
sosial lainnya. Kondisi yang negative seperti ini menuntut adanya suatu
etika sosial yang mendorong terciptanya kesadaran etis untuk menata
ulang relasi antar bangsa atau kelompok, sehingga mencegah terus
berkembangnya hal-hal negative di atas.

Solidaritas mengandung dua unsur utama: prinsip sosial dan


kewajiban moral. Solidaritas sebagai suatu prinsip sosial harus menjadi
suatu kewajiban moral yang membantu masyarakat warga menata
struktur-strukturnya dengan semangat solidaritas. Kalau struktur yang
menciptakan ketergantungan merupakan struktur-struktur dosa, maka

19
struktur berdasarkan solidaritas adalah struktur yang memerdekakan.
Mengapa?

Karena solidaritas, “bukan suatu perasaan belaskasih yang samar-


samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk sekian banyak
orang, dekat maupun jauh. Sebaliknya, solidaritas ialah tekad yang teguh
dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, artinya
kepada kesejahteraan semua orang dan setiap orang perorangan karena
itu semua sungguh bertanggungjawab atas semua orang” (SRS 38)
solidaritas merupakan kewajiban moral karena tertuju kepada
kesejahteraan dan berintikan keadilan serta pengorbanan, kehilangan diri
sendiri dan tidak mencari kepentingan diri sendiri (bdk. Mt 10:4o-42;
20:25 dsj.).

Dari definisi solidaritas dapat ditemukan bahwa solidaritas


berhubungan dengan kesejahteraan umum; dgn tujuan universal harta
benda; kesetaraan semua manusia dan bangsa serta berhubungan dengan
perdamaian. Solidaritas membuahkan kesatuan, komitmen, totalitas dan
pengorbanan.

Solidaritas sejati sebenarnya diperlihatkan oleh Yesus sendiri (Filipi


2:8); solidaritas Allah pada manusia – Immanuel – Allah beserta kita.
Dalam Yesus Kristus solidaritas tak dipisahkan dari kasih (GS 32).

D. Nilai-Nilai Moral Dasar Dalam ASG

1. Cinta kasih

Cinta kasih tampak dalam Rerum Novarumsebagai dasar dan mesin


utama pendorong kepedulian Gereja bagi hidup bermasyarakat. Gejala ini
mencerminkan kesetiaan Gereja dalam tugas panggilannya yang harus
menolong kaum tak berdaya, kecil dan tertindas untuk meraih
kesejahteraan mereka. Kehidupan murid-murid pertama pada zaman
Gereja Purba, memberikan contoh bagi hidup persaudaraan sejati atas

20
dasar saling bantu dan mereka hidup saling serasi diantara sesame
Kristiani. “Tidak ada seorangpun yang kekurangan diantara mereka”
(Kis. 4:34).

Seraya menjabarkan kasih ini kedalam kehidupan nyata, Gereja


menjadi ibu bagi semua orang miskin dan kayya. Sebagai ibu, Gereja
memperhatikan semua orang, semua golongan dan semua pihak dalam
hidup sosial. Gereja diilhami dan disemangati oleh kepahlawanan kasih
yang tidak menyingkirkan korban kekerasan dan ketidakadilan tanpa
memberikan pertolongan.

Dalam Rerum Novarum, Paus Leo XIII mengatakan bahwa cinta


kasih pertama-tama ditandai oleh kemurahan hati seseorang dan
kesediaannya berkorban bagi orang-orang lain. Kasih tetap tegar
melawan semua bentu kebanggaan dan egoism di dunia. Cinta kasih tidak
mementingkan diri sendiri dan tidak mengingat-ingat kesalahan orang
lain. Dalam dirinya cinta kasih merupakan intisari Kabar Baik. Cinta
kasih mendatangkan keselamatan yang merangkul seluruh dunia dan
segenap kandungan didalamnya.

Paus Yohanes XXIII dalam Mater et magistra menyatakan bahwa


kasih akan Allah menjadi sumber cinta kasih Kristiani. Pentingnya
makna cinta kasih ini dapat dinilai dari sikap seseorang terhadap Allah,
sebab cinta kasih berasal dari Dia. Yang sungguh-sungguh mencintai
Allah dengan sendirinya, akan mencintai sesame manusia sebagai
amkhluk ciptaan-Nya. Mencintai ciptaan-Nya berarti mencintai Sang
Pencipta.

2. Keadilan Sosial

Gagasan tentang keadilan dalam hubungan sosial dengan


kepentingankepentingan manusia yang pada hakikatnya saling terkait dan
berdasarkan martabat manusia. Nilai moral menuntun manusia untuk
saling menghormati martabat dan hak-hak manusia dalam setiap bidang

21
hidup. Seorang manusia selalu butuh dipandang sebagai manusia.
Keadilan sejati menuntut agar setiap orang dilihat dan dihargai sebagai
makhluk Allah. Semua manusia termasuk hamba dan pekerja, dalam
keadaan apapun hendaknya tidak diperbudak. Mereka adalah manusia
dan makhluk ciptaan Allah yang memiliki kekudusan dalam dirinya.

Keadilan merupakan kaidah dasar hubungan sosial dalammenghapus


dan mencegah aneka bentuk kerenggangan sosial. Keadilan yang sama
juga ditekankan pada semua tingkat hubungan sosial antar umat manusia.
Bila azas keadilan diterapkan pada situasi sosial konkrit, semua kegiatan
usaha dalam kelompok sosial meningkat baik. Dewasa ini keadilan lebih
dituntut dalam sector-sektor konflik kepentingan daripada disektor-sektor
lain.

Keadilan dalam ASG adalah suatu kebajikan yang melampaui


kebajikan perorangan. Menurut Paus Paulus VI, keadilan merupakan
nilai moral yang membangun semua hubungan hidup bersama dalam
setiap bidang kehidupan: ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama.
Nilai ini secara halus mengharuskan semua orang, keluarga, dan
kelompok sosial dalam proses mencapai kesejahteraan bersama, yang
berbeda dengan kesejahteraan perorangan. Dimensi sosial mendapat
penekanan dalam keadilan dan itu berasal dari gagasan akan perdamaian.

Dalam pengantar Rerum Novarum, Paus Leo XIII mengemukakan


gagasan tentang keadilan dan kesetaraan sebagai prinsip-prinsip dasar
dalam memecahkan dan megatasi masalah-masalah sosial pada akhir
abad ke XIX. Keadilan harus terdapat diantara kaum kaya dan kaum
miskin. Sesuai etika, hendaknya keadilan diterapkan dalam sector
distribusi dan menjadi sarana pembela martabat manusia.

Sebagai pengganti Paus Leo XIII, Paus Pius XI mengikuti alur pikir
yang sama seperti pendahulunya. Hubungan antara pemimpin dan
karyawan harus berdasarkan keadilan. Hubungan inilah ynag

22
menentukan upah bagi para karyawan. Menentukan besarnya upah harus
berdasarkan kepatutan tiga unsur berikut ini: (1) Kebutuhan karyawan
dan keluarga; (2) kondisi pabrik/tempat kerja; (3) tuntutan-tuntutan
kesejahteraan umum. Paus Pius XI mengatakan bahwa hubungan pribadi
antara majikan dan karyawan tak tergantikan oleh ketentuan resmi
apapun. Hubungan manusiawi tinggal tetap tak berubah untuk selamanya
sebgai dasar keadilan.

3. Bebas Merdeka

Lahirnya gagasan ini sangat terkait dengan dimensi hakiki perutusan


Gereja, yaitu mengembangkan martabat dan kemerdekaan manusia
sebagai bagian nilai-nilai Injili. Oleh karena itu untuk mendapatkan
pengertian yang cukup mengenai gagasan kebebasan dalam ASG, perlu
dipelajari dua dari ensiklik oleh Paus Leo XIII, yang diterbitkan sebelum
Rerum Novarum, yaitu: Immortale Dei (Negara menurut Konstitusi
Kristiani, 1 November 1885) dan Libertas (Kodrat kebebasan manusia,
20 Juni 1888). Kedua ensiklik ini secara khusus dipilih karena dengan
jelas dan tegas Paus Leo XIII menyebut kebebasan dengan merujuk pada
Rerum Novarum dank arena ensiklik-ensiklik itu diterbitkan demi
kebaikan Gereja dan untuk keselamatn bersama umat manusia.

Merujuk ajaran kebebasan Paus Leo XIII sekurang-kurangya terdapat


tiga tafsiran utama: Pertama Andrea Oddone, penulis “Budaya Katolik”,
melukiskan Gereja Katolik sebagai “penjaga” kebebasan sejati para
warganya ketika gereja berjuang menentang tindakan sewenang-wenang
Negara. Dia menulis,Paus Leo XIIIdalam Ensikliknya “Libertas”
menegaskan bahwa kelihatan semakin besar pengaruh Gereja dalam
memelihara dan melindungi kebebasan sipil dan politik bangsa-bangsa,
baik dengan menghapus perbudakan, baik dengan memulihkan keluarga,
baik dengan menentag kesewang-wenangan pemerintah dan melindngi
orang tak bersalah dan orang lemah terhadap tindakan kekerasan oleh
orang kuat, maupun dengan mengalahkan sedemikian banyak peraturan

23
politik yang menggangu dinegaranegara dengan persamaan derajat yang
disukai oleh warga dan disegani oleh kekuatan asing.

Kedua, dalam analisis ajaran Paus Leo XIII mengenai kebebasan,


Vicenzo mangano menulis bahwa ditemukan adanya perbedaan ynag
jelas antara kebebasan yang dikehendaki Tuhan dan kebebasan ynag
disalah-gunakan manusia yang mendatangkan sebegitu banyak masalah
dan kesalahan.

Ketiga, para penulis dewasa ini memiliki pandangan berbeda atas


ajaran Paus Leo XIII mengenai kebebasan. Menurut Charles E. Curran,
Paus Leo XIII mencela kebebasan modern. Paus ini tidak termasuk
pembela kebebasan sipil dan kebebasan modern. Segaris dengan Curran,
Paul Sigmun mencatat, Paus Leo XIII menegaskan kembali kecaman-
kecaman para pendahulunya terhadap tidak adanya kebebasan beribadah,
menyatakan diri, dan mengajar, dengan menuduh kaum liberal
menjadikan “Negara berkuasa mutlak dan mahakuasa” dan menyatakan
hendaknya orang hidup sama sekali tidak tergantung kepada Allah.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Ajaran Sosial Gereja merupakan mpulan aneka dokumen (umumnya disebut


ensiklik) yang dikeluarkan oleh Magisterium Gereja dan berbicara tentang
persoalan-persoalan sosial. Ajaran sosial Gereja sebenarnya adalah ajaran
Gereja yang diperuntukkan bagi kebaikan bersama (common good) dalam
masyarakat, untuk mengarahkan masyarakat kepada kebahagiaan.
2. Bentuk-bentuk ajaran sosial gereja adalah Rerum Novarum (Paus Leo XIII,
1891), Quadragesimo Anno (Paus Pius XI, 1931), Mater et Magistra (Paus
Yohanes XXIII, 1961), Pacem in Terris (Paus Yohanes XXIII, 1963),
Gaudium et Spes (Konsili Vatikan II, 1965), Populorum Progressio (Paus
Paulus VI, 1967), Octogesima Adveniens (Paus Paulus VI, 1971),
Convenientes ex Universo atau Justicia in Mundo (Sinode Uskup, 1971),
Laborem Exercens (Paus Sto. Yohanes Paulus II, 1981), Centesimus Annus
(Paus Sto. Yohanes Paulus II, 1991) dan Caritatis in Veritate (Paus
Benediktus XVI, 2009).
3. Yang termasuk dalam Prinsip Ajaran Sosial Gereja adalah kesejahteraan
umum, tujuan sosial- universal harta benda, subsidiaritas, partisipasi dan
solidaritas.

B. Saran

Sebagai umat katolik sudah sewajibnya kita menerapkan semua ajaran sosial
gereja di dalam kehidupan kita sehari-hari dengan mewujudkannya berdasarkan
prinsip dasar ajaran sosial gereja.

25
DAFTAR PUSTAKA

Kompendium Ajaran Sosial Gereja. http://www.vatican.va/roman_curia. Diakses


pada 19 Oktober 2017.

Listiati, Ingrid. 2008. Apakah Itu Ajaran Sosial Gereja http://www.katolisitas.org


diakses pada 19 Oktober 2017.

Ordo Fratum Capucinorum Medan Province. 2016. Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran


Sosial Gereja. http://jpickapusinmedan.or.id/ diakses pada 19 Oktober 2017.

Surat Kardinal Angelo Sodano, Sekretaris Negara Vatikan kepada Kardinal


Renato Raffaele Martino, Ketua Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan
Perdamaian, 2004, dalam http://www.vatican.va/roman_curia.

Yolando, A.P., dkk, 2015, Makalah Ajaran Sosial Gereja. Universitas Negeri
Yogyakarta.

26

Anda mungkin juga menyukai